Aku, Sang Penjelajah#Langit itu ayahku#Bumi itu ibuku#Gunung-gunung itu kakaku#Lautan samudera itu adikku#Sungai ngarai itu sodaraku#Padang-padang itu sodariku#Hutan rimba belukar itu temanku#Tebing-tebing itu sobatku#Bintang-gemintang itu kekasihku#Mentari pagi itu pujaanku#Surya senja itu cintaku##Aku, Sang Penjelajah#Perjalanan itu ibadah#Berkelana itu doa#Mengasoh itu kidung##Aku, Sang Penjelajah#Tak terikat waktu#Tak terkurung ruang#Tak terpaku tempat##Aku, Sang Penjelajah#Akan ku daki..
Minggu, 10 Agustus 2008
PEREMPUAN PEREMPUAN KIE RAHA : Waris Jejak Sang Tiahahu
Menikmati senja Tidore dari Pulau Ternate telah menjadi kebiasaan baru ku saat berkunjung ke bumi Kie Raha, demikian julukan setempat terhadap keempat bekas kerajaan Islam tertua dalam sejarah Nusantara masa lampau. Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo demikian yang tertulis dalam buku-buku sejarah yang ku pelajari di bangku SD. 2 dari 4 itu yang paling terkenal adalah Ternate dan Tidore. Saat zaman berubah, penguasa berganti, mereka pun berbenah dan bertransformasi menjadi bagian dari Republik.
Sekarang, Ternate menjadi ibukota Provinsi Maluku Utara, sementara Tidore menjadi salah satu kota di provinsi tersebut dengan masih menggunakan nama yang sama. Sisa-sisa kejayaan masa lalu masih bisa dijejaki di Pulau Ternate. Istana Kesultanan, kompleks alun-alun, hak-hak tenurial kesultanan masih tetap lestari dalam desakan arus privatisasi dan liberalisasi. Penghormatan mutlak komunitas-komunitas masyarakat yang memiliki sejarah dan ikatan dengan kesultanan masih terpelihara dan terwariskan dari generasi ke generasi. Walau sang Sultan telah menjadi anggota parlamen, demikian pula Sang Ratu, namun kekuasaan tradisional pemimpin tertinggi Kesultanan tetap melekat sebagaimana galipnya jabatan-jabatan tradisional warisan zaman. Dia yang konon terpilih oleh pilihan magis Mahkota Kerajaan tetap memegang mandat sebagai sang Pemimpin tertinggi dibantu oleh sejumlah pejabat kesultanan yang memegang tanggung-jawab dan fungsi masing-masing.
Seiring derasnya desakan liberalisasi dan privatisasi, kehidupan komunal suku dan marga di bumi Kie Raha juga mulai berubah. Desakan eksploitasi sumberdaya alam setempat oleh para pemegang konsesi pertambangan telah memicu pertikaian horizontal dan vertikal di warisan wilayah Bacan dan Jailolo. Mereka yang asal muasal satu keluarga, satu marga, satu suku, hingga satu bangsa mulai merasa berbeda dalam banyak hal yang lalu menjadi alasan untuk berdiri terpisah karena kepentingan yang berbeda sebagai dampak dari provokasi para eksploitir sumberdaya alam. Bumi Kie Raha saat ini sedang bergolak. Pemilihan dan keputusan gubernur defenitif dari pemerintah pusat yang tak tuntas, telah menjadi pemicu demonstrasi tak henti. 33 Kontrak Karya Pertambangan di Halmahera merupakan pijar-pijar besi pencetus bara konflik di bumi rempah-rempah itu. Pembangunan infrastruktur dan tuntutan zaman atas nama pembangunan menambah benih-benih baru konflik karena ancaman penggusuran terhadap kelompok-kelompok miskin dan terpinggirkan dari rumah dan halaman mereka yang tidak seberapa semakin nyata dan mendekat.
Mungkin sejarah selalu berulang sehingga diberi nama sejarah. Penjajahan Belanda dan Portugis di negeri seribu pulau pada zaman lalu telah memicu perlawanan penduduk setempat yang lalu melahirkan nama-nama bersejarah seperti Pattimura, Martha Chirstina Tiahahu hingga Nuku. Penjajahan gaya baru atas nama Kontrak Karya dan pembangunan juga mulai memicu perlawanan di Buni Kie Raha. Ketenangan samudra yang membentang dan memisah Tidore dan Ternate mulai mengombak karena kegelisahan dan kegulauan anak-anak negeri menghadapi berbagai desakan pergusuran dan pengambil-alihan sumber-sumber kehidupan mereka. Teriakan diam putra-putri negeri Kie Raha mulai mengalir dan mengusik nurani kemanusiaan, 3 diantaranya adalah perempuan-perempuan yang saya kenali sekilas karena keberanian mereka mengorganisir dan bertindak memimpin perlawanan terhadap penindasan dan pengisolasian. Mereka datang dari latar sosial dan ekonomi berbeda, namun terikat dalam suatu kesamaan yakni melakukan perubahan dari lingkungan masing-masing tidak hanya bagi kaumnya, tetapi juga bagi umat manusia.
Diana, demikian namanya, berusia 30an, energik, bicara meledak-ledak, berasal dari suatu desa nun jauh di pelosok Kie Raha di Halmahera Timur. Di musim hujan, desanya terisolasi karena akses jalan darat putus. Jalan udara dapat dilalui menggunakan pesawat Trigana, namun sangat terbatas karena hanya orang-orang tertentu yang memiliki duit untuk naik pesawat. Praktis di musim hujan, penduduk tidak bisa kemana-mana, mereka berkonsentrasi mengurus kebun dan sawah mereka. Namun saat ini, kebun dan sawah-sawah itu teracam diambil alih oleh perusahaan pertambangan dengan harga tanah yang sangat murah dan tidak masuk akal bagi penduduk setempat. Tekanan dan intimidasi oleh aparat keamanan semakin meningkat. Dalam negosiasi-negosiasi ganti rugi, rasanya perusahaan dan pemerintah berdiri satu pihak lalu menggunakan aparat keamanan melakukan intimidasi diam dengan cara melakukan penjagaan bersenjata lengkap di sekitar tempat negosiasi. Pada awalnya, Diana adalah perempuan desa biasa yang pasti merasa terintimidasi melihat aparat bersenjata. Namun, saat selesai mengikuti suatu pelatihan paralegal yang diadakan oleh suatu LSM di Kota Ternate, kesahayaan perempuan ini pun berubah. Dia secara perlahan mulai maju dan memimpin perlawanan komunitas dalam negosiasi-negosiasi ganti rugi lahan. Tidak itu saja, sepak-terjangnya pun meluas mendampingin korban-korban kekerasan dalam rumah tangga maupun korban-korban kekerasan aparat terhadap rakyat di wilayah-wilayah terisolir seperti desa-nya yang jauh dari jangakauan LSM ataupun aparat pemerintah yang lebih bijak di Kabupaten ataupun kota Provinsi.
Naomi, seusia Diana, guru SD di suatu Kelurahan di Kota Ternate. Naomi berasal dari suatu kampung yang disebut minoritas di Kota Ternate, yakni kampung Tabanga. Mayoritas keluarga di kampung ini beragama Kristen, sehingga mereka disebut minoritas dalam populasi Ternate yang Muslim. Konon nenek moyang mereka didatangkan oleh kesultanan Ternate dalam suatu era kesultanan tersebut guna membantu Sultan mengatasi hama babi hutan. Karena itu Sultan meminjamkan tanah kesultanan sebagai tempat tinggal mereka. Zaman berlalu, demikian juga dengan Sultan yang berganti, generasi baru minoritas pun lahir dan beranak pinak di wilayah tersebut. Mereka lalu menjadi bagian dari kehidupan sosial dan politik setempat hingga kesultanan menjadi bagian dari Republik. Namun, kondisi kehidupanan para minoritas ini tetap tidak mengalami perubahan. Konflik sosial beberapa tahun silam makin menyulitkan mereka, karena mereka harus mengungsi dari tanah kelahiran mereka itu. Tanah pinjaman yang telah memberikan kehidupan dan menghidupkan generasi baru. Saat damai bersemi, para pengungsi itu kembali ke kampung halaman-nya itu, dengan segala keterbatasan yang ada dan ketidak-pastian haknya atas tanah. Tetangga mereka yang Muslim hanya bisa meminjamkan lahan ala kadarnya bagi mereka untuk berusaha menyambung hidup di bumi satu-satunya yang mereka kenal sebagai tempat kelahiran. Menyadari kesulitan komunitasnya, Naomi yang mendapatkan dukungan salah satu LSM di Kota Ternate, mulai aktif mengorganisasi komunitasnya untuk mendapatkan perhatian pemerintah daerah setempat. Lobby2 ke Kantor Pemberdayaan Perempuan dilakukan untuk mendapatkan pendampingan bagi kelompok-kelompok perempuan di kampung tersebut guna meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan mereka agar memiliki kemampuan usaha sendiri guna secara bertahap membebaskan diri dari keterbatasan ketersediaan sumberdaya alam dan lahan usaha. Bersama beberapa teman sekampung dan pendampinan LSM, mereka juga meloby pemerintah daerah guna mendapatkan bantuan dan fasilitas kredit usaha. Loby intensif dan tak kenal lelah akhirnya berbuah jua. Walikota Ternate memimpin suatu team mengunjungi kampung tersebut sebulan silam guna bedialoq langsung dengan warga. Suara diam mereka akhirnya terdengar telinga bijak sang pemimpin negeri. Walau jalan masih panjang demi memperoleh kepastian hak sebagai warga, namun Naomi telah menyemai benih dan menjembatani suatu dialog melintasi perbedaan minoritas – mayoritas.
Nurjani, perempuan berjilbab yang selalu berbicara dalam ketenangan terukur. Matanya bersinar saat berbicara menyingkapi kabut di wajah teduhnya karena memikirkan kondisi komunitasnya. Nurjani berasal dari kampung Toniku, suatu kampung yang sangat terisolir dari hiruk pikuk pembangunan dan fasilitas, terutama fasilitas pendidikan dan kesehatan dasar. Satu sekolah hanya diajari oleh satu guru merupakan suatu kondisi yang luar biasa sekaligus bukti keterisolasian kampung Nurjani. Kondisi komunitasnya yang terisolir makin memiskinkan komunitasnya. Mereka hanya bisa hidup dari apa yang ada tanpa bisa berbuat lain guna mendapatkan bantuan fasilitas Negara untuk mengangkat harkat hidup mereka sebagai manusia sekaligus warga negeri ini. Etah dari mana pengetahuan itu diperoleh Nurjani. Nurjani lalu mengajak beberapa ibu untuk membentuk kelompok ibu-ibu pengolah hasil laut yang lalu berlanjut menjadi kelompok simpan pinjam. Di tempat lain, mungkin apa yang dilakukan Nurjani adalah hal biasa saja, namun di Toniku hal tersebut merupakan sesuatu yang luar biasa karena butuh ketekatan, kenekatan dan juga kerja keras. Ketekunannya berbuah, sehingga Nurjani yang hanya tamatan SD itupun diangkat menjadi Ketua PKK di desa-nya. Padahal Nurjani bukan lah istri seorang Kepala Desa – yang biasanya secara otomatis menjadi Ketua PKK. Kerja keras itu terus berlanjut, saat ini, Nurjani dan kelompok-kelompoknya sedang bernegosiasi dengan Dinas Perikanan Kabupaten setempat guna memperoleh bantuan 50 juta rupiah bagi pengembangan ekonomi kelompok yang tentunya akan berdampak pada ekonomi kampung. Dalam keterisolasian itu tersimpan mutiara talenta yang sangat berharga.
Dahulu kala, sejarah mencatat seorang perempuan Maluku bernama Martha Christina Tiahahu melakukan perjuangan bersenjata melawan penjajahan kolonialis. Apakah sejarah juga akan mencatat perjuangan Diana, Naomi dan Nurjani melawan penindasan, pemiskinan dan peminggiran mereka? atau kaumnya ataupun komunitasnya?. Mungkin ya, mungkin juga tidak… karena mereka hanyalah perempuan-perempuan kecil yang melakukan hal-hal kecil bagi negeri ini, namun perbuatan mereka merupakan hal-hal besar bagi kaum dan komunitasnya.
Walau mungkin apa yang mereka lakukan tidak tercatat dalam sejarah Kie Raha apalagi negeri Indonesia tercinta ini, namun paling tidak saya telah menceritakannya kepada anda yang membaca email ini. Bahwa nun jauh di ufuk Timur, ada 3 dari ribuan perempuan tak dikenal negeri dan dunia sedang memimpin perlawanan dan peperangan terhadap keterisolasian, keterpinggiran, kemiskinan dan ketidakberdayaan komunitasnya atas pergusuran dan penindasan pembangunan. Jejak waris Tiahahu di Bumi Kie Raha!!! Perempuan-perempuan itu sedang menorehkan sejarahnya dalam perjalanan komunitasnya dan bangsa ini.
MENJEJAK BUMI TERNATE : Merenda Suara Orang Orang Kalah
Mentari mulai berselimut senja, saat pesawat yang ku tumpangi dari Manado melandai menyusuri pantai berombak putih yang terus menggapai diantara liukan ribuan nyiur berjejer menyapa bisu dalam kedamaian pelukan Pulau Ternate – sejenak mengentak ingatan ku ke masa-masa kecil di sekolah desa saat belajar sejarah Nusantara.
Ternate dalam sejarah merupakan Kerajaan Islam tertua di Timur Nusantara di republic ini. Kesultanan Ternate berpusat di Pulau Ternate dan sekarang menjadi Kota Ternate – ibukota Provinsi Maluku Utara.
Saat kaki ku menjejak bumi Kesultanan itu, kehangatan bayu senja menyapa mesra kulit tubuh ku serasa membisiki “selamat datang di Bumi Kie Raha”. Mata ku menyapu tulisan yang terpampang di atas bukit “Airport Sultan Babulah”, demikian nama airportnya. Kaki ku menjejak tanah bersama yang lain memasuki bus kuning milik bandara yang telah menunggu beberapa meter di samping pesawat yang ku tumpangi lalu menghantar kami ke gedung airport yang terletak di atas bukit. Saat kaki ku menjejak, mata ku menyapa panorama tak bertara yang terhampar indah membentang nyiur melambai bersanding mesra rerumputan hijau di selingi rumah-rumah penduduk. Di penghujung tanah , buih-buih putih ombak sedang berkejaran tak berkesudahan membentang memisah Ternate dengan beberapa pulau dan gunung menjulang ke langit jingga – Gunung Tidore, demikian informasi teman perjalanan ku. Lalu yang disana?, Tanya ku menunjuk gunung lain di Pulau yang sedang ku jejaki…”Gunung berapi Gamalama, imbuh teman ku… tak terasa mata ku terbelalak mengetahui keberadaan ku di kota itu diapit 2 gunung berapi dan mungkin ada gunung-gunung berapi lain di sekitar situ?.
Hmmmm tak sempat berpikir lebih jauh, para sopir taxi bandara mulai menyapa dengan senyum ramah menawarkan taxi masing-masing. Aku hanya menggeleng pelan sambil menunjuk teman seperjalanan ku… memindahkan lobby dan negosiasi mereka ke teman ku … sambil diam mengamati orang-orang yang sedang sibuk dengan urusan masing-masing… beberapa jemaah haji yang baru kembali disambut hangat keluarga dan handai taulan, menambah semaraknya senja pertama ku di kota Ternate. Tak lama berselang, bagasi kami tiba kemudian beralih ke sopir taxi yang telah disetujui teman ku untuk mengantar kami ke hotel. Dalam perjalanan bandara – hotel, si sopir dengan ramah menceritakan berbagai hal tentang daerahnya, termasuk gonjang-ganjing PILKADA di provinsi tersebut. Analisis dan kesimpulannya tentang siapa yang akan memenangkan pertarungan tersebut cukup meyakinkan – walau kemudian ternyata meleset jauh pada saat MK mengumumkan keputusannya tentang sengketa tersebut. Aku hanya tersenyum sendiri mendengar keputusan itu sambil mengingat ocehan si sopir taxi.
Saat taxi membelah kota, mata ku menyapu berbagai aktivitas penduduk di saat malam menjelang. Mulut ku htak berhenti bertanya ini dan itu…. Kadang tanpa ditanya pun sopir taxi telah bercerita dan menyediakan informasinya… termasuk informasi gedung Kesultanan, saat taxi memintas di depannya… terletak diam di atas bukit menghadap lautan membentang dijaraki halaman luas, jalan raya dan lapangan bola menghadirkan kesan taksim dan respek bagi yang lewat… berbagai bangunan baru berbentuk ruko juga sedang mengeliat di sela-sela rumah dan bangunan tua sepanjang jalan yang ku lalui bersama rombongan. Kota yang bersih, demikian kesan pertama yang ku peroleh sepanjang jalan… hingga tiba di hotel Corner yang menjadi tempat inap saya dan rombongan…
Esok hari saat sang surya menyapa jendela kamar, mata ku menatap kagum gunung berapi berselimut kabut yang terpampang garang tak bergeming… dihiasi kehijauan pepohonan rimba….ternyata penduduk kota itu hidup dalam pelukan sang gunung berapi… dari tahun ke tahun… kalau meletus, laharnya tidak ke arah kota… karena gunung tersebut terdiri atas beberapa lapisan…. Dimana yang kita lihat dari sini adalah lapisan terluarnya… demikian keterangan teman-teman ku di kota tersebut saat ku ajak ngobrol tentang gunung berapi tersebut….
Hari kedua hingga keempat ku di kota itu disibukan oleh urusan kantor… rapat sana rapat sini tiada henti kecuali untuk makan siang dan minum sore sejenak…
hari kelima di kota Ternate merupakan hari petualangan dan rekreasi… aku harus mengunjungi beberapa tempat untuk mengkofirmasi kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan teman-teman di kota tersebut. Mata ku tak henti mengagumi keindahan alam yang terbentang….
Tumpukan karang hitam muntahan sang gunung berapi tersebar di beberapa tempat sepanjang perjalanan hotel – desa yang akan dikunjungi… gelombang biru lautan yang saling berkejaran lalu menghempas buih-buih putih makin menguatkan lukisan alam itu… pulau berbentuk gunung yang sedang dijilati lidah-lidah ombak nan tegak di tengah samudra makin mengharu biru tatapan mataku…. Luar biasa, imbuh ku dalam hati… indah tak terperi… yang hanya bisa dilihat potongan kecilnya pada mata uang 1000 rupiah…
Setelah berkunjung dan berbicara dengan beberapa penduduk di 2 desa, teman-teman seperjalanan ku, mengajak singgah ke danau Tolero yang terbentuk dari hasil letusan gunung berapi di Pulau itu… dikeliling jurang dan pepohonan hijau… nafas ku serasa berhenti sejenak menikmati keindahan dan kesahduannya… mata ku hanya bisa memandang air danau berwarna hijau terang yang sedang direnangi beberapa ekor buaya nun jauh di bawah kaki ku… teman seperjalanan ku lalu mencari beberapa batu sekepalan tangan dan meminta ku melempar ke danau sambil hati ku membisiki sesuatu ke alam sekitar…’untuk buang sial dan dapat rejeki”, kata teman seperjalanan ku…. Tangan mengayun kuat melempar batu dalam genggaman sambil berbisik lirih ke semilir bayu dan gemulai dedaunan hijau… tak tahu ke mana batu itu mendarat…. Hanya sayup terdengar kecipakan air nun jauh di bawah…. Tak berapa lama… rombongan ku pun menapak masuk ke mobil tuk meneruskan perjalanan… teman-teman mengajak ku mengeliling pulau tersebut--- yang lingkar kelilingnya adalah 42 km, kata mereka…. Kalau belum kelilingi pulau… berarti belum datang ke Ternate… kata mereka…. Sambil tersenyum, ku iyakan saja ajakan mereka….
Setiba kembali di kota, kami mampir sejenak di suatu warung sambil menunggu teman yang akan Jumatan… sang pemilik warung tidak bisa melayani kami karena waktunya Jumatan… karena itu, kami yang tidak sembahyang Jumat, hanya duduk dan ngobrol di dalam rumah makan tersebut, sambil menunggu selesainya Jumatan sehingga kami bisa memesan makan dan minum mengganjal perut yang telah keroncongan… Setelah makan siang, rombongan kami lalu beranjak ke Pasar Gamalama di Kelurahan Gamalama dan Pasar Bastiong di Kelurahan Bastiong.
Di Gamalama, saya bertemu ngbrol dengan beberapa PKL yang terancam digusur pemerintah kota… beberapa kali upaya pergusuran itu dilakukan, termasuk dengan cara membakar keranjang-keranjang mereka, namun dengan gigih mereka berjuang untuk mendapatkan kompensasi yang adil… tentu saja perjuangan mereka mendapatkan dukungan dari lembaga teman-teman seperjalanan ku… dari Gamalama, kami beranjak ke Bastiong…
cerita di Gamalama, Bastiong, Tabangan dan Takome mengingatkan ku akan buku “Cerita Orang-Orang Kalah”…. Sejarah mereka di buku itu terwujut kembali di tempat-tempat yang ku kunjungi… walau selalu dikalahkan, namun mereka tak lelah berjuang untuk mengapai keadilan… demi sesuap nasi dan hari depan anak cucu mereka… aku hanya bisa medesah diam…. Merenungkan keindahan alam bumi yang sedang ku pijak bersanding kegelisahan orang-orang kecil, kaum yang terpinggirkan… tanpa terasa, waktu harus mengakhiri pertemuan kami… hanya ucapan penghiburan dan motivasi yang bisa ku sembahkan…
26 Januari 2008…
Hari terakhir ku di kota yang penuh keramahan itu… pesawat yang sama akan ku tumpangi ke Manado… kemudian berganti pesawat kembali ke hiruk pikuk dan pelukan polutan kota Jakarta… dengan cerita pergusuran yang sebangun, yang hangat saat ini adalah Barito… lalu akan menyusul pasar buku Kwitang… lalu yang lainnya…. Cerita mereka yang kalah itu akan terus berlanjut dan berenda dari satu ke yang lain… dari Jakarta hingga Ternate….
PELAYANAN PUBLIK : Meretas Jalan Baru Mengayuh Dunia Antah Berantah di Habitat
PELAYANAN PUBLIK : MERETAS JALAN BARU MENGAYUH DUNIA ANTAH BERANTAH DI HABITAT
Desau ombak mengalun mellow mengelus mesra tepian pantai Tanrusampe, Binamu Jeneponto telah mengayunkan ku di kelelapan malam dalam kamar hotel Bintang Karaeang yang terletak di tepian pantai tersebut. Suara serangga malam makin membuai tubuh dan pikiran ku dalam kesenyapan tidur malam ku…. Mimpi malam itu tak bersisa saat semburat di ufuk timur bersama kicauan burung dan desau gelombang membangunkan ekstasi tidur panjang ku yang melepaskan total rasa penat dan capek perjalanan Makassar – Jeneponto – Bulukumba – Jeneponto sekaligus pertemuan-pertemuan marathon dengan lembaga-lembaga independen pengawal Pelayanan Publik di Jeneponto dan Bulukumba.
Tubuh ku terus terbaring dalam diam menikmati nyanyian alam di pagi itu. Pikiran ku mengembara kembali ke hari-hari perjalanan kemarin. Makssar – Jeneponto dalam waktu tempuh 2,5 jam perjalanan bermobil serasa menapak rute udara Jakarta – Makassar. Berbeda dengan perjalanan udara, perjalanan darat menghadirkan panorama indah sepanjang jalan…. Mayoritas jalan yang terlalui beraspal mulus terutama untuk rute Makassar – Gowa – Takalar dan sebagian rute Takalar – Jeneponto. Menjelang kota Jeneponto, jalan mulai berlubang di sana dan di sini… sopir mobil yang ku tumpangi menginformasikan bahwa sebagian dari jalan tersebut baru saja diperbaiki beberapa bulan silam… dengan bercanda ku tanggapi saja bahwa sebagian duit pembangunan ditabung pelaksana proyek sehingga kualitas dan kuantitas bahan dikurangi yang mengakibatkan jalan yang baru diperbaiki tersebut telah berlubang-lubang setelah 2 – 3 bulan dilalui kendaraan yang lalu lalang… sang sopir hanya mengangguk-angguk tanpa memahami ke mana arah pemibicaraan ku sampai ku jelaskan detailnya barulah wajahnya sumringah tanda mengerti yang dilanjutkan dengan komentar-komentar sarkastiknya…
Lepas dari kondisi jalan tersebut, perjalanan Gowa – Takalar – Jeneponto menyajikan perpaduan panorama hijau persawahan luas membentang dilingkari bebukitan hijau di ujung horizon… rumah-rumah penduduk dengan antene TV nan menjulang berlomba dengan pertumbuhan menara-menara komunikasi dan tiang-tiang listrik yang berjejer sepanjang jalan seperti bersaing dan berdesak-desakan dengan pohon-pohon asam rimbun yang berjejer sepanjang jalan yang membelah areal persawahan ke kiri dan kanan. Mata ku menangkap beberapa kumpulan kerbau yang asik bercanda ditingkahi tarian burung-burung sawah yang terbang silih berganti tak henti… sesekali panorama tersebut berganti jejeran rumah-rumah penduduk dengan antenna-antena TV dan juga spanduk berbagai usaha dan juga kampanye para pemimpin daerah yang tersenyum sumringah menatap jalanan membuai angin lewat serasa menyapa kendaraan yang lalu silih berganti yang dijejeri bentangan jemuran rumput laut di jalan-jalan terlewati.
Menapaki jalan Takalar – Jeneponto, panorama secara perlahan mulai berganti--- kehijauan sawah mulai berganti kecoklatan padang tambak garam luas membentak hingga tepian laut di ujung langit biru lembayung. Jalanan di depan rumah-rumah penduduk dihiasi karung2 garam berbagai ukuran… di beberapa tempat hiasan tersebut berganti jejeran kios kecil memajang Ballo – minuman tradisional dari pohon lontar serta rangkaian buah lontar muda yang dijual sebagai kudapan…. Berani mencoba? Tanya sang sopir…. Maaf belum bisa sekarang…. Aku hanya kuatir sakit perut saat tiba di Jeneponto, sementara sejumlah agenda pertemuan harus dituntaskan di kota tersebu lalu beralih ke Bulukumba… rencananya saat balik ke Makassar, aku akan mencoba tantangan tersebut… sayangnya kami balik di pagi hari saat para pedagang belum menjajakan dagangannya sehingga keinginan mencoba hanya bisa dipendam...
Menejelang kota Jeneponto, jalan mulus mulai dihiasi lubang… mobil bergucang ke kiri dan kanan… kerikil berlapis aspal pun beterbangan tiada henti saat tergilas pinggiran ban… tak terasa mentari terik sedang garang di siang itu saat tubuh ku memasuki haribaan kota Jeneponto.. aku meminta sopir mencari rumah makan untuk mengisi perut terlebih dahulu sebelum datang ke tempat rapat. Sopir menawarkan coto dengan daging kuda… dengan senyum kecut aku menolak tawaran tersebut karena tidak terbayangkan untuk mencicipi daging kuda yang adalah binatang kesayangan ku saat kecil di desa. Sang sopir pun bertutur tentang segala makanan yang berdaging kuda sebagai bagian dari kekayaan budaya kuliner Jeneponto. Kami akhirnya mampir di rumah makan yang menyajikan menu ikan bandeng bakar, ayam goreng dan sop. Setelah bersantap siang, saya lalu menuju lembaga yang menggagas dan mengawal kelahiran Perda Pelayanan Publik – suatu jalan baru meretas rimba birokrasi lokal yang sukar dilalui para pegiat Ornop… dunia antah berantah… jalan penuh tantangan yang akan ku tapaki dalam mendorong teman-teman di habitat ku untuk bekerja bersama kaum birokrat dan legislator progresif melalui Tata Kelola Pemerintahan Daerah – jalan baru yang sedang ku retas merangkai setapak gagasan, konsep hingga kerja-kerja riel di sektor Pelayanan Publik yang mulai tumbuh bertebaran di seantero pelosok, terutama Sulawesi… Jeneponto dan Bulukumba telah mengawalinya… Makassar sedang mengikuti… dimana dan kapan lagi yang menyusuli… merenda serpihan-serpihan yang sama di Bima, Jawa Timur, Semarang dan Lampung… mendorong tersedianya standar pelayanan minimal dan mekanisme penanganan keluhan di sektor Pelayanan Publik sebagai pilihan ku kembali berkarya di habitat… “Selamat datang kembali ke HABITAT”, demikian teman-teman pergerakan di Sulawesi Tengara menyapa ku saat bertemu mereka kembali 3 bulan silam saat kunjungan pertama ku meretas jalan baru di provinsi tersebut.
Tanpa terasa ngobrol asyik selama 4 jam telah menyapa rembang petang saat harus pamit melanjutkan perjalanan ke Bulukumba. Salam perpisahan dengan sejumlah agenda untuk membangun kerjasama terukir indah di buku catatan yang selalu menyertai perjalanan ku. Mobil yang ku tumpangi kembali menyusuri jalanan aspal menuju Bulukumba dalam waktu tempuh 1,5 jam di ujung hari. Kontak yang ku peroleh dari seorang teman di Makassar menjanjikan untuk menjemput ku saat tiba di kota yang hanya selalu ku lewati bertahun silam saat masih berkarya di KEMALA… saat ini, secara khusus aku berkunjung ke kota tersebut untuk bertemu para pengurus Komisi Transparansi dan Partisipasi – yang proses pembentukannya di mulai tahun 2003 silam melalui Perda Transparansi dan Partisipasi di Kabupaten tersebut. Jalan yang ku lalui terus menyusur tepian teluk Bone menghadirkan keharuman angin laut bersama tarian gelombang menyapa pantai sang kekasih abadinya.
