Sabtu, 13 Februari 2016

JELAJAH JEPANG: OSAKA - Minoo Park

Minoo park di pagi hari
Keluar dari kereta di stasiun Umeda, saya harus berpindah  ke Hankyu Umeda Station di lantai dan sisi lain stasiun tersebut guna mendapatkan kereta Hankyu Takarazuka Line. Di peron 9 dan 10 telah tersedia rangkaian kereta warna merah maroon. Saya masuk ke kereta di peron 10 yang telah siap berangkat. Dari peta rute kereta yang saya peroleh di bagian informasi stasiun Umeda dan dari informasi online yang telah saya simpan di HP, saya akan turun dan berganti kereta di stasiun Ishibashi guna menuju stasiun Minoo. Waktu tempuh kereta dari stasiun Umeda ke Ishibashi sekitar 25 menit melewati beberapa stasiun lain.

Saya turun dan berganti kereta di stasiun Ishibashi, yakni berpindah ke kereta di jalur Hankyu Minoo
Minoo park di pagi hari
atau Hankyu Minoo Line. Stasiun Minoo hanya berjarak 1 stasiun dari Ishibashi (seperti dari stasiun Sudirman atau Cikini ke Manggarai di Jakarta). Total seluruh biaya yang dibutuhkan dari stasiun Umeda ke Minoo adalah 270 yen atau sekitar 31.000 rupiah sekali jalan. Karena saya menggunakan tiket terusan 1 hari seharga 1000 yen atau 120.000 rupiah yang berlaku di seluruh Osaka - yang telah saya beli siang hari saat akan ke Shitennoji, maka saya tidak perlu lagi membeli tiket di stasiun kedatangan dan keberangkatan (baca catatan perjalanan sebelumnya).

Saya turun di stasiun Ishibashi lalu berjalan mengikuti penumpang lainnya melewati lorong bawah tanah menuju peron sebelah. Di ujung lorong saya bertemu persimpangan yang memisahkan penumpang ke 2 jurusan berbeda. Saya mengambil jalur 2 di sebelah kanan mengikuti informasi tertulis di dinding lorong. Saya mendaki tangga menuju peron kereta di atas tanah. Saya muncul di sisi seberang stasiun Ishibashi yang berhadapan dengan peron tempat saya turun dari kereta yang telah membawa saya dari stasiun Umeda.

Minoo park di malam hari
Sekitar 5 menit menunggu di stasiun yang sepi dan sangat bersih tersebut, kereta berwarna maroon berhenti dan menurunkan semua penumpangnya alias kereta ini hanya melayani 1 stasiun yakni dari Minoo ke Ishibashi atau sebaliknya. Saya bersama para penumpang lain yang sedang menunggu di stasiun Ishibashi segera naik kereta tersebut yang tidak berapa lama telah berangkat ke stasiun Minoo. Dengan waktu tempuh sekitar 5 menit, kereta telah tiba di stasiun Minoo. Saya bersama penumpang lainnya turun dari kereta. Kami disambut udara dingin dan lampu-lampu tamaram stasiun dan sekitarnya. Hari telah malam di Minoo dan mungkin seluruh Jepang pada saat tersebut.

Depan stasiun Minoo di malam hari
Saya hanya perlu menempelkan tiket terusan di salah satu pintu berpalang di stasiun guna keluar dari stasiun menuju Minoo park. keluar dari stasiun saya melakukan orientasi lingkungan dengan berjalan-jalan di sekitar depan stasiun sambil memotret beberapa obyek menarik dalam pendaran cahaya lampu malam.

Jalan ke Minoo park di depan stasiun Minoo
Akses ke Minoo park tepat berada di depan stasiun Minoo. Keluar dari halaman stasiun yang terbuka - hanya dibatasi bangunan-bangunan lain yang berjejer di sepanjang jalan sekitar stasiun - pengunjung hanya perlu menyeberangi jalan raya depan stasiun lalu mulai menyusuri jalanan ke Minoo park. Jalanan Minoo park dijejeri kios-kios souvenir, snacks, hotel, restoran, pepohonan berbagai jenis dan kuil. Taman ini memanjang 3 km dari jalan depan stasiun hingga air terjun di perbukitan yang mengalir ke sungai Minoo di taman Minoo. Saat saya berjalan menyusuri jalan Minoo park di malam hari itu, saya bertemu ratusan orang yang berjalan berlawanan arah alias berjalan pulang menuju stasiun Minoo. Hanya beberapa orang yang terlihat berjalan searah saya di depan atau belakang menuju air terjun. Lampu jalan berwarna kekuningan menyala tamaram menerangi jalanan yang sedang saya susuri. Di lokasi tertentu, lampu-lampu tersebut sengaja dipasang menyoroti keindahan warna warni merah, kuning dan hijau dedaunan musim gugur. Kios-kios souvenir dan snacks terlihat mulai tutup. Saya mampir di salah satu kios yang masih buka dan menjual kue berbentuk daun maple. Penjualnya seorang lelaki paruh baya dan pemuda seperti ayah dan anak atau paman dan keponakan yang dengan ramah melayani para pembeli. Saya memilih sepotong kue panas berisi coklat sebesar telapak tangan. Saya meneruskan perjalanan menyusuri jalanan tamaram Minoo Park sambil menggigit dan mengucah pelan-pelan kue tersebut, merasakan kelembutan dan sensasi kenikmatannya.

Kios souvenir masih buka
Udara dingin sangat terasa, walau kerah jaket telah saya tinggikan guna menghangatkan tubuh. Semakin jauh dari stasiun Minoo, suasana taman semakin sepi. Hanya sesekali saya melihat beberapa orang di depan atau belakang yang sedang berjalan searah saya terus menuju air terjun di dinding perbukitan. Jarak antar bangunan juga semakin jarang dan jauh. Saya tiba di satu kompleks jejeran kios yang mulai tutup. Di kompleks ini tersedia toilet umum. Saya mampir menggunakan toilet yang masih buka tersebut. Selesai dari toilet, saya bertanya pada seorang ibu paruh baya yang sedang menutup lapaknya "apakah air terjun masih jauh", tanya saya menggunakan bahasa Inggris. "half way of your way from station" balas ibu tersebut. Saya bimbang apakah meneruskan perjalanan ke air terjun atau kembali ke hotel. Saya kuatir tidak mendapatkan kereta kembali ke hotel karena hari semakin malam. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya memutuskan memutar haluan berjalan balik ke stasiun Minoo.

Dalam perjalanan balik ke stasiun saya masih bertemu beberapa orang yang berjalan lawan arah menuju air terjun. Saya menjadi ragu-ragu apakah pulang ke hotel atau mengikuti orang-orang tersebut ke air terjun. Setelah berjalan bolak-balik dua kali di daerah tersebut, saya menguatkan tekad
Jalan dalam Minoo park yang sepi di malam hari
pulang ke hotel dan akan kembali ke Minoo park besok paginya. Stasiun sangat sepi saat saya tiba di peron menunggu kereta. Rasanya seperti jam 11 malam waktu Jakarta. Dari seorang petugas di stasiun tersebut, saya mendapatkan informasi jam layanan kereta Umeda - Minoo PP adalah sampai dengan jam 9 malam. Karena waktu menunjukan jam 8.20, maka saya tenang-tenang saja menunggu kereta di stasiun tersebut. Tak lama menunggu kereta tiba. Saya masuk ke kereta bersama beberapa orang lain. Kereta terasa kosong karena tidak membawa banyak penumpang.


Menu makan malam di stasiun Shin Osaka
Rute perjalanan balik sama dengan rute perjalanan saya dari Umeda ke Ishibashi lalu berganti kereta dan melanjutkan ke stasiun Minoo. Saat tiba di stasiun Umeda sekitar jam 9 malam, stasiun tersebut masih lumayan ramai oleh lalu lalang para penumpang kereta dari berbagai tempat. Mengikuti petunjuk yang terpampang jelas di dalam stasiun, saya dengan mudah menemukan peron kereta yang akan menuju stasiun Shin Osaka.

Saya sempatkan makan malam di salah satu resto di stasiun Shin Osaka. Karena restoran sangat ramai, maka saya harus menunggu beberapa menit untuk mendapatkan tempat. Setelah mendapat tempat, saya meminta menu yang ternyata ditulis dalam huruf Jepang. Karena itu, saya menunjuk salah satu contoh jenis makanan yang berada di lemari displai depan resto sebagai makanan yang saya pesan bersama secangkir teh panas. Kemungkinan hanya saya lah orang asing di restoran tersebut karena dari amatan saya semua pengunjung yang sedang asyik makan dan minum bercakap-cakap dalam bahasa Jepang. Kebanyakan pengunjung menikmati makan malam ditemani gelas-gelas besar bir. Orang Jepang ternyata peminum
Makan malam di stasiun Shin Osaka - ada nasi di bawah lauk
bir, batin saya. Saya menikmati makan malam berupa nasi dan potongan-potongan ikan mentah bersama sayuran yang dibumbui bumbu khas Jepang. Bumbunya terasa khas dan enak. Saya menikmati makanan tersebut hingga tak bersisa. Sekitar 30an menit saya habiskan di restoran tersebut. Setelah menyelesaikan pembayaran sekitar 100ribu rupiah, saya keluar dari restoran mengambil arah kanan menuju pintu Timur stasiun. Di ujung jalan dalam bangunan stasiun tersedia pilihan keluar dari stasiun menggunakan tangga atau lift. Saya memilih menggunakan lift karena kaki saya telah cukup pegal seharian berjalan ke berbagai tempat berbeda di  Osaka. Tiba di lantai dasar, saya keluar dari lift berjalan beberapa meter menuju jalan raya depan stasiun. Saya ikut antri di belakang 4 orang yang sedang antri di lampu merah guna menyeberang jalan. Setelah tiba di seberang, saya belok kanan menyusuri pedestarian yang telah sangat sepi menuju hotel Station Shin Osaka tempat saya menghabiskan malam ini di Osaka.

Kamar tidur di Hotel Station Shin Osaka
Saya bangun jam 5 subuh guna kembali ke Taman Minoo. Taman ini sangat terkenal diantara para turis dan penjelajah yang berkunjung ke Osaka. Saya kembali menyusuri rute perjalanan yang telah saya lakukan semalam hingga saya tiba di Minoo park pagi itu. Singkat kata, saya tiba di Taman Minoo saat hari masih sangat pagi sekitar jam 6. Udara dingin segar sangat terasa di taman yang tidak lagi sepi karena banyak pelari pagi atau pesepeda sedang menyusuri jalanan taman yang merentang sepanjang 3 km tersebut. Sesekali saya berhenti melakukan pemotretan. Saat hari semakin terang, keindahan dan keelokan warna warni dedaunan musim gugur terlihat nyata. Kebanyakan orang yang sedang berjalan, berlari ataupun bersepeda adalah laki-laki dan perempuan paruh baya atau orang-orang tua warga Jepang. Saya terus berjalan hingga tiba di jembatan berwarna merah yang menghubungkan satu kuil di ketinggian sisi jalan sebelah kiri saya dengan sisi kanan jalan. Saya menghabiskan waktu
Stasiun Shin Osaka di subuh hari
beberapa menit di tempat ini memotret beberapa obyek sebagai dokumentasi kunjungan saya di taman tersebut di pagi ini. Setelah itu saya memutuskan pulang ke hotel karena saya akan ke Hiroshima sebagaima talah saya jadwalkan sejak di Jakarta. Saat saya berjalan kembali ke stasiun, jam tangan saya menunjukan jam 7.50 pagi waktu Jepang. Saya tidak bisa melanjutkan perjalanan saya ke air terjun, karena keterbatasan waktu.  Suatu hari nanti saya akan kembali ke Osaka dan kembali menikmati keindahan Minoo Park dengan waktu yang cukup sehingga saya bisa tiba di air terjun.

Tiba di hotel, saya mandi dan ganti pakaian. Pakain kotor saya masukin ke kantong plastik lalu simpan ke koper bersama peralatan mandi. Barang-barang lain yang saya bawa telah saya bereskan semalam sehingga saya tidak menghabiskan waktu di pagi hari membereskan barang-barang bawaan. Tiba di lantai dasar, saya menuju resepsionis melapor check out. Sambil tersenyum ramah, resepsionis menerima kembali kunci kamar dan mengucapkan terim kasih dalam bahasa
Kereta di stasiun Minoo
Inggris sambil membungkuk kecil. "you are welcome", balas saya lalu berbalik dan berjalan ke ruang makan yang berhadapan dengan ruang resepsionis. Karena saya telah memesan jenis makan pagi saya kemarin (hotel menyediakan 2 pilihan sarapan, yakni sarapan khas Jepang atau khas Eropa. Saya  memilih sarapan khas Jepang), maka saya hanya menyerahkan kupon berbahasa Jepang ke pelayan melalui loket di dapur. Sambil  menunggu pelayan menyiapkan makanan utama, pelayan yang menerima kupon menggunakan bahasa Jepang dan  bahasa tubuh menunjuk ke 2 meja  dalam ruang makan tersebut. Kedua meja tersebut berisi perlengkapan makan pagi, roti, sup miso (sup khas Jepang) dan berbagai jenis sayuran bersama mayones untuk salad sebagai makanan pembuka.

Minoo park di pagi hari
Selesai sarapan, saya mengangkat peralatan makan yang saya gunakan dan menaruhnya di tempat yang telah disediakan. Saya tersenyum dan mengucapkan "arigato" kepada salah satu pelayan sambil sedikit membungkuk. Setelah itu, saya mengambil koper dan keluar hotel dari pintu depan menyusuri jalanan sepi depan hotel menuju stasiun. Tiba di stasiun, saya terus berjalan melewati gerbang ke peron-peron kereta dalam kota. Peron kereta Shinkansen terletak di sisi Barat yang telah saya lihat pada waktu kedatangan hari sebelumnya. Di ujung Barat bangunan stasiun saya belok kanan. Saya berjalan ke gerbang masuk peron Shinkansen yang dijaga 2 petugas  berseragam biru dongker. Saya  menunjukan JR Pass saya sambil menanyakan peron Shinkansen ke Hiroshima. Peron 22 kata salah seorang petugas sambil menunjuk eskalator berjarak sekitar 10 meter di depan kami.

Depan Shinkansen ke Hiroshima
Saya berjalan ke eskalator yang membawa saya ke peron di atas tanah. Informasi kedatangan dan keberangkatan kereta tersedia dalam 3 bahasa, termasuk bahasa Inggris. Kereta yang akan saya gunakan masih sekitar 20 menit lagi, namun karena saya akan menggunakan gerbong non reservasi, maka saya memilih berdiri di tempat antrian - yang kosong - bagi penumpang yang tidak reservasi kursi. Belajar dari pengalaman di stasiun Kansai (baca catatan perjalanan sebelumnya tentang Kansai - Stasiun Shin Osaka), saya hanya memperhatikan papan informasi digital yang menyajikan tulisan berwarna merah guna mengetahui jenis kereta, nomor, waktu tiba dan keberangkatan serta nomor gerbong reservasi dan non reservasi. Melihat saya berdiri di tempat antrian, para calon penumpang lain pun mulai mengantri di belakang saya dan juga tempat antrian lainnya. Saya telah siap menuju Hirsohima.

Bersambung...

Rabu, 03 Februari 2016

JELAJAH JEPANG: OSAKA - Tennoji, Kuil Shitenno dan Taman Morinomiya

Depan hotel Station Shin Osaka
Udara dingin di luar berganti suhu hangat saat saya memasuki ruang respesionis hotel Station Shin Osaka. Sepertinya hotel ini sekelas hotel Ibis budget di Jakarta dengan harga yang lumayan mahal karena saya harus membayar 1,3juta rupiah per malam. Hotel ini berjarak sekitar 200an meter dari stasiun Shin Osaka melalui Pintu Timur. Seorang lelaki dan perempuan muda di meja resepsionis tersenyum ramah menyambut saat saya menghampiri mereka dan menunjukan bukti bookingan saya bersama paspor. Selesai urusan administrasi check in dan pembayaran penggunaan kamar, saya menerima kunci kamar, namum belum bisa masuk karena kamar baru akan siap jam 2 siang. Hotel menyediakan ruang penitipan barang yang dapat saya gunakan. Saya mengambil peralatan mandi dari koper saya untuk membersihkan diri di toilet yang berada di sebelah ruang respsionis. Selesai membasuh muka, menyikat gigi dan ganti baju, saya menyerahkan koper kecil saya ke resepsionis yang mengambil alih dan menyimpan koper tersebut ke ruang penyimpanan di sebelah pintu masuk ke ruang makan pagi. Sekelompok turis dengan koper dan tas duduk menunggu giliran sepertinya akan check out.

Stasiun Osaka 
Saya keluar melalui pintu depan menuju jalan di depan hotel. Setelah mengambil beberapa foto di depan hotel, saya melangkah menuju stasiun Shin Osaka guna memulai jelajah saya di Osaka hari ini. Tempat tujuan pertama adalah Kuil Shitenno atau Shitennoji. Dari hotel, saya berjalan lurus mengikuti pedestarian yang bersih di samping jalan raya yang juga sepi. Setelah melewati lampu merah, saya menyeberang ke bangunan stasiun dan masuk dari Pintu Timur / East Gate yang lebih dekat jaraknya dengan hotel. Pintu ini berlawanan arah dengan Pintu Barat yang saya gunakan saat keluar stasiun menuju hotel (baca catatan sebelumnya). Dari peta yang diberikan hotel,  saya akan turun di stasiun Tennoji lalu berjalan kaki ke kuil Shitenno. Akses ke stasiun Tennoji menggunakan kereta non JR sehingga saya memutuskan membeli tiket harian yang saya gunakan di kereta non JR dan subway selama berada di Osaka. Setelah melewati palang pintu masuk, saya belok kanan mengikuti penunjuk arah papan digital di stasiun Shin Osaka. Menggunakan eskalator, saya turun satu lantai dan masuk ke dalam antrian menunggu kereta ke stasiun Osaka yang hanya berjarak 1 stasiun dari Shin
Antri menunggu kereta di stasiun Osaka
Osaka - seperti dari Manggarai ke Sudirman di Jakarta. Ratusan orang sedang berada dalam antrian dalam beberapa baris. Saya ikut masuk ke salah satu antrian menunggu kereta yang akan menuju stasiun Osaka. Saat tiba di stasiun Osaka, sekali lagi terlihat antrian manusia berjejer ke belakang menunggu kereta. Saya bertanya pada seorang petugas yang menjaga dan menggunakan speaker memberikan pengumuman dalam Bahasa Jepang. Dengan tersenyum ramah, petugas tersebut menunjuk jalur kereta tujuan saya. "Arigato" kata saya mengucapkan terima kasih dalam bahasa Jepang sambil sedikit membungkuk mengikuti gaya orang-orang Jepang. Saya masuk ke antrian lalu ikut masuk ke kereta saat kereta berhenti menurunkan penumpang yang turun di stasiun tersebut.

Gerbang Tennoji Park dan Resto tempat saya makan siang
Sekitar 10 menit dari stasiun Osaka, kereta yang saya tumpangi berhenti di stasiun Tennoji. Saya turun lalu bertanya pada seorang petugas dimana pintu keluar menuju kuil Shitenno. Petugas menunjuk ke atas sehingga sekali lagi saya menggunakan escalator naik satu lantai lalu belok kanan mengikuti penunjuk arah yang disediakan di lokasi tersebut yang membawa saya tiba di ujung lorong dengan tangga menuju lantai atas. Saya mendaki tangga tersebut yang membawa saya tiba di suatu ruangan terbuka dalam stasiun. Orang-orang terlihat keluar masuk dari 2 pintu ke ruangan tersebut. Sambil
Suasana depan Tennoji Park 
menunjuk tempat yang saya tuju di peta, saya bertanya pada seorang petugas kebersihan yang sedang bersih-bersih disitu. Petugas tersebut menunjuk pintu sebelah kanan. Setelah mengucapkan terima kasih, saya berjalan keluar dari pintu tersebut, setelah melewati beberapa anak tangga, saya tiba di jembatan penyeberangan orang (JPO) yang menghubungkan stasiun Tennoji dengan pedestarian seberang jalan dan beberapa bangunan di seberang stasiun. Tiba di pertigaan ujung JPO, saya ambil arah kanan lalu turun melalui tangga menuju pedestarian di jalan raya yang melewati dan memisahkan stasiun Tennoji dengan kawasan di sebelah jalan.

Suasana gerbang Tennoji Park 
Sekitar 100 meter dari JPO, saya tiba suatu kawasan terbuka di sebelah kiri saya yang sangat ramai. Banyak orang lalu lalang atau berdiri dalam kelompok-kelompok kecil di depan beberapa restoran yang berada di kawasan tersebut. Saya melihat papan informasi dan denah kawasan itu yang menyatakan kawasan tersebut merupakan gerbang Taman Tennoji - yang merupakan salah satu tempat wisata di Osaka. Karena
Makan siang di Resto Robert depan gerbang Tennoji Park
saya juga sedang lapar, saya memutuskan beristirahat di tempat tersebut sambil mencari makan siang. Saya ikut dalam antrian di salah satu restoran yang menyajikan menu makanan Jepang. Cukup lama saya harus menunggu giliran karena ramainya pengunjung di restoran tersebut. Saya menggunakan waktu tunggu dengan melihat-lihat dan memotret kawasan sekitar yang semakin ramai. Setelah mendapatkan tempat di restoran tersebut, saya memesan paket makan siang seharga 150an ribu rupiah, sudah termasuk minuman berupa teh berbagai pilihan aroma (panas atau dingin) yang bisa refill. "Enak banget makan makanan Jepang di Jepang, batin saya sambil makan. Bumbunya lebih terasa di lidah dibanding makanan Jepang di Jakarta yang menjadi salah satu makanan favorit saya.

Gerbang depan kuil Shitenno
Selesai makan siang, saya meneruskan perjalan ke kuil Shitenno - yang ternyata berjarak sekitar 1km dari stasiun. menggunakan GPS dan peta digital di handphone, saya berjalan lurus dari jalan depan pintu masuk Taman Tennoji hingga tiba di suatu perempatan besar. Dari perempatan tersebut saya menyeberang ke kanan lalu menyusuri jalan tersebut beberapa puluh meter hingga tiba di suatu pertigaan. Di pertigaan tersebut telah ada tanda panah dan nama kuil sehingga saya sekali lagi menyeberang lalu menyusuri jalan menuju gerbang kuil beberapa puluh meter dari pertigaan. Saya bertemu 2 perempuan pengunjung yang sedang foto-foto sekitar 10an meter di depan gerbang kuil. Saya minta
Gerbang depan kuil Shitenno
tolong salah satu memotret saya kemudian saya balas memotret mereka. Sebelum memasuki gerbang, saya mampir di tempat pembersihan diri yang terletak sekitar 10 meter sebelah kiri gerbang atau sebelah kanan saya. Mengikuti umat yang membasuh diri di tempat tersebut, saya menyendok air bersih yang tersedia menggunakan centong kayu yang juga telah disediakan. Saya kumur-kumur, membasuh muka dan kedua tangan saya. Setelah itu saya berjalan memasuki kawasan kuil melewati gerbang besar berwarna merah. Bangunan kuil juga berwarna merah sedangkan pagar pembatas dihiasi warna merah, putih dan hijau. Dalam kompleks kuil terdapat bangunan kuil dan
Tempat basuh wajah dan tangan depan gerbang kuil Shitenno
Pagoda yang dipisahkan jalan di antara kedua bangunan tersebut. Jalan tersebut menghubungkan gerbang depan dengan gerbang belakang sekaligus menjadi penghubung ke kuil, pagoda dan halaman. Bangunan kuil terletak di sebelah kiri saya / sebelah kanan gerbang masuk sedangkan Pagoda berada pada posisi sebaliknya. Karena Pagoda sedang direnovasi, maka saya tidak bisa memotret karena seluruh bangunan Padoga ditutupi selubung.

Saya melewati beberapa tangga kayu berwarna gelap menuju pintu bangunan kuil.  Saya berdiri sejenak di tangga bagian dalam guna menyesuaikan diri dengan  cahaya tamaran dalam kuil. Saat tiba di dalam, saya membaca tanda larangan memotret. Saya berjalan perlahan mengitari bagian dalam kuil melalui lorong yang memisahkan dinding kuil dengan tempat sembahyang di tengah kuil. Berapa umat terlihat sedang berdoa dipimpin seorang pendeta. Asap dan keharuman dupa menyebar di dalam kuil diiringi dentang lonceng yang ditabuh sang pendeta mengiringi doa-doa yang sedang dilantunkan. Saya terus berjalan perlahan sambil memperhatikan berbagai ornamen keagamaan berupa lukisan dan patung-patung. Saya tiba di pintu keluar yang bersebelahan dengan pintu masuk. Saya membungkuk hormat ke arah tempat sembahyang lalu berjalan ke luar.

Kuil Shitenno
Tiba di luar, saya belok kiri mengikuti jalan depan kuil menuju gerbang belakang melewati hamparan halaman berpasir dan kerikil halus seluas puluhan meter bersegi di samping belakang bangunan kuil dan pagoda. Kompleks kuil dengan pelataran terbuka belakang kuil  dipisah pagar. Hamparan di luar gerbang sebelah kiri dipenuhi jejeran para pedagang di sebelah kiri gerbang yang menjual berbagai jenis barang, termasuk jas, jaket dan keramik porselin berbagai jenis dan bentuk. Saya sempatkan memotret beberapa kali di pelataran tersebut lalu kembali mendaki tangga menuju gerbang belakang memasuki kawasan kuil menuju gerbang depan. Saya sempat berkeliling beberapa menit melihat-lihat dan memotret daerah sekitar gerbang depan. Setelah mengambil beberapa foto di gerbang luar kuil, saya terus menuju pertigaan dan menyeberang ke jalan yang telah saya lewati
Halaman belakang kuil Shitenno
sebelumnya. Saya menanyakan lokasi stasiun terdekat ke seorang pedagang buku yang menggelar dagangannya di pelataran salah satu bangunan di samping pertigaan tersebut. Pedagang tersebut menunjuk ke jalan seberang yang bersisian dengan jalan menuju kuil. Setelah mengucapkan terima kasih, saya kembali menyeberangi pertigaan tersebut menelusuri jalan raya yang ditunjuk pedagang itu. Stasiun bawah tanah yang saya datangi adalah stasiun Ebisucho yang berjarak sekitar 200an meter dari pertigaan alias lebih dekat dibandingkan jarak kuil ke stasiun Tennoji yang berjarak sekitar 1km. Di stasiun Ebisucho, saya mencari kereta ke stasiun terdekat ke Taman Istana Osaka yang berada dalam daftar
Jalan sepi ke stasiun Ebishucho dari kuil Shitenno
jelajah saya. Setelah mempelajari rute kereta pada peta yang saya bawa dari hotel, saya memutuskan naik kereta ke stasiun Sakaisuji Hommachi lalu berganti ke jalur Chuo line menuju stasiun Morinomiya yang berdekatan dengan Taman Istana Osaka sebagaimana terlihat di peta.  Karena saya memiliki tiket terusan selama 1 hari, maka gonta-ganti kereta menjadi mudah dan tidak menghabiskan waktu.

Waktu telah melewati jam 3 sore saat saya tiba di pintu keluar stasiun Morinomiya - yang terletak di atas tanah. Udara dingin segar menerpa kulit ku. Jalanan sangat sepi, namun di sebelah kiri saya dari pintu keluar terhampar suatu taman luas yang terlihat ramai dengan berbagai aktivitas pengunjung. Pohon-pohon dengan daun
Morinomiya Park 
warna-warni musim gugur, didominasi warna kuning kehijauan seperti berbaris rapi di taman tersebut. Guguran dedaunan dibiarkan apa adanya menguatkan kesan musim gugur saat itu. Orang-orang berbagai usia nampak lalu lalang di jalan-jalan taman tersebut. Ada yang sekedar berjalan-jalan menikmati suasana sore, ada yang lari dan ada yang bersepeda. Beberapa kelompok terlihat menyebar di sekitar air mancur taman yang terletak sekitar 50an meter dari tempat saya berdiri di dalam taman. Saya berkeliling sejenak mengambil beberapa foto serta memotret diri sendiri. Ternyata saya belum tiba di Taman Istana Osaka, karena taman tempat saya berada saat ini adalah Taman Morinomiya di pintu keluar stasiun Morinomiya. Karena hari telah sore, saya memutuskan tidak melanjutkan ke Taman Istana Osaka, karena saya ingin mengunjungi Taman Minoo atau Minoo Park yang berada di luar kota Osaka yang tentunya membutuhkan waktu yang lebih lama.

Morinomiya Park
Dari stasiun Morinomiya, saya menggunakan kereta rute berlawanan dengan kedatangan saya ke Taman Morinomiya. Saya turun di stasiun Homachi lalu berganti kereta ke stasiun Umeda. Umeda merupakan salah satu stasiun utama di Osaka yang menjadi stasiun transit bagi kereta-kereta dalam kota dan luar kota yang dikelola oleh beberapa perusahaan kereta berbeda. Stasiun ini dilengkapi mall 4 lantai dan juga supermarket - yang menyediakan berbagai kebutuhan, termasuk barang-barang international brands. Saya tidak ingin menghabiskan waktu di stasiun megah tersebut. Karena itu, saya mencari petunjuk arah ke peron stasiun kereta menuju Minoo Park. Setelah 2 kali kebingungan dan bertanya sekali ke kantor informasi di dalam stasiun, akhirnya saya berhasil menemukan rute jalan menuju peron kereta ke Minoo. Hari semakin sore, dimana gelap mulai menutupi Osaka dan seluruh Jepang pada sekitar jam 5.30 sore sehingga saat saya tiba di stasiun Minoo, hari telah malam.

Bersambung...



Sabtu, 23 Januari 2016

JELAJAH JEPANG: Airport Kansai ke Stasiun Shin Osaka

Memilih makan Jepang di Garuda 
Pesawat Garuda yang saya tumpangi mendarat mulus di Airport Kansai pada pagi hari tanggal 22 November 2015. Setelah parkir dan pintu dibuka, satu demi satu penumpang meninggalkan pesawat dan berjalan ke bangunan terminal - yang terlihat sepi dan kosong. Sepertinya Garuda dari Jakarta merupakan pesawat pertama  yang mendarat di Kansai pagi hari ini. Antrian pemeriksaan pasport tidak terlalu ramai. Seorang laki-laki tua mengenakan jas biru dongker tersenyum ramah dan menyapa saya menggunakan bahasa Indonesia "silahkan antri disini", senang dan terkejut saya mengucapkan terima kasih sambil mengangguk. Lelaki tua itu bergeser menyapa penumpang lainnya di belakang saya. Saya dengan tertib antri menunggu giliran pemeriksaan paspor - yang selesai dengan cepat sehingga saya bersama penumpang yang juga telah selesai - berjalan mengikuti tanda panah turun ke lantai dasar yang adalah tempat pengambilan bagasi. Setelah mengambil koper, saya bergegas ke toilet yang terletak beberapa puluh langkah di sebelah kiri saya guna menyelesaikan urusan belakang di pagi hari.

Airport Kansai
Bangunan terminal kedatangan terlihat sederhana dan sepi karena kebanyakan penumpang Garuda yang tiba bersama saya telah keluar dari ruang pengambilan bagasi. Saya bergegas melewati petugas jaga lalu belok kanan ke pintu keluar. Saya tiba di pelataran luar yang lebih ramai dengan berbagai kios / kounter seperti konter makanan, penjualan kartu telp, informasi dan penukaran uang. Saya sempatkan foto-foto di depan papan displai digital yang menampilkan ucapan selamat datang dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Saat saya berjalan menuju eskalator ke lantai atas guna keluar ke stasiun kereta, seorang lelaki paruh baya menghampiri saya sambil menunjukan lencana polisi di dompetnya. Lelaki itu dengan ramah dan tersenyum meminta paspor saya untuk diperiksa. Saya tidak langsung menyerahkan paspor karena kuatir ini hanyalah trik para pencopet sebagaimana saya baca di internet. Lelaki tersebut terus mendesak dengan ramah dan tersenyum sambil membungkuk-bungkuk beberapa kali berusaha meyakinkan saya bahwa dia adalah polisi, tanpa seragam polisi. Karena saya tidak ingin berlama-lama, saya mengambil paspor dan meyerahkan ke lelaki. Paspor saya dibuka dan dilihat sekilas kemudian diserahkan kembali sambil mengucapkan terima kasih dan membungkuk sekali lagi sebelum berlalu ke tempat lain di area tersebut. Saya sempat melongo sesaat lalu melangkah ke eskalator yang membawa saya ke lantai 1 di atas.

Bangunan stasiun Kansai
Tiba di lantai 1 yang merupakan pelataran terbuka, saya dengan mudah melihat penanda stasiun kereta dan kantor penukaran tiket JR Pass (baca catatan sebelumnya tentang persiapan jelajah Jepang) berjarak puluhan meter di sebelah kiri saya. Saya berjalan ke tempat tersebut melewati semacam jembatan penghubung antara bangunan terminal yang akan saya tinggalkan dengan bangunan stasiun di sebelah kiri saya. Bangunan stasiun yang saya masuki terdiri dari 2 bagian, sebelah kiri terdapat beberapa kantor, termasuk kantor penukaran JR Pass, sedangkan sebelah kanan merupakan pintu masuk ke dalam stasiun guna mengakses kereta Shinkansen milik perusahaan Japan Railway (JR) dan kereta dari perusahaan swasta lainnya (Jepang memiliki banyak perusahaan kereta yang menyediakan jasa transportasi kereta dalam kota, luar kota dan antar kota sehingga sering membingungkan bagi orang baru) serta subway atau kereta bawah tanah. Setelah saya mendapakan tiket JR Pass yang ditempelkan pada selembar kertas berwarna kehijauan (seperti kertas sertifikat hak milik atas tanah di Indonesia) selebar kartu listrik PLN era tahun 90an di Indonesia, saya keluar dan berjalan ke loket di sebelah jejeran palang elektronik pintu keluar masuk peron. Seorang petugas berseragam biru dongker dan bertopi hitam khas petugas kereta di film-film berjaga dalam loket sedangkan 1 lagi berdiri di pintu keluar masuk sebelah loket. Tiket JR Pass saya tunjukin ke petugas tersebut yang mengangguk dan membukakan pintu akses ke dalam stasiun, "which is the line to Osaka", tanya saya ke petugas tersebut. "right" jawab lelaki tersebut sambil menunjuk ke kiri saya. Dari pintu masuk saya berjalan beberapa meter lalu belok kiri menuju eskalator yang membawa saya ke peron kereta di lantai bawah. Ternyata "right" yang dikatakan petugas tersebut bener berada di sebelah kanan saya walau di pintu masuk posisi peron tersebut berada di sebelah kiri saya :).

Kansai dari atas Shinkansen
Sebelum kereta tiba, sambil menunggu saya memperhatikan orang-orang yang antri berdiri patuh di tanda-tanda panah yang disiapkan di lantai peron. Tanda panah mengarah ke rel disiapkan bagi antrian orang-orang yang naik, sedangkan tanda panah berlawanan disiapkan bagi orang-orang yang turun. Para penunggu kereta patuh antri satu per satu berjejer ke belakang pada tanda panah yang telah disiapkan. Papan elektronik menyediakan informasi digital dalam 3 bahasa, termasuk bahasa Inggris tentang stasiun tujuan, waktu serta nomor gerbong yang kursinya harus dipesan (reservasi) terlebih dahulu dan gerbong non reservasi. Saya ikut ngantri di bagian non reservasi lalu masuk ke kereta mengikuti orang di depan saya setelah penumpang yang turun semuanya keluar. Saya terkagum-kagum pada kereta yang berhenti dan pintunya tepat pada tanda-tanda panah yang telah disiapkan di lantai peron. Karena gerbong yang saya masuki tidak penuh, saya dengan mudah mendapatkan tempat duduk.
Kansai dari atas Shinkansen
Koper kecil saya (karena telah mendapatkan informasi online sebaiknya membawa koper kecil guna memudahkan mobilitas dan penempatan di loker stasiun, di kereta dan juga di kamar hotel) tempatkan di tempat bagasi di atas kursi saya. Semua informasi di dalam kereta tertulis dalam bahasa Jepang, sedangkan informasi lisan disampaikan dalam 3 bahasa, satu diantaranya bahasa Inggris. Sekitar 1 jam perjalanan dari Kansai, Sinkansen yang saya tumpangi tiba di stasiun Shin-Osaka (Shinkansen dari stasiun Kansai Hanya berhenti di 2 stasiun, satu diantaranya adalah Shin Osaka. Karena stasiun Shin Osaka menjadi stasiun transit bagi Shinkansen ke kota lain di Jepang, maka saya memilih mencari penginapan di sekitar stasiun Shin Osaka sehingga memudahkan saya berpindah dari Osaka ke Hiroshima yang merupakan kota tujuan saya setelah Osaka, sebelum Kyoto.

Menginap di hotel ini
Saat kereta berjalan perlahan memasuki stasiun Shin Osaka, saya melihat nama hotel yang telah saya booking terpampang jelas di luar stasiun, namun ternyata tidak mudah menemukannya saat saya telah tiba di stasiun. Keluar dari Shinkansen, saya mengikuti penumpang lain menggunakan eskalator ke lantai atas lalu masuk ke dalam bangunan stasiun - yang sangat megah dan sangat ramai. Nah, mulai bingung nie, pikir saya. Pintu keluarnya mana ya? pikir saya sambil memperhatikan ratusan manusia lalu lalang dalam stasiun. Saya berdiri merapat ke salah satu tiang lalu mengamati sekeliling saya sampai menemukan pintu keluar masuk yang disebelah kanannya (dari arah saya atau di sebelah kiri arah sebaliknya) terdapat loket (seperti di stasiun Kansai) yang dijaga 2 petugas di dalam dan 1 di luar. Saya memperhatikan beberapa orang keluar masuk melalui pintu yang dijaga petugas
Stasiun Shin Osaka
tersebut, sementara orang lainnya hanya menempelkan kartu di pintu-pintu palang elektronik setinggi pinggang (seperti di stasiun-stasiun komuter Jakarta) yang berjejer di sebelah loket tersebut. Beberapa dari mereka menunjukan tiket JR seperti milik saya ke petugas jaga. Saya berjalan ke loket tersebut dan menunjukan tiket JR saya lalu melewati petugas jaga yang hanya memperhatikan dan mengangguk.

Saya memilih belok kanan setelah melewati loket JR. Di kanan saya berjejer mesin-mesin penyedia tiket elektronik dan kantor penjualan tiket Shinkansen yang menempati areal cukup luas, sementara di kiri berjejer konter makanan berbagai jenis, snacks, kartu telpon dll. Cara orang-orang berjalan di tempat tersebut juga sepertinya telah diatur dengan sendirinya ke masing-masing sisi berbeda untuk arah berbeda sehingga tidak terjadi tabrakan di sisi yang sama karena orang dari arah berbeda berjalan di sisi yang sama. Saya terus berjalan hingga tiba di ujung bangunan stasiun dimana terdapat akses ke peron Shinkansen antar kota yang terletak di sebelah kanan saya, sedangkan di sebelah kiri saya merupakan dinding kaca
Salah satu resto di stasiun Shin Osaka
bangunan stasiun yang menjadi pembatas dengan ruang terbuka kawasan luar stasiun Shin Osaka. Saya celingukan di dinding kaca tersebut mencari-cara papan nama hotel Shin Osaka yang telah saya book dan terlihat saat kereta berjalan perlahan memasuki stasiun. Setelah melihat papan nama hotel, saya berjalan mencari pintu keluar yang ternyata terletak di lantai dasar sehingga saya sekali lagi menggunakan eskalator ke lantai dasar lalu keluar di areal parkir. Saya mengikuti beberapa orang yang menyeberang di sebra cross jalan yang menjadi pembatas areal parkir dengan ruang publik kawasan stasiun. Saya harus menyeberang 2 sebra cross menuju jembatan penyeberangan orang (JPO) ke jalan raya sebelah stasiun karena hotel yang menjadi tempat saya menginap di Osaka berada di sebelah rel yang dipisah pagar pembatas dari kawat serta jalan raya di sebelah pagar pembatas tersebut.
Kamar tidur di hotel Shin Osaka
Jembatan penyeberangan tersebut membawa saya ke pedestarian yang sangat rapi dan bersih sehingga memudahkan saya menarik koper kecil saya menuju hotel yang terletak sekitar 200an meter dari JPO - melewati 2 hotel lain di jalan yang saya lalui. Udara dingin sangat terasa di jalan yang juga sangat sepi. Hanya beberapa pejalan kaki dan pesepeda yang lewat di jalan tersebut. Tidak terlihat lalu lalang kendaraan di jalan tersebut, sampai saya tiba di hotel Station Shin Osaka - yang ternyata memiliki 2 hotel di daerah tersebut sehingga saya sempat nyasar ke hotel dengan nama sama, namun bukan yang saya pesan. Setelah melihat bukti pesanan saya, seorang perempuan penerima tamu dengan tersenyum ramah mengantar saya ke hotel yang telah saya pesan yang terletak beberapa puluh meter dari hotel dengan nama yang sama.

BERSAMBUNG..


Selasa, 15 Desember 2015

JELAJAH JEPANG: Persiapan Perjalanan

Jepang sama seperti Bali, kata seorang teman kantor. Sekali dikunjungi, kita akan jatuh cinta dan selalu ingin kembali ke sana. Benar kata-kata teman saya tersebut. Setelah mengunjungi Jepang pada tanggal 22 - 29 November 2015, masih banyak tempat menarik, indah dan elok yang harus dikunjungi dan dijelajahi di Jepang. Walau mahal, namun seperti kata orang "ada barang, ada harga". Jepang bagaikan magnet yang selalu menarik dan mengingatkan untuk kembali dijelajahi.

Saya telah lama mengagumi Jepang melalui karya-karya tulisnya maupun film. Saya menikmati novel Jepang seperti Samurai dan Taiko ataupun film seperti the last samurai. Menikmati novel dan film-film Jepang membawa saya ke suatu dunia berbeda dalam hal sejarah, budaya dan arsitektur baik kuil, istana hingga rumah rakyat biasa - sama seperti kekaguman saya atas sejarah, budaya dan arsitektur kuno Eropa dan Indonesia berupa rumah tradisional, istana, kuil dan candi.

Jepang berbeda dengan negara lainnya termasuk Indonesia. Jepang yang terkenal sebagai negara
dengan penduduk yang disiplin, pekerja keras dan super bersih memiliki akar budaya malu (harakiri) yang sangat kuat. Jepang memiliki sejarah kepahlawanan para samurai, kemisteriusan para ninja dan geisha. Jepang memiliki keindahan keelokan bunga sakura di musim semi, keelokan perubahan warna warni dedaunan di musim gugur serta keabadian salju gunung Fuji sepanjang masa. Karena itu, Jepang menjadi salah satu negara impian untuk dikunjungi dan dijelajahi, walau negara ini terkenal sangat mahal. Banyak orang Indonesia, termasuk saya memasukan Jepang dalam agenda kunjungan.

Karena ingin mengunjungi dan menjelajah Jepang, maka seperti yang saya lakukan dalam penjelajahan sebelumnya ke berbagai negara dan berbagai tempat di Indonesia, riset menjadi dasar penting merencanakan perjalanan dan penjelajahan saya. Menelisik informasi online tentang musim, penginapan jaringan dan sarana transportasi merupakan bagian dari persiapan perjalanan saya ke Jepang. Karena Jepang merupakan negara dengan 4 musim, maka pilihan waktu kunjungan sangat penting untuk mendapatkan sesuatu yang mengesankan. Dari riset online, banyak travelers dan juga web-web wisata Jepang menonjolkan kunjungan pada 2 musim, yakni musim mekar bunga Sakura di Maret dan April serta musim gugur - yang ditandai dengan perubahan warna-warna daun dari hijau menjadi kuning dan merah - yang terjadi sejak bulan September - awal Desember tergantung lokasi kota / tempatnya di Jepang. Karena musim gugur dari Timur ke Barat Jepang terjadi pada bulan berbeda, maka penentuan waktu kunjungan saya ke Jepang sangat tergantung pada tempat / kota mana yang akan saya kunjungi dan Jelajahi. Setelah menelisik berbagai informasi, saya memutuskan berangkat ke Jepang pada akhir bulan November 2015 guna menjelajah Osaka, Hiroshima, Miyajima Kyoto, Nara, Fuji dan Tokyo. Selain ingin menikmati keindahan dan keelokan perubahan warna dedaunan, tempat-tempat tersebut juga menyajikan keunikan sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lainnya.

Persiapan perjalanan ke Jepang saya mulai sejak Desember 2014. Selain mencari informasi awal di
internet tentang tempat-tempat yang akan saya kunjungi dan jelajahi, saya juga mengurus passport elektronik (E-passport) sehingga saya tidak perlu report mengurus visa masuk ke Jepang yang pastinya mensyaratkan berbagai hal. Kebetulan masa berlaku passport biasa saya tinggal beberapa bulan lagi akan berakhir sehingga saya langsung mengurus pembaruan paspor dari paspor biasa ke elektronik. Dengan menelisik website imigrasi, saya mendapatkan syarat-syarat pengurusan paspor elektronik. Walau biayanya lebih mahal, yakni 600 ribu rupiah dibanding paspor biasa, namun jika sudah punya paspor elektronik, banyak kemudahan lain yang diperoleh termasuk hanya memerlukan visa waiver saat berkunjung ke Jepang dalam periode 14 hari saja. Kunjungan ke Jepang dalam periode waktu lebih dari 14 hari harus mengurus visa biasa, walau telah punya paspor elektronik. Singkat kata, pengurusan paspor elektronik selesai dalam waktu 3 hari setelah semua persayaratan saya penuhi, termasuk foto di kantor Imigrasi Jakarta Selatan.

Setelah urusan paspor selesai, saya mulai mencermati promo berbagai maskapai ke Jepang. Akhirnya
pilihan saya jatuh pada Garuda yang mempromosikan tiket lumayan murah dibanding harga normal maskapai tersebut untuk rute Jakarta - Jepang. Dengan membayar sekitar 5juta 600 ribu rupiah saya telah mengantongi tiket PP Jakarta - Jepang. Karena saya telah memutuskan kota-kota yang akan saya kunjungi serta telah melakukan riset jarak antar kota dan alat transportasinya, saya memutuskan masuk melalui Osaka dan keluar melalui Tokyo. Dengan demikian, saya tidak perlu melakukan perjalanan bolak balik dari satu kota ke kota lainnya sekaligus mengefesienkan waktu kunjungan yang cukup terbatas. Untuk itu saya mengambil rute Jakarta - Osaka, Osaka - Hiroshima, Hiroshima - Miyajima - Hiroshima, Hiroshima - Kyoto, Kyoto - Nara - Kyoto, Kyoto - Tokyo, Tokyo - Fuji - Tokyo, Tokyo - Jakarta. Perjalanan ke Miyajima harus melalui Hiroshima sehingga saya memilih menginap di Hiroshima. Perjalanan ke Nara bisa dilakukan melalui Osaka atau Kyoto. Saya memilih melakukannya melalui Kyoto dengan memepertimbangkan waktu tempuh dan transportasi yang lebih mudah menggunakan JR Pass. Demikian juga perjalanan ke Fuji dapat dilakukan melalui Kyoto atau Tokyo. Saya memilih melakukannya melalui Tokyo dengan sekali lagi pertimbangan efesiensi waktu.

Setelah menentukan kota-kota yang akan saya kunjungi, persiapan berikut adalah penginapan. Jepang menyediakan 4 jenis penginapan, yakni hotel, apartemen, ryokan (penginapan tradisional khas Jepang) dan hotel kapsul. Setelah menelisik kelebihan dan kekurangan masing-masing penginapan tersebut, saya memilih menginap di hotel dan ryokan. Untuk itu saya memilih menginap di ryokan di
Kyoto, sedangkan di Osaka, Hiroshima dan Tokyo saya menginap di hotel biasa. Semua harga kamar di atas 1 juta rupiah - inilah salah satu yang menyebabkan Jepang dikenal sebagai salah satu negara termahal di dunia. Harga kamar ryokan rata-rata di atas 1 juta. Kecuali semi ryokan masih bisa diperoleh dengan harga di bawah 1 juta, itupun dengan jarak yang agak jauh dari stasiun utama yang memudahkan akses ke berbagai tempat menggunakan bis, kereta, metro dan subway. Namun karena saya memilih  semua penginapan dekat stasiun kereta dengan mempertimbangkan kemudahan akses dan efesiensi waktu maka kamar hotel dan ryokan yang saya pilih semuanya diatas 1 juta rupiah per malam karena dekat dengan stasiun utama, seperti stasiun Hiroshima, Kyoto, Osaka. Hanya di Tokyo, saya menginap di hotel yang jauh dari pusat kota, yakni di Kamata tapi jaraknya hanya sekitar 150 meter dari stasiun. Harga-harga kamar hotel dan ryokan yang saya gunakan tersebut merupakan harga termurah dari hotel dan ryokan di kelas yang sama atau lebih tinggi. Kelas hotel bintang 5 dengan harga kamar yang hampir sama dengan hotel bintang 3 berada di kota yang jarang dikunjungi turis, yakni Granvia di Hiroshima. Harga kamar hotel Granvia (bintang 5) di stasiun Hiroshima lebih murah dari ryokan Nishikiro di Kyoto - keduanya tidak menyediakan makan pagi, Jika ingin tambahan makan pagi, maka di Granvia dikenakan biaya tambahan sebesar 230an ribu per orang per malam - yang jatuhnya tetap lebih murah dari harga kamar tanpa makan pagi di Ryokan Nishikiro Kyoto. Karena kebanyakan penginapan dan resto hanya menerima uang cash, maka saya juga menyiapkan uang cash yen dengan cukup. Menukar rupiah ke yen di Jakarta tidak mudah seperti menukar dolar karena tempat penukaran uang hanya menyediakan sedikit yen. Untuk itu, saya harus menelpon terlebih dahulu atau mengunjungi beberapa tempat penukaran berbeda.

Setelah paspor, tiket pesawat dan kamar hotel selesai saya urus, hal penting lain adalah transportasi antar kota di Jepang. Dari riset online, saya mendapatkan informasi adanya fasilitas tiket kereta peluru (shinkansen) untuk 7 hari atau 14 hari yang disebut JR Pass. Setelah memperlajari dengan seksama, termasuk manfaat tiket paket tersebut. Karena saya hanya akan berada 8 hari di Jepang, saya membeli JR Pass yang berlaku selama 7 hari dengan pertimbangan pada hari terakhir saya bisa menggunakan tiket harian yang berlaku bagi turis di Tokyo. Setelah mengumpulkan dan menganalisis berbagai informasi online, saya membeli JR Pass di travel agent di Mid Plaza seharga 3 juta 600 ribu rupiah. Untuk membeli JR Pass tersebut, pembeli hanya perlu membawa paspor. Pembeli akan diberi voucher yang kemudian ditukar tiket JR Pass saat tiba di Jepang.

Persiapan berikut yang saya lakukan adalah mengurus visa waiver di Kedutaan Jepang. Pengurusan visa waiver sangat mudah. Saya datang pagi-pagi ke kantor kedutaan di Jl. Thamrin lalu ikut antrian yang  belum terlalu ramai. Tepat jam 8.30 pagi, security yang berjaga depan gerbang mengizinkan para pengantri memasuki kedutaan. Di pintu masuk, para pengunjung meninggalkan KTP atau SIM yang ditukar dengan kartu tanda masuk bagi pengunjung. Setelah melewati 2 pintu lagi, saya mengambil nomor antrian di mesin yang telah tersedia di ruang pengurusan visa waiver. Pada mesin antrian ini tersedia 2 bagian untuk pengurusan visa (A) dan pengurusan dokumen warga negara Jepang (B). Karena antrian tidak terlalu banyak, sekitar 15 menit kemudian saya telah dipanggil ke loket pengurusan visa waiver. Saya menyerahkan nomor antrian dan paspor kemudian menerima tanda terima dari petugas loket. Waktu pengurusan visa waiver ditentukan pagi hari, yakni jam 8.30 - 12. "Pengambilan paspor besok pagi dan dapat diwakilkan dengan membawa tanda terima" kata petugas loket. "Baik bu, terima kasih", balas saya lalu beranjak meninggalkan loket. Waktu pengambilan kembali paspor adalah siang hari jam 1.30 - 4.30 sore. Esoknya, saya kembali ke kedutaan Jepang mengambil kembali paspor saya yang telah diberi tulisan visa waiver yang berlaku selama 3 tahun untuk kunjungan dalam periode maksimum 14 hari.

Saya telah siap menjelajah Jepang...
Bersambung



Kamis, 10 Desember 2015

Perjalananan dan Pengalaman Jelajah Jepang: Osaka, Hiroshima, Miyajima, Kyoto, Nara, Fuji dan Tokyo

Jepang merupakan salah satu Negara termahal di dunia. Namun negara ini juga menjanjikan keindahan dan keelokan tersendiri sehingga banyak traveler memasukan Jepang sebagai salah satu negara yang harus dikunjungi paling tidak sekali.

Jepang sama seperti Bali kata teman saya. Sekali dikunjungi, maka selalu akan ingin kembali lagi. benar kata-kata teman saya tersebut. Setelah mengunjungi Osaka, Hiroshima, Miyajima, Kyoto, Nara, Fuji dan Tokyo pada tanggal 22 - 29 November 2015 menikmati perubahan warna dedaunan di musim gugur, saya ingin kembali lagi ke Jepang pada suatu saat nanti.

Kunjungan ke Jepang memberikan sejumlah pengalaman dan pembelajaran, antara lain:
1. Pengurusan visa bagi pemegang E-passport sangat mudah. Hanya perlu membawa passport, ambil nomor antrian, dipanggil, menyerahkan passport dan menerima tanda terima. Hari berikutnya saya telah bias mengambil visa waiver.
2. Sebelum berangkat saya telah membeli voucer Japan Railway Pass (JR Pass) paket 7 hari. Karena saya menjelajah Jepang selama 8 hari, maka hari terakhir saya menggunakan 1 day pass metro dan subway seharga 100 yen atau sekitar 120 ribu rupiah kurs saat itu. Voucer yang saya beli di Jakarta tersebut langsung saya tukar dengan tiker JR di Airport Kansai. JR Pass tersebut sangat berguna dan biaya transportasi menjadi lebih murah karena selain saya gunakan antar kota di Jepang, saya juga gunakan tiket yang sama di dalam kota untuk tempat-tempat wisata yang dilalui kereta JR. Misalnya Kyoto - Arashiyama PP, Kyoto - Fushimi Inara PP dll.
3. Kota-kotanya bersih dan cenderung sepi! Bebas sampah, bebas bau got dan  bebas hiruk pikuk mobil dan sepeda motor.. Hanya stasiun, terminal dan tempat wisata serta kuil yg penuh sesak dan ramai pengunjung..
4. Hanya ada sedikit mobil yg lalu lalang sehingga jalan2nya cenderung sepi dan lenggang;
5. Motor honda, suzuki, kawasaki dll produk jepang yg memenuhi jalan2 di Indonesia, tidak pernah terlihat di jalan2 Osaka, Hiroshima, Kyoto, Nara dan Fuji. Hanya ada 5 moge yg saya lihat di Tokyo selama 4 hari saya di kota tersebut.
6. Mobil dan motor tidak ada yg parkir di jalan dan gang-gang; hanya ada sepeda 󾌸.
7. Alat transportasi utama adalah kereta, bis dan sepeda. Keretanya terdiri dari Japan Railway/JR dan private company trains, Metro, Subway yg melayani rute dalam kota serta Shinkansen / kereta peluru yg melayani rute antar kota. Bis hanya ada 1 jenis seperti bis PPD non AC di Jakarta. Bis2nya bersih banget. Sopir2nya pake seragam. Tidak terlihat adanya beberapa jenis bis seperti di Jakarta (PPD, Metromini dan Kopaja) tidak ada jenis mobil angkot yg terlihat di jalan, gang pemukiman ataupun pendesaan.
8. Tiket kereta dan bisnya mahalllll banget dibandingkan Jakarta dan Indonesia. Tiket bis sekali jalan rata2 seharga ¥210 atau sekitar 21-23ribu rupiah. Kalo tiket kereta tergantung jarak. Jarak antar stasiun paling dekat (misalnya dari stasiun sudirman ke manggarai) harganya 20an ribu sekali jalan;
9. Selalu berdiri di sebelah kiri saat berada di escalator (tangga berjalan). Sebelah kanan untuk orang yg buru2 atau ingin lewat duluan.
10. Selalu antri dimanapun, termasuk di halte bis. Jangan berdiri berkerumum seperti di Jakarta. Bis hanya berhenti di halte2 yg telah ditentukan sesuai nomor masing2 bis.
11. Pengaturan rute / nama stasiun di Tokyo berbeda dengan Osaka, Hiroshima, Kyoto, Nara dan Fuji. Di Tokyo, nomor yg tertera di sign bord dalam kereta / subway / metro menunjukan waktu tempuh antar stasiun. Di kota2 lain, nomor menunjukan stasiun yg disinggahi..
12. Selesai makan, peralatan makan, termasuk tisu dll yg telah digunakan ditaruh ke tempat yg telah disediakan.
Jangan tinggalan peralatan yg telah digunakan di meja makan.
13. Sangat sedikit t4 sampah di t4 publik seperti stasiun, terminal, warung, tourist spots;
14. Selalu bawa kantong plastik ato kantong kertas tuk sampah sendiri sampe ketemu t4 sampah yg susah banget ditemukan 󾌸;
15. Kantong plastik hitam tidak pernah saya temukan di semua tempat yg saya jelajahi, bahkan kantong sampahnya terbuat dari plastik transparan sama seperti payungnya yg terkenal itu;
16. Jangan nyebrang walau sepi banget saat lampu masih berwarna merah dan harus selalu menyeberang di t4 yg telah ditentukan/diberi tanda. Tidak ada jembatan penyeberangan orang (JPO). Jalan dan bangunan, termasuk terminal dan stasiun semuanya dibuat ramah bagi orang tua, ibu hamil, anak2 dan kaum difabel;
17. Harga makanan, minuman dan transportasi mahalllll berkali lipat dibandingkan Jakarta (contoh air mineral ukuran botol aqua sedang seharga 3ribuan di Indonesia, harganya di jepang 11 - 15ribu; makanan paling murah yg pernah saya makan seharga 60ribuan rupiah terdiri dari semangkok kecil nasi dan beberapa irisan tipis daging sapi/babi kukus 󾍃.
18. Bawa koper kecil aja kalo mo jelajah jepang karena semua t4 penyimpanannya mungil2 󾌸, termasuk locker di sts n terminal, kamar tidur, kamar mandi, t4 tidur, bathtub, sikat gigi dll, termasuk tempat sampah dalam kamar hotelnya mungil banget. Semakin besar t4 yg dibutuhkan, harganya semakin mahal berkali lipat. Kalo mau bawa koper besar, siap2 aja repot sendiri di kereta, bis, escalator, kamar hotel, dll.
19. Selalu bawa tisu basah untuk cebok di toilet publik sept stasiun, terminal n t4 wisata. Semua toilet publik Jepang menggunakan cebok kering pake kertas doang 󾌸;
20. Mayoritas closet di t4 publik menggunakan closet jongkok Jepang (memanjang dgn lekukan ke atas. Digunakan dgn cara jongkok menghadap lekukan dan membelakangi pintu toilet 󾌸;
21. Semua tempat wisata, terutama kuil dan tempat2 terkenak di Jepang sangat penuh dan ramai pengunjung pada jam 9pagi hingga 6malam. Jika ingin dapat foto bagus sebaiknya bangun subuh dan telah ada di lokasi sekitar jam 7/8 pagi ato malam setelah jam 6. Kalau ga, pasti akan selalu ada pengunjung lain dalam foto2 kita 󾌸. Jika tidak ada pilihan, maka coba cari sudut2 yg hanya ada sedikit pengunjungnya 󾌸;
22. Jangan malu bertanya. Walau ada kendala bahasa, orang Jepang ramah dan sangat membantu saat kita menanyakan arah jalan atau alamat. Di beberapa tempat, org yg saya tanya bahkan mengantar saya hingga tiba di t4 yg saya cari..

Bersambung.....

Jumat, 02 Oktober 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL JAMBI: Menara Air, Mesjid 1000 Tiang dan Danau Sipin

Menara Air
Saya dan Nodi melanjutkan perjalanan dari Jembatan Makalam ke Menara Air / Water Tower peninggalan Belanda. bangunan berbentuk selinder tersebut menjulang tinggi puluhan meter dan bisa dilihat dari Jembatan Makalam maupun bagian lain Kota Jambi. Pada era kolonial Belanda, Menara ini terhubung dengan bangunan kantor di sebelahnya. Namun saat saya berkunjung ke tempat tersebut, bangunan Menara dan Kantor telah terpisah oleh satu jalan kampung. Keduanya terlihat tidak terawat lagi. Bangunan menara terletak dalam suatu kebun yang ditanami cabe dan umbi-umbian. Menara dilengkapi pintu dan tangga, namun pintunya terkunci sehingga saya tidak bisa masuk. Karena itu setelah mengambil beberapa foto, saya dan Nodi melanjutkan perjalanan ke Mesjid Al Falah atau lebih dikenal sebagai Mesjid 1000 pintu.

Mesjid 1000 pintu tanpak megah dan agung didominasi warna putih. Beberapa pengunjung lain sedang duduk-duduk di bangku-bangku halaman mesjid menikmati kemegahannya menjelang sore. Saya dan Nodi turun dari mobil berjalan
Mesjid 1000 Tiang
menghampiri mesjid tersebut. Karena saya non muslim, maka saya hanya mengamati dan mengagumi kemegahan eksterior dan interior mesjid dari batas pagar halaman. Selain pagar, sekeliling mesjid juga dibatasi dengan parit berisi air dengan lebar sekitar 1 meter. Saya dan Nodi memulai ekplorasi dan pengambilan foto dari bagian kiri mesjid dilanjutkan ke depan lalu ke kanan dan berputar ke belakang. Bagian kanan mesjid dilengkapi toilet dan tempat wudhu. Di halaman belakang terdapat 2 rumah yang berdiri terpisah dalam jarak puluhan meter. 1 rumah tepat berada di
Interior Mesjid 1000 Tiang
belakang mesjid sedangkan 1 lagi di belakang bagian samping sejajar bagian samping kanan yang digunakan untuk tempat wudhu, kamar mandi dan toilet. Dari halaman belakang, saya dan Nodi berjalan kembali ke bagian kiri lalu duduk sejenak menikmati keindahan dan kemegahan Mesjid 1000 tiang tersebut.

Saat hari semakin sore, saya dan Nodi mengarah ke Danau Sipin guna menikmati sunset di danau tersebut. Mobil mengarah ke kantor gubernur Jambi lalu belok kiri di pertigaan depan kantor Gubernur. Sekitar 1o menit kemudian kami tiba di tepi Danau Sipin. Nodi memutuskan menyusuri pinggiran danau ke arah hulu, namun perjalanan tersebut berakhir pada jalan buntu sehingga mobil diputar kembali ke gerbang penjualan tiket yang telah tutup. Setelah
Danau Sipin
mobil diparkir di pinggir jalan depan gerbang, saya dan Nodi turun dan berjalan menuruni bukit ke tepi danau terus menyurusi pinggiran danau ke daerah landai tempat perahu-perahu kecil menaikan dan menurunkan penumpang dari kampung di sebelah danau.

Sore ini saya kurang beruntung mendapatkan sunset yang saya inginkan di danau Sipin. Terlihat awan tebal bergerak mengiringi matahari yang secara perlahan terus bergeser ke garis horison barat. Saya mengalihkan perhatian saya ke aktifitas para nelayan dan pengemudi perahu penumpang di danau. Para nelayan setempat terlihat sibuk menangkap ikan dengan cara tradisional menggunakan jala berbentuk
Alat penangkap ikan tradisional di Danau Sipin
kurva yang diikatkan ke batangan bambu atau kayu yang diangkat dan diturunkan secara intens per 5 menit. Nelayan lain menggunakan perahu berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain di danau tersebut. Perahu-perahu penumpang hilir mudik antara 2 sisi danau mengantar dan menjemput penumpang karena sepertinya hanya perahu-perahu tersebut menjadi alat transportasi di danau tersebut. Saya dan Nodi menuju tempat perhentian perahu. Saya menyapa 2 pengemudi perahu yang terdiri dari seorang ibu dan seorang bapak paruh baya. Setelah ngobrol sejenak saya  meminta izin memotret. Perahu yang dikemudikan si ibu mendapatkan penumpang sehingga si ibu mulai mendayung perahunya ke sisi seberang danau. Saya mengajak Nodi menaiki perahu tersisa dan meminta pengemudinya mengantar kami ke seberang
Ibu pengemudi perahu
danau guna melihat penduduk di seberang. Para ibu sedang sibuk mencuci di pinggiran danau saat kami tiba di seberang. Saya dan Nodi turun dan berjalan melewati mesjid di pinggiran danau menuju satu kios yang terletak sekitar 20an meter dari mesjid. Kebanyakan rumah penduduk masih berupa rumah panggung tanpa pagar pemisah antar halaman. Terlihat beberapa lelaki sedang duduk santai di bawah pohon mangga di halaman satu rumah panggung. Saya tersenyum dan mengagguk ke arah mereka sambil terus berjalan ke arah kios. Setelah memembeli minuman, saya dan Nodi kembali ke tepi danau mengamati matahari yang semakin hilang ditelan awan tebal. Saya mengambil beberapa foto lalu meminta Nodi melambai ke pengemudi perahu guna menjemput dan mengantar kami kembali ke seberang.
Jembatan Makalam di malam hari

Malam telah turun saat saya dan Nodi kembali ke Hotel. Nodi mengajak saya mampir di Jembatan Makalam dan Mesjid 1000 Pintu guna melihat perbedaannya di waktu siang dan malam. Keduanya, jembatan dan mesjid terlihat sangat indah di malam hari karena pendar lampu-lampu yang menyinari kedua ikon kota Jambi tersebut. Dari kedua tempat tersebut, saya dan Nodi mampir makan malam di satu resto lokal bernama Terang Bulan. Nodi mengajak saya mencicipi makanan khas resto tersebut, yakni mie yang terbuat dari tepung ikan :). Penjelajahan dan eksplorasi kota Jambi
Mesjid 1000 Tiang di malam hari
berakhir dengan tibanya saya di hotel mengistirahatkan tubuh menanti hari esok guna kembali ke Jakarta.


Jumat, 11 September 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL JAMBI: Museum Negeri Jambi, Museum Perjuangan, Pasar Keramik dan Jembatan Makalam

Jembatan Makalam
"Kita cari makan dulu saat tiba di Kota Jambi", kata saya ke Nodi saat kami dalam perjalanan balik dari Muaro Jambi ke Kota Jambi. "Bapak ingin makan apa", tanya Nodi membalas. "Makanan khas Jambi", kata saya. Kami melewati jalan yang sama saat kembali ke Kota sekitar jam 12 siang. Sekali lagi kami melewati jembatan Aur Duri II dengan kanopi anyaman baja yang terlihat megah menaungi jembatan dan jalan di bawahnya. Kami terus bercakap-cakap sepanjang jalan hingga kami tiba di restoran Bi'Cik namanya. Retoran ini beratap rumbia dengan dinding setengah terbuka. Saat saya dan Nodi telah duduk didalam restoran tersebut terasa sejuk tanpa penggunaan AC di siang terik itu. Sebagaimana layanan di restoran Padang, restoran Bi'Cik juga memberikan layanan dengan
Jembatan Aur Duri II
menghidangkan hampir semua jenis makanan yang dijualnya. Walau demikian, saya memesan ikan gabus pindang - yang kata Nodi merupakan salah satu makanan khas Jambi. Karena ikan merupakan salah satu menu favorit saya, maka menikmati ikan gabus pindang itu sesuatu banget bagi saya saat itu. Kami menghabiskan waktu sekitar 45 menit di restoran ini untuk makan siang sekaligus beristirahat sebelum melanjutkan ke tempat kunjungan lainnya.

"Kita ke museum Negeri Jambi terlebih dahulu karena lebih dekat jaraknya dari restoran ini",  kata Nodi saat kami telah kembali ke mobil. "okay saja, kamu yang memimpin karena telah mengetahui Jambi", balas saya. Saat tiba di museum, sepertinya hanya kami pengunjung saat itu. Nama yang tertulis adalah Museum Siginjei, bukan Museum Negeri Jambi seperti dikenal publik. "Namanya telah diganti", kata Nodi menjelaskan ke saya tanpa saya tanya saat kami tiba dan saya memotret nama museum di atas pintu masuk. Saya hanya mengangguk dan terus melangkah masuk ke bangunan museum. Di dalam petugas loket sedang bercakap-cakap dengan seorang pedagang minuman yang terlihat membawa minuman dingin berbagai jenis dan meletakannya di meja jaga. Saya membeli 2 tiket masuk seharga 2000 per tiket. Museum ini menyimpan berbagai koleksi dan informasi tentang jambi, antara lain informasi tentang candi-candi Muaro Jambi, rumah adat, alat pertanian dan perikanan, flora dan fauna serta pembuatan batik Jambi. Semuanya ditata rapi dan dipamerkan di 3 lantai gedung museum tersebut. Saya dan Nodi mulai dari lantai dasar sebelah kiri. Di pintu masuk ruangan terlihat 1 harimau Sumatera dalam kotak kaca yang telah dikeringkan. Dari lantai 1, kami beralih ke lantai 2 lanjut ke lantai 3 kemudian turun dri sebelah kanan yang mengantar kami ke suatu ruangan lain di lantai dasar sebelah kanan.
Salah satu ruangan Museum Negeri Jambi
Ruangan ini diberi karpet merah dan para pengunjung harus melepaskan alas kakinya saat akan memasuki ruangan tersebut. Saya dan Nodi menghabiskan sekitar 1 jam di museum ini lalu kembali ke mobil di tempat parkir. Dari museum Negeri Jambi, kami beralih ke Museum Perjuangan Rakyat Jambi yang terletak sekitar 5 menit dari museum Negeri Jambi.

Museum Perjuangan juga sepi saat kami memasuki pintu depan. Hanya seorang petugas dan seorang security sedang nonton tv di ruang depan dalam jarak beberapa meter dari meja karcis. Petugas karcis meninggalkan tv dan mengambil 2 lembar karcis masing-masing seharga 2 ribu rupiah sehingga saya membayar 4ribu rupiah bagi saya dan Nodi. Sebelum berkeliling ke dalam museum, saya sempatkan meminta petugas untuk foto bersama saya di depan patung
Museum Perjuangan
seorang tokoh setempat yang diapit 2 ekor singa. Museum ini terdiri dari 3 lantai yang semuanya memamerkan informasi dan foto-foto terkait perjuangan rakyat dan para elit setempat sebelum perang kemerdekaan, dalam perang kemerdekaan sampai dengan pembangunan provinsi Jambi. Kedua sisi dinding lantai pertama dipenuhi foto, lukisan, informasi tertulis hingga bentuk-bentuk senjata seperti keris, senapan dan pistol. Lantai kedua diisi oleh diorama, terutama tentang perlawanan rakyat Jambi di berbagai tempat terhadap Belanda. Lantai 3 diisi dengan dokumen-dokumen dalam kotak-kotak kaca, foto dan informasi pembangunan rumah-rumah ibadah seperti mesjid, gereja dan vihara di Jambi. Salah satu dinding yang menghadap ke tangga dihiasi foto-foto para gubernur Jambi sejak era kemerdekaan sampai dengan yang terbaru di tahun 2015.

Pasar Keramik
Selesai dari Museum Perjuangan, kami beralih ke Pasar Keramik. Pasar ini tersembunyi dalam gang-gang ruko. Sepertinya hanya orang Jambi yang mengetahui lokasi Pasar Keramik ini. Nodi memarkir mobil di jalan yang diapit oleh ruko-ruko tua. Nodi membaya saya memasuki satu gang yang depannya ada warung tenda berwarna biru. Saya dan Nodi berjalan sekitar 20an meter menyusuri gang tersebut. Saat tiba di ujung gang yang kami susuri, gang tersebut terhubung dengan gang-gang lain yang dipenuhi jejeran kios yang didominasi barang dagangan keramik aneka bentuk dan warna dari Cina. Saya dan Nodi masuk keluar beberapa kios melihat-lihat sekaligus mencari souvenir yang bisa saya beli. Akhirnya saya mendapatkan 3 souvenir berbentuk pot dengan hiasan berbeda-beda, berwarna keemasan yang
Pasar Keramik
dilapisi pasir halus krem. Kami menghabiskan sekitar 1 jam di pasar ini berpindah dari satu kios ke kios lain mengamat-amati keramik-keramik yang dijual maupun mengamati para pengunjung lain yang hanya sekedar berjalan-jalan atau sedang tawar menawar barang yang ingin dibeli.

Enaknya punya pemandu lokal seperti ini. Saya dibawa Nodi ke Pasar Keramik yang tidak saya ketahui informasinya melalui internet. Dari Pasar Keramik, Nodi mengajak saya mengunjungi Jembatan Makalam, yakni jembatan yang menarik karena gaya arsitektur dan warna catnya. Saya mengiyakan saja, karena ternyata Pasar Keramik yang tidak ada dalam agenda saya cukup menarik dikunjungi atas ajakan Nodi. Namun saya juga ingin melihat Klenteng Hok Tek yang telah dijadikan benda Cagar Budaya oleh Pemerintah Daerah Jambi. "Kita akan melewati jalan depan Klenteng saat ke Jembatan Makalam sehingga kita bisa mampir, kata Nodi. "Sipp", balas saya. Sekitar 5 menit bermobil dari Pasar Keramik, Nodi memarkir mobil di pinggir jalan dan menunjuk satu bangunan mungil bercat putih
Klenteng Hok Tek
dalam pagar terkunci di tepi sungai. Pagar tembok yang mengeliling Klenteng dibangun setinggi Klenteng sehingga orang yang tidak memiliki tujuan ke tempat tersebut, pasti tidak akan menyangka adanya klenteng dan cagar budaya tersebut. Karena tidak bisa masuk (gerbang terkunci dan tidak ada petugas jaga), saya hanya bisa mengambil beberapa foto dari luar pagar tanpa bisa melongok isi Klenteng berwarna putih dengan aksen merah dan hijau tersebut.





Jembatan Makalam
Dari Klenteng Hok Tek, kami menuju Jembatan Makalam - yang terlihat indah bagi saya. Kata Nodi, jembatan ini sering digunakan untuk foto pre wedding, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Mungkin benar, karena warna dan arsitektur jembatan tersebut seperti warna dan arsitektur di kuil atau klenteng yang didominasi warna-warna merah. Dinding jembatan terbuat dari ratusan tiang kecil berbentuk seperti pion-pion permainan bowling yang semuanya dicat merah, sedangkan bagian pemisah diberi warna hitam. Nama jembatan ini berasal dari nama Gubernur pertama Jambi yang memerintah tahun 1946 - 1948. Jembatan selesai dibangun pada tahun 2010 dengan panjang 500 meter dan lebar 10 meter melintasi sungai Batanghari yang merupakan alternatif penghubung jalan Makalam lama ke Simpang Kapuk. Setelah melihat-lihat dan memotret beberapa bagian jembatan tersebut, termasuk memotret Menara Air dari kejauhan, saya dan Nodi kembali ke mobil. Kami meneruskan perjalanan ke Menara Air - yang merupakan bangunan peninggalan Belanda. "Kita balik lagi ke sini saat malam sehingga bisa lihat perbedaan jembatan ini di waktu siang dan malam", kata Nodi saat kami beranjak meninggalkan Jembatan Makalam.

Bersambung...



JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...