|
Menjala ikan di sungai Batanghari |
Pagi masih gelap saat saya telah nongkrong di balkon Hotel Hiltop tempat saya menginap. Saya mengamati aktivitas pagi di sungai Batanghari. Selain lalu lalang perahu motor kecil di kedua sisi sungai, para nelayan setempat juga sedang melakukan kegiatanya menagkap ikan menggunakan jala atau hanya pancing semata. Saya terus mengamati kesibukan di sungai Batanghari sampai sinar matahari semakin tinggi. Beberapa nelayan terlihat asyik melempar, menarik, mengumpulkan hasil, membersihkan dan kembali melempar jala terbuka ke sungai Batanghari. Kegiatan tersebut dilakukan berulang-ulang sambil berpindah-pindah.
Walau para nelayan ini berdiri dan mengayun tubuhnya saat jala dilempar ke sungai, namun perahu-perahu kecil yang mereka gunakan terlihat
|
Menjala ikan di sungai Batanghari |
stabil. Saya mengagumi cara mereka menjaga keseimbangan saat tubuh diayun dan jala dilempar. Setelah puas, saya kembali ke dalam hotel untuk sarapan, kemudian mandi dan mempersiapkan diri bagi perjalanan ke kompleks percandian di Muaro Jambi.
Sekitar jam 8 pagi, Nodi demikian nama sopir sekaligus pemandu saya hari ini menelpon menanyakan kesiapan saya. Saya meminta dijemput jam 9 pagi dengan asumsi loket karcis di Muaro Jambi baru buka sekitar jam 10 pagi. Dengan asumsi waktu tempuh Kota Jambi ke Muaro Jambi sekitar 1 jam sebagaimana informasi yang saya terima dari berbagai sumber, maka jika saya berangkat jam 9 pagi akan tiba di kompleks percandian Muaro Jambi sekitar jam 10 pagi. Asumsi yang salah, karena loket telah dibuka sekitar jam 7 pagi dan juga jarak tempuh mobil dari Hotel Hiltop ke Muaro
|
Sepeda sewaan guna mengelilingi komplek candi seluas 3ha |
Jambi hanya sekitar 30an menit saja melewati jalan beraspal bagus yang tidak terlalu ramai di pagi hari itu. Dari Hotel, Nodi membelokan mobil ke sebelah kiri menyusuri jalanan yang memanjang mengikuti aliran sungai Batanghari ke hulu. Sekitar 5 menit dari hotel, mobil belok kiri di suatu pertigaan hingga melewati Jembatan Aur Duri II. Nodi mengatakan bahwa sebelum ada Jembatan Aur Duri II, perjalanan ke Muaro Jambi harus melewati Jembatan Aur Duri I dan jalan lain yang terletak lebih ke hilir sehingga kendaraan harus memutar dengan waktu tempuh menjadi lebih lama. Kami tiba di pertigaan jalan lama tersebut setelah mendekati kompleks percandian Muaro Jambi. Pada pertigaan ini, mobil belok kanan menyusuri jalan raya yang menghubungkan Kota Jambi dengan Kota Muaro Jambi. Di pertigaan ini terlihat spanduk besar berisi informasi tentang candi-candi Muaro Jambi. Jarak tempuh Kota Jambi ke kompleks utama candi-candi Muaro Jambi sekitar 26 km.
|
Akses dari jalan mobil ke Candi Kedaton |
"Itu kanal yang dibuat pada masa lalu menghubungkan sungai Batanghari dengan kompleks percandian", kata Nodi menunjuk ke sebelah kiri jalanan yang sedang kami lalui. Saya hanya mengangguk-angguk karena belum paham apa maksudnya. Sekitar 1km dari pertigaan, Nodi membelokan mobil ke kiri menempuh jalan yang lebih kecil namun telah beraspal. Mobil diparkir di suatu tempat parkir yang cukup luas dan sepi. Saat kami parkir di tempat tersebut terlihat 2 mobil lain telah parkir terlebih dahulu. Dari tempat parkir, kami berjalan ke loket penjualan karcis yang terletak di pinggir jalan depan lapangan parkir. Setelah membeli karcis, kami berjalan sekitar 100 meter ke lokasi candi-candi yang telah ditemukan dan ditata kembali. Sepanjang jalan yang kami lalui berjejer rumah penduduk yang juga dijadikan tempat jualan souvenir dan penyewaan sepeda. Pengunjung yang ingin mengeliling kompleks meggunakan sepeda dapat menyewa sepeda seharga 10ribu rupiah. Sebelum memasuki kompleks candi, kami mampir ke pos pemeriksaan tiket yang dijaga 2 petugas laki-laki. "Setelah mengunjungi candi, bisa juga mengunjungi museum jika tertarik", kata salah satu petugas. "Dimana pak", tanya saya. Petugas tersebut menunjuk ke bangunan bercat putih yang terletak puluhan meter dari pos pemeriksaan tiket. Saya mengangguk dan mengucapkan terima kasih lalu melangkah kembali ke jalan menuju candi terdekat dari pos pemeriksaan tiket.
|
Bersama Nodi di depan kompleks candi Gumpung |
Saat berfoto dari jarak jauh dengan latar belakang salah satu candi, seorang laki-laki muda berbaju safari warna biru dongker datang dan memperkenalkan dirinya. "saya Atol Candi" kata lelaki tersebut sambil mengulurkan tanganya. "Saya Jo, kata saya sambil menjabat tanganya". Akhirnya saya dan Geni ngobrol dan foto-foto dengan Atol - walau namanya terdengar agak unik dan aneh bagi saya, namun saya tidak menanyakan lebih jauh hal tersebut. Atol menginformasikan adanya homestay bagi pengunjung yang ingin menginap dan berkeliling di pagi hari saat udara masih sejuk. Saya berterima kasih dan akhirnya kami bertukar nomor telpon
incase ada teman atau suatu hari nanti saya ingin balik ke tempat tersebut, maka saya dapat menghubungi Atol guna menginap di salah satu homestay merasakan
|
Bersama Atol Candi |
kehidupan pedesaan sekaligus mengeliling kompleks percandian yang memiliki luas sekitar 3 ha di pagi hari menggunakan sepeda sewaan.
Kompleks yang saya dan Nodi kelilingi lumayan luas. Dalam kompleks ini terdapat 3 candi, yakni candi Gumpung, candi Tinggi dan candi Tinggi I yang merupakan bagian dari 8 candi yang telah dieskavasi / ditata. Candi-candi ini terbuat dari bata merah kekuningan dengan lebar sekitar 10 x 20 cm. Dari ketiga candi tersebut hanya candi Gumpung yang masih berbentuk bangunan utuh tanpat atap. di salah satu depan pintu masuknya terdapat patung penjaga berwarna abu-abu yang sepertinya terbuat dari batu andesit seperti pada candi-candi di Jawa. Candi Tinggi dan Tinggi I berbentuk susunan batu bata semata. Di beberapa tempat masih terlihat serakan dan tumpukan bata yang merupakan sisa-sisa reruntuhan candi. Perbedaan dengan candi-candi di Jawa adalah candi-
|
Depan Candi Gumpung |
candi Muaro Jambi tidak memiliki ornamen seperti lukisan dan patung. Disekitar kompleks tersebut terdapat beberapa kios dan juga tempat penyewaan sepeda yang sedang sepi. Menurut Geni, kios dan sewa sepeda akan ramai saat liburan seperti sabtu dan minggu atau hari libur lainnya. Sepertinya saya dan Nodi merupakan pengunjung pertama di kompleks tersebut, karena setelah kami berpindah ke arah museum, barulah terlihat 2 kelompok lain yang sedang berjalan-jalan di lokasi candi Gumpung yang telah selesai kami kunjungi.
Saat tiba di jalan depan museum, seorang lelaki paruh baya menyambut kami. "Ingin masuk?, tanya lelaki tersebut sambil tersenyum menyapa kami dari teras museum. "Iya pak, balas saya sambil melangkah ke bangunan museum. 2 orang tukang terlihat sibuk mengelas besi-besi panjang yang sepertinya diperuntukan bagi jendela-
|
Candi Tinggi |
jendela museum tersebut. "Bujang", kata lelaki paruh baya tersebut sambil menjabat tangan saya dan Nodi kemudian membuka pintu museum menggunakan kunci yang dipegangnya. Pak Bujang menemani saya berkeliling ruang museum yang tidak terlalu besar. Saya melihat-lihat berbagai koleksi museum sambil mendengarkan penjelasan Pak Bujang tentang asal usul candi, sejarah penemuan dan eskavasi berbagai benda yang disimpan dalam museum sejak era Hindu, Cina dan Budha - jejak relasi dengan Cina masih terlihat dari pecahan piring dan guci porselen yang ditemukan di lokasi tersebut.
Saya menghabiskan sekitar 30 menit di museum tersebut mendengarkan penjelasan Pak Bujang yang diberikan secara gratis karena tidak ada tiket masuk. Saat saya pamit, Pak Bujang memberikan 1 buku kecil tentang candi-candi Muaro Jambi. Sebagaimana biasa dalam kunjungan saya ke berbagai tempat di Indonesia, saya meminta Pak Bujang berpose bersama saya sebagai kenang-kenangan. Kami lalu berpose di depan prasasti
|
Bersama Pak Bujang |
pembukaan museum yang dibuat pada satu fosil kayu yang telah membatu.
Selesai dari museum, saya dan Nodi berjalan kembali ke tempat parkir. Kami berpapasan dengan 1 kelompok pengunjung baru yang sedang jalan berlawanan arah menuju museum. Atol Candi sedang duduk di pos jaga bersama petugas lainnya. "Jangan lupa nginap di sini jika ke Muaro Jambi lagi", kata Atol. "Pasti", balas saya sambil melambaikan tangan dan terus berjalan. Sebelum tiba di tempat parkir, saya dan Nodi mampir di satu kios souvenir di depan tempat parkir. Selain menjual souvenir khas candi, kios ini juga menjual berbagai jenis batu akik Jambi. Saya membeli 1 souvenir kecil dan 4 batu akik sebagai kenang-kenangan kunjungan ke lokasi tersebut sekaligus foto bersama dengan mas Suhardi yang adalah pemilik kios bersama istrinya sekaligus pedagang batu akik yang telah melanglang buana sampai Jakarta guna mengikuti pameran dan menjual batu-batu akiknya.
|
Bersama mas Suhardi |
Sebelum kembali ke Kota Jambi, saya dan Nodi mampir ke candi Kedaton yang letaknya terpisah dari kompleks 3 candi yang telah kami kunjungi. Akses ke candi Kedaton melalui jembatan kayu kecil sepanjang 20an meter dengan lebar 1 meter. Nodi memarkir mobil di pinggir jalan utama lalu kami berdua berjalan menyusuri jalan setapak hingga masuk ke kompleks candi Kedaton yang terletak sekitar 100 meter dari jalan raya. Jembatan kayu yang kami lewati terletak di atas kanal yang dibuat para pendiri candi pada zaman dulu guna menghubungkan kompleks candi-candi tersebut dengan sungai Batanghari yang
|
Depan Candi Kedaton |
menjadi jalur transportasi saat itu. Saya dan Nodi melewati reruntuhan pagar bata dengan lebar sekitar setengah meter yang memagari kompleks candi Kedaton. Selain pagar berbentuk persegi empat, kompleks candi Kedaton dilengkapi 4 gerbang di 4 sisinya. Kompleks candi ini sebesar setengah lapangan sepak bola. Beberapa pohon besar terlihat menaungi kompleks yang cukup luas tersebut. Sama seperti candi lainnya yang telah kami kunjungi. Candi Kedaton terbuat dari bata merah kekuningan dengan bangunan yang juga tidak utuh lagi. Di depan candi ini terdapat semacam pelataran terbuka dari bata - mungkin saja pelataran tersebut dulunya merupakan salah satu bangunan candi. Setelah berkeliling dan mengambil foto sekitar 30 menit di lokasi tersebut, saya dan Nodi kembali ke mobil guna
|
Candi Kedaton |
meneruskan kunjungan kami ke tempat-tempat lain di Kota Jambi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar