|
Warung pinggir sawah dan jalan utama ke Bukit Tinggi |
"Sekitar 6km lagi, kita akan tiba di Bukit Tinggi", kata Jasman saat kami beristrahat di sore hari pada salah satu warung pinggir jalan utama yang menghubungkan Kabupaten Tanah Datar dengan Bukit Tinggi. Dangau Kawa atau Warung Kopi demikian nama warung yang kami singgahi guna menikmati "kawa" dan penganan tradisionalnya, seperti pisang dan singkong goreng, bika dan minuman kopi yang terbuat dari daun kopi yang disebut
kawa. Saya dan Jasman menunggu beberapa menit sebelum mendapatkan tempat duduk di bale-bale kayu di samping pintu masuk. Selain bale-bale, bangku-bangku dan meja-meja panjang dalam warung dipenuhi pengunjung laki-laki dan perempuan berbagai usia yang duduk berkelompok atau berpasang-pasangan menikmati berbagai penganan dan minuman yang disediakan warung.
|
Kawa susu dan bika |
"Pesan apa?", tanya salah seorang pemuda penjaga warung. Setelah bertanya pada Jasman, saya lalu memesan
kawa susu dan
bika (salah satu kue traditional khas Minang). Karena 1 porsi
bika terdiri dari 4 potong kue, maka Jasman hanya memesan kopi guna dinikmati bersama
bika.
Kawa susu saya disajikan dalam wadah yang terbuat dari potongan bambu sebagai pegangan dan batok kelapa sebagai tempat menampung minumannya. 4 potong
bika panas disajikan bersama
kawa susu tersebut.
Bika terbuat dari campuran tepung beras, kelapa parut dan gula berbentuk semi bulat dan dipanggang. Saya mengambil 1
bika mengigit perlahan menikmati kehangatan dan kegurihannya. Rasa manisnya seperti manis tebu alias tidak terlalu manis, rasa yang sangat saya sukai.
Kawa susu merupakan kopi yang terbuat dari daun kopi dicampur susu. Saat minum, rasa kopi terasa ringan bersama aroma dan rasa daun segar yang menghadirkan sensasi unik yang belum pernah saya temukan dalam penjelajahan saya ke berbagai pelosok Indonesia. Saya dan Jasman menikmati
kawa dan
bika sambil bercakap-cakap tentang berbagai hal, terutama tentang budaya Mining.
|
Persawahan di samping dan belakang Dangau Kawa |
4 perempuan yang duduk di bale-bale yang sama telah selesai sehingga mereka meninggalkan tempat tersebut. Namun tidak lama kosong, sepasang suami istri dan anak laki-laki berusia sekitar 4 atau 5 tahun menggantikan mereka. Anak laki-laki ini sangat aktif menghampiri tempat saya dan Jasman seperti penasaran ingin mengambil
bika yang ada di depan kami sehingga ayah dan ibunya kewalahan meminta anak itu duduk diam di samping mereka. Saya tersenyum dan mengajak anak tersebut bercakap-cakap menanyakan nama dan usianya yang dijawab oleh ibu anak tersebut. Saya katakan ke orang tuanya, tidak apa-apa jika anaknya ingin mengambil kue
bika kami, namun ibu dan ayah anak tersebut tidak setuju. Aktivitas anak laki-laki tersebut menjadi pemicu saya bercakap-cakap dengan kedua orang tuanya. Itulah ciri khas Indonesia, dimanapun keramahan tersebut selalu menyambut hangat saat kita memulai pembicaraan. Selesai menikmati
kawa susu dan
bika, saya dan Jasman melanjutkan perjalanan ke Bukit Tinggi. Saya sempatkan memotret hamparan sawah di samping dan belakang Dangau Kawa sebelum memasuki mobil kami yang parkir di halaman Dangau.
|
Menuju kota Bukit Tinggi |
Sekitar jam 4 sore, saya dan Jasman tiba di Kota Bukit Tinggi. Kami melewati pasar bawah yang penuh sesak oleh lalu lalang manusia, para pedagang, mobil-mobil yang sedang parkir hingga angkot yang sedang ngetem sehingga mobil harus berjalan perlahan seperti saat macet di Jakarta. Kami melewati jalan depan rumah kelahiran Bung Hatta hingga tiba di pertigaan. Mobil belok kiri melewati pasar, mendaki ke puncak perbukitan Kota Bukit Tinggi. Karena belum memesan hotel, maka saya dan Jasman berkeliling mencari hotel atau losmen yang semuanya penuh karena akhir minggu sehingga banyak orang luar yang berlibur dan menghabiskan waktu di Bukit Tinggi. Kami akhirnya mendapatkan 1 kamar di hotel Embunsuri yang terletak sekitar 100 meter dari Jam Gadang.
|
Kesibukan Pasar Bawah Bukit Tinggi |
Karena semua kamar sedang penuh, Saya dan Jasman mendapatkan kamar sederhana seharga 275 ribu rupiah per malam. Kamar tersebut dilengkapi 2 dipan berukuran 90cm x 200cm, kursi, meja, TV serta 2 botol air mineral. Kamar mandi dan toiletnya dilengkapi 2 handuk dan 2 sabun. Karena udara Bukit Tinggi yang cukup dingin, maka saya mengambil kamar tersebut dengan pertimbangan tidak memerlukan AC dan juga agak sulit mencari kamar yang benar-benar ideal bagi saya menghabiskan malam di kota ini. Tujuan utama saya sore ini adalah Jam Gadang tentunya. Daripada menghabiskan waktu mencari kamar hotel yang ideal, lebih baik waktu tersisa sebelum matahari menghilang dapat saya gunakan mengunjungi Jam Gadang.
|
Di belakang Jam Gadang |
Selesai mandi dan ganti pakaian bersih, saya meninggalkan hotel menuju Jam Gadang. Sebagai orang Sumatera Barat yang telah sering ke Bukit Tinggi mengantar para tamunya, Jasman tidak tertarik mengikuti saya mengunjungi Jam Gadang sehingga kami berpisah sementara di hotel. Jasman ingin menghabiskan waktunya sendiri di tempat lain di kota tersebut sehingga saya sendirian akan menjelajah kawasan Jam Gadang di sore menjelang malam. Langit sedang berawan tebal dan rintik hujan menyertai perjalanan saya keluar hotel menuju Jam Gadang. Kesegaran udara sore pegunungan menyergap tubuh saat kaki saya melangkah keluar hotel. Dari gerbang hotel saya belok kiri menyeberangi pertigaan ke arah taman Bung Hatta. Selanjutnya saya menyusuri trotoar depan Taman Bung Hatta yang cukup bagus hingga tiba di dekat Jam Gadang. Sekali lagi saya perlu menyeberangi jalan guna tiba di kompleks Jam Gadang yang dipenuhi pengunjung dan para pedagang kaki lima. Tugu jam berwarna putih tersebut berdiri kokoh menantang langit dalam cahaya sore yang akan berganti malam. Saya meminta tolong sepasang kekasih yang sedang asyik berfoto disitu untuk memotret diri saya sebagai dokumentasi kenangan kunjungan saya ke Jam Gadang. Setelah itu, saya ganti memotret mereka kemudian saling mengucapkan terima kasih dan berpisah mengambil jalan masing-masing. Saya berjalan perlahan menikmati suasana dan mengamati kawasan sekitar Jam Gadang. Puluhan meter dari Jam Gadang berdiri berbagai toko yang mengitari Jam Gadang seperti huruf L. Pada salah satu sisi berdiri kompleks musem Bung Hatta yang dipisahkan jalan raya dengan komplek Jam Gadang. Sedangkan sisi lain menghadap ke kota Bukit Tinggi di bawah perbukitan. Di sebelah kanannya terhampar pedestarian dengan lebar sekitar 10 meter yang menghubungkan komplek Jam Gadang dengan jalan raya depan hotel Embunsuri - yang saya susuri salah satu bagiannya saat berjalan dari hotel ke Jam Gadang dan saat kembali dari Jam Gadang ke hotel.
|
Parkiran motor di kiri depan Jam Gadang |
Rintik hujan tidak menyurutkan niat orang berlalu lalang, berfoto dan bahkan duduk-duduk di sekitar Jam gadang. Saya berjalan mengeliling tugu Jam Gadang dan meminta seorang fotografer lokal memotret saya beberapa kali. Saya kemudian berdiri menghadap ke kota Bukit Tinggi di bawah berbukitan menikmati pergantian sore ke malam hari berserta kerlap-kerlip lampu kota di kejauhan. Di sebelah kanan saya terdapat taman kecil yang diapit jalan raya dan pedestarian. Di sebelah kiri terdapat parkiran motor yang masih dipenuhi motor berbagai jenis milik para pengunjung. Berbagai kios souvenir berjejer di sekitar lokasi tersebut berseberangan dengan tempat parkir motor. Saya berjalan ke kios-kios tersebut mengamat-amati souvenir yang diperjualbelikan. Saya berhenti cukup lama di salah satu kios, melihat-lihat souvenir lalu memilih miniatur Jam Gadang dan rumah adat Minang
|
Jam Gadang menjelang malam |
sebagai kenangan kunjungan saya ke ikon Bukit Tinggi tersebut. Saya bercakap-cakap dengan ibu penjualnya sambil tawar menawar. Si ibu menceritakan sejarah Jam Gadang, terutama puncaknya yang telah berganti 3 kali sesuai era kekuasaan pemerintah, yakni Belanda, Jepang dan Indonesia. Pada zaman Hindia Belanda, puncak Jam Gadang berbentuk kubah seperti kubah-kubah gereja di Eropa. Pada zaman Indonesia, puncak Jam Gadang berbentuk rumah adat Minang.
Selesai dari kios souvenir, saya berjalan ke pedagang cincin yang membuka dagangannya di emperan toko seberang kios souvernir tempat saya membeli miniatur. Saya ingin membeli cincin perak untuk menambah koleksi saya jika mendapatkan kecocokan harga. Penjual cincin menjelaskan bahwa cincin yang dijualnya bukan perak/silver melainkan tiruan halus yang terlihat seperti perak. Karena saya mencari perak/silver, maka penjual tersebut mengarahkan saya ke toko penjual kerajinan perak/silver yang terletak di blok lain di seberang jalan. Penjual cincin menginformasikan jalan yang harus saya tempuh ke tempat penjualan silver tersebut, yakni memasuki pasar depan kami lalu belok kiri di gang pertama yang saya termui. Saya mengucapkan terima kasih lalu berjalan memasuki pasar yang kios-kiosnya telah mulai tutup. Hanya beberapa gelintir yang masih buka,
|
Depan Jam Gadang |
namun terlihat sedang bersiap menutupnya juga. Saat tiba di gang pertama yang saya temui, saya belok kiri berjalan menyusuri gang tersebut hingga tiba di sisi lain blok yang menjadi tempat penjual perak tiruan. Saya melihat deretan toko di seberang jalan sehingga saya menyeberang lalu menyusuri jalan tersebut menuju toko penjualan perhiasanya perak yang masih buka. Saya dilayani dengan ramah oleh seorang lelaki paruh baya yang tak bosan mengeluarkan dan memasukan kembali cincin-cincin yang ingin saya coba sampai mendapatkan 1 yang cocok dari segi ukuran dan desain. Selesai mengantongi cincin perak seharga 350ribu rupiah tersebut, saya berjalan kembali ke Jam Gadang sebagai kompas bagi saya kembali ke hotel.
Malam telah sempurna saat saya berjalan kembali ke hotel. Saya menyusuri jalan yang telah saya lalui sore tadi saat berkunjung ke Jam Gadang. Trotoar dan pagar tembok setinggi lutut orang dewasa yang menjadi pembatas kompleks Jam Gadang dengan perbukitan di bawahnya masih ramai diduduki para sejoli yang sedang bermalam minggu maupun para pedagang oleh-oleh kaos Jam Gadang. Saya terus berjalan menyusuri trotoar tersebut ke arah hotel. Saya bertemu pedagang sate padang yang sedang membuka tenda jualan di pedestarian tersebut
|
Pedestarian penghubung jalan utama dan kompleks Jam Gadang |
- berhadapan dengan Taman Bung Hatta. Saya memutuskan makan sate padang sebagai makan malam saya. Sambil makan saya bercakap-cakap dengan ibu dan anak laki-laki penjual sate padang tersebut. "sate saya merupakan cabang dari sate Mak Syukur di lembah Anai" canda ibu penjual sate. "wah saya makan di rumah makan sate Mak Syukur siang tadi" balas saya. Ternyata sate Mak Syukur dikenal hingga Bukit Tinggi yang berjarak sekitar 2 jam perjalanan mobil dari tempatnya di lembah Anai. Saya beruntung telah mencicipi sate yang sangat populer tersebut.
|
Jam Gadang di malam hari |
Bersambung...
mantab...petualang sejati
BalasHapuskalau saya sih, pasti sudah nyari souvenir khas dari daerah tersebut, buat kenang-kenangan :)
Bener banget... Saya beli souvenirnya :)
BalasHapus