Selasa, 08 November 2016

JELAJAH DUNIA. BEIJING: Perjalanan Airport Internasional Beijing - Hotel Beijing 161 Wangfujing

Mentari pagi mengintip dari balik awan tebal
Pesawat Singapore Airlines melayang-layang di atas langit Beijing sekitar jam 6 pagi waktu setempat tanggal 31 Agustus 2016. Langit tertutup rapat gumpalan awan putih kelabu seperti hamparan rumput di dataran savana padang-padang lahan kering di NTT dan NTB. Seumur hidup, saya baru pernah melihat hamparan awan yang menutup rapat dataran di bawah seolah menjadi dinding horisontal pemisah bumi dan langit. Pilot mengumumkan pesawat yang saya tumpangi dari Singapura akan mendarat sekitar 30 menit lagi di Beijing International Airport. Sebelum pesawat menukik turun melewati hamparan awan tebal itu, langit pagi sedikit tersibak bagaikan tirai jendela yang disibak beberapa senti oleh tangan gaib untuk memberikan waktu bagi mentari pagi memaparkan senyuman jingga emasnya yang seolah menyapa dan menyambut ramah perjalanan jelajah saya ke Beijing. Hanya beberapa menit kemudian, sang mentari pagi kembali menghilang dengan kembali tertutupnya tirai langit Timur.

Dataran Beijing dari jendela pesawat
Setelah melewati sekat awan horisontal, pemandangan di bawah langit berubah dengan kehadiran hamparan lahan yang ditumbuhi berbagai jenis tanaman, aliran sungai bagaikan liukan ular raksasa dan juga jalan-jalan yang cukup lebar dan lenggang serta bangunan-bangunan vertikal dan barisan pegunungan di horison bersama balutan kabut pagi menunggu matahari pagi menyapa hangat. Pesawat Singapore Airlines yang saya tumpangi terus bermanufer mendekati bandara yang mulai nampak samar dari ketinggian hingga mendarat mulus 20an menit kemudian. Pesawat sempat berhenti sesaat dalam perjalanan ke tempat parkir karena menuggu antrian sebagaimana diumumkan pilot sambil meminta maaf. Dari jendela pesawat saya melihat kabut menyelimuti bandara yang cukup luas dan sepi. Setelah berada dua hari di Beijing baru saya tahu bahwa kabut yang selalu menggantung di langit Beijing adalah polusi udara yang sangat parah. Polusi udara itu telah  mengakibatkan banyak penduduk Beijing menderita penyakit radang tenggorokan dimana mereka selalu berdahak dengan keras di tempat-tempat publik saat saya menjelajah berbagai tempat di kota tersebut.

Beijing international airport
Setelah pesawat parkir di tempat yang ditentukan, para penumpang dipersilahkan meninggalkan pesawat melalui 2 pintu berbeda yang membawa para penumpang ke bangunan terminal. Saya mengikuti para penumpang lain berjalan melewati garbarata (jalan penghubung antara pesawat dengan bangunan terminal) hingga tiba di bangunan terminal lalu belok kanan mengikuti tanda-tanda panah dan arahan tertulis dalam bahasa Cina dan Inggris yang menggunakan 2 jenis huruf juga, yakni Cina dan Latin. Saya mampir terlebih dahulu ke toilet yang berada di sisi kiri lorong dalam bangunan terminal yang sedang saya susuri bersama para penumpang lainnya. Di toilet airport, saya mulai menduga bahwa semua toilet di Cina hanya menggunakan tisu kering untuk cebok, bukan air ataupun tisu basah. Untuk itu saya harus mulai membiasakan diri karena saya akan berada di Beijing selama 6 hari.

Keluar dari toilet, saya belok kiri lalu berjalan lurus hingga tiba di area yang diberi batas tali plastik dan panah penunjuk arah agar saya ataupun penumpang lain belok kiri menuju tempat pemeriksaan passport yang berada sekitar 10an meter dari tempat saya berdiri dan mengamat-amati airport tersebut sekaligus mengambil beberapa foto. Setelah itu saya belok kiri menuju area pemeriksaan paspor dimana para
Ketebalan awan menutup langit Beijing
penumpang telah berada dalam antrian panjang yang dibuat berputar-putar. Jalur antrian ini dibagi dalam 3 kelompok, yakni antrian pemeriksaan paspor para penumpang warga Negara asing yang transit dan mampir di Beijing, pemeriksaan pasport warga Negara asing yang berkunjung ke Beijin, termasuk saya tentunya yang berasal dari Indonesia, serta pemeriksaan pasport warga negara Cina. Antrian di pemeriksaan paspor warga Negara asing yang akan masuk ke Beijing atau Cina sangat panjang, karena hanya ada satu antrian yang dibuat berputar-putar. Di ujung antrian dalam jarak sekitar 3 meter dari loket pemeriksaan, para pengantri bisa memilih untuk antri berbaris di 3 loket yang di buka dari 6 loket yang ada. Antrian di pemeriksaan pasport bagi warga negara Cina selesai lebih cepat sehingga kadang-kadang petugas membuka tali pembatas guna memindahkan
Hall belakang konter pemeriksaan paspor
sebagian pengantri di antrian warga Negara asing ke bagian pemeriksaan paspor bagi warga negara Cina. Setelah berada sekitar 1 jam dalam antrian pemeriksaan paspor bagi warga asing yang akan masuk ke Cina, saya akhirnya tiba di depan salah satu loket pemeriksaan pasport yang dijaga seorang lelaki muda berkaca mata. Tak sampai 5 menit, paspor saya telah dicap dan dikembalikan sehingga saya berjalan melewati loket pemeriksaan melalui samping kiri loket ke bagian belakangnya yang membawa saya ke suatu area terbuka dalam bangun terminal tersebut. Mengikuti arah panah dan petunjuk arah dalam bahasa Inggris, saya turun ke lantai bawah menggunakan eskalator. Di lantai ini, saya dan semua pengunjung ataupun warga negara Cina yang kembali ke negaranya harus menggunakan kereta yang mengantar kami ke terminal 3C dimana kami bisa menggunakan berbagai moda transportasi menuju Beijing ataupun tempat-tempat lain di Cina.



Ketika masih berada di dalam pesawat, saya telah mendapatkan informasi cuaca di Beijing, yakni 0 derajat celsius pada hari pertama saya berada di Bejing. Saat keluar dari pintu pesawat, udara dingin
Tempat kereta antar airport
Beijing langsung menyergap. Beruntung saya telah mempersiapkan diri dengan syal dan jaket sehingga perubahan udara yang sangat drastis itu tidak membuat saya shok dan mengigil. Hampir semua penumpang menggunakan jaket-jaket tebal dan topi ataupun kupluk penutup telinga. Beberapa menggunakan syal dan sarung tangan agar menjadi lebih hangat. Udara dingin itu terus menyergap hingga saya masuk ke kereta yang akan mengantar saya dan penumpang lainnya berpindah dari terminal kedatangan ke terminal 3C. Sekitar 10 menit kemudian kereta berhenti di terminal 3C. Semua penumpang turun dan berjalan menuju pintu keluar mengikuti tanda panah dan petunjuk arah dalam bahasa Inggris dan Cina. Para penumpang yang menitipkan koper atau barang bawaannya ke bagasi pesawat, termasuk saya mampir terlebih dahulu di bagian pengambilan bagasi yang diberi nomor dan juga nomor pesawat. Semua bagasi pesawat Singapore airlines yang saya tumpangi berada di ban berjalan nomor 13. Setelah mengambil koper di ban berjalan, saya keluar dari antrian dan berjalan menuju pintu keluar mengikuti tanda-tanda panah yang menunjuk arah keluar / exit. Sebelum tiba di pintu keluar, koper dan ransel kamera harus saya lewatkan di mesin Xray yang dijaga 2 petugas berseragam biru dongker dilengkapi topi dan jaket tebal panjang berwarna senada.

Ketebalan awan yang menutupi langit Beijing
Setelah melewati area mesin Xray, saya terus berjalan beberapa meter hingga tiba di pintu keluar. Saat kaki saya melangkah keluar pintu, saya masuk ke area terbuka terminal yang diberi pagar pembatas setinggi dada orang dewasa guna mencegah para penjemput menutupi area pintu dan jalan keluar- pagar pembatas dari stainless itu membentuk lorong selebar 1 meter dengan panjang sekitar 10an meter berbentuk huruf L ke arah kanan. Setelah melewati lorong tersebut, saya tiba di area terbuka belakang bangunan terminal berlantai 2 berdinding kaca transparan sehingga pelataran tersebut terang benderang. Sekitar 50an meter dari pintu keluar itu terdapat suatu tangga berjalan ke lantai 2 bangunan terminal. Saya berdiri sejenak mengamati suasana sekitar sekaligus mencari penunjuk arah ke area kereta api atau disebut airport express yang telah saya peroleh informasinya dari internet. Saya berencana akan menggunakan airport express dari airport ke kota Beijing yang berjarak 28km dari airport.

Sebagian Beijing dari pesawat
Saya melihat penunjuk arah dan juga tanda-tanda panah mengarahkan saya ke beberapa pilihan. Saya berjalan ke arah eskalator terlebih dahulu dengan asumsi stasiun airport express berada di lantai 2 bangunan terminal. Namun saat saya masih berjarak sekitar 5 meter dari eskalator, saya melihat tanda panah dengan petunjung airport express menunjuk ke arah saya alias saya berjalan ke arah yang salah. Karena itu saya berbalik dan mengamat-amati lagi daerah sekitar hingga menemukan tanda panah bertuliskan airport express menunjuk ke belakang bangunan terminal tempat saya sedang berada dan sedikit bingung. Ternyata tanda-tanda panah penunjuk arah tidak hanya tersedia di tiang-tiang vertikal berwarna kebiruan, tapi juga di lantai terminal. Mengikuti tanda panah tersebut, saya berjalan ke belakang bangunan terminal menuju meja informasi yang dijaga seorang petugas lelaki muda berkaca mata dan memakai setelan jas warna gelap dengan kemeja putih dan dasi berwarna senada dengan jasnya. Saya ingin menanyakan sekaligus mendapatkan ketegasan arah ke stasiun airport express. Petugas tersebut sedang melayani tamu lain dimana ada 2 orang lagi yang sedang antri di depan saya. Saya memutuskan melewati saja meja informasi dan berjalan melewati pintu selebar 5 meteran memasuki bangunan penghubung berupa lorong panjang selebar 10an meter yang dilengkapi eskalator. Lorong sepanjang 50an meter tersebut membawa saya ke bangunan stasiun kereta airport express yang tersambung dengan bagian belakang bangunan airport. Melewati pintu bangunan penghubung atau lorong, saya tiba di bangunan stasiun yang dilengkapi meja informasi berbentuk setengah bulat setinggi dada orang dewasa yang dijaga seorang petugas perempuan berseragam biru dongker seperti seragam petugas informasi di dalam bangunan airport yang telah saya tinggalkan. Di bagian kiri saya terhampar pelataran kosong, sedangkan di bagian kanan saya dalam jarak sekitar 10 meter berjejer 2 mesin penjualan tiket kereta sebesar mesin sejenis di stasiun Sudirman - Jakarta. Kedua mesin tersebut berjejer di batas dinding stasiun. Dalam jarak 1 meter dari kedua mesin tersebut terdapat loket pernjualan tiket yang dijaga seorang petugas perempuan berkacamata memakai seragam berwarna sama dengan kedua petugas informasi yang telah saya lewati. Saya menghampiri loket tersebut mengucapkan selamat pagi dalam bahasa Inggris lalu mengutarakan niat saya membeli tiket.





Sebagian Beijing dari pesawat
"Which one, the airport ticket express or Beijing smart card", tanya petugas menggunakan bahasa Inggris. "Which is the best one, tanya saya untuk memastikan informasi yang telah saya peroleh di internet. "Beijing smart card can be used for the airport express, subways and busses, meanwhile the airport express card only for the airport express train", balas si petugas. "the smart card, please, balas saya sambil memberikan uang kertas 100 yuan yang telah saya bawa dari Jakarta. "20yuan for deposit" kata si petugas. "Alright, balas saya. "Your passport, please", lanjut petugas. Saya menyerahkan paspor dan uang yang diambil petugas tersebut. Saya melihat petugas mengetik sesuatu di komputer dalam bahasa Cina, lalu muncul print out tanda terima pembelian kartu. Petugas mengambil tanda terima tersebut dari printer lalu menyerahkan ke saya bersama Beijing smart card dan pasport saya. Beijing smart card merupakan kartu tipis berwarna biru tua dengan 3 strip seperti sayap burung berwarna kuning, hijau dan orange. Pada sisi sebelahnya, warna kartu didominasi putih dengan lengkungan warna biru di bagian atasnya. Kedua sisi dilengkapi tulisan Cina. Sedangkan tulisan bahasa Inggrisnya berjudul "travelchinaguide.com".


Suasana dalam kereta airport express
Saya putar balik menjauhi loket sekitar 5 meter lalu berdiri sejenak untuk menyimpan kembali passport saya ke tas pinggang yang selalu saya pakai dalam perjalanan jelajah ke luar Indonesia. Setelah itu saya berjalan lurus dan belok kanan menuju area kereta api airport express yang dijaga 2 petugas berjaket tebal di kiri dan kanan pintu masuk. Pintu masuk ke area peron kereta terdiri dari 4 tiang berukuran 20x20cm setinggi perut orang dewasa. Keempat tiang tersebut membentuk 3 pintu masuk ke peron. Pada sisi dalam antara kedua tiang tersebut terdapat palang di kiri dan kanan berbentuk seperti sayap unggas berwarna orange yang menutup celah terbuka selebar 75cm antara kedua tiang. Saya menempelkan Beijing smart card ke bagian bertanda kartu di bagian atas salah satu tiang. Kartu tersebut membuka kedua penghalang secara otomatis. Saya berjalan melewati palang menuju kereta yang telah berada di lokasi tersebut. Saya masuk ke salah satu gerbong lalu duduk di salah satu kursi kosong berwarna biru. Kereta tidak terlalu penuh sampai dengan keberangkatan sekitar 5 menit kemudian dari waktu saya masuk dan duduk. Dari terminal 3, kereta menuju terminal 2 untuk menurunkan dan menaikan penumpang di terminal tersebut lalu melanjutkan ke stasiun Sanyuanqiao sebelum menuju stasiun akhir di Dongzhimen. Dari stasiun Dongzhimen saya berganti kereta ke stasiun Dongsi yang adalah stasiun subway terdekat dengan hotel tempat saya menginap selama berada di Beijing.


Stasiun Dongzhimen saat turun dari kereta airport express
Setelah menempuh waktu sekitar 30an menit, kereta airport express tiba di stasiun Dongzhimen. Saya keluar dari kereta dan berjalan dalam stasiun sambil mata saya mencari petunjuk ke line / jalur 2 menuju stasiun Chaoyangmen yang berjarak 2 stasiun dari stasiun Dongzhimen - sebagaimana informasi yang telah saya peroleh dari internet. Di stasiun Chaoyangmen, saya akan berganti kereta ke jalur 6 menuju stasiun Dongsi. Untuk berganti jalur di dalam stasiun Dongzhimen, saya harus berjalan melewati lorong-lorong panjang dan tangga atau eskalator. Saya menghabiskan sekitar 30an menit dari stasiun Dongzhimen hingga tiba di stasiun Dongsi. Karena saya hanya membawa ransel kamera dan koper kecil, maka saya tidak mengalami kesulitan saat berpindah jalur melewati berbagai lorong panjang dan juga tangga atau eskalator. Saat tiba di stasiun Dongsi, saya hanya perlu berjalan mengikuti tanda panah ke pintu keluar / exit C. Tanda panah mengarahkan saya naik tangga lalu belok kanan kemudian berjalan lurus lalu belok kiri dan sekali lagi belok kiri. Saat tiba di ujung lorong, saya hanya mendapatkan tanda bertuliskan exit D dan E. Exit C tempat saya akan keluar menghilang begitu saja. 

Suasana di dalam stasiun Dongsi
Setelah celingukan beberapa saat saya memutuskan bertanya ke loket yang dijaga seorang petugas perempuan muda berkacamata dan berseragam biru dongker. Perempuan ini duduk membelakangi ujung lorong yang berhadapan dengan tangga dan eskalator dimana diatasnya tergantung papan informasi berwarna pink dengan tulisan line / jalur 5. "Where is exit C", tanya saya ke petugas di loket dari arah sampingnya. "Down stairs", balas petugas sambil menoleh ke arah saya yang berdiri di luar loket". "Thanks" balas saya sambil mengangguk dan berjalan ke tangga yang menunjukan arah ke jalur 5. Saat tiba di akhir tangga, saya melihat papan informasi exit C terpampang di ujung lorong stasiun dalam jarak sekitar 50an meter dari ujung tangga tempat saya turun. Saya berjalan lurus ke papan informasi yang digantung di atas tangga dan eskalator yang berada di sebelah kanan tangga dari arah saya. Saya menggunakan eskalator di bagian tersebut menuju lantai atas. Tiba di lantai atas dalam jarak sekitar 15 meter berjejer palang-palang penghalang pintu keluar dimana setiap orang yang akan keluar harus menempelkan kartu masing-masing untuk membuka palang penghalang. Saya menempelkan kartu saya lalu berjalan melewati palang penghalang yang terbuka secara otomatis.



Lorong2 panjang pindah jalur atau keluar
Setelah melewati palang penghalang, saya belok kiri menyusuri lorong sepanjang 50an meter hingga tiba di ujung lalu belok kiri lagi berjalan menyusuri lorong sepanjang 20an meter lalu menggunakan eskalator ke lantai atas. Eskalator setinggi 20an meter tersebut membawa saya tiba di depan pintu keluar masuk stasiun di atas tanah. Keluar dari bangunan stasiun, saya berhadapan dengan jalan raya selebar puluhan meter dalam jarak sekitar 10 meter dari pintu stasiun. Saya berjalan ke sisi kiri pintu untuk membiasakan diri dengan udara yang lebih dingin dan juga suasana sekitar. Mata saya melihat papan-papan nama jalan berwarna dasar biru dengan tulisan putih. Di hadapan saya adalah jalan Dongsi east / timur.  Dalam jarak sekitar 50an meter di sebelah kiri saya terdapat perempatan yang menghubungkan Dongsi east dengan west dan Dongsi north dengan south. Berbekal informasi dari internet, saya belok kiri berjalan menjauhi stasiun hingga tiba di pedestarian jalan Dongsi south selebar 5 meteran. Saya belok kiri berjalan menyusuri Dongsi south hingga sekitar 150an meter lalu menyeberang ke sisi sebelahnya. Di sisi ini saya berjalan lurus sekitar 50an meter melewati satu gang yang terhubung ke jalan Dongsi south.

Pintu masuk / keluar C stasiun Dongsi 
Setelah melewati mulut gang tersebut, saya berhenti sebentar mengamat-amati suasana sekitar lalu memutuskan bertanya pada seorang laki-laki  muda berseragam hitam dof dan memakai topi warna sama. Saya menunjukan alamat hotel di HP dalam bahasa Cina yang telah saya siapkan dari Jakarta. Laki-laki tersebut menunjuk ke dalam gang. Saya mengucapkan terima kasih dalam bahasa Cina lalu berjalan memasuki gang. Setelah menempuh jarak sekitar 20an meter sekali lagi saya menunjukan alamat hotel di HP ke seorang perempuan paruh baya yang berdiri di depan satu warung kelontong. Perempuan tersebut menunjuk arah sebaliknya yakni satu gang lain yang berada di seberang jalan Dongsi south yang telah saya tinggalkan. Saya mengucapkan terima kasih lalu putar balik berjalan kembali ke jalan raya sambil melirik ke petugas tadi. Karena tidak ada lampu penyeberangan, saya mengamat-amati terlebih dahulu cara orang-orang setempat menyeberang. Karena semua kendaraan berjalan di bagian kiri, maka saya harus memperhatikan dan mewaspadai bagian kiri saya. Saat mobil-mobil berjarak cukup jauh, saya menyeberang hingga tiba di tengah jalan. Saya berdiri di tengah jalan menunggu mobil-mobil di sisi sebelah ini berjarak cukup jauh lalu saya cepat-cepat menyeberang. Saat tiba di sisi sebelah jalan, mata saya telah melihat papan nama hotel 161 dalam warna merah terang berjarak sekitar 10 meter dari pinggir jalan raya dalam gang yang akan saya masuki. Ternyata lokasi hotel berada di sisi jalan yang sama dengan stasiun subway / metro Dongsi yang dapat ditempuh dalam waktu 5menitan jalan kaki dari hotel ke stasiun atau sebaliknya. 



Hotel Beijing 161 Wangfujing
Udara terasa hangat saat saya tiba di dalam hotel. Saya menghampiri meja resepsionis di sebelah kiri berjarak sekitar 5 meter dari pintu masuk keluar hotel. Saya berdiri menunggu giliran karena resepsionis sedang melayani tamu lain. Jam saya menunjukan jam 10 pagi alias jam 11 pagi waktu Bejing. Artinya saya telah menghabiskan waktu sekitar 4 jam dari airport hingga tiba di hotel. Setelah kedua perempuan tamu tersebut selesai, saya maju dan mengatakan ke resepsionis laki-laki muda berkacamata bahwa saya akan check in. Saya mengatakan bahwa saya telah booking melalui booking.com. Saya mengeluarkan passport dan memberikan ke resepsionis yang membuka dan melihat ke halaman identitas lalu mengambil satu kertas print out di rak yang berada di belakangnya. Kertas print out tersebut adalah konfirmasi bookingan saya melalui booking.com. "Yes, that is me", kata saya ke resepsionis tersebut mengkonfirmasi ulang. Resepsionis meminta passport saya untuk difotocopy, lalu meminta uang pembayaran 5 malam selama saya berada di hotel tersebut bersama deposit sebesar 200yuan yang akan dikembalikan saat saya check out. Saya menyerahkan semua yang diminta. Selesai mengcopy passport dan membuat tanda terima pembayaran bersama deposit, petugas menyerahkan 2 kunci berbentuk kartu. Satu kartu untuk mengaktifkan listrik untuk lampu, ac dan tv, satu lagi untuk masuk keluar pintu penghubung dan kamar. Walau baru jam 11 pagi, namun saya telah bisa masuk kamar lebih awal dari aturan hotel tentang waktu check in pada jam 2 siang. Seorang staf laki-laki mengantar saya ke kamar 503 di lantai paling atas, yakni lantai 4. Kami melewati tangga-tangga yang diberi karpet berwarna merah. Karena orang Cina pamali terhadap angka 4, maka semua kamar  di lantai 4 hotel diberi penanda nomor 5.
Hotel Beijing 161 Wangfujing yang adalah tempat menginap saya selama di Beijing

Bersambung

Sabtu, 22 Oktober 2016

JELAJAH DUNIA. JEPANG - KYOTO: Kuil Perak / Ginkaku-ji, Jalan Para Filsuf / Philosopher Path dan Kuil Fushimi Inari

Depan gerbang Kuil Ginkaku-ji
Saya berjalan meninggalkan Taichi (baca Arashiyama Bamboo dan Kuil Kiyomizudera) menuju gerbang Kuil Perak atau Ginkakuji. Jalan masuk ke kompleks kuil Ginkakuji berbentuk huruf L selebar 3 meteran yang diberi pagar pembatas dari bilah-bilah bambu di atas tumpukan batu-batu gunung di kiri dan kanannya. Jalannya terbuat dari tanah yang dihampari kerikil dan pasir kasar berwarna khaki. Di bagian kiri jalan masuknya terdapat bangunan kecil seukuran pos-pos ronda di Indonesia. Bangunan kecil yang terbuat dari kayu tersebut merupakan tempat penjualan karcis yang dijaga 2 perempuan paru baya mengenakan kimono warna gelap. Saya menghampiri tempat penjualan karcis masuk, menganggguk ke kedua perempuan itu lalu menyerahkan 300 yen yang ditukar dengan selembar karcis. Gerbang masuk hanya berjarak sekitar 5 meter dari tempat penjualan karcis yang letaknya sejajar. Gerbang dijaga seorang lelaki memakai kimono warna abu-abu gelap. Saya menyerahkan karcis sambil mengangguk. Lelaki penjaga gerbang mengambil karcis lalu membuka gerbang dan mempersilahkan saya masuk.

Hamparan pasir di halaman kuil Ginkaku-ji
Saat saya melewati gerbang, di depan saya terhampar gunungan dan hamparan pasir yang dibentuk dalam pola tertentu di halaman yang cukup luas. Gunungan dan hamparan pasir tersebut diberi pagar pembatas setinggi lutut orang dewasa. Satu kuil berbentuk rumah khas Jepang berada di sebelah kiri saya sedangkan di sebelah kanan saya berdiri megah melintasi zaman Kuil Perak / Ginkaku-ji yang terkenal sebagai pasangan Kuil Emas / Kinkaku-ji yang telah saya kunjungi kemarin sore di bagian lain Kyoto. Saya belok kanan terlebih dahulu mendekat ke Ginkaku-ji untuk mengamati dan memotret arsitektur kuno Jepang di Kuil itu. Keseluruhan dinding Kuil terbuat dari kayu berwarna coklat gelap dan putih. Tidak nampak sedikitpun warna perak di Kuil ini - sehingga saya bertanya-tanya mengapa disebut kuil perak?. 
Gundukan pasir di halaman kuil Ginkaku-ji
Berbeda dengan Kuil Emas yang dilapisi lembaran-lembaran emas sehingga menyandang nama Kinkaku-ji atau Kuil Emas. Setelah puas melihat-lihat Ginkaku-ji, saya berjalan-jalan di dalam kompleks untuk melihat-lihat dan memotret berbagai obyek lain di tempat tersebut. Di samping kanan saya atau samping kiri Ginkaku-ji berdiri kokoh gerbang Torii berwarna abu-abu setinggi 3 meteran dengan lebar sekitar 1,5 meter sebagai pintu ke tempat sembahyang di suatu bukit kecil dalam kompleks tersebut. Seluruh halaman dipenuhi berbagai jenis pohon berupa bunga-bunga maupun pohon-pohon besar yang daunnya sedang berwarna-warni karena musim gugur.

Kuil Ginkakuji dari kejauhan
Kuil Ginkakuji merupakan bangunan 2 tingkat berwarna coklat gelap dan putih. Warna dinding tingkat pertama didominasi warna putih dof dengan aksen coklat gelap pada balok, tiang dan atap. Sedangkan di tingkat 2, warna dinding didominasi warna coklat gelap dengan jendela-jendala warna putih dof. Suatu kolam buatan mengelilingi Kuil Ginkakuji yang dapat diakses melalui jembatan kecil dari halaman hamparan pasir ke Kuilnya. Para pengunjung tidak diperkenankan memasuki bangunan Kuil yang diberi pagar pembatas berjarak sekitar 10an meter dari Kuil. Walau banyak pengunjung bertebaran di dalam kompleks kuil, namun suasana sekitar tetap terasa adem dan sepi. Masing-masing pengunjung asyik dengan alam sekitar, walau mereka jalan berombongan, namun semuanya berjalan dalam keheningan. Sesekali ada yang bercakap-cakap tentang sesuatu, namun dilakukan dengan suara pelan sehingga tidak mengganggu keheningan seluruh kompleks.

Gerbang Torii menuju kuil kecil di atas bukit
"Ginkaku adalah nama untuk Aula Kannon (Kannon-den) yang didirikan Yoshimasa di Istana Higashiyama. Nama "Ginkaku" digunakan untuk menandingi Kinkaku-ji yang dibangun Ashikaga Yoshimitsu. Pemancangan tiang pertama dilakukan tahun 1482. Bangunan dibuat bertingkat, atap berbentuk "hogo-zukuri" dengan penutup dari "kokerabuki". Bila dilihat dari atas, panjang dan lebar bangunan adalah 8,2 x 7 meter. Lantai dasar disebut "Shinkuden, dan bergaya arsitektur rumah tinggal. Lantai pertama disebut "Kannon-kaku" yang berfungsi sebagai "butsudo" (kuil)", (https://id.wikipedia.org/wiki/Ginkaku-ji)... selama pembangunan istana Higashiyama berlangsung "Yoshimasa menikmati hidup dengan upacara minum teh dan apresiasi seni lukis. Pembangunan istana terus berlangsung selama 8 tahun sebelum Yoshimasa meninggal dunia. Sebelum bangunan seluruhnya selesai, Yoshimasa pindah ke istana Higashiyama pada tahun
Di salah satu bagian komplek Kuil Ginkaku-ji
1483. Di dalam istana Higashiyama yang luas diantaranya terdapat aula rapat dan rumah kediaman shogun. Dibandingkan dengan Kinkaku-ji, istana Higashiyama tidak begitu luas. Walaupun demikian, istana Higashiyama memiliki arti penting di bidang politik karena digunakan sebagai gedung pemerintahan keshogunan Muromachi. Sekarang ini, Ginkaku-ji dan Togudo adalah dua bangunan yang tersisa dari sejumlah bangunan di dalam kompleks istana Higashiyama. Setelah Yoshimasa meninggal dunia pada tahun 1490, istana Higashiyama dijadikan kuil peristirahatan untuk arwah Yoshimasa. Kuil tersebut diberi nama Jisho-ji... pada akhir zaman Sengkoku, Jisho-ji menjadi rumah peristirahatan seorang pejabat "kampaku" bernama Kanoe Sakihisa. Sejak itu pula, biksu penjaga kuil Jisho-ji sebagian besar berasal dari keluarga besar Kanoe. Setelah Sakihisa meninggal dunia, Jisho-ji menjadi kuil cabang dari Shokoku-ji, (https://id.wikipedia.org/wiki/Ginkaku-ji).

Hamparan pasir dan salah satu kuil dalam kompleks Gikanku-ji
Dari samping kanan Kuil Ginkakuji, saya balik kiri berjalan melewati jalan dari gerbang masuk dan keluar. Saya kembali mengamati gunungan pasir setinggi 1,5meter berbentuk kukusan terbalik yang datar di puncaknya. Gunungan ini diapit hamparan pasir berwarna sama dengan pola seperti kipas raksasa yang diberi motif garis-garis lurus dipadu garis berbelok seperti huruf S raksasa. Saya terus berjalan melewati hamparan gunungan pasir menuju Kuil berbentuk rumah khas Jepang yang pintunya tertutup rapat. Dua perempuan paruh baya memakai kimono abu-abu melintas di selasar kuil. Tepat di depan kuil tersebut, setapak yang sedang saya susuri berbelok ke kanan mengitari  hamparan dan gunungan pasir tersebut. Setapak yang saya lalui tersebut seperti berbentuk huruf U yang pada ujung terbukanya dihalangi kebun kecil yang menyambung ke kolam buatan depan halaman Kuil Ginkakuji. Tepat di ujung hamparan pasir berbentuk kipas tersebut, setapak yang sedang saya telusuri berbelok ke  kiri menuju kawasan perbukitan di dalam kompleks kui.

Setepak dalam kompleks Kuil Gikanju-ji
Setapak tersebut berkelok-kelok naik dan turun mengikuti kondisi kontur tanahnya sampai ke puncak bukit. Di samping belakang kiri bangunan kuil yang menghadap ke hamparan pasir berbentuk kipas tersebut terdapat kuil lain yang dibuka bagi para pengunjung yang ingin beribadah. Beberapa pengunjung berjalan ke kuil tersebut melalui setapak yang lebih kecil lalu melewati jembatan kecil melintang di atas satu kolam buatan berair jernih. Seluruh kompleks kuil kelihatan dirawat dengan sangat baik. Pepohonan yang tumbuh di kompleks tersebut juga ditata dengan pola tertentu sepanjang setapak yang sedang saya lalui. Pada ketinggian tertentu, setapak diberi pagar bambu sebagai pegangan karena jalannya curam. 
Setapak diberi pagar sebagai pegangan bagi pengunjung
Makin ke atas, hanya pepohonan dengan dedaunan berbagai warna yang saya temui. Tepat di puncak bukit, saya dan para pengunjung bisa melihat kota Kyoto di kejauhan yang menjadi latar belakang Kuil Ginkakuji. Saya berhenti sejenak di tempat ini menikmati Kuil Ginkakuji dari puncak bukit yang dilatarbelakangi Kota Kyoto. Jalan mulai menurun dari puncak bukit membawa saya dan pengunjung lainnya ke bagian belakang kompleks Kuil. Di bagian ini tersedia satu bangunan berbentuk huruf L yang dilengkapi toilet dan kamar mandi sehingga para pengunjung bisa menggunakan untuk kencing dan beol atau sekedar cuci muka dan tangan. Halaman bangunan yang menjadi tempat istirahat para pengunjung memiliki halaman cukup luas yang ditanami sejenis bambu hias yang ditanam dalam pola tertentu. Pohon-pohon bambu setinggi 3 meteran tersebut menjadi pembatas alam antara bangunan tempat para pengunjung beristirahat dengan Kuil Ginkakuji. Satu setapak datar dari halaman bangunan yang melintasi hutan bambu tersebut membawa saya ke gerbang luar kompleks Kuil Ginkakuji.

Gikanku-ji dari atas bukit dalam kompleks kuil
Saya menghabiskan sekitar 2 jam di dalam kompleks Kuil Ginkakuji menikmati keindahan, pesona dan keelokannya. Saya keluar melalui gerbang dan jalan yang sama. Karena Kuil Ginkakuji terletak di ketinggian, maka di gerbang paling luar saya bisa melihat barisan manusia yang sedang berjalan dari jalan raya berjarak 200an meter ke arah Kuil. Kios souvenirs dan restoran / warung berjejer rapi dalam jarak 10an meter dari gerbang luar sampai pinggir jalan raya tempat saya bisa menunggu bis wisata di haltenya. Dari gerbang luar, saya berjalan lurus beberapa meter lalu belok kanan menyusuri suatu jalan bagi para pejalan kaki (pedestarian) yang disebut Jalan Filsuf atau Philosopher Path. Philosopher Path menghubungkan Kuil Ginkaku-ji dengan Kuil Nansen-ji. Jalan in bersisian dengan kanal berair bersih dengan lebar sekitar 2 meter.
Philosopher path / jalan para filsuf di luar kompleks Gikanju-ji
Sepanjang kiri dan kanan jalan, termasuk sepanjang tepi kanal ditanami pohon sakura yang keindahannya akan dapat dinikmati pada sekitar akhir Maret hingga Mei disaat pohon-pohon tersebut berbunga. Saat saya berada di tempat tersebut, daun-daunya telah berguguran. Pohon-pohon tersebut seperti sedang merangas karena daun-daunnya yang masih tersisa telah berubah warna menjadi kuning orange. Hanya sedikit daun yang masih bertengger di ranting-ranting pohon berwarna hitam. Hampir semua pohon sakura tersebut telah berbalut lumut yang menunjukan usia pohon-pohon tersebut telah cukup tua. Saya menyusuri pedestarian tersebut sekitar 100 meter lalu berjalan balik ke arah Kuil Ginkaku-ji. Di depan gerbang luar Kuil, saya belok kiri menyusuri jalan penghubung Kuil dengan jalan raya sambil melihat berbagai souvenirs dan juga melihat-lihat menu makanan dan minuman berbagai restoran dan warung yang dipasang di depan masing-masing restoran. Akhirnya saya memutuskan mampir di salah satu warung yang terlihat sederhana namun cukup ramai. Gambar makanan bersama harga yang ditempelkan di dinding warung tersebut lebih murah dibanding restoran-restoran yang telah saya lewati dari Philosopher Path. 

Salah satu bagian dalam kompleks Kuil Gikanku-ji
Saat tiba di dalam warung berukuran sekitar 7x5 meter tersebut, hampir semua meja dan kursinya terisi penuh. Hanya tersisa 1 meja dengan 2 kursi di dekat pintu masuk. Saya langsung menduduki kursi kosong di meja tersebut. Seorang perempuan muda mengantar menu bertulisan Jepang dengan foto-foto makanan yang disajikan sehingga saya bisa menerka jenis makanan seperti apa yang akan disajikan. Saya juga beruntung karena perempuan muda yang sepertinya anak pemilik warung tersebut bisa berbahasa Inggris sehingga saya bisa menanyakan jenis bahan makanan yang akan saya pesan dalam satu set menu. Tak menunggu lama, makanan yang saya pesan dihidangkan. Satu set makanan yang saya pesan terdiri dari 1 mangkuk sup miso khas Jepang :), semangkuk nasi, potongan-potongan daging yang dimasak bersama potongan-potongan sayuran dan tahu. Makanan tersebut dilengkapi dengan teh hijau sebagai minumannya yang dihidangkan dalam mug khas Jepang. Saya makan perlahan-lahan sekalian menunggu makanan panas tersebut dingin. Sekitar 45 menit saya habiskan di warung tersebut.

Salah satu bagian dalam kompleks Kuil Gikanku-ji
Banyak pengunjung telah pergi sehingga warung mulai kelihatan kosong sehingga saya memiliki kesempatan mengamati warung sambil makan pelan-pelan. Selain pernak-pernik khas Jepang, warung ini dikelola oleh satu keluarga yang terdiri dari anak perempuan, ibu dan ayahnya. Selesai makan, saya menuju kasir di bagian belakang yang dijaga si ibu sambil sesekali menghilang ke dapur menyiapkan makanan dan minuman yang dipesan pengunjung baru. Karena warung sedang sepi, saya mengambil waktu sebentar mengobrol dengan sang ibu sambil memperkenalkan diri. Saya tidak tahu apakah si ibu mengetahui atau tidak dimana Indonesia dalam peta dunia :). Bagi saya yang penting adalah mendapatkan informasi dari si ibu pemilik warung bahwa mereka awalnya adalah petani yang kemudian beralih profesi menjadi pedagang makanan dan minuman karena banyaknya pengunjung Kuil yang mencari makan di siang hari. Saya tidak ingin mengambil banyak waktu si ibu karena kesibukannya. Setelah ngobrol bentar sambil bayar, maka setelah menerima uang kembalian, saya mengucapkan terima kasih dan mengucapkan sayonara dengan sedikit membungkuk lalu putar badan berjalan ke luar warung.

Kanal di samping Philosopher path / jalan para filsuf
Langit Kyoto sedang mendung berat saat tubuh saya nongol di luar warung. Jarak halte bis di jalan raya tidak terlalu jauh dari warung yang berada di jalan lain menuju Kuil Ginkaku-ji. Karena itu, saya tidak terlalu kuatir kehujanan jika hujan tiba-tiba turun. Saya juga selalu membekali diri dengan payung lipat di ransel kamera sehingga jika hanya gerimis, maka tidak terlalu menjadi masalah bagi saya. Saat saya tiba di halte, beberapa calon penumpang telah berdiri antri, saya juga langsung masuk dalam antrian. Tidak menunggu lama, bis yang kami tunggu tiba. Saya dan para calon penumpang lain bergegas masuk bis dengan tujuan masing-masing. Tujuan saya adalah kembali ke stasiun Kyoto. Karena terminal bis berada di stasiun Kyoto, maka saya tidak perlu mengganti bis ataupun moda transportasi lainnya. Di stasiun Kyoto, saya akan menggunakan kereta JR ke Kuil Fushimi Inari yang berjarak sekitar 2 stasiun dari stasiun Kyoto dengan waktu tempuh sekitar 10 menit.

Penanda dan pagar kompleks Fushimi Inari
Saat saya keluar dari kereta JR di stasiun Inari, gerimis sedang membasahi lingkungan sekitar. Karena saya selalu membawa payung, maka gerimis tidak menjadi halangan bagi saya mengunjungi Kuil Fushimi Inari yang terkenal dengan ratusan gerbang Torii - gerbang luar kuil-kuil Shinto di Jepang yang dicat orange. Seperti biasa, saya hanya butuh menunjukan JR Pass saya ke petugas di stasiun yang hanya mengangguk mengizinkan saya melewati pintu para pemegang JR Pass di samping ruang jaga yang sekaligus berfungsi sebagai loket dan pusat informasi. Saat saya keluar bangunan stasiun, kaki saya langsung menapak di jalan raya yang terletak di depan stasiun. Kompleks Kuil Fushimi Inari berada di seberang jalan sehingga saya hanya perlu menyeberang lalu menyusuri jalan kompleks kuil selebar 5 meteran menuju bangunan Kuil yang terletak sekitar 100 meter dari jalan raya. Sebelum mencapai bangunan kuil, saya dan juga pengunjung lain melewati 2 gerbang Torii setinggi 10an meter. Setelah melewati gerbang Torii kedua, saya belok kiri keluar dari jalan utama menuju tempat pembasuhan / pembersihan tubuh sebelum memasuki bagian dalam kompleks kuil yang dipisahkan oleh gerbang dalam.

Gerbang luar kompleks Kuil Fushimi Inari 
Semua kuil Shinto memiliki 2 gerbang, yakni gerbang luar yang terdiri dari 2 tiang horisontal berdiri di atas fondasi berbentuk selinder setinggi betis orang dewasa yang dicat hitam. Di puncak kedua tiang tersebut dipasangi 2 palang horisontal yang menghubungkan kedua tiang. Pada palang teratas dilapisi lagi palang lain yang kedua ujungnya melengkung seperti lengkungan atap-atap rumah Minangkabau atau lengkungan anjungan perahu - namun tidak terlalu melengkung dan tinggi. Lapisan terakhir ini dicat warna hitam seperti warna cat di fondasinya. Gerbang bagian dalam berbentuk bangunan 2 tingkat dengan artsitektur rumit dan indah berbalut cat putih dan orange. Di bagian paling atas / puncak diberi atap berwarna coklat gelap. 

Tempat basuh / pembersihan muka, tangan dan mulut
Saya menghampiri tempat pembasuhan / pembersihan diri bagi para pengunjung yang ingin bersembahyang di kuil-kuil Shinto yang dikunjungi. Tempat pembasuhan ini berbentuk pondok kecil terbuka dengan ukuran sekitar 3 meter panjang dan 2 meter lebar. Dalam pondok tersebut tersedia beberapa tempat air dari kayu berbentuk bulat berisi dingin, bersih dan jernih dilengkapi alat timba yang juga terbuat dari kayu dengan pegangan sepanjang lengan orang dewasa. Alat timba dan air tersebut digunakan untuk membasuh tangan, muka dan juga membersihkan mulut dengan cara berkumur. Saya mengikuti cara pengunjung lain membersihkan kedua tangan, muka dan juga mulut. Setelah selesai, saya mengembalikan alat timba ke tempatnya lalu kembali berjalan ke jalan utama yang berjarak sekitar 5 meter dari pondok pembasuhan. Saya menaiki beberapa anak tangga menuju gerbang dalam lalu berjalan terus menuju bangunan utama kuil yang berjarak sekitar 15 meter dari gerbang dalam. 

Bangunan utama Kuil Fushimi Inari
Pesona keelokan arsitektur kuil yang didominasi warna orange dan putih telah terpampang di depan mata saat kaki saya menapaki anak-anak tangga yang mengantar saya melewati gerbang dalam. Beberapa pengunjung sedang mendaraskan doa-doa mereka setelah menarik-narik satu tali kain berwarna merah dan putih yang terhubung ke lonceng di langit-langit luar kuil di ketinggian. Setelah tali ditarik sebanyak 3 kali untuk membunyikan lonceng, pengunjung yang akan berdoa melempar koin ke altar dalam bangunan kuil lalu menangkupkan tangan dengan cara seperti bertepuk 2 kali di depan dada dilanjutkan dengan berdiri diam seperti mengheningkan cipta. Saya memperhatikan para pendoa tersebut dari jarak beberapa meter agar tidak mengganggu kekhusukan doa mereka. Setelah itu, saya berjalan mengelilingi bangunan utama kuil lalu berpindah
Pengunjung yang sedang berdoa
ke bangunan lain yang lebih kecil di bagian belakang kanan bangunan utama. Dari bangunan kuil yang lebih kecil, saya berjalan melewati belakang kuil utama menuju tangga dan gerbang lain di bagian kanan belakang dalam jarak sekitar 25an meter dari kedua bangunan kuil yang barusan saya kelilingi. Gerbang belakang ini memiliki tiang Torii setinggi kedua gerbang luar di bagian depan dalam kompleks Fushimi Inari. Gerbang Torii yang akan saya lewati dijaga patung serigala di kiri dan kanannya. Serigala dipercaya sebagai makluk penjaga kuil dan gunung Inari yang disucikaan dalam komplek kuil Fushimi Inari. Karena itu dari gerbang luar depan stasiun hingga di dalam kompleks, saya melihat tebaran patung-patung serigala di beberapa tempat. Patung-patung tersebut dihiasi kalung kain warna merah dan putih bertulisan Jepang di bagian lehernya.

Kertas-kertas doa dan harapan para pengunjung
Di sebelah kiri sebelum patung serigala dan tangga terdapat papan berwarna orange setinggi 3 meteran. Papan ini berdiri di atas 3 tiang setinggi pinggang orang dewasa. Papan tersebut dihiasi kertas-kertas berwarna putih yang berisi doa dan harapan para pengunjung. Sekali lagi saya melewati gerbang Torii di puncak anak tangga. Setelah melewati gerbang Torii,  jalan terbagi ke dua arah, yakni ke kiri dan ke kanan. Saya milih berjalan ke kanan mendaki anak-anak tangga selebar belasan meter. Di kiri dan kanan anak-anak tangga tersebut dihiasi berbagai pernik-pernik kuil berbentuk bangunan-bangunan lebih kecil. Tiba di puncak tangga, saya mengikuti jalan yang berbelok ke kanan menuju jejeran gerbang Torii setinggi puluhan meter. Gerbang-gerbang Torii ii dicat hitam di bagian fondasinya yang setinggi
Kuil kedua di belakng kuil utama Fushimi Inari
pinggang orang dewasa, sisanya ke atas termasuk palang-palangnya berwarna orange. Gerbang-gerbang tersebut bersusun rapat membentuk lorong tak berujung. Disamping lorong gerbang Torii setinggi 10an meter tersebut terdapat susunan gerbang lain yang lebih pendek sekitar 5-7meter tingginya. Gerbang-gerbang Torii ini juga membentuk lorong panjang ke belakang. 




Lorong gerbang Torii 
Saya memilih menyusuri lorong gerbang Torii yang lebih tinggi terlebih dahulu. Lorong gerbang-gerbang Torii sepanjang puluhan meter tersebut membawa saya ke halaman bangunan kuil lain di dalam kompleks Kuil Fushimi Inari yang berada dalam kawasan hutan dengan pohon-pohon setinggi puluhan meter. Setelah keluar dari lorong gerbang Torii yang barusan saya susuri, saya berdiri sejenak memperhatikan bangunan kuil berwarna orange putih tersebut dan juga sekelilingnya. Kuil di depan kedua lorong gerbang Torii tersebut dibangun di suatu bukit yang tanahnya telah digali. Saya berjalan menuju bagian belakang dari sisi kiri Kuil. Sisi kiri, belakang dan kanan kuil dibatasi pagar alam berbentuk dinding bukit. Di sisi kiri kuil terpasang satu papan berwarna orange setinggi 3 meteran sebagai tempat umat menaruh doa-doa dan harapan mereka di kertas-kertas berwarna putih - sama seperti papan di depan patung serigala yang telah saya lewati. Setelah melihat-lihat dan memotret beberapa obyek di sekitar kuil ini, saya berjalan kembali ke depan gerbang Torii lalu berjalan menuju lorong gerbang Torii berikut yang berada di sebelah kiri gerbang Torii yang telah saya lewati. Langit ditutupi awan tebal berwarna abu-abu yang sesekali menurunkan gerimis. Ratusan pengunjung terus hilir mudik datang dan pergi silih berganti. Kadang saya berpapas-
an dengan pengunjung peorangan atau berpasangan atau dalam kelompok-kelompok berjumlah 3 - 6 orang. Lorong gerbang Torri yang sedang saya susuri seperti jalan tak berujung. Saya tidak tahu 
Lorong gerbang Torii
kemana jalan dalam lorong gerbang-gerbang Torii ini akan berakhir. Karena itu saat saya melihat ada setapak di kiri luar lorong gerbang Torii, saya keluar dari lorong gerbang Torii untuk menyusuri setapak tersebut. Gerimis masih sedang berlangsung saat saya mulai menyusuri setapak tersebut menikmati kesegaran alam Kyoto di dalam kompleks Fushimi Inari. Setapak tersebut membawa saya menuruni bukit yang dipenuhi berbagai pohon besar dan semak belukar dengan dedaunan berwarna-warni. Saat saya tiba di satu jembatan kecil berwarna orange dalam hutan tersebut, saya berhenti sejenak mengamati sekeliling saya. Setapak di jembatan kecil ini bercabang 2, cabang pertama lurus ke depan yang saya perkirakan akan membawa saya kembali ke bagian depan Fushimi Inari. Cabang kedua berbelok ke kanan melewati jembatan kecil lalu meninggi mengikuti kontur tanah berbukit menuju bagian lain lorong gerbang Torii yang barusan saya tinggalkan. 

Karena hari masih terang walau gerimis dan lampu-lampu telah dinyalakan, saya memilih belok kanan melewati jembatan kecil berhenti sejenak di satu tugu yang dibangun berjarak 5 meter di sebelah kanan jembatan kecil tersebut. Saya menghampiri tugu berwarna abu-abu yang telah dimakan usia dengan penanda adanya lumut di beberapa bagian tugu. Saya berdiri mengamati tugu tsb dan mengambil beberapa foto kemu-
Depan tugu samping jembatan dalam kompleks Fushimi Inari
dian kembali ke setapak di sebelah tugu lalu mulai berjalan mendaki bukit kembali menuju lorong gerbang Torii. Saya tiba di lorong gerbang Torii yang berbelok tajam membentuk huruf L. Jika saya berjalan lurus memasuki lorong gerbang Torri maka saya akan terus mendaki ke dalam hutan. Jika saya belok kanan, maka saya akan kembali ke lorong gerbang Torii yang telah saya lewati sebelumnya. Gerimis masih sedang berlangsung mengiringi senja yang mulai menuju malam. Lorong gerbang Torii mulai sepi, namun masih ada satu atau dua pengunjung yang lewat dalam jarak waktu tertentu. Saya berdiri di pertigaan ini sambil mengamat-amati dan memotret. Setelah   sejenak   antara
Di salah satu lorong gerbang Torii
keinginan untuk melanjutkan atau balik arah pulang karena hari mulai malam dan kawasan sekitar mulai gelap dan sepi, saya akhirnya memutuskan belok kanan menyusuri lorong gerbang Torii yang membawa saya kembali ke lorong dan kuil yang telah saya susuri dan amati. Saat berjalan pulang barulah saya melihat tulisan-tulisan Jepang di kedua sisi lorong gerbang Torii. Tulisan-tulisan tersebut hanya ada di satu sisi gerbang-gerbang Torii yang saya susuri sehingga tidak terlihat dari sisi lain saat saya berjalan dari bagian depan kompleks. Saat saya cek ke google, tulisan-tulisan tersebut adalah nama para penyumbang gerbang-gerbang Torii yang disusun membentuk lorong-lorong tak berujung menuju puncak bukit. Torii pertama dibangun tahun 1589 oleh seorang pemimpin setempat bernama Toyotomi Hideyoshi. Sejak saat itu, gerbang Torii terus bertambah. Ukuran setiap gerbang bervariasi sesuai besar kecil dana para penyumbang. Para penyumbang gerbang Torri yang kaya juga membangun kuil yang besar kecilnya tergantung pada besar kecilnya ketersediaan dana parap penyumbang tersebut. Saat saya tiba kembali di depan kuil yang berada di depan dua lorong gerbang Torii dari bagian depan kompleks kuil, saya memilih kembali berjalan menyusuri lorong gerbang Torii yang telah saya susuri saat datang sehingga saya telah tahu lekuk-lekuk atau belokan-belokannya. Di lorong tersebut juga masih terlihat beberapa pengunjung yang lalu lalang dibanding lorong sebelahnya yang lebih kecil. 

Lorong gerbang Torii menjelang malam
Malam telah sempurna saat saya tiba kembali di bagian depan kompleks kuil Fushimi Inari. Hanya ada nyala lampu di kuil-kuil utama yang menghadirkan keindahan romantik bagi para pemburu foto. Saya berdiri menikmati pesona kuil-kuil Fushimi Inari dalam kesunyian malam. Hanya beberapa gelintir pengunjung yang melintas dalam rentang waktu cukup lama sehingga kesunyian dan kesyahduan kompleks kuil terasa merasuk sukma. Sesekali terdengar suara lonceng dan dentingan koin yang dilempar para pendoa ke altar di dalam kuil sebelum mendaraskan doa-doa mereka. Saya hanya terpana dan termangu menikmati pesona keindahan malam dalam kompleks tersebut. Tak puas dengan penyusuran hari ini, saya memutuskan akan kembali esok pagi dalam perjalanan saya ke Nara - Ibukota pertama Jepang. Kereta JR yang akan saya gunakan ke Nara melewati rute yang sama dengan perjalanan kereta ke Fushimi Inari sehingga saya akan mampir lagi ke kuil ini lalu melanjutkan perjalanan jelajah saya ke Nara. 

Gerbang dalam di malam hari
Setelah puas memotret, saya berjalanan ke suatu bangunan yang dibangun memanjang di batas luar kompleks Kuil Fushimi Inari yang berjarak sekitar 10an meter dari susunan anak tangga yang dijaga sepasang serigala di kiri dan kanan gerbang Torii menuju lorong-lorong gerbang Torii di bagian belakang kompleks kuil yang berada dalam kawasan hutan dalam kompleks kuil tersebut. Saya menuju toilet yang berada di bangunan tersebut. Selesai dari toilet, saya berjalan keluar melalui halaman depan bangunan lalu keluar menuju gerbang luar melalui jalan samping - tidak melewati gerbang dalam kuil yang telah saya lewati sore tadi. Keluar dari kompleks Kuil Fushimi Inari, saya menyeberang jalan lalu berjalan menuju stasiun yang hanya berjarak sekitar 15an meter dari gerbang Torii terluar kompleks Kuil Fushimi Inari. Seperti sebelum-sebelumnya, saya hanya perlu melewati pintu di sebelah loket tiket sambil menunjukan JR Pass saya ke petugas loket yang hanya mengangguk. Saya menunggu kereta JR yang akan membawa saya kembali ke stasiun Kyoto. 

Menu makan malam di salah satu resto di stasiun Kyoto
Setelah turun dari kereta JR di stasiun Kyoto, saya mampir ke salah satu restoran Jepang di stasiun tersebut. Saya memilih satu set menu yang terdiri dari nasi, sayuran, sup miso, ayam goreng tepung dan tahu tawar khas Jepang sebagai makanan penutup. Selesai makan malam di stasiun Kyoto, saya berjalan-jalan menikmati keramaian stasiun. Saat saya akan turun ke basement stasiun guna keluar dari exit 3 menuju jalan raya depan stasiun guna kembali ke Ryokan (penginapan khas Jepang), saya melihat keindahan pesona Kyoto Tower di malam hari. Beberapa turis terlihat sedang berfoto dengan latar belakang Kyoto Tower melalui celah kecil elebar 1x1 meter  di ujung tangga berjalan tersebut. Saya juga tidak melewatkan kesempatan tersebut karena malam ini merupakan malam terakhir saya berada di Kyoto. Besok saya akan menuju Nara lalu melanjutkan ke Tokyo dan Gunung Fuji. Puas foto-foto, saya turun ke basement lalu keluar dari exit 3. Saat tiba di luar stasiun, gerimis masih sedang berlangsung. Saya berteduh sejenak di selasar luar stasiun menunggu kendaraan yang lalu lalang di jalan yang berjarak 10an meter dari stasiun berhenti. Saat kendaraan berhenti dan lampu hijau bagi para pejalan kaki menyala, saya berlari kecil mengikuti para penyeberang lain menyeberang. Saya menuju starbuck cafe yang terletak di seberang jalan depan halaman stasiun yang barusan saya tinggalkan. Saya menghangatkan badan dengan secangkir coklat panas di Starbuck cafe sambil menunggu gerimis berhenti. Dari starbuck saya hanya perlu menyeberang jalan di sisi lain lalu menyusuri jalan gang sepanjang 50an meter kembali ke Ryokan yang terletak dalam kompleks pemukiman di Kyoto. 

Kyoto Tower di malam hari
Saat gerimis mengecil, saya cepat-cepat menghabiskan coklat panas saya lalu keluar dan belok kiri menuju perempatan lampu merah dan masuk ke dalam antrian para pejalan kaki yang akan menyeberang. Saat lampu berwarna hijau bagi para penyeberang, saya ikut menyeberang dengan para pejalan kaki lainnya. Tiba di seberang, saya berjalan menyusuri lorong sepanjang 30an meter lalu belok kiri dan perjalan sekitar 20an meter ke Ryokan Nishikiro yang menjadi tempat menginap saya selama di Kyoto. Pintu luar Ryokan telah tertutup. Saya membuka pintu tersebut dengan cara menggeser ke kanan dan kiri sebagaimana diajarkan pemilik Ryokan saat saya check in. Sepatu dan kaos kaki saya tanggalkan dan simpan ditempat sepatu dan sandal para tamu di sebelah kanan dekat tangga kayu ke lantai 2 Ryokan. Saya memakai sandal tamu yang disediakan Ryokan lalu menaiki tangga di sebelah loker sepatu menuju kamar saya di lantai 2. Di kamar, saya mengganti pakaian dengan kimono yang telah disediakan pemilik Ryokan. Saya menuju kamar mandi khas Jepang untuk berendam di onsen (pemandian air panas) dalam kamar mandi tersebut. Karena hari telah larut malam, maka tidak ada tamu lain yang sedang berada di onsen sehingga saya bisa menggunakan pemandian tersebut sepuasnya. Kamar mandi Jepang dibagi ke dalam 2 bagian, yakni kering dan basah. Bagian kering untuk menaruh kimono, handuk dan
Jalan dalam pemukiman ke Ryokan Nishikaro
sandal. Bagian basah untuk mandi dan berendam. Saya menanggalkan kimono dan sandal serta handuk yang saya taruh di salah satu keranjang berlaci di bagian kering yang telah di tunjukan pada saya oleh pemilik Ryokan saat saya check in. Sambil telanjang bulat, saya menyibak kain pintu menuju bagian basah. Bagian basah dibagi lagi ke 2 bagian juga, yakni bagian mandi atau basuh atau guyur serta menggunakan sabun dan sampo. Sabun dan sampo cair telah disediakan di tempat tersebut. Bagian ini dilengkapi bangku-bangku plastik berbentuk bulat setinggi betis orang dewasa serta pancuran / shower setinggi dada orang dewasa. Keran airnya bercabang 2, 1 terhubung ke shower sedangkan satu lagi digunakan untuk mengalirkan air ke tempayan-tempayan plastik sebesar setengah pelukan orang dewasa. Tempayan-tempayan ini digunakan menampung air untuk mandi dengan cara ditimba menggunakan gayung plastik yang juga telah disediakan di tempat tersebut. Karena saya telah mencari informasi di google, maka saya mempraktekan cara mandi orang Jepang. Saya duduk di salah satu bangku kecil lalu  menggunakan kran shower menguyur badan dari kepala. Cara ini lebih praktis bagi  bagi saya daripada menggunakan cara manual dengan menampung air di tempayan terlebih dahulu lalu menimbah dan mengguyur badan menggunakan gayung. 

Ryokan Nishikiro
Selesai mandi, saya berpindah ke onsen (kolam air panasnya). Onsen-nya berupa bak berukuran 2 x 3 meter setinggi paha orang dewasa yang dibangun ke bawah sehingga bibir baknya hanya setinggi mata kaki orang dewasa jika diukur dari ketinggian lantai kamar mandi. Saya mengeluarkan penutup onsen terlebih dahulu. Penutup ini berupa lembaran alumunium tebal yang bisa digulung seperti tikar daun pandan di Indonesia. Saya keluarkan penutup onsen yang lalu saya gulung dan taruh di salah satu sudut kamar mandi. Saya memasukan satu kaki terlebih dahulu ke dalam onsen untuk merasai tingkat panas air onsen sekaligus membuat tubuh saya beradaptasi terlebih dahulu dengan suhu panas air onsen tersebut. Setelah itu, saya memasukan satu kaki lagi. Saya berdiri sejenak menikmati sensasi panas air kemudian perlahan-lahan duduk dan berendam dalam bak onsen. Sekitar 20an menit berendam dalam onsen, saya memutuskan mengakhiri prosesi mandi ala Jepang karena malam semakin larut. Saya keluar dari onsen lalu menutup kembali onsen menggunakan penutup alumunium sebagaimana telah diajarkan pemilik Ryokan saat saya check in. Setelah itu, saya kembali ke bagian pancuran / shower untuk menyiram badan dengan air dingin. Selesai menyiram badan, saya menuju pintu lalu mengulurkan tangan ke dalam keranjang yg berada di sebelah pintu bagian kering.   Selesai
Kimono dan yukata yang disediakan Ryokan
mengeringkan badan di bagian basah, saya melangkah keluar ke bagian kering. Saya mengenakan kembali kimono dan sandal lalu berjalan balik ke kamar. Karena kamar mandi perempuan dan laki-laki dipisah, maka kamar mandi laki-laki hanya diberi penutup lembaran kain di kedua pintunya. Prosesi mandi yang cukup memakan waktu, pikir saya sambil berjalan ke kamar. Namun badan terasa segar kembali setelah berendam di onsen. Tidur saya akan nyenyak untuk mempersiapkan diri bagi perjalanan jelajah ke Nara di hari esok. 


Jalan para filsuf di luar kompleks Ginkaku-ji







Bersambung.....



JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...