Sabtu, 26 September 2009

JAKARTA : Antara Halte Layur dan Matraman

Sebagaiamana kebiasaan ku peri dan pulang kantor adalah menggunakan Bus Transjakarta, tidak terkecuali pada hari ini Jumat, tanggal 25 September 2009.


Pagi masih berkabut saat kaki ku menyusuri jalan yang ku lalui setiap hari ke halte bus di Layur. Aku tak pernah tau sejarah tempat tersebut sehingga dikenal dengan nama Layur. Agak berbeda dengan saat menggunakan bus patas AC, para kondektur lebih mengenal daerah tersebut sebagai Pertamina karena ditepi jalan terletak gedung Pusdiklat Pertamina yang selalu ramai digunakan untuk kegiatan-kegiatan pelatihan yang telah berdampak signifikan menghidupkan perekonomian penduduk sekitar karena penyediaan jasa kos-kosan, jualan kue, voucer hp, kue hingga rokok yang mulai bertebaran di sekitar gedung Pusdiklat tersebut. Saat malam, banyak pula penjual makanan warung tenda yang membuka tenda di sisi jalan pemuda depan gedung Pusdiklat yang menghadap ke Halte Layur. setahun silam, hanya ada 1 arung tenda yang berjualan ayam dan lele goreng. Namun saat ini ketika malam memeluk bumi, selain warung tenda tersebut, disisi kirinya telah ada pula penjual ayam goreng krispi, bakso dan nasi uduk. Di sisi kanan ke belakang berjejer di tepi jalan ke perkampungan, tersedia jus buah, karedok, gorengan hingga 2 warung makan lainnya yang menempati tempat permanen semacam kios.


Mungkin saja, Layur berasal dari kata Ikan Layur yang di kampung kelahiran ku disebut Ikan Parang-parang - salah satu dari makanan kesukaan ku yang merupakan masakan ibunda. Ikan yang dimasak menggunakan air jeruk nipis atau cuku, bersama cabe hijau dan merah serta bawang putih dan bawang merah... alangkah nikmatnya bila dimakan bersama nasi hangat...


Namun, tentu saja tidak ada orang yang bisa menceritakan kepada ku tentang asal usul Layur yang menjadi nama Halte Bus Transjakarta di depan gedung Pusdiklat Pertamina di Jl. Pemuda Rawamangun tersebut. Bahkan tukang cuci ku yang asli orang betawi pun tidak mengetahui asal usul penggunaan nama tersebut.. jadi aku terpaksa melupakan rasa penasaran ku menegtahui asal muasal penggunaan nama Layur bagi Halte tersebut dan juga mungkin daerah sekitarnya.


Sebagiamana biasa setelah membeli tiket seharga Rp. 3,500, aku pun berdiri di depan pintu utama menunggu bus sambil mata ku berkeliling daerah sekitar. Di seberang jalan depan halte merupakan kompleks ruko yang digunakan untuk berbagai fungsi, antara lain kantor perbankan karena aku melihat ada BNI, Niaga dan juga 1 bank swasta lainnya yang tidak ku ingat namanya. Ada pula bank pengkreditan, show room mobil, servis dan penjualan kartu hp hingga tempat penjualan tinta.

Kamis, 24 September 2009

JAKARTA : Sehari Setelah Idul Fitri 1 Syawal 1430H

23 September 2009.

Merujuk ke pengumuman Pemerintah pada hari Sabtu, tanggal 19 September 2009 tentang Idul Fitri, maka hari ini seharusnya adalah hari kedua setelah lebaran, karena Idul Fitri 1 Syawal 1430H jatuh pada hari minggu tanggal 20 September 2009, namun karena di kalender tertulis lebaran hari kedua adalah tanggal 22 September 2009, maka tulisan ini merujuk ke tanggal merah yang tertera di kalender.

Rasanya enggan banget meninggalkan peraduan di hari pertama setelah lebaran. Mungkin karena telah selama 4 hari terbiasa bangun agak siang sekitar jam 10 pagi, maka perubahan kembali ke bangun pagi sekitar jam 6 menimbulkan keengganan pikiran dan tubuh untuk beranjak. Akibatnya, tubuh tetap lemas walau telah sarapan 2 potong montow bersama potongan2 tomat merah segar dan ikan tuna beserta segelas besar jus campuran buah pisang, apel, pepaya dan jus kemasan jambu merah serta mangga.

Apa hendak di kata, walah tubuh dan pikiran belum bisa beranjak ke urusan pekerjaan, namun hari ini adalah hari kerja sehingga tubuh yang malas pun harus beranjak ke kantor. Jam 7.45 pagi itulah kebiasaan waktu ku berangka ke kantor, namun hari ini aku berangkat jam 8 pagi sebagai sedikit kompromi terhadap pikiran dan tubuh yang masih ingin berlibur. Jalan yang ku lalui masih sangat sepi. Rasanya diri ku sendiri yang berangkat ke kantor hari ini. Jejeran rumah sepanjang gang dan jalan yang ku lalui ke halte bus Transjakarta (bus way) yang biasanya telah ramai dengan berbagai aktivitas pagi hari, pagi ini masih dalam kesenyapan dan kelelapan para penghuninya. Para ibu dan anak-anak yang biasanya duduk ngerumpi di sekitar tukang sayur juga tidak terlihat pagi ini. Walau ternyata tukang sayur telah berjualan sebagaimana biasa di hari pertama setelah lebaran. Tukang potong rambut dan penjait langganan ku di ujung gang, juga masih belum buka sebagaimana biasa.

Langkah terus ku ayun menuju halte bus ditemani kesunyian dan kesenyapan pagi pertama setelah lebaran. Saat kaki ku melewati pos para tukang ojek, terlihat hanya 2 tukang ojek yang sedang duduk duduk sambil merokok. Satu diantaranya melempar senyum yang ku balas pula dengan senyum dan anggukan kepala. Sesuatu yang tidak pernah ku dan juga para tukang ojek tersebut lakukan selama 2 tahun lintasan ku pagi dan malam hari melewati pos tersebut. Karena tentu saja kami tidak saling kenal, tapi saling tahu sebab aku sering melewati pos tersebut pergi dan pulang hampir setiap hari. Saya hanya pernah 1 kali menggunakan jasa tukang ojek di pos tersebut beberapa bulan silam, saat melupakan sesuatu di rumah yang seharusnya ku bawa ketika pergi. Hanya saat itulah aku menggunakan jasa ojek sehingga aku jarang menoleh apalagi tersenyum ke para tukang ojek saat melewati pos mereka.

Jalan Pemuda masih sepi, hanya beberapa kendaraan sedang lalu lalang sehingga memudahkan diriku menyeberang ke halte bus way yang terletak di tengah. Setelah membeli tiket seharaga Rp. 3,500 dan menunggu sekitar 15 menit, ada satu bus yang menghampiri halte. Dengan sigap langkah ku ayun melangkah ke dalam bus. Ternyata bus dipenuhi rombongan keluarga yang terdiri dari sejumlah ibu, bapak dan anak anak mereka yang memenuhi seluruh kursi, sehingga tanpa pilihan, aku harus berdiri. Karena itu, sesampainya di halte Arion, yakni 1 halte setelah halte Layur tempat aku mendapatkan bus - saat bus berhenti, aku pun melangka keluar dan menunggu bus berikut yang sedang beriringan dengan bus yang ku tumpangi dari halte Layur. Ternyata bus tersebut hanya diisi3 penumpang sehingga aku pun bebas memilih kursi yang ku sukai untuk duduk. Bus terus melaju ke arah Dukuh Atas, tapi tidak ada penambahan jumlah penumpang yang siginifikan di halte Pelodrome, Sunan Giri, UNJ, Pramuka BPKP, Pramuka LIA, Utan Kayu, Pasar Genjing sampai dengan aku turun di halte Matraman untuk berganti bus reguler 213 jurusan Kampung Melayu - Grogol. Jalanan yang biasanya macet, terutama di Pramuka setelah melewati perempatan By Pass hingga Matraman, hari ini seperti kosong melompong sehingga bus Transjakarta yang ku tumpangi melaju bebas dan dalam waktu sekitar 10 menit, aku telah turun di halte Matraman.

Sebagaimana biasa di pagi hari hari kerja, perempatan Matraman pun ku seberangi untuk menunggu bus reguler 213. Tidak seperti hari-hari kerja dimana biasanya aku menyebrang bersama serombongan pekerja yang juga akan menunggu bus reguler 213 atau kopaja yang melewapi perempatan tersebut ke Jl. Diponegoro, perempatan juga sepi dan hanya aku sendirian yang menyeberang di pagi ini lalu menunggu dengan sabar di samping Rumah Makan Padang di perempatan tersebut. Ditunggu dan ditunggu (orang Kupang menyebutnya tunggu punya / pung tunggu), bus yang biasa ku tumpangi tidak nongol seujung kuku pun. Telah sekitar 20 menit menunggu, akhirnya ku putuskan naik taxi. Jalan tetap saja masih lenggang sehingga sekitar 10 menit pun aku telah tiba di kantor.

Sebelum melangkah masuk ke kantor, aku mampir beberapa saat di Pos Satpam mengucapkan selamat Idul Fitri dan Mohon Maaf Lahir Batin lalu kaki ku melangkah memasuki kantor yang masih sepi. Saat memasuki ruang kerja, aroma pengap ruangan yang telah ditinggal beberapa hari menyergap hidung ku. AC yang baru dihidupkan di pagi ini belum mampu menghalau aroma tersebut. 3 orang rekan kerja telah sedang sibuk di komputer masing-masing. Ku salami satu per satu sambil mengucapkan Selamat Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin. Sebagaimana kebiasaan ku, sebelum duduk, aku selalu melakukan ritual cuci tangan dan minum segelas air putih terlebih dahulu setelah itu mengeluarkan bekal makan dan buah yang telah disiapkan ibu di rumah, dan itu ku lakukan juga pagi ini.

Tidak banyak yang dikerjakan hari ini di kantor. Aku langsung memeriksa dokumen2 yang harus disiapkan untuk pertemuan Technical Review Group (TRG) pada tanggal 28 September 2009. Saat memastikan semuanya telah siap, aku pun mulai menghidupkan komputer dan memulai rutinitas kerja sebagaimana biasa aku lakukan. Outlook ku ternyata bermasalah, Verena dan Mbak Nanet yang biasanya sangat membantu untuk urusan2 teknis komputer belum berada di kantor sehingga aku lalu memutuskan memcoba menelpon tenaga IT di Kantor Menara Thamrin. Beruntunglah ada satu staff yang stand by sehingga aku pun mendapatkan arahan bagaimana mengatasi masalah tersebut. Namun, masalah tersebut tidak juga teratasi hingga jam makan siang menghampiri. Aku pun mencoba peruntungan akses email ku lewat website dan ternyata Puji Tuhan Seru Sekalian Alam, aku bisa mengakses email. Hal tersebut ku informasikan ke tenaga ahli IT di Menara Thamrin yang lalu meminta ku untuk lakukan print screen dan mengirimnya via email. Hal tersebut ku lakukan, namun sampai sore hari saat akan pulang, masalah outlook ku yang tidak bisa diakses tersebut belum teratasi.

Hari pertama di kantor sesudah Idul Fitri ternyata tidak berbeda dengan hari hari kerja routine lainnya. Tak berasa sore hari telah menghampiri dan tiba waktunya untuk berkemas meninggalkan kesibukan kantor. Satu demi satu rekan kerja telah pulang, tinggal aku seorang diri yang akhirnya mematikan lampu2 dan AC di ruang kerja lalu beranjak pergi.

Jalan sore hari ini masih juga sepi tidak seperti biasanya jalan raya Menteng ke Kuningan dipadati kendaraan bermotor yang sering kali macet di kedua sisinya. Hari terasa sangat lenggang. Para penjual makanan, majalah dan minimuman yang biasanya mangkal di halte bus dekat kantor juga tidak terlihat. Kaki ku langkahkan menyeberangi jalan sebagaimana biasa dan menelusuri jalan kecil di samping Kedutaan Iran dan Belakang Kantor KPU sebagai jalan pintas ku menuju Grant Indonesia di dekat bundaran HI. Para penjual majalan dan koran, saptam2 di rumah-rumah sekitar jalan yang ku lalui maupun para pedagang kecil berjualan makanan dan minuman yang biasanya duduk berkelompok dan bercengkrama di sore hari, sore ini tidak terlihat. Si penjual nasi padang menggunakan mobil minicap dan nasi campur menggunakan gerobak serta penjual rokok dan teh botol yang biasanya nongkrong di seberang jalan samping gedung City Tower juga tidak terlihat sehingga jalan terlihat sangat bersih dan nyaman dilalui oleh pejalan kaki. Karena biasanya trotoar diokupasi oleh mereka sebagai tempat jualan yang membuat ku tidak habis pikir, mengapa Pemda DKI tidak mengatur dan menyediakan tempat jualan yang layak di sekitar situ sehingga para pedagang itu tidak menduduki trotoar yang disediakan bagi para pejalan kaki. Mengapa Pemda membuat trotoar yang bagus itu lalu membiarkan para pegadang menggunakannya untuk berjualan, nasi, minuman botol rokok dllnya?.

Kaki ku terus mengayun hingga tiba di jalan Sudirman. Halte Transjakarta di Tosari yang biasanya dipadati para calon penumpang bus Transjakarta, sore menjelang malam hari ini pun kosong melompok. Kerumunan orang yang biasanya menunggu bus reguler ataupun taxi di bawah jembatan penyeberangan Tosari, sore ini hanya terlihat ditunggi 3 perempuan dan 1 laki-laki. Sang lelaki memakai kacamata dan masker anti flu warna hijau yang sedang ngetren saat ini karena berita bombastis tentang Flu Burung dan Swine Flu. Aku tak tau apakah dia menggunakan masker tersebut sebagai upaya pencegahan penularan atau justru sebagai suatu tren baru bagian dari fashion orang Jakarta :).

Kaki ku terus melangkahi jembatan penyeberangan Tosari ke sisi sebelah. Di ujung tangga sedang nongrong 2 orang penjual permen seperti biasa. Berapa rupiah yang mereka peroleh dari jualnya tersebut?, sambil memikirkan pendapatan yang diperoleh 2 penjual permen tersebut, kaki ku terus melangkah melewati para tukang ojek yang tetap setia menunggu penumpang, walau pasti sangat sedikit yang bisa mereka dapatkan karena sepinya hari pertama sesudah lebaran. Walau tentu saja jumlah mereka tidak selengkah hari hari biasa, karena sore ini, aku hanya melihat 6 tukang ojek di tempat mangkal tersebut. Penjual gorengan yang biasanya mangkal di sisi para tukang ojek pun tidak terlihat sore ini. Kaki ku terus melangkah hingga tiba di sisi terluar Grant Indonesia. Saat kaki ku akan melangkah memasuki komplek mall dan perkantoran tersebut, aku harus melewati pemeriksaan saptam yang karena tugasnya harus membuka dan memerikan tas ransel ku. Apa sih yang dipikirkan oleh mereka saat melihat isi tas-tas pengunjung yang diperiksa oleh mereka?, demikian pikir ku sambil menunggu sang satpam menyelesaikan tugasnya. Di pintu masuk gedung Menara BCA yang adalah bagian dari Grant Indonesia, satpam yang biasanya juga memeriksa tas, hanya memindahkan tas ku dari tangannya ke tangan ku tanpa membukanya sama sekali. Tumben, demikian pikir ku.. biasanya dibuka dan dicek sampai ke dalam dalamnya.

Malam telah memeluk mayapada Kota Jakarta saat tubuh ku memasuki ruang gym Fitness First yang full musik... tidak banyak member yang sedang berolah tubuh, kelas mind and body dengan yoga dan pilatesnya yang ku sukai pun masih tutup. Sekitar 2 jam ku habiskan di gym malam sehari setelah lebaran, lalu melangkah pulang menggunakan Bus Transjakarta rute Tosari, Dukuh Atas, Halimun, Pasar Rumput, Manggarai, Matraman dstnya hingga tiba kembali di halte Layur. Telah hampir jam 10malam saat aku tiba di rumah. Setelah tubuh ku istrahatkan beberapa menit, lalu perut ku hanyatkan dengan sepiring sup ayam bercampur irisan kentang, wortel dan brokoli.

Malam telah larut saat tubuh ku meraih mimpi melewati hari pertama setelah lebaran.

SELAMAT IDUL FITRI DAN MOHON MAAF LAHIR BATIN bagi semua pembaca yang merayakannya.

Kamis, 03 September 2009

BALI : The Popular Tourists Destination in the World

FIRST DAY…

I and some of my friends, including one of my colleagues went to Kintamani. We started in the morning about 9am. Pak Wayan who is one the friend that I knew some months ago in Jakarta at a meeting accompanied us as a guide and driver also because we rented his car for several days, including for the trip to Kintamani. After picking me up, we went to pic up Risya, Sirinet and Ira at Harris Hotel. It is around 5 minutes from Matahari Bungalow at Legian street which was the hotel that I had stayed for my days in Bali. From Haris hotel, we went straight to silver factory to take only sightseeing, however, we then bought some silver goods produced by the factory. I bought a silver Buddha necklace, Risya for an earrings and Sirrinet for a ring. We were hurry since we had limited time only since Sirinet has to be at Ngurah Rai airport by 3.40pm to get her flight for flying back to Thailand. We planned to spend 30 minutes only at the factory but we eventually exceeded the time allocation.
Pak Wayan then asked for whether we would stop by a Barong Dance place or not where all of us agreed to skip the place out of the visit and directly visited the Sukowati market. As at the silver factory, we only had 30 minutes at the market so the ladies were hurry to buy what they want to take home with. Surprise that they did it timely so we then went straightly to Kintamani. Along side of the road we were passing by, there are so many goods are displaying to get travelers attention. They are so attractive but I know that I don’t have enough space any more to put the goods in my house, moreover I will move to an apartment next two years which has a small space so I have to think about the space if want to buy something new whether it will take space in the apartment or not so I just enjoyed sightseeing of the goods. We also found some fruits kiosks standing up on the road near to Kintamani. We then stopped at a kiosk and bought some fruits to be eaten while traveling to Lake of Kintamani. We arrived at Kintamani area about 11.50am. Wayan parked the car at a restaurant parking area and the he pleased us to step into the restaurant for lunch and also enjoy scenery of the Mountain of Batur and the Lake of Kintamani which lay so far from us. It is so beautiful and quite in peace and harmony when looking at the mountain and lake far away which covering by thick clouds. The restaurant has an open space for its guests who want to sit outside the building to enjoy the scenery while having lunch so most of its guests took place outsides with their lunch plates. It provides a lot kind of foods but in western taste so it seemed like a tasteless for Indonesian and also the Thai lady. Before, during and after the lunch, we took some photos to memorize the journey then we went out from the place. We didn’t visit the Kintamani itself because both we didn’t have enough time and also we avoided the street vendors who will push hard the guests to buy their selling goods. Pk Wayan already warned us about the behaviors when we were still in the car so that we were able to be aware for local condition instead of getting tension with the vendors. He is familiar with the local condition since he is a Balinese who knows and wants his guests getting good image on the island and also tourist destination spots at the island. When we weare going back, we stopped for a moment at street near by the restaurant because Ira wanted to take some pictures, however the street vendors then crowded around her even though Pak Wayan had already parked the car a little bit far from them. Ira rushed in taking pictures and then got back to the car as quick as she could. We then went away from the spot straight to Ngurah Rai airport to drop Sirinet.

It was about one and half hours arriving at the airport from Kintamani. We said goodbye with Sirinet and then got back to the city. We stopped by Joger shop which selling special clothes and also other goods in its own brand as a local brand that already popular for all over Indonesia so many domestic tourists have been visiting the shop when we were there. I just shopped there without buying something. Risya went inside for a few moments only then she wanted to escape quickly herself because of crowd buyers and also it is not her type of shop to buy something. I then accompanied her going outside and standing up at around front door to wait for Ira finished her shopping. Some minutes later, Ira went out from the shop with a big package as souvenirs for her friends.
We left the Joger behind and went to visit Tanah Lot which is a very famous destination spot for both domestic and international tourist. It took about one and half hours from the Joger shop. There are a lot of shops around the spot. Most of the goods that selling around seems same with Sukowati, Legian, Kuta and also other places within the island. Of course we have to bargain for buying something. However, the prices are cheaper compared to Kuta and Legian we can get cheap ones if we know how to bargain properly without irritating the sellers. It requires art of bargaining and communication.

It was my first time at Tanah Lot. It was satisfied my child imagination about the place when seeing its photos on calendar. I, Risya and Ira walked around and took photos. We then separated our self to different spots around it to get more details on what we want to know. I finally sat on a green grass field facing the sun that going to West. Not so far from me there were 2 international tourists sitting accompanied by a local guide who is talking fluent in English which trying to convince the tourist about his supra natural power to heal them while sunset. Some minutes later I saw that one of the tourists closed her eyes when the local people put his left hand to her head and slowly got down to her shoulders, backbones and then finished at her bots. I just enjoyed the moment while waiting for sunset is coming around that making tourist sat on quite to enjoy the moment. We then went out of the area when night was coming around.

to be continued with SECOND DAY

Minggu, 19 Juli 2009

Kedayagunaan PP 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal

Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Metode Penelitian Hukum
================================================

LATAR BELAKANG MASALAH

Menindaklanjuti reformasi politik yang berawal pada tahun 1997 dengan keruntuhan rezim Orde Baru, maka diberlakukan pula berbagai pearturan yang mengadopsi semangat, prinsip dan agenda reformasi – walau tidak semua – antara lain UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah – yang lalu diubah/diganti dengan UU No 32 Tahun 2004.

Pada prinsipnya berbagai peraturan perundang-undangan yang terbit dan mulai berlaku pada periode awal reformasi telah mengadopsi paradigma baru hubungan Pusat dan Daerah, Negara dan Rakyat serta Pemerintah dan Masyarakat, terutama pengaturan dalam UU 32/2004 dapat dilihat sebagai wujud nyata akomodasi tuntutan warga Negara akan adanya suatu pemerintahan yang tranparan dan akuntabel. UU tersebut telah meletakan lanadasan baru dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, antara lain pendelegasian sejumlah wewenang dan tanggungjawab guna Pemerintah Daerah yang lebih otonom. UU tersebut juga menggariskan suatu hubungan baru antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat – yang antara lain mewajibkan Pemerintah Daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanannya guna mewujutkan amanat UUD 1945 tentang kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.

Dalam kaitannya dengan perwujudan kesejahteraan masyarakat, maka UU 32/2004 melalui Pasal 11[1]-nya mewajibkan adanya suatu Standar Pelayanan Minimum yang disiapkan sebagai basis hukum dan acuan pengukuran kinerja aparat pemerintah melaksanakan 17 urusan wajib Pemerintah Daerah Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 13[2] dan 14[3] UU tersebut. Ketentuan Pasal 11, Ayat (3) Pasal 14[4] serta huruf a Ayat (1)[5] Pasal 16 UU 32/2004 yang memandatkan adanya penetapan standar pelayanan minimum merupakan landasan keluarnya PP 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimum.

Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang diatur dalam beberapa Pasal UU 32/2004 yang lalu diatur lebih lanjut dalam PP 65/2005 tersebut merupakan suatu kewajiban pemerintah guna menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelengaraan urusan wajib Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan 14 UU 32/2004 tersebut di atas. Untuk itu, PP 65/2005 tersebut menetapkan adanya suatu pembatasan waktu pengadaan SPM tersebut oleh Menteri dan Kepala Lembaga Non Departemen sehingga kehadiran SPM tidak tertunda-tunda, yakni dalam jangka waktu 3 tahun sejak PP tersebut berlaku[6]. Oleh karena keberadaan suatu SPM dari Pemerintah Pusat akan menjadi basis hukum sekaligus pedoman bagi instansi teknis terkait di level provinsi dan kabupaten/kota untuk pengaturan lebih lanjut guna adanya ketersediaan akses dan jaminan mutu pelayanan kepada masyarakat sekaligus sebagai alat pengukuran kinerja aparat lembaga pemerintah yang memberikan pelayanan tersebut. Melalui SPM tersebut, masyatakat juga dapat mengajukan sejumlah keluhan guna perbaikan akses dan mutu pelayanan lembaga pemerintah terkait.

Namun, walau batas waktu yang ditetapkan PP tersebut telah lewat – yakni 28 Desember 2008 – hanya ada 4 kementerian dan lembaga non departemen yang telah membuat SPM, yakni Departemen Kesehatan, Dalam Negeri, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup. Jika dikaitkan dengan 17 urusan wajib yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan 14 UU 32, maka masih terdapat 13 kementerian dan lembaga non departemen yang belum memiliki SPM sebagai pedoman dan acuan bagi lembaga teknis di tingkat provinsi dan kabupaten. Tentunya ketiaadaan SPM dari kementerian dan lembaga non departemen di tingkat pusat tersebut dapat menjadi alasan bagi instansi teknis di tingkat provinsi dan kabupten/kota untuk mengingkari kewajiban menyediakan SPM sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU 32/2004 tersebut. Walau sesungguhnya, tidak ada satupun pasal dalm PP 65/005 tersebut yang menyatakan bahwa SPM instansi pemerintah terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus menunggu SPM dari Kementerian/Departemen ataupun lembaga non departemen yang sama di tingkat nasional.

RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah yang ingin diteliti adalah “bagaimana kedayagunaan / efektifitas penerapan Peraturan Pemerintah No 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal dalam kerangka kewajiban Menteri/Pimpinan Lembaga Non Departemen sebagaimana diatur dalam Ayat 2 Pasal 21 PP tersebut?”.

TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Tujuan dan kegunaan penelitian ini terdiri atas:
Tujuan akademik penelitian ini adalah bahwa hasil penelitian ini dapat berkontribusi bagi perluasan ilmu pengetahuan hukum di bidang tata pemerintahan dan penyelengaraan pelayanan publik, terutama efektifitas suatu peraturan perundang-undangan dalam kaitannya dengan birokrasi pemerintahan.
Tujuan praktis penelitian ini adalah sebagai pemenuhan kewajiban penulis untuk menyelesaikan studi magister hukum.

KAJIAN PUSTAKA
a. Kerangka Koseptual:

Jika ditelusuri ke UUD 1945, maka ketentuan Standar Pelayanan Minimum yang diatur dalam beberapa Pasal UU 32/2004 serta PP 65/2005 sebagaimana tersebut di atas merupakan pengaturan lebih lanjut dari alinea kedua[7] dan keempat[8] UUD 1945, Pokok Pikiran ke 2[9] Pembukaan UUD 1945 serta Sila kelima[10] Pancasila. Selain itu, dalam batang tubuh UUD 1945 juga terdapat beberapa pasal yang secara eksplesit mengatur tentang akses dan jaminan mutu pelayanan Negara demi tercapainya keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan oleh para pendiri Negara sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut, yakni antara lain tentang pendidikan yang diatur dalam Pasal 31, kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 33 dan 34.

Pada level undang-undang, setidaknya terdapat 3 Undang-Undang yang memiliki kaitan langsung dengan pengaturan Standar Pelayanan Minimum, yakni UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) serta UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah – yang lalu diubah/diganti dengan UU No 32 Tahun 2004.

Adanya akses dan jaminan mutu pelayanan lembaga-lembaga pemerintah demi tercapainya kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945 merupakan bagian dari hak asasi rakyat sebagaimana diatur dalam UU HAM. Dimana perwujudannya hanya dapat dicapai melalui pengurusan dan pengelolaan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN sebagaimana diatur dalam UU Anti KKN tersebut di atas. Oleh karena melalui UU Anti KKN, Negara menetapkan adanya sejumlah asas penyelenggaraan Negara[11] yang mengadopsi prinsip-prinsip good governance, yakni partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, tranparansi, pedulih pada stakeholder, berorientasi pada consensus, kesetaraan, efektifitas dan efesiensi, akuntabilitas serta visi strategis[12].

Masuknya prinsip-prinsip good governance[13] sebagai asas-asas penyelenggaraan pemerintahan merupakan pergeseran prinsipil dan signifikan dalam fungsi, peran, tugas dan tanggungjawab pemerintah dari era sebelumnya, yakni sebagai pengatur / regulator menjadi pelayan publik dan administrator. Penegasan normatif terhadap perubahan itu tertuang dalam UU 28/1999 dan UU 32/2004 tersebut di atas. UU 28/1999 telah meletakan landasan hukum baru dalam penyelenggaran pemerintahan yang jika dilaksanakan akan mengahasilkan suatu birokrasi pelayanan masyarakat yang tranparan, akundabel, efesien dan juga efektif. Sedangkan UU 32/2004 telah meletakan landasan hukum baru bagi hubungan pemerintah pusat dan daerah serta juga dalam hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. UU tersebut telah meletakan kerangka normatif baru dalam sistem pemerintahan dan pengurusan pembangunan, terutama pelayanan publik yang terkait langsung dengan kepentingan, kebutuhan dan hak-hak masyarakat sebagai warga Negara pemilik kedaulatan. Perubahan hubungan sentralistik menjadi desentralisasi Pusat – Daerah diatur dalam berbagai pasal UU tersebut yang telah mendesentralisasikan berbagai kewenangan sekaligus tanggungjawab guna Pemerintah Daerah yang lebih otonom. Kerangka normatif baru hubungan pemerintah dengan masyarakat dari semula regulator menjadi pelayan masyarakat dan administrator saja mewajibkan Pemerintah Daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanannya terhadap masyarakat mewujudkan cita-cita UUD 1945 tentang kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta keadilan sosial melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam semua proses pembangunan.

Dalam kerangka teori kenegaraan, kerangka hukum baru yang tertuang dalam UU Anti KKN dan UU Pemerintahan Daerah merupakan upaya mewujudkan Negara kesejahteraan[14] yang “mengantarkan pada aksi perlindungan Negara terhadap masyarakat tertutama kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat, pengangguran dan sebagainya,… Asshiddiqie menguraikan dalam konsep Negara kesejahteraan ini, Negara dituntut untuk memperluas tanggungjawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat”[15].

Dengan demikian, perwujudan kesejahteraan rakyat merupakan peran dan tanggung-jawab pemerintah baik Pusat maupun Daerah sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 dan juga PP 65/2005 tersebut di atas. Tanpa adanya suatu aturan sebagai basis hukum, maka penyelenggara Negara akan menghindari tanggungjawab tersebut karena masih kuatnya praktek-praktek KKN di Negara ini, walau telah ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban aparat pemerintah sebagai adimistratur dan pelayan dalam pelayanan publik.

b. Kerangka Pemikiran
Dengan hanya ada 4 kementerian dan lembaga non departemen yang telah menyediakan Standar Pelayanan Minimum sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan huruf a Ayat (1) Pasal 16 UU 32/2004 dan PP 65/2005, maka harus dinyatakan bahwa PP tersebut tidak berdaya-guna / tidak efektif.

METODE PENELITIAN
a. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian yuridis empiris karena masalah yang akan diteliti terkait pada hal normatif, yakni PP 65 tahun 2005 dengan penerapannya pada tataran empiris, yakni efektifitas / kedayagunaan dari PP tersebut dalam kerangka waktu 3 tahun, yakni 2005 – 2008.
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian normatif akan dilakukan dengan cara mempelajari dan menafsirkan berbagai peraturan perundang-undangan terkait sementara pendekatan empiris akan dilakukan melalui kajian terhadap berbagai referensi sekunder dan tersier yang terkait pada pokok masalah yang diteliti.
c. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah di bidang hukum tata Negara karena terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan Negara, pelayanan publik, birokrasi serta hubungan antara berbagai lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah maupun hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan mandat Pasal 11 dan huruf a Pasal 16 UU 32/2004 maupun PP 65/2005.
d. Data yang diperlukan
Data yang diperlukan terdiri atas data primer, sekunder dan tersier. Data primer akan diperoleh melalui penelusuran dan kajian pustaka terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pokok penelitian, terutama UUD 1945, Undang-Undang (UU) No 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah (PP) No 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal, Keputusan Menteri (Kepmen) Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) No 63 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Perumusan Standar Pelayanan Minimal, Kepmen Kesehatan tentang Standar Pelayanan Minimal Sektor Kesehatan, Kepmendagri tentang Sandar Pelayanan Minimal Pengurusan Pencatatan Sipil dan Pengurusan KTP, serta Keputusan Lembaga Non Departemen Tata Ruang tentang SPM Tata Ruang.

Kajian sekunder akan dilakukan terhadap berbagai tulisan artikel, makalah dan buku dan juga rancangan undang undang (RUU) yang terkait dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), birokrasi pemerintahan, reformasi birokrasi, reformasi pelayanan publik, pemerintahan daerah, hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah yang antara lain ditulis oleh Transparansi Internasional Indonesia, Yeremias T. Kaban, Lijan Poltak Sinambela, Agussalim Andi Gadjong, Ambar Teguh Sulistiyani, World Bank, UNDP, dan berbagai penulis lainnya serta RUU Pelayanan Publik. Sedangkan kajian tersier akan dilakukan terhadap bahan-bahan terkait lainnya.
e. Cara memperoleh data
Cara memperoleh data adalah dengan melakukan penelusuran dan kajian pustaka (Library Research) di berbagai perpustakaan, membeli dan mempelajari buku-buku, termasuk jurnal yang relevan serta juga website yang relevan.
f. Rencana analisa
Analisis akan dilakukan dengan cara penafsiran karena penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis empiris.

SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan penelitian dan hasilnya akan menggunakan referensi dasar buku Pedoman Penulisan Tesis yang diterbitkan oleh Universitas Jayabaya. Untuk itu, kerangka penulisan hasil penelitian ini akan ditulis sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan
Bab II : Kajian Teoritis dan Perundang-undangan
Bab III : Deskripsi Obyek Penelitian
Bab IV : Hasil Penelitian dan Analisa
Bab V : Penutup
Daftar Kepustakaan

DAFTAR KEPUSTAKAAN
- Undang Undang Dasar 1945
- Undang Undang (UU) No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negra yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
- UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
- Peraturan Pemerintah (PP) No 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
- Rancangan Undang Undang (RUU) Pelayanan Publik
- Prinsip-prinsip Good Governance. Tranparansi Internasional Indonesia. www.transparansi.or.id
- Prinsip-Prinsip Good Governance. Komite Nasional Kebijakan Governance. www.governance-indonesia.com
- Kaban, Yermias T. Good Governance dan Capacity Building sebagai Indikator Utama dan Fokus Penilaian Kinerja Pemerintahan. Naskah No. 20 Juni – Juli 2000.
- Community, Green Mind. Teori dan Politik Hukum Tata Negara. 2009
[1] Pasal 11 UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan “penyelenggaraan urusan pemerintahanyang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.
[2] Ayat (1) Pasal 13 UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan “urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi mrupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata tuang; c. penyelengaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumberdaya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil an menengah, termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan, termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal, termasuk lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh aturan perundang-undangan”.
[3] Ayat (1) Pasal 14 UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan “ urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan pemanfaatan dan pengawasan tata ruang; c. penyelengaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang ksehatan; f. penyelengaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketegakerjaan; i. fasilitasi pengembangan kperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. penanganan pertanahan; l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyeengaraan pelayanan dasar lainnya; p.urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
[4] Ayat (3) Pasal 14 UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan “pelaksanaan ketenutan sebagaimana diatur dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
[5] Huruf a Ayat (1) Pasal 16 UU 32/2004 menyatakan “hubungan dalam bidang pelayanan umum antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (4) dan Ayat (5) meliputi : a. kewenangan, tanggungjawab dan penentuan standar pelayanan minimal”.
[6] PP 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal diberlakukan pada tanggal 28 Desember 2005 melalui Lembaran Negara (LN) Nomor 150 Tahun 2005.
[7] Alinea kedua UUD 1945 menyatakan “dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagi dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
[8] Alinea keempat UUD 1945 menyatakan “… dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”
[9] Pokok Pikiran ke 2 UUD 1945 menyatakan “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”
[10] Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
[11] Asas-asas penyelenggaraan Negara yang diatur dalam Pasal 3 UU 28 tahun 1999 bahwa asas-asas umum penyelenggraan Negara meliputi : 1. Asas kepastian hukum; 2. Asas tertib penyelenggaraan Negara; 3. Asas kepentingan umum; 4. Asas keterbukaan; 5. Asas proporsionlitas; 6. Asas profesionalitas; 7. Asas akuntabilitas. Penjelasan Pasal 3 tersebut mengemukakan bahwa “1. Asas kepastian hukum adalah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap penyelenggaraan Negara; 2. Yang dimaksud dengan asas “tertib penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara; 3. Yang dimaksud dengan asas kepentingan umum adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif; 4. Yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskrimintaif tentang penyelengaraan Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara; 5. Yang dimaksud dengan asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara; 6. Yang dimaksud dengan asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 7. Yang dimaksud dengan asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
[12] Prinsip-prinsip good governance di bagian good governance. www. tranparansi.or.id. tanggal akses 20 Mei 2009.
[13] Good governance dimaknai secara beragam oleh para ahli di Indonesia. Prof. Bintoro Tjokroamidjojo dalam Good Governance (Paradima Baru Manajemen Pembangunan) memaknai good governance sebagai suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan. Yeremias T.Keban, Ph.D dalam “Good Governance” dan “Capacity Building” sebagai indikator utama dan fokus penilaian kinerja pemerintahan mengemukakan bahwa “… pembahasan tentang good governance dapat ditelusuri dari tulisan J.S. Edralin (1997). Governance merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk menggantikan istilah government yang menunjukan penggunaan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah kenegaraan. Istilah ini secara khusus menggambarkan perubahan peranan pemerintah dari pemberi pelayanan (provider) kepada “enabler” atau “facilitator”, dan perubahan kepemilikan yaitu dari milik negara menjadi milik rakyat (hal.4)
[14] … Negara kesejahteraan dapat didefenisikan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial yang member peran lebih besar pada Negara atau pemerintah (untuk mengalokasikan sebagaian dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya). Oleh Grand Mind Community, 2009. Teori Politik Hukum Tata Negara, Hal. 307.
[15] Ibid.

Efektifitas Penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa

Tulisan ini merupakan tugas Mata Kuliah Sosioliogi Hukum Kuliah Magister Hukum
===========================================================

1. LATAR BELAKANG
Desa sebagai suatu kesatuan territorial administratif dan sosiologis merupakan unit terkecil pemerintahan Negara Republik Indonesia. Sebagai suatu unit admistratif dan sosialogis, pada pokoknya suatu desa memiliki 2 aturan main utama untuk mengatur segla peri kehidupan penduduknya, yakni aturan-aturan adat – yang pada umumnya tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dari kebiasaan dan kebudayaan penduduk di desa tersebut serta aturan-aturan Negara yang diberlakukan secara struktural dari tingkat nasional hingga ke desa.

Pada era Orde Baru, desa diatur secara ketat oleh Negara melalui UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan berbagai peraturan pelaksanaanya. Namun seiring dengan hadirnya era reformasi di Negara Republik Indonesia, maka aturan-aturan tentang desa juga mengalami berbagai perubahan signifikan yang memberikan otonomi lebih luas terhadap desa dibanding era sebelumnya, misalnya antara lain adalah bahwa istilah desa untuk unit pemerintahan terkecil Negara tidak perlu seragam lagi. Masing-masing kesatuan sosiologis administratif tersebut dapat menggunakan istilah sendiri sesuai konteks lokal dan kesepakatan bersama masyarakat setempat tentunya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 12 Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 1 Angka 5 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, menyatakan bahwa “Desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat, yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Selanjutnya Pasal 200 Ayat 2 UU tersebut menyatakan bahwa “Pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Desa dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat”.

Pasal 206 UU No. 32 Tahun 2004 juncto Pasal 7 PP No. 7 Tahun 2005 tentang Desa mengatur kewenangan desa meliputi “a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; b) urusan pemerintahanyang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; c) tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota; d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Selanjutnya Pasal 207 menyatakan bahwa “tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia”.

Pembangunan di desa merupakan bagian dari pembangunan bangsa dan Negara Republik Indonesia. Karena itu, pembangunan harus dilakukan menggunakan suatu perencanaan yang baik dan matang sebagaimana diatur dalam UU No. 25Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam pada itu, konsiderans menimbang dalam UU tersebut pada poin c,d dan e menyatakan bahwa “c) tugas pokok bangsa selanjutnya adalah menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu serta mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan; d) untuk menjamin agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efesien dan bersasaran maka diperlukan perencanaan pembangunan nasional; e) agar dapat disusun perencanaan pembangunan nasional yang dapat menjamin tercapainya tujuan Negara perlu adanya sistem perencanaan pembangunan nasional”. Selanjutnya Pasal 1 angka 1, 2 dan 3 UU tersebut menyatakan bahwa “1) perencanaan adalah suatu tindakan untuk menentukan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia; 2) Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara; 3) Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah suatu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsure penyelenggara Negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah”.

Secara struktural, perencanaan pembangunan nasional diatur penyelenggaraannya secara berjenjang yang dimulai dengan perencanaan pembangunan di ditingkat Desa melalui suatu Musyararah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional juncto PP No 8 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pembangunan Daerah. Pasal 20 Ayat (1) PP No 8 Tahun 2008 tersebut menyatakan bahwa “Musrenbang RKPD kabupaten/kota dimulai dari Musrenbang desa atau sebutan lain/kelurahan dan kecamatan atau sebutan lain” yang lalu diteruskan secara berjenjang ke Murenbang kabupaten/kota, provinsi dan kemudian berpuncak pada Musrenbang Nasional – yang dikoordinir oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Kenyataannya, banya desa yang tidak memiliki RKP-Desa, apalagi RPJMDesa sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas. Dalam banyak kasus seperti yang terjadi di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara, rencana pembangunan yang disebut sebagai hasil suatu Musrenbang hanyalah buah pikir para Kepala Desa yang disampaikan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan yang lalu secara berjenjang diteruskan ke tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Dari praktek-praktek Musyarawah Perencanaan Pebangunan yang terjadi di level desa ditemukan adanya sejumlah masalah, yakni :
1) Minim atau tidak adanya partisipasi warga masyarakat karena minimnya kapasitas pemerintah desa memfasilitasi perencanaan pembangunan di desa sebagai akibat dari minimnya pengetahuan, kesadaran dan kapasitas – yang harusnya difasilitasi oleh Badan Perencanaan Pebangunan Daerah (BAPPEDA) kabupaten/kota dimana suatu desa berada.
2) Perencanaan pembangunan yang dilakukan beberapa desa masih bersifat elitis, yakni hanya melibatatkan aparat desa dan para tokoh. Akibatnya kebutuhan orang miskin dan terpinggirkan seperti perempuan, anak-anak, orang cacat dan juga lansia tidak teridentifikasi dan terumuskan.
3) Beberapa desa yang melakukan musyarawah perencanaan pembangunan tidak memiliki kemampuan analisis yang memadai sehingga hasil perencanaannya secara umum adalah daftar keinginan semata, bukan kebutuhan prioritas yang harus didanai oleh Negara melalui APBD dan/atau APBN.
4) Mayoritas hasil Musrebangdes tidak terakomodir dalam perencanaan pembangunan di level yang lebih tinggi seperti kecamatan, kabupaten/kota dan seterusnya. Halmana berdampak pada apatisme desa, termasuk masyarakatnya untuk melakukan Musrenbangdes.

2. LANDASAN TEORI dan ANALISIS
Permasalah Musrenbangdes tersebut diatas dapat dianalisis menggunakan teori fungsional struktural yang dikemukakan oleh Emile Durkheim dan Robert K. Merton.

Durkheim mengemukakan bahwa “1) Di setiap masyarakat senantiasa dijumpai suatu keterkaitan (kohesi). Dalam masyarakat seperti itu terdapat pengelompokan intermedier atas lembaga-lembaga kemasyarakatan, sehingga di dalam masyarakat ada semacam suatu struktur tertentu; dan 2) jika dalam pengelompokan membagi nilai dengan norma-norma yang sama, maka masyarakat itu memiliki aturan dalam pergaulan hidup, dimana orang-orang mempunyai ikatan-ikatan erat dalam pengelompokan intermedier, sehingga mereka mengindahkan nilai-nilai dan norma pergaulan hidup tersebut”[1].

Sedangkan, menurut teori Anomi Fungsional Strukturalisme Robert K. Merton sebagai penyempurnaan terhadap teori Durkheim bahwa “ kesenjangan antara tujuan dan alat tidak dapat diterangkan dari sudut prikologi atau biologi, tetapi adalah akibat dari kultur dan struktur pergaulan hidup”[2].

3. ANALISIS
Desa merupakan suatu pengelompokan sosial, budaya dan juga administrasi pemerintahan. Di suatu desa sendiri terdapat berbagai kelompok masyarakat yang berinteraksi satu sama lain sesuai norma-norma sosial budaya setempat. Dalam kaitannya dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat diidentifikasi adanya sejumlah kelembagaan terkait satu sama lain sebagaimana teori Durkheim, yakni antara lain Desa (Pemerintah Desa, Lembaga Kemasyarakat Desa, dan juga kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan di desa), lembaga pemerintahan tingkat Kecamatan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) kabupaten/kota, serta berbagai lembaga sektoral di tingkat kecamatan hingga kabupaten/kota seperti Dinas Kesehatan dengan Unit Pelayanan Teknis (UPT) Puskesmas, Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, dll yang mana semuanya terkait satu sama lain dalam perencanaan pembangunan sebagimana diatur oleh aturan perundang-undangan tentang Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang telah memberikan kewenangan dan kewajiban kepada masing-masing lembaga.

Dalam kaitannya dengan Musrenbang desa/atau nama lainnya maka Pasal 63 PP No 72 tahun 2005 tentang Desa menyatakan bahwa “1) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, maka disusun perencanaan pembangunan desa sebagai suatu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten / kota; 2) perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada Pasal (1) disusun secara partisipatif oleh pemerintahan desa sesuai dengan kewenangannya; 3) dalam perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan desa”. Selanjutnya dalam Pasal 64 diatur bahwa “(1) perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 Ayat (2) disusun secara berjangka meliputi : a) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa yang selanjutnya disebut RPJMD untuk jangka waktu 5 (lima) tahun; b) Rencana Kerja Pembangunan Desa, selanjutnya disebut RKP-Desa, merupakan penjabaran dan RPJMD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

Lebih lanjut, PERMENDAGRI No 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa menyatakan bahwa “pengertian Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa yang selanjutnya disebut MUSRENBANGDES adalah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan secara partisipatif oleh para pemangku kepentingan desa (pihak yang berkepentingan untuk mengatasi permasalah desa dan pihak yang akan terkena dampak hasil musywarah) untuk menyepkati rencana kegiatan di desa 5 (lima) dan 1 (satu) tahunan. Musrenbangdes berfungsi sebagai wadah untuk menselaraskan kesepakatan antar para pelaku, baik pemerintah, masyarakat maupun swasta tentang rencana kerja tahunan di masing-masing desa. Musrenbang juga digunakan untuk menjabarkan rencana jangka panjang menjadi kegiatan anggaran tahunan”[3]

Secara berjenjang, RKP-Desa dan RPJMDes terintegrasi dengan RKP-Kabupaten / kota dan RPJMD kabupaten/kota yang lalu teritegrasi ke provinsi dan seterusnya sampai ke level nasional. Masalahnya, masing-masing lembaga yang terikat dalam suatu sistem perencanaan tersebut sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tersebut memiliki ego, kepentingan, keinginan, kebutuhan dan agenda sendiri-sendiri untuk menyerap dan menggunakan anggaran pembangunan dalam membiayai perencanaan-perencanaan pembangunan.

Pada level desa, Kepala Desa memiliki kepentingan, keinginan dan kebutuhan yang berbeda dengan warga masyarakatnya. Kelompok elit desa memiliki kepentingan dan kebutuhan berbeda dengan kelompok miskin dan terpinggirkan, dan seterusnya. Di level kecamatan, masing-masing desa memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda satu sama lain. Demikian juga dengan di level kabupaten/kota, semua lembaga tersebut memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda – yang mana seharusnya kepentingan dan kebutuhan berbeda tersebut dapat dikompromikan dengan menggunakan dasar kepentingan dan kebutuhan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat sebagai alat kontrolnya.

Namun karena kepentingan dan kebutuhan masing-masing pihak tidak dapat dikompromomikan dalam proses-proses perencanaan, maka yang terjadi adalah lembaga yang secara struktural berada di posisi lebih tinggi akan mengorbankan kepentingan dan kebutuhan lembaga yang lebih rendah posisinya. Misalnya, Pemerintah Desa yang memiliki kepentingan dan kebutuhan sendiri akan memasukan kepentingan dan kebutuhan tersebut sebagai hasil Musrenbang di level desa, demikian seterusnya secara berjenjang sehingga pada saat Musrenbang kabupaten/kota, hasil-hasil yang muncul adalah kepentingan dan kebutuhan masing-masing lembaga di level kabupaten dan kota yang memiliki posisi, wewenang dan sumber daya lebih dibandingkan dengan lembaga-lembaga di level kecamatan dan desa yang harusnya dilihat sebagai suatu pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan tentang Perencanaan Pembangunan.

Akibatnya, usulan-usulan masyarakat yang disampaikan melalui pertemuan-pertemuan Musrenbangdes tidak terakomodir ke dalam perencanaan pembangunan daerah di tingkat kabupaten maupun provinsi. Dampak selanjutnya adalah program-program pembangunan yang masuk ke desa tidak menjawab kebutuhan masyarakat desa sehingga menjadi tidak bermanfaat karena tidak sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Contohnya kasus yang terjadi di Kelurahan Takome, Kota Ternate, Provinsi Maluku Tenggara. Pada Musrenbang tahun 2007, penduduk kelurahan tersebut mengajukan usulan pengadaan alat tangkap ikan bagi nelayan setempat. Namun, Pemerintah Daerah memberikan bantuan ternak sapi pada tahun 2008 – dimana sapi-sapi tersebut diberikan pada kelompok elit setempat. Contoh kasus tersebut memperlihatkan tidak adanya hubungan antara hasil Musrenbang dengan realisasinya. Praktek-praktek seperti kasus di Kelurahan Takome tersebut telah berlangsung selama bertahun-tahun karena faktor-faktor antara lain :1) tidak ada mekanisme formal dan praktis yang memungkinkan masyarakat desa mengawal usulan-usulan mereka hingga ke Musrenbang tingkat kabupaten / kota dan provinsi; 2) Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) di level kabupaten / kota memiliki agenda dan kepentingan sendiri yang berbeda dengan agenda dan kepentingan masyarakat desa; 3) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) kabupaten/kota sebagai lembaga pemerintah yang bertanggungjawab mengkoordinir perencanaan pembangunan lebih memilih mengakomodir agenda-agenda SKPD terkait daripada memasukan agenda masyarakat desa sebagaimana teori Anomi Robert K. Merton tersebut di atas bahwa kesenjangan tersebut diakibatkan oleh kultur dan struktur. Karena praktek-praktek seperti itu telah berlangsung bertahun-tahun, maka dapat dikatakan bahwa hasil-hasil Musrenbangdes yang tidak terakomodir di tingkat kabupaten/kota hingga provinsi telah menjadi budaya. Strukur pemerintahan yang berjejang dari desa hingga kabupaten/kota dan provinsi telah mengakibatkan usulan-usulan masyarakat desa tidak diperhatikan dan dijawab dalam rencana-rencana pembangunan daerah saat lembaga-lembaga sektoral pemerintah memiliki agenda dan kepentingan sendiri untuk dilaksanakan. Tidak ada mekanisme yang member ruang bagi masyarakat desa untuk menyuarakan kebutuhan dan kepentingannya dalam Murenbang kabupaten/kota dan provinsi membuat kebutuhan-kebutuhan mereka selalu diabaikan.

Dalam kaitanya dengan kondisi tersebut, teori Robert K. Merton memberikan penjelasan bahwa “terdapat jurang pemisah antara di satu sisi ambisi-ambisi atau tujuan-tujuanyang ditetapkan oleh suatu kebudayaan (mencapai sukses), di sisi lain kemungkinan-kemungkinan untuk mencapai hal itu (puncak). Bagi sebagian besar warga hal tersebut tidak mungkin mencapai puncak, mereka yang tinggal di daerah kumuh atau yang dibesarkan dalam gubuk tidak memperoleh pendidikan yang baik, karenanya tidak mempunyai pekerjaan yang layak, bahkan tidak mampu menabung uang untuk membuka usaha sendiri”[4]. Dalam kasus Musrenbangdes yang tidak terakomodir di level kabupaten/kota maupun provinsi memperlihatkan adanya korelasi jarak, pendidikan dan juga struktur dalam pengabaian kebutuhan dan kepentingan desa pada Musrenbang kabupaten/kota dan provinsi. Meskinpun untuk itu telah tersedia aturan yang memberikan jaminan adanya perencanaan dari bahwa namun tidak tersedianya aturan yang mengatur akses desa ke forum Musrenbang di tingkat kabupaten/kota dan provinsi menyebabkan kebutuhan dan kepentingan pembangunan desa/kelurahan selalu terabaikan dan diatur oleh lembaga-lembaga pemerintah di level kabupaten/kota atau provinsi. Masyarakat desa sebagai kelompok masyarakat yang berada pada jejang terbawah struktur kekuasaan pemerintah tidak memiliki ruang menyuarakan kebutuhan dan kepentingan mereka. Penyuaraan kebutuhan dan kepentingan mereka sangat tergantung pada kelompok-kelompok kelas menengah yang didominasi oleh organisasi-organisasi non pemerintah (Lembaga Swadaya Masyarakat / LSM) yang di beberapa daerah juga tidak memiliki akses ke forum Musrenbang kabupaten / kota. Kalaupun kelas menengah ini memiliki akses ke forum-forum Musrenbang, maka kadang mereka juga harus berkompromi dengan agenda dan kepentingan dinas-dinas sektoral pemerintah setempat. Jika tidak, maka pada Musrenbang yang akan datang, mereka tidak akan lagi diikut sertakan.

Dengan demikian, harus dinyatakan bahwa kebutuhan dan kepentingan desa hanya bisa terakomodir dalam forum Musrenbang kabupaten / kota dan provinsi jika wakil-wakil masyarakat desa yang dipilih melalui suatu proses yang terbuka dan menyeluruh di desa diikutsertakan dalam forum-forum Musrenbang kabupaten/kota dan provinsi sehingga mereka dapat menyuarakan dan memperjuangkan terakomodirnya agenda-agenda pembangunan desa untuk mendapatkan pembiayaan Negara melalui APBN dan APBD. Jika tidak, maka pengabaian kebutuhan dan agenda pembangunan desa akan terus berlangsung – walaupun tersedianya aturan yang menjamin akomodasi kebutuhan dan agenda pembangunan desa, namun ketiadaan mekanisme kontrol menyebabkan penyimpangan akan selalu terjadi terus menerus.

4. REFERENSI
- UU No 32 Tahun 2004 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah
- UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional
- PP 72 Tahun 2005 tentang Desa
- PP No 8 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pembangunan Daerah
- PERDA Kabupaten Luwu Utara No 15 tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa / Kelurahan
- Prof. Dr. Bambang Widodo. Paradigma Sosiologi Hukum. Universitas Jayabaya, 2009.
- Arum Widayatsih. MUSRENBANG: Dilema “titah Paduka” dan kebutuhan masyarakat desa
- Sukanto Toding. Bahteramas dan Kemandirian Desa
- Imron Rosyid. Merencanakan dan Mengelola Keuangan Desa
- Aos Kuswandi. Penyusunan Pelaporan Pembangunan Desa, 2007
[1] Prof. Dr. Bambang Widodo. Paradigma Sosiologi Hukum, Hal. 33. Universitas Jayabaya, 2008.
[2] Ibid
[3] Arum Widayatsih. Blog 11 Juni 2008. Hal. 1
[4] Opcit. Hal 40

Sejarah Hukum : Makalah 40 halaman - gelo benar.

Sabtu, 18 Juli 2009,

Pada hari Jumat, 17 Juli 2009 saya mendapatkan sms dari beberapa teman kuliah bahwa hari sabtu ada kuliah sejarah hukum. SMS yang saya saya terima dari pak Slamet, yang lalu saya konfirmasi apakah mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah umum atau konsentrasi berhubung karena saya telah mengambil konsentrasi HTN, maka saya perlu informasi jelas sehingga tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu. Jawabannya adalah mata kuliah umum sehingga saya akhirnya harus mengikuti kuliah tersebut.

Kuliah di mulai jam 1, dimana saat saya tiba kuliah telah dimulai, padahal jam yang saya kenakan baru menunjukan pukul 1 tepat. Pintu saya ketuk perlahan lalu melangkah masuk dan mengucapkan salam terhadap dosen yang menyahut seadanya. Suasana kelas terasa lain daripada biasanya. Sepertinya ada ketegangan dalam kelas. Diam-diam saya mengambil tempat duduk di belakang Pak Panca Hasibuan disamping Pak Jurnalis. Pak Jurnalis kemudian mengambil absensi dan menyodorkanya kepada ku, namun karena dosen juga sedang melakukan absensi menggunakan list yang dipegangnya, maka map absen yang disodorkan Jurnlis tidak saya hiraukan karena mengira dicandai.

Saat sang dosen selesai mengabsen, beberapa teman susul menyusul masuk, antara lain Pak Gatot yang bekerja di BPKP, Bu Sumarni di KPK, Pak Junias di salah satu Law Firm di Jakarta serta Pak Loekman lalu Bu Wan Sellya yang memiliki kantor notariat sendiri. Mereka juga merasakan suasana tegang kelas sehingga mulai kasak kusuk mencari tau apa yang sebenarnya terjadi. Karena saya duduk paling dekat dengan teman-teman yang baru masuk tersebut, maka rasa penasaran mereka dalam bentuk tanya tersebut disampaikan ke saya, namun saya hanya mengankat bahu sambil mencibir tanda tak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.

Saat sang dosen keluar ruangan, sambil meminta agar kami membaca fotocopian bahan kuliah yang telah dibagikan oleh Pak Slamet, kelas langsung ribut dan saling sapa satu sama lain, termasuk mencari tahu apa yang terjadi, yakni bahwa sang dosen ngomel-ngomel karena sabtu lalu saat dia tiba untuk mengajar, ternyata semua mahasiswa telah pulang sehingga dia terpaksa gigit jari dan balik juga. Padahal dia telah bersusah payah dari Tanggerang untuk menyampaikan kuliahnya.

Suasana mulai mencair saat dosen memasuki kelas sambil membawa setumpuk buku baru yang masih bersampul plastik. Dia bertanya berapa mahasiswa yang hadir, saya menjawab 16 setelah menghitung semunya, namun ternyata dia ingin mengetahui berapa semua mahasiswa yang mengikuti kuliah Sejarah Hukum, setelah berpandangan satu sama lain, maka Pak Budi Setiawan pun menjawab sekitar 30 orang. Lalu ditanggapin bahwa buku yang dibawanya tidak mencukupi karena hanya 25. Menurutnya buku tersebut juga telah habis di Gramedia sehingga dia secara khusus meminta penerbit menyediakan buku yang ternyata tulisan sang dosen itu sendiri. Teman-teman yang duduk dijajar depan lalu berinisiatif mengambil dan membangikan buku-buku tersebut, sambil ditimpali oleh dosen dengan informasi bahwa harga buku belum berubah sejak dijual di toko buku Gramedia, yakni 100 ribu per buku. Tentu saja beberapa diantara kami merengut mendengar harga tersebut, namun tidak ada pilihan selain membeli buku tersebut... saya hanya senyum simpul melihat ke Pak Jurnalis yang duduk di sebelah saya.

Saat sang dosen keluar lagi untuk mengurus sesuatu, bagaikan burung lepas sangkar, berbagai komentar pun berseliweran tentang hal tersebut, termasuk tentang PPN 10%... ada yang mengatakan jika dijual di Gramedia, seharusnya buku tsb dipotong pajak 10%, dan karena ada teman kuliah, yakni Pak Rio yang bekerja di kantor Pajak, maka beberapa teman sambil bercanda mengatakan agar pak Rio meminta pajak buku tersebut, yang disambut lainnya sambil meng-iya-iya dan ketawa ketiwi - yang lalu semua tiba-tiba diam saat dosen masuk kembali ke ruangan.

Sang dosen lalu memulai kuiahnya - yang bahannya telah para mahasiswa pegang. tidak ada yang baru karena ternyata sang dosen hanya membaca apa yang telah tertulis dan dipaparkan melalu infocus dimana fotocopiannya telah sedang kami pegang. Akibatnya langsun terasa, karena beberapa dari kami, terutama yang duduk dijejeran kursi kedua ke belakang mulai ngantuk dan menutup mata di tengah ruangan yang panas karena AC sedang tidak berfungsi.

Beberapa kali sang dosen keluar masuk entah mengurus fotocopy ataupun menerima dan/atau menelpon. beberapa teman juga menggunakan waktu tersebut untuk keluar ruangan yang tentu saja mereka bertemu dosen di luar ruangan, sehingga saat masuk lagi dosen berkomentar getas bahwa kami disuruh membaca dan mempelajari bahan yang telah disiapkan bukannya masuk keluar ruangan. Saya hanya tertawa kecil ke teman2 yang tadi keluar ruangan, dimana mereka ada yang terperanga dan ada yang tertunduk malu karena diomelin dosen... he he he ada aja...

Saat kuliah berlangsung, beberapa diantara kami, termasuk saya mencoba mencairkan suasana dan membangun komunikasi dengan sang dosen, namun jawaban-jawaban dosen yang ketus meruntuhkan semangat untuk berkomunikasi lebih lanjut. Bahkan salah satu teman yang biasanya suka bertanya, yakni Pak Panca juga terduduk diam sepanjang kuliah berlangsung sehingga saya dan Bu Marni mengolok-oloknya... tapi tidak ditanggapi sebagaimana biasanya. Pk Wardani yang bekerja di Kantor Imigrasi Jakarta Barat - yang duduk dibelakang ku beberapa mengorek tubuh ku dan berbisik bahwa dosen tersebut direkomendasikan oleh pak Slamet untuk menjadi pembimbing tesis, sehingga saya menoleh sejenak untuk menanggapi "ambil aja pak" sambil tertawa kecil.. yang lalu dibalas "wah, ntar dipikir-pikir dulu lagi", kalau bimbingan yang diberikan sebagaimana saat menjawab pertanyaan di kelas, kita bisa makin lama menyelesaikan kuliah nih... saya mau minta Prof Mustofa salah satunya... saya mengangguk menyetujui... sambil kami terus berbisik satu sama lain bahwa dosen pembimbing lainnya akan kami liat terlebih dahulu dari cara mereka mengajar di kelas.

Saat membicarakan tugas yang diberikan oleh dosen, saya mencoba menawar waktu deadline, namun dosen dengan getas menjawab bahwa waktu tidak bisa diperpanjang karena 2 alasan, yakni 1) waktu semester yang hampir selesai, dimana tugas tersebut termasuk salah satu aspek penilaian yang akan berkontribusi pada hasil peniliaian keseluruhan terhadap mata kuliahnya; 2) mahasiswa biasanya suka kerja pada saat akan deadline, sehingga memberikan kelonggaran waktu tidak akan membantu. Selain itu, makalah yang dibuat harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukannya, yakni 40 halaman, menggunakan teknik penulisan ilmiah yang benar dan tepat, tiap halaman harus memiliki paling tidak 1 footnote, harus memiliki tabel, grafik dan juga lampiran - dimana makalah yang lengkap seperti itu akan mendapatkan nilai yang bagus. Jika ada syarat yang tidak dipenuhi, maka penilainnya juga akan berkurang. Tentu saja teman-teman pada BT dan cemberut, lalu dengan bercanda satir saya berpura-pura menenangkan dengan mengatakan "yang penting dikerjakan dan lulus" yang dibalas dengan senyum masam...

Jarum jam hampir menunjukan pukul 4sore saat kuliah diakhiri. Di lift saya bertemu Pak Lukman yang mengomentari kuliah hari ini bahwa dosennya serius banget.. he he he saya hanya tertawa sambil memencet tombol lift. Kami lalu berpisah di teras kampus... untuk pulang ke rumah masing-masing. Panas mentari masih tersisa di sore itu sehinga saya memutuskan untuk langsung pulang dan tidur sejenak. Ternyata sampai di rumah saya langsung tidur-tiduran yang memulaskan sehingga baru terbangun saat mendengar Azan Magrib dari musolah dekat rumah... malam telah menjelang.

Akuntabiliitas Proses Seleksi Kertas Konsep

Jumat, 17 Juli 2009

Setelah proses review selama 1 bulan (15 Juni - 15 Juli 2009), dimana masing-masing anggota panel melakukan review dan memberikan skoring masing-masing pada lembaran skroing yang telah disiapkan oleh saya untuk memudahkan kerja anggota panel dan juga pengumpulan, tabulasi serta rekapitulasi hasil skoring tersebut. Sampai dengan akhirnya Panel Seleksi Kertas Konsep Proyek yang terdiri dari 1 orang mewakili GU UNDP Indonesia, Pemerintah Indonesia dan LEAD Project bertemu untuk pengambilan keputusan kertas konsep mana yang diterima dan ditolak.

1 minggu sebelumnya, saya sebagai orang yang bertanggungjawab di project untuk kertas2 konsep yang masuk telah mengumpulkan hasil review dari semua anggota panel. Selama 5 hari kerja, hasil-hasil review tersebut saya tabulasikan lalu rekapitulasi sehingga mendapatkan skoring terhadap setiap lembaga pengaju kertas konsep. Semua skoring yang dihasilkan saya kategorisasi ke dalam tiga tipe, 1) lolos tanpa perlu diskusi; 2) lolos atau gagal tapi perlu didiskusikan lagi oleh para anggota panel; 3) gagal tanpa perlu diskusi. Dari total 46 kertas konsep proyek telah direview, ditabulasi serta direkap, mayoritas masih harus didiskusikan oleh para anggota panel karena adanya perbedaan skoring individual. Hanya beberapa yang lolos atau gagal tanpa perlu didiskusikan lagi.

Akhirnya, pertemuan panel pada tanggal 17 Juli berlangsung juga walau terlambat dari jam yang disepakati. oleh karena bom Marriot dan Carlton di Kuningan telah memacetkan sebagian jalan di Jakarta sehingga salah satu anggota panel tidak dapat hadir pada waktunya. Untuk itu, kami yang telah ada harus menunggu sambil bercakap-cakap tentang peristiwa teror pagi tadi sambil menonton tv yang tersedia di ruangan tersebut. Berbagai dugaan tentang siapa dibalik teror tersebut pun bermunculan dari masing-masing orang tentunya dengan basis argumentasi masing-masing.

Sekitar 30 menit molor, kami mendapatkan telpon dari anggota panel yang terjebak macet yang meminta agar pertemuan dimulai saja sambil menunggu anggota panel yang belum hadir. semuanya setuju dengan catatan melewati hasil-hasil skoring dari anggota panel yang belum hadir untuk mendapatkan klarifikasi terlebih dahulu baru pengambilan keputusan.

Saat pengambilan keputusan terhadap 3 lembaga dari Sulawesi Tenggara telah dilakukan, anggota panel yang terlambat akhirnya tiba. Diskusi pengambilan keputusan pun dilanjutkan dimana masing-masing anggota panel harus memberikan klarifikasi alias mempertanggungjawabkan hasil skoringnya terhadap kertas konsep yang direviewnya. Oleh karena adanya perbedaan yakni rendah dan tinggi yang lalu menghasilkan akumulasi persentase skoring lolos atau gagal, maka perlu ada klarifikasi misalnya dari anggota yang menghasilkan skoring rendah dan anggota yang mengahasilkan skoring tinggi. Apa alasannya sehingga hasil skoring individual dari anggota panel tersebut muncul seperti yang ditabulasikan. Klarifikasi masing-masing anggota akan memberikan pemahaman dan juga perspektif terhadap hasil skoring sehingga keputusan menerima atau menolak memiliki landasan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan oleh panel sebagai suatu tim. Dengan demikian, keputusan tersebut tidak hanya bersandar pada hasil akhir rekapitulasi presentasi total, tapi juga alasan-alasannya. Semua alasan-alasan yang menghasilkan keputusan menolak atau menerima satu kertas konsep dicatat oleh salah seorang staf proyek yang diminta khusus bertindak sebagai pencatat. Pertemuan juga dihadiri oleh seorang staf ahli Bappenas yang bertindak sebagai pengamat. Dua anggota panel penasaran dengan persentase individual yang dihasilkan dari hasil skoring mereka sehingga saya harus menjelaskan bahwa hasil mentah skoringnya kemudian dibagi dengan bilangan pembagi 500 untuk mendapatkan persentase rata-rata yang lalu dijumlahkan dengan hasil dari anggota lain kemudian dibagi tiga untuk menghasilkan angka dan persentase rata-rata terhadap masing-masing pelamar yang mengajukan kertas konsepnya. Dengan sistem seperti itu, maka transparansi dan akuntabilitas proses tetap terjaga, karena masing-masing anggota panel tidak akan mengetahui berapa skor dan persentase yang dihasilkan oleh mereka masing-masing. Saya sebagai penanggungjawab pun tidak bisa memainkan hasil skoring karena pada pertemuan tersebut, semua dokumen yang digunakan oleh masing-masing anggota panel akan diperiksa lagi untuk memeriksa silang hasil tabulasi dan rekapitulasi yang saya buat, dengan demikian jika terjadi penyimpangan, maka anggota panel yang memberikan skoring akan mengetahui dan memprotes hasil tabulasi dan rekapitulasi tersebut. Dengan sistem tersebut, maka check and balance terhadap hasil skoring benar-benar terjaga sekaligus mencegah adanya favoritisme terhadap lembaga-lembaga tertentu.

Pertemuan pengambilan keputusan tersebut berakhir jam 11.30 yang menghasilkan sekitar 12 lembaga lolos ke tahap berikut dari 46 lembaga pengusul. Untuk itu, saya kemudian menginformasikan secara singkat proses selanjutnya, yakni surat pemberitahuan dari Proyek ke semua lembaga serta surat dari BAPPENAS ke BAPPEDA2 terkait berisi informasi yang sama tentang proses seleksi dan hasilnya.

Sambil menunggu makan siang yang telah dipesan, masing-masing anggota panel menyibukan diri dengan obrolan tentang berbagai hal, terutama yang terkait dengan masalah teror bom. Berbagai dugaan menguar lagi dengan analisis masing-masing. Pada saat yang sama, Manajer Proyek menginformasikan bahwa semua staf diminta pulang ke rumah masing-masing oleh UNDSS. Instruksi tersebut telah diteruskan kepada semua staf yang berada dalam ruang pertemuan maupun di kantor di Jakarta.

Setelah makan siang, saya dan Proyek Manajer kembali ke kantor. Tidak lama berselang, Manajer Proyek pun balik ke rumah sesuai instruksi UNDSS, staf lain pun susul menyusul, hanya tinggal saya dan Asisten Proyek yang bertahan sampai jam 4 sore karena masih ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Akhirnya saya selesai dan balik terlebih dahulu meninggalkan Asisten Proyek yang masih mengurus beberapa masalah perjalanan peserta yang akan ke ICAAP di Bali. Ada yang mengubah tanggal dan rute perjalanannya sehingga Asisten Proyek harus segera mengurusnya karena telah time limit dan juga mengingat besok hari weekend serta senin libur resmi nasional.

Dari kantor saya menuju ke gym di FF Grand Indonesia sebagaimana biasa untuk berolah raga sekitar 1 jam lalu sauna atau steam untuk menyergarkan tubuh terlebih dahulu sebelum balik ke rumah. Jalanan sepi saat saya menuju FF GI, demikian pula saat selesai berolah raga dan balik ke rumah. Halte Dukuh Atas dan Bus Transjakarta yang menjadi kendaraan rutin ku tidak lah terlalu penuh sebagaimana biasanya.

Rabu, 13 Mei 2009

KOMUNITAS MANTIGOLA : Bara Perlawanan Dalam Sekam Penindasan

Esai ini ditulis dan dipublikasikan di salah satu milis lingkungan Indonesia
pada tanggal 1 Agustus 2005
====================================

Plakkkk plakkkk plakkk.. tiga tamparan petugas Jagawana Taman Nasional Laut (TNL) Wakatobi mendarat tepat di pipi perempuan tua yang sedang berjualan di pasar. Linangan air mata mengalir membasahi pipi tua tersebut tanpa suara dan kata. Diam seribu bahasa tanpa daya perlawanan… demikian cerita sang suami saat kami ngobrol di bawah pohon Ketapang di Dusun Mantigola pada tanggal 26 Juni 2005 menjelang magrib.. “kenapa?” kejar saya, “katanya melanggar undang-undang konservasi, yakni menjual kimah yang dilarang oleh undang-undang tersebut”. “ohhhhhhhhhh, lalu mengapa pemukulan tersebut tidak dilaporkan ke polisi” saran ku dalam bentuk pertanyaan. Pak tua penutur cerita tersebut diam seribu bahasa tidak lagi menanggapi saran berbentuk pertanyaan ku tersebut. Saya pun mengalihkan pembicaraan ke sejarah keberadaan mereka sambil diam-diam memikirkan kasus penempelengan perempuan tua di pasar Kaledupa tersebut.
Tiada terasa, malam pun memeluk bumi menyelimuti rumah-rumah penduduk komunitas Mantigola. Kami lalu beranjak ke rumah panggung pemilik pohon Ketapang untuk melanjutkan obrolan di bawah sinar lampu listrik dari generator. Walau tubuh lelah karena belum sempat beristirahat sejak perjalanan Kendari – Baubau – Wanci – Tomia – Mantigola, namun saya dan teman-teman se-team tetap bersemangat meneruskan obrolan tentang aktivitas pengelolaan ikan hias ramah lingkungan di komunitas tersebut yang difasilitasi oleh YASCITA ditemani bercangkir-cangkir kopi yang disediakan sang bunda pemilik rumah.

Malam terus merayap menghantarkan satu per satu warga komunitas mendatangi rumah tempat saya, teman-teman dan beberapa warga lain yang telah mengobrol terlebih dahulu. Di sela-sela obrolan tentang dinamika pengelolaan ikan hias yang didukung KEMALA, muncul pula cerita-cerita tentang sejarah keberadaan komunitas dengan pemukimannya yang “unik” serta berbagai keresahan dan juga berbagai taktik warga nelayan Mantigola mengakali para petugas Jagawana dan Balai TNL yang terjadi sejak keberadaan TNL Wakatobi. Selain tamparan yang diterima si perempuan tua di pasar, warga yang lain juga menceritakan tentang trauma mereka terhadap perahu ataupun speed boat asing yang tidak dikenal oleh mereka saat mereka sedang mencari dan menangkap sumberdaya laut di kawasan-kawasan penangkapan tradisional mereka. Ketika saya menelisik lebih jauh tentang trauma tersebut, maka muncul satu informasi bahwa beberapa diantara mereka pernah ditangkap dan dipukuli lalu hasil tangkapannya dibuang ke laut. Karena itu, mereka tidak ingin ada yang ditangkap dan dianiya aparat lagi disebabkan tertangkap tangan mengambil hasil pesisir dan laut yang dilarang Undang-undang (UU). Untuk itu, jika pada saat melakukan pencarian dan penangkapan hasil laut lalu ada kapal asing yang lewat dan tidak mereka kenal, maka semua hasil tangkapan mereka langsung dibuang ke laut lagi. Jika kapal asing tersebut telah berlalu barulah para nelayan tersebut menyelam untuk mengambil kembali hasil laut yang dibuang tersebut. Kadang usaha pengambilan kembali tersebut berhasil, namun kadang gagal karena berbagai sebab. Misalnya setelah membuang hasil tangkapan, mereka harus berpindah tempat atau karena lamanya waktu pemeriksaan, maka hasil tangkapan yang dibuang tersebut telah terbawa arus air laut. Taktik lain adalah mereka membiasakan diri mereka mengenali jadwal patroli Balai TNL. Pada hari-hari patroli dilakukan, para nelayan Mantigola tidak akan melaut untuk melakukan penangkapan hasil laut. Atau mereka menangkap di lokasi lain yang tidak akan dilewati patroli pada hari tersebut. Akibatnya, titik tangkap makin banyak yang juga karena ketakutan tertangkap patroli, maka mereka menggunakan cara-cara pengambilan secara cepat yang justru destruktif terhadap alam dan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Kondisi mana telah teridentifikasi dari hasil survey yang dilakukan Yasinta dan team bahwa sebelum penetapan kawasan TNL Wakatobi, hanya terdapat beberapa titik kerusakan. Saat ini, titik kerusakan tersebut makin banyak dan makin meluas.

Walau telah menggunakan berbagai cara dan taktik, ternyata beberapa orang akhirnya tertangkap juga oleh petugas patroli sebagaimana cerita yang saya dapatkan kemudian dari berapa sumber berbeda setelah saya balik ke Jakarta. 3 orang diantaranya saat ini masih mendekam di tahanan menunggu nasib dengan sangkaan melanggar UU no 5/1990 tentang konservasi dan keanekaragaman hayati. Saat mengobrol di malam tanggal 26 Juni 2005 tersebut, beberapa laki-laki mengungkapkan uneg-unegnya, antara lain : “mengapa UU tersebut diberlakukan juga terhadap kami, padahal beberapa hasil laut yang dilarang dalam UU tersebut sangat berlimpah ruah di kawasan tangkapan kami?”. Saya dengan sangat hati-hati mencoba menjelaskan bahwa walaupun di kawasan setempat yang adalah kawasan tangkap mereka, hasil lautnya masih sangat melimpah, namun di tempat-tempat lain, jenis-jenis yang dilarang UU tersebut telah tinggal sedikit atau bahkan telah hilang tak berbekas. Karena itu, yang masih tersisa berusaha dilindungi oleh Negara melalui UU konservasi dan keanekaragaman hayati tersebut. Mendengar penjelasan saya tersebut, seorang bapak nyeletuk “mengapa tidak melarang saja di tempat-tempat yang jenisnya tinggal sedikit tersebut”. Lalu seorang yang lain nyambung “kalau semua di sini dilarang, bagaimana dengan kebutuhan keluarga kami?, apa yang akan dimakan, apa yang akan digunakan untuk membiayai sekolah anak-anak kami?”. Seorang laki-laki lain ikut nyeletuk “mengapa yang dilarang adalah kawasan penangkapan kami setiap hari?” harusnya petugas tahu bahwa kawasan penangkapan tersebut merupakan sumber hidup dan kehidupan kami. Mengapa kawasan yang di larang bukan kawasan-kawasan penangkapan setiap hari kami”. Kami dituduh melakukan perusakan, padahal yang paling banyak melakukan perusakan adalah nelayan-nelayan luar (bukan dari kawasan Wakatobi). Seorang laki-laki lain dengan penuh semangat menambahkan “jika kami tidak mencari dan menangkap hasil laut, maka bagaimana kami bisa hidup?, kami tidak punya ladang dan kebun di daratan pulau. Hidup kami sepenuhnya bergantung pada laut dan hasilnya. Walau demikian, saya bersedia pindah ke daratan sekitar sini, jika pemerintah bisa menyediakan lahan untuk kebun dan ladang”.

Obrolan tersebut mengisahkan kembali berbagai serpihan perlawanan diam yang dilakukan oleh warga komunitas itu dan juga komunitas nelayan lainnya di kawasan Wakatobi dalam menghadapi penindasan negara melalui Taman Nasional Laut Wakatobi. Perciban-percikan perlawanan tersebut lambat laun akan terajut menjadi bara perlawanan yang akan berkobar jika tidak ditangani secara arif dan bijak oleh pemerintah negara ini. Konflik struktural antara komunitas melawan negara maupun konflik horizontal antara komunitas hanya merupakan bom waktu. Berbagai bentuk penidasan yang dilakukan oleh aparat telah mendapatkan perlawanan diam-diam dari komunitas-komunitas setempat, termasuk Mantigola yang hidup dan kehidupannya sangat bergantung pada laut dan sumberdayanya. Penegakan hukum yang mengabaikan kebutuhan dasar komunitas justru memicu benih-benih perlawanan yang telah berimplikasi negatif terhadap upaya pelestarian alam dan keanekaragaman hayati setempat yang ingin dilindungi oleh UU Konservasi dan Keanekaragaman Hayati itu sendiri sebagaimana temuan Yasinta tentang makin banyaknya titik kerusakan serta makin meluasnya kawasan yang rusak. Percikan-percikan perlawanan itu telah sedang bersemi di Mantigola.

Mantigola merupakan nama suatu dusun di Desa Horuo, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi. Dusun tersebut terletak diantara laut luas dan pesisir pantai Desa Horuo tersebut. Rumah-rumah di dusun tersebut tersusun diatas bebatuan yang menjadi dasar pemisah antara rumah dan air laut dengan tinggi sekitar 3 meter saat surut. Mayoritas warga komunitas orang Mantigola adalah orang-orang Bajo / Bajau. Majalah Tempo 2 tahun silam dalam salah satu edisinya pernah menulis tentang orang-orang ini. Orang-orang Bajo, orang-orang yang hidup diatas perahu di laut sehingga mereka disebut juga oleh Tempo sebagai Orang-orang Suku Laut. Berbagai aktifitas mereka dari lahir, bereproduksi hingga mati terpusat di laut dan pesisir. Di Matinggola, saya menemukan adanya perubahan. Komunitas Bajo Mantigola tidak lagi hidup diatas perahu semata. Pemukiman mereka telah dibangun seperti pemukiman orang-orang daratan. Walua demikian tetap saja berbeda dengan orang-orang daratan. Satu diantaranya adalah orang-orang Bajo Mantigola membangun pemukimanannya diatas batu-batu karang yang disusun diatas air laut. Yah batu karang yang tentu saja merupakan bagian dari terumbu karang yang menjadi rumah dan tempat berkembang biaknya berbagai jenis makluk laut. Secara hati-hati dalam obrolan tersebut saya titipkan pula informasi tentang fungsi terumbu karang bagi kehidupan laut dan keberlanjutan hidup mereka sebagaimana yang saya ketahui dari berbagai bacaan. Tentu saja saya usahakan informasi yang saya sampaikan tersebut tidak menimbulkan kesan menggurui apalagi melarang. Karena saya belum tahu tentang sejarah pemukiman tersebut dan juga asal-muasal penggunaan karang sebagai landasan padat bagi pemukiman mereka.

Pepohonan di dusun tersebut dapat dihitung dengan jari. Satu diantaranya adalah pohon Ketapang tempat saya mengobrol dengan lelaki tua yang istrinya ditempeleng di pasar oleh petugas Jagawana. Jarak pemukiman tersebut dengan tepi pantai pulau Kaledupa adalah sekitar 3 km yang dapat dicapai menggunakan sampan kala air laut sedang pasang. Kala air laut sedang surut, maka sekitar 1 km dapat ditempuh dengan berjalan kaki melewati padang lamun yang ketinggian air lautnya sekitar betis lelaki dan perempuan dewasa, lalu harus menyambung perjalanan dengan sampan sekitar 500 meter barulah tiba dijalan selebar sekitar 1 meter sepanjang 1,5 km yang dibangun dengan dana PPK untuk menghubungkan daratan dengan dusun tersebut. Dusun ini dihuni sekitar 250 KK dengan 1 mesjid dan 1 SD Sanawiah. Pemukiman tersebut terdiri dari kumpulan rumah-rumah yang satu sama lain dihubungkan oleh titian atau jembatan kecil selebar 0,5 meter dengan panjang antara 1 – 10 meter.

Tiada terasa waktu terus bergulir. Sekitar pukul 12 malam, kami mengakhiri obrolan dan melanjutkan perjalanan ke Pulau Kaledupa. Diiringi sinar rembulan dan kawalan beberapa warga Mantigola, saya dan teman-teman meniti titian dan jembatan dari bilah-bilah papan dan/atau batang-batang kayu dari rumah ke rumah menuju jalan kampung yang terbuat dari bilah-bilah kayu. Lalu kami turun ke laut untuk mengarungi padang lamun sekitar 1 km dengan air setinggi betis orang dewasa. Alas kaki harus dilepas agar tidak terjebak ke dalam pasir ataupun lumpur di jalan yang kami lalui. Perjalanan lalu dilanjutkan menggunakan sampan yang hanya boleh memuat maksimal 3 orang yang duduk bersusun ke belakang. Dengan menabahkan hati di tengah remang-remang malam, saya dan Koordinator Perkumpulan Kemala Sulawesi (PKS) duduk dalam sampan yang didayung seorang pengantar. Ia meminta kami tidak bergerak agar sampan yang tepinya hanya berjarak sejengkal dari air laut tidak tenggelam karena goyangan badan 2 orang penumpangnya yang nervous J karena tidak pernah naik sampan di tengah malam yang hanya diterangi senyuman rembulan. Tak lama mengarungi air laut, kami tiba di tempat yang dangkal lalu turun dan meneruskan perjalanan sambil berjalan kaki menempuh sekitar 1,5 km. Berjalan dalam keremangan malam menjelang subuh yang hanya diterangi rembulan serasa menempuh padang belantara tak bertepi. Subuh hari, kami tiba tepi daratan pulau Kaledupa lalu mampir membersihkan kaki di sungai kecil yang mengalir di belakang suatu Mushola. Setelah itu, saya dan teman-teman mampir ke rumah Kepala Desa yang terletak di samping Mushola. Kami ngobrol dengan Kepala Desa sambil menunggu teman lain yang masih dalam perjalanan menyusul karena harus diangkut per 2 orang oleh satu-satunya sampan yang kami gunakan untuk menyebrang dari Mantigola ke tepi pantai Pulau Kaledupa. Setelah semuanya berkumpul kami lalu menggunakan 3 sepeda motor mengarungi jalan sekitar 5 km menuju ibukota kecamatan Kaledupa guna mendapatkan kapal kayu ataupun speed boat yang akan mengantar saya dan teman-teman ke Wanci. Sekitar pukul 3 subuh, kami tiba di rumah salah seorang pengurus FORKANI. Dalam kelelahan yang sangat, tubuh ku masuk ke dalam sleeping bag yang setia menyertai perjalanan ku ke Wakatobi. Pukul 5 subuh, kami dibangunkan untuk sarapan pisang goreng panas ditemani kopi dan teh lalu meneruskan perjalanan ke pelabuhan Kaledupa untuk menumpang kapal ke Pulau Wanci diantar beberapa teman baru yang saya kenal dari FORKANI.

Selamat tinggal Mantigola dan Kaledupa. Terima kasih atas segala keramahan dan pelayanan mu. Mungkin saja suatu saat nanti percik-percik perlawanan kalian berubah menjadi bara yang terajut sebagai nyala api perlawanan terhadap berbagai penindasan yang dilakukan negara melalui alat-alatnya. Jika itu terjadi, saya hanya bisa berharap kalian akan tetap hidup damai dan harmonis dengan alam dan sumberdayanya. Saya hanya bisa berharap bahwa nyala api perlawanan tersebut tidak membakar dan merusak alam kalian nan indah tak terperih dan juga eksotis. Alam nan kaya yang telah membuat kalian hidup saling bergantung sejak leluhur kalian tiba dan membuat rumah di Mantigola pada tahun 1901. Kekayaan alam yang saat ini serasa menjadi bencana bagi kalian karena karena salah urus yang dilakukan Negara melalui aparatnya. Mungkin pula percikan tersebut mati muda.. tidak sempat terajut menjadi bara apalagi nyala api karena kuatnya penindasan Negara. Mungkin kalian akan menyerah dan berpindah ke tempat lain sebagaimana berbagai cerita dongeng dan mitos kalian sebagai orang-orang Suku Laut yang hidup dan matinya selalu bersama laut tak bertepi???. Mungkin kalian harus rela meninggalkan kawasan tersebut agar Negara dapat leluasa menjadikannya sebagai kawasan konservasi sekaligus turisme alam seperti Komodo yang dikelola oleh para pebisnis pariwisata demi mendapatkan income bagi pembayaran utang-utang negara yang uangnya digunakan untuk kepentingan pribadi melalui sejumlah korupsi dan kolusi… Oh putra-putri Mantigola dan Kaledupa, masa depan mu dalam pelukan remang-remang malam berselimutkan rinai-rinai gerimis.

PEREMPUAN-PEREMPUAN TOMIA : lanjutan tulisan tanggal 1 Juli 2005

Esai ini ditulis pada tanggal 17 Juli 2005 sebagai lanjutan dari tulisan berjudul sama yang ditulis pada tanggal 1 Juli 2007
===================================

Pada tanggal 25 Mei 2005, saya bersama teman-teman Yascita, Yasinta dan Perkumpulan Kemala Sulawesi (PKS) berangkat ke kampung Wa Abe (salah seorang perempuan Tomia yang saya temui di Palu pada acara Temu Rakyat se-Sulawesi). Perjalanan Kendari – kampung Patipelong di Tomia ditempuh dalam waktu sekitar 30 jam serta harus berganti alat transportasi sebanyak 5 kali, yakni mobil dari penginapan di Kendari ke pelabuhan, speed boat dari Kendari ke Baubau (ibukota Kabupaten Buton), kapal dari Baubau ke Wanci (ibukota Kabupaten Wakatobi), speed boat dari Wanci ke Tomia dan ojek dari pelabuhan Tomia ke kampung Patipelong. Dalam perjalanan Kendari – Baubau saya dapat informasi dari tetangga tempat duduk bahwa boat yang kami tumpangi adalah milik Tommi Winata. Rute perjalanan Baubau – Wanci – Tomia adalah yang terberat karena beresiko tenggelam di laut Flores yang ganas. Perjalanan Baubau – Wanci harus menggunakan kapal kayu regular yang bertolak dari Baubau sekitar jam 9 atau 9.30 pm dan tiba di Wanci sekitar jam 5 atau 5.30am. Di atas kapal yang kami tumpangi, saya tak dapat memejamkan mata karena goyangan kapal yang sangat kuat diterpa ganasnya gelombang laut Flores. Terpaan gelombang silih berganti diiringi bunyi tubuh kapal yang berderak-derak seperti akan terlepas menjadi sepihan-serpihan kayu. Penumpang yang tidur di dek harus pasrah menerima kucuran air gelombang yang tampias ke kapal saat gelombang menghantam dan mengombang-ambingkan kapal tanpa henti yang membuat degupan jantung ku makin cepat diiringi rasa was-was akan tenggelamnya kapal yang kami tumpangi. Syukurlah, akhirnya kami tiba juga di pelabuhan Wanci saat subuh menjelang. Saat kaki menjejak tanah pelabuhan, nafas ku tarik dalam terus menerus untuk mengurangi mabuk perjalanan sekaligus meresapi kesegaran udara pagi serta keharuman laut dan lingkungan sekitar. Dari pelabuhan tersebut kami berjalan melintasi “kota” Wanci menuju pelabuhan kapal yang akan kami tumpangi ke Tomia diiringi rinai gerimis. Di pelabuhan tersebut, boat regular ke Tomia masih “ngetem” menunggu penumpang yang akan diangkut ke Tomia. Menurut nakhodanya, boat akan berangkat ke Tomia sekitar jam 10am dengan membawa minimal belasan penumpang, jika tidak, maka boat akan batal berangkat karena pengeluaran akan tidak sebanding dengan pemasukan. Karena situasi tersebut, akhirnya semua anggota team berunding lalu memutuskan menyewa saja boat tersebut untuk mengakut kami ke Tomia yang lalu dilanjutkan negosiasi harga dengan nakhoda. Setelah kesepakatan diperoleh, boat tersebut lalu mengangkut kami menempuh perjalanan 2 – 2,5 jam melewati laut yang mulai bergelora dengan gelombang setinggi 50cm – 1 meter. Menurut nakhoda, tinggi gelombang akan makin meningkat seiring makin teriknya sang surya.

Sesampai di Patipelong, kami mampir beberapa jam ke rumah keluarga salah satu aktivis Yasinta untuk istirahat dan membersihkan tubuh dari debu dan bau kapal J. Lalu menggunakan ojek, kami bertolak ke tempat pertemuan di rumah Wa Abe. Saat ojek berhenti, Wa Abe telah menunggu di teras rumah. Saat aku menghampirinya untuk berjabat tangan, dengan senyum lebar Wa Abe menyapa, „heiiiiiiiiiii sampai juga di sini“. Sapaan Wa Abe yang seperti pekikan tersebut telah menyebabkan munculnya wajah-wajah perempuan lain dan laki-laki di sekitar rumah tersebut. Tak lama kemudian satu demi satu warga sekitar mendatangi rumah Wa Abe. Kami dipersilahkan masuk dan duduk bersila di ruang tamu. Warga pun turut masuk dan duduk berkelompok dalam 2 kelompok, yakni kelompok laki-laki yang bersila di bagian depan ruang tamu dan kaum perempuan berkelompok bersama Wa Abe duduk di bagian belakang ruang tamu. Para perempuan dan laki-laki yang datang kemudian duduk berkelompok di teras rumah mendengarkan diskusi yang sedang terjadi di ruang tamu. Total warga yang hadir adalah sekitar 50 orang dimana 20-30 orang adalah para perempuan.

Saya terkejut melihat para perempuan yang begitu banyak duduk berkelompok memenuhi ruang tamu hingga ke belakang. Dalam berbagai perjalanan dan diskusi saya di berbagai komunitas selalu didominasi para lelaki. Hal yang berbeda saya temui di kampung Wa Abe. Kejutan kedua adalah melihat keaktifan mereka berkontribusi dalam diskusi menggunakan bahasa Indonesia campuran bahasa setempat. Beberapa diantara mereka bahkan berbicara dalam bahasa setempat yang lalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia sehingga saya dapat memahami informasi dan data yang disampaikan. Dari diskusi tersebut mengalirlah sejumlah cerita tentang perbuatan-perbuatan PT. Wakatobi Dive Resort (WDR) yang berkolaborasi dengan Pemda Kabupaten waktu itu dalam proses pengambilalihan lahan bagi kepentingan landasan pesawat untuk para turis manca negara yang melancong ke Wakatobi melalui sejumlah fasilitas yang disediakan oleh WDR. Salah satu topik diskusi hangat adalah tentang ganti rugi yang diberikan oleh WDR. Menurut para perempuan yang hadir (kadang diselingi oleh informasi tambahan dari para lelaki), mereka telah menerima ganti rugi terhadap sejumlah tanaman yang lahannya diambil-alih oleh WDR. Ganti rugi tersebut didapatkan setelah melalui suatu proses panjang perjuangan para perempuan di Patipelong dan juga beberapa komunitas lain di pulau Tomia dan sekitarnya. Ketika saya menanyakan peran para lelaki, dengan lantang Wa Abe dan 3 orang temannya menyatakan bahwa para lelaki sibuk dengan urusan sebagai nelayan sehingga mayoritas yang berperan menyuarakan tuntutan dan melakukan negosiasi adalah para perempuan. Pernyataan yang diamini oleh para lelaki yang hadir.

Sayangnya mayoritas para perempuan tersebut tidak bisa baca tulis. Beberapa yang bisa baca tulis seadanya tidak memahami makna kalimat yang tertera di kuitansi pembayaran. Kondisi yang memperlemah tuntutan mereka sekaligus sebagai peluang bagi WDR untuk dimanfaatkan. Saya lalu meminta contoh kuitansi pembayaran ganti rugi. Seorang perempuan lalu pergi ke rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Wa Abe. Perempuan tersebut kembali dengan 2 kuitansi yang telah mulai kumal. Saya lalu menerima dan memeriksa kuitansi tersebut, setelah saya periksa ternyata di kuitansi tersebut tertera tulisan ganti rugi untuk tanaman dan tanah. Ketika data tersebut saya konfrontir, mereka menyatakan bahwa mereka menerima ganti rugi tersebut berdasarkan asumsi ganti rugi untuk tanaman yang mana pertemuannya dihadiri oleh wakil-wakil Pemda kabupaten. Mereka tidak pernah menyangka bahwa ganti rugi dimaksud adalah untuk tanaman dan tanah. Dan juga waktu itu tidak ada pilihan lain, karena mereka diintimidasi dengan pernyataan orang-orang tertentu bahwa jika ganti rugi tersebut tidak diterima, maka mereka tidak akan mendapatkan apapun dari WDR karena WDR telah berusaha memenuhi kewajibannya. Karena itu, setelah balik ke rumah dan melakukan diskusi lagi mereka berkesimpulan bahwa tuntutan mereka telah dimanipulasi. Mereka menyatakan bahwa : 1) ganti rugi tersebut tidak sebanding dengan hilangnya tanah untuk ladang dan kebun mereka; 2) mereka tidak akan menjual tanah yang diambil-alih WDR dengan pertimbangan tanah tersebut merupakan lahan dan kebun yang selalu menyediakan pangan bagi mereka setiap tahun. Jika hak atas tanah itu putus, maka mereka kehilangan sumber pangan tetap untuk hidup dan kehidupan mereka. Untuk itu, mereka menyatakan akan meminta WDR membuat kontrak sewa atas lahan yang dikuasai WDR tersebut.

Mencermati masalahnya, saya menginformasikan kepada mereka bahwa tuntutan mereka tidak mudah dipenuhi karena cap jempol dan tandatangan sederhana yang tertera di kwitansi penerimaan merupakan bukti hukum yang mengikat kedua belah pihak. Kecuali mereka bisa membuktikan bahwa kwitansi tersebut ditanda-tangani dibawah ketidak-tahuan dan/atau merasa terintimidasi. Dengan lantang beberapa perempuan menyatakan akan terus memperjuangkan hak-hak mereka sekaligus membuktikan bahwa tuntutan mereka telah dimanipulasi dengan cara pembayaran ganti rugi terhadap tanah dan tanaman sekaligus. „kami siap memberikan kesaksian tentang proses penanda-tanganan kwitansi waktu itu“, kami akan terus berjuang meminta WDR membayar lahan kami dengan cara kontrak,karena kami tidak menjualnya“. Jika WDR tidak mau,maka kami akan memblokade lapangan tersebut“ demikian kata mereka“. Melihat tekad mereka, saya hanya bisa mengatakan bahwa pejuangan mereka belum tentu akan berhasil dan harus melalui suatu proses panjang. Bahkan mungkin perjuangan itu harus diwariskan ke cucu dan cicit mereka melihat kecenderungan kebijakan saat ini. Saya juga menginformasikan kepada mereka bahwa saat ini telah terbit Peraturan Presiden (Perpres) 32 tahun 2005 yang dapat saja digunakan oleh Pemda setempat sebagai alat memberangus tuntutan mereka. Menanggapi informasi saya, Wa Abe menyatakan dengan suara tegas dan mata berbinar penuh semangat bahwa dia dan teman-temannya akan terus berjuang tanpa lelah untuk hak-hak mereka.... selesai diskusi, kami di suguhi kelapa muda….Ohhhhhh perempuan-perempuan Tomia... saya tidak pernah menyangka akan bertemu seorang Wa Abe yang berbeda di Patipelong dengan yang saya temui di Palu 2 tahun silam. Perempuan pendiam di Palu itu ternyata salah seorang perempuan pejuang bertekat baja di kampungnya yang bisa berbicara secara lantang dan tegas saat saya di Patipelong.

Saya juga tidak pernah menyangka bahwa selain Wa Abe terdapat pula sejumlah perempuan yang selama bertahun-tahun telah memperjuangkan hak-hak mereka atas tanah yang dikuasai WDR. Perempuan-perempuan yang tidak pernah saya kenal dan jumpai sebelumnya. Perempuan-perempuan bertekad baja bersemangat membara. Perempuan-perempuan petani-nelayan nun jauh di suatu pulau kecil bernama Tomia yang akhir-akhir ini mulai menasional karena keberadaan Taman Nasional Wakatobi yang akan memperberat perjuangan mereka.

Perempuan-perempuan yang wajah dan namanya tidak pernah muncul ataupun di kenal dalam berbagai diskusi di berbagai tempat sampai salah satu dari mereka bernama Wa Abe muncul di Temu Rakyat se-Sulawesi di Palu 2 tahun silam. Selamat berjuang Wa Abe, selamat berjuang perempuan-perempuan Tomia. Teruslah berjuang sebagaimana tekad dan semangat membara kalian karena selain WDR, saat ini telah muncul pula TN Wakatobi dengan sejumlah kuasa dan aturannya yang akan membuat hidup kalian makin berat dan sulit... suatu saat nanti, suami-suami kalian akan terpaksa melabuhkan perahu-perahu kalian selamanya lalu beralih pekerjaan mungkin sebagai koeli karena keberadaan TN dan berbagai perusahaan pariwisata lainnya. Mungkin kalian harus membayar mahal untuk kekayaan dan keeksotikan alam kalian nan tak terperi... membayar melalui kehilangan hak kuasa dan kepemilikan atas tanah dan laut kalian yang kaya....

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...