|
Pantai Kuta Lombok |
Lombok adalah bahasa Sasak untuk kata "
Lurus" dalam bahasa Indonesia, kata Rakha, guide sekaligus sopir mobil yang mengantar saya ke hotel dari bandara internasional Selaparang, Lombok, NTB. Mengapa, tanya saya. Menurut cerita, leluhur orang Sasak berasal dari pulau Jawa yang tiba di pulau ini tanpa mampir ke pulau-pulau lain di sepanjang pelayaran mereka mencari tanah baru. Karena itulah, pulau ini diberi nama Lombok saat ditemukan dan didiami oleh para leluhur. Rakha melanjutkan bahwa Lombok memiliki banyak tempat wisata yang jaraknya cukup berjauhan satu sama lain. Tempat-tempat wisata itu terbagi-bagi menjadi wisata daerah pegunungan, yakni air terjun dan gunung Rinjani, wisata pantai, termasuk pantai Pink dan pulau antara lain Gili Trawangan yang telah terkenal di kalangan turis domestik dan manca negara serta wisata budaya dan kuliner. Karena itu, jika ingin mengunjungi semua tempat wisata tersebut, saya harus mengalokasikan beberapa hari tinggal di Lombok. Saya mendiskusikan pilihan-pilihan yang paling mungkin untuk
one day trip saya di Lombok. Kami berdua sepakat menggabungkan wisata budaya, kuliner dan pantai di sekitar kota - yang mudah dijangkau alias tidak membutuhkan waktu tempuh cukup lama di jalan.
|
Pembuat gerabah |
Sekitar jam 8 pagi, Rakha telah menjemput saya di hotel. Tempat pertama yang akan kami jelajah hari ini adalah tempat pembuatan gerabah di Desa Banyumulak (dibaca Banyumulek). Sekitar 15 menit perjalanan di pagi hari yang masih sepi, Rakha membelokan mobil ke kanan di satu pertigaan, keluar dari jalan utama yang kami tempuh dari hotel. Mobil menyusuri jalan lebih kecil melewati satu masjid di pertigaan tersebut. Sekitar 1 km dari pertigaan, saya melihat gapura desa berwarna hijau berdiri mengangkangi jalan dengan ucapan selamat datang. Gerbang
tersebut didampingi gerabah ukuran tinggi sekitar 2 meter yang berdiri kokoh menyambut para tamu.
|
Para pembuat gerabah |
Tidak jauh dari gerbang desa, Rakha membelokan mobil ke suatu kompleks produksi dan penjualan gerabah yang cukup luas. Selain halaman yang luas, kompleks ini memiliki 3 bangunan dengan fungsi berbeda. Sepertinya saya merupakan pengunjung pertama di kompleks ini karena tidak terlihat adanya pengunjung lain dan juga aktivitas di kompleks tersebut baru dimulai. Saya dan Rakha keluar mobil lalu Rakha mempersilahkan saya menjelajah bangunan sebelah kiri terlebih dahulu. Saya berjalan ke bangunan berukuran sekitar 5x15 meter dengan dinding tembok belakang utuh dari lantai sampai atap, sedangkan bagian depannya hanya diberi dinding setinggi lutut yang menjadi tempat sandar beberapa perkerja yang terlihat mulai aktif di bangunan tersebut. Bangunan ini dilengkapi 2 pintu guna memudahkan pengunjung dan pekerja masuk dan keluar.
Seorang perempuan muda berjilbab sedang duduk mengolah dan membentuk tanah di suatu mesin
|
Pembuat gerabah |
pemutar. Perempuan ini duduk menghadap pintu masuk dan membelakangi dinding bangunan di belakangnya. Tangan terlatihnya terlihat cekatan mencolek, mengelus dan mencomot bagian-bagian tertentu yang dalam waktu 5 menit kemudian telah menghasilkan bentuk pot langsing berukuran sekitar 40cm. Tak jauh dari perempuan muda tersebut dalam posisi berlawanan duduk berjejer 3 perempuan dan seorang laki-laki yang mengerjakan bagian lain dari proses pembuatan gerabah, yakni memberi motif dan warna pada berbagai bentuk gerabah yang telah kering. Saya meminta izin mengambil beberapa foto serta melihat-lihat gerabah berbagai bentuk dan ukuran yang diletakan di lantai maupun meja-meja setinggi pinggang orang dewasa di ruang itu. Setelah puas mengamati dan memotret, saya berjalan keluar melewati
|
Pembuat gerabah |
pintu belakang yang terletak di samping jejeran para pekerja pembuat motif dan pemberi warna. Saya menuju bangunan lainnya yang terletak bersebelahan dengan bangunan pertama yang telah saya kunjungi. Seorang ibu sedang sibuk mencuci berbagai peralatan di teras bangunan ini. Sekitar 5 meter dari ibu itu, 5 laki-laki sedang sibuk mengerjakan gerabah berbentuk pot tanaman dengan diameter berukuran sekitar 50cm. Saya mengajak para pekerja ini bercakap-cakap yang dilayani dengan ramah. Seorang lelaki yang sedang sibuk menggosok pot menjelaskan bahwa motif-motif pada pot-pot tersebut terbuat dari kulit telur. Wow, koq bisa ga hancur pak?, tanya saya penasaran sambil tangan saya mengelus kulit telur berwarna coklat pada salah satu pot yang sedang dikerjakan lelaki tersebut. Pertama-tama yang
|
Pembuat gerabah |
dibentuk adalah potnya, kata lelaki itu meneruskan obrolan kami. Satu demi satu kulit telur dilekatkan ke pot saat pot masih dalam kondisi basah. Setelah kulit telur terpasang, pot-pot tersebut dijemur beberapa hari sampai kering kemudian digosok dan diplitur sehingga terlihat kilauannya. Saya menganguk-angguk sambil terus ngobrol beberapa menit. Setelah itu, saya mengucapkan terima kasih lalu beranjak meninggalkan lokasi tersebut menuju bangunan ketiga di sebelah kanan gerbang yang berjarak puluhan meter dari kedua bangunan yang telah saya kunjungi. Bangunan ketiga yang saya kunjungi dipenuhi gerabah berbagai model, bentuk, motif, warna dan ukuran untuk dijual. Saya menyusuri semua lorong dalam bangunan tersebut untuk melihat-lihat dan memotret. Di akhir kunjungan, saya membeli beberapa gerabah, diantaranya adalah
kendhil maling, yakni kendi khas desa Banyumulak atau Lombok yang pengisian airnya dilakukan dari suatu lubang di dasar kendi. Saat saya sedang asyik memotret di luar, terlihat 1 mobil memasuki pekarangan kompleks. 2 bule laki-laki dan perempuan ditemani sopir mobil yang juga bertindak sebagai guide keluar mobil dan berjalanan ke bangunan pembuatan gerabah yang telah saya jelajah.
|
Para penenun di Sukarare |
Dari Banyumulak, Rakha membawa saya ke salah satu sentra tenun Sasak, yakni di desa Sukarara (diucap Sukarare). Kompleks sentra tenunan ini jauh lebih kecil dari sentra gerabah yang saya kunjungi di Banyumulak. Kompleks tertata berbentuk huruf U. Saat saya keluar mobil, seorang perempuan muda berkain songket berbaju biru muda mengenakan jilbab menyambut saya dan mengucapkan selamat datang. Saya mengucapkan terima kasih dan berjalan bersama perempuan tersebut yang bertindak sebagai guide. Saya diajak ke depan bangunan utama dimana 4 perempuan yang mengenakan baju hitam dan songket sedang tekun menenun. 2 perempuan duduk menenun di sisi kiri pintu masuk dan 2 lagi di sisi kanan. Perempuan guide tersebut menjelaskan bahan-bahan yang digunakan, proses dan motif yang
|
Pakaian adat Sasak ke acara kawinan |
memiliki arti sendiri-sendiri dalam budaya Sasak. Di sisi kanan bangunan juga terdapat 1 bale-bale yang posisinya lebih rendah dari bale-bale depan bangunan. Di bale-bale ini terlihat 3 perempuan lebih muda sedang menenun. Saya dan guide duduk ngobrol di bale-bale ini sambil memperhatikan para perempuan yang terus menenun tanpa terganggu kehadiran kami. Setelah itu, saya dan guide beranjak masuk ke bangunan utama yang adalah toko / tempat penjualan hasil tenunan. Ribuan tenunan songket dalam berbagai kualitas dijual disini. Kain songket, baju perempuan dan laki-laki, ikat kepala, selendang, taplak meja, tas berbagai ukuran dan masih banyak lagi. Guide menawari saya beberapa songket harga ratusan ribu, namun saya tidak tertarik karena memang tidak membutuhkannya. Akhirnya guide menawarkan pada saya mengenakan pakaian tradisional Sasak guna berfoto. Saya setuju sehingga guide memakaikan saya sarung, selendang, ikat kepala dan juga diberi keris. Guide
|
Lumbung pangan Suku Sasak |
menjelaskan bahwa pakaian yang saya kenakan adalah pakaian untuk menghadiri upacara perkawinan Sasak. Saya diajak keluar toko dan berpose di rumah adat Sasak berbentuk panggung di bagian depan sebelah kanan toko. Selesai berfoto, kami kembali ke dalam toko melepaskan pakaian tersebut. Saya kembali melihat-lihat lalu membeli 1 kain songket seharga 200ribu - yang mungin dapat saya gunakan sebagai hadiah atau kado suatu hari nanti, pikir saya. Sebagai ungkapan terima kasih ke guide, saya memberikan tip 50 ribu. Guide mengantar saya kembali ke mobil, mengucapkan terima kasih sambil tersenyum ramah dan mengundang saya berkunjung lagi jika sedang berada di Lombok.
Dari Sukarara, Rakha membawa saya ke desa tradisional Sade. Desa ini terletak di Kabupaten Lombok Selatan. Jalan menuju desa ini masih satu jalur dengan jalan ke airport Selaparang, Lombok. Kabupaten Lombok Selatan lebih
|
Kendhil / kendi maling khas Banyumulak |
kering daripada Kabupaten Lombok Barat maupun Kota Mataram. Lahan kebun dan sawah terlihat kering dan tanahnya pecah-pecah atau berdebu warna abu-abu. Hanya pepohonan tahan panas yang terlihat tumbuh tegak dan berwarna hijau memberi kesegaran kawasan sekitar yang kami lalui. Berbeda dengan landscape Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram yang hijau dengan berbagai pohon dan tanaman, termasuk padi di sawah yang membentang luas sepanjang jalan yang dilalui mobil. Rakha menunjukan rumah dan sekolah dasar serta SMP tempat dia bersekolah dulu - saat kami melintas di depan rumah dan sekolah-sekolah tersebut. Mobil terus melaju ke desa Sade. Jalanannya sepi, lebar, bersih dan mulus. Tak banyak kendaraan berlalu lalang. Bangunan msjid berbagai bentuk dengan kubah berbagai warna menyembul di berbagai tempat yang kami lalu. Pemandangan berganti-ganti antara hijau segar dan kering berdebu. Kadang kami berpapasan dengan cidomo (pedati / dokar khas Lombok) di jalanan yang kami lewati. Sekitar 30 menit beranjak dari Sukarara, kami pun tiba di desa Sade yang terletak di tepi jalan raya Lombok Selatan.
|
Dalam kampung Sade |
Kampung Sade merupakan suatu kampung tradisional Sasak yang masih mempertahankan kekhasan bentuknya, terutama keaslian bentuk dan bahan rumah. Mobil berhenti di parkiran yang cukup luas berhadapan dengan kompleks rumah-rumah di kampung tersebut. Sebelah kanan tempat parkir terdapat papan nama warna putih tulisan hitam tentang Desa Sade. Sebelah kiri terdapat suatu bale-bale dimana para guide yang adalah pemuda-pemuda kampung Sade duduk santai menunggu tamu. Saat saya keluar mobil, seorang pemuda mengenakan kain songket, baju hem putih lengan pendek dan ikat kepala menyambut saya dan memperkenalkan dirinya bernama Mahmud yang akan mendampingi saya berkeliling di kampung Sade. Rakha meninggalkan saya bersama pemuda tersebut yang mengajak saya berjalan menyeberangi jalan memasuki gerbang kampung. Saya diarahkan mengisi buku tamu yang dijaga seorang pemuda lain di bawah pohon jambu yang cukup besar dan rindang. Buku tamu diletakan di atas meja berdampingan dengan kotak donasi. Para tamu yang telah mengisi buku tamu tersebut dipersilahkan memberikan uang donasi dengan cara memasukannya ke kotak donasi tersebut. Saya mengisi 50ribu ke kotak tersebut kemudian mulai berjalan perlahan didampingi Mahmud.
Mahmud menginformasikan ke saya bangunan terbuka yang ada dibelakang meja buku tamu dan
|
Depan Baruga Sekenam |
pohon jambu tersebut. Bangunan itu disebut Baruga Sekenam yang merupakan balai pertemuan warga yang hanya digunakan pada waktu tertentu sesuai kebutuhan. Berhadapan dengan Baruga Sekenam itu adalah rumah kepala kampung. Setelah itu, saya dibawa menyusuri gang-gang di kampung itu. Semua rumah terbuat dari kayu untuk tiang-tiangnya, anyaman bambu untuk dinding dan alang-alang untuk atapnya. Setelah 2 gang, Mahmud mengajak saya memasuki 1 rumah yang nampaknya kosong. Mahmud menginformasikan ke saya bahwa para penghuni rumah sedang beraktifitas di luar rumah serta telah ada izin bagi para pengunjung untuk mengunjungi rumah tersebut. Ruangan rumah yang kami masuki terbagi 2 dengan ketinggian berbeda. Ruangan pertama berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus ruangan bagi para orang tua suami dan istri. Ruangan kedua yang lebih tinggi diperuntukan bagi para gadis atau ibu yang baru melahirkan. Akses ke ruang kedua yang lebih tinggi menggunakan tangga tanah berundak tiga - yang menurut Mahmud melambangkan Islam Watu Telu yang dianut penduduk kampung Sade. Undak tiga di tangga tersebut juga melambangkan transformasi keyakinan penduduk sejak para leluhur mereka yang telah mengalami 3 kali transformasi keyakinan, yakni dari agama asli ke Hindu kemudian dari Hindu ke Islam. Tangga dan lantai terbuat dari campuran kotoran kerbau dan sekam padi.
|
Bale tani kampung Sade |
Menurut Mahmud, kampung Sade memiliki 150 rumah yang didiami 700 orang perempuan dan laki-laki. Selain rumah-rumah penduduk, kampung juga dilengkapi lumbung pangan yang disebut Bale Tani. Bentuk Bale Tani berbeda dengan rumah tinggal. Selain berukuran lebih kecil, bangunannya berbentuk langsing dan tinggi dibagi ke 2 bagian, yakni atas yang tertutup sebagai tempat penyimpanan hasil panen dan bagian bawah yang terbuka sebagai tempat aktivitas lainnya. Menurut adat Sade, lumbung hanya boleh dimasuki kaum perempuan. Bangunan lain dalam kompleks itu adalah bangunan kecil berukuran sekitar 2x3meter bernama Bale Kodong. Bangunan ini hanya digunakan oleh para pengantin baru sejak malam pertama mereka menikah sampai dengan 7 hari kemudian. Semua perempuan di kampung tersebut harus bisa menenun sebagai syarat menikah. Pernikahan dilakukan dengan cara laki-laki menculik dan melarikan perempuan yang akan dijadikan istri. Bale Kodong juga digunakan sebagai tempat tinggal para lansia.
|
Seorang nenek di Bale Kodong |
Kami terus berjalan menyusuri berbagai lorong di kampung tersebut. Kadang naik, kadang turun tergantung kontur tanahnya. Banyak teritis rumah telah difungsikan sebagai tempat penjualan souvenir dan juga tenunan. Di beberapa tempat, terlihat para perempuan sedang menenun dikeliling oleh songket hasil tenunan berbagai warna dan produk yang digantung pada dinding-dinding rumah. Pada salah satu sudut, saya melihat alat tradisional penenunan kapas yang mejadi bahan utama kain songket. Saya membeli beberapa souvenir berbentuk gelang dan gantungan kunci serta 1 selandang songket sebagai oleh-oleh dari kampung Sade. Matahari mulai bersinar terik saat saya kembali menyeberangi jalan depan kampung Sade menuju tempat parkir. Saya dan Rakha meninggalkan Sade menuju pantai Kuta (dibaca Kute) yang berjarak 30 menit perjalanan dari Kampung Sade.
|
Sisi kanan pantai Kuta |
Matahari sedang bersinar terik saat kami tiba di pantai Kuta. Saya membayar karcis masuk sebesar 5.000 rupiah melalui Rakha ke petugas yang berjaga di area terbuka sekitar pantai. Mobil berhenti dekat sejenis pohon pandan raksasa di tepi pantai yang digunakan sebagai lokasi jualan oleh seorang penjual minuman dan makanan kecil, termasuk mie instan dan kelapa muda. Saya keluar mobil dan menghampiri ibu penjual, minta disediakan air kelapa muda. Saya dan Rakha duduk beristrahat di bawah pohon yang telah diberi papan sebagai bangku atau bale-bale sederhana. Kami minum sambil ngobrol dan menikmati pantai berair biru jernih yang terhampar sejauh mata memandang. Pantai ini berada di teluk yang diapit oleh
|
Sisi kiri pantai Kuta |
barisan perbukitan tandus berwarna coklat sepanjang sisi kanan pantai. Sebelah kirinya terdapat gugusan karang berbagai bentuk dan ukuran - yang mungkin masih merupakan bagian dari daratan utama pulau Lombok atau terpisah - namun karena cukup jauh letaknya sehingga saya tidak bisa memastikan keterkaitan daratan utama pulau dan gugusan karang-karang beraneka bentuk tersebut.
Setelah air kelapa tandas, saya dan Rakha berjalan perlahan ke arah kanan menyusuri pasir pantai berwarna krem. Hanya beberapa puluh orang terlihat berendam di pantai ini. Bule-bule perempuan dan laki-laki berbikini terlihat sedang berjemur dengan alas handuk di pasir yang akan saya dan Rakha lewati. Kami terus berjalan ke arah kumpulan karang untuk memotret
|
Para pedagang di pantai Kuta |
pemandangan di sekitar situ. Puluhan perahu nelayan sedang parkir di sepanjang pantai berjarak puluhan meter dari tempat para turis sedang menikmati air laut dan matahari. Seorang perempuan penjual tenunan berjalan mengikuti saya menawarkan dagangannya. Saya menggeleng sambil tersenyum, namun perempuan tersebut tetap gigih mengikuti dan menawarkan tenunan yang bertumpuk di atas kepalanya. Beberapa temannya yang semuanya perempuan ikut menyusul dan beramai-ramai menawarkan dagangan mereka. Saya mengalihkan perhatian mereka dengan mengajak ngobrol tentang keseharian mereka dan juga memotret mereka. Setelah selesai potret diri dan pemandangan sekitar, saya dan Rakha
|
Salah satu bagian pantai Kuta |
berjalan kembali ke pohon pandan. Para pedagang itu beramai-ramai mengikuti kami. Kami semua duduk di bale-bale di bawah pohon pandan dan ngobrol ngarol-ngidul. Di seberang jalan depan pantai terlihat jejeran penginapan dan juga rumah-rumah penduduk. Suatu hari, pantai dan kampung-kampung sekitarnya mungkin akan berubah menjadi seperti pantai Kuta di Bali. Turis domestik dan manca negara akan memenuhi tempat ini dengan beragam gaya. Ketenangan airnya yang biru di lokasi semi tertutup dalam teluk itu sepertinya menjadi lokasi menarik buat para turis yang hanya ingin mandi, berendam dan berjemur. Berbeda dengan kondisi pantai Kuta Bali yang terbuka ke laut lepas. Sengatan terik mataharinya akan menjadi favorit turis bule, pikir saya.
|
Rakha - sopir, guide dan teman di Lombok |
Setelah cukup beristirahat, saya berjalan beberapa puluh meter ke arah kiri menyusuri pasir pantai sambil terus memotret. Sepasang bule berpakaian minim sedang berjemur di atas pasir bagian ini. Sedangkan 5 orang lainnya sedang berjalan perlahan ke dalam air biru yang tenang di bawah sinar matahari yang menyengat. Saya terus berjalan melewati pasangan bule itu, melangkah ke hamparan batu-batu karang yang menjorok ke air laut untuk mengambil beberapa foto. Kulit saya terasa perih disengat matahari siang yang sangat terik. Saya cepat-cepat kembali ke pohon pandan untuk berteduh sedangkan para bule masih asyik berjemur dan berendam. Sekelompok pengunjung lokal terdiri dari para lelaki
|
Bersama para pedagang souvenir |
dan perempuan muda sedang asyik berfoto ria di pantai berjarak puluhan meter dari pohon pandan tempat saya, Rakha dan para perempuan pedagang sedang berteduh. Karena tidak berhasil membujuk saya membeli dagangan, perempuan-perempuan pedagang itu akhirnya hanya senyum-senyum getir saat saya ajak foto bareng. Beberapa malu-malu mengatakan bahwa mereka tidak cantik karena hitam dan bekerja setiap hari di bawah terik matahari. Saat saya mengatakan mereka cantik-cantik dan menunjukan foto-foto digital di kamera saya, mereka senyum- senyum dan tertawa-tawa. Seorang perempuan mengisahkan legenda putri nyale di pantai tersebut. Konon, pada musimnya penduduk setempat akan ramai-ramai turun ke pantai Kuta memanen cacing laut yang dikenal dengan nama nyale. Nyale diyakini sebagai perwujudan dari tubuh putri Mandalika asal Johor. Putri Mandalika memutuskan bunuh diri dengan cara terjun ke laut sebagai upayanya mencegah pertarungan dan peperangan antara para pangeran yang berebut ingin memperistri sang putri. Tubuh sang putri diyakini berubah menjadi gugusan batu yang bertebaran di pantai tersebut serta juga berubah menjadi nyale pada musim tertentu guna dipanen dan dikonsumsi penduduk sekitar sebagai tanda kecintaan sang putri terhadap penduduk Lombok.
|
Jalan ke airport, kampung Sade dan pantai Kuta |
Perut saya mulai terasa lapar. Karena itu, saya mengakhiri obrolan dengan para pedagang dan mengajak Rakha beranjak pergi mencari tempat makan. Rakha menanyakan apakah saya ingin mencoba makanan khas setempat. Tentu saja, jawab saya dengan gembira. Kami kembali ke mobil yang dijalankan Rakha melewati jalanan yang telah kami lalui sebelumnya ke pantai Kuta. Sekitar 20 menit kemudian, mobil berhenti dan parkir di depan suatu restoran yang tempat parkirnya di penuhi mobil dan motor mengindikasikan restoran ini ramai dikunjungi saat makan siang dan mungkin juga malam. Saya dan Rakha mengambil tempat di salah satu meja kosong lalu memesan nasi balap puyung dan masing-masing segelas es jeruk. Kami makan sambil ngobrol berbagai hal, termasuk keseharian dan keluarga Rakha yang telah memiliki isri
|
Landmark Kab. Lombok Barat |
dan seorang bayi. Keluarga kecil ini tinggal di rumah warisan orang tua Rakha di Kabupaten Lombok Selatan yang telah kami lewati PP saat mobil melaju ke kampung Sade dan Pantai Kuta. Selesai makan, saya meminta Rakha mengantar balik saya ke hotel Mataram tempat saya menginap di Lombok. Saya ingin beristirahat menunggu sore hari agar lebih adem. Toh saya hanya memiliki satu agenda lagi hari ini yakni menikmati sunset di sekitar pantai Senggigi.
Pada waktu yang telah disepakati saat saya keluar kamar hotel, Rakha telah menunggu di lobby hotel. Kami berjalan bersama ke mobil yang lalu dihidupkan dan mulai berjalan keluar parkiran hotel.
|
Gerbang kompleks makam Batu Layar |
Dari perempatan depan hotel, mobil belok kanan menyusuri jalanan kota Mataram di sore hari yang mulai sejuk. Saat mobil memasuki jalanan kawasan Senggigi, suasana kota wisata terlihat sangat kental seperti kota-kota wisata di Bali dan Thailand. Warung, resto, money changer, hotel, motel, guess house, pub, karaoke dan lain-lain sejenisnya berjejer sepanjang jalan yang sangat bersih, lebar dan mulus. Mobil terus melaju meninggalkan pantai Senggigi di belakang jalan yang telah kami lalui. Mobil berhenti dan parkir di kawasan perbukitan tepi pantai bernama Makam Batu Layar yang berjarak sekitar 2 atau 3 km dari Pantai Senggigi. Lokasi ini merupakan lokasi para turis domestik dan penduduk lokal
menikmati sunset yang terletak di belokan jalan utama Senggigi di atas bukit Batu Layar. Sebelah
|
Sunset di pantai Makam Batu Layar |
kanan terlihat gerbang makam Batu Layar yang konon merupakan makam seorang kyai terkenal dan dihormati di Lombok. Sebelah kiri jalan yang menjadi lokasi parkir sekaligus nongkrong menikmati sunset telah dibangun dan ditata. Suatu pendopo beratap dengan dinding papan setinggi pinggang orang dewasa, berlantai keramik menjadi tempat nongkrong pengunjung menunggu sunset. Pendopo semi terbuka ini dilengkapi kursi, bangku-bangku bambu dan meja-meja yang sore ini digunakan puluhan pengunjung menikmati jagung bakar dan kopi sasetan sambil menunggu sunset tiba. Saya dan Rakha
|
Sunset di Makam Batu Layar |
mengambil tempat di salah satu bangku. Saya meminta Rakha memesan jagung bakar dan kopi sasetan bagi kami berdua. Sambil menunggu jagung dan kopi serta juga sunset sekitar 1 jam lagi, saya berkeliling dan memotret di daerah sekitar, termasuk mencoba memotret pantai Senggigi nun jauh di bawah. Angin di daerah ini cukup kuat, sehingga saya harus sangat ekstra hati-hati. Semakin mendekati sunset, lokasi tersebut semakin ramai dan penuh. Masing-masing orang mengambil posisi strategis guna menikmati sunset.
|
Nasi balap puyung |
Saat sunset berlalu bersamaan dengan datangnya kegelapan, saya dan Rakha pun beranjak meninggalkan tempat tersebut. Rakha mengajak saya mampir makan malam di restoran ayam taliwang yang cukup terkenal di daerah situ. Sekitar 20 menit perjalanan mobil dari Makam Batu Layar, kami parkir di depan restoran yang masih sepi. 2 penjaja cincin dan batu cincin aneka warna dan bentuk terlihat sedang berdagang di depan pintu restoran yang terletak di samping kiri gerbang, alias pintu restoran tidak langsung menghadap ke gerbang depan jalan utama. Setelah masuk ke restoran yang besar dan semi terbuka - hanya sisi kanan yang berdinding sedangkan sisi kiri terbuka menghadap ke sejumlah pondok makan lesehan. Saya dan Rakha memilih salah satu pondok lalu memesan makanan dengan menu utama ayam Taliwang tentunya. Karena perut saya sensitif terhadap cabe, maka saya memesan ayam Taliwang madu sebagai pilihan alternatif dari rasa original yang bercabe dan terkenal pedas. Sambil menunggu, Rakha menceritakan asal usul ayam Taliwang dari Pulau Sumbawa. Restoran tempat kami makan malam
|
Paket nasi ayam taliwang |
saat ini merupakan salah satu dari puluhan tempat makan ayam Taliwang di daerah tersebut - yang semua pemiliknya berasal dari pulau Sumbawa, kata Rakha. Malam semakin gelap ketika kami mengakhiri makan malam dan mobil melaju membelah jalanan kawasan Senggigi mengantar saya kembali ke hotel mengakhiri perjalanan saya di Pulau Lombok hari ini.
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar