Kamis, 20 Maret 2014

KELILING LONDON: The Tower of London dan Tower Bridge

Tulisan Kesepuluh


London Eye
Mendung masih menggayut lebat di langit Kota London saat bis city sight seeing yg saya tumpangi melaju perlahan meninggalkan halte pinggir sungai Thames. Saya memilih duduk di dek atas menikmati sore hari Kota London yang masih terang benderang. Sambil menikmati berbagai obyek di pinggir-pinggir jalan yang dilalui bis, saya berkhayal tentang Jakarta dan Indonesia. Di tanah air dalam waktu seperti sekarang di London, matahari mulai tersenyum malu tentunya yang secara perlahan akan memasuki peraduannya sekitar jam 6 sore. Tidak seperti di London, cahaya matahari baru akan pergi sekitar jam 8 malam digantikan kerlap-kerlip berbagai lampu di jalan maupun gedung-gedungnya. Walau demikian, berbagai obyek wisata telah menutup pintu bagi turis pada jam 5 sore atau paling lambat 5.30, dan biasanya rata-rata baru buka jam 9 atau 9.30 pagi, bahkan ada yang baru buka jam 10 pagi. Dengan rentang waktu tutup buka obyek-obyek wisata seperti itu, maka waktu kunjungan pun menjadi pendek. Tentu saja dari hitung-hitungan pemasukan, para pengelola obyek-obyek wisata tersebut lebih diuntungkan dibandingkan pelancong seperti saya. Bagi pelancong, waktu buka obyek wisata makin lama akan semakin baik, karena pelancong dapat menghabiskan waktu sebanyak mungkin ke obyek-obyek wisata yang dikunjunginya. Dengan jangka waktu buka yang terbatas, maka pelancong harus mengalokasikan lebih banyak hari di kota tertentu, seperti London agar bisa menikmati obyek-obyek wisata yang dibuka bagi pelancong.


Tower Bridge
Dari halte sungai Thames, bis berbelok ke kiri ke arah York street dimana London Eye terletak di
sebelah kiri jalan tersebut. Bis kemudian memasuki Waterloo street lalu menyeberangi sungai Thames dan Victoria embankment lalu menyusuri Fleet street melewati depant Royal Courts of Justice yang berdiri megah dalam arsitektur abad pertengahan berwarna coklat. Bis terus melaju melewati Katedral St. Paul lalu memasuki Cannon street lurus menuju The Monument kemudian belok kanan di pertigaan depan The Monument menyeberangi sungai Thames melalui London Bridge kemudian belok kiri memasuki Tooley street setelah itu belok kiri lagi mengarah ke Tower Bridge yang berdiri kokoh seperti menantang langit. Tower Bridge terdiri dari menara kembar yang dibangun di dalam sungai. Antar menara dihubungkan oleh dua jembatan, yakni satu jembatan yang letaknya sejajar jalan di sisi Utara dan Selatan sungai Thames, sedangkan satu lagi terletak di atas jembatan yang sejajar jalan.  Masing-masing menara dengan tepian sungai diperkokoh oleh tali-tali besi berwarna biru muda. Jembatan penghubung antar menara di bagian bawah dapat digerakan dan diangkat  untuk memberikan jalan bagi kapal-kapal yang akan lewat di jalur tersebut. Dalam sejarahnya, pembangunan Tower Bridge dimulai pada tanggal 22 April 1886 dan secara resmi selesai pada 30 Juni 1894 melalui suatu acara peresmian yang dilakukan oleh Pangeran Wales dan istrinya - kemudian menjadi Raja Edward VII. Arsitekturnya didesign oleh Horace Jones dan George D Stephenson.

Gerbang Masuk Keluar Pengunjung
Bis perlahan melaju meninggalkan Tower Bridge menuju pertigaan jalan yang menghubungkan Tooley street dan Upper Thames street melewati sisi belakang Tower of London. Saat tiba dipertigaan, bis belok kanan masuk kembali ke Upper Thames street. Saat  bis berhenti di halte Upper  Thames street tidak jauh dari pertigaan, saya pun melangkah turun karena akan mengunjungi Tower of London yang terletak di sebelah kiri saya atau belakang halte yang menghadap Upper Thames Street. Saya harus berjalan kaki sekitar 75 meter dari halte menuju gerbang masuk yang terletak di samping sungai Thames. Pengunjung lain telah mulai bergegas meninggalkan kawasan tersebut. Ada yang duduk selonjor menikmati udara sore. Saya bergegas menuju gerbang yang dijaga 2 petugas berseragam. Saya hanya menunjukan London Pass yang saya gantung di leher lalu petugas mempersilahkan saya untuk melewati gerbang sambil mengingatkan agar saya menaruh ransel di depan dada. Saat saya menunjukan ransel yang digembok, sambil tersenyum petugas tetap mengingatkan agar saya berhati-hati. Saya mengucapkan terima kasih lalu berjalan memasuki gerbang. Sebelum tiba di kompleks kastil Tower of London, saya harus berjalan melewati jalan yang dibuat diatas semacam parit dengan ketinggian sekitar 10 meter ke bawah. Mungkin pada zaman dulu, parit tersebut digunakan untuk melindungan Tower of London dari serangan musuh. Sesekali saya berhenti untuk  sekeliling area tersebut.  Kenyataannya Tower of London dikelilingi oleh parit yang saat ini telah diubah menjadi taman dengan rerumputan hijau nan apik.

Saya terus berjalan sambil berpapasan dengan segelintir pengunjung lain yang berjalan keluar
Tangga ke Tower of Thomas dalam kompleks Tower of London
gerbang. Di sebelah kiri jalan yang saya lalu dari gerbang masuk terletak bangunan utama Tower of London berbentuk persegi berwarna kecoklatan dengan 4 menara di masing-masing sudutnya. Bangunan utama tersebut dikelilingi semacam benteng berlantai 2 yang pada masing-masing sudutnya berbentuk bangunan setengah bulat yang dihubungkan dengan jalan jembatan dari kayu Setelah berjalan lurus sekitar 25 meter dari gerbang masuk, saya melihat tangga besi berwarna hitam di sebelah kanan jalan yang sedang saya telusuri. Saya lalu memutuskan menaiki tangga tersebut ke lantai 2 Tower of London. Saya mengambil beberapa foto, termasuk foto diri sendiri di atas tangga ke lantai 2 kastil tersebut. Dari tangga saya lalu belok kanan menyusuri lorong yang mengarah ke sungai Thames. Lorong tersebut berhenti di satu ruangan semacam aula persegi empat. Pada sisi kananya terdapat kamar-kamar dengan jendela-jendela yang terbuka ke arah sungai Thames. Pada salah satu kamar, Tower Bridge dapat dilihat dengan jelas melalui jendela kaca yang tertutup rapat. Kamar lain adalah kamar tidur - mungkin raja dan ratu atau pangeran zaman itu. Layaknya kamar tidur bangsawan zaman dulu, kamar tersebut cukup luas namun terkesan sederhana saja. Kamar ini juga terletak atau bersebelahan dengan sungai Thames. Pada ujung lain kamar tersebut terdapat lagi lorong ke ruang lain. Saya lalu menyusuri lorong sempit tersebut hingga tiba di satu ruangan lain yang jendelanya berhias kaca patri warna-warni. Saya berhenti beberapa menit di setiap kamar yang saya masuki untuk mengamat-amati sekaligus memotret sampai saya kembali tiba di luar bangunan Tower of London, namun masih dalam area kastil tersebut.


Depan white tower yang merupakan
bangunan pertama Tower of London
Tower of London dalam sejarahnya merupakan istana sekaligus benteng. Jika mengamati konstruksi bangunannya yang berparit dan dikitari oleh dinding batu tebal, maka dapat dipastikan bahwa fungsi sebagai benteng adalah bagian dari perjalanan sejarah bangunan tersebut. Tower of London didirikan sekitar tahun 1066 pada masa penaklukan bangsa Normandia atas Inggris. Komplek Tower of London merupakan gabungan dari beberapa bangunan yang dibangun bertahap dengan dua lingkaran parit dan benteng dalam area seluas 4,9 hektar. Bangunan utamanya berbentuk bujursangkar dengan 4 menara di masing-masing sudutnya - dikenal sebagai white tower merupakan bangunan pertama di kompleks tersebut. White tower dan beberapa bangunan lainnya yang adalah bangunan pertama dalam kompleks tersebut terbuat dari kayu pada awalnya yang kemudian direnovasi bersama dengan pembangunan tahap berikut yang dilakukan oleh Raja Richard - yang sekaligus memperluas kompleks istana benteng tersebut pada tahun 1220an. Pembangunan berikutnya dilakukan oleh Raja Henri III dan Edward I terutama memperluasnya ke arah Selatan samping sungai Thames, yakni membangun Tower of Thomas pada tahun 1275-1279 - yang menjadi gerbang masuk keluar para pengunjung saat ini.

Ruang tidur raja Edward I di Tower of Thomas
yang adalah bagian dari kompleks bangunan Tower of London




Sabtu, 01 Februari 2014

JJ EROPA BARAT. LONDON: Big Ben dan Westminster Abbey

Tulisan Kesembilan

Big Ben
Melihat Big Ben secara langsung merupakan impian sejak kecil saat SD.  Pada salah satu mata pelajaran - saya telah lupa pelajaran apa - yang diajar guru saat itu tentang zona waktu dunia yang ditentukan melalui GMT.  Gambar Big Ben merupakan salah satu gambar dalam buku tersebut sehingga muncul asosiasi pikiran saat itu bahwa GMT adalah Big Ben - yang ternyata berbeda. Setelah  dewasa dan mengetahui lebih banyak tentang Kerajaan Inggris tergambarkan secara jelas perbedaan antara GMT dan Big Ben sehingga impian melihat langsung Big Ben yang terletak di kawasan Westminster bertambah dengan impian untuk melihat tugu GMT di daerah Greenwich. Oleh karena impian saya melihat langsung tugu GMT telah terpenuhi kemarin, maka hari ini giliran mengunjungi Big Ben.

Depan Gedung Parlamen Inggris
Saat bis yang saya tumpangi tiba di kawasan Westminster, Big Ben terlihat secara jelas walau saat itu sedang berkabut tebal.  Saya lalu melangkah turun dari dek atas ke bawah bersiap untuk turun di halte terdekat. Sambil mengarah ke halte, pemandu menjelaskan sejarah Big Ben dan Gedung Parlemen melengkapi informasi yang telah saya peroleh melalui internet. Saat bis berhenti dan pintu terbuka, saya dan beberapa turis melangkah keluar. Kabut dan gerimis yang sedang terjadi saat itu tidak menyurutkan semangat saya melangkah di pedestarian yang terletak di seberang jalan sebelah kanan gedung Parlamen dan Big Ben. Setelah jaraknya cukup dekat, saya lalu berdiri dan mengamat-amati arsitektur gedung Parlamen dan Menara Big Ben. Big Ben sendiri terdiri atas 2 bagian yang menyatu, yakni menara dan jam besar yang dapat dilihat dari 4 sisi yang dipasang pada menara tersebut. Menara dan jamnya terletak di sisi belakang gedung Parlamen yang berbatasan langsung dengan Sungai Thames. Arsitektur Gothik berwarna coklat gelap membalut gedung Parlamen dan Menara Big Ben yang berdiri kokoh membuat keduanya sangat menonjol di daerah sekitarnya. Puncak menara dipasangi lampu yang akan menyala di malam hari jika Parlamen bersidang di malam hari. Hanya sedikit turis yang lalu lalang di sekitarnya mungkin disebabkan oleh gerimis yang masih terus turun. Saya tetap melangkah di pedestarian seberang jalan sambil sesekali berhenti untuk mengamat-amati keduanya Gedung Parlamen dan Big Ben.

Big Ben dari sisi Westminster Abbey
Menurut Wikipedia, Big Ben adalah nama yang merujuk pada sebuat menara jam yang terletak di Gedung Parlamen di Westminster, London. Jam ini terletak di Timur Laut gedung Parlamen tersebut. Big Ben sebenarnya adalah nama kecil dari lonceng yang terletak di dalamnya. Awalnya disebut Tower Stephen karena letaknya di kompleks biara Stephen. Sebelum berubah nama menjadi Big Ben, Menara ini juga diseebut Great Bell. Pembangunan menara Big Ben diselesaikan pada tahun 1859. Menara Big Ben, Menara Victoria dan gedung Parlamen didesain oleh Charles Barry sebagai pengganti istana Westminster yang terbakar pada tahun 1834.  Tinggi Menara 96,3 meter dalam gaya arsitektur Neo Gothik. Menara dibangun diatas tanah seluas 15 x 15 m. Fondasi terbuat dari beton setebal 3 meter pada kedalaman 4 meter di bawah permukaan tanah. Puncak menara ditopang oleh rangka besi yang dibuat dari besi leleh. Tinggi semua sisi menara yang dipasangi jam adalah 55 meter dari permukaan tanah. Jam dan lonceng Big Ben didesain oleh Augustus Pugin. Jam diletakan pada kerangka besi berukuran 7 meter, ditopang oleh 312 kaca opal sehingga mirip seperti jendela berwarna. Seluruh loncengnya dilapisi emas. Di bagian bawah jam, di setiap sisinya terdapat tulisan Domine Salvam Fac Regiman Nostram Victoriam Priman (Oh Tuhan, Lindungi Ratu Victoria Yang Pertama). Seluruh kompleks, termasuk gedung Parlamen dan Menara Victoria selesai dibangun tahun 1870.

Setelah berdiri dan mengamati kompleks tersebut selama beberapa menit, saya mulai berjalan lagi mengarah ke lampu merah yang terletak sekitar 40 meter dari tempat saya berdiri saat ini. Saya bermaksud menyeberang ke kanan guna masuk ke komplek gedung Parlamen lalu menyusuri gedung tersebut ke belakang menuju Menara Big Ben. Namun sebelum sampai di lampu merah, saya melihat deretan antrian di depan suatu gedung yang terletak di sebelah kiri saya. Saya lalu berhenti dan melihat-lihat lalu menemukan papan informasi bertuliskan nama Westminster Abbey. Yaa, gereja yang terkenal di seluruh dunia sebagai gereja yang digunakan keluarga kerajaan, terutama untuk upacara pernikahan, termasuk yang terbaru pernikahan Pangeran William dan Kate. Saya lalu teringat buku saku London Pass yang telah saya baca sekilas sebelumnya yang mana didalamnya ada informasi bahwa Westminster Abbey merupakan salah satu tempat wisata yang dapat dikunjungi secara gratis menggunakan tiket London Pass. Saya lalu bergegas ke depan gedung lalu menghampiri seorang pejaga pintu sekaligus mengamati para pengantri. Saya bertanya untuk memastikan apakah saya harus antri untuk masuk atau bisa dapat track tanpa harus mengantri lagi. Ternyata saya tetap harus mengantri mengikuti antrian yang telah ada. Beruntung antrian tidak terlalu panjang dan juga gerimis telah berhenti. Hanya awan gelap yang masih bergayut di atas langit. Saat tiba di depan penjaga yang duduk santai menjaga pintu dan mengawasi antrian, saya melihat satu papan informasi yang ditulisi pick pocket area alis kawasan copet - gelo pikir saya, saking banyaknya copet di tempat wisata tersebut, pengelola wisatanya sampai harus memberikan informasi tertulis agar para pengunjung ekstra hati-hati.

Tiket gratis yang diperoleh dengan menunjukan London Pass
Saya kemudian masuk setelah tiba giliran masuk ke dalam gedung. Sekitar 3 meter dari pintu masuk, seorang perempuan sedang menjaga loket penjualan karcis. Saya menunjukan tiket London Pass yang lalu diminta dan discan. Saya lalu diberi tiket masuk ke dalam gedung gereja tersebut. Saat memasuki gedung terlihat kumpulan-kumpulan turis yang lalu lalang sambil menenteng alat pendengar portable yang disediakan pengelola. Sepertinya gedung gereja ini berbentuk seperti Salib, kepala Salib berada di sebelah kiri saya, sedangkan kakinya yang lebih panjang berada di sebelah kanan. Saya terus berjalan masuk sampai tiba di tengah di satu titik yang terletak di tengah gedung dimana tersedia 2 kotak berisi alat pendengar portable yang dijaga - sepertinya oleh 2 pastor berjubah warna hitam. Saya menunjukan tiket saya lalu diberi 1 alat pendengar sekalian diingatkan untuk waspada terhadap para pencopet. Di beberapa tempat berdiri juga para penjaga berjubah panjang dalam warna-warna berbeda (merah, putih dan ungu). Para penjaga juga mengarahkan para pengunjung untuk berjalan mengikuti arah yang telah ditentukan. Selain dipandu  melalui alat pendengar portabel yang telah saya miliki, pengelola juga menyediakan denah dan informasi tertulis dalam bentuk brosur warna hijau tua. Pengambilan foto dilarang keras dalam gedung gereja tersebut - itu juga merupakan salah satu fungsi para pastor yang berdiri mengamati di beberapa tempat dalam gereja Westminster Abbey tersebut.

Westminster Abbey dari samping depan
Sesuai arahan tertulis dalam brosur, saya lalu mengarah ke kanan setelah mengambil alat pendengar portabel warna hitam yang berbentuk seperti HT atau HP, namun lebih panjang dan lebih pipih jika dibandingkan dengan HT atau sebaliknya lebih tebal jika dibandingkan dengan HP. Alat ini dilengkapi tombol-tombol bernomor, kabel yang tersambung dari alat tersebut ke bagian pendengarannya yang dipasang di telinga, seperti hands free / ear phone yang dipasang ke HP lalu ke telinga pengguna. Saat ear phone telah terpasan di telinga, lalu tombol on warna hijau ditekan, muncul informasi lisan tentang cara penggunaan alat tersebut dalam berbagai bahasa yang digunakan melalui tombol-tombol bernomor di alat tersebut. Saya saya menekan tombol bahasa Inggris, rekaman panduan yang terdengar pertama kali adalah ucapan selamat datang lalu mengarahkan ke titik tertentu yang telah diberi nomor pada brosur yang telah saya pegang. Rekaman panduan tersebut mengarahkan saya melalui denah yang tertera di brosur tersebut sekaligus memberi informasi detail tentang lokasi-lokasi dengan nomor-nomor yang telah saya tekan. Menggunakan alat portabel dan brosur tersebut, saya lalu terus berjalan lurus sambil mengamati berbagai lukisan, tulisan dan pahatan di lantai, dinding kiri dan kanan serta juga langit-langit gereja. Di sebelah kiri ujung lorong yang saya telusuri tersedia rak lilin yang berisi lilin-lilin kecil berbentuk bulat (seperti lilin yang digunakan untuk aroma terapi) yang dapat dinyalakan para pengunjung untuk berdoa. Donasi sekedarnya dimasukan ke dalam suatu kotak yang tersedia dekat rak lilin tersebut. Saya mengamati beberapa pengunjung yang mengambil lilin, memasukan uang logam ke kotak donasi lalu menyalakan lilin kemudian berdoa sambil memegang lilin bernyala. Selesai berdoa, lilin menyala tersebut ditempatkan ke rak yang juga telah disediakan di situ. Seorang pastor dan suster bergantian memonitor dan mengeluarkan tempat-tempat lilin yang telah kosong karena lilinnya telah habis terbakar dan padam.

Saya terus berjalan ke arah suatu kotak persegi kaca dengan panjang sekitar 1,5 meter dan lebar 1 meter di lantai yang terletak persis di tengah-tengah gedung bagian ujung atau kaki Salib. Kotak persegi tersebut dipagari bunga-bunga mawar merah segar serta lilin-lilin yang menyala. Kotak tersebut dikeliling oleh banyakj pengunjung sehingga saya tidak bisa membaca informasi yang tertulis di salah satu sisi kotak tersebut. Setelah melihat-lihat sebentar di sekitar kotak tersebut, saya lalu berjalan ke arah mimbar gereja yang terletak di sebelah kiri saya dari kotak kaca berpagar mawar merah dan nyala lilin-lilin tersebut alias saya jalan ke arah berlawanan dari arah saya datang tadi di sisi gedung yang berbeda. Di depan mimbar berjejer kursi-kursi yang beberapa diantaranya diduduki pengunjung yang sedang berdoa dalam keheningan. Beberapa pengunjung duduk di kursi-kursi tersebut sambil  mengamati mimbar dan patung-patung religius yang terpasang di situ. Tidak ada suara yang terdengar, bahkan turis pengunjung dalam kelompok-kelompok tidak terdengar suaranya. Semuanya hening dalam berbagai gaya - duduk, berdiri mengamati, berdoa ataupun berjalan-jalan sambil melihat-lihat arsitektur maupun lukisan, pahatan dan patung-patung dalam gereja tersebut.

Saya terus berjalan melewati deretan kursi dan mimbar. Rekaman panduan tetap saya dengar untuk mendapatkan informasi yang telah disediakan. Saya lalu tiba kembali di dekat tempat pengambilan alat panduan portable, namun di sisi yang berbeda dan dipisah penghalang portable yang diawasi oleh pastor-pastor lain yang sedang berdiri di sudut-sudut berbeda. Saya terus berjalan ke depan lalu berbelok ke kiri ke salah satu kamar yang dipenuhi berbagai patung dan pahatan dengan informasi nama, tahun dan informasi ringkas lainnya. Setelah puas melihat-lihat di kamar tersebut, saya keluar dan berpindah ke kamar lain sampai seamier kamar yang ada di bagian depan gereja saya masuki dan lihat. Saya lalu keluar kembali ke tengah-tengah gedung dimana tersedia puluhan kursi yang tersusun rapi - mungkin tempat umat duduk mengikut ibadah pada hari-hari ibadah atau acara-acara khusus gereja. Kursi-kursi tersusun tersebut mengarah ke bagian pintu masuk yang saya lewati setelah selesai mendapatkan tiket masuk. Saya memalingkan kepala ke kiri dan kanan ke lantai dan juga ke langit-langit melihat dan mengamati. Sekitar 10 menit duduk di situ, saya merasa ingin kencing, mata saya mulai mencari-cari apakah tersedia toilet di sekitar situ. Saya melihat tulisan toilet berbentuk panah sekitar 10 meter di bagian kanan belakang tempat duduk saya. Saya bangun dan berjalan ke panah tersebut yang mengarahkan saya ke samping luar gereja.

Salah satu lukisan di lorong keluar Westminster Abbey
Antrian pengunjung lumayan panjang di depan pintu toilet sampai ke dekat pintu samping gereja
mengarah ke toilet tersebut. Saya lalu ikut mengantri, sekitar 5 menit kemudian saya mendapatkan giliran. Setelah menyelesaikan urusan kencing, saya kembali ke dalam gereja untuk menyerahkan kembali alat pandu portabel sekalian mencari jalan keluar mengikuti tanda bertulis exit. Saat keluar dari pintu bertuliskan exit, saya masuk ke suatu lorong panjang berdinding tebal warna abu-abu. Sisi kanan lorong tersebut dihiasi jendela-jendela terbuka berbentuk lengkung di bagian atasnya sehingga cahaya dan udara masuk dengan bebas. Pada dinding sebelah kiri dihiasi berbagai lukisan dan pahatan. Saya berjalan perlahan sambil mengamati berbagai lukisan dan pahatan tersebut. Kadang saya berhenti mengambil foto atau membaca informasi yang tersedia di bawah lukisan atau pahatan-pahatan tersebut. Saat tiba di ujung lorong yang saya susuri yang mengarahkan saya ke lorong lain di sebelah kanan. Saya lalu berbelok ke lorong tersebut berjalan sambil melihat-lihat, sebentar-sebentar berhenti untuk membaca dan mengambil foto sampai saya tiba di pintu keluar.  Saat kaki melangkah keluar gerbang, saya disambut udara hangat dan hamparan suatu ruang publik yang tidak terlalu ramai. Sekitar 25 meter dari tempat saya berdiri di luar gerbang pintu keluar Westminster Abbey tersebut menjulang tinggi satu tugu yang diatasnya bertengger patung seseorang. Setelah mengamati sejenak, saya memutuskan mengambil arah ke kiri sisi saya karena saya melihat satu pohon besar berdaun lebat dimana beberapa orang sedang duduk berteduh sambil makan dan minum. Perut saya langsung keroncongan, sehingga saya memutuskan duduk di bawah pohon tersebut sambil makan sandwich dan minum air mineral yang telah saya beli sebelumnya di stasiun North Greenwich.

Saya beristirahat sebentar di bawah pohon tersebut setelah mengisi perut. Sambil istirahat, saya membuka peta dan buku manual London Pass untuk mencari obyek wisata lain yang ingin saya kunjungi. Saya memutuskan mengunjungi Katedral St. Paul, Millenium Bridge, Tower of London dan Tower Bridge. London Pass dapat digunakan memasuki St. Paul Cathedral, Tower of London dan  Tower Bridge. Sedangkan Millenium Bridge gratis. Karena letaknya berdekatan dengan Katedral, maka saya memutuskan mengunjungi keduanya dalam satu paket. Setelah itu saya akan naik bis wisata City Sight Seeing untuk berpindah ke Tower of London dan Tower Bridge yang berdekatan dalam peta. Setelah memutuskan akan mengunjungi tempat-tempat tersebut, saya lalu membuka peta City Sight Seeing mencari halte terdekat dari tempat saya duduk. Peta menunjukan 2 halte terdekat dari Gereja Westminster Abbey, yakni halte tempat saya turun dan satu halte lagi di seberang sungai Thames dimana saya bisa menikmati Big Ben pada sisi lain. Saya lalu memutuskan untuk berjalan ke halte yang terletak di seberang sungai Thames - yang jaraknya hampir sama dengan halte tempat saya turun - dari tempat saya beristrahat saat ini.

Saya bangun dan berjalan ke arah belakang pohon tempat saya duduk tadi. Ternyata pohon tersebut terletak di sisi kiri luar kompleks gereja Westminster Abbey alias saya masuk dari sisi depan kanan dan keluar di sisi kiri depan gereja. Saya lalu berjalan memasuki kompleks gereja melewati jalan setapak yang tersedia menuju depan gereja yang berjarak sekitar 50 meter dari pohon tempat saya duduk di bawahnya. Jalan yang saya lalui berakhir pada jalan lain di depan gereja yang menghubungkan gerbang masuk di pinggir jalan dengan gereja itu sendiri dalam rentang jarak sekitar 30 meter. Saya berhenti dan mengamati bangunan megah gereja tersebut dari gerbang pintu masuknya. Saya mengambil beberapa foto diantara para turis yang lalu lalang ataupun juga yang sedang berpose dan berfoto di depan gereja.

Patung Nelson Mandela 
Setelah puas melihat dan memotret, saya lalu berjalan keluar kompleks, menyeberang jalan menuju taman dan ruang publik seukuran lapangan sepak bola yang membentang dan memisahkan area gedung Parlemen bersama Menara Big Ben pada satu sisi dengan area Westminster Abbey dan deretan bangunan lain di sisi sebelahnya.  Di kompleks taman tersebut berdiri patung  Presiden Nelson Mandela dari Afrika Selatan - salah satu tokoh favorit ku - sehingga saya tidak melepaskan kesempatan mengambil beberapa foto ataupun berfoto di bawah patung meminta tolong beberapa turis yang lalu lalang di tempat tersebut. Saya juga berpose dan mengambil foto Big Ben dan Gedung Parlamen dari sisi lain. Setelah itu saya berjalan melewati taman dan ruang publik tersebut lurus ke arah Big Ben. Kemudian saya belok ke kiri berjalan sejajar kompleks Parlamen dan menara Big Ben, menyeberang jalan menuju halte bis wisata City Sight Seeing di seberang Sungai Thames. Di seberang jalan di sebelah kiri saya terletak  stasiun Underground Westminster yang berhadapan dengan Big Ben dan gedung Parlamen di sebelah kanan saya yang dipisahkan oleh jalan raya. Pedestarian depan stasiun sampai jembatan sungai Thames dan halte bis City Sight Seeing dipenuhi manusia yang lalu lalang. Saya terus berjalan diantara orang-orang tersebur  sampai tiba di jembatan sungai Thames. Sisi kiri jembatan dipenuhi para pedang kaki lima yang berjualan berbagai jenis souvenir, makanan, minuman dan lainnya, termasuk lukisan-lukisan jalanan. Ransel saya pindahkan ke depan karena area tersebut di penuhi manusia dari berbagai bangsa. Sinar matahari tidak terlalu menyengat karena mendung dan sesekali gerimis. Sekitar 500 meter seberang sungai Thames di sebelah kiri saya terlihat London Eye menjulang dalam warna abu-abu.

Akhirnya saya tiba di halte seberang sungai Thames. Ternyata ada 2 halte bersebelahan untuk 2 bis
Depan Westminster Abbey
wisata berbeda, yakni bis wisata City Sight Seeing yang saya gunakan dan bis wisata lain bernama Big Bus Tour. Petugas Big Bus Tour yang berdiri di antara kedua halte tersebut menyapa saya dan bertanya apakah saya pengguna Big Bus Tour, saya menjawab ramah bahwa saya menggunakan City Sight Seeing. Kami akhirnya ngobrol sambil menunggu bis karena petugasnya ramah. Dia lalu menginformasikan ke saya untuk mengambil bis City Sight Seeing berkode T1, jika ingin berkunjung ke Katedral atau Tower of London. Selain T1, tersedia juga T2, namun rutenya agak panjang sehingga waktu tempuh yang dibutuhkan untuk tiba di obyek wisata yang akan saya kunjuni menjadi lebih lama. Padahal hari mulai sore dimana tempat-tempat wisata tersebut akan tutup pada jam 5 atau 5.30. Tidak lama kemudian bis yang saya tunggu tiba. Saya mengucapkan terima kasih lalu ikut mengantri bersama beberapa turis yang akan menggunakan bis yang sama. Setelah penumpang terkahir turun, para pengantri lalu bergegas naik, termasuk saya. Ritual yang sama diulang lagi, yakni menunjukan tiket ke sopir yang mengangguk sambil tersenyum. Karena gerimis hanya sesekali turun, saya memutuskan duduk di dek atas untuk menikmati kota di sore hari.

Sambil duduk, saya mempelajari rute dalam peta dan juga informasi tentang tempat-tempat wisata yang akan saya kunjungi. Oleh karena tempat-tempat wisata tersebut akan tutup pada jam 5 dan 5.30 sedangkan saat ini telah jam 4 serta juga rute yang dilalui bis akan melalui Tower of London dan Tower Bridge terlebih dahulu, maka saya memutuskan untuk mengunjungi keduanya. Kunjungan ke Katedral dan Millenium Bridge dilakukan setelah selesai dari Tower of London jika Katedral masih dibuka untuk umum.

BERSAMBUNG




Selasa, 21 Januari 2014

JJ EROPA BARAT: KELILING LONDON - ISTANA BUCKINGHAM

Tulisan Kedelapan

Brosur city sight seeing
Telah hampir jam 10.30 pagi waktu London saat saya menaiki bis City Sight Seeing di bagian Utara kawasan Trafalgar Square - sekitar 50 meter arah kanan Gedung Galeri Nasional. Hujan mulai menderas saat kaki saya melangkah ke dalam bis bertingkat 2 tersebut. Tiket saya tunjukan ke sopir yang hanya tersenyum sambil mengangguk. Pemandu yang duduk tepat di sebelah kanan pintu masuk membagikan peta dan juga mantel plastik transparan berwarna bening. Keinginan duduk di dek terbuka di atas tidak bisa dilaksanakan karena hujan masih sedang berlangsung. saya lalu mengambil tempat duduk di salah satu kursi kosong di dalam bis. Setelah semua calon penumpang memasuki bis, sopir menutup pintu dan menjalankan bis tsb. Pemandu yang duduk di dekat pintu masuk meraih microphone dan memperkenalkan dirinya, mengucapkan selamat datang kepada para penumpang baru dan mulai menjelaskan tempat wisata yang dituju. Saya mendengarkan sambil membuka peta warna merah di pangkuan saya untuk mengetahui tempat yang dijelaskan pemandu dan rute yang ditempuh. Tidak semua bis menggunakan pemandu yang menjelaskan secara langsung / live rute dan tempat wisata yang dilalui. Ketiadaan pemandu digantikan oleh rekaman - dimana penjelasan rekaman tersebut cocok dengan tempat-tempat wisata yang akan dilalui sebagai indikator manajemen pengelolaan tour tersebut sangat profesional.

Rute dalam peta dikelompokan dalam 3 warna untuk kunjungan ke tempat-tempat wisata berbeda dalam 3 kategori yang disebut orginal tour berwarna kuning, city sightseeing tour berwarna merah dan museum tour berwarna biru dongker. Di beberapa tempat, ketiga rute tersebut bertemu sehingga pengunjung bisa berpindah ke bis lain yang menempuh rute ke tempat wisata tertentu yang ingin dikunjungi di rute tersebut. Rute berwarna merah, yakni city sightseeing tour merupakan rute terbesar yang mencakup sebagian besar wilayah kota London.  Dalam peta juga tersedia keterangan atau legenda yang memudahkan pengguna mengetahui informasi-informasi penting terkait kunjungan, antara lain titik utama memulai tour, titik pertemuan antar rute, stasiun kereta bawah tanah, tempat-tempat wisata dan dermaga tempat naik kapal untuk menyusuri sungai Thames. Pada sudut kiri bawah peta juga tersedia informasi naratif tentang tempat-tempat hop on dan hop off menggunakan semua bis wisata tersebut dengan tiket yang saya miliki. Saat saya hitung masing-masing tempat wisata di tiga rute berbeda tersebut, ternyata jumlah tempat wisata yang akan dilalui bis dalam rute kuning hanya selisih 1 dengan bis rute warna merah. Rute warna kuning melalui 35 tempat wisata, sedangkan rute warna merah melalui 36 tempat wisata. Saya tidak terlalu mengetahui perbedaannya dalam pelaksanaan, karena saat berkeliling, saya ternyata bisa naik turun atau hop on dan hop off di berbagai halte tempat perhentian bis tersebut guna mengunjungi tempat-tempat wisata di sekitar / dekat halte-halte tersebut.

Brosur berisi informasi dan peta kota London
yang dilalui dann disinggahi bis city sight see in
Oleh karena masih hujan, saya lalu memutuskan untuk berkeliling saja terlebih dahulu alias tidak turun dari bis sejak pemberangkatan dari halte Trafalgar square sampai bis kembali lagi ke halte tersebut. Dengan demikian, saya bisa mengetahui kondisi kota sambil mempelajari peta lalu mengambil keputusan tempat wisata mana yang akan saya kunjungi - dimana saya bisa masuk gratis menggunakan London Pass yang telah saya miliki. Karena itu, setelah memperlajari peta, saya juga mempelajari buku saku London Pass - untuk menemukan titik-titik temu antara rute yang dilalui bis City Sight Seeing dengan tempat wisata London Pass - yang ternyata lumayan banyak sehingga saya harus memutuskan dengan cepat mengunjungi beberapa saja karena adanya keterbatasan waktu menggunakan bis tersebut maupun waktu masuk ke tempat-tempat wisata tersebut. Saat berkeliling, saya sempat juga berpindah ke dek atas bis ketika hujan reda dan hanya gerimis. Ternyata saya tidak sendiri, beberapa turis bule juga duduk di dek atas dengan memakai mantel dan juga payung. Saya pun menggunakan mantel plastik yang disediakan serta juga payung. Syukurlah angin tidak terlalu kencang, sehingga saya bisa duduk santai menggunakan payung dalam gerimis menikmati kota London yang mulai beranjak siang - sehingga kesibukan kota mulai terlihat. Saya tidak ingat sama sekali jalan kota yang saya lalui malam sebelumnya saat menggunakan bis umum mengunjungi kota tersebut. Walau duduk di dek atas, saya masih bisa mengikuti penjelasan pemandu melalui earphone warna merah yang juga telah disediakan bagi pengunjung. Jalan-jalan kota sangat bersih, namun tidak selebar jalan Sudirman-Thamrin di Jakarta. Walau demikian tidak terjadi kemacetan seperti yang setiap hari terjadi di Jakarta.

Dari halte di Trafalgar Square, bis mengarah ke Selatan melewati Royal Courts of Justice, St. Paul's Chatedral menyeberangi sungai Thames melalui London Bridge lalu berbelok ke kiri melewati City Hall lurus mengarah ke Tower Bridge lalu menyeberangi lagi sungai Thames melalui Tower Bridge tersebut lalu menyusuri jalan antara Tower Bridge dan Tower of London, berbelok ke kiri di salah satu sudut jalan depan Tower of London lurus melewati Shakespeare's Globe dan Tata Modern, menyeberangi sungai Thames lagi menuju Horse Guard's Parade dan Downing Street, House of the Parliament,  menyeberangi sungai Thames lagi mengarah Westminster Pier berbelok ke kiri melewati  Lambeth Palace, menyeberangi sungai Thames lagi di Lambeth Bridge mengarah ke Buckingham Palace, Victoria, Wellington Museum, melewati Hyde Park, lurus ke Marble Arc, berbelok ke arah Regents Park lalu berbelok di sudut Regents Park memasuki Oxford Street lurus ke Regent Street mengarah ke Eros Statute atau Piccadilly Circus lalu belok kanan sekitar 30 derajat mengarah Leicester Square untuk kembali memasuki kawasan Trafalgar Square - dengan total waktu sekitar 45 menit. Saya tidak turun saat bis tiba kembali di halte Trafalgar Square, saya memutuskan untuk mengunjungi kawasan istana Buckingham guna menonton prosesi pergantian pengawal istana yang telah dikenal dunia, terutama para turis yang pernah berkunjung ke London.

Prosesi pergantian pasukan pengawal istana 
Berbagai informasi di internet menyatakan bahwa prosesi pergantian pengawal istana dilakukan pada jam 11 siang. Saat saya tiba di depan istana yang telah dipenuhi ratusan turis, prosesi baru akan dimulai. Langit yang berawan tebal diiringi gerimis tak henti tidak menyurutkan keinginan ratusan turis menonton prosesi tersebut. Dengan menggunakan payung warna warni dan juga berbagai jenis mantel warna warni, para turis berjejal di depan pagar istana sampai dengan taman depan istana. Jalan yang akan dilalui para pengawal saat itu kosong dan diberi pagar penghalang / pembatas agar para turis / penonton tidak berjejal di jalan yang akan dilalui para pengawal tersebut. Prosesi pergantian diiringi musik drumband yang dimainkan para pengawal dalam seragam khas baju merah dan celana panjang hitam bersama topi tinggi berbulu warna hitam khas pasukan pengawal istana kerajaan Inggris. 2 pengawal mengendarai kuda di depan dan di belakang barisan pasukan pengawal dan drumband yang berjalan keluar istana melewati jalan depan istana lurus melewati taman yang dipenuhi turis dan penonton dalam gerimis yang terus menerus mengguyur kawasan tersebut. Pada saat prosesi berlangsung, para penonton seperti tersihir sehingga tidak ada sedikitpun suara terdengar. Demikian juga kendaraan pribadi dan taxi yang semuanya berwarna hitam berhenti di jalan depan istana. Hanya suara musik dan perintah komandan upacara yang terdengar diiringi bunyi gerimis yang jatuh di payung dan mantel para penonton. Tepuk tangan dan sorak para penonton baru terdengar saat prosesi selesai dimana para pengawal yang selesai tugas dikawal pengawal berkuda dan drumband keluar dari area tersebut. Para penonton lalu mulai membubarkan diri.

Depan Istana Buckingham
Saat kawasan depan istana mulai sepi, saya bertemu sekolompok turis Philipina yang meminta tolong diambil fotonya. Beruntunglah gerimis mulai reda walau belum berhenti sama sekali - namun payung dan mantel telah dapat dilepas untuk pengambilan foto.  Setelah mengambil beberapa foto para turis Philipina tersebut, saya lalu ganti meminta salah satu dari  mereka mengambil foto saya yang berpose di seberang jalan depan istana. Setelah selesai, saya beranjak mendekati gerbang istana yang tertutup rapat - yang mulai ditinggalkan para turis dan penonton. Gerbang dan pintu istana tertutup rapat - bahkan Ratu Elizabeth sedang berlibur musim panas di istananya di Irlandia demikian informasi yang saya peroleh di internet dari salah satu agen perjalanan yang menawarkan kunjungan ke dalam istana, karena dibuka untuk umum saat itu. Dengan membayar 19 pound atau sekitar 360.000 rupiah, para turis dapat memasuki area tertentu di dalam istana. Pintu masuk untuk kunjungan turis berbeda dengan pintu masuk ke istana untuk keluarga kerajaan dan tamu-tamu kerajaan. Turis yang telah membeli tiket online akan masuk melalui pintu gerbang di samping kanan yang berjarak sekitar 30 meter dari pintu gerbang istana. Penjualan dan pembelian tiket kunjungan ke istana juga di jual di tempat melalui loket khusus yang terletak sekitar 15 meter dari pintu masuk. London Pass yang saya miliki tidak berlaku untuk kunjungan ke dalam istana. Dan juga karena keterbatasan waktu, saya memutuskan hanya menyaksikan prosesi pergantian pengawal dan berfoto di depan istana. Jika membeli tiket yang cukup mahal tersebut, maka saya akan menghabiskan sekitar 2 - 3 jam menikmati istana sebagaimana pengalaman saya di istana raja dan ratu Spanyol di Madrid. Padahal hari semakin siang, sedangkan London Pass belum sempat saya gunakan dan juga masih banyak tempat wisata di kota itu yang masih harus dikunjungi.

Gerimis mulai turun lagi, saya lalu bergegas kembali ke halte bis City Sight Seeing. Beruntunglah ada pohon besar berdaun lebat yang menaungi halte tersebut sehingga saya tidak perlu mengenakan mantel dan menggunakan payung lipat yang selalu saya bawa dalam ransel. Karena saya melihat banyak turis duduk di tembok pembatas halaman satu gedung di belakang pohon tersebut dengan pedestarian, saya pun ikut duduk sambil mengamati turis berbagai bangsa dari berbagai negara yang lalu lalang ke arah istana maupun sebaliknya. Saya kembali membuka peta dan buku panduan London Pass mencari tempat wisata lain yang akan saya kunjungi menggunakan kartu London Pass. Saya lalu memutuskan mengunjungi the Big Ben - impian masa kecil yang membuat saya selalu ingin ke kota ini suatu hari - yang akhirnya bisa dipenuhi.

BERSAMBUNG

Rabu, 15 Januari 2014

JJ KE EROPA BARAT. LONDON: City Sight Seeing dan London Pass

Tulisan ke delapan

Setelah sarapan gaya Inggris - biasa dikenal dengan nama English breakfast, saya pun keluar hotel untuk berkeliling kota London. Kawasan sekitar sedang diguyur gerimis. Karena saya selalu membawa payung lipat, maka gerimis tidak menjadi masalah saat itu. Dengan menggunakan payung, saya memutuskan berjalan kaki dari hotel ke stasiun North Greenwich untuk menumpang Underground atau Tube atau kereta bawah tanah ke pusat Kota London. Saya lalu menyeberangi perempatan depan hotel, berjalan sebentar lalu menyeberangi lagi satu perempatan tidak jauh dari halte bis pertama saat saya turun dari bis di hari kedatangan saya di kawasan tersebut. Setelah menyeberang perempatan, saya hanya perlu berjalan lurus sekitar 5 menit menuju stasiun.

Gerimis telah berhenti saat saya tiba di stasiun. Hari ini saya merencanakan pergi terlebih dahulu ke kantor London Pass, yakni semacam karcis harian yang dikelola oleh suatu agen turis di London. Pengguna karcis ini dapat masuk secara gratis ke berbagai tempat yang telah memiliki kerjasama dengan agen tersebut. Penggunanya juga tidak perlu masuk dalam antrian biasa untuk masuk ke tempat-tempat wisata - berfungsi seperti fast track pass di Universal Studio Singapura - yang pernah saya gunakan saat berkunjung ke tempat wisata tersebut tahun 2010 silam. Saya membeli London Pass mengikuti saran di salah satu buku wisata tentang London yang diberikan seorang teman. Saya lalu mencari karcis tersebut melalui google yang ternyata sangat mudah ditemukan. Layaknya website penjualan lainnya, website London Pass juga mempromosikan sejumlah kemudahan bagi pengguna jika membeli terlebih dahulu secara online - walau sebenarnya dapat dibeli juga di tempatnya di London. Oleh karena penukaran bukti pembelian online dengan karcis baru akan mulai dilakukan jam 10 pagi, maka saya memutuskan menghabiskan waktu terlebih dahulu di sekitar stasiun North Greenwich - dengan mengunjungi kawasan O2 yang terletak di belakang bangunan stasiun.

Sebelum beranjak ke area O2 di belakang bangunan stasiun, saya berhenti sejenak di dalam gedung stasiun mengamati bangunan tersebut. Langit bangunan terletak sekitar 20 meter dari lantai tempat saya berdiri - seperti lasimnya bangunan-bangunan di Eropa. Pintu-pintu kaca tembus pandang memudahkan lalu lintas masuk keluar penumpang Underground. Di atas pintu-pintu kaca tersebut dipasang dinding-dinding kaca yang juga tembus pandang hingga menyentuh atap. Suasananya lenggang mungkin karena masih terlalu pagi. Pengalaman pertama saya pergi ke Itali dan Spanyol pada tahun 2011 menunjukan bahwa aktivitas luar rumah baru dimulai pada jam 9 pagi ke atas. Hanya ada satu kios subway yang menjual makanan cepat saji seperti hotdog dan sejenisnya serta minuman ringan. Kios ini terletak di dekat pintu masuk sebelah kanan. Terlihat juga beberapa bilik - mungkin kantor-kantor urusan Underground - yang masih dalam keadaan tertutup.

Kawasan Arena O2 di belakang stasiun North Greenwich
Saya lalu meneruskan langkah saya ke belakang. Saya langsung berhadapan dengan suatu hamparan luas sekitar 20 meter lebar dan 50 meter yang terletak diantara stasiun dan bangunan O2. Tiang-tiang beton berbentuk kerucut berwarna coklat pucat berjejer di samping kiri pintu luar stasiun menuju bangunan Arena O2. Tiang-tiang tersebut beratap kaca tembus pandang selebar sekitar 1 meter. Bagian tengah tiang-tiang tersebut dihiasi berbagai iklan dalam pigura. Sekitar 1 meter ke kiri dari tiang-tiang tersebut berdiri semacam pagar tertutup yang juga dihiasi berbagai iklan. Saya berjalan melewati tiang-tiang tersebut menuju ke tengah hamparan kosong dimana terdapat satu tugu berbentuk spiral kontemporer yang meruncing ke atas berwarna abu-abu pucat. Di sebelah kiri tugu tersebut terdapat cafe, lalu sekitar 10 meter ke kiri dari cafe tersebut terletak Arena O2. Sedangkan di sebelah kanan tugu terletak 1 bangunan modern warna biru langit berdinding kaca yang sepertinya berfungsi sebagai bangunan perkantoran karena saat saya masih berada di area tersebut, banyak orang berpakaian jas dan dasi berjalan keluar dari bangunan stasiun menuju ke bangunan modern tersebut.

The O2 arena merupakan suatu stadion multi fungsi berbentuk tenda perkemahan warna putih pucat atau abu-abu dengan 12 tiang warna kuning menembus atapnya - seperti tiang-tiang kapal berwarna kuning dilihat dari jauh. Dibangun pada tahun 2003 dan selesai pada tahun 2007 yang digunakan sebagai arena konser musik, maupun olahraga terutama pada tahun 2012 untuk Olimpik dan Paraolimpik musim panas. Stadion ini dapat menampung penonton hingga 20 ribu orang dan merupakan stadion terbesar kedua di London. Setelah puas melihat-lihat dan mengambil beberapa foto arena dan foto diri, saya lalu berjalan kembali ke stasiun untuk berangkat ke pusat Kota London.

Tak lama menunggu, kereta yang dinanti tiba. Setelah para penumpang yang turun keluar, saya dan para calon penumpang lain yang menunggu di peron melangkah masuk dan mengambil tempat duduk di bangku-bangku kosong yang masih tersedia. Sesuai petunjuk online penukaran bukti pembelian dengan tiket London Pass harus dilakukan di kantor agen tersebut, maka saya harus bertukar kereta di stasiun Green Park, berganti dari Jubilee line ke Piccadilly line arah Cockfosters. Saya lalu turun di stasiun Leicester Square, yakni stasiun kedua setelah Green Park. Pemandangan di luar stasiun sangat berbeda dengan di North Greenwich. Jalan yang berseliweran di antara gedung-gedung. Sesuai petunjuk online yang telah saya print dan pegang, saya lalu berbelok ke arah kiri menyusuri pedestarian yang langsung berbatasan dengan deretan bangunan berbagai bentuk dan gaya. Jalan depan saya ramai oleh lalu lalang kendaraan bermotor, namun tidak macet seperti Jakarta. Jalannya juga tidak selebar jalan Sudirman - Thamrin di Jakarta. Tidak ada jembatan penyeberangan yang mengganggu pemandangan seperti di Jakarta. Kota sepertinya telah mulai sibuk beraktifitas, karena selain kendaraan juga banyak turis dan warga London yang lalu lalang. Para turis yang lalu lalang kelihatan dari gaya pakaian harian, bercelana pendek dan berkaus oblong serta beberapa memegang peta. Punggungnya menyandang tas ransel beraneka bentuk dan warna.

Setelah berjalan sekitar 25 meter dari stasiun, saya melihat seorang karyawan bis wisata City Sight Seeing berdiri di sampaing bis menggunakan seragam yang sama warnanya dengan bis wisata tersebut, yakni dominan warna merah. Tiket bis wisata ini telah saya beli melalui internet seharga 28 pound atau sekitar 532.000 rupiah per hari.  Bis ini mulai beroperasi sejak jam 8.30 pagi sampai jam 4.30 atau jam 5 sore, tergantung paket wisata yang diambil - yang terdiri dari original package, full sight seeing package (termasuk kapal / boat menyusuri Sungai Thames) dan Museum Package. Tiketnya berlaku selama 24 jam, artinya jika digunakan pertama kali pada jam 12 siang misalnya, maka tiket tersebut masih dapat digunakan sampai dengan jam 12 siang esok harinya.

London Pass dan City Sight Seeing merupakan 2 agen wisata berbeda. City Sight Seeing menjual tiket wisata berkeliling London menggunakan bus-bus wisata berwarna dominan merah dengan aksen garis melintang kuning di bagian depan dari atap ke badan bis. Bis-bis ini sama seperti bis penumpang umum di London adalah bis bertingkat 2 dengan atap terbuka. Biasanya dikenal dengan istilah hop on dan hop off,  karena pemegang karcis / tiket dapat naik turun di halte mana saja sesuai kebutuhan dalam sesuai paket waktu yang dibeli.  Sedangkan London Pass menjual tiket untuk kunjungan ke tempat-tempat wisata di London yang telah memiliki kerjasama dengannya. Tiket London Pass juga dapat digunakan untuk mendapatkan diskon di restoran dan toko tertentu di London. Dengan menggunakan City Sight Seeing  maka turis dapat turun dan naik di berbagai halte yang telah ditentukan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat-tempat wisata yang dikunjungi. Saya disarankan menggunakan bus ini oleh seorang kenalan warga negara Inggris asal India. Kami bertemu saat dia melakukan penelitian tentang program Padat Karya di Jawa Barat dan Jawa Timur, dimana saya menemani dia sebagai penterjemah. Atas saran kenalan tersebut, saya lalu membeli tiket online City Sight Seeing di www.hop-on-hop-off-bus.com.  Bukti pembelian harus ditukar di tempat-tempat penukaran di London - yang ternyata sangat mudah ditemukan karena para karyawannya tersebar di berbagai halte bus City Sight Seeing maupun tempat-tempat tertentu untuk penjualan dan pembelian serta penukaran tiket yang dibeli online. Para karyawan menggunakan seragam yang sewarna dengan bus wisata City Sight Seeing,  yakni warna merah dengan aksen kuning. Bus yang sama juga ada di kota-kota lain di Eropa. Hanya berbeda sama belakangnya. Misalhnya City Sight Seeing London untuk bis yang beroperasi di Kota London. City Sight Seeing Madrid untuk bis yang beroperasi di kota Madrid. Semua tiket bisa dibeli online melalui internet ataupun membeli langsung di atas bis atau di kios-kios penjualan yang tempat-tempat strategis pinggir jalan di kota-kota utama Eropa.

Pada awalnya saya hanya ingin bertanya dimana tempat penukaran tiket bis City Sight Seeing.  Perempuan muda yang memakai seragam City Sight Seeing yang sedang berdiri di samping bis wisata warna merah tersebut lalu bertanya apakah saya telah membeli tiket?. Saya jawab bahwa saya telah membeli secara online. Perempuan itu lalu meminta bukti pembelian sambil menjelaskan bahwa saya dapat menukarkan bukti tersebut dengan tiket ke dia. Setelah menerima bukti yang saya sodorkan, perempuan itu lalu menscan bukti tersebut yang menghasilkan tiket yang bisa langsung diprint dari mesin scan yang dipegangnya. Sambil menyerahkan tiket dan peta rute, halte dan tempat-tempat wisata yang dilalui ke saya, perempuan itu berpesan agar saya menyimpan tiket tersebut dengan baik karena akan diperiksa oleh sopir ataupun karyawan City Sight Seeing yang ada di setiap bis wisata saat saya akan naik ke bis-bis tersebut. Perempuan itu juga menjelaskan bahwa tiket yang saya beli sudah termasuk pengunaan kapal menyusuri sungai Thames secara gratis. Dia lalu bertanya apakah saya mau langsung menggunakan kapal atau mau menggunakan bis terlebih dahulu. Jika ingin menggunakan kapal saat itu, maka saya dipersilahkan naik ke bis yang tersedia di situ yang akan mengantar semua turis ke tempat naik kapal. Saya menjawab bahwa saya ingin menggunakan bis terlebih dahulu untuk melihat-lihat kota London dan mungkin saya akan menggunakan kapal di sore hari setelah puas keliling kota. Perempuan itu lalu mengarahkan saya ke Trafalgar Square untuk menunggu bis City Sight Seeing  Sebelum berlalu, saya menanyakan tempat penukaran tiket London Pass. Perempuan itu menjawab bahwa tempatnya tidak terlalu jauh dari tempat kami. Saya hanya perlu berjalan lurus sedikit lagi melewati teater lalu menyeberang karena tempat penukaran tiket terletak di seberang jalan. Kami saling mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan lalu saya berjalan lagi menyusuri pedestarian di depan saya.

Sekitar 50 meter kemudian, saya melihat kios berbentuk silinder dengan atap topi baja tersebut diseberang jalan di sebelah kanan saya. Kelihatannya banyak turis hilir mudik di tempat tersebut terlihat dari gaya pakaian dan bawaannya. Saya lalu menyeberang ke bangunan tersebut. Ternyata loket penukarannya ada di bawah tanah. Saya lalu masuk dan menuruni tangga besi yang tersedia di situ. Ruangan yang didominasi warna putih dengan lebar sekitar 3 x 4 meter persegi tersebut dipenuhi para turis yang datang sendiri, berpasangan maupun berkelompok. Di sebelah kiri saya tersedia 4 loket penukaran yang dijaga 4 perempuan  berkaos putih. Tersedia juga 1 sofa yang terletak di antara loket terakhir sebelah kanan saya dengan tangga dan pintu keluar. Berhadapan dengan loket-loket penukaran tiket tersebut berjejer lemari yang memamerkan sekaligus menjual berbagai souvenir Kota London. Saya ikut mengantri hingga tiba di depan salah 1 loket. Bukti pembelian online saya serahkan ke petugas yang lalu menukarnya dengan 1 tiket dan 1 buku saku petunjuk tempat-tempat wisata yang dapat dikunjungi gratis menggungakan London Pass. Tiket dalam bentuk cetakan warna biru tua dengan tulisan London Pass telah diberi pembungkus plastik transparan yang juga telah diberi tali gantungan sehingga bisa digantung saja di leher saat jalan-jalan di kota tersebut - seperti kartu pengenal karyawan di kantor-kantor yang menempati gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Dengan menggunakan London Pass, turis tidak perlu membeli tiket masuk ke paling tidak 10 tempat wisata terkenal di Kota London, antara lain Tower of London, Westminster Abbey, Windsor Castle, London Bridge dan St. Paul's Cathedral. Harga tiket dipaketkan dalam 1 hari atau 2 hari atau 3 hari dan juga 6 hari. Makin banyak hari, makin murah harganya. Contoh harga untuk 1 hari untuk 1 orang dewasa adalah 47 pound atau sekitar 893.000 rupiah. Sedangkan harga untuk 2 hari untuk 1 orang dewasa adalah 66 pound atau sekitar 1.254.000 rupiah.

Belakang tempat penukaran tiket London Pass
Setelah keluar dari tempat penukaran tiket London Pass, saya lalu mengambil jalan ke kanan mencari Trafalgar Square untuk  menunggu bis City Sight Seeing yang akan saya tumpangi berkeliling London. Jalan dan lingkungan sekitar yang saya lalui mulai ramai dengan lalu lalang berbagai orang dari berbagai suku bangsa. Saya menyempatkan diri berhenti sejenak membaca buku saku London Pass sambil berfoto di satu patung yang terletak sekitar 20 meter arah kanan dari kantor penukaran tiket London Pass. Setelah itu, saya berjalan terus menyusuri pedestarian hingga sekitar 100 meter dari tempat penukaran tiket London Pass, saya tiba di suatu ruang publik yang disebut Trafalgar Square. Saya berdiri sejenak memperhatikan kesibukan di sekitar tempat tersebut.  Ruang publik tersebut berbentuk bujur sangkar yang dikitari jalan raya di 3 sisi, yakni Timur, Barat dan Selatan. Sisi Utara dimana saya berdiri merupakan pedestarian - sehingga tidak dapat dilalui oleh kendaraan bermotor maupun sepeda - yang berada di antara Gedung Galeri Nasional dan Trafalgar Square. Di tengah-tengah ruang publik tersebut berdiri suatu tugu berwarna putih kekuningan atau kuning pucat setinggi belasan meter. Pada puncak tugu tersebut berdiri salah satu patriot Inggris yang dikenal sebagai Wakil Admiral Nelson sehingga area tugu tersebut dikenal sebagai Nelson Column / Kolom Nelson / Tugu Nelson. Tugu tersebut diapit oleh 4 singa perunggu di masing-masing sisinya. Di square tersebut juga terdapat 2 kolam air mancur.

Dalam www.wikipedia.org ditulis Trafalgar Square didisain oleh William Wilkins yang juga mendisain Galeri Nasional yang dibangun pada tahun 1932-1938 di kawasan tersebut. Desain Trafalgar Square disetujui Kantor Perbendaharaan Kerajaan pada tahun 1937 untuk dibangun. Namun Wilkins meninggal pada April 1840. Rencana baru yang diajukan oleh Charles Barry disetujui dan pembangunan Square tersebut dimulai Juli 1840. Paralel namun terpisah dari rencana pembangunan Trafalgar Square, di tahun 1838, panitia kenangan terhadap salah satu pahlawan Inggris bernama Horatio Nelson mendekati pemerintah untuk mengusulkan pembangunan monumen Nelson di kawasan tersebut sebagai suatu peringatan terhadap kemenangan Inggris dalam perang melawan Prancis di Trafalgar. Usulan tersebut disetujui sehingga diadakan suatu kompetisi desain yang dimenangkan oleh William Railton. Pembangunan Kolom Nelson dimulai pada tahun 1840 bersamaan dengan pembangunan Trafalgar Square yang didesain oleh Charles Barry. Tanpa mengetahui sejarah ini, saya pasti berasumsi bahwa tugu dan patung merupakan bagian dari Square tersebut. Sedangkan Galeri Nasional dimana saya berdiri di depannya pada saat tersebut dibangun terpisah. Ternyata pada rencana awal justru sebaliknya yang terjadi, Galeri Nasional dibangun terlebih dahulu menyatu dengan Trafalgar Square. Selain 2 kolam air mancur, kolom Nelson bersama 4 singa pengawal, di ruang publik ini juga terdapat 2 patung Jenderal Kerajaan Inggris, yakni Sir Charles James Napier dan Sir Henry Havelock. Sir James Napier adalah komandan tentara kerajaan Inggris di India yang ditunjuk pada tahun 1842 pada usia 60 tahun. Pada masa kepemimpinannya, Inggris menduduki Provinsi Sindh (Pakistan). Patungnya didesain oleh George Cannon Adams pada tahun 1855. Sir Henry Havelock juga merupakan salah satu Jendral Kerajaan Inggris yang bertugas di India mulai tahun 1823 lalu berpindah ke Birma dan kemudian Afganistan. Patungnya didesain oleh William Behnes dan dibangun tahun 1861.

Trafalgar Square
Sambil mengamati Trafalgar Square tersebut, saya juga memperhatikan berbagai kendaraan yang melewati kawasan tersebut, termasuk bis-bis City Sight Seeing untuk mengetahui letak halte pemberhentian dan keberangkatan - yang terletak sekitar 50 meter sebelah kanan tempat saya berdiri menghadap ke Tugu Nelson sekaligus membelakangi Galeri Nasional. Seorang turis Cina (sepertinya) meminta saya mengambil beberapa potret dirinya dengan latar belakang Trafalgar Square. Saya juga meminta dipotret oleh turis tersebut sebagai kenang-kenangan. Setelah mengambil beberapa foto kawasan tersebut, saya meneruskan perjalanan menelusuri pedestarian tersebut ke arah kanan lurus melewati gedung Galeri Nasional menuju ke halte bis City Sight Seeing. Di dekat halte tersebut juga berdiri 2 laki-laki karyawan bis wisata Big Bus Tour yang menawarkan tiket. Saya hanya tersenyum sambil menunjukan tiket bis City Sight Seeing yang saya pegang. Mereka mengucapkan terima kasih sambil tersenyum dan beralih ke orang lain yang berdiri di daerah tersebut. Gerimis mulai menderas sehingga saya membuka payung yang selalu saya bawa untuk melindungi kepala dan badan. Kota ini sepertinya selalu dikunjungi hujan padahal saat itu bulan Agustus. Tidak lama menunggu, satu bis City Sight Seeing berhenti dan menurunkan penumpangnya. Saya pun bergegas naik bersama turis lainnya. Kami menunjukan tiket masing-masing ke karyawan bis City Sight Seeing yang sedang berada di atas bis tersebut untuk memandu tour tersebut.

BERSAMBUNG

Sabtu, 04 Januari 2014

JJ KE EROPA BARAT. LONDON: Kawasan Greenwich

Tulisan Ketujuh


Halte Bis di  samping belakang hotel 
22 Agustus 2013 sekitar jam 6 sore - matahari masih bersinar terang pada saat itu sampai dengan22 sekitar jam 8 malam di London - saya turun ke resepsionis menanyakan nomor bis dan rute ke Taman Greenwich, tempat beberapa obyek wisata yang ingin saya kunjungi hari itu. Saya diberitahu untuk naik bis nomor 108 di halte yang terletak di belakang hotel. Sesuai arahan staf hotel, saya lalu berjalan ke luar hotel, berbelok ke arah kanan menuju bagian belakang hotel lalu berjalan menyusuri jalan raya. Saya melihat beberapa sepeda dikendarai melewati pedestarian yang sedang saya susuri sehingga saya mengingatkan diri sendiri untuk waspada. Saat saya tiba di perempatan belakang hotel, saya menyeberang dan berjalan lurus sampai menemukan halte yang diinformasikan oleh staf hotel. Saya lalu nongkrong di halte teresebut menunggu bis nomor 108. Ada beberapa bis yang berhenti menurunkan penumpang - yang dari warna kulitnya menunjukan mereka adalah orang-orang Afrika - yang mungkin saja merupakan warga negara Inggris atau hanyalah pekerja migran. Sepertinya mereka baru pulang dari tempat kerja dan turun dalam kelompok 3 atau 4 orang. Saya menduga daerah sekitar merupakan tempat tinggal para pekerja migran atau orang-orang Afrika yang menjadi warga negara setempat. Halte tersebut juga menyediakan papan informasi nomor-nomor bis dengan rute yang dilalui. Model informasi yang sama saya temukan di Roma. 


Sekitar 5 menit menunggu saya melihat bis nomor 108 sedang menuju ke arah halte. Saya lalu berdiri menunggu bus tersebut berhenti. 2 orang perempuan Afrika berambut tebal bergelombang memakai tanktop bergincu merah menyala turun dari bus, setelah itu saya lalu bergegas naik, menempelkan kartu Oyster di tempat yang disediakan lalu masuk dan menaiki tangga ke lantai atas. Bis yang saya tumpangi juga sepi, namun tidak kosong. Saya memilih duduk di kursi sebelah kiri paling depan lantai atas untuk memudahkan saya mengekplorasi dan menikmati panorama sepanjang jalan. Tak lupa saya menyiagakan kamera di pangkuan saya sehingga sesewaktu dapat segera digunakan memotret obyek-obyek menarik sepanjang jalan. Saya juga menghidupkan GPS melalui aplikasi Tripomatic yang telah saya download ke iphone saya dari apple store. Ini merupakan aplikasi berbayar yang menyediakan informasi berbagai tempat wisata di kota-kota seluruh dunia, termasuk Jakarta. Informasi yang disediakan cukup lengkap, termasuk lokasi, rute dan juga GPS yang menunjukan jarak pemakai dari lokasi atau tempat wisata yang akan dikunjungi. Dengan membayar 145.000 rupiah, saya dapat mengunduh aplikasi tersebut selamanya serta menggunakannya sesuai kebutuhan. Aplikasi ini ternyata sangat membantu saya selama perjalanan saya di Eropa Barat, karena dapat digunakan tanpa jaringan internet.

Dengan menggunakan Tripomatic, maka saya dapat memantau jarak bis dengan lokasi wisata yang akan saya kunjungi. Bulatan kecil berwarna biru di aplikasi Tripomatic tersebut menunjukan rute yang dilalui bis sekaligus apakah semakin dekat atau jauh dari lokasi wisata. Sekitar 5 menit memantau GPS di Triptomatic, saya melihat bahwa saya telah melewati Taman Greenwich yang menjadi tujuan saya, karena tanda di GPS menunjukan bis yang saya tumpangi mulai menjauhi taman tersebut.  Saya lalu melangkah ke lantai bawah menyiapkan diri untuk turun saat bis berhenti di halte berikutnya. Saat bis berhenti, saya lalu melangkah turun dan berjalan kembali menyusuri jalan yang telah dilalui bis yang saya tumpangi tersebut. Tak lama berselang saya melihat suatu halaman luas dengan beberapa bangunan di dalamnya. Banyak kelompok orang berada dalam halaman tersebut dengan berbagai aktivitas seperti nongkrong, berjalan ataupun berdiri maupun berfoto. Saya terus berjalan sampai menemukan pintu gerbang terbuka yang menghadap ke jalan dalam arah yang lurus dengan pintu suatu bangunan tinggi dalam kompleks tersebut. Saya lalu melangkah masuk dan menyusuri jalan berbatu kecil-kecil warna putih selebar 2 meter yang membentang dari pintu gerbang sampai dengan pintu bangunan. Saya lalu mengecek informasi yang tersedia di Triptomatic yang menunjukan bahwa saya berada dalam kompleks Old Royal Naval College.

Depan Old Royal Naval College 
Website Old Royal Naval College menginformasikan bahwa College tersebut didesain oleo Sir. Christopher Wren. Aslinya bangunan ini digunakan sebagai tempat pengungsian para pelaut tua dan terluka pada tahun 1690an. Bangunan ini terletak di sisi Istana Greenwich yang menjadi tempat tinggal favorit Raja Henry VIII. Mulai tahun 1874, bangunan ini menjadi tempat pelatihan elit bagi para pejabat kelautan Inggris. Sejak tahun 2010, bangunan ini dibuka bagi masyrakat umum, termasuk para turis untuk berkunjung dan mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang sejarah kelautan Inggris. Lantai dasar bangunan dibuka bagi publik pada jam 8 pagi - 6 sore, sedangkan tempat-tempat pertunjukan dalam bangunan dibuka pada jam 10 pagi sampai dengan jam 5 sore tanpa biaya atau tiket masuk. Karena saya tiba di kompleks tersebut telah melewati jam buka, maka saya hanya dapat mengeksplorasi bagian luar dan sekitarnya. Di sebelah kanan bangunan dalam kompleks yang sama berdiri megah kompleks bangunan Museum Kelautan / Maritim Museum. Di sebelah kirinya dalam kompleks lain yang dibatasi pagar besi, berdiri Istana Greenwich.


Maritim Museum dilihat dari Taman Greenwich

Setelah mengambil beberapa foto di depan bangunan menggunakan triport, saya lalu berjalan ke sisi kanan bangunan menyusuri jalan berbatu sambil menikmati suasana senja yang romantis dan tidak terlalu ramai. Di kiri dan kanan jalan masuk dan keluar terhampar taman berumput yang terlihat dirawat dengan sangat baik. Beberapa pengunjung duduk santai di beberapa bangku yang tersedia bahkan ada yang duduk berselonjor di pinggir jalan atau di atas rerumputan. Walau banyak orang lalu lalang di area tersebut, namun tidak terlihat penuh karena luasnya kompleks sekitar situ. Saya terus menyusuri jalan depan yang lalu berbelok ke belakang dari samping kanan bangunan College tersebut. Di kiri dan kanan jalan samping College terlihat kumpulan bunga-bunga warna merah yang telah mekar penuh sehingga makin memperindah kompleks tersebut. Di samping belakang College terdapat lorong terbuka dengan pilar-pilar sebesar satu pelukan orang dewasa. Lorong tersebut menghubungkan bangunan College dengan Meseum Kelautan yang berjarak sekitar 50 meter. Saya terus berjalan melewati lorong tersebut lalu tiba di jalan yang terletak memanjang di belakang bangunan-bangunan tersebut. Jalan tersebut sekaligus menjadi batas antara kompleks Naval College dan Museum Kelautan dengan Taman Greenwich yang terletak di depan saya.


Penanda waktu dunia
Saya tiba di satu bentang hamparan rumput dan pepohonan berdaun rimbun yang sangat luas yang membentang setelah bentang jalan di belakang College dan Museum Kelautan. Inilah Greenwich Park yang sangat luas. Berbagai orang dengan berbagai aktivitas sedang berlangsung di taman tersebut. Bermain bola, jalan dan lari sore atau hanya duduk berselonjor di rerumputan taman maupun yang bercengkrama di bangku-bangku taman. Taman dilengkapi jalan-jalan apik di berbagai sudut yang memudahkan akses ke taman tersebut. Saya menyeberangi jalan dan masuk ke taman menyusuri jalanan yang tersedia mencari-cari lokasi Greenwich Meridian atau lebih dikenal di pelajaran sekolah sebagai GMT (Greenwich Meridian Time). Kiri dan kanan jalan dijejeri pepohonan berdaun lebat yang menyegarkan saat dilalui.  Semakin lama jalan yang saya lalui semakin menanjak. Mengikuti arah GPS di Triptomatic saya terus berjalan mengikuti jalan tersebut yang menunjukan bahwa saya semakin mendekat ke tujuan. Di ujung taman, jalanan yang saya susuri bertemu jalan lain yang mengitari taman tersebut ke kiri dan ke kanan, satu lagi lurus di hadapan saya yang kelihatannya mulai mendaki. Pada perempatan di ujung taman tersebut tersedia semacam dangau yang dilengkapi bangku. Terlihat sepasang perempuan dan lelaki duduk bersanding rapat dan berbicara mesra sambil sesekali berciuman. Saya hanya melirik sekilas sambil berjalan lurus ke depan mulai menyusuri jalan mendaki selebar 1 - 1,5 meter. Kanan jalan yang saya lalui adalah bukit dengan berbagai jenis pohon, sedangkan sisi kirinya dipagari besi. Sekitar 15 menit kemudian, saya tiba di ujung jalan yang saya susuri berakhir di puncak suatu bukit . Patung / tugu GMT berada dalam 1 kompleks dengan the Royal Observatory dan patung Yuri Gagarin. Karena waktu kunjungan telah lewat, maka kompleks tersebut telah ditutup. Walau demikian, para pengunjung masih bisa bergaya dan berfoto di 2 lokasi di luar pagar kompleks, yakni di samping kiri pintu masuk serta pagar sebelah kiri dimana terdapat tugu pembagi dunia ke dalam dua kutub, Utara dan Selatan. Tugu berbentuk dua pintu berwarna putih abu yang melekat di pagar batu bata kompleks tersebut ramai menjadi tempat foto sehingga pengunjung harus antri untuk mendapatkan giliran foto dengan berbagai gaya. Selain kompleks tersebut juga terdapat taman kecil yang melingkari satu pohon besar yang dilengkapi tempat duduk dimana para pengunjung melepaskan lelah dan menikmati pemandangan lembah di bawah bukit, yakni Taman Greenwich, kompleks Museum Kelautan, the Naval College serta berbagai bangunan lain yang menjulang di kejauhan.
Tugu pembagi dunia ke Kutub Utara dan Selatan

Website The Royal Observatory menyatakan bahwa Observatory tersebut merupakan tempat / rumah
Tugu GMT
bagi waktu utama Greenwich (Greenwich Mean Time) dan dunia (Prime Meridian of the World). Bangunannya didisain oleh Sir Christopher Wren - yang juga mendesain the Royal College) - pada tahun 1675 atas instruksi Raja Charles II. Di halaman Observatory dapat ditemukan garis waktu Meridian (Meridian Line) dan Patung Yuri Gagarin yang adalah orang pertama dari Rusia (Cosmonot) yang berjalan-jalan di ruang angkasa. Patungnya didirikan pada bulan Maret 2013 yang didedikasikan sebagai peringatan atas upaya manusia menjelajahi ruang angkasa. Bangunan Observatory terdiri atas tiga lantai, yakni lantai dasar, lantai 1 dan lantai 2 dengan tema berbeda untuk dinikmati pengunjung, antara lain galeri waktu, planetarium dan teleskop 28 Inci. Tema utama yang dapat dinikmati adalah astronomi atau luar angkasa dan kelautan. Keduanya terkait erat dalam penjelasana manusia melalui laut. Sama seperti nenek moyang bangsa kita yang juga mengandalkan benda-benda langit pada masa lampau untuk berlayar dan juga menentukan musim menanam.



Di atas bis menuju Kota London dari Greenwich
Seharusnya malam telah menggelapkan daerah sekitar, karena waktu telah menunjukan jam 7 lewat, namun matahari masih bersinar seperti jam 5 sore di Jakarta. Setelah selesai berfoto dan puas berkeliling kawasan sekitar, saya lalu melangkah balik sambil mengambil foto sepanjang jalan. Saat kembali menuju jalan raya, saya memilih rute berbeda setelah tiba di perempatan jalan yang terletak di ujung Taman Greenwich. Saya mengambil arah kiri lalu menyusuri jalan tersebut sambil memperhatikan berbagai aktivitas yang masih sedang berlangsung di kawasan tersebut. Sekitar 10 menit kemudian saya tiba di gerbang masuk keluar taman. Sekitar 2 meter sebelum gerbang tersedia papan informasi taman tersebut. Depan gerbang taman terdapat pertigaan yang salah satunya melewati taman tersebut - yang sepertinya membagi Taman Greenwich menjadi dua bagian. Saya terus berjalan lurus menyusuri jalan depan saya. Di kiri saya berjejer berbagai restoran 2 atau3 lantai bertembok bata merah. Sedangkan sebelah kanan saya merupakan kompleks Istana Greenwich.

Tiba di jalan raya, saya mengambil arah kanan menuju halte tempat saya turun sebelumnya. Saya lalu naik ke salah satu bis yang berhenti di halte tersebut. Kali ini saya tidak bertanya nomor dan rute, karena saya hanya ingin menuju ke pusat kota untuk menikmati malam disana. Setelah melewati beberapa halte dimana penumpang menjadi makin sedikit, sopir tiba-tiba menghentikan bis dan menginformasikan ke penumpang untuk berganti bis. Seperti kelakuan kopaja dan metromini di Jakarta juga neh pikir saya. 5 penumpang tersisa, 3 diantaranya perempuan lalu turun di halte tersebut. Saya lalu mengajak ngobrol dua perempuan tua yang ditanggapi salah seorang dengan ramah. Temannya lebih banyak diam. Perempuan yang saya ajak ngobrol menginformasikan beberapa nomor bus lain saat saya beritahu akan ke pusat kota untuk sightseeing. Kami lalu bersama-sama naik ke bis berikut yang tiba di halte tersebut. Prosedur yang sama dilakukan, yakni menempelkan kartu Oyster ke tempat yang telah disediakan. Ternyata para perempuan itu sama seperti saya memilih duduk di lantai atas. Namun saya memilih duduk di bagian  depan guna menikmati jalan yang dilewati. Sekitar 1 jam kemudian bis telah tiba di pusat kota. Tepat di
Suasana di luar gerbang Taman Greenwich
tengah suatu jembatan di Sungai Thames terlihat kerlap-kerlip lampu London Eye bersama lampu-lampu kota yang menghiasi seantero kota. Kedua perempuan tua itu telah turun di suatu tempat. Sementara saya tetap nongkrong di atas bis sampai bis tiba di pemberhentian akhir di ujung lain kota London - yang tidak terlalu jauh dari pusat kota. Saya turun bersama penumpang tersisa lalu menyusuri jalan berlawanan arah dari jalan yang telah dilalui bus - dengan tetap waspada terhadap sepeda yang lalu lalang, teurtama di lampu-lampu merah.

Salah satu area dalam Taman Greenwich 
Sekitar 3 menit kemudian saya tiba di jalan utama yang dipenuhi jejeran restoran dan berbagai jenis toko, termasuk beberapa kios souvenir. Saya akhirnya memutuskan masuk ke salah satu kios souvenir yang dijaga oleh seorang lelaki muda India. Saya beli gantungan kunci, magnet kulkas dan bola salju (snow ball) khas London tentunya seperti miniatur bis tingkat berwana merah dan miniatur big ben. Saat masih memilih milih souvenir,  kantong kemih saya memberi sinyal untuk kencing. Saya lalu bertanya ke penjaga kios apakah saya bisa meminjam toiletnya, namun ternyata tidak bisa. Dengan ramah penjaga toko menginformasikan ke saya agar ke restoran Mc Donald yang memiliki toilet. Saya lalu berterima kasih dan setelah transaksi selesai, saya pun berjalan keluar menyusuri jalan mencari restoran Mc. D - yang tidak saya temukan. Saat tiba di depan stasiun kereta bawah tanah di sebelah kiri jalan yang saya susuri, saya memutuskan masuk untuk mencari toilet di stasiun tersebut. Namun ternyata saya tidak menemukan satu toilet pun di dalam stasiun, namun saya melihat panah penunjuk arah ke restoran Mc.D. Saya lalu keluar dari pintu samping stasiun mengikut arah panah tersebut. Sampai di luar saya melihat restoran Mc. D yang terletak di seberang jalan sekitar 25 meter dari stasiun. Oleh karena jalan yang akan saya seberangi merupakan jalan satu arah, maka saya hanya memperhatikan sisi kanan saya lalu menyeberang ke Restoran Mc. D saat jalan sepi. Sebelum menyeberang, mata saya sempat menangkap tulisan toilet berbayar di dekat stasiun. Namun saya tetap memutuskan untuk menyeberang ke Mc. D sekalian karena ingin makan malam. Tiba di dalam restoran saya harus antri karena di depan saya telah antri 4 pembeli lain. Sambil antri mata mencari toilet yang ternyata terletak di basement. Saya lalu meninggalkan antrian beranjak ke toilet di basement. Setelah selesai kencing saya kembali ke atas lagi, namun antrian semakin panjang sehingga saya memutuskan mencari makan di tempat lain.

Keluar dari restoran saya menyeberang kembali ke arah stasiun dan berjalan menyusuri jalan depan stasiun sampai tiba di satu perempatan. Di sebelah kiri perempatan tersebut berdiri satu toko serba ada bernama subway. Saya lalu memutuskan menyeberang ke toko tersebut untuk melihat-lihat dan berbelanja yang saya butuhkan, terutama air minum. Di toko tersebut saya lalu membeli biskuit, sandwich dan juga air mineral. Harga air mineral ternyata cukup mahal, yakni 2 pound  atau sekitar 36.000 rupiah untuk ukuran 1liter. Toko ini menerapkan sistem self service, termasuk urusan kantong belanja, scan harga belanjaan dan pembayaran dilakukan di mesin-mesin yang berjejer dekat pintu keluar masuk. Beberapa staf berseragam biru hanya memperhatikan. Karena saya kesulitan dengan scanning barang belanjaan, salah satu staf menghampiri dan memberikan bantuanya. Saya lalu memasukan pembayaran cash ke mesin tersebut. Kembalian keluar dengan sendirinya karena nilai uang kertas yang saya masukin ke mesin lebih banyak dari harga barang yang saya beli. Selesai urusan pembayaran, saya melangkah keluar toko dan menyeberang lagi mencari halte terdekat lalu menunggu bis di halte tersebut. Karena saya akan kembali ke hotel, maka saya hanya perlu menunggu bis nomor yang sama, yakni 108. Sekitar 5 menit menunggu, bis yang saya tunggu-tunggu pun tiba. Saya lalu melangkah masuk saat pintu depan terbuka. Prosedur pembayaran menggunakan kartu Oyster saya lakukan lagi. Saya kemudian melangkah ke lantai atas lagi. Ternyata bis cukup penuh sehingga saya lalu mencari tempat duduk di tengah karena bagian depan telah diduduki orang lain. Tiba di seberang halte tempat saya naik sore tadi, saya turun lalu menyeberang dan menyusuri jalan kembali ke hotel. Hampir jam 12 tengah malam saya tiba kembali di kamar hotel.

salah satu area Taman Greenwich


BERSAMBUNG



JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...