|
Di area Plateau snow |
Jungfraujoch atau dikenal juga sebagai top of Europe merupakan suatu tempat wisata di puncak gunung Alpen yang juga memiliki stasiun riset ilmiah bagi kepentingan ilmu pengetahuan. Tempat ini terletak di ketinggian 3.454 meter dari permukaan laut, beberapa lokasi bahkan lebih tinggi 10an meter dari tinggi titik resmi yang dicantumkan dalam peta maupun buku wisata. Tempat ini dibangun dalam beberapa tahap dimulai dengan pembangunan jalan kereta api sebagai akses ke puncak Jungfrau. Pembangunan jalur kereta dilakukan secara bertahap yang mengbungkan satu stasiun ke stasiun lainnya. Konstruksi pertama dimulai
|
Stasiun Jungfraujoch |
pada 27 Juli 1896 yang mempekerjakan sekitar 100 pekerja dari Italia. Pembangunan stasiun akhir di puncak gunung yang dikenal sebagai Jungfraujoch dilakukan pada 21 Februari 1912. Jalur dan stasiun di puncak gunung Alpen ini mulai digunakan pada 1 Agustus 1912. Kompleks stasiun puncak dibagi ke dalam 10 bagian yang memiliki fungsi masing-masing, yakni 1) stasiun itu, tempat naik turun penumpang; 2) loker penyimpanan barang; 3) Jungfrau panorama yang merupakan bioskop yang menyajikan film sejarah Jungfrau bagi para pengunjung; 4) Sphinx atau Vantage Terrace; 5) Aletsch Glacier atau snow fun; 6) Monchsjoch Hut; 7) Alpine sensation; 8) Ice Palace; 9) Plateau snow; dan 10) Barghaus (kompleks utama) yang berisi berbagai restoran dan toko.
Saya memisahkan diri dan menjelajah sendiri menggunakan peta dan buku petunjuk yang telah dibagi-bagikan
tour leader hari kemarin. Ekplorasi juga dipermudah dengan petunjuk-petunjuk yang disediakan pengelola, yakni tulisan TOUR dan tanda panah dalam warna putih pada dasar biru laut. Dari stasiun, lokasi pertama
|
Area Sphinx atau Vantage terrace |
yang ditemui pengunjung adalah Barghaus, yakni kompleks utama yang berisi jejeran kios/toko dan restoran serta semacam aula dengan meja-meja bar yang melekat ke dinding ruangan. Dari kompleks utama ini, saya mengikuti tulisan TOUR dan tanda panah ke Jungfrau panorama yang menyajikan film pendek sejarah Jungfraujoch selama 4 menit. Ruangnya berbentuk seperti bulan sabit dengan lebar sekitar 5-7 meter. Pengunjung menikmati film pendek tersebut sambil berdiri. Dari Jungfrau panorama, saya beranjak menyusuri lorong yang ada, kadang harus naik atau turun tangga. Di suatu bagian, saya mengikuti pengunjung lainnya masuk ke lift yang tersedia. Lift tersebut membawa saya ke lokasi Sphinx atau Vantage Terrace di luar gedung sehingga saya bisa merasakan dinginnya udara walau matahari bersinar terik. Sekeliling lokasi dipagari bilah-bilah baja selebar 5 - 10cm dan juga tali-tali baja seukuran jempol orang dewasa untuk mengamankan pengunjung dari jurang sekitarnya. Luas area ini sekitar 10 meter lebar dan 20 meter panjang. Pada jarak sekitar 15 meter dari pintu keluar masuk terpasang 1 tiang bendera utama dan 1 lagi tiang bendera lebih kecil berjarak sekitar 5 meter dari tiang utama> pada puncak kedua tiang tersebut terpasang bendera Swiss berwarna merah dengan tanda plus (+) putih di tengahnya. Warna bendera dan tanda +nya merupakan kebalikan dari warna palang merah.
|
Di area Sphinx |
Kedua bendera tersebut sedang berkibar-kibar ditiup angin. Saya dan para pengunjung lain mengambil posisi dan foto-foto di tempat tersebut. Selesai foto diri di tiang bendera itu, saya berpindah ke sisi-sisi pagar untuk melihat-lihat lebih dekat sekaligus mengambil foto-foto pemandangan yang dipenuhi salju. Sinar matahari siang yang menyinari salju putih sangat menyilaukan saat dilihat.
|
Dalam Ice Palace |
Pada sisi bangunan sebelah kiri juga ada semacam teras samping selebar 1 meter yang juga dipagari bilah-bilah baja. Saya berjalan ke teras tersebut untuk mengambil beberapa foto,
kemudian saya berjalan kembali ke dalam bangunan. Saya kembali menggunakan lift ke tempat sebelumnya. Keluar dari lift saya berjalan berkeliling lalu masuk ke lorong yang di depannya tertulis petunjuk Ice Palace. Saya melangkah masuk ke lorong depan saya yang semuanya terbuat dari es. Semua benda berupa patung dan karya seni lainnya juga terbuat dari es, termasuk ruang-ruang yang digunakan memamerkan benda-benda tersebut. Antara ruang dengan lorong diberi pagar pembatas setinggi dada saya guna mencegah pengunjung masuk ke ruang-ruang tersebut yang akan berdampak buruk ke benda-benda yang dipamerkan. Menyusuri Ice Palace ini seperti berjalan dalam gua-gua Jepang yang dibangun pada masa perang dunia II oleh bala tentara Jepang sebagai perlindungan dalam perang dengan pasukan Sekutu seperti dalam film
letters from Iwa Jima
. Di salah satu lorong, saya berpapasan dengan 2 pemuda dari Jakarta yang semalam saya kenal dan ngajak ngobrol di hotel. Saya minta tolong salah satu memotret saya. Setelah mengucapkan terima kasih, kami berpisah mencari jalan sendiri-sendiri dan tidak bertemu lagi sampai dengan hari ini.
|
Dalam Ice Place |
|
Plateau snow |
Keluar dari Ice Palace, saya menyusuri lorong lain yang membawa saya ke Plateau snow, dataran luar ruang yang dipenuhi salju.
Area terbuka ini dibatasi dinding gunung bersalju di sebelah kanan dan jurang bersalju di sebelah kiri. Sekeliling area dipagari tali-tali baja setinggi pinggang. Semua di dataran tersebut berwarna putih menyilaukan karena pantulan sinar matahari, kecuali pagar pembatas, tiang bendera dan benderanya yang berwarna lain serta warna-warni pakian para pengunjung. Dataran ini lebih panjang dan lebih lebar dari ruang terbuka Vantage Terrace atau Sphinx yang telah saya kunjungi sebelumnya. Di ujung dataran berjarak sekitar 40an meter dari pintu keluar masuk terpancang tiang
|
Bermain salju di area Plateau snow |
bendera dengan bendera Swiss yang berkibar-kibar karena tiupan angin. Area tiang bendera dan sekitarnya salah satu spot favorit pengunjung berfoto ria. Saya juga tidak ingin ketinggalan momen tersebut sehingga saya ikut berdiri mengantri dengan pengunjung lainnya dekat tiang tersebut lalu saling bergantian mengabadikan diri di tempat tersebut. Saya melihat puluhan mengunjung
|
Menanjat dinding gunung salju |
menyeberangi batas pengaman sebelah kanan yang berbatasan dengan dinding gunung karena masih ada dataran cukup luas antara dinding gunung dengan pagar pembatas yang seharusnya tidak boleh dilewati pengunjung. Namun beberapa pengunjung terlihat menyeberangi pagar pembatas dan bermain salju di area tersebut. Selain bermain salju, beberapa mencoba mendaki dinding gunung bersalju. Setelah mengamati mereka yang ternyata aman-aman saja serta tidak ada teguran dari pengelola karena tidak ada petugas yang mengawasi, maka saya ikut menyeberangi pagar pembatas bersama pengunjung lain yang juga ingin bermain salju di area tersebut. Saya bertemu 2 perempuan teman seperjalanan asal Amerika Serikat sehingga kami bermain lempar-lemparan salju dan juga mencoba memanjat dinding gunung salju di depan kami hanya untuk difoto tentunya. Memegang salju rasanya seperti memegang tepung maizena. Licin dan mudah lepas serta berasa dingin.
|
Salah satu lorong dalam bangunan Jungfraujoch |
Jarum jam yang melingkar di tangan saya menunjukan masih 45 menit lagi jam 2 siang sebagai waktu rombongan harus bertemu kembali di salah satu kios dekat pintu keluar masuk stasiun. Saya meninggalkan Plateau snow dan kembali ke dalam bangunan. Saya berjalan perlahan menyusuri lorong-lorong yang ada mengikuti tanda-tanda yang disediakan pengelola sampai saya tiba kembali di kompleks utama berisi jejeran kios dan restoran. Restoran dipenuhi pengunjung yang didominasi orang-orang Timur Tengah, terlihat dari pakaian khas yang dikenakan. Saya masuk ke beberapa kios melihat-lihat barang dan harganya. Memang benar informasi yang diberikan
tour leader bahwa semua barang
|
Area luar Jungfraujoch |
disini harganya berkali-kali lipat mahal dibanding harga di kota atau desa Wilderswil. Karena kuatir tidak bisa mendapatkan souvenir snow ball sebagai kenangan telah berkunjung ke Jungfrau (saya punya kebiasaan membeli snow ball ukuran kecil atau sedang dari berbagai negara sebagai benda kenangan, selain tempelan kulkas sebagai salah satu barang wajib), saya memutuskan membeli 1 snow ball sedang seharga 24 franc. Harga yang kemudian ternyata sangat mahal karena saat saya berkunjung ke salah satu toko souvenir di kota di Interlaken, barang yang sama hanya berharga 6 franc. Karena waktu pertemuan masih sekitar 15 menit lagi, saya mencari salah satu sudut kosong di meja-meja yang berjejer di aula yang dikeliling kios dan toko tersebut. Beberapa pengunjung terlihat duduk dan makan di tempat tersebut. Saya duduk dan mengeluarkan bekal saya dari ransel kemudian mulai mengunyah sambil menunggu waktunya berkumpul kembali dengan anggota rombongan lain di
|
Salah satu sudut Ice Palace |
tempat yang telah ditentukan saat kami tiba dan menyebar ke lokasi sekitar.
Tepat jam 2 siang, para anggota rombongan kembali berkumpul di tempat sebelumnya. Setelah dihitung, ternyata masih kurang 1 anggota rombongan, yakni pemuda asal Philipina yang bekerja dan tinggal di Dubai. Teman seperjalanannya menginformasikan bahwa pemuda tersebut mengunjungi fasilitas Snow fun.
Tour leader menanyakan apakah kami masing-masing telah mendapatkan cap kunjungan di buku Jungfrau passport yang dibagikannya di atas kereta. Saya baru ingat kalo saya belum mendapatkan cap tersebut sebagai kenang-kenangan pada buku berwarna merah maroon yang berisi berbagai informasi tentang Jungfrau. Karena itu, saya berjalan ke konter yang terletak sekitar 5 meter dari pintu masuk-keluar stasiun. Saya mengajukan buku tersebut ke salah satu dari 2 perempuan yang berjaga di konter tersebut yang membuka halaman paling akhir dan memberikan cap di halaman tersebut lalu mengembalikan buku tersebut ke saya. Beruntunglah sebelum kereta tiba, pemuda yang dicari kelihatan wajahnya sambil cengar-cengir dan langsung diomelin
tour leader. Kami yang lain hanya tersenyum kecut sambil antri menunggu kereta yang tidak lama kemudian telah memasuki stasiun, menurunkan pengunjung baru serta menaikan pengunjung yang akan kembali. Sekali lagi kami memenuhi 1 gerbong khusus
|
Stasiun transit saat kembali ke Wilderswil |
yang telah dibooking oleh
tour leader. Saat kereta mulai meninggalkan stasiun Jungfrau,
tour leader menginformasikan bahwa kami akan menempuh rute berbeda kembali ke Wilderswil dari rute keberangkatan pagi tadi. Tujuannya agar kami mendapatkan pemandangan yang berbeda. Saya hanya mengangguk-angguk dan meneruskan obrolan seru saya dengan pasangan suami istri asal Inggris dan Philipina yang duduk berhadap-hadapan dengan saya. Sekali lagi kami berganti kereta di stasiun Grinderwal sebagai stasiun transit kembali ke Wilderswil. Di stasiun ini lagi-lagi salah satu anggota rombongan hampir tertinggal karena sedang ke toilet, padahal kereta harus segera berangkat.
Tour leader harus meminta maaf berulang kali ke petugas perempuan yang berdiri di tepi rel siap memberi sinyal keberangkatan. 2 menit kemudian, anggota rombongan yang kami tunggu tiba dan kereta pun berangkat menuruni bukit dan gunung, menyusuri lembah dan jurang-jurang. Jam 4.15 sore, kami tiba kembali di stasiun Wilderswil.
|
Menunggu bis di salah satu halte Wilderswil |
Karena hari masih siang di Eropa walau telah lewat jam 4 sore, saya memutuskan berkunjung ke kota Interlaken yang hanya dilewati bis saat melintas ke Wilderswil 2 hari sebelumnya saat tiba di kawasan dataran tinggi pedesaan Swiss tersebut. Saya menggunakan tiket bus gratis yang telah disediakan pemilik penginapan. Semua anggota rombongan mendapatkan tiket gratis tersebut. Tiket tersebut berukuran kartu nama berwarna biru gelap berstrip putih di tengahnya. Informasi yang tertulis pada tiket adalah sebagai visitor's card berisi nama saya, nomor kamar, tanggal dan jam berlaku, yakni tanggal 25 Agustus sampai jam 8.15 malam. Alias setelah jam 8.15 tiket tersebut tidak berlaku lagi karena tidak ada lagi bis yang PP Interlaken - Wilderswil atau sebaliknya. Karena itu, saya harus kembali ke desa ini sebelum jam 8.15 malam, pikir saya.
Saya berjalan ke halte bis yang tidak terlalu jauh dari stasiun. Sekitar 15 menit menunggu, bis
|
Pingir jalan kota Interlaken |
berhenti dan membuka pintunya. Belajar dari pengalaman menggunakan bis di London (baca catatan perjalanan di London), maka saya naik dari pintu depan. Kartu yang diberikan pihak hotel saya tunjukan ke sopir yang mengangguk sambil tersenyum. Saya melangkah ke dalam dan duduk pada salah satu kursi di samping jendela guna memudahkan saya memotret pemandangan di sekitar jalan yang dilewati bis. Bis berhenti di semua halte yang dilewati sepanjang jalan. Lebih banyak penumpang baru yang naik daripada turun sehingga semua kursi terisi. Terlihat juga beberapa turis Timur Tengah dan Asia Timur dari wajah dan gaya pakaian yang dikenakan. Bis terus meliuk menuruni kawasan pedesaan Swiss menuju kota kecil Interlaken yang diapit 2 danau di dataran yang diapit bukit dan gunung sekelilingnya.
|
Pinggir jalan kota Interlaken |
Sekitar 30 menit kemudian, bis memasuki terminal kota Interlaken. Terminal terletak di suatu pertigaan di tengah kota. Depan dan samping kanan terminal dibatasi jalanan kota, sedangkan bagian belakang dibatasi pagar pembatas dengan bangunan lain di sekitarnya. Sebelah kiri di bangun deretan kios yang dibangun memanjang berbentuk huruf I. Jejeran kios tersebut sebagai pembatas dengan rel kereta di sebelah kiri terminal. Karena itu, terminal tersebut sekaligus berfungsi sebagai stasiun kereta. Pola yang sama dengan stasiun dan terminal di kota-kota lain yang saya temui selama berkunjung di Eropa Barat. Stasiun kereta dan terminal bis berada dalam 1 kompleks sehingga memudahkan penumpang yang ingin berganti moda transportasi. Walau berfungsi sebagai terminal, namun tidak terlihat tumpukan kendaraan seperti terminal-terminal di Jakarta ataupun kota-kota lain di Indonesia. Hanya 1 atau 2 bis yang berhenti menurunkan dan menaikan penumpang yang telah menunggu.
Saya turun dari bis dan berjalan keluar area terminal lalu mulai menyusuri jalanan kota yang dipenuhi jejeran bangunan kantor, rumah, hotel, motel, toko dan kios yang menjual berbagai produk, termasuk souvenir. Kesan kumuh tidak terlihat sama sekali, semuanya rapi, teratur dan bersih. Udara sore terasa sejuk dan berasa agak dingin sebenarnya, seperti udara sore hari di Toraja, Sulawesi Selatan. Saya masuk ke salah satu toko souvernir melihat-lihat serta membandingkan harga snow ball dalam ukuran dan bentuk yang sama dengan yang telah saya beli di Jungfrau. Tentu saja harga-harga barang dan juga makanan disini jauh lebih murah. Puas melihat-lihat saya berjalan keluar dan menyusuri jalanan di sore hari yang
|
Pinggir jalan kota Intelaken |
tidak terlalu ramai. Jalannya cukup lebar dan bersih. Kendaraan bermotor berlalu lalang, namun tidak seramai dan sesibuk jalan-jalan Jakarta di sore hari. Lebih baik saya keliling kota menggunakan bis kota, pikir saya sehingga saya berjalan kembali ke terminal.
Interlaken merupakan kota kecil di dataran tinggi Bernese. Kota ini diapit 2 danau, yakni Brienzersee di Timur (Ost) dan Thunersee di Barat (West). Saya bertanya ke salah satu sopir bis - yang bis-nya sedang berhenti menunggu waktu keberangkatan - tentang bis apa yang bisa saya gunakan jika saya ingin mengunjungi salah satu danau. Sopir malah bertanya balik danau mana yang ingin saya kunjungi. Saat saya menjawab danau yang paling dekat jaraknya dengan terminal, sopir tersebut menyarankan saya mengunjungi danau Brienzersee di bagian Timur kota Interlaken. Sopir juga menginformasikan nomor bis dan waktu kedatangannya sehingga saya diminta menunggu saja
|
Tepi danau Brienzersee |
di terminal tersebut. Saya mengucapkan terima kasih dan berjalan ke deretan kios di tengah terminal. Setelah melihat-lihat, saya memutuskan membeli es krim dan duduk di kursi yang disediakan di kios itu sambil makan es krim dan menunggu bis. Waktu menunggu tidak terlalu lama, bis dengan nomor yang saya tunggu terlihat memasuki terminal. Nomor dan rute bis terpasang dalam bentuk cahaya lampu LED berwarna merah di bagian atas depan bis (seperti yang digunakan bis-bis Transjakarta rute Blok M - Kota). Beberapa penumpang terlihat keluar dan turun dari bis. Setelah saya melihat semua penumpang keluar, saya memasuki bis dari pintu depan dan menanyakan harga tiket jika saya turun di tepi danau Brienzersee sambil menunjuk danau tersebut dalam peta yang saya pegang. Sopir bis memberikan saya tiket seharga 1 franc. Saya memberikan duit dan menerima tiket lalu masuk dan duduk di salah satu kursi. Bis hanya diisi saya dan 10 orang lainnya saat keluar dari terminal. Ukuran bis sama dengan bis yang saya tumpangi dari Wilderswil ke Interlaken. Bis sangat bersih dan lapang. Bis berjalan perlahan melewati jalanan yang sangat bersih dan tidak terlalu ramai. Bis berhenti di 5 halte yang dilalui sebelum berhenti di halte terakhir di tepi danau yang saya tuju.
Sebelum turun saya sempatkan ngobrol sebentar dengan sopir menanyakan bis yang akan kembali ke
|
Tepi danau Brienzersee |
terminal. Sopir mengatakan ke saya bahwa bis yang saya tumpangi akan berhenti selama 30 menit di halte tepi danau sekalian akan ganti sopir. Bis ini juga merupakan bis terakhir pada rute tersebut hari itu. Karena itu saya bisa menggunakan bis yang sama kembali ke terminal. Saya mengucapkan terima kasih lalu melompat keluar bis disambut kesegaran udara sore kota kecil tepi danau. Suasana sangat indah dan terasa romantis. Di tepi danau disediakan bangku-bangku kayu bagi pengunjung untuk sekedar duduk-duduk menikmati birunya air danau yang beriak-riak tertiup angin sore. Sekelompok bebek sedang hilir mudik bermain di air danau itu. Saya berjalan perlahan menyusuri pinggiran danau menikmati suasana sekitar kemudian duduk pada salah satu bangku yang tersedia. Mata memandang jauh ke depan ke riak-riak air danau yang bergerak tiada henti sambil menikmati sepoi-sepoi angin. Hanya beberapa orang yang duduk-duduk atau jalan santai di pinggiran danau tersebut. Selain bangku, pinggiran danau juga dikelilingi pedestraian dari keramik kasar berwarna abu-abu tua. Sebelah kiri saya sekitar 40an meter terlihat suatu taman hijau yang dijejeri pepohonan sepertinya ditanam dalam baris-baris tertentu dilengkapi bangku-bangku taman. Kesibukan kota di sekitar terminal tidak terasa di sekitar sini. Suasananya lebih terasa seperti suasana pedesaan Wilderswil.
|
Pedestarian kota Interlaken |
30an menit menikmati suasana adem di sekitar danau terasa menyegarkan. Saat bis mulai dihidupkan oleh sopir baru, saya bergegas kembali ke bis untuk kembali ke kota. Bis kembali menyusuri jalan-jalan sepi melalui rute berbeda dari rute kedatangan. Saya turun di salah satu halte saat melihat jejeran kios dan toko di sebelah kanan jalan dan lapangan bola di sebelah kiri. Saya menyeberang ke pedestarian yang dijejeri kios dan toko aneka warna dan bentuk.
Pedestraian kota sangat luas, rapi, bersih dan adem. Pedestarian atau trotoar Jakarta kalah sangat jauh dari kota ini, kata saya dalam hati. Kondisi pedestariannya yang sangat pro pejalan kaki membuat saya betah berjalan menyusuri jalanan kota dan sesekali masuk ke kios atau toko mengintip barang jualan mereka. Kebanyakan toko dan kios menjual coklat dan wine sehingga saya memutuskan membeli oleh-oleh coklat di salah satu toko kecil yang memasang promo
hand made coklat sekaligus diskon pada produk coklat tertentu. Jejeran coklat berbagai bentuk, bahkan ada yang berbentuk boneka dijual di toko ini. Saya memilih beberapa bungkus coklat yang kemudian saya bayar dan bawa kembali ke Indonesia sebagai oleh-oleh.
Keluar dari toko coklat, saya terus berjalan menyusuri jalanan kota. Tiba di satu pertigaan saya belok kanan menyusuri jalan yang pinggirannya masih dijejeri toko-toko kecil yang kemudian berganti rimbunan bunga aneka warna dan bentuk. Saya tiba di suatu boulevard kecil yang menjadi pembatas kesibukan toko dan kios yang barusan saya lewati dengan bangunan
|
Taman di halaman Kasino kota Interlaken |
kasino berbentuk bangunan Eropa abad pertengahan. Bangunan kasino ini terletak puluhan meter di dalam. Kawasan sekitar boulevard ditata indah dengan berbagai tanaman hias dan juga bunga yang sedang mekar. Beberapa pengunjung terlihat berjalan-jalan dan juga memotret di lokasi ini. Hal yang sama saya lakukan juga karena yakin tempat tersebut merupakan tempat publik yang bisa dipotret. Saya duduk-duduk beberapa menit menikmati suansana dan udara di kawasan ini kemudian kembali menyusuri jalan balik ke jejeran kios dan toko. Tiba di jalan utama, saya belok kanan dan menyusuri jalanan kota yang agak ramai dengan penduduk dan turis yang hilir mudik di trotoar. Saya berhenti di beberapa tempat mendokumentasikan suasana dan momen-momen yang ada ke dalam foto. Lampu-lampu kota mulai menyala saat saya hampir tiba di terminal. Saat tiba di terminal, saya bertemu suami istri teman seperjalanan asal Sri Lanka. Mereka sedang menunggu bis juga untuk kembali ke Wilderswil.
|
Depan Kasino kota Interlaken |
Sekitar 10 menit kemudian bis yang kami tunggu tiba. Tiket yang saya dapatkan dari hotel masih berlaku untuk kembali ke Wilderswil. Tiba waktunya, bis berjalan keluar dari terminal menyeberangi jalan depan terminal, menyusuri puluhan meter jalanan kota kemudian belok kanan melewati jejeran bangunan di pinggir jalan. Saat bis berhenti di halte pertama menaikan penumpang, saya melihat sepasang teman perjalanan asal Australia memasuki bis tersebut. Saya melambai ke mereka dan menunjuk kursi-kursi sebelah saya yang masih kosong. Kami lalu bertukar cerita sepanjang jalan tentang pengalaman hari ini.
|
Salah satu sudut Ice Palace di Jungfraujoch |
Rombongan kecil kami turun di halte terdekat ke hotel. Karena bersama teman-teman lain, maka saya santai-santai saja, tidak kuatir akan salah turun di halte yang masih jauh dari hotel. Kami meneruskan obrolan sambil berjalan kembali ke hotel. Namun sebelum tiba di hotel saya memutuskan mampir di salah satu restoran terlihat masih buka. Saya ingin makan malam makanan khas Swiss bernama
cheese fondue, yakni keju cair panas yang dimakan dengan potongan-potongan roti. Makan cheese fondue dilakukan dengan cara mencelupkan potongan-potongan roti di garpu ke keju cair panas tersebut. Di dalam restoran, saya diterima seorang perempuan muda memakai pakaian tradisional Swiss berupa rok panjang kipas warna dasar gelap motif bunga-bunga ditutupi celemek putih, blus lengan panjang serta topi berbentuk kipas persis seperti gaya busana pedesaan Eropa abad pertengahan yang saya lihat di film-film.
I am sorry, cheese fondue only available 2 times a week on Thusday and Thursday, kata perempuan muda tersebut sambil tersenyum ramah. Saya mengucapkan terima kasih dan berlalu mencari restoran lain yang mungkin menyediakan makanan tersebut. Sayangnya saya harus kecewa karena 3 restoran yang saya masuki tidak menyediakan cheese fondue sehingga saya memutuskan kembali saja ke hotel karena udara semakin dingin dan juga malam semakin larut.
Bersambung ke Italy : Pisa dan Florence
Tidak ada komentar:
Posting Komentar