Ini posting JADUL tahun 2007 yang selama ini hanya tersimpan di draf. Saat bongkar2 baru sadar kalo posting ini belum dipublikasikan..
==============================
Sudah 7 hari saya berada di kota Manokwari – ibukota Provinsi Irian Jaya Barat - yang adalah provinsi pemekaran dari Provinsi Papua. Kota Manokwari dikenal juga sebagai Kota Injil bagi Tanah Papua. Menurut cerita, Agama Kristen berkembang di Papua berawal dari penyebaran injil pertama kali di Manokwari - yang dibawa oleh seorang penginjil asal Belanda - yang mendarat di Pulau Mansinam - suatu pulau kecil di depan Kota Manokwari.
Hari pertama menjejak bumi Manokwari mengingatkan saya kepada dua kota yang pernah menjadi bagian kehidupan ku, yakni Kupang di tahun 80an dan Dili di tahun 90an. Kota Manokwari terletak di pinggir laut dan dikelilingi kawasan perbukitan hijau. Kadang di sore hari, asap mengepul dari kawasan perbukitan tersebut karena pembersihan dan pembakaran lahan oleh para petani.
Di kawasan kota sendiri sering terlihat penduduk membakar sampah di halaman rumahnya. Kondisi yang tidak pernah saya temukan di Jakarta. Saat ini, kota Manokwari sedang berbenah. Berbagai fasilitas swasta, pemerintah dan juga umum sedang diperbaiki ataupun dibangun baru. Banyak bangunan baru bermunculan seiring dengan geliat kota karena kehadiran banyak orang baru, seperti saya di kota tersebut. Kawasan pertokoan di Sanggeng seperti kawasan pertokoan di Jl. Kanaan Kuanino, Kupang.
Rumah-rumah penduduk yang berjejer di tepi pantainya mengingatkan saya pada jejeran rumah di kawasan Becora, Dili, ataupun di pantai Oeba dan Kampung Solor di Kupang. Agak berbeda dengan kawasan pertokoan di kota Jayapura, kawasan pertokoan di Manokwari terlihat bersih. Di sore hingga malam hari banyak penjual buah menggelar dagangannya di emperan-emperen toko, namun segera setelah itu kawasan tersebut dibersihkan oleh mereka. Biaya hidup di kota ini lumayan mahal, namun masih murah jika dibandingkan dengan kota Jayapura – yang pernah saya singgahi selama 2 minggu sebelum menuju Manokwari. Harga 1 buah mangga harum manis 500 gram Rp. 7.000 di toko buah sementara di pasar dapat diperoleh dengan harga Rp. 5.000. Mangga yang sama di Jayapura berharga Rp. 10.000. Harga 1 paket ayam goreng (ayam goreng, nasi, sambal dan lalapan) Rp. 15.000 sementara harga 1 paket ikan bakar (1 ikan bakar, nasi, sambal dan lalapan) berkisar Rp. 25 – 50.000. Sewa mobil per hari Rp. 500.000, angkot Rp. 2.000, sedangkan ojeck Rp. 3000 harga dasar, selanjutnya tergantung jarak antar.
Kaki ku menjejak bumi Irian Jaya Barat pada tanggal 1 Desember 2006. Saat roda pesawat Merpati yang menggunakan Boeing 737 – 200 menjejak bandara, mata ku menangkap kumpulan pempohonan dan rerumputan hijau di sekitar bandara yang juga terletak di tepian pantai seperti letak Bandara Ngurah Rai di Bali. Bandar udara kota Manokwari masih sangat sederhana walau telah memiliki kapasitas menerima pendaratan pesawat Boeing 737-200 yang saya tumpangi dari Jayapura.
Saat wajah ku nongol di pintu keluar pesawat, angin lembut dan kesegaran udara bersih langsung menyapa hangat dan membelai tubuh ku seperti mengucapkan salam selamat datang. Kaki ku melangkah dan menapak pasti bumi Manokwari Provinsi Irian Jaya Barat yang akan menjadi bagian dari hari-hari hidup ku sebagai Program Officer UNDP untuk Provinsi Irian Jaya Barat.
Kaki ku menjejak dan menapak pasti menuju terminal kedatangan. Di ruang bagasi sejumlah porter yang berbaur dengan penjemput hingga para sopir taxi pribadi telah menunggu mendapatkan secerca rejeki dari para penumpang pesawat. Seorang lelaki tinggi kurus berwajah garang berkumis hitam tebal tersenyum kepada ku sambil menawarkan jasanya. Saya hanya mengangguk dan menyerahkan boarding pass yang ditempeli bagasi tag. Ternyata lelaki tersebut adalah seorang supir taksi pribadi pengganti temannya – yang sedang sembahyang Jumat. Tak lama kemudian bagasi yang hanya sedikit didorong masuk oleh para petugas lalu diambil alih oleh para porter, supir dan para penjemput. Supir taxi merangkap porter saya lalu mengangkut koper-koper saya ke mobilnya sambil ngobrol. Dia menawarkan hotel Metro sebagai tempat penginapan saya, saya katakan kantor UNDP Jayapura telah booking hotel Soribo sebagai penginapan saya selama berada di Manokwari. Dia hanya mengangguk lalu kami bercakap-cakap di mobil tentang berbagai topik lainnya.
Dari supir itu, sekilas saya mendapatkan gambaran tentang kota Manokwari. Setelah check in, istirahat beberapa menit, mandi lalu berganti pakaian, saya minta diantar ke kantor Bappeda. Ternyata kantor tersebut telah tutup sehingga saya tidak menemukan seorang staf pun sehingga saya minta diantar ke kantor Sekretaris Daerah. Di kantor tersebut, saya hanya bertemu sekretaris pribadi Sekda – yang lalu menginformasikan kepada saya bahwa urusan UNDP dan IFAD mission akan melalui BAPPEDA Provinsi. Saya hanya mengucapkan terima kasih lalu berlalu dari tempat tersebut. Karena masih merupakan provinsi baru, maka kantor-kantor pemerintahan provinsi masih sangat sederhana.
Hampir semua kantor pemerintah menempati bangunan panjang seperti barak militer yang disekat-sekat untuk berbagai instansi. Misalnya Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Provinsi berada pada satu bangunan. Sama halnya dengan Kantor BAPPEDA yang sharing dengan KPUD Provinsi dan Kesatuan Bangsa (Kesbang). Karena tidak bisa menemui seorang pejabat pun, saya lalu meminta diantar ke kantor Capacity2015 – yang merupakan satu proyek kerjasama UNDP dan Pemerintah Indonesia. Di kantor tersebut saya juga hanya bertemu seorang staf administrasi – yang tinggal di dalam kantor tersebut. Setelah ngobrol beberapa menit, saya lalu mencoba mengontak satu konsultan proyek tersebut – bernama Mey. Kami janjian untuk bertemu sore hari tersebut. Saya lalu minta diantar ke hotel Fajar Roon untuk bertemu salah satu staf ILO dari Jayapura – untuk mendiskusikan tindak-lanjut dari suatu kerjasama UNDP – ILO yang telah disepakati sebelum saya menjadi PO UNDP untuk wilayah Irian Jaya Barat. Setelah bertemu dan berdiskusi sekitar 30 menit, kami lalu menyepakati beberapa hal sebagai tindak-lanjut teknis pelaksanaan kerjasama tersebut, terutama terkait pada rencana seminar kebijakan ketenaga-kerjaan di provinsi Irian Jaya Barat. Setelah itu kami bersama melakukan perjalanan ke kantor Capacity2015. Wakil ILO ingin melihat langsung kantor tersebut yang rencananya akan menjadi kantor bersama Cap2015 dengan UNDP dan ILO. Di kantor tersebut, kami juga hanya bertemu staf administrasi tersebut.
Saya lalu menelpon Mey untuk mengabarkan keberadaan kami di kantor-nya. Tak lama kemudian dia datang dan kami berdiskusi tentang berbagai hal, termasuk rencana kantor bersama. Pada dasarnya dia tidak berkeberatan karena hampir semua konsultan proyek tersebut lebih banyak berada di kantor-kantor pemerintah untuk memfasilitasi berbagai kegiatan – dari pada di kantor. Namun, keputusan penggunaan kantor berada pada manajer proyek di Jakarta.
Tiada terasa kegelapan malam telah menjejak mayapada. Kami lalu pamit dan beranjak balik ke penginapan masing-masing guna sejenak mengistirahatkan fisik dan batin. Saat mentari Timur tersenyum bahagia, ku tinggalkan peraduan hotel untuk mempersiapkan diri bagi aktivitas hari itu.
Tiada terasa telah seminggu saya berada di kota Manokwari sebagai pos kerja ku untuk bulan-bulan yang akan datang. Kesibukan bertemu dengan berbagai pejabat pemerintah, para konsultan dari Universitas Papua (UNIPA) sampai dengan berkeliling mencari rumah / kamar yang layak sebagai tempat tinggal ku di Manokwari telah mengisi hari-hari ku di kota ini.
Berbagai aktivitas tersebut telah mempertemukan ku dengan berbagai orang – yang secara bertahap mengakrabkan ku dengan denyut kehidupan kota Manokwari dan seluk-beluknya. Sebagai perintis kantor UNDP di kota Manokwari, saya masih harus melakukan semuanya sendiri – mulai dari bertemu para pejabat pemerintah, konsultan independen, booking hotel, mobil bagi para tamu UNDP hingga urusan tiket perjalanan para tamu tersebut harus saya tangani dengan baik. Hanya bermodalkan pengalaman kerja masa silam, HP serta dana operasional penggunaan mobil, saya mengorganisir semua kegiatan tersebut yang cukup melelahkan namun sangat mengairahkan serta memberi kepuasan batin saat semuanya berjalan dengan baik.
Sejak pertama menapaki kota Manokwari, saya langsung menyukai kota ini dan penduduknya. Orang-orang di kota ini sangat ramah. Saat bertemu di jalan, mereka selalu tersenyum dan menyapa “selamat pagi / siang / malam”. Orang-orangnya sangat senang membantu orang lain. Sepertinya mereka selalu welcome terhadap siapapun. Sikap yang sama ditunjukan juga oleh para pejabat pemerintah yang saya temui. Murah senyum, memiliki selera humor yang tinggi serasa menjadi bagian integral dari kehidupan mereka setiap hari.
Dialek bahasa Indonesia mereka hampir sama seperti dialek bahasa Indonesia di kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Hal tersebut memudahkan saya memahami percakapan sehari-hari mereka karena latar-belakang keluarga dan sosial saya yang berasal dari kota Kupang tempat saya dilahirkan dan dibesarkan hingga menamatkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (UNDANA) pada tahun 1992 silam.
Di lingkungan sosial setempat, awalnya saya selalu disangka orang Jawa, apalagi dialek bahasa Jakarta yang saya gunakan dalam percakapan sehari-hari. Saat mereka mengetahui saya orang Rote yang lahir besar di Kupang, semua komunikasi langsung berjalan lancar. Saya dianggap bagian dari mereka…. Ha ha ha ha Saat ini saya menempati satu kamar kost di rumah satu keluarga campuran Cina – Makassar dan Manado. Bapak kost saya adalah keturunan Cina – Makassar sementara Ibu kost saya orang Sangir. Keluarga ini memiliki berbagai macam usaha, termasuk kost-kost-an dan katering. Saya mendapatkan kamar kost tersebut melalui jaringan pertemanan saya dengan ibu Hanike – seorang dosen dan tenaga ahli di Universitas Papua (UNIPA). Saya bertemu dia saat project Gender Mainstreaming UNDP mengadakan dialog publik di Jayapura beberapa minggu silam. Saat telah berada di Manokwari beberapa hari, saya lalu menelpon dia memberitahu keberadaan saya di kota tersebut serta sedang mencari tempat tinggal. Dia lalu menyatakan kesediannya untuk membantu. Untuk itu, dia meminta waktu 1 hari mencarikan tempat tinggal (rumah ataupun kamar) sampai akhirnya saya mendapatkan kamar di keluarga tersebut diatas.
Kamar yang saya tempati cukup luas sekitar 5 x 5 m2 yang telah dilengkapi fasilitas AC, kamar mandi dan WC, lemari, tempat tidur lengkap hingga meja kerja dan layanan pembersihan kamar dan laundry. Makan pagi, siang dan malam juga disiapkan, tergantung kebutuhan saya. Seperti tinggal di hotel berkualitas layanan bintang 3, dengan harga yang jauh lebih murah .
BERSAMBUNG : Merenda Hari Mennghadapi Masalah
==============================
Sudah 7 hari saya berada di kota Manokwari – ibukota Provinsi Irian Jaya Barat - yang adalah provinsi pemekaran dari Provinsi Papua. Kota Manokwari dikenal juga sebagai Kota Injil bagi Tanah Papua. Menurut cerita, Agama Kristen berkembang di Papua berawal dari penyebaran injil pertama kali di Manokwari - yang dibawa oleh seorang penginjil asal Belanda - yang mendarat di Pulau Mansinam - suatu pulau kecil di depan Kota Manokwari.
Hari pertama menjejak bumi Manokwari mengingatkan saya kepada dua kota yang pernah menjadi bagian kehidupan ku, yakni Kupang di tahun 80an dan Dili di tahun 90an. Kota Manokwari terletak di pinggir laut dan dikelilingi kawasan perbukitan hijau. Kadang di sore hari, asap mengepul dari kawasan perbukitan tersebut karena pembersihan dan pembakaran lahan oleh para petani.
Di kawasan kota sendiri sering terlihat penduduk membakar sampah di halaman rumahnya. Kondisi yang tidak pernah saya temukan di Jakarta. Saat ini, kota Manokwari sedang berbenah. Berbagai fasilitas swasta, pemerintah dan juga umum sedang diperbaiki ataupun dibangun baru. Banyak bangunan baru bermunculan seiring dengan geliat kota karena kehadiran banyak orang baru, seperti saya di kota tersebut. Kawasan pertokoan di Sanggeng seperti kawasan pertokoan di Jl. Kanaan Kuanino, Kupang.
Rumah-rumah penduduk yang berjejer di tepi pantainya mengingatkan saya pada jejeran rumah di kawasan Becora, Dili, ataupun di pantai Oeba dan Kampung Solor di Kupang. Agak berbeda dengan kawasan pertokoan di kota Jayapura, kawasan pertokoan di Manokwari terlihat bersih. Di sore hingga malam hari banyak penjual buah menggelar dagangannya di emperan-emperen toko, namun segera setelah itu kawasan tersebut dibersihkan oleh mereka. Biaya hidup di kota ini lumayan mahal, namun masih murah jika dibandingkan dengan kota Jayapura – yang pernah saya singgahi selama 2 minggu sebelum menuju Manokwari. Harga 1 buah mangga harum manis 500 gram Rp. 7.000 di toko buah sementara di pasar dapat diperoleh dengan harga Rp. 5.000. Mangga yang sama di Jayapura berharga Rp. 10.000. Harga 1 paket ayam goreng (ayam goreng, nasi, sambal dan lalapan) Rp. 15.000 sementara harga 1 paket ikan bakar (1 ikan bakar, nasi, sambal dan lalapan) berkisar Rp. 25 – 50.000. Sewa mobil per hari Rp. 500.000, angkot Rp. 2.000, sedangkan ojeck Rp. 3000 harga dasar, selanjutnya tergantung jarak antar.
Kaki ku menjejak bumi Irian Jaya Barat pada tanggal 1 Desember 2006. Saat roda pesawat Merpati yang menggunakan Boeing 737 – 200 menjejak bandara, mata ku menangkap kumpulan pempohonan dan rerumputan hijau di sekitar bandara yang juga terletak di tepian pantai seperti letak Bandara Ngurah Rai di Bali. Bandar udara kota Manokwari masih sangat sederhana walau telah memiliki kapasitas menerima pendaratan pesawat Boeing 737-200 yang saya tumpangi dari Jayapura.
Saat wajah ku nongol di pintu keluar pesawat, angin lembut dan kesegaran udara bersih langsung menyapa hangat dan membelai tubuh ku seperti mengucapkan salam selamat datang. Kaki ku melangkah dan menapak pasti bumi Manokwari Provinsi Irian Jaya Barat yang akan menjadi bagian dari hari-hari hidup ku sebagai Program Officer UNDP untuk Provinsi Irian Jaya Barat.
Kaki ku menjejak dan menapak pasti menuju terminal kedatangan. Di ruang bagasi sejumlah porter yang berbaur dengan penjemput hingga para sopir taxi pribadi telah menunggu mendapatkan secerca rejeki dari para penumpang pesawat. Seorang lelaki tinggi kurus berwajah garang berkumis hitam tebal tersenyum kepada ku sambil menawarkan jasanya. Saya hanya mengangguk dan menyerahkan boarding pass yang ditempeli bagasi tag. Ternyata lelaki tersebut adalah seorang supir taksi pribadi pengganti temannya – yang sedang sembahyang Jumat. Tak lama kemudian bagasi yang hanya sedikit didorong masuk oleh para petugas lalu diambil alih oleh para porter, supir dan para penjemput. Supir taxi merangkap porter saya lalu mengangkut koper-koper saya ke mobilnya sambil ngobrol. Dia menawarkan hotel Metro sebagai tempat penginapan saya, saya katakan kantor UNDP Jayapura telah booking hotel Soribo sebagai penginapan saya selama berada di Manokwari. Dia hanya mengangguk lalu kami bercakap-cakap di mobil tentang berbagai topik lainnya.
Dari supir itu, sekilas saya mendapatkan gambaran tentang kota Manokwari. Setelah check in, istirahat beberapa menit, mandi lalu berganti pakaian, saya minta diantar ke kantor Bappeda. Ternyata kantor tersebut telah tutup sehingga saya tidak menemukan seorang staf pun sehingga saya minta diantar ke kantor Sekretaris Daerah. Di kantor tersebut, saya hanya bertemu sekretaris pribadi Sekda – yang lalu menginformasikan kepada saya bahwa urusan UNDP dan IFAD mission akan melalui BAPPEDA Provinsi. Saya hanya mengucapkan terima kasih lalu berlalu dari tempat tersebut. Karena masih merupakan provinsi baru, maka kantor-kantor pemerintahan provinsi masih sangat sederhana.
Hampir semua kantor pemerintah menempati bangunan panjang seperti barak militer yang disekat-sekat untuk berbagai instansi. Misalnya Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Provinsi berada pada satu bangunan. Sama halnya dengan Kantor BAPPEDA yang sharing dengan KPUD Provinsi dan Kesatuan Bangsa (Kesbang). Karena tidak bisa menemui seorang pejabat pun, saya lalu meminta diantar ke kantor Capacity2015 – yang merupakan satu proyek kerjasama UNDP dan Pemerintah Indonesia. Di kantor tersebut saya juga hanya bertemu seorang staf administrasi – yang tinggal di dalam kantor tersebut. Setelah ngobrol beberapa menit, saya lalu mencoba mengontak satu konsultan proyek tersebut – bernama Mey. Kami janjian untuk bertemu sore hari tersebut. Saya lalu minta diantar ke hotel Fajar Roon untuk bertemu salah satu staf ILO dari Jayapura – untuk mendiskusikan tindak-lanjut dari suatu kerjasama UNDP – ILO yang telah disepakati sebelum saya menjadi PO UNDP untuk wilayah Irian Jaya Barat. Setelah bertemu dan berdiskusi sekitar 30 menit, kami lalu menyepakati beberapa hal sebagai tindak-lanjut teknis pelaksanaan kerjasama tersebut, terutama terkait pada rencana seminar kebijakan ketenaga-kerjaan di provinsi Irian Jaya Barat. Setelah itu kami bersama melakukan perjalanan ke kantor Capacity2015. Wakil ILO ingin melihat langsung kantor tersebut yang rencananya akan menjadi kantor bersama Cap2015 dengan UNDP dan ILO. Di kantor tersebut, kami juga hanya bertemu staf administrasi tersebut.
Saya lalu menelpon Mey untuk mengabarkan keberadaan kami di kantor-nya. Tak lama kemudian dia datang dan kami berdiskusi tentang berbagai hal, termasuk rencana kantor bersama. Pada dasarnya dia tidak berkeberatan karena hampir semua konsultan proyek tersebut lebih banyak berada di kantor-kantor pemerintah untuk memfasilitasi berbagai kegiatan – dari pada di kantor. Namun, keputusan penggunaan kantor berada pada manajer proyek di Jakarta.
Tiada terasa kegelapan malam telah menjejak mayapada. Kami lalu pamit dan beranjak balik ke penginapan masing-masing guna sejenak mengistirahatkan fisik dan batin. Saat mentari Timur tersenyum bahagia, ku tinggalkan peraduan hotel untuk mempersiapkan diri bagi aktivitas hari itu.
Tiada terasa telah seminggu saya berada di kota Manokwari sebagai pos kerja ku untuk bulan-bulan yang akan datang. Kesibukan bertemu dengan berbagai pejabat pemerintah, para konsultan dari Universitas Papua (UNIPA) sampai dengan berkeliling mencari rumah / kamar yang layak sebagai tempat tinggal ku di Manokwari telah mengisi hari-hari ku di kota ini.
Berbagai aktivitas tersebut telah mempertemukan ku dengan berbagai orang – yang secara bertahap mengakrabkan ku dengan denyut kehidupan kota Manokwari dan seluk-beluknya. Sebagai perintis kantor UNDP di kota Manokwari, saya masih harus melakukan semuanya sendiri – mulai dari bertemu para pejabat pemerintah, konsultan independen, booking hotel, mobil bagi para tamu UNDP hingga urusan tiket perjalanan para tamu tersebut harus saya tangani dengan baik. Hanya bermodalkan pengalaman kerja masa silam, HP serta dana operasional penggunaan mobil, saya mengorganisir semua kegiatan tersebut yang cukup melelahkan namun sangat mengairahkan serta memberi kepuasan batin saat semuanya berjalan dengan baik.
Sejak pertama menapaki kota Manokwari, saya langsung menyukai kota ini dan penduduknya. Orang-orang di kota ini sangat ramah. Saat bertemu di jalan, mereka selalu tersenyum dan menyapa “selamat pagi / siang / malam”. Orang-orangnya sangat senang membantu orang lain. Sepertinya mereka selalu welcome terhadap siapapun. Sikap yang sama ditunjukan juga oleh para pejabat pemerintah yang saya temui. Murah senyum, memiliki selera humor yang tinggi serasa menjadi bagian integral dari kehidupan mereka setiap hari.
Dialek bahasa Indonesia mereka hampir sama seperti dialek bahasa Indonesia di kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Hal tersebut memudahkan saya memahami percakapan sehari-hari mereka karena latar-belakang keluarga dan sosial saya yang berasal dari kota Kupang tempat saya dilahirkan dan dibesarkan hingga menamatkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (UNDANA) pada tahun 1992 silam.
Di lingkungan sosial setempat, awalnya saya selalu disangka orang Jawa, apalagi dialek bahasa Jakarta yang saya gunakan dalam percakapan sehari-hari. Saat mereka mengetahui saya orang Rote yang lahir besar di Kupang, semua komunikasi langsung berjalan lancar. Saya dianggap bagian dari mereka…. Ha ha ha ha Saat ini saya menempati satu kamar kost di rumah satu keluarga campuran Cina – Makassar dan Manado. Bapak kost saya adalah keturunan Cina – Makassar sementara Ibu kost saya orang Sangir. Keluarga ini memiliki berbagai macam usaha, termasuk kost-kost-an dan katering. Saya mendapatkan kamar kost tersebut melalui jaringan pertemanan saya dengan ibu Hanike – seorang dosen dan tenaga ahli di Universitas Papua (UNIPA). Saya bertemu dia saat project Gender Mainstreaming UNDP mengadakan dialog publik di Jayapura beberapa minggu silam. Saat telah berada di Manokwari beberapa hari, saya lalu menelpon dia memberitahu keberadaan saya di kota tersebut serta sedang mencari tempat tinggal. Dia lalu menyatakan kesediannya untuk membantu. Untuk itu, dia meminta waktu 1 hari mencarikan tempat tinggal (rumah ataupun kamar) sampai akhirnya saya mendapatkan kamar di keluarga tersebut diatas.
Kamar yang saya tempati cukup luas sekitar 5 x 5 m2 yang telah dilengkapi fasilitas AC, kamar mandi dan WC, lemari, tempat tidur lengkap hingga meja kerja dan layanan pembersihan kamar dan laundry. Makan pagi, siang dan malam juga disiapkan, tergantung kebutuhan saya. Seperti tinggal di hotel berkualitas layanan bintang 3, dengan harga yang jauh lebih murah .
BERSAMBUNG : Merenda Hari Mennghadapi Masalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar