Mentari pagi mengintip dari balik awan tebal |
Pesawat Singapore Airlines melayang-layang di atas langit Beijing sekitar jam 6 pagi waktu setempat tanggal 31 Agustus 2016. Langit tertutup rapat gumpalan awan putih kelabu seperti hamparan rumput di dataran savana padang-padang lahan kering di NTT dan NTB. Seumur hidup, saya baru pernah melihat hamparan awan yang menutup rapat dataran di bawah seolah menjadi dinding horisontal pemisah bumi dan langit. Pilot mengumumkan pesawat yang saya tumpangi dari Singapura akan mendarat sekitar 30 menit lagi di Beijing International Airport. Sebelum pesawat menukik turun melewati hamparan awan tebal itu, langit pagi sedikit tersibak bagaikan tirai jendela yang disibak beberapa senti oleh tangan gaib untuk memberikan waktu bagi mentari pagi memaparkan senyuman jingga emasnya yang seolah menyapa dan menyambut ramah perjalanan jelajah saya ke Beijing. Hanya beberapa menit kemudian, sang mentari pagi kembali menghilang dengan kembali tertutupnya tirai langit Timur.
Dataran Beijing dari jendela pesawat |
Setelah melewati sekat awan horisontal, pemandangan di bawah langit berubah dengan kehadiran hamparan lahan yang ditumbuhi berbagai jenis tanaman, aliran sungai bagaikan liukan ular raksasa dan juga jalan-jalan yang cukup lebar dan lenggang serta bangunan-bangunan vertikal dan barisan pegunungan di horison bersama balutan kabut pagi menunggu matahari pagi menyapa hangat. Pesawat Singapore Airlines yang saya tumpangi terus bermanufer mendekati bandara yang mulai nampak samar dari ketinggian hingga mendarat mulus 20an menit kemudian. Pesawat sempat berhenti sesaat dalam perjalanan ke tempat parkir karena menuggu antrian sebagaimana diumumkan pilot sambil meminta maaf. Dari jendela pesawat saya melihat kabut menyelimuti bandara yang cukup luas dan sepi. Setelah berada dua hari di Beijing baru saya tahu bahwa kabut yang selalu menggantung di langit Beijing adalah polusi udara yang sangat parah. Polusi udara itu telah mengakibatkan banyak penduduk Beijing menderita penyakit radang tenggorokan dimana mereka selalu berdahak dengan keras di tempat-tempat publik saat saya menjelajah berbagai tempat di kota tersebut.
Beijing international airport |
Setelah pesawat parkir di tempat yang ditentukan, para penumpang dipersilahkan meninggalkan pesawat melalui 2 pintu berbeda yang membawa para penumpang ke bangunan terminal. Saya mengikuti para penumpang lain berjalan melewati garbarata (jalan penghubung antara pesawat dengan bangunan terminal) hingga tiba di bangunan terminal lalu belok kanan mengikuti tanda-tanda panah dan arahan tertulis dalam bahasa Cina dan Inggris yang menggunakan 2 jenis huruf juga, yakni Cina dan Latin. Saya mampir terlebih dahulu ke toilet yang berada di sisi kiri lorong dalam bangunan terminal yang sedang saya susuri bersama para penumpang lainnya. Di toilet airport, saya mulai menduga bahwa semua toilet di Cina hanya menggunakan tisu kering untuk cebok, bukan air ataupun tisu basah. Untuk itu saya harus mulai membiasakan diri karena saya akan berada di Beijing selama 6 hari.
Keluar dari toilet, saya belok kiri lalu berjalan lurus hingga tiba di area yang diberi batas tali plastik dan panah penunjuk arah agar saya ataupun penumpang lain belok kiri menuju tempat pemeriksaan passport yang berada sekitar 10an meter dari tempat saya berdiri dan mengamat-amati airport tersebut sekaligus mengambil beberapa foto. Setelah itu saya belok kiri menuju area pemeriksaan paspor dimana para
Ketebalan awan menutup langit Beijing |
penumpang telah berada dalam antrian panjang yang dibuat berputar-putar. Jalur antrian ini dibagi dalam 3 kelompok, yakni antrian pemeriksaan paspor para penumpang warga Negara asing yang transit dan mampir di Beijing, pemeriksaan pasport warga Negara asing yang berkunjung ke Beijin, termasuk saya tentunya yang berasal dari Indonesia, serta pemeriksaan pasport warga negara Cina. Antrian di pemeriksaan paspor warga Negara asing yang akan masuk ke Beijing atau Cina sangat panjang, karena hanya ada satu antrian yang dibuat berputar-putar. Di ujung antrian dalam jarak sekitar 3 meter dari loket pemeriksaan, para pengantri bisa memilih untuk antri berbaris di 3 loket yang di buka dari 6 loket yang ada. Antrian di pemeriksaan pasport bagi warga negara Cina selesai lebih cepat sehingga kadang-kadang petugas membuka tali pembatas guna memindahkan
Hall belakang konter pemeriksaan paspor |
sebagian pengantri di antrian warga Negara asing ke bagian pemeriksaan paspor bagi warga negara Cina. Setelah berada sekitar 1 jam dalam antrian pemeriksaan paspor bagi warga asing yang akan masuk ke Cina, saya akhirnya tiba di depan salah satu loket pemeriksaan pasport yang dijaga seorang lelaki muda berkaca mata. Tak sampai 5 menit, paspor saya telah dicap dan dikembalikan sehingga saya berjalan melewati loket pemeriksaan melalui samping kiri loket ke bagian belakangnya yang membawa saya ke suatu area terbuka dalam bangun terminal tersebut. Mengikuti arah panah dan petunjuk arah dalam bahasa Inggris, saya turun ke lantai bawah menggunakan eskalator. Di lantai ini, saya dan semua pengunjung ataupun warga negara Cina yang kembali ke negaranya harus menggunakan kereta yang mengantar kami ke terminal 3C dimana kami bisa menggunakan berbagai moda transportasi menuju Beijing ataupun tempat-tempat lain di Cina.
Ketika masih berada di dalam pesawat, saya telah mendapatkan informasi cuaca di Beijing, yakni 0 derajat celsius pada hari pertama saya berada di Bejing. Saat keluar dari pintu pesawat, udara dingin
Tempat kereta antar airport |
Beijing langsung menyergap. Beruntung saya telah mempersiapkan diri dengan syal dan jaket sehingga perubahan udara yang sangat drastis itu tidak membuat saya shok dan mengigil. Hampir semua penumpang menggunakan jaket-jaket tebal dan topi ataupun kupluk penutup telinga. Beberapa menggunakan syal dan sarung tangan agar menjadi lebih hangat. Udara dingin itu terus menyergap hingga saya masuk ke kereta yang akan mengantar saya dan penumpang lainnya berpindah dari terminal kedatangan ke terminal 3C. Sekitar 10 menit kemudian kereta berhenti di terminal 3C. Semua penumpang turun dan berjalan menuju pintu keluar mengikuti tanda panah dan petunjuk arah dalam bahasa Inggris dan Cina. Para penumpang yang menitipkan koper atau barang bawaannya ke bagasi pesawat, termasuk saya mampir terlebih dahulu di bagian pengambilan bagasi yang diberi nomor dan juga nomor pesawat. Semua bagasi pesawat Singapore airlines yang saya tumpangi berada di ban berjalan nomor 13. Setelah mengambil koper di ban berjalan, saya keluar dari antrian dan berjalan menuju pintu keluar mengikuti tanda-tanda panah yang menunjuk arah keluar / exit. Sebelum tiba di pintu keluar, koper dan ransel kamera harus saya lewatkan di mesin Xray yang dijaga 2 petugas berseragam biru dongker dilengkapi topi dan jaket tebal panjang berwarna senada.
Ketebalan awan yang menutupi langit Beijing |
Setelah melewati area mesin Xray, saya terus berjalan beberapa meter hingga tiba di pintu keluar. Saat kaki saya melangkah keluar pintu, saya masuk ke area terbuka terminal yang diberi pagar pembatas setinggi dada orang dewasa guna mencegah para penjemput menutupi area pintu dan jalan keluar- pagar pembatas dari stainless itu membentuk lorong selebar 1 meter dengan panjang sekitar 10an meter berbentuk huruf L ke arah kanan. Setelah melewati lorong tersebut, saya tiba di area terbuka belakang bangunan terminal berlantai 2 berdinding kaca transparan sehingga pelataran tersebut terang benderang. Sekitar 50an meter dari pintu keluar itu terdapat suatu tangga berjalan ke lantai 2 bangunan terminal. Saya berdiri sejenak mengamati suasana sekitar sekaligus mencari penunjuk arah ke area kereta api atau disebut airport express yang telah saya peroleh informasinya dari internet. Saya berencana akan menggunakan airport express dari airport ke kota Beijing yang berjarak 28km dari airport.
Sebagian Beijing dari pesawat |
Saya melihat penunjuk arah dan juga tanda-tanda panah mengarahkan saya ke beberapa pilihan. Saya berjalan ke arah eskalator terlebih dahulu dengan asumsi stasiun airport express berada di lantai 2 bangunan terminal. Namun saat saya masih berjarak sekitar 5 meter dari eskalator, saya melihat tanda panah dengan petunjung airport express menunjuk ke arah saya alias saya berjalan ke arah yang salah. Karena itu saya berbalik dan mengamat-amati lagi daerah sekitar hingga menemukan tanda panah bertuliskan airport express menunjuk ke belakang bangunan terminal tempat saya sedang berada dan sedikit bingung. Ternyata tanda-tanda panah penunjuk arah tidak hanya tersedia di tiang-tiang vertikal berwarna kebiruan, tapi juga di lantai terminal. Mengikuti tanda panah tersebut, saya berjalan ke belakang bangunan terminal menuju meja informasi yang dijaga seorang petugas lelaki muda berkaca mata dan memakai setelan jas warna gelap dengan kemeja putih dan dasi berwarna senada dengan jasnya. Saya ingin menanyakan sekaligus mendapatkan ketegasan arah ke stasiun airport express. Petugas tersebut sedang melayani tamu lain dimana ada 2 orang lagi yang sedang antri di depan saya. Saya memutuskan melewati saja meja informasi dan berjalan melewati pintu selebar 5 meteran memasuki bangunan penghubung berupa lorong panjang selebar 10an meter yang dilengkapi eskalator. Lorong sepanjang 50an meter tersebut membawa saya ke bangunan stasiun kereta airport express yang tersambung dengan bagian belakang bangunan airport. Melewati pintu bangunan penghubung atau lorong, saya tiba di bangunan stasiun yang dilengkapi meja informasi berbentuk setengah bulat setinggi dada orang dewasa yang dijaga seorang petugas perempuan berseragam biru dongker seperti seragam petugas informasi di dalam bangunan airport yang telah saya tinggalkan. Di bagian kiri saya terhampar pelataran kosong, sedangkan di bagian kanan saya dalam jarak sekitar 10 meter berjejer 2 mesin penjualan tiket kereta sebesar mesin sejenis di stasiun Sudirman - Jakarta. Kedua mesin tersebut berjejer di batas dinding stasiun. Dalam jarak 1 meter dari kedua mesin tersebut terdapat loket pernjualan tiket yang dijaga seorang petugas perempuan berkacamata memakai seragam berwarna sama dengan kedua petugas informasi yang telah saya lewati. Saya menghampiri loket tersebut mengucapkan selamat pagi dalam bahasa Inggris lalu mengutarakan niat saya membeli tiket.
Sebagian Beijing dari pesawat |
"Which one, the airport ticket express or Beijing smart card", tanya petugas menggunakan bahasa Inggris. "Which is the best one, tanya saya untuk memastikan informasi yang telah saya peroleh di internet. "Beijing smart card can be used for the airport express, subways and busses, meanwhile the airport express card only for the airport express train", balas si petugas. "the smart card, please, balas saya sambil memberikan uang kertas 100 yuan yang telah saya bawa dari Jakarta. "20yuan for deposit" kata si petugas. "Alright, balas saya. "Your passport, please", lanjut petugas. Saya menyerahkan paspor dan uang yang diambil petugas tersebut. Saya melihat petugas mengetik sesuatu di komputer dalam bahasa Cina, lalu muncul print out tanda terima pembelian kartu. Petugas mengambil tanda terima tersebut dari printer lalu menyerahkan ke saya bersama Beijing smart card dan pasport saya. Beijing smart card merupakan kartu tipis berwarna biru tua dengan 3 strip seperti sayap burung berwarna kuning, hijau dan orange. Pada sisi sebelahnya, warna kartu didominasi putih dengan lengkungan warna biru di bagian atasnya. Kedua sisi dilengkapi tulisan Cina. Sedangkan tulisan bahasa Inggrisnya berjudul "travelchinaguide.com".
Suasana dalam kereta airport express |
Saya putar balik menjauhi loket sekitar 5 meter lalu berdiri sejenak untuk menyimpan kembali passport saya ke tas pinggang yang selalu saya pakai dalam perjalanan jelajah ke luar Indonesia. Setelah itu saya berjalan lurus dan belok kanan menuju area kereta api airport express yang dijaga 2 petugas berjaket tebal di kiri dan kanan pintu masuk. Pintu masuk ke area peron kereta terdiri dari 4 tiang berukuran 20x20cm setinggi perut orang dewasa. Keempat tiang tersebut membentuk 3 pintu masuk ke peron. Pada sisi dalam antara kedua tiang tersebut terdapat palang di kiri dan kanan berbentuk seperti sayap unggas berwarna orange yang menutup celah terbuka selebar 75cm antara kedua tiang. Saya menempelkan Beijing smart card ke bagian bertanda kartu di bagian atas salah satu tiang. Kartu tersebut membuka kedua penghalang secara otomatis. Saya berjalan melewati palang menuju kereta yang telah berada di lokasi tersebut. Saya masuk ke salah satu gerbong lalu duduk di salah satu kursi kosong berwarna biru. Kereta tidak terlalu penuh sampai dengan keberangkatan sekitar 5 menit kemudian dari waktu saya masuk dan duduk. Dari terminal 3, kereta menuju terminal 2 untuk menurunkan dan menaikan penumpang di terminal tersebut lalu melanjutkan ke stasiun Sanyuanqiao sebelum menuju stasiun akhir di Dongzhimen. Dari stasiun Dongzhimen saya berganti kereta ke stasiun Dongsi yang adalah stasiun subway terdekat dengan hotel tempat saya menginap selama berada di Beijing.
Stasiun Dongzhimen saat turun dari kereta airport express |
Setelah menempuh waktu sekitar 30an menit, kereta airport express tiba di stasiun Dongzhimen. Saya keluar dari kereta dan berjalan dalam stasiun sambil mata saya mencari petunjuk ke line / jalur 2 menuju stasiun Chaoyangmen yang berjarak 2 stasiun dari stasiun Dongzhimen - sebagaimana informasi yang telah saya peroleh dari internet. Di stasiun Chaoyangmen, saya akan berganti kereta ke jalur 6 menuju stasiun Dongsi. Untuk berganti jalur di dalam stasiun Dongzhimen, saya harus berjalan melewati lorong-lorong panjang dan tangga atau eskalator. Saya menghabiskan sekitar 30an menit dari stasiun Dongzhimen hingga tiba di stasiun Dongsi. Karena saya hanya membawa ransel kamera dan koper kecil, maka saya tidak mengalami kesulitan saat berpindah jalur melewati berbagai lorong panjang dan juga tangga atau eskalator. Saat tiba di stasiun Dongsi, saya hanya perlu berjalan mengikuti tanda panah ke pintu keluar / exit C. Tanda panah mengarahkan saya naik tangga lalu belok kanan kemudian berjalan lurus lalu belok kiri dan sekali lagi belok kiri. Saat tiba di ujung lorong, saya hanya mendapatkan tanda bertuliskan exit D dan E. Exit C tempat saya akan keluar menghilang begitu saja.
Suasana di dalam stasiun Dongsi |
Setelah celingukan beberapa saat saya memutuskan bertanya ke loket yang dijaga seorang petugas perempuan muda berkacamata dan berseragam biru dongker. Perempuan ini duduk membelakangi ujung lorong yang berhadapan dengan tangga dan eskalator dimana diatasnya tergantung papan informasi berwarna pink dengan tulisan line / jalur 5. "Where is exit C", tanya saya ke petugas di loket dari arah sampingnya. "Down stairs", balas petugas sambil menoleh ke arah saya yang berdiri di luar loket". "Thanks" balas saya sambil mengangguk dan berjalan ke tangga yang menunjukan arah ke jalur 5. Saat tiba di akhir tangga, saya melihat papan informasi exit C terpampang di ujung lorong stasiun dalam jarak sekitar 50an meter dari ujung tangga tempat saya turun. Saya berjalan lurus ke papan informasi yang digantung di atas tangga dan eskalator yang berada di sebelah kanan tangga dari arah saya. Saya menggunakan eskalator di bagian tersebut menuju lantai atas. Tiba di lantai atas dalam jarak sekitar 15 meter berjejer palang-palang penghalang pintu keluar dimana setiap orang yang akan keluar harus menempelkan kartu masing-masing untuk membuka palang penghalang. Saya menempelkan kartu saya lalu berjalan melewati palang penghalang yang terbuka secara otomatis.
Lorong2 panjang pindah jalur atau keluar |
Setelah melewati palang penghalang, saya belok kiri menyusuri lorong sepanjang 50an meter hingga tiba di ujung lalu belok kiri lagi berjalan menyusuri lorong sepanjang 20an meter lalu menggunakan eskalator ke lantai atas. Eskalator setinggi 20an meter tersebut membawa saya tiba di depan pintu keluar masuk stasiun di atas tanah. Keluar dari bangunan stasiun, saya berhadapan dengan jalan raya selebar puluhan meter dalam jarak sekitar 10 meter dari pintu stasiun. Saya berjalan ke sisi kiri pintu untuk membiasakan diri dengan udara yang lebih dingin dan juga suasana sekitar. Mata saya melihat papan-papan nama jalan berwarna dasar biru dengan tulisan putih. Di hadapan saya adalah jalan Dongsi east / timur. Dalam jarak sekitar 50an meter di sebelah kiri saya terdapat perempatan yang menghubungkan Dongsi east dengan west dan Dongsi north dengan south. Berbekal informasi dari internet, saya belok kiri berjalan menjauhi stasiun hingga tiba di pedestarian jalan Dongsi south selebar 5 meteran. Saya belok kiri berjalan menyusuri Dongsi south hingga sekitar 150an meter lalu menyeberang ke sisi sebelahnya. Di sisi ini saya berjalan lurus sekitar 50an meter melewati satu gang yang terhubung ke jalan Dongsi south.
Pintu masuk / keluar C stasiun Dongsi |
Setelah melewati mulut gang tersebut, saya berhenti sebentar mengamat-amati suasana sekitar lalu memutuskan bertanya pada seorang laki-laki muda berseragam hitam dof dan memakai topi warna sama. Saya menunjukan alamat hotel di HP dalam bahasa Cina yang telah saya siapkan dari Jakarta. Laki-laki tersebut menunjuk ke dalam gang. Saya mengucapkan terima kasih dalam bahasa Cina lalu berjalan memasuki gang. Setelah menempuh jarak sekitar 20an meter sekali lagi saya menunjukan alamat hotel di HP ke seorang perempuan paruh baya yang berdiri di depan satu warung kelontong. Perempuan tersebut menunjuk arah sebaliknya yakni satu gang lain yang berada di seberang jalan Dongsi south yang telah saya tinggalkan. Saya mengucapkan terima kasih lalu putar balik berjalan kembali ke jalan raya sambil melirik ke petugas tadi. Karena tidak ada lampu penyeberangan, saya mengamat-amati terlebih dahulu cara orang-orang setempat menyeberang. Karena semua kendaraan berjalan di bagian kiri, maka saya harus memperhatikan dan mewaspadai bagian kiri saya. Saat mobil-mobil berjarak cukup jauh, saya menyeberang hingga tiba di tengah jalan. Saya berdiri di tengah jalan menunggu mobil-mobil di sisi sebelah ini berjarak cukup jauh lalu saya cepat-cepat menyeberang. Saat tiba di sisi sebelah jalan, mata saya telah melihat papan nama hotel 161 dalam warna merah terang berjarak sekitar 10 meter dari pinggir jalan raya dalam gang yang akan saya masuki. Ternyata lokasi hotel berada di sisi jalan yang sama dengan stasiun subway / metro Dongsi yang dapat ditempuh dalam waktu 5menitan jalan kaki dari hotel ke stasiun atau sebaliknya.
Hotel Beijing 161 Wangfujing |
Udara terasa hangat saat saya tiba di dalam hotel. Saya menghampiri meja resepsionis di sebelah kiri berjarak sekitar 5 meter dari pintu masuk keluar hotel. Saya berdiri menunggu giliran karena resepsionis sedang melayani tamu lain. Jam saya menunjukan jam 10 pagi alias jam 11 pagi waktu Bejing. Artinya saya telah menghabiskan waktu sekitar 4 jam dari airport hingga tiba di hotel. Setelah kedua perempuan tamu tersebut selesai, saya maju dan mengatakan ke resepsionis laki-laki muda berkacamata bahwa saya akan check in. Saya mengatakan bahwa saya telah booking melalui booking.com. Saya mengeluarkan passport dan memberikan ke resepsionis yang membuka dan melihat ke halaman identitas lalu mengambil satu kertas print out di rak yang berada di belakangnya. Kertas print out tersebut adalah konfirmasi bookingan saya melalui booking.com. "Yes, that is me", kata saya ke resepsionis tersebut mengkonfirmasi ulang. Resepsionis meminta passport saya untuk difotocopy, lalu meminta uang pembayaran 5 malam selama saya berada di hotel tersebut bersama deposit sebesar 200yuan yang akan dikembalikan saat saya check out. Saya menyerahkan semua yang diminta. Selesai mengcopy passport dan membuat tanda terima pembayaran bersama deposit, petugas menyerahkan 2 kunci berbentuk kartu. Satu kartu untuk mengaktifkan listrik untuk lampu, ac dan tv, satu lagi untuk masuk keluar pintu penghubung dan kamar. Walau baru jam 11 pagi, namun saya telah bisa masuk kamar lebih awal dari aturan hotel tentang waktu check in pada jam 2 siang. Seorang staf laki-laki mengantar saya ke kamar 503 di lantai paling atas, yakni lantai 4. Kami melewati tangga-tangga yang diberi karpet berwarna merah. Karena orang Cina pamali terhadap angka 4, maka semua kamar di lantai 4 hotel diberi penanda nomor 5.
Hotel Beijing 161 Wangfujing yang adalah tempat menginap saya selama di Beijing |
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar