Esai ini ditulis pada tanggal 17 Juli 2005 sebagai lanjutan dari tulisan berjudul sama yang ditulis pada tanggal 1 Juli 2007
===================================
Pada tanggal 25 Mei 2005, saya bersama teman-teman Yascita, Yasinta dan Perkumpulan Kemala Sulawesi (PKS) berangkat ke kampung Wa Abe (salah seorang perempuan Tomia yang saya temui di Palu pada acara Temu Rakyat se-Sulawesi). Perjalanan Kendari – kampung Patipelong di Tomia ditempuh dalam waktu sekitar 30 jam serta harus berganti alat transportasi sebanyak 5 kali, yakni mobil dari penginapan di Kendari ke pelabuhan, speed boat dari Kendari ke Baubau (ibukota Kabupaten Buton), kapal dari Baubau ke Wanci (ibukota Kabupaten Wakatobi), speed boat dari Wanci ke Tomia dan ojek dari pelabuhan Tomia ke kampung Patipelong. Dalam perjalanan Kendari – Baubau saya dapat informasi dari tetangga tempat duduk bahwa boat yang kami tumpangi adalah milik Tommi Winata. Rute perjalanan Baubau – Wanci – Tomia adalah yang terberat karena beresiko tenggelam di laut Flores yang ganas. Perjalanan Baubau – Wanci harus menggunakan kapal kayu regular yang bertolak dari Baubau sekitar jam 9 atau 9.30 pm dan tiba di Wanci sekitar jam 5 atau 5.30am. Di atas kapal yang kami tumpangi, saya tak dapat memejamkan mata karena goyangan kapal yang sangat kuat diterpa ganasnya gelombang laut Flores. Terpaan gelombang silih berganti diiringi bunyi tubuh kapal yang berderak-derak seperti akan terlepas menjadi sepihan-serpihan kayu. Penumpang yang tidur di dek harus pasrah menerima kucuran air gelombang yang tampias ke kapal saat gelombang menghantam dan mengombang-ambingkan kapal tanpa henti yang membuat degupan jantung ku makin cepat diiringi rasa was-was akan tenggelamnya kapal yang kami tumpangi. Syukurlah, akhirnya kami tiba juga di pelabuhan Wanci saat subuh menjelang. Saat kaki menjejak tanah pelabuhan, nafas ku tarik dalam terus menerus untuk mengurangi mabuk perjalanan sekaligus meresapi kesegaran udara pagi serta keharuman laut dan lingkungan sekitar. Dari pelabuhan tersebut kami berjalan melintasi “kota” Wanci menuju pelabuhan kapal yang akan kami tumpangi ke Tomia diiringi rinai gerimis. Di pelabuhan tersebut, boat regular ke Tomia masih “ngetem” menunggu penumpang yang akan diangkut ke Tomia. Menurut nakhodanya, boat akan berangkat ke Tomia sekitar jam 10am dengan membawa minimal belasan penumpang, jika tidak, maka boat akan batal berangkat karena pengeluaran akan tidak sebanding dengan pemasukan. Karena situasi tersebut, akhirnya semua anggota team berunding lalu memutuskan menyewa saja boat tersebut untuk mengakut kami ke Tomia yang lalu dilanjutkan negosiasi harga dengan nakhoda. Setelah kesepakatan diperoleh, boat tersebut lalu mengangkut kami menempuh perjalanan 2 – 2,5 jam melewati laut yang mulai bergelora dengan gelombang setinggi 50cm – 1 meter. Menurut nakhoda, tinggi gelombang akan makin meningkat seiring makin teriknya sang surya.
Sesampai di Patipelong, kami mampir beberapa jam ke rumah keluarga salah satu aktivis Yasinta untuk istirahat dan membersihkan tubuh dari debu dan bau kapal J. Lalu menggunakan ojek, kami bertolak ke tempat pertemuan di rumah Wa Abe. Saat ojek berhenti, Wa Abe telah menunggu di teras rumah. Saat aku menghampirinya untuk berjabat tangan, dengan senyum lebar Wa Abe menyapa, „heiiiiiiiiiii sampai juga di sini“. Sapaan Wa Abe yang seperti pekikan tersebut telah menyebabkan munculnya wajah-wajah perempuan lain dan laki-laki di sekitar rumah tersebut. Tak lama kemudian satu demi satu warga sekitar mendatangi rumah Wa Abe. Kami dipersilahkan masuk dan duduk bersila di ruang tamu. Warga pun turut masuk dan duduk berkelompok dalam 2 kelompok, yakni kelompok laki-laki yang bersila di bagian depan ruang tamu dan kaum perempuan berkelompok bersama Wa Abe duduk di bagian belakang ruang tamu. Para perempuan dan laki-laki yang datang kemudian duduk berkelompok di teras rumah mendengarkan diskusi yang sedang terjadi di ruang tamu. Total warga yang hadir adalah sekitar 50 orang dimana 20-30 orang adalah para perempuan.