Panorama jalan masih dihiasi hamparan sawah hijau hingga wilayah Bantaeng yang mulai berganti tambak-tambak garam membentang sejak tepian jalan hingga bibir pantai Lamalaka yang terlihat telanjang dari kaca mobil yang ku tumpangi. Jejeran perahu nelayan berbaris rapi seperti para tentara yang berbaris diam dan bisu.....Saat mobil memasuki kawasan Bantaeng – Balukumba, paparan alam mulai berubah kocoklatan karena dihiasi pohon-pohon yang merangas dedaunannya dan rumput-rumput kering seperti menanti tetesan air langit dengan penuh kerinduan. Jarak antar ketiga kabupaten tersebut tidak lah terlalu jauh, namun panorama yang kontraktif itu terus menghadirkan tanya tak terjawab hingga aku kembali ke hutan-hutan beton di tempat tinggal ku yang telah ku akrabi tahun demi tahun.
Akhirnya, aku tiba juga di kota Bulukumba. Kontak person yang telah ku hubungi menjemput ku di suatu pertigaan untuk mempertemukan ku dengan 2 pengurus teras Komisi Transpransi dan Partisipasi. Kami bertemu dan ngobrol di Warung Kopi. Ketua dan Sekretaris Komisi beserta anggota DPRD serta beberapa birokrat sedang kongkow sore di Warung Kopi tersebut sehabis mengikuti siding DPRD hari itu yang membahas RAPBD tahun 2008. Kontak ku lalu memperkenalkan ku dengan mereka, namun aku tidak sempat bersua tangan dengan sang anggota DPRD karena ketidak-peduliannya untuk berkenalan dengan ku…”siapa sih loe… saya bukan lah kelas mu” kata hati sang legislative… bhatin ku… aku pun mengacuhkannya hanya berjabatan tangan dengan yang lain terutama para pengurus dan anggota Komisi yang berada di Warkop tersebut… lalu mengalun lah obrolan yang terkait pada dinamika proses kelahiran Perda dan Komisi tersebut… suatu perjalan berliku penuh warna menohok berbagai kepentingan yang harus dikompromikan melalui tekanan public tak henti sejak awal prosesnya di tahun 2003 hingga kelahirannya di tahun 2006 bersama gonjang ganjing pemilihan pengurus selama 1 tahun hingga angin keterbukaan mulai menghampiri di tahun 2008 dengan adanya alokasi anggaran di RAPBD Kabupaten setempat bagi Komisi tersebut memulai perjalanannya sebagai suatu sejarah baru bagi public Bulukumba….
Malam sedang menggoda mayapada saat mobil yang ku gunakan memutar balik dan menyusuri jalanan Bulukumba – Bantaeng – Jeneponto… aku memutuskan berhenti dan menangguk malam di Kota Kuda itu… menikmati deburan ombak teluk bone yang sedang bercengkrama dengan bibir-bibir pantai…. Mendekapkan diri dalam pelukan sang bayu yang sedang berdansa diiringi nyayian para jangkrik dan burung malam… melelapkan tubuh dan jiwa ku dalam ayunan empuknya haribaan hotel nan apik dan bersih serta terawat. Ketukan di pintu mengembalikan ku ke hari baru yang akan ku lalui… menyusuri kembali perjalanan Jeneponto – Takalar – Gowa – Makassar untuk selanjutnya bertolak ke Palu lalu Kendari bertemu teman-teman lama di habitat sambil meretas jalan baru mengayuh dunia antah berantah Pelayanan Publik sebagai salah satu bentuk nyata aplikasi prinsip-prinsip GOOD GOVERNANCE melalui fasilitasi reformasi sektor Pelayanan Publik.
New SEKDA for West Papua Province
Mr. Geroge C. Auparay SH, MH is the new SEKDA for the province. His previous job as Head of the Provincial Development Planning Body (BAPPEDA). He is the selected candidates of three, the other two are Mr. Rumadas who is the Interim Sekda and Mr. Kapisah who is the first assistant of the provincial government.
Before Mr. Aupray inauguration, politic tension had been inceresed since suporters, followers and aslo allies of two candidates (Mr. Auparay and Mr. Rumadas) got into demonstrations to support each of their nomenee. The opposants of the Mr. Rumadas have blocked his office. as return, his supporters tried to lay a public base for him. Each of supporters of the candidates made consolidation and tried to get the best way to take out the opponent.
Majority of Mr. Rumadas' proponents used media to get public awarness for getting more supporters. Otherways Mr. Auparay's proponents create a task force to lobby and negotiate with the top level of the government officers particularly in Jakarta. They had meeting days and nights to ensure Mr. Auparay is going to get the new position. Members of the task force ever went to Jakarta for making sure and carring out President Decree on the new Sekda.
Since they were busy with the activities, I had a little bit difficulty to have some officers time in dealing with UNDP works in the province. When I required some officers to sit in an Interview Panel as part of recruitment process to hire new staffs for UNDP field office in West Papua, they could not be on time because of the business. However Mr. Auparay has been pointed out as the New Sekda at last. His inauguration on May 26, 2007 has shut down the controversy. The situation became normal softly so the officers has got back to their official activities.
IJB Annual Work Plan : Long way of lobbying
Annual Work Plan (AWP) is a basic need for programme implementation. that's why AWP is principle to do first. For the AWP in IJB, i had tried to lobby some stakeholders in Manokwari to develop AWP together, especially BAPPEDA IJB as implementing partner of UNDP in executing the programme named People centred Development Programme (PDP) at province level and 2 kabupatens are Raja Ampat and Fakfak.
After some delayings, the stakeholders could sit together to develop the AWP by a workshop on March 13 to 14, 2007. Bappeda IJB was the host for the meeting. They made an OC for the purpose consist of Hermus Indou (Kabid Sosekbud Bappeda), Jaenab, Imanuel, Eddi, Max with full support of others staffs in Bappeda office. I just provided them with ToR, registration form and vehicles rental.
At one day before the workshop, i received money for the workshop which sent from UNDP contry office in Jakarta by off my account because of UNDP procedures and regulations againts time of the workshop was too close. if we followed the prosedures and regulations to get money for an activity by third party, it would take a week or more for getting money to hold the workshop so Patricia who is Finance Assistant of UNDP Papua office in Jayapura and Hermin who is Administration Assistant of MSU UNDP country office in coordination with Financial Unit of UNDP country office decided to send money for the workshop by my account because I am UNDP staff in Manokwari of course. I took the money and delivered all of them to Jaenab who is person in charge of the OC for financial.
I myself was busy with guests from Jakarta and Jayapura. Yanti Lacsana who is Programme Manager at country office in Jakarta, my direct supervisor named Paul Sutmuller who is Programme Coordinator for province of Papua and IJB, Reinjte Kawengian who is a consultant of Cap2015, Wira who is Programme Officer at national level and also DR. Pungky Sumadi who is Deputy of Poverty of Bappenas as NPD of the proggrame. The guests arrived on March 12. PC is the first one arrived with Merpati after delaying for about 6 hours in Manado and Sorong. the others arrived with Batavia.
I picked up and dropped them to Fajar Roon Hotel. i left them a vehicle rental to use in case they want to walk around the city or to another place. i left them at the hotel and went back to coordinate with the OC that i can support them if needed.
Finally, the workshop was success. The presence of the workshop developed an AWP for 2007 with more than 9 billion rupiahs totally as its budget and also a final draft of Letter of Agreement between the provincial goverment and UNDP.
I have to say thank you very much for Hermus and his colleagues which handled the workshop properly. I will invite them for having a lunch without payment as my thanks
Day By Day At Duty Station : How to enjoy the routine days
January 16, 2007.
Finally, I and my supervisor met governor of West Papuaafter a long process of lobbing. I thought, the governor would meet us for some minutes. However the meeting took almost 2 hours.
At the first time, we only wanted to meet Deputy of Governor after getting deal with his assistant. However, the deputy facilitated us to meet the governor. When the governor knew my supervisor can speak Dutch, he welcomed to speak the same language. I was surprised when the governor spoke Dutch fluently. We used bahasa Indonesia, Dutch and English to talk about anything in the meeting, especially existence of the program in Papua Barat to support government and civil society in capacity building and fund for developing the province.
Everything becomes easy after the meeting. The different situation I got before. As I knew that is the riel situation in my lovely country, especially in eastern Indonesia. Paternalistic system is still very strong that make everything has to pass by boss first. If the boss has been okay, anything will be okay too.
Actually I am getting stress here because of slow process of the program implementation. Besides negative influence of the Bug to the head of Bappeda, I saw the others also don’t have initiatives to do something better. They only wait for commands from their boss. It seems they have been satisfied on their position as government officers. Some of them even play badminton or make gossips only on the office hours. They don’t have official activities to do. On upper level, they are always busy with travel to somewhere, especially to Jakarta. They spent most of the time to work at out site.
January 26 – February 5, 2007.
I got annual leave for 10 days. Actually I only have 6 work days for that. But I took them close to weekend days so I took 10 days totally. I left Manokwari at the afternoon on January 25 used Batavia Air. When I arrived in Jakarta, I decided to stay one night at hotel to enjoy myself with pleasure. I stayed at Twin Plaza Hotel.
I did not do something special in Jakarta. I only took care moving and my business (Warung Ceker) with my partner. We spent time together sometimes in Starbuck or JCO with serious discussion about business or only talked gossips. I also did shopping and went to premiere movie at Senayan City to refresh and eliminate work stress that I got in Manokwari. I have been being 4 days in Jakarta when flood disaster hit the city. Fortunately I have already moved to a new house to make my staff are safe from the flood. However I could not be back to Manokwari on February 4 as I planned because of no flight on the date and the day after that. The options were February 2 or 6. I decided to take 6 February for flying back to Manokwari. I called Jayapura office to tell the situation. The officer told me she will advance my annual leave to cover my 2 days leave in advance. To anticipate problem on road from home to the airport, I decided to stay one night at a hotel nearby the airport. After got information form some hotels, I decided to stay in Ibis Slipi where I could take exercise, sauna and whir pool in Santika Hotel.
I am leaving Jakarta on February 6 in light rain in the morning. I arrived in Manokwari around 4pm because of flight delaying in Makassar 2 times since one of the airplane wheels have problem. I was afraid with the condition. However, I arrived in Manokwari finally. No one picked me up so I took an airport taxi to drop me at home. When I arrived at home, I only met the house lord’s daughter who told me her mom and dad went to pick me up at the airport. Her parent came back 30 minutes later. They told me their route to the airport has been blocked by carnivals to celebrate the first Injil enlightenment in Papua which was started at island of Mansinam (a small island lies in front of town of Manokwari).
February 18, 2007.
I went to the Petrus Amban church like usual. I always try to go to the church every Sunday. I don’t know why I am more religious than before. When I was in Jakarta I only visit church sometimes if I remembered to do or I wanted to request or prayed for something special.
Anyway, I spent almost 2 hours in the church today because of many singer groups donated their voice of honor to God. I counted 7 singer groups sung variety of songs. I was surprised with their gold voice. I thought some of them will be able to become stars for Indonesian Idol if they want to go into the selection. I also thought about organized them with other gold voices in eastern Indonesiato perform them to national to international stages. The first I thought was starting by eastern region selection to select them by some professional agencies. Finally I knew those are imagination only. They are not realistic to apply because of facility limitations.
Well, that is another side of my lovely country. There is a big gab between western and eastern. Western part of the country has many well facilities than eastern, even for public use. Western always has better than eastern. More eastern is worst, even though the central government always state to speed up development in eastern I knew those are only statement without riel action until now. On the other side the officers in the eastern are more corrupt. They spent a lot of development fund to pleasure their self in western, especially big cities in Java or Australia, Singapore, Thailand, Europe or America.
Terbang Menerbang : Antara Merpati - Expressair dan Batavia Air
Di Indonesia, mayoritas pengguna jasa penerbangan udara pasti cukup mengenal Merpati sebagai salah satu airlines terkemuka yang melayani mobilitas penduduk hingga ke daerah-daerah terpencil di seluruh pelosok negeri, termasuk Papua. Layanan penerbangan Merpati di pulau ini sangat signifikan membuka isolasi daerah-daerah pegunungan Papua yang hanya dapat dijangkau menggunakan jasa penerbangan udara. Tanpa Merpati dan berbagai penerbangan perintis lainnya, dapatlah dipastikan bahwa daerah-daerah terisolir di Papua tidak akan terjangkau oleh layanan pembangunan secara cepat.
Pada sisi lain, layanan maskapai ini tidak mengalami peningkatan kualitas dari tahun ke tahun. Selalu tidak on time telah menjadi kebiasaan buruk maskapai ini. Sepertinya, waktu bukan lah sesuatu yang berharga bagi Merpati. Berulang kali menggunakan jasa Merpati, membuat saya mulai muak terhadap layanan yang tidak professional dari Merpati. Manajemen penumpang juga sangat buruk, kadang 2 penumpung memegang boarding pass dengan seat yang sama – yang lalu menimbulkan saling tunjuk hidung saat boarding yang membuat pramugari dan pramugara jadi kebingunan mengatur penumpang. Banyak diantara armada pesawat yang digunakan juga telah tua, terutama ke wilayah-wilayah Indonesia Timur. Menggunakan jasa penerbangan Merpati harus siap terhadap ketidak-pastian seat hingga waktu keberangkatan dan kedatangan yang juga tidak pasti.
Saya pernah mendapatkan pengalaman buruk beberapa tahun lalu saat harus menggunakan jasa penerbangan Merpati. Saat itu, saya masih bertugas sebagai Program Officer KEMALA untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Maluku. Biasanya saya menggunakan jasa penerbangan Garuda. Namun suatu saat, saya tidak mendapatkan seat di Garuda untuk penerbangan Jakarta – Makassar, sehingga saya menggunakan penerbangan Merpati untuk Jakarta – Makassar yang diteruskan ke Kendari – Makassar – Palu – Makassar – Jakarta. Saat kembali dari Palu ke Makassar, terjadilah kasus saya tidak bisa berangkat pada tanggal penerbangan yang telah tercatat di tiket karena seat saya telah dijual ke orang lain dengan alasan saya tidak rekonfimasi tiket saya untuk penerbangan Makassar – Jakarta. Padahal seseorang di kantor Merpati Makassar telah menelpon saya sehari sebelumnya untuk rekonfirmasi tersebut. Saya akhirnya marah-marah lalu mengatakan akan menuntut Merpati untuk membayar biaya hotel dan kerugian waktu saya karena tidak bisa kembali ke Makassar. Mendengar hal tersebut, staf yang menelpon meminta waktu untuk bicara dengan Kepala Perwakilannya. Lalu dia menelpon lagi dan mengabarkan bahwa saya dapat berangkat pada hari yang sama tetapi jam berbeda. Saya tidak setuju dan menuntut berangkat ke Jakarta pada tanggal dan jam yang tercantum sesuai tiket, karena jadwal meeting saya telah menyesuaikan dengan tanggal dan waktu perjalanan balik saya ke Jakarta. Setelah beradu argument beberapa kali melalui telpon, akhirnya saya dapat berangkat pada tanggal dan jam seperti yang tertera di tiket. Ternyata saat pesawat take off di Bandara Hassanudin Makassar, saya melihat masih terdapat 10 seats yang kosong. Padahal saat beradu argument di telpon, mereka mengatakan seat penuh. Gila.
Pengalaman buruk saya yang lain adalah saat saya menggunakan jasa penerbangan Merpati dari Jakarta ke Ambon. Saat akan check in di subuh hari sekitar jam 5am, petugas check in mengatakan bahwa pesawat tidak bisa berangkat karena sedang terjadi kerusakan teknis. Waktu terus berjalan sampai sekitar jam 8pagi saat beberapa penumpang mulai menuntut agar dialihkan ke maskapai lain yang berangkat ke Ambon pada hari yang sama. Setelah urus sana urus sini, sekitar 1 jam kemudian petugas mengatakan bahwa tiket yang kami pegang adalah tiket penumpang cadangan sehingga tidak bisa diprioritaskan menggunakan jasa penerbangan lain. Betapa marahnya saya dan beberapa penumpang lain bernasib sama karena merasa ditipu oleh Merpati. Setelah negosiasi beberapa kali, akhirnya disepakati, tiket kami akan diubah statusnya menjadi OK, tapi dengan penerbangan esok hari. Untuk itu, pihak Merpati memberi ganti rugi uang transport ke para penumpang.
Esoknya, saat saya check in, saya diberitahu bahwa tiket saya hanya berstatus OK sampai ke Makassar. Tentu saja saya jadi marah-marah karena tujuan saya adalah Ambon, bukan Makassar. Saya minta bicara dengan Kepala Kantor – yang lalu dipertemukan dengan duty manager – yang memberi janji akan menelpon ke Makassar untuk memastikan saya mendapatkan seat Makassar – Ambon. Karena tidak mau dikadalin, saya meminta identitas lengkap bersama no telponnya. Namun, ternyata sesampainya di Makassar, saya tidak mendapatkan kesulitan, karena petugas mengatakan bahwa seat untuk saya telah tersedia karena telah mendapat telpon dariJakarta.
Demikian, 2 pengalaman buruk saya saat menggunakan jasa penerbangan Merpati. Saya akhirnya berjanji pada diri saya bahwa penggunaan jasa penerbangan Merpati hanya akan saya gunakan sebagai pilihan terakhir semata, jika penerbangan ke tempat tujuan masih bisa menggunakan jasa penerbangan lain. Jika tidak, maka tentu saja tidak ada alternative, sehingga saya harus siap mental menghadapi kekacauan manajemen Merpati.
Pengalaman buruk saya lainnya adalah saat menggunakan jasa penerbangan Expressair dari Manokwari ke Jakarta pada tanggal 18 Desember 2006 – guna mengikuti meeting IFAD dan launching People centered Development Program (PDP). Saat itu seat yang masih tersedia hanyalah Expressair, karena Batavia dan Merpati telah closing hingga tanggal 24 Desember. Tanpa berpikir dua kali, saya memutuskan membeli tiket expressair penerbangan Manokwari – Jakarta pada tanggal 18 Desember 2006, pukul 11 pagi. Saya diminta check in pada pukul 9am. Namun, saya baru tiba di airport Redani Manokwari pada pukul 9.30. Pada saat check in, petugas mengatakan bahwa pesawat terlambat sekitar 2 jam, karena itu keberangkatan pukul 11 akan menjadi pukul 13. Saya lalu memutuskan untuk check in saja dan menunggu di airport. Ternyata keputusan yang saya sesali kemudian, karena keberangkatan pesawat tertunda sampai sekitar pukul 15.
Kurang ajarnya, tidak ada sedikitpun informasi diberikan kepada para penumpang tentang penundaan berjam-jam tersebut. Penumpang dibiarkan menunggu dalam ketidak pastian di ruang tunggu yang sangat panas, pengap dan penuh asap rokok serta bau keringat menyengat yang berbaur campur aduk.
Pengalaman yang agak berbeda saya dapatkan di maskapai Bataviasaat saya menggunakan jasa penerbangan tersebut dari Jayapura ke Manokwari pada tanggal 2 Januari 2007.
Pada beberapa kalangan, Batavia Air dikenal cukup tepat waktu dan memberikan pelayanan yang cukup professional. Saya pernah menggunakan jasa penerbangan maskapai ini beberapa tahun silam saat mengunjungi keluarga di Kupang – Timor Barat. Keluarga saya juga selalu menggunakan jasa Batavia saat berkunjung ke Jakartaataupun Jogja – tempat tinggal adik bungsu saya.
Dulu saya tidak pernah memperhatikan kualitas layanan Batavia. Namun, setelah mengalami beberapa kali pengalaman buruk dengan beberapa maskapai penerbangan, maka saat akan menggunakan jasa suatu penerbangan saya mulai memperhatikan dan mengingat cara dan kualitas pelayanan para airlines, termasuk Batavia tentunya.
Karena baru mulai memperhatikannya saat pertama kali menggunakannya dari Jayapura ke Manokwari pada tanggal 2 Januari 2007 tersebut, maka saya belum mendapatkan banyak hal untuk dibandingkan dengan maskapai lainnya.
Dalam catatan saya, cara dan kualitas layanan saat check in cukup baik. Pengalaman buruk saya dengan Batavia Air terjadi saat boarding. Karena saya harus memindahkan semua barang bawaan saya dari Jayapura ke Manokawari, maka saat check in saya harus membayar lima ratus ribu rupiah untuk kelebihan bagasi. Itupun setelah mengeluarkan 1 koper kecil yang saya pikir dapat saya tempatkan di hand carry bagasi diatas seat saya di pesawat.
Saat boarding, saya berusaha menjadi orang terdepan sehingga bisa mendapatkan tempat lapang bagi bagasi saya. Saaat memasuki pesawat dari pintu yang terletak di ekor pesawat. Saya berpapasan dengan para pramugari yang berdiri mengamati para penumpang yang mulai memasuki pesawat. Saat berpapasan itu, saya mencoba tersenyum, namun ternyata senyuman saya tidak berbalas. Mereka hanya diam pasang muka tembok. Saat saya berusaha memasukan kopor kecil saya ke tempat bagasi diatas seat saya, tidak ada seorang pramugari pun yang bergerak membantu, walau melihat saya kesulitan memasukan koper ke tempat bagasi. Satu diantara mereka hanya berkomentar bahwa koper saya terlalu tebal. Saat saya bertanya “lalu bagaimana”?. Pramugari yang berkomentar tentang ketebalan koper saya itu lalu menunjuk row kursi belakang sambil berkata “coba taruh sini saja, mungkin tidak ada penumpangnya”, lalu dia kembali ngobrol dengan temannya sesame pramugari – alias mengacuhkan kesulitan saya. Mereka ngobrol sendiri. Demikian pula saat pesawat tiba di Manokwari, senyum mereka tak sekilas pun tersungging. Saya hanya melihat mereka tersenyum saat ada penumpang yang ingin membeli barang jualan mereka di atas pesawat. So BETAPA MAHALNYA senyuman pramugari Batavia Air L.
Merry Christmas 2006 & Happy New Year 2007
Bagian 3 : Merry Christmas 2006 & Happy New Year 2007
Bagaimana rasanya merayakan 2 hari besar itu sendirian di tempat yang jauh dari orang-orang terkasih?. Campur aduk L antara kerinduan, kenangan, ingin tahu dan menikmati berbaur menjadi satu bagaikan gado-gado.
Sebagai orang baru di kota Jayapura, saya telah mencari dan mendapatkan informasi tentang gereja yang dapat saya datangi untuk beribadah di hari-hari minggu biasa ataupun di hari raya Nataldan Tahun Baru. Gereja Kristen Indonesia (GKI) Maranatha di Kota – dekat kantor UNDP dan GKI Paulus di Angkasa – dekat tempat tinggal saya. Tentu saja, saya memilih gereja Paulus yang lebih mudah dan cepat diakses. Masalahnya, saat tiba di Jayapura tanggal 22 Desember, saya tidak punya informasi apapun tentang jadwal ibadah Natal, termasuk jam-jam beribadah. Karena itu, saya hanya mencari informasi melalui Imanuel – biasa dipanggil Iman – seorang polisi muda keponakan pemilik rumah kontrakan saya. Iman juga tidak tahu pasti jam-jam ibadah di gereja Paulus. Dia selalu beribadah di Gereja Maranatha – dekat dengan kantornya.
Walau demikian, sore tanggal 24 Desember, saya diberitahu oleh Nadia (staf Unicef) – yang bersama saya dan Popon Andarwati (specialist monev UNDP) mengontrak 1 rumah secara bersama – bahwa Iman dan 2 temannya akan bersama-sama saya ke gereja pada jam 7 karena gereja akan dimulai jam 8 malam. Saya mengiyakan saja pemberitahuan Nadia, tanpa konfirmasi langsung ke Iman di sebelah rumah. Saat jam menunjukan angka 7pm, saya melongok ke sebelah untuk mencari Iman – yang ternyata telah berangkat bersama Buce (seorang temannya, sesama polisi) – tinggal Minggus – yang ternyata tidak ke Gereja. 1 sepeda motor yang tersedia juga telah dipakai Pince (adik istri pemilik rumah kontrakan) ke Gereja yang berbeda (Pince beragama Khatolik). Saat mengetahui saya akan ke gereja – tapi tanpa teman ataupun kendaraan, maka Pak Bustari dan istrinya (pemilik rumah kontrakan) menawarkan diri untuk mengantar saya ke gereka menggunakan mobil mereka. Saya pun mengiyakan lalu berbalik ke rumah menyiapkan diri berangkat ke gereja untuk mengikuti ibadah malam Natal tanggal 24 Desember.
Singkat kata, saya tiba di gereja diantar mobil pak Bustari. Umat yang beribadah sangat banyak – hingga tumpah ruah ke halaman. Tenda dan kursi di halaman juga tidak cukup, sehingga banyak jemaat yang mengikuti ibadah dengan duduk di tembok-tembok pagar gereja yang cukup lebar sebagai alas duduk. Ibadah juga telah berlangsung – sehingga saya sadar bahwa kehadiran saya mengikuti ibadah malam Natal tersebut sudah sangat terlambat. Kemungkinan ibadah dimulai jam 7pm, sehingga saat saya tiba sekitar jam 7.30pm ibadah telah berlangsung 30 menit.
Situasi tersebut membuat ibadah malam Natal saya tidak berlangsung dengan khusuk. Hanya seperti mengikuti ritual biasa, tanpa memberikan makna dan kenangan tersendiri. Selesai ibadah saya pulang menggunakan ojek. Akhirnya, malam Natal tanggal 24 Desember tersebut saya habiskan di depan TV. Paginya pada tanggal 25 Desember, saya tidak berniat mengikuti ibadah pagi karena tidak mengetahui jam ibadah. Kuatir kejadian semalam terulang, saya memilih menghabiskan waktu di tempat tidur sambil mengikuti ibadah dan kidung-kidung Natal di radio.
Saya tidak ingat jam berapa pagi hari tanggal 25 Desember 2006, saat pintu diketuk seseorang. Saya beranjak membuka pintu dan mendapatkan Pince (keponakan ibu Bustari) mengucapkan salam Natal. Salamnya ku balas sambil acungkan tangan bersalaman, lalu Pince mengundang saya dan Nadia untuk merayakan Natal bersama keluarganya – pak Bustari dan istri serta anak-anaknya beragama Islam. Namun Pince dan Iman (keponakan) serta Minggus (polisi muda yang tinggal di keluarga tersebut) beragama Kristen. Komposisi yang hampir sama dengan di rumah kontrakan saya. Saya beragama Kristen, sementara Nadia dan Popon adalah Muslim.
Memenuhi undangan tersebut, saya pun mandi dan bersalin lalu bersama Nadia beranjak ke rumah sebelah mengucapkan salam, jabat tangan dengan semuanya (pak Bustari, istri dan anak-anaknya, yakni Ayu dan Aldi serta Pince, Iman dan Minggus). Kami lalu makan dan minum bersama sambil bercakap-cakap tentang berbagai topik. Diantara waktu-waktu tersebut, teman-teman Pince dan Iman juga berkunjung ke rumah tersebut merayakan Natal bersama keluarga tersebut. Setelah ngobrol ngarol ngidul selama hampir 2 jam, saya dan Nadia pun pamit kembali ke paviliun kami di sebelah rumah pak Bustari.
Liburan tahun baru 2007 telah dimulai pada tanggal 30 Desember 2006. Tentu saja dikarenakan tanggal 30 adalah hari Sabtu – weekend. Saya dan Nadia (Popon telah cuti dan sedang berlibur di Bali dan Lombok) menghabiskan waktu di rumah dengan berbagai urusan seperti membersihkan rumah, masak atau hanya duduk ngobrol, nonton TV dan mendengarkan radio. Jika saat memasak tiba, saya kebagian memasak lauk karena Nadia tidak bisa memasak lauk. Nadia kebagian menanak nasi dan bersih-bersih peralatan makan minum. Untuk nonton TV, Nadia selalu nonton di rumah keluarga Bustari karena pavilun kami hanya memiliki 1 TV yang terletak di kamar saya. Bosan dengan TV dan radio, saya mengutak-atik laptop dan PDA saya J.
Tanggal 31 sore hari berawan di Jayapura, saya, Nadia dan Haryo (OM UNDP kantor Jayapura) berjalan-jalan mengitari kota Jayapura. Tentu saja kami harus menggunakan fasilitas kendaraan umum – yang tentunya melanggar aturan standar security UN tentang penggunaan kendaraan umum. Namun, karena fasilitas kendaraan yang disediakan kantor hanya dapat dipakai pada weekdays atau melalui special request untuk pemakaian di luar jam kerja – yang tidak ingin saya gunakan, maka kami menggunakan kendaraan umum saja untuk jalan keliling kota.
Untuk mencapai “kota” saya dan Nadia berjalan kaki sekitar 5 menit dari rumah ke pangkalan ojek. Perjalanan tersebut tiada terasa karena indahnya view ke lembah dan teluk Jayapura – saya sempatkan mengambil beberapa foto menggunakan mobile phone SE K 800i yang baru saya beli di Jakarta tanggal 21 Desember. Di pangkalan ojek, kami menggunakan 2 ojek menuju Lumba-lumba (Dok V) lalu berganti menggunakan taxi kota (angkot) ke kota Jayapura. Tempat pertemuan yang kami sepakati dengan Haryo adalah Toko Buku Gramedia – yang ternyata tutup saat kami tiba di tempat tersebut. Saya lalu menelpon Haryo yang telah beralih ke Gelael (dekat Gramedia) – untuk menunggu kami. Saya dan Nadia lalu berjalan memutar ke belakang Gramedia menyusuri trotoar jalanan – yang juga dipenuhi orang yang hilir mudik mengisi waktu akhir tahun. Kami lalu bertemu Haryo di depan Gelael lalu menyeberang ke kawasan pertokoan di jalan Irian dan berjalan menyusuri jalan tersebut. Nadia mampir beberapa menit di Apotek Sehat membeli sesuatu. Saya dan Haryo juga ikutan masuk untuk cuci mata – yang mana kami melihat Apotek tidak hanya menjual obat-obatan, tetapi juga jam tangan berbagai merek dan mainan anak-anak. Saya dan Haryo saling memandang lalu sama-sama tersenyum simpul – hanya mata kami yang mengomentari satu sama lain tentang kondisi tersebut.
Saat Nadia menyelesaikan transaksinya, kami bertiga berjalan keluar dan terus menyusuri jalan Irian menuju jajaran pertokoan kotaJayapura. Sepanjang jalan para pedagang petasan, kembang api, terompet warna warni berjejer dikerumuni para pembeli yang akan merayakan pergantian tahun tengah malam nanti. Di sana sini juga terdapat para pedagang sirih, pinang, duren, mangga hingga tenunan tas tradisional Papua (noken), gelang dan berbagai pernak-pernik hiasan leher, tangan hingga kepala yang terbuat dari benang wol warna –warni. Aslinya pernak-pernik tersebut terbuat dari kulit kayu yang sangat lentur dan khas warnanya.
Sambil berjalan dan melihat-lihat kami mengobrolkan berbagai hal. Kadang saya berhenti untuk mengambil beberapa foto – termasuk saat-saat sang Mentari secara bertahap mengayunkan langkahnya menuju peraduan. Senja kala hampir tiba – saat penduduk kotaJayapura dan sekitarnya mulai tumpah ruah ke jalan-jalan dan kawasan pertokoan tersebut untuk berbelanja merayakan pergantian tahun ataupun hanya sekedar jalan dan window shopping.
Kami bertiga mampir ke toko Prima Garden – pemilik dan penjual kopi bermerek Prima Garden – yang sangat terkenal di Jayapura maupun bagi para pelancong penikmat kopi. Sayangnya – tempat nongkrong sambil minum kopi di ruko yang digunakan sebagai tempat penjualan tutup. Kami lalu terus menyusuri jalanan kotasambil melihat berbagai aktivitas sepanjang perjalanan kami. Beberapa menit kemudian kami mampir ke Sagu Plaza. Di Plaza tersebut tersedia toko penjual roti – yang cukup enak dan layak untuk dicicipi. Kami lalu memesan kopi dan beberapa potong roti lalu duduk minum sambil ngobrol. Obrolan kami lebih banyak didominasi oleh Haryo yang “curhat” tentang berbagai hal terkait pada kerjaannya sebagai OM UNDP kantor Jayapura. Sepertinya Haryo telah sangat pesimis dan putus asa dengan pekerjaannya – kontraknya akan selesai tanggal 15 Januari 2007, dimana dia tidak ingin memperpanjang lagi kontraknya – sampai dengan tanggal 15 Januari 2007, Haryo akan telah bekerja selama 1 tahun di Jayapura – merupakan rekor tersendiri menurut teman-teman kantor Jayapura, karena kebanyakan staf level Haryo tidak pernah bertahan sampai 1 tahun di Jayapura.
Semua cerita Haryo bernuansa negative dan pesimistik. Tak ada optimsme sama sekali, namun saya tidak memberi komentar yang berlawanan – saya berusaha memaklumi saja karena melihat kondisi Haryo yang penuh kekecewaan terhadap pekerjaannya. Saya tidak memberi komentar macam-macam karena saya juga baru mulai terlibat sebagai bagian dari keluarga UN – saya belum terlalu tahu suka dan dukanya, positif dan negatifnya. Berbagai cerita Haryo saya tempatkan sebagai masukan berharga. Saat tiba di rumah, Nadia hanya berkomentar bahwa Haryo seperti orang yang telah sangat “desperado”.
Singkatnya, kami bertiga menutup acara obrolan dan jalan-jalan kami dengan makan malam di restoran hotel Dofonsoro. Kami memesan sup aspragus kepiting sebagai makanan pembuka. Lalu memesan cah sapi sabe hijau dan cah kangkung bunga pepaya sebagai makanan utama bersama jus sirsak.
Saat tiba di rumah sekitar jam 9 malam, pak Bustari sedang mempersiapkan api unggun dan arang untuk memanggang ikan guna merayakan perantian tahun. Para tetangga sekitar juga sedang mulai merayakan pergantian tahun dengan membakar petasan dan kembang api warna warni.
Malam berhiaskan gumpalan-gumpalan awal kelabu yang berlarian ke sana ke mari karena tiupan angin – yang menghadirkan rekahan-rekahan kecil munculnya cahaya lembut sang rembulan serasa mengintip berbagai aktvitas tahun baru di lingkungan tempat tinggal ku di kawasan Angkasa AURI. Setelah bercakap-cakap beberapa menit dengan pak Bustari dan istrinya, saya lalu beranjak ke dalam rumah merebahkan diri di sofa panjang sambil membaca novel Warisan Ksatria Templar – mengisi dan menunggu waktu berjalan menuju detik-detik pergantian tahun. Di luar rumah, aktvitas kembang api, petasan, bakar ikan hingga karaoke terus berlanjut hinggar bingar tiada berhenti.
Sayup-sayup telinga ku menangkap musik dan pekikan ritmis dari pucuk-pucuk pohon belakang rumah. Saat saya tanyakan ke Ayu (putri sulung pak Bustari) saya mendapatkan informasi bahwa the Papuans sedang merayakan pergantian tahun dengan acara “bakar batu” sambil menari dan menyanyi. Dari berbagai literature dan informasi mass media yang beredar, saya mengetahui bahwa acara bakar batu merupakan suatu ritual keberasamaan suku-suku di Papua – sebagai ekspresi kedamaian dan kegembiraan merayakan sesuatu.
Pergantian tahun dari tahun 2006 ke tahun 2007 dirayakan dengan acara makan malam bersama oleh keluarga pak Bustari dan para tetangga yang berkunjung. Satu meja besar digelar di halaman depan – yang lalu dipenuhi dengan ikan bakar, ketupat, nasi, daging, sayur, buah dan air mineral. Musik berdentam-dentam mengiring pesta kembang api dan petasan yang susul menyusul membelah tamaram malam yang disinari cahaya rembulan diiringi nyanyian, teriakan dan tarian ritmis penduduk asli Papua.
BERSAMBUNG
Merenda Hari di Jayapura
Bagian 2 : Merenda Hari di Jayapura
Kamis, 21 Desember 2006.
Menggunakan pesawat Garuda pukul 21.55, saya meninggalkan Jakarta menuju Manokwari melalui Jayapura. Karena sebagian besar barang-barang saya masih tersimpan di Jayapura dan juga saya harus melapor dan koordinasi dengan kantor UNDP Jayapura, maka saya telah meminta kantor UNDP Jayapura untuk mengotorisasi perjalanan saya ke Jayapura – yang adalah prosedur standar UNDP. Permintaan saya tersebut disetujui oleh Program Coordinator UNDP – sehingga sebelum ke Manokwari saya mampir di Jayapura selama beberapa hari. Tak banyak cerita yang bisa dituturkan tentang perjalanan tersebut, karena perjalanan di malam hari membuat saya memilih tidur daripada berjaga. Perjalanan udara ini tentu saja seperti rute regular Garuda menuju Jayapura dengan menyinggahi Bandara Ngurah Rai di Dempasar serta Bandara Timika hingga berakhir di Bandara Sentani – Jayapura pada pukul 8.00 atau 8.30AM.
Di Bandara Sentani pada pagi hari tanggal 22 Desember 2006, saya telah dijemput Pak Bustari – pemilik rumah yang saya kontrak. Walau bermaskas di Manokwari, namun pada 2 minggu pertama masa tugas ku di Jayapura membuat saya memutuskan untuk mengontrak satu rumah mungil di daerah Angkasa Jayapura – milik pak Bustari. Angkasa merupakan daerah elit di Jayapura. Rumah-rumah di kawasan tersebut mayoritas milik pejabat pemerintah dan pengusaha sukses. Halaman untuk setiap rumah cukup luas untuk tempat parker 10 – 20 mobil jenis kijang J. Udaranya masih dingin dan bersih – seperti di daerah Puncak. Kabut sore menjelang malam hingga embun subuh menyongsong pagi masih dapat ditemui di daerah Angkasa. Tinggal di kawasan Angkasa seperti tinggal di kawasan gabungan Pondok Indah di Jakarta Selatan dengan kawasan Puncak yang berudara segar, bersih bahkan kadang dingin di subuh hari. Rumah-rumah besar dengan halaman luas serta view kawasan pantai – laut dan pulau-pulau kecil sekitar teluk Jayapura sangat mempesona di pagi hari kala mentari tersenyum mesra dan membelai lembut penuh kehangatan ataupun di sore hari saat sang surya bergegas ke peraduannya di penghujung malam.
Sepanjang perjalanan, saya dan pak Bustari ngobrol ngarol ngidul tentang berbagai topik sampai kami tiba di rumah. Saya mengucapkan terima kasih lalu turun dan beranjak ke rumah mungil ku. Di kamar, tubuh ku hempas ke tempat tidur melanjutkan tidur ku yang terputus-putus sepanjang perjalanan udara Jakarta – Jayapura.
Di tengah teriknya mentari Jayapura, Marghareta (Program Secretary) menelpon saya meminta saya datang ke kantor untuk rapat penyusunan Annual Work Plan (AWP) 2007. Saya mengiyakan lalu melangkah ke kamar mandi guna menikmati kesejukan air pegunungan Angkasa. Kesegaran terasa mengisi setiap pori-pori tubuh ku saat butir-butir air mencecap dan mengaliri helai-helai rambut menelusur jejak kulit hingga jatuh di ujung-ujung jari kaki ku. Saat berganti pakaian selesai, mobil jemputan telah menunggu di halaman rumah.
Saat tiba di kantor, semua staf program telah berada di ruang rapat. Bhisnu (Team Leader Community Development), Illa Ladamay (Team Leader Perencanaan dan Review Kebijakan), Popon Andrawati (Team Leader Monev), Haryo Wibowo (Operation Manager), Robert Mandosir (Program Officer for Papua Province), Paul Sutmuller (Program Coordinator UNDP), Lambang (Specialist for Grant Mechanism), saya mengucapkan salam sambil tersenyum simpul lalu mengambil tempat duduk. Rapat dipimpin oleh Program Officer Papua Province karena Program Coordinator sedang cuti – walau secara fisik hadir di rapat hari ini. Keikut-sertaan saya ke pertemuan tersebut hanyalah untuk mengetahui proses-proses yang terjadi di kantor UNDP Jayapura Oleh karena status saya di kantor UNDP Jayapura adalah “tamu”. Walau demikian, sesekali saya mengajukan pendapat, memberi komentar mengomentari atau usul saran terhadap topik-topik rencana kerja yang dibahas.
Selama beberapa hari di Jayapura, saya hanya mengisi waktu dengan mempelajari berbagai dokumen serta diskusi informal dengan bagian operation dan specialist yang ada – karena beberapa diantara mereka telah cuti ke hometown maupun ke tempat liburan seperti Bali dan Lombok.
Pada tanggal 29 Desember, hari terakhir weekday di bulan Desember, staf tersisa di kantor diundang makan siang untuk merayakan ulang tahun Sylvia Fofid (Operation Assistant / OA) di pantai Bass G Jayapura. Saat jam makan siang tiba, hanya tersisa 3 staf, yakni saya, Haryo (OM) dan Marghareta. Kami lalu diantar Frans (driver) ke pantai Bass G. Namun kami lah rombongan pertama yang tiba, karena itu saya berinisiatif mengambil berbagai foto guna mengabadikan keindahan pantai tersebut. Tentu saja tak lupa foto-foto diri saya dan teman-teman di lokasi tersebut juga saya abadikan sebagai suatu kenangan dari sebagian perjalanan hidup dan karir ku.
Pantai Bass G, demikian nama tempat rekreasi tersebut. Saya tidak dapat menelusuri asal usul nama tersebut. Konon, pada waktu-waktu lampau, pantai tersebut merupakan salah satu tempat rekreasi favorit bagi warga Jayapura. Sayangnya, banyak pihak di sekitar kawasan pariwisata itu lalu melakukan klaim klaim terhadap kawasan itu dan memungut distribusi yang besarnya ditetapkan sendiri-sendiri – sehingga memberatkan para pengunjung. Akibatnya, terjadi penurunan drastis pengunjung ke kawasan tersebut. Padahal, kawasan wisata tersebut sangat indah dinikmati. Gelombang laut nan biru berlomba menuju pantai menepuk butiran-butiran pantai bersama buih-buih putih seperti salju beringan dengan belaian lembut sang bayu semilir di bawah bayang-bayang sejuknya ratusan pohon ketapang dan kelapa.
BERSAMBUNG
Tapak Tapak Pembawa Ember
Manokwari – Jakarta – Jayapura
Minggu, 17 Desember 06
Melepaskan diri di akhir pekan, terutama di hari minggu merupakan sesuatu yang menyenangkan. Walau tak banyak yang bisa dikunjungi untuk dilihat di Manokwari.
Hari ini, saya bangun jam 6 pagi seperti biasa walau di hari Minggu, ternyata jendela tidur harian ku tidak bisa diajak kompromi untuk tidur melewati jam 6 pagi. Karena ketiadaan kesibukan hari ini, maka saya mengisi waktu dengan baca buku lalu main game di PDA ku. Ingin nonton berita, namun di Jakarta baru jam 4 subuh sehingga dapat dipastikan belum ada berita di televisi.
Saat jam menunjuk angka 8 pagi, kaki ku menjejak lantai menuju kamar mandi. Setelah cuci muka dan sikat gigi, saya menuju meja makan menyantap makan pagi dan teh panas yang telah disiapkan pemilik rumah kost ku. Selama tinggal di rumah kost ini, saya mulai terbiasa makan pagi – yang bukan roti panggang dan aneka jus sebagaimana kebiasaan pagi ku di Jakarta. Ibu kost saya memiliki katering dan usaha penjualan kue sehingga saya tidak kesulitan mendapatkan makanan enak di tempat tinggal ku di Manokwari. Saat pulang ke rumah di sore hari, 1 gelas teh panas bersama sepiring kue telah menanti. Tanpa terasa kebiasaan itu membuat berat badan ku mulai naik. Celana ku mulai terasa sempit sehingga menyadarkan saya untuk lebih berhati-hati mengkonsumsi makanan dan minuman.
Manokwari tidak memiliki fasilitas hiburan dan olah raga yang cukup layak seperti di Jakarta ataupun Jayapura. Fasilitas outdoornya juga sangat minim. Hanya tersedia 1 fitness club dengan peralatan sederhana yang mulai lapuk. Karena tiada pilihan lain, maka saya akhirnya memutuskan untuk berolah-raga di tempat fitness tersebut. Semua anggota club fitness adalah laki-laki berbagai usia yang berolah-raga seadanya. Tempat fitness tersebut berukuran sekitar 20 m2 tanpa fasilitas AC apalagi loker. Tersedia 2 kamar mandi menggunakan bak air - yang tidak pernah digunakan oleh para anggota - nampak dari kotor dan joroknya kamar mandi tersebut. Air di bak-bak mandi tersebut seperti tidak pernah diganti hari berbilang bulan. Jendela-jendela ruang fitness sangat lah kecil seperti jendela-jendela penjara. Saat suatu hari saya bercakap-cakap dengan salah satu tukang bersih-bersih tempat tersebut, saya mendapatkan informasi bahwa berbagai peralatan sederhana yang digunakan tempat fitness dibeli dari Pasar Rumput Jakarta beberapa tahun silam.
Waktu untuk exercise pun sangat singkat, yakni pukul 16.00 s/d 18.00. Walau hanya 2 jam, namun ternyata banyak anggota yang hanya berolahraga sekitar 30 s/d 60 menit saja karena udara yang sangat panas, pengap dan bau keringat yang sangat tajam dari para member. Baru latihan 15 menit saja, keringat telah mengucur deras dari semua pori-pori tubuh. Saking panas dan pengapnya ruangan tersebut, kadang beberapa member tidak memakai baju ataupun bersepatu dan bersandal alias telanjang dada dan kaki saat berolah-raga.
Di hari Minggu pagi s/d sore sekitar jam 4, kota terasa Manokwari sepi dari kesibukan bisnis. Pertokoan, warung hingga restoran tutup sampai sekitar pukul 4 sore. Bahkan satu-satunya internet point di kota tersebut malah tutup selama hari Minggu. Karena itu, pada hari Minggu saya membiasakan diri beribadah di pagi hari lalu beristirahat di rumah. Kadang pak Jemie (pemilik rumah) mengajak saya keliling ke pantai dan tempat-tempat lain sekedar berkeliling mengahabiskan waktu.
Saya beribadah di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Petrus yang letaknya dekat kampus UNIPA - tentu saja dekat pula dengan rumah kost ku. Mayoritas jemaat di gereja tersebut adalah mahasiwa. Untuk ukuran setempat, gereja tersebut cukup besar dan memadai. Pada hari-hari besar Kristen, biasanya gereja penuh sesak oleh jemaat dan tumpah ruah sehingga pihak gereja biasanya menyediakan tenda tambahan di sisi-sisi gereja. Setelah 2 kali mengikuti ibadah di gereja tersebut, barulah saya sadari bahwa sepertinya ada aturan tidak tertulis tentang pemisahan tempat duduk para lelaki dan perempuan. Tempat duduk di gereja tersebut terbagi menjadi 3 kolom, yakni kiri, tengah dan kanan - yang saat saya perhatikan pengelompokannya menjadi sebelah kanan hanya diduduki kaum perempuan, bagian tengah diduduki oleh laki-laki dan perempuan, sementara bagian kiri hanya diduduki oleh para laki-laki. Kebersamaan antar jemaat sangatlaah kental. Selama 2 kali mengingikuti ibadah Minggu, saya tidak membawa buku nyanyian karena saya lupa bawa dari Jakarta. Saat puji-pujian dilantunkan, tetangga tempat duduk saya tidak segan berbagai buku untuk dinyanyikan bersama J.
Senin, 18 Desember
Hari ini saya berangkat ke Jakarta mengikuti 2 pertemuan di BAPPENAS, yakni pertemuan review hasil perjalanan team IFAD (International Fund for Agricultural Development) dan Launching People Centered Development Program (Program Pembangunan berbasis Masyarakat) untuk Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat. Keberangkatan ku ke Jakarta adalah menggantikan Program Coordinator (PC) UNDP yang tidak hadir karena mulai cuti pada tanggal 17 Desember. PC telah menginformasikan keberangkatan ku itu pada malam tanggal 16 Desember 2006, namun keputusan baru diambil pada tanggal 17 – yang mana Sekretaris Program menelpon saya dari kantor Jayapura meminta saya berangkat ke Jakarta secepatnya untuk mengikuti kedua pertemuan tersebut diatas. Setelah menerima telpon tersebut, saya pun go show mencari tiket ke agen penerbangan Merpati dan Batavia – yang sayangnya telah close sampai tanggal 24 Desember 2006. Karena itu, saya lalu meminta sopir mengantar saya ke salah satu travel agen yang ada di kota tersebut.
Saya akhirnya mendapatkan tiket penerbangan Expressair untuk keberangkatan tanggal 18 Desember ke Jakarta melalui Makassar. Walau sebenarnya saya ingin berangkat hari Sabtu atau Minggu tanggal 16 atau 17, namun saya tidak mendapatkan tiket keberangkatan pada tanggal tersebut. Apalagi tidak ada penerbangan pada hari Minggu di kota tersebut, sehingga saya akhirnya pasrah berangkat hari Senin.
Pada hari Senin, tanggal 18 Desember 2006, jam 9 pagi saya berangkat ke Airport diantar mobil pemilik rumah – yang saya bayar Rp. 100.000,- saya tiba di airport sekitar jam 9.30. Saat check in, petugas memberitahu saya bahwa kemungkinan penerbangan baru akan terjadi pada pukul 13.00, bukan pada pukul 11.00 sebagaimana tercantum di tiket. Karena saya malas kembali lagi ke rumah, maka saya putusin menunggu saja di airport – yang ternyata sangat melelahkan karena pesawat yang akan menerbangkan saya dan penumpang lainnya ke Jakarta via Makassar baru tiba pukul 15.00. Tentu saja saya dan penumpang lainnya sangat mendongkol, namun apa mau di kata. Kami tak punya pilihan lain selain pasrah menerima nasib menunggu di airport yang panas, pengap serta menikmati tajamnya bau keringat dan asap rokok yang berbaur menjadi satu.
Saat tiba di Jakarta, sang Dewi Malam sedang mulai mengintip peraduan sang Surya menunggu sang Surya melepaskan lelah diperaduannya. Saat keluar dari Airport Sukarno Hatta, kemacetan Jakarta langsung menyergap taxi yang ku tumpangi. Mobil beringsut perlahan sampai tiba di pintu tol pertama. Lepas pintu tol, perjalanan mulai lancar hingga tiba di rumah. Orang rumah kaget melihat saya tiba-tiba muncul di gerbang karena saya tidak memberi khabar apapun tentang kedatangan ku ke Jakarta. Setelah menyerahkan oleh-oleh dan ngobrol beberapa menit, saya lalu pamit untuk pangkas rambut sekaligus mampir sauna di Hotel Santika guna menghilangkan kepenatan sekaligus memuaskan kerinduan ku pada kebiasaan-kebiasaan harian ku saat masih di Jakarta. Tanpa terasa pukul 22.30 barulah saya tiba kembali ke rumah.
Selasa, 19 Desember.
Saat pagi merekah, saya meninggalkan peraduan langsung ke kamar mandi untuk cuci muka. Saya sarapan terlebih dahulu lalu beranjak ke kamar untuk mandi dan bertukar pakaian kerja yang telah disiapkan pembantu. Saya pun melangkah ke jalan raya guna mendapatkan taxi mengantar saya ke kantor BAPPENAS di Jl. Taman Surapati 2 – sebagai tertera dalam undangan – sebagai tempat pertemuan hari ini. Saat tiba sekitar pukul 9.20, ruangan yang rencananya akan digunakan untuk pertemuan masih gelap gulita, tentu saja masih dalam keadaan kosong. Satpam lalu bertanya ke OB yang lalu menyalakan lampu dan mempersilahkan saya menunggu dalam ruangan.
Karena waktu memulai pertemuan telah lewat, tapi berlum seorang pun yang nongol, maka saya menjadi gelisah dan bertanya-tanya dalam hati “apakah saya masuk ke tempat yang salah?”. Saya lalu menelpon Yani Marzidik dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) – yang saya kenal saat mendampingi team IFAD di Manokwari. Dari telpon itulah saya mengetahui bahwa pertemuan pagi itu ditunda ke lain waktu yang akan ditentukan kemudian. Mendapatkan informasi tersebut, saya lalu menelpon beberapa konsultan team yang saya kenal untuk konfirmasi berita tersebut, namun ternyata mereka juga tidak mengetahui langsung dari BAPPENAS, bahkan beberapa dari mereka telah dalam perjalanan ke tempat pertemuan dimaksud.
Tak berapa lama setelah telpon-telpon tersebut, seorang laki-laki memasuki ruangan tempat pertemuan – dimana saya seorang diri menunggu di dalamnya. Saya lalu tersenyum dan mengangguk, kami lalu bersalaman dan berkenalan. Namanya Adi dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal - rekan kerja Yani tentunya. Dia juga tidak mengetahui penundaan pertemuan tersebut, sehingga saya menyampaikan informasi yang saya peroleh dari rekan kerjanya itu. Kami lalu sepakat untuk langsung mendatangi dan meminta konfirmasi ke penyelenggara pertemuan (BAPPENAS). Setelah tanya sana-sini, akhirnya kami dipertemukan dengan seorang staf yang bertanggung-jawab terhadap pertemuan tersebut – yang mengkonfirmasi kebenaran penundaan waktu pertemuan tersebut. Setelah mendapatkan kepastian berita tersebut, saya dan Adi lalu keluar dan berpisah ke tempat kami masing-masing.
Saya lalu menuju kantor Jakarta – yang terletak di Menara Thamrin. Saat akan memasuki kantor tersebut, saya harus melewati pemeriksaan keamanan seperti biasa. Namun karena saya memiliki ID Card sebagai staf, maka pemeriksaan yang harus saya lalui tidak lah lama. Walau demikian, saya tetap saja harus mengisi formulir sebagai tamu – yang akan menemui seseorang di kantor tersebut – karena kantor saya di Manokwari – bukan di Jakarta. Petugas keamanan bertanya “siapa yang akan saya temui?” bu Yanti, jawab ku. Saya diminta menemui Adi – sang resepsionis - yang telah saya kenal karena kami telah ngobrol beberapa kali saat saya orientasi selama 3 hari di kantor UNDP Jakarta di awal recruitment ku. Adi lalu menelpon ke bu Yanti di dalam, kemudian saya diantar seorang petugas keamanan ke dalam. Rasanya aneh, karena saya diperlakukan sebagai tamu - walau saya memiliki ID card UNDP. Walau demikian, saya menerima saja keanehan tersebut sebagai bagian dari prosedur standar yang harus dilalui oleh staf UNDP yang tidak berkantor di Menara Thamrin.
Saat bertemu bu Yanti, dia sedang sibuk mepersiapkan acara launching People centered Development Program (PDP) Papua Irian Jaya Barat (PIRJA) - yakni salah satu acara yang akan saya ikuti pada tanggal 20 Desember sebagai bagian dari agenda kedatangan ku ke Jakarta. Salah satu kesibukan bu Yanti saat itu adalah mempersiapkan draf MoU yang akan ditanda-tangani oleh UNDP, BAPPENAS serta Gubernur Irian Jaya Barat dan Papua. Di sela-sela kesibukannya itu, kami ngobrol sana sini tentang berbagai aktivitas ku di Manokwari, termasuk masalah dengan si kutu. Ternyata bu Yanti serius menanggapi masalah tersebut sehingga dia langsung berjanji akan mengatur pertemuan dengan Bu Judith – yang adalah manajer proyek Cap2015 – tempat si kutu bekerja sebagai konsultan. Pada beberapa komentar, bu Yanti menyatakan bahwa si kut hanyalah konsultan – yang tidak memiliki otoritas menggunakan nama ataupun mengambil keputusan mewakili UNDP. Otoritas itu ada pada saya sebagai orang manajemen dalam posisi sebagai Program Officer.
Saya tidak menyangka bu Yanti secara serius menanggapi masalah ku dengan si kutu, saya hanya meminta agar bu Yanti membantu saya “menahan” si kutu sekitar 1 bulan di Jakarta sehingga saya punya waktu mempersiapkan pertemuan penyusunan Annual Work Plan PDP PIRJA 2007 antara UNDP dengan BAPPEDA Provinsi IJB. Oleh karena pada satu sisi, si kutu memusuhi saya sebagaimana telah saya ceritakan pada bagian 4 (Merenda Hari Menghadapi Masalah), pada sisi lain, dia memiliki pengaruh dan hubungan cukup dekat dengan Kepala BAPPEDA – yang harus saya dekati untuk mendapatkan keputusan politik darinya bagi dilakukannya pertemuan penyusunan AWP PDP 2007 dengan stafnya.
Singkat kata, acara launching PDP pada tanggal 20 sore di kantor BAPPENAS berlangsung sukses. Acara diawali penanda-tanganan MoU oleh BAPPENAS, UNDP dan Gubernur Papua – Gubernur IJB tidak hadir. Setelah itu, pidato-pidato, lalu konferensi pers kemudian makan malam. Sambil makan malam, team UNDP melobi Gubernur Papua untuk melakukan pertemuan tersendiri guna memdiskusikan kebutuhan cost sharing diantara kedua pihak. Segera setelah selesai standing dinner, kedua pihak bertemu di ruang pertemuan Menteri BAPPENAS selama sekitar 3 menit. Pihak UNDP terdiri dari Pak Bo, Ibu Marcia, Ibu Jiah, Ibu Yanti, Saya dan Robert (PO UNDP untuk Papua). Pihak Provinsi Papua terdiri dari Pak Gubernur (Pak Barnabas), Sekretaris BAPPEDA Provinsi (Pak Giay), Ketua Papua Multi Donor Advisory Board/PMAB sekaligus anggoda MRP (pak Madepa) dan Sekretaris Pribadi Gubernur (Ronald). Kedua pihak mencapai kesepakatan politik yang secara operasional akan ditindak-lanjuti oleh BAPPEDA Provinsi Papua dan Kantor UNDP Jayapura.
Pada tanggal 21 pagi, saya kembali berkunjung ke kantor Jakarta, karena keberangkatan ku ke Jayapura baru akan dilakukan pada tanggal 21 malam sekitar jam 10 menggunakan penerbangan Garuda. Di kantor, saya lalu dipertemukan dengan Bu Judith (Manajer Proyek Cap2015) oleh bu Yanti. Kami bertiga ngobrol di tempat bu Yanti. Saya lalu menceritakan lagi kisah yang sama ke bu Judith tentang masalah saya dengan si kutu yang adalah salah satu stafnya. Cerita saya diselingi berbagai komentar bu Yanti maupun bu Judith sendiri. Dari obrolan tersebut, saya mendapat kesan, bu Judith juga telah cukup mengetahui berbagai sifat buruk si kutu. Namun, dia menutup mata terhadap hal-hal tersebut, karena si kutu memiliki kemampuan lobby guna memuluskan proses implementasi berbagai kegiatan proyek di Irian Jaya Barat, terutama bersama BAPPEDA Provinsi sebagai mitra kerja. Pada sisi lain, bu Yanti bersikukuh bahwa si kutu tidak berwenang menggunakan nama UNDP dan tidak memiliki otoritas apapun apalagi menghalang-halangi saya sebagai PO UNDP - karena status si kutu hanyalah konsultan yang hired oleh Bappenas - bukan UNDP. Dari pembicaraan tersebut saya baru melihat ketegasan dan kemarahan bu Yanti yang belum pernah saya lihat selama interaksi saya denganya. Sementara disisi lain, bu Judith tidak memiliki jalan keluar untuk masalah tersebut, karena ketergantungannya yang cukup tinggi terhadap keberadaan si kutu di Manokwari guna memuluskan berbagai rencana kerja Cap2015 bersama BAPPEDA dan beberapa pihak terkait lainnya.
Saat bu Yanti mengusulkan suatu solusi – yang cenderung menjauhkan si kutu dari Manokwari, atasan si kutu selalu berputar-putar tentang kemampuan lobby dan network si kutu di Papua. Akhirnya kedua pihak sepakat agar masing-masing menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya. Secara khusus, saya meminta bu Judith untuk mengendalikan si kutu semampunya secara bertahap – sehingga tidak menimbulkan masalah baru lagi dengan saya di Manokwari. Tanpa terasa, obrolan kami telah memakan waktu berjam-jam sampai melewati jam makan siang. Bu Judith lalu meminta no telpon saya dan memberikan beberapa dokumen kerja Cap2015, termasuk rencana kerja tahun 2007 dan draf RPJM Provinsi IJB yang telah selesai kerjakan oleh BAPPEDA Provinsi IJB dengan bantuan para konsultan Cap2015. Karena saya harus terburu-buru belanja, maka documen RPJM tersebut, saya tinggalkan di bu Yanti dengan janji akan saya ambil copynya saat cuti bulan Januari 2007 ke Jakarta.
Saya lalu pamit ke bu Yanti lalu melangkah keluar dari kantor. Karena tidak punya waktu tersisa untuk makan siang, maka saya sempatkan diri membeli sepotong sandwich di kafe lantai dasar Menara Thamrin. Sandwich tersebut saya makan dalam taxi yang mengantar saya ke Mal Taman Aggrek guna bertemu Rico – yang telah membantu saya membeli beberapa pesanan para kolega saya di Jayapura sebagai hadiah natal. Patricia meminta dibeliin oleh-oleh parfum Kenzo Flower. Sylvia minta dibeliin Guci Samrud? Sementara Marghareta tidak meminta sesuatu, namun karena mereka bertiga selalu membantu saat saya perlukan, maka saya putusin untuk membeli saja parfum bagi ketiganya sebagai oleh-oleh. Karena telah menghitung ketersediaan waktu tidak mencukupi, maka saya telah meminta mitra bisnis saya, yakni Rico untuk membelikan dulu parfum-parfum tersebut.
Saya tiba di MTA sekitar pukul 16.30. Rico melalui telpon menyampaikan kepada saya bahwa sekitar pukul 17.00 baru kami dapat bertemu, karena saat itu dia masih sibuk menyelesaikan beberapa pekerjaan di kantornya yang terletak di lantai 5 MTA. Saya lalu mengisi waktu dengan berkeliling baca buku di Gramedia – akhirnya saya membeli 2 buah novel dan 3 buku pelajaran bahasa Inggris bagi level Advanced karena saya ingin meningkatkan kemampuan dan kefasihan berbahasa Inggris saya, terutama di bagian tulis menulis. Setelah lewat pukul 17.00, saya menelpon Rico untuk mendapatkan kepastian waktu kami bisa bertemu. Rico menyatakan segera turun ke lantai bawah, saya menunggu di depan Gramedia. Kami lalu bertemu dan berjalan ke counter penjualan HP karena saya ingin membeli HP baru mengganti HP Nokia saya yang telah cukup lama. Kami berdua akhirnya membeli HP Sony Ericson K800i yang sedang ngetren. Tanpa sempat makan malam berdua, kami langsung balik ke rumah menggunakan taxi karena waktu terus berjalan, padahal sekitar pukul 20, saya harus berangkat dari rumah ke Bandara – padahal kemarin, saya menyatakan akan traktir Rico, namun menyadari keterbatasan waktu yang ada – Rico katakan traktiran saya ditunda saja ke bulan Januari 2007 saat saya cuti ke Jakarta. Betapa baik dan penuh pengertiannya rekan bisnis sekaligus sahabat saya ini. Thank you my best friend J.
Merenda Hari Mengahadapi Masalah
Bagian 4 :
Selama hampir 2 minggu berada di Manokwari - IJB, saya hanya menemukan satu masalah yang cukup menggangu interaksi saya dengan para pejabat pemerintah setempat. Masalah tersebut disebabkan oleh maneuver-manuver salah satu konsultan proyek Cap2015. Saat saya menceritakan masalah tersebut ke seorang teman di kantor UNDP Jayapura, dia memberi sebutan yang cukup keren untuk si trouble maker itu, yakni "si kutu" - yang artinya tidak penting tapi sangat mengganggu. Manuvernya membuat rasa respek saya terhadapnya hilang terbawa angin lalu, walau si kutu ini telah memiliki jam terbang cukup tinggi di level daerah Papua sendiri maupun di level nasional. Namun sepak terjangnya itu telah membuat saya tidak lagi menghargai senioritas, ilmu dan keahliannya. Karena dengan berjalannya waktu - dimana saat saya mulai berinteraksi dengan banyak pihak di Manokwari yang juga mengenal si Kutu, maka makin terbuka lah kedok si kutu - yang juga tidak disenangi banyak orang, karena katannya "si kutu lebih banyak omongnya daripada melakukan sesuatu yang berhasil membantu orang lain". Pekerjaannya selalu setengah jadi - yang lalu harus diselesaikan orang lain yang belum tentu mengetahui ujung pangkal prosesnya.
Setelah beberapa hari berinteraksi dengan dia, saya akhirnya menyimpulkan bahwa maneuver-manuver yang dilakukannya untuk mencegah saya berkomunikasi langsung dengan para pejabat setempat disebabkan oleh kekuatirannya semata akan disaingi oleh kehadiran saya sebagai wakil langsung kantor UNDP dan juga karena dia sedang mengalami post power syndrom. Dia menginginkan agar semua komunikasi dan interaksi apapun harus melalui dia untuk memberi kesan dia memiliki jaringan dan pengaruh yang cukup luas dengan berbagai pihak. Sayangnya, cara-cara yang digunakan untuk itu sangat tidak dewasa.
Setelah beberapa hari berada di Manokwari dan bertemu berbagai pihak, akhirnya saya dapat memperoleh gambaran tentang profile si Kutu – yang ternyata juga tidak terlalu disukai beberapa kalangan karena berbagai manuvernya itu – hanya karena kedekatannya dengan Kepala BAPPEDA saat ini – yang membuat staf-staf pemerintah, terutama di BAPPEDA tidak berani melakukan konfrontasi langsung dengannya. Para konsultan lain di proyek Cap2015 juga menceritakan kepada saya masalah mereka dan konflik2 yang pernah terjadi diantara mereka dengannya. Karena itu, mereka menyarankan kepada saya agar tidak terlalu peduli pada si Kutu.
Dari interaksi dengan berbagai pihak di kota tersebut, saya mengetahui bahwa proyek Cap2015 – lebih banyak menggunakan nama UNDP sebagai entry point maupun sosialisasi dengan lingkungan. Karena itu, saat mengetahui kehadiran saya di Manokwari, si Kutu langsung meminta saya menemui dia. Saya lalu datang menemui dia di hari Minggu tanggal 3 Desember 2006. Pada pertemuan tersebut dia “mengkuliahi” saya banyak hal sampai lebih dari 4 jam.
Saya sih manggut-manggut saja karena pada dasarnya saya tidak punya banyak informasi tentang kondisi sosial politik setempat dan juga karena karakter pribadi saya yang selalu menghormati orang-orang tua. Saya hanya mengajukan keberatan saat dia menawarkan dirinya memperkenalkan saya sebagai “ANAK BUAH / PENGIKUT-nya” ke para pejabat pemerintah setempat. Saya bersedia diperkenalkan oleh dia ke berbagai pihak di Manokwari, namun saya mengajukan syarat agar diperkenalkan sebagai Program Officer UNDP untuk wilayah Irian Jaya Barat, bukan sebagai anak buah / pengikutnya”.Dia menyetujui hal tersebut, sehingga kami menyepakati dia akan memperkenalkan saya ke Kepala BAPPEDA Provinsi IJB – yang mana BAPPEDA merupkan mitra kerja utama UNDP di Provinsi tersebut.
Saya mulai merasakan ketidak-beresan saat kesepakatan kami pada pertemuan hari kemarin (Minggu) tidak dilaksanakannya. Pada pertemuan hari Minggu tersebut dia berjanji mempertemukan saya dengan Kepala BAPPEDA Irian Jaya Barat pada hari Senin, karena saya harus menyiapkan kunjungan tim IFAD (International Fund for Agricultural Development) – yang berencana menemui Kepala BAPPEDA Provinsi dan pejabat terkait lainnya. Dia berjanji akan mengabari saya hari Senin pagi tentang jam pertemuan saya dengan Kepala BAPPEDA. Saat jarum jam telah menunjuk angka 10 AM, saya tidak mendapatkan kabar apapun sehingga saya menelpon dia guna mengetahui apa yang terjadi. Dia lalu mengatakan bahwa kantor Bappeda kosong hari ini karena Kepala Bappeda dan semua stafnya sedang menyertai kunjungan Gubernur ke lapangan. Saya lalu bertanya “wah, bagaimana dengan kunjungan IFAD”. Dia katakan “biarkan saja supaya orang-orang asing itu mengetahui situasi di sini”. Selanjutnya dia mengajak saya ke rumahnya – yang juga difungsikan sebagai kantornya “kamu ke sini dan kerja sama saya di sini saja”. Saya mengucapkan terima kasih dan katakan “OK, ntar aja pak, saya masih harus mengurus beberapa hal lain”. Setelah itu saya lalu bersiap dan meminta sopir mengantar saya ke kantor BAPPEDA.
Di kantor tersebut, Kepala BAPPEDA dan Sekretarisnnya memang tidak berada di tempat karena sedang menyertai Gubernur. Namun, kantor tidak kosong sama sekali. Masih ada staf-staf lainnya sehingga saya dipertemukan dengan Ibu Zaenab. Kami lalu membicarakan surat dari UNDP tentang kunjungan IFAD. Karena mereka tidak punya arsip surat tersebut, maka saya keluarkan arsip yang saya bawa, saya tunjukan lalu saya tawarkan untuk difotocopy beberapa dan akan disampaikan langsung ke berbagai dinas terkait yang akan dikunjungi IFAD. Dia setuju dan saya lalu bergerak cepat menyiapkan semua kebutuhan administrasi kunjungan tim IFAD. Malamnya, Si Kutu menelpon saya dan meminta saya menemui dia besok pagi karena menurut dia, saya telah membuat suatu kesalahan fatal serta merusak nama baik UNDP di Manokwari. Saya tidak mau berdebat di telpon. Saya hanya mengiyakan saja bahwa besok saya akan menemui dia. Dia minta saya datang jam 7 pagi. Saya bilang saya hanya bisa bertemu dia jam 8 atau 8.30 yang disetujuinya. Tentu saja, karena dia bukan atasan saya, apalagi posisinya hanya konsultan di proyek Cap2015, maka saya tidak memiliki kewajiban untuk melapor ataupun menyampaikan berbagai aktivitas saya. Justru dalam kapasitas sebagai staf UNDP di kota ini, maka saya berkewajiban untuk menjaga nama baik UNDP, mengapa dia justru mengatakan saya telah merusak nama baik UNDP – yang adalah kantor saya sendiri?.
Walau tidak punya kewajiban melapor padanya, namun awalnya saya menghargai senioritas dan usianya yang telah lanjut sehingga saya masih mau berkomunikasi dengannya. Selain itu, saya juga ingin mengetahui sampai sejauh apa manuver-manuver yang dilakukannya. Saat bertemu dia pagi hari, dia mengatakan bahwa “semalam dia ditelpon 2 pejabat tinggi provinsi, satu diantaranya adalah wakil gubernur yang menanyakan sepak-terjang saya yang telah menabrak aturan-aturan birokrasi. Lanjutnya, “para pejabat itu sangat marah dan ingin mengusir anda dari kota ini, namun saya mengatakan pada mereka “tolong liat diri saya sebagai senior di sini”. Lanjutnya, kata-katannya itu telah meredakan kemarahan para pejabat tinggi tersebut”. Saya hanya manggut-manggut saja lalu mengatakan saya harus pergi karena pertemuan Tim IFAD dengan BAPPEDA akan dilakukan pada jam 9 pagi. Dia meminta saya pergi bersama dia ke BAPPEDA. Saya mengiyakan saja sehingga dia ikut ke kantor BAPPEDA lalu nimbrung di pertemuan IFAD dan Kepala BAPPEDA – walau sebenarnya tidak diperlukan. Karena pertemuan tersebut difasilitasi oleh UNDP (saya sebagai wakil UNDP), PDT (Yani Marsidik dan Bernad) dan BAPPENAS. Hari-hari selanjutnya, dia berusaha mencegah pertemuan-pertemuan langsung saya dengan para pejabat pemerintah. Dia membuat berbagai manuver, termasuk menyebarkan ceritera bahwa saya adalah aktivis LSM yang selalu menabrak aturan, dstnya. Sementara itu, terhadap saya dia selalu mempolitisir dan mendramatisir situasi dengan mengatakan “saya tidak boleh memperkenalkan program PDP (Papua Development Program) – yang menjadi misi utama kehadiran saya di Provinsi IJB – kepada para pejabat setempat karena para pejabat itu sangat sensitive terhadap kata-kata “Papua” terkait pada tensi politik antara IJB dan Papua. Dia selalu menyatakan “saya harus menunggu dia memperkenalkan saya ke para pejabat – yang kemudian dapat saya pastikan tidak pernah dilakukannya karena kepentingannya sendiri. Apalagi dari berbagai pembicaraan saya dengan berbagai pihak di Manokwari, saya tidak mendapatkan indikasi adanya sensitifitas politik yang sangat tinggi terhadap kata-kata “Papua”. Karena itu saya simpulkan bahwa Si Kutu lah yang terlalu mempolitisir kondisi itu dengan memanipulasi ketidak-tahuan saya tentang situasi IJB sebagai provinsi baru.
Setelah pertemuan antara Kepala BAPPEDA dengan para konsultan IFAD, saya merasa para pejabat setempat sangat welcome terhadap orang lain yang ingin membantu mereka membangun provinsi tersebut. Saat pamit di ujung acara saya sempatkan bertanya langsung kepada Kepala BAPPEDA “apakah bapak bisa bertemu Program Coordinator UNDP? guna membicarakan Program Pembangunan Papua? . Kepala BAPPEDA menyatakan “bisa, tinggal diatur waktunya”. Besoknya, saat saya kembali ke kantor Bappeda dan berada di ruangan salah satu stafnya – dimana saya sedang asyik ngobrol dengan seorang konsultan Cap2015 (Roy), Kepala Bappeda muncul dari belakang dan menepuk punggung saya, saat saya menoleh dia tersenyum simpul. Saya lalu menggunakan kesempatan itu untuk mengkonfirmasi waktu pertemuan antara dia dengan Program Coordinator UNDP. Dari konfirmasi tersebut saya mengetahui bahwa sampai dengan minggu ketiga (sekitar tanggal 17 atau 18 Desember, dia tidak berada di Manokwari. Karena dia akan berangkat mengikuti pertemuan Steering Committee Capacity2015 di Jakarta pada tanggal 8 Desember dilanjutkan dengan perjalanan dinas ke Surabaya lalu ke Padang. Secara informal dia meminta saya untuk mengatur waktu pertemuan dengan stafnya. Artinya sebenarnya tidak ada masalah mendiskusikan Papua Development Program dengan para pajabat setempat. Hanya Si Kutu yang mendramatisir dan mempolitisir situasi setempat.
BERSAMBUNG : Manokwari - Jakarta - Jayapura
Jejak Menjejak di Manokwari Irian Jaya Barat
Sudah 7 hari saya berada di kota Manokwari – ibukota Provinsi Irian Jaya Barat - yang adalah provinsi pemekaran dari Provinsi Papua. Kota Manokwari dikenal juga sebagai Kota Injil bagi Tanah Papua. Menurut cerita, Agama Kristen berkembang di Papua berawal dari penyebaran injil pertama kali di Manokwari - yang dibawa oleh seorang penginjil asal Belanda - yang mendarat di Pulau Mansinam - suatu pulau kecil di depan Kota Manokwari.
Hari pertama menjejak bumi Manokwari mengingatkan saya kepada dua kota yang pernah menjadi bagian kehidupan ku, yakni Kupang di tahun 80an dan Dili di tahun 90an. Kota Manokwari terletak di pinggir laut dan dikelilingi kawasan perbukitan hijau. Kadang di sore hari, asap mengepul dari kawasan perbukitan tersebut karena pembersihan dan pembakaran lahan oleh para petani.
Di kawasan kota sendiri sering terlihat penduduk membakar sampah di halaman rumahnya. Kondisi yang tidak pernah saya temukan di Jakarta. Saat ini, kota Manokwari sedang berbenah. Berbagai fasilitas swasta, pemerintah dan juga umum sedang diperbaiki ataupun dibangun baru. Banyak bangunan baru bermunculan seiring dengan geliat kota karena kehadiran banyak orang baru, seperti saya di kota tersebut. Kawasan pertokoan di Sanggeng seperti kawasan pertokoan di Jl. Kanaan Kuanino, Kupang.
Rumah-rumah penduduk yang berjejer di tepi pantainya mengingatkan saya pada jejeran rumah di kawasan Becora, Dili, ataupun di pantai Oeba dan Kampung Solor di Kupang. Agak berbeda dengan kawasan pertokoan di kota Jayapura, kawasan pertokoan di Manokwari terlihat bersih. Di sore hingga malam hari banyak penjual buah menggelar dagangannya di emperan-emperen toko, namun segera setelah itu kawasan tersebut dibersihkan oleh mereka. Biaya hidup di kota ini lumayan mahal, namun masih murah jika dibandingkan dengan kota Jayapura – yang pernah saya singgahi selama 2 minggu sebelum menuju Manokwari. Harga 1 buah mangga harum manis 500 gram Rp. 7.000 di toko buah sementara di pasar dapat diperoleh dengan harga Rp. 5.000. Mangga yang sama di Jayapura berharga Rp. 10.000. Harga 1 paket ayam goreng (ayam goreng, nasi, sambal dan lalapan) Rp. 15.000 sementara harga 1 paket ikan bakar (1 ikan bakar, nasi, sambal dan lalapan) berkisar Rp. 25 – 50.000. Sewa mobil per hari Rp. 500.000, angkot Rp. 2.000, sedangkan ojeck Rp. 3000 harga dasar, selanjutnya tergantung jarak antar.
Kaki ku menjejak bumi Irian Jaya Barat pada tanggal 1 Desember 2006. Saat roda pesawat Merpati yang menggunakan Boeing 737 – 200 menjejak bandara, mata ku menangkap kumpulan pempohonan dan rerumputan hijau di sekitar bandara yang juga terletak di tepian pantai seperti letak Bandara Ngurah Rai di Bali. Bandar udara kota Manokwari masih sangat sederhana walau telah memiliki kapasitas menerima pendaratan pesawat Boeing 737-200 yang saya tumpangi dari Jayapura.
Saat wajah ku nongol di pintu keluar pesawat, angin lembut dan kesegaran udara bersih langsung menyapa hangat dan membelai tubuh ku seperti mengucapkan salam selamat datang. Kaki ku melangkah dan menapak pasti bumi Manokwari Provinsi Irian Jaya Barat yang akan menjadi bagian dari hari-hari hidup ku sebagai Program Officer UNDP untuk Provinsi Irian Jaya Barat.
Kaki ku menjejak dan menapak pasti menuju terminal kedatangan. Di ruang bagasi sejumlah porter yang berbaur dengan penjemput hingga para sopir taxi pribadi telah menunggu mendapatkan secerca rejeki dari para penumpang pesawat. Seorang lelaki tinggi kurus berwajah garang berkumis hitam tebal tersenyum kepada ku sambil menawarkan jasanya. Saya hanya mengangguk dan menyerahkan boarding pass yang ditempeli bagasi tag. Ternyata lelaki tersebut adalah seorang supir taksi pribadi pengganti temannya – yang sedang sembahyang Jumat. Tak lama kemudian bagasi yang hanya sedikit didorong masuk oleh para petugas lalu diambil alih oleh para porter, supir dan para penjemput. Supir taxi merangkap porter saya lalu mengangkut koper-koper saya ke mobilnya sambil ngobrol. Dia menawarkan hotel Metro sebagai tempat penginapan saya, saya katakan kantor UNDP Jayapura telah booking hotel Soribo sebagai penginapan saya selama berada di Manokwari. Dia hanya mengangguk lalu kami bercakap-cakap di mobil tentang berbagai topik lainnya.
Dari supir itu, sekilas saya mendapatkan gambaran tentang kota Manokwari. Setelah check in, istirahat beberapa menit, mandi lalu berganti pakaian, saya minta diantar ke kantor Bappeda. Ternyata kantor tersebut telah tutup sehingga saya tidak menemukan seorang staf pun sehingga saya minta diantar ke kantor Sekretaris Daerah. Di kantor tersebut, saya hanya bertemu sekretaris pribadi Sekda – yang lalu menginformasikan kepada saya bahwa urusan UNDP dan IFAD mission akan melalui BAPPEDA Provinsi. Saya hanya mengucapkan terima kasih lalu berlalu dari tempat tersebut. Karena masih merupakan provinsi baru, maka kantor-kantor pemerintahan provinsi masih sangat sederhana.
Hampir semua kantor pemerintah menempati bangunan panjang seperti barak militer yang disekat-sekat untuk berbagai instansi. Misalnya Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Provinsi berada pada satu bangunan. Sama halnya dengan Kantor BAPPEDA yang sharing dengan KPUD Provinsi dan Kesatuan Bangsa (Kesbang). Karena tidak bisa menemui seorang pejabat pun, saya lalu meminta diantar ke kantor Capacity2015 – yang merupakan satu proyek kerjasama UNDP dan Pemerintah Indonesia. Di kantor tersebut saya juga hanya bertemu seorang staf administrasi – yang tinggal di dalam kantor tersebut. Setelah ngobrol beberapa menit, saya lalu mencoba mengontak satu konsultan proyek tersebut – bernama Mey. Kami janjian untuk bertemu sore hari tersebut. Saya lalu minta diantar ke hotel Fajar Roon untuk bertemu salah satu staf ILO dari Jayapura – untuk mendiskusikan tindak-lanjut dari suatu kerjasama UNDP – ILO yang telah disepakati sebelum saya menjadi PO UNDP untuk wilayah Irian Jaya Barat. Setelah bertemu dan berdiskusi sekitar 30 menit, kami lalu menyepakati beberapa hal sebagai tindak-lanjut teknis pelaksanaan kerjasama tersebut, terutama terkait pada rencana seminar kebijakan ketenaga-kerjaan di provinsi Irian Jaya Barat. Setelah itu kami bersama melakukan perjalanan ke kantor Capacity2015. Wakil ILO ingin melihat langsung kantor tersebut yang rencananya akan menjadi kantor bersama Cap2015 dengan UNDP dan ILO. Di kantor tersebut, kami juga hanya bertemu staf administrasi tersebut.
Saya lalu menelpon Mey untuk mengabarkan keberadaan kami di kantor-nya. Tak lama kemudian dia datang dan kami berdiskusi tentang berbagai hal, termasuk rencana kantor bersama. Pada dasarnya dia tidak berkeberatan karena hampir semua konsultan proyek tersebut lebih banyak berada di kantor-kantor pemerintah untuk memfasilitasi berbagai kegiatan – dari pada di kantor. Namun, keputusan penggunaan kantor berada pada manajer proyek di Jakarta.
Tiada terasa kegelapan malam telah menjejak mayapada. Kami lalu pamit dan beranjak balik ke penginapan masing-masing guna sejenak mengistirahatkan fisik dan batin. Saat mentari Timur tersenyum bahagia, ku tinggalkan peraduan hotel untuk mempersiapkan diri bagi aktivitas hari itu.
Tiada terasa telah seminggu saya berada di kota Manokwari sebagai pos kerja ku untuk bulan-bulan yang akan datang. Kesibukan bertemu dengan berbagai pejabat pemerintah, para konsultan dari Universitas Papua (UNIPA) sampai dengan berkeliling mencari rumah / kamar yang layak sebagai tempat tinggal ku di Manokwari telah mengisi hari-hari ku di kota ini.
Berbagai aktivitas tersebut telah mempertemukan ku dengan berbagai orang – yang secara bertahap mengakrabkan ku dengan denyut kehidupan kota Manokwari dan seluk-beluknya. Sebagai perintis kantor UNDP di kota Manokwari, saya masih harus melakukan semuanya sendiri – mulai dari bertemu para pejabat pemerintah, konsultan independen, booking hotel, mobil bagi para tamu UNDP hingga urusan tiket perjalanan para tamu tersebut harus saya tangani dengan baik. Hanya bermodalkan pengalaman kerja masa silam, HP serta dana operasional penggunaan mobil, saya mengorganisir semua kegiatan tersebut yang cukup melelahkan namun sangat mengairahkan serta memberi kepuasan batin saat semuanya berjalan dengan baik.
Sejak pertama menapaki kota Manokwari, saya langsung menyukai kota ini dan penduduknya. Orang-orang di kota ini sangat ramah. Saat bertemu di jalan, mereka selalu tersenyum dan menyapa “selamat pagi / siang / malam”. Orang-orangnya sangat senang membantu orang lain. Sepertinya mereka selalu welcome terhadap siapapun. Sikap yang sama ditunjukan juga oleh para pejabat pemerintah yang saya temui. Murah senyum, memiliki selera humor yang tinggi serasa menjadi bagian integral dari kehidupan mereka setiap hari.
Dialek bahasa Indonesia mereka hampir sama seperti dialek bahasa Indonesia di kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Hal tersebut memudahkan saya memahami percakapan sehari-hari mereka karena latar-belakang keluarga dan sosial saya yang berasal dari kota Kupang tempat saya dilahirkan dan dibesarkan hingga menamatkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (UNDANA) pada tahun 1992 silam.
Di lingkungan sosial setempat, awalnya saya selalu disangka orang Jawa, apalagi dialek bahasa Jakarta yang saya gunakan dalam percakapan sehari-hari. Saat mereka mengetahui saya orang Rote yang lahir besar di Kupang, semua komunikasi langsung berjalan lancar. Saya dianggap bagian dari mereka…. Ha ha ha ha Saat ini saya menempati satu kamar kost di rumah satu keluarga campuran Cina – Makassar dan Manado. Bapak kost saya adalah keturunan Cina – Makassar sementara Ibu kost saya orang Sangir. Keluarga ini memiliki berbagai macam usaha, termasuk kost-kost-an dan katering. Saya mendapatkan kamar kost tersebut melalui jaringan pertemanan saya dengan ibu Hanike – seorang dosen dan tenaga ahli di Universitas Papua (UNIPA). Saya bertemu dia saat project Gender Mainstreaming UNDP mengadakan dialog publik di Jayapura beberapa minggu silam. Saat telah berada di Manokwari beberapa hari, saya lalu menelpon dia memberitahu keberadaan saya di kota tersebut serta sedang mencari tempat tinggal. Dia lalu menyatakan kesediannya untuk membantu. Untuk itu, dia meminta waktu 1 hari mencarikan tempat tinggal (rumah ataupun kamar) sampai akhirnya saya mendapatkan kamar di keluarga tersebut diatas.
Kamar yang saya tempati cukup luas sekitar 5 x 5 m2 yang telah dilengkapi fasilitas AC, kamar mandi dan WC, lemari, tempat tidur lengkap hingga meja kerja dan layanan pembersihan kamar dan laundry. Makan pagi, siang dan malam juga disiapkan, tergantung kebutuhan saya. Seperti tinggal di hotel berkualitas layanan bintang 3, dengan harga yang jauh lebih murah .
BERSAMBUNG : Merenda Hari Mennghadapi Masalah
JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur
1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...
-
Ini juga posting JADUL tahun 2007. Saat bongkar-bongkar blog baru ketahuan kalo posting ini belum dipublikasikan pada tahun 2007... lama am...
-
Saya menulis esai ini pada 12 September 2005 yang dipublikasikan salah satu milis lingkungan Indonesia. Tulisan ini saya temukan kembali mel...
-
Kemah Tabor di Mataloko Saya memilih sarapan roti lapis telur dadar bersama kopi Bajawa. Yudi dan Mako memilih nasi goreng bersama kopi...