|
Depan stasiun Wilderswil |
Don't use mobile phones when having dinner, better silent it in the dinner room. For emergency purpose, you have to get out of the room for calling, kata
tour leader saat kami akan tiba di Hotel Schonbuhl di Jalan Oberdorfstrasse 18, 3812 Wilderswil, Swiss.
Please pay attention to the bath curtain, please don't wet the floor, demikian arahan bertubi-tubi dari sejumlah arahan lainnya yang berisi aturan-aturan menginap di penginapan tersebut. Gelo, banyak banget aturannya, kata saya dalam hati.
Sekitar jam 4 sore, saya bersama rombongan tiba di desa ini dari Paris, Perancis. Waktu tempuh dari Paris hingga tiba di desa ini sekitar 9 jam perjalanan darat dengan selingan 3 kali istirahat masing-masing 15 menit untuk 2 kali ke toilet dan 30 menit istirahat makan siang dalam perjalanan. Sebelum tiba di Wilderswil, bis meliuk menanjak dan menurun menyusuri jalan berliku naik turun gunung dan lembah. Sekitar 30 menit sebelum Wilderswil,
tour leader mulai berdiri dan mengumumkan aturan-aturan main yang harus dipatuhi. Bis terus melaju menyusuri salah satu pinggiran danau Interlaken di sebelah kiri saya dan jejeran bukit di sebelah kanan lalu memasuki kawasan pedesaan Swiss yang hijau dan berbukit. Gerimis sedang memayungi Wilderswil saat kami tiba dan parkir di halaman hotel yang terletak di ketinggian bukit di Wilderswil. Kami harus berebut masuk ke lobby agar tidak basah sambil membawa koper masing-masing yang telah dikeluarkan Carl (tentang Carl, baca catatan perjalanan London - Paris).
|
Di balkon lantai 4 hotel Schonbuhl di Wilderswil |
Switzerland atau dikenal sebagai Swiss saja di Indonesia merupakan suatu negara konfederasi. Penduduknya menggunakan 4 bahasa nasional, yakni Jerman, Perancis, Italia dan Romansh. Saat akan memasuki wilayah Swiss,
tour leader telah menginformasikan sejumlah hal terkait sejarah, penduduk, bahasa dan keunikan-keunikan negara ini, terutama jam tangan dan coklatnya yang terkenal di seluruh dunia, termasuk kedisipilinan tinggi yang digunakan penduduknya untuk segala aspek kehidupan mereka. Konon penduduk negara ini berasal dari berbagai bangsa sekitar yang leluhurnya tidak ingin berperang pada era peperangan silih berganti merambah Eropa. Menginap di Wilderswil hanyalah sebagai tempat transit saya berkunjung ke Jungfrau atau dikenal juga sebagai top of Europe
|
View dari balkon lantai 4 hotel Shnonbuhl Wilderswil |
atau puncak tertinggi gunung Alpen yang selalu bersalju. Saya memutuskan menjelajah ke Jungfrau untuk merasakan seperti apa salju yang tidak pernah saya temui di Indonesia. Keinginan yang harus dibayar mahal karena negara ini merupakan salah satu negara termahal di dunia.
|
View dari balkon lantai 4 hotel Shnonbuhl di Wilderswil
|
Setelah berdesak-desakan dengan anggota rombongan lainnya dalam lift, akhirnya saya tiba di kamar nomor 18 di lantai 4. Kamarnya sederhana namun bersih. Interior kamarnya bergaya
country didominasi warna krem kayu seperti warna dan motif kayu peti kemas. Kamar dilengkapi 2 dipan kayu berukuran lebar 90cm, 1 meja kecil (nakas) diantara dipan serta 1 lemari. Semuanya berwarna sama sama dengan dinding. Dipan dilengkapi 1 bantal dan sprei berwarna putih serta bed cover warna senada bermotif abu-abu. Kamar mandi dilengkapi wastafel kecil, closet duduk dan shower yang dibatasi dengan area kering lain dalam kamar mandi menggunakan tirai pemisah dari plastik yang dapat digeser buka-tutup. Sebagaimana arahan tour leader, tirai tersebut harus berada di bagian dalam pembatas lantai area mandi untuk mencegah air mandi menetes dan membasahi lantai kamar mandi di luar area mandi berukuran 1x1 meter. Sabun cair, handuk putih bersih dan tisu toilet juga tersedia.