Saya terkejut melihat para perempuan yang begitu banyak duduk berkelompok memenuhi ruang tamu hingga ke belakang. Dalam berbagai perjalanan dan diskusi saya di berbagai komunitas selalu didominasi para lelaki. Hal yang berbeda saya temui di kampung Wa Abe. Kejutan kedua adalah melihat keaktifan mereka berkontribusi dalam diskusi menggunakan bahasa Indonesia campuran bahasa setempat. Beberapa diantara mereka bahkan berbicara dalam bahasa setempat yang lalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia sehingga saya dapat memahami informasi dan data yang disampaikan. Dari diskusi tersebut mengalirlah sejumlah cerita tentang perbuatan-perbuatan PT. Wakatobi Dive Resort (WDR) yang berkolaborasi dengan Pemda Kabupaten waktu itu dalam proses pengambilalihan lahan bagi kepentingan landasan pesawat untuk para turis manca negara yang melancong ke Wakatobi melalui sejumlah fasilitas yang disediakan oleh WDR. Salah satu topik diskusi hangat adalah tentang ganti rugi yang diberikan oleh WDR. Menurut para perempuan yang hadir (kadang diselingi oleh informasi tambahan dari para lelaki), mereka telah menerima ganti rugi terhadap sejumlah tanaman yang lahannya diambil-alih oleh WDR. Ganti rugi tersebut didapatkan setelah melalui suatu proses panjang perjuangan para perempuan di Patipelong dan juga beberapa komunitas lain di pulau Tomia dan sekitarnya. Ketika saya menanyakan peran para lelaki, dengan lantang Wa Abe dan 3 orang temannya menyatakan bahwa para lelaki sibuk dengan urusan sebagai nelayan sehingga mayoritas yang berperan menyuarakan tuntutan dan melakukan negosiasi adalah para perempuan. Pernyataan yang diamini oleh para lelaki yang hadir.
Sayangnya mayoritas para perempuan tersebut tidak bisa baca tulis. Beberapa yang bisa baca tulis seadanya tidak memahami makna kalimat yang tertera di kuitansi pembayaran. Kondisi yang memperlemah tuntutan mereka sekaligus sebagai peluang bagi WDR untuk dimanfaatkan. Saya lalu meminta contoh kuitansi pembayaran ganti rugi. Seorang perempuan lalu pergi ke rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Wa Abe. Perempuan tersebut kembali dengan 2 kuitansi yang telah mulai kumal. Saya lalu menerima dan memeriksa kuitansi tersebut, setelah saya periksa ternyata di kuitansi tersebut tertera tulisan ganti rugi untuk tanaman dan tanah. Ketika data tersebut saya konfrontir, mereka menyatakan bahwa mereka menerima ganti rugi tersebut berdasarkan asumsi ganti rugi untuk tanaman yang mana pertemuannya dihadiri oleh wakil-wakil Pemda kabupaten. Mereka tidak pernah menyangka bahwa ganti rugi dimaksud adalah untuk tanaman dan tanah. Dan juga waktu itu tidak ada pilihan lain, karena mereka diintimidasi dengan pernyataan orang-orang tertentu bahwa jika ganti rugi tersebut tidak diterima, maka mereka tidak akan mendapatkan apapun dari WDR karena WDR telah berusaha memenuhi kewajibannya. Karena itu, setelah balik ke rumah dan melakukan diskusi lagi mereka berkesimpulan bahwa tuntutan mereka telah dimanipulasi. Mereka menyatakan bahwa : 1) ganti rugi tersebut tidak sebanding dengan hilangnya tanah untuk ladang dan kebun mereka; 2) mereka tidak akan menjual tanah yang diambil-alih WDR dengan pertimbangan tanah tersebut merupakan lahan dan kebun yang selalu menyediakan pangan bagi mereka setiap tahun. Jika hak atas tanah itu putus, maka mereka kehilangan sumber pangan tetap untuk hidup dan kehidupan mereka. Untuk itu, mereka menyatakan akan meminta WDR membuat kontrak sewa atas lahan yang dikuasai WDR tersebut.
Mencermati masalahnya, saya menginformasikan kepada mereka bahwa tuntutan mereka tidak mudah dipenuhi karena cap jempol dan tandatangan sederhana yang tertera di kwitansi penerimaan merupakan bukti hukum yang mengikat kedua belah pihak. Kecuali mereka bisa membuktikan bahwa kwitansi tersebut ditanda-tangani dibawah ketidak-tahuan dan/atau merasa terintimidasi. Dengan lantang beberapa perempuan menyatakan akan terus memperjuangkan hak-hak mereka sekaligus membuktikan bahwa tuntutan mereka telah dimanipulasi dengan cara pembayaran ganti rugi terhadap tanah dan tanaman sekaligus. „kami siap memberikan kesaksian tentang proses penanda-tanganan kwitansi waktu itu“, kami akan terus berjuang meminta WDR membayar lahan kami dengan cara kontrak,karena kami tidak menjualnya“. Jika WDR tidak mau,maka kami akan memblokade lapangan tersebut“ demikian kata mereka“. Melihat tekad mereka, saya hanya bisa mengatakan bahwa pejuangan mereka belum tentu akan berhasil dan harus melalui suatu proses panjang. Bahkan mungkin perjuangan itu harus diwariskan ke cucu dan cicit mereka melihat kecenderungan kebijakan saat ini. Saya juga menginformasikan kepada mereka bahwa saat ini telah terbit Peraturan Presiden (Perpres) 32 tahun 2005 yang dapat saja digunakan oleh Pemda setempat sebagai alat memberangus tuntutan mereka. Menanggapi informasi saya, Wa Abe menyatakan dengan suara tegas dan mata berbinar penuh semangat bahwa dia dan teman-temannya akan terus berjuang tanpa lelah untuk hak-hak mereka.... selesai diskusi, kami di suguhi kelapa muda….Ohhhhhh perempuan-perempuan Tomia... saya tidak pernah menyangka akan bertemu seorang Wa Abe yang berbeda di Patipelong dengan yang saya temui di Palu 2 tahun silam. Perempuan pendiam di Palu itu ternyata salah seorang perempuan pejuang bertekat baja di kampungnya yang bisa berbicara secara lantang dan tegas saat saya di Patipelong.
Saya juga tidak pernah menyangka bahwa selain Wa Abe terdapat pula sejumlah perempuan yang selama bertahun-tahun telah memperjuangkan hak-hak mereka atas tanah yang dikuasai WDR. Perempuan-perempuan yang tidak pernah saya kenal dan jumpai sebelumnya. Perempuan-perempuan bertekad baja bersemangat membara. Perempuan-perempuan petani-nelayan nun jauh di suatu pulau kecil bernama Tomia yang akhir-akhir ini mulai menasional karena keberadaan Taman Nasional Wakatobi yang akan memperberat perjuangan mereka.
Perempuan-perempuan yang wajah dan namanya tidak pernah muncul ataupun di kenal dalam berbagai diskusi di berbagai tempat sampai salah satu dari mereka bernama Wa Abe muncul di Temu Rakyat se-Sulawesi di Palu 2 tahun silam. Selamat berjuang Wa Abe, selamat berjuang perempuan-perempuan Tomia. Teruslah berjuang sebagaimana tekad dan semangat membara kalian karena selain WDR, saat ini telah muncul pula TN Wakatobi dengan sejumlah kuasa dan aturannya yang akan membuat hidup kalian makin berat dan sulit... suatu saat nanti, suami-suami kalian akan terpaksa melabuhkan perahu-perahu kalian selamanya lalu beralih pekerjaan mungkin sebagai koeli karena keberadaan TN dan berbagai perusahaan pariwisata lainnya. Mungkin kalian harus membayar mahal untuk kekayaan dan keeksotikan alam kalian nan tak terperi... membayar melalui kehilangan hak kuasa dan kepemilikan atas tanah dan laut kalian yang kaya....
Aku, Sang Penjelajah#Langit itu ayahku#Bumi itu ibuku#Gunung-gunung itu kakaku#Lautan samudera itu adikku#Sungai ngarai itu sodaraku#Padang-padang itu sodariku#Hutan rimba belukar itu temanku#Tebing-tebing itu sobatku#Bintang-gemintang itu kekasihku#Mentari pagi itu pujaanku#Surya senja itu cintaku##Aku, Sang Penjelajah#Perjalanan itu ibadah#Berkelana itu doa#Mengasoh itu kidung##Aku, Sang Penjelajah#Tak terikat waktu#Tak terkurung ruang#Tak terpaku tempat##Aku, Sang Penjelajah#Akan ku daki..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur
1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...
-
Ini juga posting JADUL tahun 2007. Saat bongkar-bongkar blog baru ketahuan kalo posting ini belum dipublikasikan pada tahun 2007... lama am...
-
Saya menulis esai ini pada 12 September 2005 yang dipublikasikan salah satu milis lingkungan Indonesia. Tulisan ini saya temukan kembali mel...
-
Kemah Tabor di Mataloko Saya memilih sarapan roti lapis telur dadar bersama kopi Bajawa. Yudi dan Mako memilih nasi goreng bersama kopi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar