Tulisan Ketujuh
|
Halte Bis di samping belakang hotel |
22 Agustus 2013 sekitar jam 6 sore - matahari masih bersinar terang pada saat itu sampai dengan22 sekitar jam 8 malam di London - saya turun ke resepsionis menanyakan nomor bis dan rute ke Taman Greenwich, tempat beberapa obyek wisata yang ingin saya kunjungi hari itu. Saya diberitahu untuk naik bis nomor 108 di halte yang terletak di belakang hotel. Sesuai arahan staf hotel, saya lalu berjalan ke luar hotel, berbelok ke arah kanan menuju bagian belakang hotel lalu berjalan menyusuri jalan raya. Saya melihat beberapa sepeda dikendarai melewati pedestarian yang sedang saya susuri sehingga saya mengingatkan diri sendiri untuk waspada. Saat saya tiba di perempatan belakang hotel, saya menyeberang dan berjalan lurus sampai menemukan halte yang diinformasikan oleh staf hotel. Saya lalu nongkrong di halte teresebut menunggu bis nomor 108. Ada beberapa bis yang berhenti menurunkan penumpang - yang dari warna kulitnya menunjukan mereka adalah orang-orang Afrika - yang mungkin saja merupakan warga negara Inggris atau hanyalah pekerja migran. Sepertinya mereka baru pulang dari tempat kerja dan turun dalam kelompok 3 atau 4 orang. Saya menduga daerah sekitar merupakan tempat tinggal para pekerja migran atau orang-orang Afrika yang menjadi warga negara setempat. Halte tersebut juga menyediakan papan informasi nomor-nomor bis dengan rute yang dilalui. Model informasi yang sama saya temukan di Roma.
Sekitar 5 menit menunggu saya melihat bis nomor 108 sedang menuju ke arah halte. Saya lalu berdiri menunggu bus tersebut berhenti. 2 orang perempuan Afrika berambut tebal bergelombang memakai tanktop bergincu merah menyala turun dari bus, setelah itu saya lalu bergegas naik, menempelkan kartu Oyster di tempat yang disediakan lalu masuk dan menaiki tangga ke lantai atas. Bis yang saya tumpangi juga sepi, namun tidak kosong. Saya memilih duduk di kursi sebelah kiri paling depan lantai atas untuk memudahkan saya mengekplorasi dan menikmati panorama sepanjang jalan. Tak lupa saya menyiagakan kamera di pangkuan saya sehingga sesewaktu dapat segera digunakan memotret obyek-obyek menarik sepanjang jalan. Saya juga menghidupkan GPS melalui aplikasi Tripomatic yang telah saya download ke iphone saya dari apple store. Ini merupakan aplikasi berbayar yang menyediakan informasi berbagai tempat wisata di kota-kota seluruh dunia, termasuk Jakarta. Informasi yang disediakan cukup lengkap, termasuk lokasi, rute dan juga GPS yang menunjukan jarak pemakai dari lokasi atau tempat wisata yang akan dikunjungi. Dengan membayar 145.000 rupiah, saya dapat mengunduh aplikasi tersebut selamanya serta menggunakannya sesuai kebutuhan. Aplikasi ini ternyata sangat membantu saya selama perjalanan saya di Eropa Barat, karena dapat digunakan tanpa jaringan internet.
Dengan menggunakan Tripomatic, maka saya dapat memantau jarak bis dengan lokasi wisata yang akan saya kunjungi. Bulatan kecil berwarna biru di aplikasi Tripomatic tersebut menunjukan rute yang dilalui bis sekaligus apakah semakin dekat atau jauh dari lokasi wisata. Sekitar 5 menit memantau GPS di Triptomatic, saya melihat bahwa saya telah melewati Taman Greenwich yang menjadi tujuan saya, karena tanda di GPS menunjukan bis yang saya tumpangi mulai menjauhi taman tersebut. Saya lalu melangkah ke lantai bawah menyiapkan diri untuk turun saat bis berhenti di halte berikutnya. Saat bis berhenti, saya lalu melangkah turun dan berjalan kembali menyusuri jalan yang telah dilalui bis yang saya tumpangi tersebut. Tak lama berselang saya melihat suatu halaman luas dengan beberapa bangunan di dalamnya. Banyak kelompok orang berada dalam halaman tersebut dengan berbagai aktivitas seperti nongkrong, berjalan ataupun berdiri maupun berfoto. Saya terus berjalan sampai menemukan pintu gerbang terbuka yang menghadap ke jalan dalam arah yang lurus dengan pintu suatu bangunan tinggi dalam kompleks tersebut. Saya lalu melangkah masuk dan menyusuri jalan berbatu kecil-kecil warna putih selebar 2 meter yang membentang dari pintu gerbang sampai dengan pintu bangunan. Saya lalu mengecek informasi yang tersedia di Triptomatic yang menunjukan bahwa saya berada dalam kompleks Old Royal Naval College.
|
Depan Old Royal Naval College |
Website Old Royal Naval College menginformasikan bahwa College tersebut didesain oleo Sir. Christopher Wren. Aslinya bangunan ini digunakan sebagai tempat pengungsian para pelaut tua dan terluka pada tahun 1690an. Bangunan ini terletak di sisi Istana Greenwich yang menjadi tempat tinggal favorit Raja Henry VIII. Mulai tahun 1874, bangunan ini menjadi tempat pelatihan elit bagi para pejabat kelautan Inggris. Sejak tahun 2010, bangunan ini dibuka bagi masyrakat umum, termasuk para turis untuk berkunjung dan mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang sejarah kelautan Inggris. Lantai dasar bangunan dibuka bagi publik pada jam 8 pagi - 6 sore, sedangkan tempat-tempat pertunjukan dalam bangunan dibuka pada jam 10 pagi sampai dengan jam 5 sore tanpa biaya atau tiket masuk. Karena saya tiba di kompleks tersebut telah melewati jam buka, maka saya hanya dapat mengeksplorasi bagian luar dan sekitarnya. Di sebelah kanan bangunan dalam kompleks yang sama berdiri megah kompleks bangunan Museum Kelautan / Maritim Museum. Di sebelah kirinya dalam kompleks lain yang dibatasi pagar besi, berdiri Istana Greenwich.
|
Maritim Museum dilihat dari Taman Greenwich |
Setelah mengambil beberapa foto di depan bangunan menggunakan triport, saya lalu berjalan ke sisi kanan bangunan menyusuri jalan berbatu sambil menikmati suasana senja yang romantis dan tidak terlalu ramai. Di kiri dan kanan jalan masuk dan keluar terhampar taman berumput yang terlihat dirawat dengan sangat baik. Beberapa pengunjung duduk santai di beberapa bangku yang tersedia bahkan ada yang duduk berselonjor di pinggir jalan atau di atas rerumputan. Walau banyak orang lalu lalang di area tersebut, namun tidak terlihat penuh karena luasnya kompleks sekitar situ. Saya terus menyusuri jalan depan yang lalu berbelok ke belakang dari samping kanan bangunan College tersebut. Di kiri dan kanan jalan samping College terlihat kumpulan bunga-bunga warna merah yang telah mekar penuh sehingga makin memperindah kompleks tersebut. Di samping belakang College terdapat lorong terbuka dengan pilar-pilar sebesar satu pelukan orang dewasa. Lorong tersebut menghubungkan bangunan College dengan Meseum Kelautan yang berjarak sekitar 50 meter. Saya terus berjalan melewati lorong tersebut lalu tiba di jalan yang terletak memanjang di belakang bangunan-bangunan tersebut. Jalan tersebut sekaligus menjadi batas antara kompleks Naval College dan Museum Kelautan dengan Taman Greenwich yang terletak di depan saya.
|
Penanda waktu dunia |
Saya tiba di satu bentang hamparan rumput dan pepohonan berdaun rimbun yang sangat luas yang membentang setelah bentang jalan di belakang College dan Museum Kelautan. Inilah Greenwich Park yang sangat luas. Berbagai orang dengan berbagai aktivitas sedang berlangsung di taman tersebut. Bermain bola, jalan dan lari sore atau hanya duduk berselonjor di rerumputan taman maupun yang bercengkrama di bangku-bangku taman. Taman dilengkapi jalan-jalan apik di berbagai sudut yang memudahkan akses ke taman tersebut. Saya menyeberangi jalan dan masuk ke taman menyusuri jalanan yang tersedia mencari-cari lokasi Greenwich Meridian atau lebih dikenal di pelajaran sekolah sebagai GMT (Greenwich Meridian Time). Kiri dan kanan jalan dijejeri pepohonan berdaun lebat yang menyegarkan saat dilalui. Semakin lama jalan yang saya lalui semakin menanjak. Mengikuti arah GPS di Triptomatic saya terus berjalan mengikuti jalan tersebut yang menunjukan bahwa saya semakin mendekat ke tujuan. Di ujung taman, jalanan yang saya susuri bertemu jalan lain yang mengitari taman tersebut ke kiri dan ke kanan, satu lagi lurus di hadapan saya yang kelihatannya mulai mendaki. Pada perempatan di ujung taman tersebut tersedia semacam dangau yang dilengkapi bangku. Terlihat sepasang perempuan dan lelaki duduk bersanding rapat dan berbicara mesra sambil sesekali berciuman. Saya hanya melirik sekilas sambil berjalan lurus ke depan mulai menyusuri jalan mendaki selebar 1 - 1,5 meter. Kanan jalan yang saya lalui adalah bukit dengan berbagai jenis pohon, sedangkan sisi kirinya dipagari besi. Sekitar 15 menit kemudian, saya tiba di ujung jalan yang saya susuri berakhir di puncak suatu bukit . Patung / tugu GMT berada dalam 1 kompleks dengan the Royal Observatory dan patung Yuri Gagarin. Karena waktu kunjungan telah lewat, maka kompleks tersebut telah ditutup. Walau demikian, para pengunjung masih bisa bergaya dan berfoto di 2 lokasi di luar pagar kompleks, yakni di samping kiri pintu masuk serta pagar sebelah kiri dimana terdapat tugu pembagi dunia ke dalam dua kutub, Utara dan Selatan. Tugu berbentuk dua pintu berwarna putih abu yang melekat di pagar batu bata kompleks tersebut ramai menjadi tempat foto sehingga pengunjung harus antri untuk mendapatkan giliran foto dengan berbagai gaya. Selain kompleks tersebut juga terdapat taman kecil yang melingkari satu pohon besar yang dilengkapi tempat duduk dimana para pengunjung melepaskan lelah dan menikmati pemandangan lembah di bawah bukit, yakni Taman Greenwich, kompleks Museum Kelautan, the Naval College serta berbagai bangunan lain yang menjulang di kejauhan.
|
Tugu pembagi dunia ke Kutub Utara dan Selatan |
Website The Royal Observatory menyatakan bahwa Observatory tersebut merupakan tempat / rumah
|
Tugu GMT |
bagi waktu utama Greenwich (Greenwich Mean Time) dan dunia (Prime Meridian of the World). Bangunannya didisain oleh Sir Christopher Wren - yang juga mendesain the Royal College) - pada tahun 1675 atas instruksi Raja Charles II. Di halaman Observatory dapat ditemukan garis waktu Meridian (Meridian Line) dan Patung Yuri Gagarin yang adalah orang pertama dari Rusia (Cosmonot) yang berjalan-jalan di ruang angkasa. Patungnya didirikan pada bulan Maret 2013 yang didedikasikan sebagai peringatan atas upaya manusia menjelajahi ruang angkasa. Bangunan Observatory terdiri atas tiga lantai, yakni lantai dasar, lantai 1 dan lantai 2 dengan tema berbeda untuk dinikmati pengunjung, antara lain galeri waktu, planetarium dan teleskop 28 Inci. Tema utama yang dapat dinikmati adalah astronomi atau luar angkasa dan kelautan. Keduanya terkait erat dalam penjelasana manusia melalui laut. Sama seperti nenek moyang bangsa kita yang juga mengandalkan benda-benda langit pada masa lampau untuk berlayar dan juga menentukan musim menanam.
|
Di atas bis menuju Kota London dari Greenwich |
Seharusnya malam telah menggelapkan daerah sekitar, karena waktu telah menunjukan jam 7 lewat, namun matahari masih bersinar seperti jam 5 sore di Jakarta. Setelah selesai berfoto dan puas berkeliling kawasan sekitar, saya lalu melangkah balik sambil mengambil foto sepanjang jalan. Saat kembali menuju jalan raya, saya memilih rute berbeda setelah tiba di perempatan jalan yang terletak di ujung Taman Greenwich. Saya mengambil arah kiri lalu menyusuri jalan tersebut sambil memperhatikan berbagai aktivitas yang masih sedang berlangsung di kawasan tersebut. Sekitar 10 menit kemudian saya tiba di gerbang masuk keluar taman. Sekitar 2 meter sebelum gerbang tersedia papan informasi taman tersebut. Depan gerbang taman terdapat pertigaan yang salah satunya melewati taman tersebut - yang sepertinya membagi Taman Greenwich menjadi dua bagian. Saya terus berjalan lurus menyusuri jalan depan saya. Di kiri saya berjejer berbagai restoran 2 atau3 lantai bertembok bata merah. Sedangkan sebelah kanan saya merupakan kompleks Istana Greenwich.
Tiba di jalan raya, saya mengambil arah kanan menuju halte tempat saya turun sebelumnya. Saya lalu naik ke salah satu bis yang berhenti di halte tersebut. Kali ini saya tidak bertanya nomor dan rute, karena saya hanya ingin menuju ke pusat kota untuk menikmati malam disana. Setelah melewati beberapa halte dimana penumpang menjadi makin sedikit, sopir tiba-tiba menghentikan bis dan menginformasikan ke penumpang untuk berganti bis. Seperti kelakuan kopaja dan metromini di Jakarta juga neh pikir saya. 5 penumpang tersisa, 3 diantaranya perempuan lalu turun di halte tersebut. Saya lalu mengajak ngobrol dua perempuan tua yang ditanggapi salah seorang dengan ramah. Temannya lebih banyak diam. Perempuan yang saya ajak ngobrol menginformasikan beberapa nomor bus lain saat saya beritahu akan ke pusat kota untuk
sightseeing. Kami lalu bersama-sama naik ke bis berikut yang tiba di halte tersebut. Prosedur yang sama dilakukan, yakni menempelkan kartu Oyster ke tempat yang telah disediakan. Ternyata para perempuan itu sama seperti saya memilih duduk di lantai atas. Namun saya memilih duduk di bagian depan guna menikmati jalan yang dilewati. Sekitar 1 jam kemudian bis telah tiba di pusat kota. Tepat di
|
Suasana di luar gerbang Taman Greenwich |
tengah suatu jembatan di Sungai Thames terlihat kerlap-kerlip lampu London Eye bersama lampu-lampu kota yang menghiasi seantero kota. Kedua perempuan tua itu telah turun di suatu tempat. Sementara saya tetap nongkrong di atas bis sampai bis tiba di pemberhentian akhir di ujung lain kota London - yang tidak terlalu jauh dari pusat kota. Saya turun bersama penumpang tersisa lalu menyusuri jalan berlawanan arah dari jalan yang telah dilalui bus - dengan tetap waspada terhadap sepeda yang lalu lalang, teurtama di lampu-lampu merah.
|
Salah satu area dalam Taman Greenwich |
Sekitar 3 menit kemudian saya tiba di jalan utama yang dipenuhi jejeran restoran dan berbagai jenis toko, termasuk beberapa kios souvenir. Saya akhirnya memutuskan masuk ke salah satu kios souvenir yang dijaga oleh seorang lelaki muda India. Saya beli gantungan kunci, magnet kulkas dan bola salju (
snow ball) khas London tentunya seperti miniatur bis tingkat berwana merah dan miniatur big ben. Saat masih memilih milih souvenir, kantong kemih saya memberi sinyal untuk kencing. Saya lalu bertanya ke penjaga kios apakah saya bisa meminjam toiletnya, namun ternyata tidak bisa. Dengan ramah penjaga toko menginformasikan ke saya agar ke restoran Mc Donald yang memiliki toilet. Saya lalu berterima kasih dan setelah transaksi selesai, saya pun berjalan keluar menyusuri jalan mencari restoran Mc. D - yang tidak saya temukan. Saat tiba di depan stasiun kereta bawah tanah di sebelah kiri jalan yang saya susuri, saya memutuskan masuk untuk mencari toilet di stasiun tersebut. Namun ternyata saya tidak menemukan satu toilet pun di dalam stasiun, namun saya melihat panah penunjuk arah ke restoran Mc.D. Saya lalu keluar dari pintu samping stasiun mengikut arah panah tersebut. Sampai di luar saya melihat restoran Mc. D yang terletak di seberang jalan sekitar 25 meter dari stasiun. Oleh karena jalan yang akan saya seberangi merupakan jalan satu arah, maka saya hanya memperhatikan sisi kanan saya lalu menyeberang ke Restoran Mc. D saat jalan sepi. Sebelum menyeberang, mata saya sempat menangkap tulisan toilet berbayar di dekat stasiun. Namun saya tetap memutuskan untuk menyeberang ke Mc. D sekalian karena ingin makan malam. Tiba di dalam restoran saya harus antri karena di depan saya telah antri 4 pembeli lain. Sambil antri mata mencari toilet yang ternyata terletak di basement. Saya lalu meninggalkan antrian beranjak ke toilet di basement. Setelah selesai kencing saya kembali ke atas lagi, namun antrian semakin panjang sehingga saya memutuskan mencari makan di tempat lain.
Keluar dari restoran saya menyeberang kembali ke arah stasiun dan berjalan menyusuri jalan depan stasiun sampai tiba di satu perempatan. Di sebelah kiri perempatan tersebut berdiri satu toko serba ada bernama subway. Saya lalu memutuskan menyeberang ke toko tersebut untuk melihat-lihat dan berbelanja yang saya butuhkan, terutama air minum. Di toko tersebut saya lalu membeli biskuit, sandwich dan juga air mineral. Harga air mineral ternyata cukup mahal, yakni 2 pound atau sekitar 36.000 rupiah untuk ukuran 1liter. Toko ini menerapkan sistem
self service, termasuk urusan kantong belanja, scan harga belanjaan dan pembayaran dilakukan di mesin-mesin yang berjejer dekat pintu keluar masuk. Beberapa staf berseragam biru hanya memperhatikan. Karena saya kesulitan dengan scanning barang belanjaan, salah satu staf menghampiri dan memberikan bantuanya. Saya lalu memasukan pembayaran cash ke mesin tersebut. Kembalian keluar dengan sendirinya karena nilai uang kertas yang saya masukin ke mesin lebih banyak dari harga barang yang saya beli. Selesai urusan pembayaran, saya melangkah keluar toko dan menyeberang lagi mencari halte terdekat lalu menunggu bis di halte tersebut. Karena saya akan kembali ke hotel, maka saya hanya perlu menunggu bis nomor yang sama, yakni 108. Sekitar 5 menit menunggu, bis yang saya tunggu-tunggu pun tiba. Saya lalu melangkah masuk saat pintu depan terbuka. Prosedur pembayaran menggunakan kartu Oyster saya lakukan lagi. Saya kemudian melangkah ke lantai atas lagi. Ternyata bis cukup penuh sehingga saya lalu mencari tempat duduk di tengah karena bagian depan telah diduduki orang lain. Tiba di seberang halte tempat saya naik sore tadi, saya turun lalu menyeberang dan menyusuri jalan kembali ke hotel. Hampir jam 12 tengah malam saya tiba kembali di kamar hotel.
|
salah satu area Taman Greenwich |
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar