Jumat, 11 September 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL JAMBI: Museum Negeri Jambi, Museum Perjuangan, Pasar Keramik dan Jembatan Makalam

Jembatan Makalam
"Kita cari makan dulu saat tiba di Kota Jambi", kata saya ke Nodi saat kami dalam perjalanan balik dari Muaro Jambi ke Kota Jambi. "Bapak ingin makan apa", tanya Nodi membalas. "Makanan khas Jambi", kata saya. Kami melewati jalan yang sama saat kembali ke Kota sekitar jam 12 siang. Sekali lagi kami melewati jembatan Aur Duri II dengan kanopi anyaman baja yang terlihat megah menaungi jembatan dan jalan di bawahnya. Kami terus bercakap-cakap sepanjang jalan hingga kami tiba di restoran Bi'Cik namanya. Retoran ini beratap rumbia dengan dinding setengah terbuka. Saat saya dan Nodi telah duduk didalam restoran tersebut terasa sejuk tanpa penggunaan AC di siang terik itu. Sebagaimana layanan di restoran Padang, restoran Bi'Cik juga memberikan layanan dengan
Jembatan Aur Duri II
menghidangkan hampir semua jenis makanan yang dijualnya. Walau demikian, saya memesan ikan gabus pindang - yang kata Nodi merupakan salah satu makanan khas Jambi. Karena ikan merupakan salah satu menu favorit saya, maka menikmati ikan gabus pindang itu sesuatu banget bagi saya saat itu. Kami menghabiskan waktu sekitar 45 menit di restoran ini untuk makan siang sekaligus beristirahat sebelum melanjutkan ke tempat kunjungan lainnya.

"Kita ke museum Negeri Jambi terlebih dahulu karena lebih dekat jaraknya dari restoran ini",  kata Nodi saat kami telah kembali ke mobil. "okay saja, kamu yang memimpin karena telah mengetahui Jambi", balas saya. Saat tiba di museum, sepertinya hanya kami pengunjung saat itu. Nama yang tertulis adalah Museum Siginjei, bukan Museum Negeri Jambi seperti dikenal publik. "Namanya telah diganti", kata Nodi menjelaskan ke saya tanpa saya tanya saat kami tiba dan saya memotret nama museum di atas pintu masuk. Saya hanya mengangguk dan terus melangkah masuk ke bangunan museum. Di dalam petugas loket sedang bercakap-cakap dengan seorang pedagang minuman yang terlihat membawa minuman dingin berbagai jenis dan meletakannya di meja jaga. Saya membeli 2 tiket masuk seharga 2000 per tiket. Museum ini menyimpan berbagai koleksi dan informasi tentang jambi, antara lain informasi tentang candi-candi Muaro Jambi, rumah adat, alat pertanian dan perikanan, flora dan fauna serta pembuatan batik Jambi. Semuanya ditata rapi dan dipamerkan di 3 lantai gedung museum tersebut. Saya dan Nodi mulai dari lantai dasar sebelah kiri. Di pintu masuk ruangan terlihat 1 harimau Sumatera dalam kotak kaca yang telah dikeringkan. Dari lantai 1, kami beralih ke lantai 2 lanjut ke lantai 3 kemudian turun dri sebelah kanan yang mengantar kami ke suatu ruangan lain di lantai dasar sebelah kanan.
Salah satu ruangan Museum Negeri Jambi
Ruangan ini diberi karpet merah dan para pengunjung harus melepaskan alas kakinya saat akan memasuki ruangan tersebut. Saya dan Nodi menghabiskan sekitar 1 jam di museum ini lalu kembali ke mobil di tempat parkir. Dari museum Negeri Jambi, kami beralih ke Museum Perjuangan Rakyat Jambi yang terletak sekitar 5 menit dari museum Negeri Jambi.

Museum Perjuangan juga sepi saat kami memasuki pintu depan. Hanya seorang petugas dan seorang security sedang nonton tv di ruang depan dalam jarak beberapa meter dari meja karcis. Petugas karcis meninggalkan tv dan mengambil 2 lembar karcis masing-masing seharga 2 ribu rupiah sehingga saya membayar 4ribu rupiah bagi saya dan Nodi. Sebelum berkeliling ke dalam museum, saya sempatkan meminta petugas untuk foto bersama saya di depan patung
Museum Perjuangan
seorang tokoh setempat yang diapit 2 ekor singa. Museum ini terdiri dari 3 lantai yang semuanya memamerkan informasi dan foto-foto terkait perjuangan rakyat dan para elit setempat sebelum perang kemerdekaan, dalam perang kemerdekaan sampai dengan pembangunan provinsi Jambi. Kedua sisi dinding lantai pertama dipenuhi foto, lukisan, informasi tertulis hingga bentuk-bentuk senjata seperti keris, senapan dan pistol. Lantai kedua diisi oleh diorama, terutama tentang perlawanan rakyat Jambi di berbagai tempat terhadap Belanda. Lantai 3 diisi dengan dokumen-dokumen dalam kotak-kotak kaca, foto dan informasi pembangunan rumah-rumah ibadah seperti mesjid, gereja dan vihara di Jambi. Salah satu dinding yang menghadap ke tangga dihiasi foto-foto para gubernur Jambi sejak era kemerdekaan sampai dengan yang terbaru di tahun 2015.

Pasar Keramik
Selesai dari Museum Perjuangan, kami beralih ke Pasar Keramik. Pasar ini tersembunyi dalam gang-gang ruko. Sepertinya hanya orang Jambi yang mengetahui lokasi Pasar Keramik ini. Nodi memarkir mobil di jalan yang diapit oleh ruko-ruko tua. Nodi membaya saya memasuki satu gang yang depannya ada warung tenda berwarna biru. Saya dan Nodi berjalan sekitar 20an meter menyusuri gang tersebut. Saat tiba di ujung gang yang kami susuri, gang tersebut terhubung dengan gang-gang lain yang dipenuhi jejeran kios yang didominasi barang dagangan keramik aneka bentuk dan warna dari Cina. Saya dan Nodi masuk keluar beberapa kios melihat-lihat sekaligus mencari souvenir yang bisa saya beli. Akhirnya saya mendapatkan 3 souvenir berbentuk pot dengan hiasan berbeda-beda, berwarna keemasan yang
Pasar Keramik
dilapisi pasir halus krem. Kami menghabiskan sekitar 1 jam di pasar ini berpindah dari satu kios ke kios lain mengamat-amati keramik-keramik yang dijual maupun mengamati para pengunjung lain yang hanya sekedar berjalan-jalan atau sedang tawar menawar barang yang ingin dibeli.

Enaknya punya pemandu lokal seperti ini. Saya dibawa Nodi ke Pasar Keramik yang tidak saya ketahui informasinya melalui internet. Dari Pasar Keramik, Nodi mengajak saya mengunjungi Jembatan Makalam, yakni jembatan yang menarik karena gaya arsitektur dan warna catnya. Saya mengiyakan saja, karena ternyata Pasar Keramik yang tidak ada dalam agenda saya cukup menarik dikunjungi atas ajakan Nodi. Namun saya juga ingin melihat Klenteng Hok Tek yang telah dijadikan benda Cagar Budaya oleh Pemerintah Daerah Jambi. "Kita akan melewati jalan depan Klenteng saat ke Jembatan Makalam sehingga kita bisa mampir, kata Nodi. "Sipp", balas saya. Sekitar 5 menit bermobil dari Pasar Keramik, Nodi memarkir mobil di pinggir jalan dan menunjuk satu bangunan mungil bercat putih
Klenteng Hok Tek
dalam pagar terkunci di tepi sungai. Pagar tembok yang mengeliling Klenteng dibangun setinggi Klenteng sehingga orang yang tidak memiliki tujuan ke tempat tersebut, pasti tidak akan menyangka adanya klenteng dan cagar budaya tersebut. Karena tidak bisa masuk (gerbang terkunci dan tidak ada petugas jaga), saya hanya bisa mengambil beberapa foto dari luar pagar tanpa bisa melongok isi Klenteng berwarna putih dengan aksen merah dan hijau tersebut.





Jembatan Makalam
Dari Klenteng Hok Tek, kami menuju Jembatan Makalam - yang terlihat indah bagi saya. Kata Nodi, jembatan ini sering digunakan untuk foto pre wedding, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Mungkin benar, karena warna dan arsitektur jembatan tersebut seperti warna dan arsitektur di kuil atau klenteng yang didominasi warna-warna merah. Dinding jembatan terbuat dari ratusan tiang kecil berbentuk seperti pion-pion permainan bowling yang semuanya dicat merah, sedangkan bagian pemisah diberi warna hitam. Nama jembatan ini berasal dari nama Gubernur pertama Jambi yang memerintah tahun 1946 - 1948. Jembatan selesai dibangun pada tahun 2010 dengan panjang 500 meter dan lebar 10 meter melintasi sungai Batanghari yang merupakan alternatif penghubung jalan Makalam lama ke Simpang Kapuk. Setelah melihat-lihat dan memotret beberapa bagian jembatan tersebut, termasuk memotret Menara Air dari kejauhan, saya dan Nodi kembali ke mobil. Kami meneruskan perjalanan ke Menara Air - yang merupakan bangunan peninggalan Belanda. "Kita balik lagi ke sini saat malam sehingga bisa lihat perbedaan jembatan ini di waktu siang dan malam", kata Nodi saat kami beranjak meninggalkan Jembatan Makalam.

Bersambung...



Rabu, 09 September 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL JAMBI: Candi-candi Muaro Jambi

Menjala ikan di sungai Batanghari
Pagi masih gelap saat saya telah nongkrong di balkon Hotel Hiltop tempat saya menginap. Saya mengamati aktivitas pagi di sungai Batanghari. Selain lalu lalang perahu motor kecil di kedua sisi sungai, para nelayan setempat juga sedang melakukan kegiatanya menagkap ikan menggunakan jala atau hanya pancing semata. Saya terus mengamati kesibukan di sungai Batanghari sampai sinar matahari semakin tinggi. Beberapa nelayan terlihat asyik melempar, menarik, mengumpulkan hasil, membersihkan dan kembali melempar jala terbuka ke sungai Batanghari. Kegiatan tersebut dilakukan berulang-ulang sambil berpindah-pindah.

Walau para nelayan ini berdiri dan mengayun tubuhnya saat jala dilempar ke sungai, namun perahu-perahu kecil yang mereka gunakan terlihat
Menjala ikan di sungai Batanghari
stabil. Saya mengagumi cara mereka menjaga keseimbangan saat tubuh diayun dan jala dilempar. Setelah puas, saya kembali ke dalam hotel untuk sarapan, kemudian mandi dan mempersiapkan diri bagi perjalanan ke kompleks percandian di Muaro Jambi.

Sekitar jam 8 pagi, Nodi demikian nama sopir sekaligus pemandu saya hari ini menelpon menanyakan kesiapan saya. Saya meminta dijemput jam 9 pagi dengan asumsi loket karcis di Muaro Jambi baru buka sekitar jam 10 pagi. Dengan asumsi waktu tempuh Kota Jambi ke Muaro Jambi sekitar 1 jam sebagaimana informasi yang saya terima dari berbagai sumber, maka jika saya berangkat jam 9 pagi akan tiba di kompleks percandian Muaro Jambi sekitar jam 10 pagi. Asumsi yang salah, karena loket telah dibuka sekitar jam 7 pagi dan juga jarak tempuh mobil dari Hotel Hiltop ke Muaro
Sepeda sewaan guna mengelilingi komplek candi seluas 3ha
Jambi hanya sekitar 30an menit saja melewati jalan beraspal bagus yang tidak terlalu ramai di pagi hari itu. Dari Hotel, Nodi membelokan mobil ke sebelah kiri menyusuri jalanan yang memanjang mengikuti aliran sungai Batanghari ke hulu. Sekitar 5 menit dari hotel, mobil belok kiri di suatu pertigaan hingga melewati Jembatan Aur Duri II. Nodi mengatakan bahwa sebelum ada Jembatan Aur Duri II, perjalanan ke Muaro Jambi harus melewati Jembatan Aur Duri I dan jalan lain yang terletak lebih ke hilir sehingga kendaraan harus memutar dengan waktu tempuh menjadi lebih lama. Kami tiba di pertigaan jalan lama tersebut setelah mendekati kompleks percandian Muaro Jambi. Pada pertigaan ini, mobil belok kanan menyusuri jalan raya yang menghubungkan Kota Jambi dengan Kota Muaro Jambi. Di pertigaan ini terlihat spanduk besar berisi informasi tentang candi-candi Muaro Jambi. Jarak tempuh Kota Jambi ke kompleks utama candi-candi Muaro Jambi sekitar 26 km.

Akses dari jalan mobil ke Candi Kedaton
"Itu kanal yang dibuat pada masa lalu menghubungkan sungai Batanghari dengan kompleks percandian", kata Nodi menunjuk ke sebelah kiri jalanan yang sedang kami lalui. Saya hanya mengangguk-angguk karena belum paham apa maksudnya. Sekitar 1km dari pertigaan, Nodi membelokan mobil ke kiri menempuh jalan yang lebih kecil namun telah beraspal. Mobil diparkir di suatu tempat parkir yang cukup luas dan sepi. Saat kami parkir di tempat tersebut terlihat 2 mobil lain telah parkir terlebih dahulu. Dari tempat parkir, kami berjalan ke loket penjualan karcis yang terletak di pinggir jalan depan lapangan parkir. Setelah membeli karcis, kami berjalan sekitar 100 meter ke lokasi candi-candi yang telah ditemukan dan ditata kembali. Sepanjang jalan yang kami lalui berjejer rumah penduduk yang juga dijadikan tempat jualan souvenir dan penyewaan sepeda. Pengunjung yang ingin mengeliling kompleks meggunakan sepeda dapat menyewa sepeda seharga 10ribu rupiah. Sebelum memasuki kompleks candi, kami mampir ke pos pemeriksaan tiket yang dijaga 2 petugas laki-laki. "Setelah mengunjungi candi, bisa juga mengunjungi museum jika tertarik", kata salah satu petugas. "Dimana pak", tanya saya. Petugas tersebut menunjuk ke bangunan bercat putih yang terletak puluhan meter dari pos pemeriksaan tiket. Saya mengangguk dan mengucapkan terima kasih lalu melangkah kembali ke jalan menuju candi terdekat dari pos pemeriksaan tiket.

Bersama Nodi di depan kompleks candi Gumpung
Saat berfoto dari jarak jauh dengan latar belakang salah satu candi, seorang laki-laki muda berbaju safari warna biru dongker datang dan memperkenalkan dirinya. "saya Atol Candi" kata lelaki tersebut sambil mengulurkan tanganya. "Saya Jo, kata saya sambil menjabat tanganya". Akhirnya saya dan Geni ngobrol dan foto-foto dengan Atol - walau namanya terdengar agak unik dan aneh bagi saya, namun saya tidak menanyakan lebih jauh hal tersebut. Atol menginformasikan adanya homestay bagi pengunjung yang ingin menginap dan berkeliling di pagi hari saat udara masih sejuk. Saya berterima kasih dan akhirnya kami bertukar nomor telpon incase ada teman atau suatu hari nanti saya ingin balik ke tempat tersebut, maka saya dapat menghubungi Atol guna menginap di salah satu homestay merasakan
Bersama Atol Candi
kehidupan pedesaan sekaligus mengeliling kompleks percandian yang memiliki luas sekitar 3 ha di pagi hari menggunakan sepeda sewaan.

Kompleks yang saya dan Nodi kelilingi lumayan luas. Dalam kompleks ini terdapat 3 candi, yakni candi Gumpung, candi Tinggi dan candi Tinggi I yang merupakan bagian dari 8 candi yang telah dieskavasi / ditata. Candi-candi ini terbuat dari bata merah kekuningan dengan lebar sekitar 10 x 20 cm. Dari ketiga candi tersebut hanya candi Gumpung yang masih berbentuk bangunan utuh tanpat atap. di salah satu depan pintu masuknya terdapat patung penjaga berwarna abu-abu yang sepertinya terbuat dari batu andesit seperti pada candi-candi di Jawa. Candi Tinggi dan Tinggi I berbentuk susunan batu bata semata. Di beberapa tempat masih terlihat serakan dan tumpukan bata yang merupakan sisa-sisa reruntuhan candi. Perbedaan dengan candi-candi di Jawa adalah candi-
Depan Candi Gumpung
candi Muaro Jambi tidak memiliki ornamen seperti lukisan dan patung. Disekitar kompleks tersebut terdapat beberapa kios dan juga tempat penyewaan sepeda yang sedang sepi. Menurut Geni, kios dan sewa sepeda akan ramai saat liburan seperti sabtu dan minggu atau hari libur lainnya. Sepertinya saya dan Nodi merupakan pengunjung pertama di kompleks tersebut, karena setelah kami berpindah ke arah museum, barulah terlihat 2 kelompok lain yang sedang berjalan-jalan di lokasi candi Gumpung yang telah selesai kami kunjungi.

Saat tiba di jalan depan museum, seorang lelaki paruh baya menyambut kami. "Ingin masuk?, tanya lelaki tersebut sambil tersenyum menyapa kami dari teras museum. "Iya pak, balas saya sambil melangkah ke bangunan museum. 2 orang tukang terlihat sibuk mengelas besi-besi panjang yang sepertinya diperuntukan bagi jendela-
Candi Tinggi
jendela museum tersebut. "Bujang", kata lelaki paruh baya tersebut sambil menjabat tangan saya dan Nodi kemudian membuka pintu museum menggunakan kunci yang dipegangnya. Pak Bujang menemani saya berkeliling ruang museum yang tidak terlalu besar. Saya melihat-lihat berbagai koleksi museum sambil mendengarkan penjelasan Pak Bujang tentang asal usul candi, sejarah penemuan dan eskavasi berbagai benda yang disimpan dalam museum sejak era Hindu, Cina dan Budha - jejak relasi dengan Cina masih terlihat dari pecahan piring dan guci porselen yang ditemukan di lokasi tersebut.

Saya menghabiskan sekitar 30 menit di museum tersebut mendengarkan penjelasan Pak Bujang yang diberikan secara gratis karena tidak ada tiket masuk. Saat saya pamit, Pak Bujang memberikan 1 buku kecil tentang candi-candi Muaro Jambi. Sebagaimana biasa dalam kunjungan saya ke berbagai tempat di Indonesia, saya meminta Pak Bujang berpose bersama saya sebagai kenang-kenangan. Kami lalu berpose di depan prasasti
Bersama Pak Bujang
pembukaan museum yang dibuat pada satu fosil kayu yang telah membatu.

Selesai dari museum, saya dan Nodi berjalan kembali ke tempat parkir. Kami berpapasan dengan 1 kelompok pengunjung baru yang sedang jalan berlawanan arah menuju museum. Atol Candi sedang duduk di pos jaga bersama petugas lainnya. "Jangan lupa nginap di sini jika ke Muaro Jambi lagi", kata Atol. "Pasti", balas saya sambil melambaikan tangan dan terus berjalan. Sebelum tiba di tempat parkir, saya dan Nodi mampir di satu kios souvenir di depan tempat parkir. Selain menjual souvenir khas candi, kios ini juga menjual berbagai jenis batu akik Jambi. Saya membeli 1 souvenir kecil dan 4 batu akik sebagai kenang-kenangan kunjungan ke lokasi tersebut sekaligus foto bersama dengan mas Suhardi yang adalah pemilik kios bersama istrinya sekaligus pedagang batu akik yang telah melanglang buana sampai Jakarta guna mengikuti pameran dan menjual batu-batu akiknya.
Bersama mas Suhardi

Sebelum kembali ke Kota Jambi, saya dan Nodi mampir ke candi Kedaton yang letaknya terpisah dari kompleks 3 candi yang telah kami kunjungi. Akses ke candi Kedaton melalui jembatan kayu kecil sepanjang 20an meter dengan lebar 1 meter. Nodi memarkir mobil di pinggir jalan utama lalu kami berdua berjalan menyusuri jalan setapak hingga masuk ke kompleks candi Kedaton yang terletak sekitar 100 meter dari jalan raya. Jembatan kayu yang kami lewati terletak di atas kanal yang dibuat para pendiri candi pada zaman dulu guna menghubungkan kompleks candi-candi tersebut dengan sungai Batanghari yang
Depan Candi Kedaton 
menjadi jalur transportasi saat itu. Saya dan Nodi melewati reruntuhan pagar bata dengan lebar sekitar setengah meter yang memagari kompleks candi Kedaton. Selain pagar berbentuk persegi empat, kompleks candi Kedaton dilengkapi 4 gerbang di 4 sisinya. Kompleks candi ini sebesar setengah lapangan sepak bola. Beberapa pohon besar terlihat menaungi kompleks yang cukup luas tersebut. Sama seperti candi lainnya yang telah kami kunjungi. Candi Kedaton terbuat dari bata merah kekuningan dengan bangunan yang juga tidak utuh lagi. Di depan candi ini terdapat semacam pelataran terbuka dari bata - mungkin saja pelataran tersebut dulunya merupakan salah satu bangunan candi. Setelah berkeliling dan mengambil foto sekitar 30 menit di lokasi tersebut, saya dan Nodi kembali ke mobil guna
Candi Kedaton
meneruskan kunjungan kami ke tempat-tempat lain di Kota Jambi.




Minggu, 06 September 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL JAMBI: Sekitaran Jembatan Gentala Arazy

Depan Menara dan Museum Gentala Arazy
Saya tidak pernah menyangka bahwa Jambi menyimpan sejumlah tempat wisata yang asyik dikunjungi dan dinikmati. Salah satunya bernama Jembatan Gentala Arazy. Saya mengetahui tempat ini secara kebetulan karena menginap di hotel Hiltop Jambi yang lokasinya hanya selemparan batu dari Jembatan ini. Jembatan in berbentuk huruf S dibangun melintasi Sungai Batanghari menghubungkan Kota Jambi dengan kampung-kampung di sebelah sungai yang biasanya diakses menggunakan perahu-perahu kecil atau jika menggunakan kendaraan bermotor maka harus memutar melalui Jembatan Aur Duri I atau II yang letaknya cukup jauh dari Hotel. Jembatan ini hanya diperuntukan bagi para pejalan kaki. Karena itu, tidak ada kendaraan bermotor yang bisa melintas karena tidak disediakan akses apapun. Kedua ujung jembatan berbentuk anak-anak tangga. Pada ujung Jembatan bagian kota Jambi terdapat tempat nongkrong sore hingga malam hari bernama Tanggo Rajo. Bagian lainnya terdapat Menara Gentala Arazy yang dibawahnya terdapat Museum Gentala Arazy. Museum ini menyediakan berbagai informasi tentang masuk dan berkembangnya Islam di Jambi serta proses pembangunan Jembatan Gentala Arazy sejak 2012 sampai 2014 sepanjang 503 meter dengan lebar 4 meter. Pada sore dan pagi
Jembatan Gentala Arazy saat sunset
hari saya mencoba menelusuri jembatan tersebut pulang pergi dari bagian Tanggo Rajo ke Menara Gentala Arazy. Sedangkan pada malam hari saya mencoba menikmati gemerlap cahaya di tiang-tiang jembatan melalui balkon bagian belakang hotel atau duduk menikmati jagung bakar di salah satu warung terbuka di tepian sungai Batanghari. Sunset di Kota Jambi juga dapat dinikmati di Jembatan ini pada kedua sisinya.

Di atas Jembatan Gentala Arazy
Saat saya menyusuri Jembatan ini di suatu sore, terlihat ratusan orang juga sedang berjalan-jalan dan foto sana foto sini di berbagai bagian Jembatan tersebut. Bahkan sekelompok penyanyi muda sedang mendendangkan beberapa lagu guna mengumpulan dana bagi rencana perjalanan mereka ke Sulawesi Tengah. Saya menggunakan kesempatan tersebut berkenalan dan ngobrol beberapa menit lalu mendonasikan 50 ribu rupiah bagi mereka. Saya juga tak lupa  meminta pengunjung lain memotret diri saya di atas Jembatan tersebut mendokumentasikan momen kunjungan saya di tempat tersebut.

Lokasi Tanggo Rajo di bawah Jembatan didominasi kuliner jagung bakar dan kelapa muda, selain bakso, mie dan lainnya. Pada sore hari puluhan anak muda nongkrong di Tanggo Rajo menunggu dan menikmati sunset sebagaimana yang saya juga lakukan di sore itu. Selain sunset, saya juga menikmati perahu-perahu
Menikmati senja Sungai Batanghari
kecil yang lalu lalang dari kedua sisi, entah mengantar orang atau nelayan yang sedang kembali ke rumahnya. Tidak ada kapal besar seperti pada sungai-sungai di Kalimantan yang berlayar melewati sungai Batanghari. Seorang karyawan hotel mengatakan ke saya bahwa pada zaman dulu, sungai Batanghari menjadi urat nadi lalu lintas perdagangan dan aktivitas warga Jambi. Namun, seiring perjalanan waktu, sungai tersebut mengalami pendangkalan parah sehingga kapal-kapal besar tidak bisa lagi melaluinya.




Saat saya mengunjungi Museum Gentala Arazy di sore hari, museum telah hampir tutup. Namun
Salah satu bagian dalam Museum Gentala Arazy
mengetahui saya datang dari Jakarta, petugas museum dengan ramah mempersilahkan saya masuk dan melihat-lihat berbagai koleksinya. Tidak ada tiket masuk ke museum alias gratis. Saat saya menanyakan mengapa tidak ada tiket masuk, sang petugas mengatakan belum ada Perda. Saya melongo sejenak kemudian melangkah masuk sambil memberikan senyum ramah ke petugas tersebut. Di dalam museum masih terdapat beberapa pengunjung yang kebanyakan anak muda, baik yang berjalan sendiri, dalam group 4-5 orang maupun yang berpasangan. Setelah menghabiskan sekitar 1 jam menikmati koleksi museum, saya mengucapkan terima kasih ke petugas jaga yang masih setia di depan pintu menunggu para pengunjung terakhir keluar.

Dari museum, saya menaiki tangga menuju area terbuka Menara Gentala Arazy. Saya mengamati dan memotret beberapa obyek, termasuk memotret Jembatan Gentala Arazy dari sisi Menara. Depan Museum merupakan area terbuka hingga gerbang yang berbatasan dengan jalan. Sebelah kiri museum terdapat relief berwarna abu-abu di tembok pembatas kompleks Museum dan Menara dengan pemukiman. Sebelah kanan area terbuka museum berderet semacam tenda-tenda berwarna putih. Saya lupa mendekati dan memeriksa area tersebut.

Tanpa terasa senja hari mulai menjejak. Secara perlahan sang matahari makin bergeser ke Barat
Aktivitas warga di Jembatan Gentala Arazy pada senja hari
ditandai perubahan warna langit dan matahari dari putih menjadi kekuningan, kuning dan akhirnya jingga saat matahari mencapai posisi ideal sunset. Setelah sunset berakhir, saya beranjak kembali ke Tanggo Rajo menyusuri Jembatan Gentala Arazy yang masih ramai oleh para pengunjung. Saat saya tiba di sisi Tanggo Rajo, lampu warna-warna penghias tiang-tiang Jembatan telah menyala dan berubah-ubah warnanya. Saya memesan jagung bakar dan kelapa muda lalu duduk menikmati sungai Batanghari di malam itu hingga puas.
Jembatan Gentala Arazy menjelang malam

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL WEST SUMATERA: Danau Maninjau, Pantai Air Manis dan Teluk Bayur

Puncak Lawang
Setelah meliuk-liuk naik turun bukit dan lembah melewati perkampungan, hutan, persawanan hingg kebun-kebun rakyat dengan berbagai jenis tanaman, saya dan Jasman akhirnya tiba di ketinggian perbukitan Danau Maninjau bernama Puncak Lawang guna menikmati sang Danau dari ketinggian. Kami tiba sekitar jam 12 siang. Untuk memasuki lokasi menikmati danau Maninjau dari tempat saya dan Jasman saat ini berada, kami membayar tiket masuk bagi pengunjung dan juga mobil di loket gerbang masuk yang terletak di tepi jalan raya sekitar 100an meter dari tempat menikmati Danau Maninjau di ketinggian ini. Tempat perhentian kami telah dikelola dengan baik terlihat dari kebersihan dan kerapihannya. Di tempat tersebut tersedia juga penginapan dan toilet bagi pengunjung. Sayangnya langit di atas Danau Maninjau dan sekitarnya sedang berkabut sehingga foto-foto terbaik yang ingin saya abadikan dari kunjungan ke tempat tersebut tidak terdokumentasikan. Serombongan pengunjung terdiri dari beberapa perempuan dan laki-laki paruh baya nampak asyik
Danau Maninjau dari Puncak Lawang
menikmati danau dari ketinggian sambil sibuk foto sana foto sini. Di sisi lain yang agak jauh tampak pasangan-pasangan kekasih duduk menyendiri berbisik mesra sambil menatap ketenangan air danau nun jauh di bawah. 2 ibu penjual kaos oleh-oleh duduk tak jauh dari lokasi pandang tersebut sibuk mengatur barang dagangan mereka.

Saya berusaha terus mengambil beberapa foto dan juga bergantian dengan Jasman memotret diri masing-masing mendokumentasikan kunjungan kami ke tempat tersebut. Udara terasa sejuk karena langit sedang berawan dan juga tiupan angin sepoi-sepoi. Saya duduk dan berbaring beberapa menit di lokasi pandang tersebut menikmati suasana adem seperti ingin tidur saja di tempat tersebut. Setelah puas menikmati suasana, saya bangun dan berjalan-jalan mengamati tempat tersebut, termasuk memotret bunga-bunga khas
Danau Maninjau dari Puncak Lawang
daerah pegunungan yang tentunya hanya tumbuh di dataran tinggi seperti lokasi saya berada saat ini. Di samping bangunan penginapan terdapat bangunan lain sepertinya rumah penjaga lokasi tersebut berdampingan dengan toilet umum - yang saya gunakan secara gratis. Sekitar satu jam menikmati suasana sekitar dan Danau Maninjau dari ketinggian, saya mengajak Jasman turun untuk kembali ke Padang sebagaimana rencana yang telah disusun 2 hari lalu. Perut juga mulai terasa lapar, sehingga dalam perjalanan turun ke jalan raya menuju Padang, kami mampir di satu rumah makan Padang yang terletak di pertigaan jalan ke Puncak Lawang yang telah kami kunjungi, jalan ke Danau Maninjau - yang menurut Jasman sekitar 30 menit dari pertigaan tersebut - serta jalan ke Padang melalui wilayah Padang Pariaman. Setelah mengisi perut di rumah makan tersebut, kami melanjutkan perjalanan ke Padang dengan tujuan mengunjungi Pantai Air Manis tempat kapal Malin Kundang yang karam serta mengunjungi Teluk Bayur sebagai penutup hari dan perjalanan saya ke tempat-tempat menarik di Sumatera Barat selama 2 hari.

Reruntuhan Kapal Malin Kundang di Pantai Air Manis
Perjalanan menuju Pantai Air Manis dan Teluk Bayur harus melalui Kota Padang, karena itu saya dan Jasman kembali ke Kota Padang melalui jalur Padang Pariaman. Kami tiba di Kota Padang sekitar jam 4 sore. Saya mengatakan ke Jasman agar kami mengunjungi Pantai Air Manis terlebih dahulu kemudian menutup hari dengan kunjungan ke Teluk Bayur. Pantai Air Manis dan Teluk Bayur hanya berjarak sekitar 30 menit dari Kota Padang. Di suatu pertigaan luar Kota Padang, Jasman membelokan mobil ke arah kanan menyusuri jalan beraspal bagus yang lebih sempit dari jalan utama yang telah kami lalui dari Kota Padang. Jalan mulai mendaki dan meliuk mengikuti kontur perbukitan menuju puncak, lalu turun menuju Pantai Air Manis yang terletak di sebelah bukit yang kami susuri. Saat tiba di puncak, Jasman menghentikan mobil sejenak ditepi jalan guna memberikan kesempatan pada saya memotret satu pulau kecil di tengah lautan bagaikan dalam
Suasana Pantai Air Manis
lukisan para ahli lukis.

Setelah itu mobil kembali melaju menuju pantai nun jauh di bawah sana. Sebelum bertemu pantai, kami melewati suatu kampung yang dipenuhi rumah penduduk dan fasilitas sosial beserta papan-papan penunjuk jalur evakuasi jika terjadi bencana seperti gempa ataupun tsunami. Kami melewati gerbang yang dijaga petugas penjual karcis masuk. Setelah membayar 10ribu rupiah, mobil memasuki area pantai terbuka menuju jejeran pohon kelapa mencari tempat parkir diantara kendaraan lain yang telah terlebih dahulu tiba. Pantainya sangat landai dan terbuka. Pengendara mobil dan motor bebas mencari tempat parkir hingga tepian air. Bahkan ada yang hanya mengendari kendaraanya berputar-putar di pantai tersebut diantara pengunjung lain yang berjalan kaki dan bermain air dan mandi sinar matahari siang menjelang sore.


Suasana Pantai Air Manis
Saya turun dari mobil dan berjalan ke kerumunan pengunjung yang sedang memadati lokasi karamnya kapan Malin Kundang. Setelah melewati satu jembatan kecil dan para pedagang yang berjejer di tepian pantai bagian tersebut, saya tiba di lokasi kapal karam itu. Masih banyak sisa-sisa kapal yang telah membatu seperti guci air, tali temali hingga kayu-kayu kapal. Antara percaya dan tidak saya hanya bisa terpana mengaggumi reruntuhan kapal dalam cerita legenda Malin Kundang tersebut. Setelah mengambil foto dan berjalan-jalan menikmati suasana sekitar, akhirnya saya memutuskan kembali ke mobil guna meneruskan perjalanan ke Teluk Bayur untuk mendapatkan sunset di teluk tersebut daripada di Pantai Air Manis karena terlihat sunset masih sekitar 1 jam lagi dari posisi
Sisa-sisa Kapal Malin Kundang
ketinggian matahari saat ini.

Mobil kembali menelusuri jalan yang telah kami lalui sebelumnya. Setelah tiba di puncak, jalan mulai menurun hingga tiba di pertigaan jalan utama. Mobil berbelok ke kanan menelusuri jalan utama sekitar 20an menit. Dermaga Teluk Bayur dipenuhi kapal yang sedang berlabuh maupun sedang bongkar muat barang. Mobil terus melaju lurus menuju perbukitan di atas Teluk Bayur hingga tiba di suatu restoran di atas bukit atau tepi tebing yang menyediakan view Teluk Bayur di bawah. Air laut hanya beriak kecil karena tertiup angin sepoi-sepoi sore. Beberapa perahu nelayan terlihat melaju kembali dari
Teluk Bayur menjelang sunset
lautan menuju pelabuhan. Beberapa kapal terlihat berlabuh di lautan lepas. Saya duduk melepaskan lelah menunggu sunset menjelang di horison. Suasana sekitar sangat tenang walau kendaraan bermotor terus melaju di jalan depan restoran, namun suaranya tidak terdengar oleh saya karena seluruh perhatian dan energi saya terserap oleh keindahan tiada tara di bawah sana. Matahari terus bergerak perlahan menuju Barat menciptakan warna-warna yang terus berubah dari putih pucat, kekuningan, kuning dan jingga hingga akhirnya menghilang di kejauhan. Cahaya matahari yang hilang berganti pendaran lampu-lampu kapal dan perumahan di sekitar pelabuhan. Setelah mengambil puluhan foto, saya
Teluk Bayur saat sunset
akhirnya duduk santai menikmati keelokak lembayung senja Teluk Bayur hingga kegelapan malam memaksa saya dan Jasman harus kembali ke Kota Padang. Saya tiba di Hotel Ibis Padang sekitar jam 7 malam guna menghabiskan malam menunggu esok hari kembali ke Jakarta.

Indonesia negeri yang indah, elok dan kaya. Semuanya ada di negeri tercinta ini.
INDONESIA KEREN ABISSSS!!!.


Teluk Bayur saat sunset menghilang

Rabu, 22 Juli 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL WEST SUMATERA: Rumah Kelahiran Bung Hatta, Lubang Jepang, Janjang 1000 dan Koto Gadang

Bersama Bu Desi di depan foto Bung Hatta
di Lantai 2 Rumah Kelahiran Bung Hatta
"Pak, nunggu beberapa menit sambil isi buku tamu di teras, karena saya masih bersih-bersih", sapa seorang perempuan paruh baya saat saya mengucapkan salam ketika memasuki teras rumah kelahiran Bung Hatta di Jl. Soekarno Hatta No. 37 Bukit Tinggi yang terletak dekat pertigaan Pasar Bawah Bukit Tinggi. Rumah 2 lantai tersebut terkesan teduh dan terawat, termasuk taman depan yang dipagari sebagai pembatas dengan jalanan di depannya. "Baik bu", balas saya sambil duduk di salah satu kursi depan meja tempat buku tamu. Buku tamu tersebut saya buka dan baca sekilas untuk mengetahui asal-usul pengunjung lain yang telah mampir terlebih dahulu ke tempat tersebut. Setelah itu saya mencatatkan nama saya kemudian bertanya ke ibu yang menjaga rumah tersebut. "Bu, uang donasinya taruh dimana?", "taruh dalam buku tamu aja pak", balas perempuan paruh baya tersebut dari dalam rumah. "baik bu", balas saya sambil mengambil selembaran 50ribu dari dompet dan menaruhnya di buku tamu yang kemudian saya tutup kembali.


Kamar di teras depan 
Sambil menunggu, saya sempatkan melihat-lihat 1 kamar di sisi kiri saya atau di sisi kanan teras rumah hadap jalan raya depan rumah. Kamar tersebut tidak terlalu besar, mungkin berukuran 2x2 meter atau 2 x 2,5 meter saja namun sangat bersih dan rapi. Satu dipan berukuran sekitar lebar 1 meter menempati setengah  luas kamar tersebut dilengkapi bantal dan sprei yang semuanya berwarna putih. Di sampingnya terletak meja dan kursi yang menghadap jendela. Dinding kamar dari papan berwarna coklat berhias foto-foto Bung Hatta dan juga 1 gambar Garuda Pancasila. Berhadapan dengan kamar tersebut di sisi kanan saya atau sisi kiri teras rumah juga terdapat satu kamar lain dengan ukuran sama. Kamar ini sepertinya diperuntukan bagi para security karena terlihat seragam security berwarna biru dongker serta helm dan juga televisi kecil mengisi kamar tersebut.

Rumah kelahiran Bung Hatta dari depan
"Silahkan masuk pak" kata perempuan paruh baya tersebut dari dalam rumah. "Baik bu, terima kasih", balas saya lalu melangkah memasuki ruang tamu melewati kain pintu berwarna kuning keemasan. Ruang tamu cukup luas, bersih dan adem. Dinding ruangan terbuat dari bilah-bilah papan yang telah dicat putih dan diberi aksen hijau pada balok-balok yang mengapit dan menahan dinding-dinding rumah. Lantainya dilapisi tikar-tikar lampin berwarna coklat asal Kalimantan, sedangkan langit-langit ditutupi plafon terbuat dari anyaman bambu yang terlihat sangat terawat. Ruang tamu dilengkapi 2 set kursi dan 2 meja bundar yang diberi renda-renda putih mengingatkan saya akan rumah kakek di kampung. 1 set kursi terbuat dari
rotan sedangkan 1 lagi sepertinya terbuat dari kayu jati sama seperti mejanya. Lampu gantung model klasik berwarna putih menghiasi langit-langit ruangan. Pada salah satu sisi dinding tersandar rapi bufet kecil terbuat dari kayu berwarna gelap dan mengkilap berisi berbagai buku dan dokumen.
Teras depan rumah kelahiran Bung Hatta
Foto-foto Bung Hatta dalam berbagai pose dan kegiatan terlihat menghiasi seluruh dinding ruang tamu, bersama foto keluarga seperti ayah, ibu, paman dan juga gurunya yang mempengaruhi kehidupan dan karir Bung Hatta. Ruang tamu tersebut diapit 2 kamar di kiri dan kanan. Kamar-kamar tersebut dilengkapi tempat tidur berukir dengan 4 tiang di 4 sudutnya sebagai tempat kelambu. Terdapat juga lemari dan meja kecil bulat bertaplak renda putih. Tempat tidur diberi sprei putih yang pinggirannya berenda warna senada - sangat khas tempat tidur saat saya masih kecil.

Ruang tamu rumah kelahiran Bung Hatta
"Pakai sandal itu pak", kata bu Desi, demikian nama ibu paruh baya yang telah menyambut saya sejak 30an menit lalu. "Baik bu", balas saya sambil mengambil sepasang sandal kayu yang tersedia di samping pintu belakang. Saya melanjutkan ekplorasi saya ke bagian belakang rumah kelahiran Bung Hatta ini. Di bagian ini terdapat sederet ruangan yang dibangun berbentuk memanjang langsung pada batas tanah dan pekarangan belakang. Ruangan pertama yang saya kunjungi adalah ruang tidur Bung Hatta saat kecil. Ruangan ini dilengkapi 1 dipan yang berukuran sama seperti di dalam kamar di teras. Seperti tempat-tempat tidur di kamar-kamar lainnya, dipan ini juga dilengkapi seprei putih dan bantal dalam sarung berwarna
Kamar masa kecil Bung Hatta
senada. Kamar ini dilengkapi juga dengan lemari pakaian dan meja serta kursi yang semuanya terbuat dari kayu warna senada, yakni coklat gelap. Pada dinding kamar bersandar 1 sepeda ontel yang menurut Bu Desi merupakan sepeda Bung Hatta saat kecil dulu. Sebagaimana anak laki-laki Minang pada umumnya, sebagian besar waktu kecil Bung Hatta dihabiskan di Surau. Bersebelahan dengan kamar Bung Hatta adalah dapur keluarga yang masih tertata apik, kemudian gudang dan tempat dokar/pedati yang bannya masih sangat keras karena tidak  menggunakan ban yang diisi angin. Di bagian samping rumah dalam bentuk huruf L berjarak sekirar 3 meter dari bangunan tempat kamar tidur Bung Hatta hingga ruangan pedati terdapat bangunan kecil lain berjejer 3 ruang kecil yang menurut Bu Desi adalah kandang kuda pada masa lalu. Saat ini ruangan-ruangan tersebut kosong, namun tetap dirawat dan dibersihkan secara teratur sebagaimana ruangan / kamar-kamar lainnya di rumah tersebut.

Dapur rumah kelahiran Bung Hatta
Dari bagian belakang dan halamannya, saya kembali ke rumah induk menuju lantai 2 melalui tangga yang terletak dalam ruang makan yang berada di samping pintu belakang rumah induk. Lantai 2 terdiri dari 3 ruangan, yakni 2 ruang tidur di kiri dan kanan serta 1 ruang tengah yang hanya berhiaskan foto-foto Bung Hatta dan juga keluarganya seperti foto ayah, ibu, paman dan gurunya. Disini, bu Dessi mendampingi dan bertindak sebagai guide menjelaskan serba-serbi rumah kelahiran Bung Hatta tersebut serta juga keberadaannya yang telah merawat rumah tersebut selama 18 tahun - sebagai pegawai honorer Dinas Pariwisata Bukit Tinggi. Sekelompok anak sekolahan terlihat juga sedang berkeliling di lantai 2 sehingga saya
Tangga ke lantai 2 rumah kelahiran Bung Hatta
meminta salah satu dari mereka memotret diri saya dan bu Desi di depan foto close up Bung Hatta di lantai 2 rumah tersebut. Setelah ngobrol berbagai hal dengan bu Desi sekitar 20an menit sambil berkeliling, saya pamit meninggalkan rumah kelahiran salah satu Proklamator negara RI tersebut guna melanjutkan perjalanan ke Lubang Jepang membawa kesan yang tak akan terlupakan melihat rumah yang dengan segala isinya yang masih sangat terawat. Seandainya semua peninggalan masa lalu dirawat seperti rumah masa kecil Bung Hatta tersebut, Indonesia semakin kaya dengan berbagai warisannya, pikir saya sambil kembali duduk di sebelah Jasman memintanya mengantar saya ke tempat bubur Campiun sebelum ke Lubang Jepang.

Warung Pecal Ayang tidak hanya menjual bubur campiun, namun juga makanan lain, seperti bubur kacang ijo dan lontong sayur untuk sarapan. Saya memesan 1 piring bubur campiun - campuran 7 jenis bubur - bersama segelas teh talua - minuman khas Minang yang terbuat dari telur bebek atau ayam, teh, susu kental manis dan gula. Jasman memesan lontong sayur dan segelas kopi. Setelah kami mampir sekitar 20an menit di warung Pecal Ayang untuk sarapan (sarapan kedua bagi saya, karena telah sarapan nasi kapau di Pasar Atas - lihat catatan perjalanan sebelumnya), saya dan Jasman melanjutkan perjalanan ke Lubang Jepang yang tidak terlalu jauh dari warung Pecal Ayang.

Ngarai Sianok dari Taman Panorama
Taman Wisata Panorama dan Lubang Jepang, demikian yang tertulis pada plang di gerbang saat saya melangkah memasuki gerbang kawasan wisata tersebut. Saya menghampiri loket karcis yang terletak di sebelah kanan saya (kiri gerbang). Jasman dan mobil yang kami gunakan akan menunggu saya di Koto Gadang, karena dari tempat wisata ini saya akan berjalan kaki melalui Jenjang 1000 ke Koto Gadang di seberang ngarai Sianok. "sepuluh ribu rupiah pak", kata penjaga loket sambil menyodorkan selembar karcis masuk. Saya menerima karcis tersebut bersama 1 brosur berwarna putih yang dicetak dan dilipat rapi berisi informasi semua tempat wisata di Bukit Tinggi. Saya mengambil karcis dan mengembalikan brosur karena saya telah mendapatkan brosur yang sama dari hotel. Dari loket karcis, saya berjalan
Taman Panorama berlatar Ngarai Sianok
mengikuti jalan-jalan setapak yang rapi dan bersih dalam Taman Panorama tersebut menuju salah satu tebing di sebelah kanan saya guna menikmati Ngarai Sianok di kejauhan. Taman Wisata Panorama ini lebih cocok bagi wisata keluarga, terutama anak-anak karena terlihat seperti taman bermain anak-anak. Saya melewati beberapa patung prajurit Jepang di tengah taman terus mengarah ke tebing yang saya tuju. Beberapa pengunjung lain terlihat sedang asyik berfoto di tempat tersebut. Tiba di situ, saya mengambil beberapa foto lalu minta tolong salah seorang pengunjung memotret diri saya dengan latar belakang Ngarai Sianok nan indah. Selesai berfoto di tempat tersebut, saya mengambil jalan balik mengikut petunjuk arah yang ada menuju Lubang Jepang. 

"Mau ke Lubang Jepang pak?", sapa seorang pemuda bertubuh ceking memakai hem merah bercelana jins hitam. Iya, balas saya sambil terus berjalanan. "mau saya temanin?, tanya pemuda tersebut yang ternyata adalah seorang guide lokal. "Boleh", balas saya sambil berhenti
Pintu masuk Lubang Jepang
sesaat menunggu pemuda tersebut menghampiri saya sehingga kami berjalan berdampingan ke Lubang Jepang yang terletak tengah-tengah Taman Panorama. "Wira, kata pemuda tersebut sambil menjabat tangan saya". "Jo, balas saya. Kami menuruni beberapa anak tangga semen hingga tiba di depan Lubang Jepang. Sebelum memasuki lubang, Wira menjelaskan kepada saya beberapa bagian dan juga sejarah singkat lubang tersebut, termasuk rencana pemerintah daerah setempat melengkapi Lubang Jepang tersebut dengan berbagai fasilitas publik sebagaimana tertulis di denah yang tertempel di bagian kiri lubang sebelum pintu masuk. Wira memotret saya beberapa kali di depan gerbang masuk, kemudian kami memasuki Lubang Jepang tersebut. Kami berjalan perlahan menuruni tangga-tangga semen yang memudahkan pengunjung memasuk Lubang Jepang. "Kita turun 65 meter dari permukaan tanah ke
Bersama pengunjung lain di tangga ke dasar Lubang
dasar lubang di dalam tanah untuk menyusuri lorong-lorong Lubang Jepan ini", kata Wira sambil kami terus berjalan menuruni tangga-tangga tersebut. Beberapa anak lelaki yang juga sedang berkunjung ikut bergabung dengan saya mendengarkan cerita Wira tentang Lubang Jepang. Kami akhirnya menjadi satu rombongan pengunjung yang berjalan-jalan menyusuri berbagai lorong di Lubang tersebut. "lorong-lorong ini telah diperlebar dan ditinggikan untuk memudahkan pengunjung. Dinding-dindingnya juga telah dilapisi semen",  demikian potongan-potongan informasi yang kami peroleh dari Wira. Lumayan juga mendapatkan pelajaran sejarah tentang Lubang ini, kata saya dalam hati.

Di salah satu lorong 
Kami berhenti di beberapa tempat guna mengamati lebih dekat sekaligus mendengarkan informasi lanjutan dari Wira. "Lubang ini dilengkapi gudang senjata, kamar tidur, kamar tahanan/penjara dan juga ruang eksekusi / dapur. Seluruh lorong yang ada berjumlah 22, namun baru 20 yang dibuka untuk umum. 1 lorong lagi masih sedang disurvey dan diduga tersambung ke Jam Gadang dan Benteng Fort de Kock (baca catatan perjalanan sebelumnya), sedangkan 1 lagi tidak dibuka karena berbahaya bagi pengunjung", kata Wira. Lorong-lorong yang kami lalui cukup nyaman dan bersih serta terang karena telah diberi penerangan listrik. Saya perkirakan lebar masing-masing lorong bisa dilalui 4-5 orang dewasa yang berjalan berdampingan satu sama lain dengan tinggi sekitar 2 meter. Wira membawa saya dan teman-teman kecil yang bersama kami tersebut ke ujung salah satu lorong yang diberi pintu besi terkunci. "Di luar pintu ini, kita bisa melihat perkampungan di seberang lembah. Dahulu digunakan pasukan Jepang untuk mengintai aktivitas penduduk. Namun, karena terletak di ujung tebing, pemerintah menutup dan menggembok pintunya sehingga tidak membahayakan pengunjung. Dari lorong tersebut, Wira membawa kami ke dapur yang dinding ujung belakangnya telah diberi tembok guna
Salah satu lorong sebagai penjara pada masanya
menutup satu lubang yang menghubungkan ujung lorong dapur itu dengan sungai di lembah di bawah Lubang Jepang tersebut. "konon katanya, "dapur" ini merupakan tempat eksekusi para pekerja yang menggali Lubang Jepang ini", cerita Wira". "Mereka dieksekusi di tempat ini lalu mayatnya dibuang ke bawah melalui lorong yang telah ditutup dengan tembok ini karena mayat ataupun tulang belulang mereka tidak pernah ditemukan sampai saat ini", lanjut Wira yang meminta saya mengintip melalui lubang berukuran sebesar 2 kepalan orang dewasa di bagian bawah tembok tersebut. Saya hanya bisa melihat secercah cahaya. Wira meminta kamera saya lalu menempatkannya di lobang kecil tersebut dan menekan tombol pengambilan foto. Setelah itu, kami sama-sama memperhatikan hasilnya yang adalah suatu lorong sempit dalam bentuk yang masih seperti aslinya.

Lubang intip ke lorong di bawah tembok dinding dapur 
Dari dapur dan tempat eksekusi tersebut, Wira membawa kami berjalan balik melewati lorong yang telah kami lalui sebelumnya. Kami menuju ke ujung lorong lain yang berlawanan arah dengan lorong yang ujungnya diberi pintu besi dan dikunci. "Ini lorong yang diduga terhubung ke Jam Gadang dan Benteng Fort de Kock", kata Wira menunjuk satu lorong di depan kami yang terlihat masih belum direnovasi. Selesai dari lorong tersebut, kami dibawa Wira mengarah ke satu lorong yang membawa kami ke pintu keluar. Di lorong ini sedang dipersiapkan pembangunan toilet, restoran dan juga mushola. Di depan pintu terhampar jalan aspal berkelok ke lembah. "Itu jenjang / janjang 1000, kata Wira menunjuk ke lembah di depan pintu keluar Lubang Jepang. Saya menyerahkan 50ribu rupiah sebagai balas
Hasil foto lorong dari lubang intip
jalasnya menemani sekaligus menceritakan sejarah Lubang Jepang ke saya dan rombongan anak-anak yang bertemu dan bersama-sama menelusuri lorong-lorong Lubang Jepang tersebut. "Terima kasih banyak Pak, kata Wira sambil tersenyum lebar". "Sama-sama Wira, sukses yach, balas saya sambil menjabat tangannya sebagai salam perpisahan. Saya juga bersalaman dengan anak-anak yang telah menyertai kami berkeliling dalam Lubang Jepang selama hampir 1 jam. Semua bentuk lorong di Lubang Jepang sama sehingga jika tidak menggunakan pemandu, pengujung bisa tersesat dan berputar-putar di dalam Lubang tersebut. Dinding-dinding lorong terbuat dari campuran kapur dan tanah sehingga semakin kuat jika terkena air. Dinding juga dibuat bergelombang guna meniadakan gema suara. Secara keseluruhan, panjang Lubang Jepang tersebut diperkirakan 1,5km. Lubang Jepang dan Rumah kelahiran Bung Hatta meninggalkan kesan yang sangat mendalam pada diri saya karena perawatannya yang telaten. Peninggalan-peninggalan sejarah tersebut terlihat sangat terurus jika saya bandingkan dengan tempat-tempat sejarah lain yang pernah saya kunjungi dan ekplorasi seperti misalnya Meseum Fatahillah di Jakarta yang pernah saya kunjungi dan mendapatkan kesan tidak terurus karena berdebu dan terkesan dibiarkan seadanya. Berbeda jauh dengan Rumah kelahiran Bung Hatta dan Lubang Jepang yang sangat lengkap cerita bisu maupun lisannya.

Saya menyeberangi jalan depan pintu keluar Lubang Jepang lalu berjalan turun ke lembah mengikuti jalan setapak yang terbuat dari semen. Sekeliling jalan yang saya lewati hanyalah pepohonan dan rerumputan. Di satu tempat saya mampir ke warung sederhana di tepi jalan yang sedang saya lalui guna membeli air mineral  dan makanan kecil khas setempat yang disebut "pensi" yakni kerang
Jembatan penghubung di Bukit Tinggi dan Koto Gadang di Jenjang 1000
-kerang mini di air tawar yang dioseng-oseng - kebanyakan berasal dari danau Maninjau. "3 ribu rupiah untuk pensi dan 5 ribu untuk air", kata penjualnya. Saya menyerahkan duit 8 ribu lalu mengambil 1 porsi pensi yang ditaruh dalam gelas-gelas bekas air mineral. Saya terus berjalan sambil mencicipi pensi dan kadang berhenti mengambil beberapa foto landscape sawah hingga tebing-tebing nan elok. Saat saya melewati perkampungan di lembah tersebut, saya mendonasikan 5 ribu rupiah ke peti donasi yang diletakan di tengah jalan sebagai biaya kebersihan. Saya terus melanjutkan perjalan hingga melewati satu jembatan gantung yang menghubungkan sisi Bukit Tinggi dan Koto Gadang.
Tangga-tangga di Jenjang 1000
Jalanan mulai mendaki saat saya melewati jembatan gantung tersebut. Tidak jauh dari Jembatan dan sebelum pendakian tangga pertama yang tersusun bersama tangga-tangga lain pada kemiringan sekitar 40an derajat, saya sekali lagi harus memberikan donasi untuk biaya kebersihan yang dijaga seorang pemuda. "Wah saya telah memberi sumbangan kebersihan di kampung di bawah", kata saya saat berhadapan dengan pemuda tersebut. "Ini lain pak", balas pemuda itu sehingga saya mengeluarkan 10ribu rupiah dan memasukannya ke peti donasi tersebut. "Seperti preman aja neh orang", omel saya dalam hati sambil mulai mendaki tangga-tangga setengah vertikal tersebut. Setelah tangga, saya berjalan di setapak semen yang datar menuju tangga lain demikian seterusnya sehingga total saya harus melewati 336 anak tangga barulah saya tiba di dataran sebelah di daerah Koto Gadang. Total waktu tempuh yang saya lalui adalah 22 menit dengan beberapa kali berhenti untuk memotret dan juga beristirahat terutama setelah melewati tangga-tangga setengah vertikal yang mengabiskan nafas saat tiba di puncak pendakian. Rasanya lega setelah melewati tantangan tersebut walau terasa lelah dana keringat membanjiri tubuh di panas terik siang itu.

Jalan setapak di Jenjang 1000
Jasman tersenyum lebar saat saya tiba di sisi Koto Gadang. Taman Wisata Panorama dan Lubang Jepang yang barusan saya kunjungi telah berada di seberang nun jauh di mata. Jasman sedang menikmati segelas kopi sambil duduk di bangku yang berada di bawah satu pohon rindang. Tidak jauh dari pohon tersebut, berdiri warung kelontong yang menjual kopi yang diminum Jasman. Penjualnya seorang lelaki muda bertanya apakah saya ingin pesan kopi atau minuman lain, saya menjawab tidak karena saya masih sedang membawa botol air mineral yang saya beli dalam perjalanan melewati Jenjang 1000. Saya meminta Jasman mengambil rokok kesukaannya - yang saya bayar bersama segelas kopi yang telah dipesan dan diminumnya. Sambil duduk beristrahat dan ngobrol, saya mengamati daerah sekitar tugu Jenjang 1000. Di depan saya di seberang jalan depan gerbang masuk keluar Jenjang 1000 berderet kios dan warung yang menjual berbagai jenis minuman dan makanan kecil. Saya bertegur sapa dengan beberapa rombongan yang lewat searah maupun berlawanan arah menuruni Jenjang 1000 menuju Bukit Tinggi. Setelah Jasman menghabiskan rokok dan kopinya, saya meminta dia memotret saya di depan tugu Jenjang 1000 sebagai kenangan
Salah satu bentuk rumah di Koto Gadang
telah pernah mampir dan melewati tempat tersebut. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke workshop perak di Koto Gadang. Jalan yang kami lalui tidak terlalu luas namun cukup bagus dari Tugu Jenjang 1000 hingga ke beberapa workshop kerajinan perak yang berjejer di pingir jalan besar. Rumah-rumah yang kami lewati di tepi jalan tidak menampakan kekhasan Minang. Semua rumah beratap seng yang telah menghitam dimakan usia, berbentuk kubus seperti rumah-rumah modern di tempat-tempat lain di Indonesia. "Kebanyakan penduduk Koto Gadang merupakan turunan para pekerja / karyawan orang Belanda", kata Jasman sambil sibuk menyetir. Saya hanya mengangguk-angguk sambil terus mengamati dan kadang memotret rumah-rumah yang kami lewati. Saat tiba di pertigaan, saya melihat
Mesjid di pertigaan Koto Gadang
satu mesjid cukup besar dihadapan kami. Di sebelah kiri kami terlihat satu rumah penduduk dengan ciri khas Minang - dinding berukir / motif berhiaskan warna hitam, merah dan putih serta beratap Gonjong.

Jasmin membelokan mobil ke arah kanan menyusuri jalanan datar  yang bagus aspalnya. Kiri dan kanan jalan terhampar persawahanan dan rumah-rumah penduduk silih berganti. Kami tiba di satu workshop pembuat perhiasan perak. Karena Koto Gadang terkenal dengan silver hand made-nya, sebagaimana informasi seorang teman, maka saya dan Jasman berkunjung ke Koto Gadang dengan tujuan melihat-lihat sekaligus membeli salah satu perhiasan
Tempat saya membeli cincin perak motif Minang
buatan tangan Koto Gadang sebagai kenang-kenangan. Kami mampir di beberapa workshop sampai saya menemukan 1 cincin perak bakar bermotif khas Minang seharga 350ribu rupiah. Setelah membeli cincin tersebut, saya dan Jasman meneruskan perjalanan ke Danau Maninjau.

Bersambung!!

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...