Udara terasa sangat dingin, gerimis telah berubah menjadi hujan. Setelah beristrahat beberapa menit, saya memutuskan untuk mandi menggunakan air hangat yang disediakan. Setelah itu saya menggunakan sweater yang memiliki krah tebal dan tinggi melingkari leher sehingga tubuh menjadi hangat. Saya melongok ke luar jendela menikmati dinginnya udara basah di sore itu serta pemandangan yang didominasi bukit,
|
Suasana desa Wilderswil |
gunung dan pepohonan hijau. Nampak kabut tipis memayungi beberapa tempat. Setelah hujan reda, saya beranjak ke balkon luar yang letaknya di ujung bangunan berdekatan dengan kamar yang saya tempati. Di balkon ini saya menikmati pemandangan lembah, kota serta salah satu danau Interlaken yang telah dilewati bis sore tadi. Luas, tenang, hijau rerumputan dan biru air danau berpadu warna coklat gelap atau merah maroon atap rumah yang menyembul di sana-sini. Saat wajah saya palingkan ke sebelah kanan, terlihat rumah-rumah dan menara gereja desa diantara pepohonan dan kabut tipis serta puncak-puncak gunung berselimut salju seperti dalam negeri dongeng. Puas menikmati udara sore dan pemandangan spetakuler tersebut, saya memutuskan turun dan jalan-jalan di sekitar desa tersebut walau masih sedang gerimis.
|
Rumah-rumah di Wilderswil |
Makan malam masih 2,5 jam lagi, yakni pada jam 7.30 malam semua akan berkumpul di ruang makan untuk makan malam yang disediakan pengelola tour dan hotel tentunya. Dengan menggunakan sandal, celana pendek, sweater dan jaket dilengkapi payung, saya mulai turun menyusuri jalanan depan hotel yang meliuk diantara rumah-rumah penduduk. Saya mencari ATM yang dengan mudah ditemui setelah bertanya pada seorang penduduk saat berpapasan di jalan. Setelah melewati 2 persimpangan, akhirnya saya tiba di ATM suatu bank setempat yang bersebelahan dengan bangunan kantor pos.
|
Salah satu rumah penduduk Wilderswil |
Selesai mengambil uang di ATM, saya berjalan menyusuri jalanan desa yang sangat lenggang dan sepi. Mungkin karena hujan, maka penduduk desa memutuskan berdiam diri dalam rumah saja. Rata-rata rumah berlantai 2 dan 3 di desa tersebut didominasi kayu sebagai bahan dinding dan tiang-tiangnya. Beragam bunga sedang mekar menghiasi pekarangan maupun teras. Berapa rumah menghiasi balkon lantai 2 dan 3 dengan pot-pot berisi bunga yang sedang mekar. Halaman yang tertata rapi juga dipenuhi tamanan hijau, pepohonan serta bunga aneka warna. Suasana desa sangat tenang, adem, bersih dan indah. Seperti suasana pedesaaan dalam buku-buku cerita maupun film-film Eropa. Saya tiba di jalan utama yang dilalui 1 atau 2 mobil dalam periode waktu 5 - 10 menit. Puluhan meter dari jalan utama di sebelah kanan saya terletak rel kereta dan stasiun yang juga sepi. Saya terus berjalan menurun hingga tiba di suatu pertigaan dimana saya melihat satu toko serba ada yang masih sedang buka. Saya masuk ke toko yang tidak terlalu besar itu - seperti ukuran Indomaret di Jakarta - untuk melakukan observasi jikalau saya butuh sesuatu yang tersedia di toko ini, maka saya tahu kemana membelinya. Berbagai barang kebutuhan sehari-hari dijual di toko ini, termasuk buah segar,
sandwich dan wine dalam berbagai harga. Wine merupakan salah satu kebutuhan orang Eropa sehingga dijual di berbagai tempat. Saya bahkan menemukan wine di salah satu toko di Roma, Italia yang harganya lebih murah dari harga sebotol air mineral (baca catatan perjalanan di Roma). Karena saya akan mendapatkan makan malam, maka saya hanya membeli sebotol wine seharga 7 franc (sekitar 100 ribu rupiah). Harga yang lumayan murah, dibanding harga wine yang sering saya beli di Jakarta yang rata-rata berharga 350ribu rupiah. Setelah membayar di kasir
|
Suasana desa Wildeswil |
yang dijaga seorang perempuan paruh baya mengenakan seragam biru muda, saya keluar dan berjalan balik ke penginapan. Karena desa ini tidak terlalu luas, maka jalan kembali ke hotel pun tidak terlalu sulit, walau saya menelusuri jalan berbeda dari jalan yang saya lewati saat ke ATM. Sepi banget desa ini, pikir saya. Hanya 2 rumah yang terlihat beraktifitas saat saya melewati jalan di depan rumah-rumah tersebut.
Waktu makan malam masih 30 menit lagi. Karena itu setelah mengganti celana pendek dan sweater dengan pakaian kering lainnya, saya turun ke lobby. Saya harus membeli segelas minuman keras atau sekaleng minuman dingin untuk mendapatkan pasword wifi. Saya ingin mencoba minuman kerasnya, namun karena saya tidak pernah ke bar di Jakarta, maka saya tidak tahu jenis minuman apa yang bisa saya pesan. Karena itu, saya meminta segelas minum keras khas setempat yang oleh pemilik hotel sekaligus penjaga bar hotel dibuatin dengan mencampur 3 jenis minuman dari botol berbeda dalam 1 gelas kecil seharga 3 franc. Rasanya hangat dan agak sepat pedes saat tegukan pertama yang saya cecap melewati tenggorokan. Saya mengambil tempat duduk
|
Salah satu sudut luar rumah di Wilderswil |
di sekitar lobby dan tenggelam dalam keasyikan berselancar di dunia maya, termasuk update status hingga waktu makan malam tiba.
Guys, please come in to the dinner room, kata
tour leader dari pintu ruang makan yang berhadapan dengan lobby. Saya meninggalkan keasyikan berselancar di dunia maya, berjalan ke pintu dan bergabung dengan anggota rombongan lainnya ke ruang makan itu. Tentunya sesuai arahan sore tadi, maka HP telah saya atur pada posisi
silent supaya tidak malu karena ditegur saat makan lalu ada
notification yang berbunyi di HP. Masing-masing orang mengambil tempat di kursi-kursi yang menghadap meja-meja panjang dalam posisi berhadap- hadapan. Piring, sendok, garpu dan serbet makan berwarna putih telah disiapkan di atas meja-meja
|
Salah satu sudut Wilderswil |
tersebut. Tak lama kemudian, makanan pembuka diedarkan. Masing-masing orang mengambil secukupnya dan mulai mengunyah sambil bercakap-cakap satu sama lain. Semua orang bersuka ria. Makanan pembuka disusul makanan utama berupa potongan-potongan roti yang ditaruh dalam wadah berbentuk kayu. Setelah roti diedarkan dan diambil, muncul edaran berikut berupa daging sapi yang dimasak dalam kaldu kental berwarna kecoklatan. Daging dipotong-potong sebesar 2x2cm saja, rasanya gurih dan enak. Semua seperti berlomba menghabiskan jatah masing-masing. Sangat terasa jika makan dalam kondisi lapar dan banyak orang, maka semuanya menjadi nikmat. Astaga naga, rotinya sangat empuk dan enak. Roti terenak yang pernah saya makan seumur hidup saya, kata saya
|
Salah satu sudut luar rumah di Wilderswil |
dalam hati. Saya meminta tambahan roti dari teman yang duduk depan wadah roti yang diletakan di tengah-tengah meja kami. Sampai akhir acara makan, saya menghabiskan 4 potong roti yang masing-masing selebar 2 telapak tangan saya. Minuman yang disediakan adalah minuman rasa buah dalam kaleng dingin dan cocacola. Masing-masing orang memilih minuman kesukaannya sendiri, saya memilih cocacola.
|
Salah satu sudut Wilderswil |
Selesai makan, berapa orang termasuk saya kembali ke lobby, duduk ngobrol atau asyik berselancar. Pada saat itu, saya bertemu orang Indonesia. 2 pemuda kakak beradik berusia 20an duduk dekat saya berbicara bahasa Indonesia. Saya tersenyum dan menyapa mereka yang berasal dari Jakarta. Mereka satu keluarga bersama ayah, ibu dan seorang adik perempuan. Ternyata kami punya tujuan yang sama esok hari, yakni ke puncak salju di Jungfrau. Tak lama berselang, kedua orang tua mereka menghampiri anak-anak tersebut. Kami berkenalan dan berbasa-basi sebentar lalu mereka beranjak ke kamar masing-masing. Saya masih menghabiskan waktu di lobby bersama anggota rombongan lainnya sampai sekitar jam 11 malam. Saat saya beranjak ke kamar, teman-teman perjalanan dari Australia masih asyik dengan gelas-gelas bir masing-masing. Esok hari saya baru mengtahui kalau mereka tidak ke Jungfrau. Mereka menghabiskan waktu menelusuri desa Wilderswil dan Kota Interlaken yang terletak sekitar 30 menit menggunakan bis gratis dari Wilderswil.
|
Menuju stasiun dari penginapan di Wilderswil |
Ritual pagi sebagaimana biasa dimulai keesokannya. Setelah siap, saya keluar kamar membawa ransel yang selalu saya bawa kemana pun. Selain kamera juga terdapat copy paspor dan baju ganti serta payung dalam ransel tersebut yang telah menjadi barang wajib. Saya menuju ruang makan dan ikut antri sarapan bersama teman lain yang telah terlebih dahulu tiba. Sarapan Eropa continental berupa roti, keju, butter, ham dan aneka jus buah dingin tersedia. Tentunya, roti kesukaan saya menjadi tujuan utama. Selesai sarapan, saya duduk menunggu di lobby. Sebagaimana biasa,
tour leader mengecek daftar peserta yang akan ikut. Saat di bis kemarin, masing-masing orang yang akan ikut telah membayar biaya kunjungan ke Jungfrau seharga 147 franc (sekitar 2 juta rupiah), termasuk ongkos kereta PP dan tiket masuk ke tempat wisata di puncak Eropa tersebut. Desa masih sepi dan diselimuti kabut
|
Teman seperjalanan dari berbagai bangsa dan negara |
pada jam 7.30 pagi saat kami keluar dari hotel menyusuri jalan desa ke stasiun. Kami berjalan dalam kelompok-kelompok kecil 2-4 orang. Saya berjalan dengan suami istri dari Inggris (istrinya asal Philipina, suami asal Inggris). Semua anggota rombongan mampir di toko sudut jalan yang telah saya singgahi semalam. Saat di bis,
tour leader telah mengingatkan kami semua bahwa makanan di Jungfrau sangat mahal. Harga sepiring spagetti adalah 30 franc (sekitar 400 ribu rupiah) - yang porsinya bisa dimakan 2 orang, kata t
our leader. Karena itu, pilihannya adalah kami membeli dan membawa makanan serta minuman dari
|
Di atas kereta bersama seorang teman perjalan dari London |
tempat yang sekarang atau
share beli makanan di tempat wisata tersebut. Sepertinya semua anggota rombongan memutuskan membeli dan membawa bekalnya masing-masing, termasuk saya. Saya memilih sandwich seharga 5 franc (sekitar 60 ribu rupiah) dan air kemasan dalam botol sedang seharga 3 franc (sekitar 40ribu rupiah).
Selesai berbelanja bekal, kami terus berjalan ke stasiun yang tidak terlalu jauh dari toko tersebut. Kami sempatkan berfoto ria di sekitar stasiun sambil menunggu kereta yang akan berangkat jam 9.10 pagi. Karena masih ada waktu, maka kami mengisi waktu dengan berpose dan berfoto ria sampai bosan. Setelah petugas stasiun mempersilahkan kami naik,
tour leader menunjuk 1 gerbong yang telah dipesan khusus untuk kami. Dengan santai kami masing-masing memasuki gerbong dan mencari kursi masing-masing sesuai kesukaan. Karena berombongan,
|
Depan stasiun Wilderswil |
maka nomor kursi tidak dicantumkan di tiket. Saya mengambil tempat di samping jendela untuk memudahkan saya mengambil foto. Saya baru menyadari, mengapa Wilderswil menjadi tempat penginapan. Selain keindahan desanya, stasiun kereta di desa ini merupakan tempat pemberangkatan para pengunjung yang akan ke Jungfrau. Jam 9.10 pagi, kereta bergerak meninggalkan Wilderswil.
Tour leader menginformasikan bahwa rel kereta dibuat bergerigi sehingga mampu menahan kereta yang berjalan mendaki perbukitan dan pegunungan menuju Jungfrau. Kereta berjalan perlahan mendaki bukit dan gunung menyajikan pemandangan hijau dan kadang putih bersalju. Di beberapa tempat, puluhan sapi sedang berkelana di padang-padang rumput hijau. Saya hanya bisa terpana dan cepat-cepat mendokumentasikan momen-momen itu melalui kamera yang tidak pernah lepas dari tangan saya.
|
View dari atas kereta |
Rumah-rumah panggung dari kayu dengan warna-warna coklat tua, kadang kuning dan merah maroon muncul di berbagai tempat. Kadang seperti berdiri sendiri-sendiri, kadang berada dalam kumpulan puluhan atau ratusan rumah di lembah dan perbukitan yang dilalui kereta. Namun hanya 3 warna yang mendominasi pemandangan, yakni hijau rerumputan dan pepohonan, putih salju di bukit-bukit cadas atau puncak-puncak gunung serta biru langit yang berhias awan putih.
|
View dari atas kereta |
Pemandangan luar kereta sangat spektakuler. Kereta berhenti 2 kali di 2 tempat berbeda guna memberi kesempatan kepada penumpang turun dan memotret gunung atau lembah bersalju di luar. Sayangnya sudut pengambil foto sangat sempit serta diberi bingkai kaca sehingga foto yang dihasilkan kurang bagus. Selain kesulitan mendapatkan posisi pemotretan yang bagus, kaca pemisah sebagai pembatas dan pengaman pengunjung dengan gunung dan jurang diluar juga telah bernoda bahkan ada yang berbaret sehingga terekam di foto yang dihasilkan. Kami berganti kereta di stasiun Luauterbrunnen.
Tour leader terlihat beradu argumen dengan 2 bule lain dalam gerbong yang kami masuki karena mereka telah menduduki 2 kursi yang menjadi jatah rombongan kami. Bagus juga melihat
tour leader berhasil mengeluarkan kedua bule itu, pikir saya sambil tertawa diam mengamati kedua bule yang berjalan keluar gerbong sambil cemberut dan bersungut-sungut. Mereka akhirnya berdiri di lorong antar gerbong. 2 jam 12 menit sejak berangkat dari stasiun Wilderswil, kereta tiba di stasiun Jungfraujoch di puncak pegunungan Alpen di Eropa. Setelah turun, kami berkumpul sebentar di salah satu kios depan stasiun mendengarkan arahan
tour leader.
Tour leader meminta kami kembali
|
View dari atas kereta |
berkumpul di tempat yang sama pada jam 2 siang waktu setempat. Masing-masing orang diminta mencocokan jamnya agar tidak tertinggal karena masih asyik menjelajah kawasan sekitar padahal waktu pulang telah tiba.
Bersambung ke Jungfraujoch dan Interlaken
Tidak ada komentar:
Posting Komentar