Rabu, 22 Juli 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL WEST SUMATERA: Rumah Kelahiran Bung Hatta, Lubang Jepang, Janjang 1000 dan Koto Gadang

Bersama Bu Desi di depan foto Bung Hatta
di Lantai 2 Rumah Kelahiran Bung Hatta
"Pak, nunggu beberapa menit sambil isi buku tamu di teras, karena saya masih bersih-bersih", sapa seorang perempuan paruh baya saat saya mengucapkan salam ketika memasuki teras rumah kelahiran Bung Hatta di Jl. Soekarno Hatta No. 37 Bukit Tinggi yang terletak dekat pertigaan Pasar Bawah Bukit Tinggi. Rumah 2 lantai tersebut terkesan teduh dan terawat, termasuk taman depan yang dipagari sebagai pembatas dengan jalanan di depannya. "Baik bu", balas saya sambil duduk di salah satu kursi depan meja tempat buku tamu. Buku tamu tersebut saya buka dan baca sekilas untuk mengetahui asal-usul pengunjung lain yang telah mampir terlebih dahulu ke tempat tersebut. Setelah itu saya mencatatkan nama saya kemudian bertanya ke ibu yang menjaga rumah tersebut. "Bu, uang donasinya taruh dimana?", "taruh dalam buku tamu aja pak", balas perempuan paruh baya tersebut dari dalam rumah. "baik bu", balas saya sambil mengambil selembaran 50ribu dari dompet dan menaruhnya di buku tamu yang kemudian saya tutup kembali.


Kamar di teras depan 
Sambil menunggu, saya sempatkan melihat-lihat 1 kamar di sisi kiri saya atau di sisi kanan teras rumah hadap jalan raya depan rumah. Kamar tersebut tidak terlalu besar, mungkin berukuran 2x2 meter atau 2 x 2,5 meter saja namun sangat bersih dan rapi. Satu dipan berukuran sekitar lebar 1 meter menempati setengah  luas kamar tersebut dilengkapi bantal dan sprei yang semuanya berwarna putih. Di sampingnya terletak meja dan kursi yang menghadap jendela. Dinding kamar dari papan berwarna coklat berhias foto-foto Bung Hatta dan juga 1 gambar Garuda Pancasila. Berhadapan dengan kamar tersebut di sisi kanan saya atau sisi kiri teras rumah juga terdapat satu kamar lain dengan ukuran sama. Kamar ini sepertinya diperuntukan bagi para security karena terlihat seragam security berwarna biru dongker serta helm dan juga televisi kecil mengisi kamar tersebut.

Rumah kelahiran Bung Hatta dari depan
"Silahkan masuk pak" kata perempuan paruh baya tersebut dari dalam rumah. "Baik bu, terima kasih", balas saya lalu melangkah memasuki ruang tamu melewati kain pintu berwarna kuning keemasan. Ruang tamu cukup luas, bersih dan adem. Dinding ruangan terbuat dari bilah-bilah papan yang telah dicat putih dan diberi aksen hijau pada balok-balok yang mengapit dan menahan dinding-dinding rumah. Lantainya dilapisi tikar-tikar lampin berwarna coklat asal Kalimantan, sedangkan langit-langit ditutupi plafon terbuat dari anyaman bambu yang terlihat sangat terawat. Ruang tamu dilengkapi 2 set kursi dan 2 meja bundar yang diberi renda-renda putih mengingatkan saya akan rumah kakek di kampung. 1 set kursi terbuat dari
rotan sedangkan 1 lagi sepertinya terbuat dari kayu jati sama seperti mejanya. Lampu gantung model klasik berwarna putih menghiasi langit-langit ruangan. Pada salah satu sisi dinding tersandar rapi bufet kecil terbuat dari kayu berwarna gelap dan mengkilap berisi berbagai buku dan dokumen.
Teras depan rumah kelahiran Bung Hatta
Foto-foto Bung Hatta dalam berbagai pose dan kegiatan terlihat menghiasi seluruh dinding ruang tamu, bersama foto keluarga seperti ayah, ibu, paman dan juga gurunya yang mempengaruhi kehidupan dan karir Bung Hatta. Ruang tamu tersebut diapit 2 kamar di kiri dan kanan. Kamar-kamar tersebut dilengkapi tempat tidur berukir dengan 4 tiang di 4 sudutnya sebagai tempat kelambu. Terdapat juga lemari dan meja kecil bulat bertaplak renda putih. Tempat tidur diberi sprei putih yang pinggirannya berenda warna senada - sangat khas tempat tidur saat saya masih kecil.

Ruang tamu rumah kelahiran Bung Hatta
"Pakai sandal itu pak", kata bu Desi, demikian nama ibu paruh baya yang telah menyambut saya sejak 30an menit lalu. "Baik bu", balas saya sambil mengambil sepasang sandal kayu yang tersedia di samping pintu belakang. Saya melanjutkan ekplorasi saya ke bagian belakang rumah kelahiran Bung Hatta ini. Di bagian ini terdapat sederet ruangan yang dibangun berbentuk memanjang langsung pada batas tanah dan pekarangan belakang. Ruangan pertama yang saya kunjungi adalah ruang tidur Bung Hatta saat kecil. Ruangan ini dilengkapi 1 dipan yang berukuran sama seperti di dalam kamar di teras. Seperti tempat-tempat tidur di kamar-kamar lainnya, dipan ini juga dilengkapi seprei putih dan bantal dalam sarung berwarna
Kamar masa kecil Bung Hatta
senada. Kamar ini dilengkapi juga dengan lemari pakaian dan meja serta kursi yang semuanya terbuat dari kayu warna senada, yakni coklat gelap. Pada dinding kamar bersandar 1 sepeda ontel yang menurut Bu Desi merupakan sepeda Bung Hatta saat kecil dulu. Sebagaimana anak laki-laki Minang pada umumnya, sebagian besar waktu kecil Bung Hatta dihabiskan di Surau. Bersebelahan dengan kamar Bung Hatta adalah dapur keluarga yang masih tertata apik, kemudian gudang dan tempat dokar/pedati yang bannya masih sangat keras karena tidak  menggunakan ban yang diisi angin. Di bagian samping rumah dalam bentuk huruf L berjarak sekirar 3 meter dari bangunan tempat kamar tidur Bung Hatta hingga ruangan pedati terdapat bangunan kecil lain berjejer 3 ruang kecil yang menurut Bu Desi adalah kandang kuda pada masa lalu. Saat ini ruangan-ruangan tersebut kosong, namun tetap dirawat dan dibersihkan secara teratur sebagaimana ruangan / kamar-kamar lainnya di rumah tersebut.

Dapur rumah kelahiran Bung Hatta
Dari bagian belakang dan halamannya, saya kembali ke rumah induk menuju lantai 2 melalui tangga yang terletak dalam ruang makan yang berada di samping pintu belakang rumah induk. Lantai 2 terdiri dari 3 ruangan, yakni 2 ruang tidur di kiri dan kanan serta 1 ruang tengah yang hanya berhiaskan foto-foto Bung Hatta dan juga keluarganya seperti foto ayah, ibu, paman dan gurunya. Disini, bu Dessi mendampingi dan bertindak sebagai guide menjelaskan serba-serbi rumah kelahiran Bung Hatta tersebut serta juga keberadaannya yang telah merawat rumah tersebut selama 18 tahun - sebagai pegawai honorer Dinas Pariwisata Bukit Tinggi. Sekelompok anak sekolahan terlihat juga sedang berkeliling di lantai 2 sehingga saya
Tangga ke lantai 2 rumah kelahiran Bung Hatta
meminta salah satu dari mereka memotret diri saya dan bu Desi di depan foto close up Bung Hatta di lantai 2 rumah tersebut. Setelah ngobrol berbagai hal dengan bu Desi sekitar 20an menit sambil berkeliling, saya pamit meninggalkan rumah kelahiran salah satu Proklamator negara RI tersebut guna melanjutkan perjalanan ke Lubang Jepang membawa kesan yang tak akan terlupakan melihat rumah yang dengan segala isinya yang masih sangat terawat. Seandainya semua peninggalan masa lalu dirawat seperti rumah masa kecil Bung Hatta tersebut, Indonesia semakin kaya dengan berbagai warisannya, pikir saya sambil kembali duduk di sebelah Jasman memintanya mengantar saya ke tempat bubur Campiun sebelum ke Lubang Jepang.

Warung Pecal Ayang tidak hanya menjual bubur campiun, namun juga makanan lain, seperti bubur kacang ijo dan lontong sayur untuk sarapan. Saya memesan 1 piring bubur campiun - campuran 7 jenis bubur - bersama segelas teh talua - minuman khas Minang yang terbuat dari telur bebek atau ayam, teh, susu kental manis dan gula. Jasman memesan lontong sayur dan segelas kopi. Setelah kami mampir sekitar 20an menit di warung Pecal Ayang untuk sarapan (sarapan kedua bagi saya, karena telah sarapan nasi kapau di Pasar Atas - lihat catatan perjalanan sebelumnya), saya dan Jasman melanjutkan perjalanan ke Lubang Jepang yang tidak terlalu jauh dari warung Pecal Ayang.

Ngarai Sianok dari Taman Panorama
Taman Wisata Panorama dan Lubang Jepang, demikian yang tertulis pada plang di gerbang saat saya melangkah memasuki gerbang kawasan wisata tersebut. Saya menghampiri loket karcis yang terletak di sebelah kanan saya (kiri gerbang). Jasman dan mobil yang kami gunakan akan menunggu saya di Koto Gadang, karena dari tempat wisata ini saya akan berjalan kaki melalui Jenjang 1000 ke Koto Gadang di seberang ngarai Sianok. "sepuluh ribu rupiah pak", kata penjaga loket sambil menyodorkan selembar karcis masuk. Saya menerima karcis tersebut bersama 1 brosur berwarna putih yang dicetak dan dilipat rapi berisi informasi semua tempat wisata di Bukit Tinggi. Saya mengambil karcis dan mengembalikan brosur karena saya telah mendapatkan brosur yang sama dari hotel. Dari loket karcis, saya berjalan
Taman Panorama berlatar Ngarai Sianok
mengikuti jalan-jalan setapak yang rapi dan bersih dalam Taman Panorama tersebut menuju salah satu tebing di sebelah kanan saya guna menikmati Ngarai Sianok di kejauhan. Taman Wisata Panorama ini lebih cocok bagi wisata keluarga, terutama anak-anak karena terlihat seperti taman bermain anak-anak. Saya melewati beberapa patung prajurit Jepang di tengah taman terus mengarah ke tebing yang saya tuju. Beberapa pengunjung lain terlihat sedang asyik berfoto di tempat tersebut. Tiba di situ, saya mengambil beberapa foto lalu minta tolong salah seorang pengunjung memotret diri saya dengan latar belakang Ngarai Sianok nan indah. Selesai berfoto di tempat tersebut, saya mengambil jalan balik mengikut petunjuk arah yang ada menuju Lubang Jepang. 

"Mau ke Lubang Jepang pak?", sapa seorang pemuda bertubuh ceking memakai hem merah bercelana jins hitam. Iya, balas saya sambil terus berjalanan. "mau saya temanin?, tanya pemuda tersebut yang ternyata adalah seorang guide lokal. "Boleh", balas saya sambil berhenti
Pintu masuk Lubang Jepang
sesaat menunggu pemuda tersebut menghampiri saya sehingga kami berjalan berdampingan ke Lubang Jepang yang terletak tengah-tengah Taman Panorama. "Wira, kata pemuda tersebut sambil menjabat tangan saya". "Jo, balas saya. Kami menuruni beberapa anak tangga semen hingga tiba di depan Lubang Jepang. Sebelum memasuki lubang, Wira menjelaskan kepada saya beberapa bagian dan juga sejarah singkat lubang tersebut, termasuk rencana pemerintah daerah setempat melengkapi Lubang Jepang tersebut dengan berbagai fasilitas publik sebagaimana tertulis di denah yang tertempel di bagian kiri lubang sebelum pintu masuk. Wira memotret saya beberapa kali di depan gerbang masuk, kemudian kami memasuki Lubang Jepang tersebut. Kami berjalan perlahan menuruni tangga-tangga semen yang memudahkan pengunjung memasuk Lubang Jepang. "Kita turun 65 meter dari permukaan tanah ke
Bersama pengunjung lain di tangga ke dasar Lubang
dasar lubang di dalam tanah untuk menyusuri lorong-lorong Lubang Jepan ini", kata Wira sambil kami terus berjalan menuruni tangga-tangga tersebut. Beberapa anak lelaki yang juga sedang berkunjung ikut bergabung dengan saya mendengarkan cerita Wira tentang Lubang Jepang. Kami akhirnya menjadi satu rombongan pengunjung yang berjalan-jalan menyusuri berbagai lorong di Lubang tersebut. "lorong-lorong ini telah diperlebar dan ditinggikan untuk memudahkan pengunjung. Dinding-dindingnya juga telah dilapisi semen",  demikian potongan-potongan informasi yang kami peroleh dari Wira. Lumayan juga mendapatkan pelajaran sejarah tentang Lubang ini, kata saya dalam hati.

Di salah satu lorong 
Kami berhenti di beberapa tempat guna mengamati lebih dekat sekaligus mendengarkan informasi lanjutan dari Wira. "Lubang ini dilengkapi gudang senjata, kamar tidur, kamar tahanan/penjara dan juga ruang eksekusi / dapur. Seluruh lorong yang ada berjumlah 22, namun baru 20 yang dibuka untuk umum. 1 lorong lagi masih sedang disurvey dan diduga tersambung ke Jam Gadang dan Benteng Fort de Kock (baca catatan perjalanan sebelumnya), sedangkan 1 lagi tidak dibuka karena berbahaya bagi pengunjung", kata Wira. Lorong-lorong yang kami lalui cukup nyaman dan bersih serta terang karena telah diberi penerangan listrik. Saya perkirakan lebar masing-masing lorong bisa dilalui 4-5 orang dewasa yang berjalan berdampingan satu sama lain dengan tinggi sekitar 2 meter. Wira membawa saya dan teman-teman kecil yang bersama kami tersebut ke ujung salah satu lorong yang diberi pintu besi terkunci. "Di luar pintu ini, kita bisa melihat perkampungan di seberang lembah. Dahulu digunakan pasukan Jepang untuk mengintai aktivitas penduduk. Namun, karena terletak di ujung tebing, pemerintah menutup dan menggembok pintunya sehingga tidak membahayakan pengunjung. Dari lorong tersebut, Wira membawa kami ke dapur yang dinding ujung belakangnya telah diberi tembok guna
Salah satu lorong sebagai penjara pada masanya
menutup satu lubang yang menghubungkan ujung lorong dapur itu dengan sungai di lembah di bawah Lubang Jepang tersebut. "konon katanya, "dapur" ini merupakan tempat eksekusi para pekerja yang menggali Lubang Jepang ini", cerita Wira". "Mereka dieksekusi di tempat ini lalu mayatnya dibuang ke bawah melalui lorong yang telah ditutup dengan tembok ini karena mayat ataupun tulang belulang mereka tidak pernah ditemukan sampai saat ini", lanjut Wira yang meminta saya mengintip melalui lubang berukuran sebesar 2 kepalan orang dewasa di bagian bawah tembok tersebut. Saya hanya bisa melihat secercah cahaya. Wira meminta kamera saya lalu menempatkannya di lobang kecil tersebut dan menekan tombol pengambilan foto. Setelah itu, kami sama-sama memperhatikan hasilnya yang adalah suatu lorong sempit dalam bentuk yang masih seperti aslinya.

Lubang intip ke lorong di bawah tembok dinding dapur 
Dari dapur dan tempat eksekusi tersebut, Wira membawa kami berjalan balik melewati lorong yang telah kami lalui sebelumnya. Kami menuju ke ujung lorong lain yang berlawanan arah dengan lorong yang ujungnya diberi pintu besi dan dikunci. "Ini lorong yang diduga terhubung ke Jam Gadang dan Benteng Fort de Kock", kata Wira menunjuk satu lorong di depan kami yang terlihat masih belum direnovasi. Selesai dari lorong tersebut, kami dibawa Wira mengarah ke satu lorong yang membawa kami ke pintu keluar. Di lorong ini sedang dipersiapkan pembangunan toilet, restoran dan juga mushola. Di depan pintu terhampar jalan aspal berkelok ke lembah. "Itu jenjang / janjang 1000, kata Wira menunjuk ke lembah di depan pintu keluar Lubang Jepang. Saya menyerahkan 50ribu rupiah sebagai balas
Hasil foto lorong dari lubang intip
jalasnya menemani sekaligus menceritakan sejarah Lubang Jepang ke saya dan rombongan anak-anak yang bertemu dan bersama-sama menelusuri lorong-lorong Lubang Jepang tersebut. "Terima kasih banyak Pak, kata Wira sambil tersenyum lebar". "Sama-sama Wira, sukses yach, balas saya sambil menjabat tangannya sebagai salam perpisahan. Saya juga bersalaman dengan anak-anak yang telah menyertai kami berkeliling dalam Lubang Jepang selama hampir 1 jam. Semua bentuk lorong di Lubang Jepang sama sehingga jika tidak menggunakan pemandu, pengujung bisa tersesat dan berputar-putar di dalam Lubang tersebut. Dinding-dinding lorong terbuat dari campuran kapur dan tanah sehingga semakin kuat jika terkena air. Dinding juga dibuat bergelombang guna meniadakan gema suara. Secara keseluruhan, panjang Lubang Jepang tersebut diperkirakan 1,5km. Lubang Jepang dan Rumah kelahiran Bung Hatta meninggalkan kesan yang sangat mendalam pada diri saya karena perawatannya yang telaten. Peninggalan-peninggalan sejarah tersebut terlihat sangat terurus jika saya bandingkan dengan tempat-tempat sejarah lain yang pernah saya kunjungi dan ekplorasi seperti misalnya Meseum Fatahillah di Jakarta yang pernah saya kunjungi dan mendapatkan kesan tidak terurus karena berdebu dan terkesan dibiarkan seadanya. Berbeda jauh dengan Rumah kelahiran Bung Hatta dan Lubang Jepang yang sangat lengkap cerita bisu maupun lisannya.

Saya menyeberangi jalan depan pintu keluar Lubang Jepang lalu berjalan turun ke lembah mengikuti jalan setapak yang terbuat dari semen. Sekeliling jalan yang saya lewati hanyalah pepohonan dan rerumputan. Di satu tempat saya mampir ke warung sederhana di tepi jalan yang sedang saya lalui guna membeli air mineral  dan makanan kecil khas setempat yang disebut "pensi" yakni kerang
Jembatan penghubung di Bukit Tinggi dan Koto Gadang di Jenjang 1000
-kerang mini di air tawar yang dioseng-oseng - kebanyakan berasal dari danau Maninjau. "3 ribu rupiah untuk pensi dan 5 ribu untuk air", kata penjualnya. Saya menyerahkan duit 8 ribu lalu mengambil 1 porsi pensi yang ditaruh dalam gelas-gelas bekas air mineral. Saya terus berjalan sambil mencicipi pensi dan kadang berhenti mengambil beberapa foto landscape sawah hingga tebing-tebing nan elok. Saat saya melewati perkampungan di lembah tersebut, saya mendonasikan 5 ribu rupiah ke peti donasi yang diletakan di tengah jalan sebagai biaya kebersihan. Saya terus melanjutkan perjalan hingga melewati satu jembatan gantung yang menghubungkan sisi Bukit Tinggi dan Koto Gadang.
Tangga-tangga di Jenjang 1000
Jalanan mulai mendaki saat saya melewati jembatan gantung tersebut. Tidak jauh dari Jembatan dan sebelum pendakian tangga pertama yang tersusun bersama tangga-tangga lain pada kemiringan sekitar 40an derajat, saya sekali lagi harus memberikan donasi untuk biaya kebersihan yang dijaga seorang pemuda. "Wah saya telah memberi sumbangan kebersihan di kampung di bawah", kata saya saat berhadapan dengan pemuda tersebut. "Ini lain pak", balas pemuda itu sehingga saya mengeluarkan 10ribu rupiah dan memasukannya ke peti donasi tersebut. "Seperti preman aja neh orang", omel saya dalam hati sambil mulai mendaki tangga-tangga setengah vertikal tersebut. Setelah tangga, saya berjalan di setapak semen yang datar menuju tangga lain demikian seterusnya sehingga total saya harus melewati 336 anak tangga barulah saya tiba di dataran sebelah di daerah Koto Gadang. Total waktu tempuh yang saya lalui adalah 22 menit dengan beberapa kali berhenti untuk memotret dan juga beristirahat terutama setelah melewati tangga-tangga setengah vertikal yang mengabiskan nafas saat tiba di puncak pendakian. Rasanya lega setelah melewati tantangan tersebut walau terasa lelah dana keringat membanjiri tubuh di panas terik siang itu.

Jalan setapak di Jenjang 1000
Jasman tersenyum lebar saat saya tiba di sisi Koto Gadang. Taman Wisata Panorama dan Lubang Jepang yang barusan saya kunjungi telah berada di seberang nun jauh di mata. Jasman sedang menikmati segelas kopi sambil duduk di bangku yang berada di bawah satu pohon rindang. Tidak jauh dari pohon tersebut, berdiri warung kelontong yang menjual kopi yang diminum Jasman. Penjualnya seorang lelaki muda bertanya apakah saya ingin pesan kopi atau minuman lain, saya menjawab tidak karena saya masih sedang membawa botol air mineral yang saya beli dalam perjalanan melewati Jenjang 1000. Saya meminta Jasman mengambil rokok kesukaannya - yang saya bayar bersama segelas kopi yang telah dipesan dan diminumnya. Sambil duduk beristrahat dan ngobrol, saya mengamati daerah sekitar tugu Jenjang 1000. Di depan saya di seberang jalan depan gerbang masuk keluar Jenjang 1000 berderet kios dan warung yang menjual berbagai jenis minuman dan makanan kecil. Saya bertegur sapa dengan beberapa rombongan yang lewat searah maupun berlawanan arah menuruni Jenjang 1000 menuju Bukit Tinggi. Setelah Jasman menghabiskan rokok dan kopinya, saya meminta dia memotret saya di depan tugu Jenjang 1000 sebagai kenangan
Salah satu bentuk rumah di Koto Gadang
telah pernah mampir dan melewati tempat tersebut. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke workshop perak di Koto Gadang. Jalan yang kami lalui tidak terlalu luas namun cukup bagus dari Tugu Jenjang 1000 hingga ke beberapa workshop kerajinan perak yang berjejer di pingir jalan besar. Rumah-rumah yang kami lewati di tepi jalan tidak menampakan kekhasan Minang. Semua rumah beratap seng yang telah menghitam dimakan usia, berbentuk kubus seperti rumah-rumah modern di tempat-tempat lain di Indonesia. "Kebanyakan penduduk Koto Gadang merupakan turunan para pekerja / karyawan orang Belanda", kata Jasman sambil sibuk menyetir. Saya hanya mengangguk-angguk sambil terus mengamati dan kadang memotret rumah-rumah yang kami lewati. Saat tiba di pertigaan, saya melihat
Mesjid di pertigaan Koto Gadang
satu mesjid cukup besar dihadapan kami. Di sebelah kiri kami terlihat satu rumah penduduk dengan ciri khas Minang - dinding berukir / motif berhiaskan warna hitam, merah dan putih serta beratap Gonjong.

Jasmin membelokan mobil ke arah kanan menyusuri jalanan datar  yang bagus aspalnya. Kiri dan kanan jalan terhampar persawahanan dan rumah-rumah penduduk silih berganti. Kami tiba di satu workshop pembuat perhiasan perak. Karena Koto Gadang terkenal dengan silver hand made-nya, sebagaimana informasi seorang teman, maka saya dan Jasman berkunjung ke Koto Gadang dengan tujuan melihat-lihat sekaligus membeli salah satu perhiasan
Tempat saya membeli cincin perak motif Minang
buatan tangan Koto Gadang sebagai kenang-kenangan. Kami mampir di beberapa workshop sampai saya menemukan 1 cincin perak bakar bermotif khas Minang seharga 350ribu rupiah. Setelah membeli cincin tersebut, saya dan Jasman meneruskan perjalanan ke Danau Maninjau.

Bersambung!!

Sabtu, 27 Juni 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL WEST SUMATERA: Pasar Atas dan Benteng Fort de Kock.

Di atap Benteng Fort de Kock bersama pengunjung lain
Inhale, exhale, udara pagi hari Bukit Tinggi terasa menyegarkan. Pagi masih berkabut saat udara segar menarik saya keluar kamar setelah mandi dan ganti pakaian bersih. Bernafas melalui perut menikmati kesegaran pagi yang belum terpolusi deru dan asap kendaraan bermotor sambil berjalan perlahan menyusuri jalanan yang masih lenggang dan sepi. Kembali kaki saya menapaki trotoar depan Taman Monumen Bung Hatta menuju Jam Gadang guna memotret Jam Gadang di pagi hari sekalian menjelajah daerah sekitar, termasuk Pasar Atas guna mencoba nasi kapau yang terkenal itu. Saat tiba di kawasan Jam Gadang, ternyata area tersebut tidak sepi seperti dugaan saya. Area kosong antara pagar
Kawasan Jam Gadang di pagi hari
pembatas dengan perbukitan, jejeran toko dan tempat parkir motor sedang digunakan warga yang mengikuti senam masal. Alhasil niat saya memotret Jam Gadang di kesunyian pagi tidak berhasil alias gagal. Sebagai gantinya, saya memotret aktifitas olahraga warga di kawasan tersebut sambil terus berjalan menuju kawasan Pasar Atas. Tepat di ujung kanan kawasan Jam Gadang dekat pos security, saya belok kanan menyusuri suatu gang melewati jejeran kios dan toko yang masih tutup.

Kondisi Pasar Atas di pagi hari
Saat berpapasan dengan orang yang melewati jalanan yang sama, saya bertanya dimana warung Nasi Kapau. "Terus saja ke bawah, jejeran warung-warung Nasi Kapau ada di sebelah kiri", kata pejalan kaki tersebut. Saya mengucapkan terima kasih dan meneruskan langkah mengikuti kontur jalan yang terus menurun. Sekitar 5 menit dari pos security di kompleks Jam Gadang, saya melihat jejeran warung warna putih dan biru di sebelah kiri saya agak masuk sekitar 15 meter dari jejeran kios di Pasar Atas. Semua warung tersebut berada dalam 1 bangunan terbuka semacam bangsal beratap seng dengan dinding setinggi dada orang dewasa. Bangsal tersebut disekat-sekat berbentuk kubikal seperti perkantoran
Tempat warung-warung nasi kapau di Pasar Atas
moderen di Jakarta. Setiap warung memiliki nama masing-masing. Semuanya terlihat bersih dan rapi. Dinding pembatas antar warung berupa tripleks dicat warna biru yang ditutup kain putih sehingga terlihat bersih dan rapi. Jejeran bangku juga dicat warna sama sedangkan dudukannya terbuat dari playwood putih. Belum banyak pengunjung, mungkin warung ini merupakan tempat makan para penjual dan juga pembeli di Pasar Atas sehingga masih terlihat sepi di pagi itu.

Lauk pauk nasi kapau Uni Lis di Pasar Atas
Aneka masakan terlihat berjejer dalam baskom-baskom sebesar pelukan orang dewasa. Saya memasuki warung nasi kapau Uni Lis, mengucapkan selamat pagi ke 2 perempuan yang terlihat sibuk mengatur jejeran masakan tersebut. "ingin makan apa, silahkan ambil sendiri", kata salah seorang perempuan tersebut. "nasi kapau", kata saya. "saya hanya ingin mencoba nasi kapau, namun saya tidak tahu seperti apa lauknya, lanjut saya". "Minta tolong ibu pilihkan saja, tapi tidak perlu banyak-banyak karena saya hanya ingin mencoba". "Dari mana?', tanyanya. "Jakarta", jawab saya. Selanjutnya kami bercakap-cakap sambil ibu penjual mempersiapkan nasi kapau yang ingin saya coba. Menggunakan sendok dan tangannya, ibu tersebut dengan lincah mengambil berbagai lauk yang tersusun rapi dalam baskom-baskom di atas meja berbentuk U. Di sekeliling meja berbentuk U tersebut diletakan bangku-bangku panjang dan meja yang menempel ke meja utama tempat lauk pauk. Meja makan sepanjang meja utama dengan lebar sekitar 30an cm tersebut terbuat dari playwood biru muda. Bisa digambarkan susunannya seperti tangga, yakni bangku-bangku, meja makan, meja utama tempat lauk pauk, lalu lauk pauk dalam baskom2 kemudian ibu penjual yang duduk atau berdiri dalam ruang kosong U tersebut. Saya mengambil tempat duduk di salah satu bangku sambil memperhatikan si ibu  mempersiapkan nasi kapau yang saya pesan.

Sarapan nasi Kapau Uni Lis di Pasar Atas
Sepiring nasi panas bersama berbagai jenis lauk yang juga masih mengepul dalam piring motif bunga disajikan bersama segelas air putih hangat serta tampat cuci tangan sebagaimana biasa disediakan di warung atau restoran Padang di Jakarta. Wah ternyata nasi kapau seharusnya menjadi menu makan siang atau makan malam saya, pikir saya setelah melihat makanan "berat" yang tersaji di depan saya. Namun karena saya penasaran dengan kepopulerannya, tangan saya bergerak mencomot makanan tersebut dan mulai makan dengan lahap sambil terus bercakap-cakap dengan ibu penjual. Beberapa orang silih berganti mampir membeli dan membawa berbungkus-bungkus nasi kapau saat saya sedang makan di tempat tersebut. Sambil makan, saya memperhatikan aktifitas sekeliling saya yang terdiri dari puluhan warung nasi kapau dalam ukuran yang sama. Beberap masih tutup, sedangkan beberapa lainnya telah  mulai sibuk melayani pembeli yang datang dan pergi. Sepertinya hanya saya yang sedang asyik makan di tempat tersebut. "berapa", tanya saya. "12 ribu rupiah, balas ibu penjual. "murah amat, kata saya dalam hati sambil mengeluarkan duit dan menyerahkan ke ibu penjual. "terima kasih, kata saya. "sama-sama pak, kalo ke Bukit Tinggi, mampir lagi ke sini", pungkas sang ibu penjual. "pasti bu", balas saya sambil tersenyum dan pamit dari tempat tersebut dalam kondisi kekenyangan dan agak kepedasan karena bumbu lauknya yang sangat terasa di mulut.

Gang Pasar Atas ke warung nasi kapau
Saya kembali menyusuri jalanan yang telah saya lewati menuju warung-warung nasi kapau tersebut 30an menit lalu. Sebelah kiri dan kanan jalan mulai terlihat kehidupan di kios-kios yang mulai buka dan bersih-bersih serta menyiapkan barang jualan mereka berupa barang industri seperti pakaian, sepatu, tas, mainan anak-anak lainnya yang serupa. Saat tiba di mulut gang depan kompleks Jam Gadang belakang pos security. Kesibukan warga yang senam masih sedang berlangsung, namun tidak sepadat pagi hari saat saya berjalan mencari nasi kapau. Saya melintas bersama warga lain yang juga sedang berlalu lalang di kawasan tersebut. Saya berjalan lurus ke jejeran pertokoan yang semalam (baca catatan sebelumnya) saat mencari souvenir dan cincin perak. Di kanan saya, jejeran pertokoan masih sedang tutup. Para penjual souvenir juga belum terlihat. Sebelah kiri saya, tempat parkir motor juga masih sedang sepi. Hanya dokar dan para kusir yang telah bersiap menunggu pengunjung. Puluhan dokar berjejer di depan Jam Gadang sebelah tempat parkir motor. Saat saya melewati tempat tersebut, seorang kusir menawarkan jasa mengantar saya menjelajah kota Bukit Tinggi menggunakan dokarnya. Sayangnya saya lebih suka jalan kaki menuju tempat-tempat wisata yang akan saya kunjungi. Apalagi, saya telah sepakat dengan Jasman untuk menjemput saya di Benteng Fort de Kock pagi hari tersebut.

Jejeran bendi menunggu penumpang di kiri depan Jam Gadang
Menggunakan peta yang saya peroleh dari hotel kemarin sore, saya mulai menelusuri salah satu jalan yang terhubung ke kawasan Jam Gadang. Dari jejeran dokar, saya terus berjalan ke kiri menyusuri sisi sebelah yang berlawanan arah dengan sisi yang telah saya lalui pagi tadi ke Pasar Atas. Di sisi ini juga terdapat sekelompok warga yang sedang senam dipimpin 4 orang ibu bertempat di atas panggung setinggi 50an cm. Saat saya memotret aktifitas mereka, para ibu tersebut menyambut hangat tersenyum dan melambaikan tangan mereka. Seselesai memotret saya tersenyum balik dan mengangguk mengucapkan terima kasih lalu melangkah menyeberangi jalan A Yani yang menjadi pemisah kawasan Jam Gadang dengan kawasan pertokoan. Saya menyusuri trotoar jalan Yos Sudarso
Jalan yang saya susuri menuju Benteng Fort de Kock
sambil memotret hingga tiba di perempatan yang menhubungkan jalan Yos Sudarso, jalan Tuangku Nan Renceh, jalan Teuku Umar dan jalan Benteng yang berjarak 50an meter dari kawasan Jam Gadang. Jika saya belok kanan menyusuri jalan Teuku Umar, maka saya akan tiba di jalan A. Yani sehingga saya akan masuk ke Benteng melalui Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan. Saya memilih menyeberangi jalan Teuku Umar lalu menyusuri jalan Benteng yang arahnya sejajar dengan jalan Teuku Umar. Jalanan ini juga masih sepi dan lenggang. Hanya sedikit kendaraan bermotor dan pejalan kaki yang berpapasan atau terlihat berjalan searah. Beberapa hotel dan penginapan terlihat menghiasi jalan yang saya lalu menuju Benteng Fort de Kock.

Sekitar 15 menit kemudian saya telah tiba di kawasan Benteng Fort de Kock yang juga masih sepi. Jasman telah tiba dan menunggu saya di tempat parkir mobil depan gerbang masuk benteng. Saya meminta Jasman memotret saya di depan gerbang sebagai dokumentasi kunjungan saya ke tempat tersebut. Setelah itu, saya membeli tiket di loket yang terletak di sebelah
Gerbang Benteng Fort de Kock
kiri saya atau kanan gerbang. Tiket seharga 8000 rupiah saya kantongi kemudian berjalan memasuki kawasan benteng yang tertata rapi. Jalanannya terlihat bersih dan terawat. Saya berjalanan keliling untuk mengeksplorasi dan memotret. Setelah itu saya berjalan ke bangunan rumah peninggalan Belanda yang disebut benteng tersebut. Hanya bangunan tersebut dan meriam tua yang tersisa sepertinya di kompleks tersebut. Bangunan tersebut menempati lokasi strategis di puncak bukit sehingga bisa mengamati sekeliling di bawah perbukitan - yang tentunya diperlukan pada zaman penjajahan. Tiket tersebut berlaku sebagai tiket terusan ke Taman Magrasatwa dan Budaya Kinantan yang terletak bersebelahan dengan Benteng dan dihubungkan oleh Jembatan Limpapeh. Karena itu akses ke Benteng Fort de Kock dapat dilakukan melalui jalan Benteng atau jalan A Yani. Jika melewati jalan A Yani, maka pengunjung akan masuk melalui gerbang Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan.

Bangunan Benteng Fort de Kock
Benteng Fort de Kock dibangun Kapten Bouer pada tahun 1825 di bukit Jirek Bukit Tinggi. Benteng ini merupakan tempat pertahanan Pemerintah Hindia Belanda menghadapi perlawanan rakyat Minang dalam perang Paderi di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1821 - 1837. Nama Benteng ini berasal dari nama Wakil Gubernur Hindia Belanda sekaligus Komandan de Troepen (tentara Hindia Belanda) di Sumatera pada saat itu, yakni Baron Hendrick Markus de Kock. Bangunan Benteng ini berbeda dengan benteng lain yang pernah saya lihat dan kunjungi di Ternate dan Eropa Barat (lihat catatan perjalan di Eropa Barat) ternyata jauh berbeda. Benteng Fort de Kock merupakan suatu bangunan biasa berlantai 2 dengan panjang sekitar 9 dan lebar sekitar 6 meter. Di keempat sudutnya terdapat meriam yang dihadapkan ke lembah. Saat saya berada di lokasi tersebut, lantai dasar yang terlihat terbuka dan kosong tersebut sedang digunakan beraktivitas oleh satu rombongan anak muda. Bangunan lantai 2 ditopang oleh tiang-tiang kokoh berjumlah 3 di tiap sisi bangunan.

Saya menaiki tangga sempit dari besi menuju lantai 2 melewati semacam lubang sebesar tubuh orang dewasa. Saking  kecilnya lubang tersebut, pengunjung berbadan besar tidak akan bisa melewati lubang tersebut ke lantai 2. Dengan usaha yang sangat hati-hati, akhirnya saya berhasil melewati
Tangga curam ke lantai 2 bangunan Benteng
tangga curam yang terbuat dari lempengan-lempengan besi yang agak licin  hingga tiba di lantai 2 di bagian belakang bangunan benteng. Saya menyusuri penampang selebar 75an cm menuju  samping kanan atau berlawanan dengan arah kedatangan saya dari gerbang. Di samping kanan tersedia tangga yang cukup bagus menuju atap benteng yang berbentuk datar / dak. Saat saya tiba, di dak ini terlihat sekumpulan pemuda tanggung sedang duduk bercengkarama dan merokok. Saya menyapa mereka dan bercakap-cakap lalu mengajak foto bersama. Mereka berasal dari kawasan pemukiman sekitar benteng. Dari puncak benteng, pemandangan yang tersaji adalah kantor balai kota di kejauhan dan hamparan lembah Kota Bukit Tinggi. Setelah mengambil beberapa foto, termasuk bersama kelompok pemuda tersebut, saya pamit dan kembali ke bawah. Tidak hanya naik, saat turun pun memerlukan kehati-hatin ekstra saat menuruni tangga curam tersebut. Jejak pengunjung yang naik turun di tangga curam tersebut menjejak jelas di pegangan besi sebesar 2 ibu jari orang dewasa yang nampak berkilat karena sering dijamah tangan-tangan para pengunjung.

Jembatan Limpapeh
Keluar dari bangunan benteng, saya berjalan lurus menuruni bukit melalui jalan setapak yang cukup rapi. Saya berjalan ke Jembatan Limpapeh yang menjadi penghubung kawasan Benteng dengan lokasi taman margasatwa yang terletak bersebelahan. Di bawah Jembatan melintas jalan A. Yani yang mulai terlihat sibuk oleh penghuni rumah dan pertokoan yang berjejer di kedua sisi jalan tersebut. Saya tidak kembali ke gerbang benteng, karena itu saya meminta Jasman menjemput saya di gerbang taman margasatwa. Jembatan ini dibuat sebagai jalan penyeberangan orang seperti JPO-JPO di jalan-jalan Jakarta. Di bawah jembatan bertebaran perumahan penduduk dipisahkan jalan raya yang cukup lebar. Dari atas jembatan saya dapat melihat puncak Jam Gadang di kejauhan yang terletak di sebelah kanan saya, sedangkan kantor walikota di sebelah kiri nun jauh di perbukitan sebelah, setelah lembah kota Bukit Tinggi. Setelah melewati Jembatan Limpapeh, saya memasuki kawasan taman margasatwa Kinantan. Saya tidak mengeksplorasi taman margasatwa tersebut karena ingin segera mengunjungi rumah kelahiran Bung Hatta. Saya hanya mengambil beberapa foto di lokasi tersebut lalu menerukana perjalan ke gerbang keluar masuk yang terletak di arah kanan dari Jembatan Limpapeh.

Sebelum keluar gerbang, saya sempatkan mengamati kondisi sekitar. Loket penjualan tiket berada di sebelah kanan saya. Terlihat seorang pengunjung laki-laki menghampiri loket tersebut, namun
Jembatan Limpapeh
sepertinya pengunjung tersebut tidak jadi membeli tiket. Karena pengunjung tersebut keluar lagi dari gerbang. Keluar gerbang, saya menuju toilet yang terletak sekitar 10 meter di sebelah kiri. Pengguna toilet harus membayar 2000 rupiah setelah menggunakan toilet tersebut sebagai kontribusi bagi jasa kebersihan yang dilakukan oleh seorang lelaki tua yang saat itu sedang menjaga kotak pembayaran sambil bercakap-cakap dengan seorang lelaki penjual minuman di samping toilet tersebut. Toiletnya tidak terlalu kotor, namun juga tidak bersih sekali. Satu urinoir terlihat rusak, namun saya dan pengunjung lain masih dapat menggunakan urinoir lain atau langsung ke kloset jongkok dalam ruang lain yang memiliki pintu. Toilet bagi laki-laki berada di sebelah kanan saya, sedangkan bagi perempuan berada di kiri.

Jam Gadang dari atas Jembatan Limpapeh
"kita kemana sekarang", tanya Jasman saat saya telah duduk disisinya dalam mobil yang diarahkan keluar dari parkiran depan kebun Binatang. "ke rumah kelahiran Bung Hatta lalu ke bubur campiun" balas saya. Walau saya telah sarapan cukup berat dengan nasi kapau, namun saya masih penasaran dengan bubur campiun yang diceritakan seorang teman kantor. Karena itu saya ingin mencicipi makanan tersebut sebelum meninggalkan kota Bukit Tinggi. Dari gerbang kebun binatang. mobil belok kiri menyusuri jalanan yang belum terlalu ramai menuju rumah Kelahiran Bung Hatta yang terletak dekat Pasar Bawah Bukit Tinggi.

Gerbang Taman Margasatwa 



Bersambung

Sabtu, 20 Juni 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL WEST SUMATERA: Bukit Tinggi - Jam Gadang Di Malam Hari.

Warung pinggir sawah dan jalan utama ke Bukit Tinggi
"Sekitar 6km lagi, kita akan tiba di Bukit Tinggi", kata Jasman saat kami beristrahat di sore hari pada salah satu warung pinggir jalan utama yang menghubungkan Kabupaten Tanah Datar dengan Bukit Tinggi. Dangau Kawa atau Warung Kopi demikian nama warung yang kami singgahi guna menikmati "kawa" dan penganan tradisionalnya, seperti pisang dan singkong goreng, bika dan minuman kopi yang terbuat dari daun kopi yang disebut kawa. Saya dan Jasman menunggu beberapa menit sebelum mendapatkan tempat duduk di bale-bale kayu di samping pintu masuk. Selain bale-bale, bangku-bangku dan meja-meja panjang dalam warung dipenuhi pengunjung laki-laki dan perempuan berbagai usia yang duduk berkelompok atau berpasang-pasangan menikmati berbagai penganan dan minuman yang disediakan warung.

Kawa susu dan bika 
"Pesan apa?", tanya salah seorang pemuda penjaga warung. Setelah bertanya pada Jasman, saya lalu memesan kawa susu dan bika (salah satu kue traditional khas Minang). Karena 1 porsi bika terdiri dari 4 potong kue, maka Jasman hanya memesan kopi guna dinikmati bersama bika. Kawa susu saya disajikan dalam wadah yang terbuat dari potongan bambu sebagai pegangan dan batok kelapa sebagai tempat menampung minumannya. 4 potong bika panas disajikan bersama kawa susu tersebut. Bika terbuat dari campuran tepung beras, kelapa parut dan gula berbentuk semi bulat dan dipanggang. Saya mengambil 1 bika mengigit perlahan menikmati kehangatan dan kegurihannya. Rasa manisnya seperti manis tebu alias tidak terlalu manis, rasa yang sangat saya sukai. Kawa susu merupakan kopi yang terbuat dari daun kopi dicampur susu. Saat minum, rasa kopi terasa ringan bersama aroma dan rasa daun segar yang menghadirkan sensasi unik yang belum pernah saya temukan dalam penjelajahan saya ke berbagai pelosok Indonesia. Saya dan Jasman menikmati kawa dan bika sambil bercakap-cakap tentang berbagai hal, terutama tentang budaya Mining.

Persawahan di samping dan belakang Dangau Kawa
4 perempuan yang duduk di bale-bale yang sama telah selesai sehingga mereka meninggalkan tempat tersebut. Namun tidak lama kosong, sepasang suami istri dan anak laki-laki berusia sekitar 4 atau 5 tahun menggantikan mereka. Anak laki-laki ini sangat aktif menghampiri tempat saya dan Jasman seperti penasaran ingin mengambil bika yang ada di depan kami sehingga ayah dan ibunya kewalahan meminta anak itu duduk diam di samping mereka. Saya tersenyum dan mengajak anak tersebut bercakap-cakap menanyakan nama dan usianya yang dijawab oleh ibu anak tersebut. Saya katakan ke orang tuanya, tidak apa-apa jika anaknya ingin mengambil kue bika kami, namun ibu dan ayah anak tersebut tidak setuju. Aktivitas anak laki-laki tersebut menjadi pemicu saya bercakap-cakap dengan kedua orang tuanya. Itulah ciri khas Indonesia, dimanapun keramahan tersebut selalu menyambut hangat saat kita memulai pembicaraan. Selesai menikmati kawa susu dan bika, saya dan Jasman melanjutkan perjalanan ke Bukit Tinggi. Saya sempatkan memotret hamparan sawah di samping dan belakang Dangau Kawa sebelum memasuki mobil kami yang parkir di halaman Dangau.

Menuju kota Bukit Tinggi
Sekitar jam 4 sore, saya dan Jasman tiba di Kota Bukit Tinggi. Kami melewati pasar bawah yang penuh sesak oleh lalu lalang manusia, para pedagang, mobil-mobil yang sedang parkir hingga angkot yang sedang ngetem sehingga mobil harus berjalan perlahan seperti saat macet di Jakarta. Kami melewati jalan depan rumah kelahiran Bung Hatta hingga tiba di pertigaan. Mobil belok kiri melewati pasar, mendaki ke puncak perbukitan Kota Bukit Tinggi. Karena belum memesan hotel, maka saya dan Jasman berkeliling mencari hotel atau losmen yang semuanya penuh karena akhir minggu sehingga banyak orang luar yang berlibur dan menghabiskan waktu di Bukit Tinggi. Kami akhirnya mendapatkan 1 kamar di hotel Embunsuri yang terletak sekitar 100 meter dari Jam Gadang.

Kesibukan Pasar Bawah Bukit Tinggi
Karena semua kamar sedang penuh, Saya dan Jasman mendapatkan kamar sederhana seharga 275 ribu rupiah per malam. Kamar tersebut dilengkapi 2 dipan berukuran 90cm x 200cm, kursi, meja, TV serta 2 botol air mineral. Kamar mandi dan toiletnya dilengkapi 2 handuk dan 2 sabun. Karena udara Bukit Tinggi yang cukup dingin, maka saya mengambil kamar tersebut dengan pertimbangan tidak memerlukan AC dan juga agak sulit mencari kamar yang benar-benar ideal bagi saya menghabiskan malam di kota ini. Tujuan utama saya sore ini adalah Jam Gadang tentunya. Daripada menghabiskan waktu mencari kamar hotel yang ideal, lebih baik waktu tersisa sebelum matahari menghilang dapat saya gunakan mengunjungi Jam Gadang.

Di belakang Jam Gadang
Selesai mandi dan ganti pakaian bersih, saya meninggalkan hotel menuju Jam Gadang. Sebagai orang Sumatera Barat yang telah sering ke Bukit Tinggi mengantar para tamunya, Jasman tidak tertarik mengikuti saya mengunjungi Jam Gadang sehingga kami berpisah sementara di hotel. Jasman ingin menghabiskan waktunya sendiri di tempat lain di kota tersebut sehingga saya sendirian akan menjelajah kawasan Jam Gadang di sore menjelang malam. Langit sedang berawan tebal dan rintik hujan menyertai perjalanan saya keluar hotel menuju Jam Gadang. Kesegaran udara sore pegunungan menyergap tubuh saat kaki saya melangkah keluar hotel. Dari gerbang hotel saya belok kiri menyeberangi pertigaan ke arah taman Bung Hatta. Selanjutnya saya menyusuri trotoar depan Taman Bung Hatta yang cukup bagus hingga tiba di dekat Jam Gadang. Sekali lagi saya perlu menyeberangi jalan guna tiba di kompleks Jam Gadang yang dipenuhi pengunjung dan para pedagang kaki lima. Tugu jam berwarna putih tersebut berdiri kokoh menantang langit dalam cahaya sore yang akan berganti malam. Saya meminta tolong sepasang kekasih yang sedang asyik berfoto disitu untuk memotret diri saya sebagai dokumentasi kenangan kunjungan saya ke Jam Gadang. Setelah itu, saya ganti memotret mereka kemudian saling mengucapkan terima kasih dan berpisah mengambil jalan masing-masing. Saya berjalan perlahan menikmati suasana dan mengamati kawasan sekitar Jam Gadang. Puluhan meter dari Jam Gadang berdiri berbagai toko yang mengitari Jam Gadang seperti huruf L. Pada salah satu sisi berdiri kompleks musem Bung Hatta yang dipisahkan jalan raya dengan komplek Jam Gadang. Sedangkan sisi lain menghadap ke kota Bukit Tinggi di bawah perbukitan. Di sebelah kanannya terhampar pedestarian dengan lebar sekitar 10 meter yang menghubungkan komplek Jam Gadang dengan jalan raya depan hotel Embunsuri - yang saya susuri salah satu bagiannya saat berjalan dari hotel ke Jam Gadang dan saat kembali dari Jam Gadang ke hotel.

Parkiran motor di kiri depan Jam Gadang
Rintik hujan tidak menyurutkan niat orang berlalu lalang, berfoto dan bahkan duduk-duduk di sekitar Jam gadang. Saya berjalan mengeliling tugu Jam Gadang dan meminta seorang fotografer lokal memotret saya beberapa kali. Saya kemudian berdiri menghadap ke kota Bukit Tinggi di bawah berbukitan menikmati pergantian sore ke malam hari berserta kerlap-kerlip lampu kota di kejauhan. Di sebelah kanan saya terdapat taman kecil yang diapit jalan raya dan pedestarian. Di sebelah kiri terdapat parkiran motor yang masih dipenuhi motor berbagai jenis milik para pengunjung. Berbagai kios souvenir berjejer di sekitar lokasi tersebut berseberangan dengan tempat parkir motor. Saya berjalan ke kios-kios tersebut mengamat-amati souvenir yang diperjualbelikan. Saya berhenti cukup lama di salah satu kios, melihat-lihat souvenir lalu memilih miniatur Jam Gadang dan rumah adat Minang
Jam Gadang menjelang malam
sebagai kenangan kunjungan saya ke ikon Bukit Tinggi tersebut. Saya bercakap-cakap dengan ibu penjualnya sambil tawar menawar. Si ibu menceritakan sejarah Jam Gadang, terutama puncaknya yang telah berganti 3 kali sesuai era kekuasaan pemerintah, yakni Belanda, Jepang dan Indonesia. Pada zaman Hindia Belanda, puncak Jam Gadang berbentuk kubah seperti kubah-kubah gereja di Eropa. Pada zaman Indonesia, puncak Jam Gadang berbentuk rumah adat Minang.

Selesai dari kios souvenir, saya berjalan ke pedagang cincin yang membuka dagangannya di emperan toko seberang kios souvernir tempat saya membeli miniatur. Saya ingin membeli cincin perak untuk menambah koleksi saya jika mendapatkan kecocokan harga. Penjual cincin menjelaskan bahwa cincin yang dijualnya bukan perak/silver melainkan tiruan halus yang terlihat seperti perak. Karena saya mencari perak/silver, maka penjual tersebut mengarahkan saya ke toko penjual kerajinan perak/silver yang terletak di blok lain di seberang jalan. Penjual cincin menginformasikan jalan yang harus saya tempuh ke tempat penjualan silver tersebut, yakni memasuki pasar depan kami lalu belok kiri di gang pertama yang saya termui. Saya mengucapkan terima kasih lalu berjalan memasuki pasar yang kios-kiosnya telah mulai tutup. Hanya beberapa gelintir yang masih buka,
Depan Jam Gadang
namun terlihat sedang bersiap menutupnya juga. Saat tiba di gang pertama yang saya temui, saya belok kiri berjalan menyusuri gang tersebut hingga tiba di sisi lain blok yang menjadi tempat penjual perak tiruan. Saya melihat deretan toko di seberang jalan sehingga saya menyeberang lalu menyusuri jalan tersebut menuju toko penjualan perhiasanya perak yang masih buka. Saya dilayani dengan ramah oleh seorang lelaki paruh baya yang tak bosan mengeluarkan dan memasukan kembali cincin-cincin yang ingin saya coba sampai mendapatkan 1 yang cocok dari segi ukuran dan desain. Selesai mengantongi  cincin perak seharga 350ribu rupiah tersebut, saya berjalan kembali ke Jam Gadang sebagai kompas bagi saya kembali ke hotel.

Malam telah sempurna saat saya berjalan kembali ke hotel. Saya menyusuri jalan yang telah saya lalui sore tadi saat berkunjung ke Jam Gadang. Trotoar dan pagar tembok setinggi lutut orang dewasa yang menjadi pembatas kompleks Jam Gadang dengan perbukitan di bawahnya masih ramai diduduki para sejoli yang sedang bermalam minggu maupun para pedagang oleh-oleh kaos Jam Gadang. Saya terus berjalan menyusuri trotoar tersebut ke arah hotel. Saya bertemu pedagang sate padang yang sedang membuka tenda jualan di pedestarian tersebut
Pedestarian penghubung jalan utama dan kompleks Jam Gadang
- berhadapan dengan Taman Bung Hatta. Saya memutuskan makan sate padang sebagai makan malam saya. Sambil makan saya bercakap-cakap dengan ibu dan anak laki-laki penjual sate padang tersebut. "sate saya merupakan cabang dari sate Mak Syukur di lembah Anai" canda ibu penjual sate. "wah saya makan di rumah makan sate Mak Syukur siang tadi" balas saya. Ternyata sate Mak Syukur dikenal hingga Bukit Tinggi yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan mobil dari tempatnya di lembah Anai. Saya beruntung telah mencicipi sate yang sangat populer tersebut.

Jam Gadang di malam hari





Bersambung...

Jumat, 08 Mei 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL WEST SUMATERA: Batu Batikam dan Istana Pagar Ruyung

Bersama anak sekolahan di depan Batu Batikam
"Foto-foto", teriak anak-anak SD berseragam pramuka ke saya saat mereka berhamburan memasuki kawasan cagar budaya Batu Batikam di Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar. Sambil tertawa lebar, saya meminta mereka berkumpul di prasasti batu alam yang dikenal sebagai Batu Batikam dalam legenda Minang. Saya meminta bantuan ibu penjaga tempat wisata tersebut memotret saya dan sekumpulan bocah yang tersenyum, tertawa dan berceloteh gembira. Jangan tutupin batunya, kata perempuan itu yang kemudian sibuk mengatur para bocah yang berebutan ingin foto bersama. Selesai berfoto dengan para bocah lelaki, saya menawarkan foto bersama antar anak-anak itu bersama para gurunya yang menemani mereka saat itu. Semua mengiyakan sehingga saya menjadi fotografer mereka mengabadikan momentum kunjungan saya dan mereka ke tempat tersebut.

Batu Batikam 
Batu Batikam berada dalam satu kompleks cagar budaya yang terletak di Kampung / Jorong Dusun Tuo, Desa / Nagari Lima Kaum, Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar. Kompleks cagar budaya seluas 1.800 meter persegi tersebut terletak di pinggir jalan raya yang terhubung ke lokasi Istana Pagar Ruyung.  Batu Batikam merupakan suatu batu andesit berwarna abu-abu gelap berbentuk hampir segitiga dengan lubang di tengahnya. Legenda setempat menceritakan bahwa lubang tersebut merupakan hasil tusukan / tikaman keris Datuak Parpatiah Nan Sabatang sebagai tanda mengakhiri pertikaian antara Datuak Parpatiah Nan Sebatang dengan saudara tirinya bernama Datuak Katamanggungan. 

Konon, Datuak Parpatiah Nan Sebatang dan Datuak Katamenggungan berasal dari rahim ibu yang sama dengan ayah yang berbeda. Ayah Datuak Parpatiah Nan Sebatang merupakan seorang aristokrat atau cerdik pandai, sedangkan ayah Datuak Katamanggungan adalah seorang otokrat atau raja berpunya. Kedua pemimpin tersebut bertengkar hebat pada masa hidup mereka karena berbeda pendapat tentang cara mengatur rakyat. Datuak Parpatiah menginginkan pengaturan yang demokratis, sedangkan Datuak Katemanggungan menginginkan pengaturan yang hirarkis atas ke bawah. Untuk
Anak-anak dan para guru mereka 
mengakhir pertengkaran sekaligus mencegah terjadinya perkelahian antar kedua bersaudara tersebut, keduanya bersama para tokoh adat lainnya melakukan musyawarah dan menyepakati pengaturan rakyat melalui penerapan dua sistem yang demokratis dan hirarkis secara bersama-sama pada suku masing-masing, yakni Koto Piliang dan Bodi Chaniago. Kesepakatan tersebut dimateraikan dengan cara menikam batu andesit menjadi prasasti / tanda peringatan bagi para keturunan mereka sampai dengan saat ini. Kesepakatan penerapan dua sistem pengaturan tersebut tercermin juga pada atap rumah gadang, yakni bagi suku yang menerapkan pengaturan hirarkis, atap rumahnya dibuat bertumpuk-tumpuk, sedangkan suku yang menerapkan pengaturan demokratis, atap rumahnya tidak dibuat bertumpuk. Saya  mendapatkan informasi tambahan tentang perbedaan atap rumah gadang (betumpuk dan tidak bertumpuk) suku-suku Minang dari guide di istana Pagar Ruyung. 

Di area Batu Batikam juga terdapat puluhan batu berbentuk kursi - menurut ibu penjaga situs, kursi-
Kursi-kursi batu mengelilingi Batu Batikam
kursi batu tersebut merupakan tempat duduk para datuk dan tokoh adat lainnya yang mengikuti musyawarah perdamaian Datuak Parpatiah Nan Sebatang dengan Datuak Katamanggungan. Di bagian belakang agak ke kiri dari jejeran prasasti batu peninggalan era neolitikum tersebut terdapat satu pohon beringin besar berdaun rimbun yang telah berusia ratusan tahun. Ranting dan daun-daun pohon beringin itu membentuk semacam kanopi / atap yang melindungi jejeran kursi batu dan Batu Batikam dari sinar matahari.
Kuburan Lima Kaum
Selain itu, dalam jarak sekitar 50an meter dari jejeran prasasti batu tersebut ke arah kiri terdapat 5 kuburan batu yang dikenal sebagai kuburan Lima Kaum yang menjadi nama Nagari / Desa yang menjadi lokasi cagar budaya Batu Batikam. Konon kelima kuburan tersebut merupakan kuburan keturunan Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katemanggungan. Sejarah dan cerita legenda Batu Batikam dan Kuburan Lima Kaum tertulis pada papan informasi yang terpasang dekat prasasti Batu Batikam dan juga di belakang papan nama cagar budaya Batu Batikam. Memasuki kawasan cagar  budaya ini tidak dipungut bayaran alias gratis. Namun saya memberikan donasi sebesar 20ribu ke perempuan penjaga yang telah merawat dan memelihara kawasan cagar budaya tersebut sehingga terlihat bersih, apik dan adem. Cagar budaya Batu Batikam tidak menyediakan tempat parkir, karena itu mobil saya dan Jasman serta 3 angkot yang digunakan rombongan anak SD bersama guru mereka diparkir berjejer di tepi jalan di luar kompleks cagar budaya tersebut.

Berpose di bawah pohon beringin berusia ratusan tahun
Setelah menikmati kawasan cagar budaya Batu Batikam dan legendanya sekitar 40 menit, saya dan Jasman melanjutkan perjalanan ke istana Pagar Ruyung di Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar. Dari lokasi Batu Batikam, mobil berjalan lurus menyusuri jalan beraspal mulus dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari Nagari Lima Kaum ke lokasi istana Pagar Ruyung di Tanjung Emas. Kami tiba sekitar jam 11.30 siang di jalan depan pagar istana. Jasman menurunkan saya di depan loket karcis di samping gerbang kompleks. Jasman membelokan mobil ke kanan menyeberangi jalan depan pagar istana ke tempat parkir di seberang jalan. Di tempat parkir tersebut bejejer puluhan kios souvenir yang membentuk huruf U. 

Depan istana Pagar Ruyung
Saya menghampiri loket tiket dan menyerahkan 20ribu rupiah ke perempuan muda berjilbab yang menjaga loket. Saya menerima tiket seharga 7ribu rupiah dan uang kembalian 13ribu rupiah. Saya berjalan ke pintu gerbang yang dijaga 4 security berseragam safari lengan pendek warna hitam. Saya menyerahkan tiket ke salah satu security yang menyobeknya menjadi dua lalu menyerahkan 1 sobekan ke saya sebagai bukti. Setelah meninggalkan para security lalu mulai memotret istana yang terlihat berdiri megah puluhan meter di dalam kompleks seluas 3,5 hektar. Saya terus berjalan melewati beberapa tangga dari gerbang menuju istana. Sebelum tiba di istana, saya dihampiri 2 badut - yang mana satu diantaranya mengenakan replika pakian adat perempuan Minang. Kedua badut ini menawarkan foto bersama dengan bayaran 5ribu rupiah untuk 3 foto.
Depan Istana Pagar Ruyung
Why not, pikir saya yang langsung mengiyakan ajakan mereka. Kami meminta seorang tukang foto keliling memotret kami bertiga yang bergaya di depan istana. Selesai dipotret, saya menyerahkan selembar 10ribu rupiah ke salah satu dari mereka dan meminta mereka membagi duit tersebut. Saya terus melangkah hingga tiba di tangga bangunan istana. Semua pengunjung diwajibkan melepaskan alas kaki di tangga istana. Saya melepaskan sepatu dan kaos kaki yang kemudian diambil seeorang petugas dan memasukannya ke dalam satu kantong plastik berwarna kehijauan. Untuk jasa tersebut, pengunjung diminta memberikan donasi sekedarnya dengan cara memasukan uang ke kotak donasi yang disediakan di tangga tempat sandal dan sepatu ditinggalkan. Donasi diberikan saat telah selesai mengunjungi istana lalu keluar mengambil sepatu atau sandal yang ditinggalkan dalam plastik yang dijaga 2 orang laki-laki. 

Istana Pagar Ruyung yang dibangun tahun 2007
Istana Pagar Ruyung merupakan bangunan berbentuk rumah panggung 3 lantai. Di depan pintu masuk lantai pertama tersedia meja registarasi yang dijaga 2 perempuan muda berjilbab. Saya menghampiri mereka dan mengisi buku tamu di atas meja yang dijaga kedua perempuan tersebut. "apakah bapak mau menggunakan jasa guide", tanya salah satu perempuan. Seperti melihat keraguan saya, temannya menambahkan "gratis pak, tidak perlu bayar lagi". Melihat saya tersenyum dan mengangguk, seorang laki-laki berpakaian rapi serta berkacamata menghampiri saya. Kami bersalaman dan berkenalan satu sama lain. Yose, kata laki-laki tersebut, Jo, balas saya. Kita mulai
Kamar istrahat Raja 
dari sisi ini, kata Yose mengarahkan saya ke sisi kiri lantai 1 istana. Kita berada di lantai 1 istana yang terdiri dari 3 lantai, lanjut Yose. Ruang di depan kita merupakan ruang istrahat raja, kata Yose menunjuk ke kamar di depan kami yang pintunya ditutupi 7 lapis kain dari depan pintu kamar hingga ke dalam. Lapisan-lapisan kain tersebut memiliki makna budaya terkait sejarah keberadaan kerajaan dan suku-suku di ranah Minang. Semua warna berbalut warna dan motif keemasan yang sangat dominan dalam budaya Minang.

Dari kamar istirahat raja, kami berpindah ke kamar tidur raja dan melanjutkan ke jejeran kamar-kamar anak perempuan raja yang telah bersuami hingga tiba di kamar bundo kanduang yang berhadap-hadapan / berlawanan arah dengan kamar istirahat dan kamar tidur raja. Semua kamar tersebut berjejer membentuk huruf U dimana pada sisi kiri istana ditempati raja, tengah ditempati anak-anak perempuan yang telah berkeluarga dengan urutan kamar anak sulung dekat ke kamar raja hingga anak perempuan termuda yang dekat ke kamar bundo kanduang. Di bagian tengah-tengah dari jejeran kamar anak-anak perempuan terletak singgasana berupa bantalan-bantalan kursi
Jejeran kamar anak perempuan yang telah menikah
yang diberi tirai di sisi kiri dan kanannya. Singgasana hanya ditempati oleh bundo kanduang, bukan raja karena sistem kekerabatan matrialkat / garis perempuan dalam adat Miang, kata Yose. Saya hanya mengangguk-angguk. Dimana kamar anak laki-laki, tanya saya ke Yose. Anak laki-laki tidak tinggal di istana. Semua anak laki-laki tidur dan beraktifitas di surau, jelas Yose. 

Kita ke lantai 2, ajak Yose. Kami menaiki tangga kayu berwarna coklat ke lantai 2. Berbeda dengan pengaturan di lantai 1, lantai 2 berbentuk aula tanpa kamar-kamar. Lantai 2 diperuntukan bagi anak-anak perempuan yang belum bersuami. Di ruangan inilah mereka melakukan aktivitas hariannya seperti menenum, bercengkrama,  makan dan minum. Dari lantai 2, kami
Singgasana Bundo Kanduang
meneruskan penelusuran ke lantai 3 yang mana ukuran ruangannya terlihat lebih kecil dari ruangan di lantai 2 dan lantai 1. Dalam ruang berdinding papan - yang telah diukir motif dan dicat warna-warna khas Minang, yakni hitam, merah dan kuning - terdapat pajangan beberapa pusaka kerajaan seperti tombak, pedang, senapan dan juga pistol buatan Belanda sebagai simbol adanya interaksi antara kerajaan Pagar Ruyung dengan Belanda pada masa lalu. 3 kursi berwana coklat yang terbuat dari paduan rotan dan kayu terlihat mengelilingi meja bundar yang terbuat dari kayu dan marmer putih. Menurut Yose, ketiga kursi tersebut merupakan replika tempat duduk 3 raja yang mengurus rakyat dan wilayah Minang, yakni Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadah. Ketiganya akan bertemu, berdiskusi dan mengambil keputusan-keputusan penting di lantai 3 istana yang menjadi tempat kediaman Raja Alam. Raja Adat dan Raja Ibadah tinggal di tempat lain di wilayah berbeda dalam wilayah kekuasaan kerajaan Pagar Ruyung. 

Dari lantai 3 kami kembali ke lantai 2. Sebelum turun ke lantai 1, saya berhenti sejenak di salah satu jendela lantai 2 untuk memotret pemandangan bukit dan sawah di belakang istana. Yose terus menemani saya. Itu contoh rumah gadang Koto Piliang dan Bodi Chaniago - 2 suku utama yang
Replika meja dan kursi rapat Raja Alam, Adat dan Ibadah
menjadi cikal bakal suku-suku di tanah Minang. Apa perbedaan kedua rumah adat tersebut, tanya saya. Atap yang disebut gonjong kedua rumah gadang itu berbeda. Atap bertumpuk seperti itu, kata Yose - sambil menunjuk rumah gadang dengan atap bertumpuk - merupakan lambang sistem pemerintahan adat secara hirarkis atau berjenjang dari atas ke bawah. Di sebelahnya, rumah gadang tanpa atap bertumpuk yang merupakan cerminan sistem pemerintahan demokratis di tanah Minang. Informasi Yose mengingatkan saya pada cerita ibu penjaga situs budaya Batu Batikam.

Kami melangkah meninggalkan lantai 2 ke lantai 1 melanjutkan kunjungan dapur yang terletak di bangunan terpisah di belakang istana. Dapur dan istana dihubungkan oleh semacam jembatan terbuka
Replika rumah gadang atap bertumpuk 
yang menjadi lorong atau koridor. Dapur terbagi menjadi 2 bagian, yakni tempat memasak di sebelah kanan saya atau sebelah kiri istana serta tempat menyiapkan makanan matang sebelum diantar ke dalam istana. Kedua bagian ini dipisah oleh lorong yang tersambung dengan jembatan/lorong ke istana. 

Dari dapur kami kembali ke depan guna keluar dari bangunan istana sekaligus saya mengambil kembali alas kaki yang saya titipkan di tangga masuk depan istana. Yose masih terus menemani saya dan menginformasikan bahwa di bawah lantai 1 disediakan sewa pakaian adat seharga 35ribu
Dapur istana
untuk pemotretan di dalam istana maupun kompleks istana. Karena saya tertarik ingin mencoba, Yose terus menemani dan mengantar saya ke kolong istana yang pintunya terletak di bawah tangga masuk ke istana. 

Istana Pagar Ruyung di Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat merupakan replika dari istana asli kerajaan Pagar Ruyung. Istana asli yang disebut Istana Si Linduang Bulan berada di bukit Batu Patah. Dalam sejarahnya, Istana Si Linduang Bulan juga telah mengalami beberapa kali pembangunan karena dibakar pada zaman perang melanda kerajaan Pagar Ruyung. Istana yang hancur dibangun lagi pada tahun1750, 1804 dan 1869. Istana yang telah dibangun kembali tersebut terbakar lagi pada tahun 1961. Pada tahun 1974, Gubernur Sumatera Barat memprakarsai
Depan istana Pagar Ruyung
pembangunan replika istana tidak jauh dari replika kedua yang ada saat ini. Replika pertama yang dibangun tahun 1974 -1975 tersebut terbakar pada tahun 2007, sehingga Pemerintah Daerah Sumatera Barat membangun replika baru yang disebut Istana Basa Pagar Ruyung yang sedang saya kunjungi saat ini. Saya menghabiskan 1 jam 20 menit di istana Pagar Ruyung mendapatkan pelajaran berharga tentang ranah Minang, mencoba pakaian adatnya lalu berkeliling memotret diri yang dilakukan oleh seorang tukang foto keliling di kompleks istana tersebut. Saya menutup kunjungan saya di istana
Depan istana Pagar Ruyung
Pagar Ruyung dengan mengambil sepatu saya sekaligus memberikan donasi ke kotak yang disediakan di tempat saya dan para pengunjung lain meninggalkan alas kaki mereka.

Bersambung ke Perjalanan ke Bukit Tinggi dan Jam Gadang..





JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...