Minggu, 26 Oktober 2014

MYANMAR: ONCE UPON A TIME. Bagian VI - Bagan: Shwe Zi Gone Pagoda, Shwe Lattoo, Htilominlo dan Ananda temples

Bersama Ou dan Pedatinya
Hallo sir, my name is Ou, demikian kusir pedati memperkenalkan dirinya saat saya menghampiri sesuai arahan staf hotel. Pedati milik Ou merupakan pedati yang akan saya gunakan berkeliling Bagan hari ini. Sesuai rencana, pada hari pertama saya akan mengunjungi beberapa kuil dan pagoda menggunakan pedati, sedangkan pada hari kedua akan menggunakan jasa taksi milik Coco / Jojo (baca bagian VI). Saya menyalami Ou sambil menyebutkan nama saya kemudian mengajak Ou duduk di lobi hotel guna mendiskusikan rute dan kuil serta pagoda yang akan saya kunjungi menggunakan jasa pedatinya. Ou membuka peta yang dibawa lalu menunjukan kepada saya rute, pagoda dan kuil yang akan kami kunjungi. Dari hotel saya akan diantar ke Pagoda Shwe Zi Gone sebagai tempat kunjungan pertama. Dari Zi Gone, kami menuju Shwe Lattoo lalu ke Htilominto, Ananda Temple, Thatbyinyu, Shwegugyi, Mahabodi dan berakhir di Bulathe Pagoda guna menikmati sunset dari puncaknya.

Shwe Zi Gone Pagoda
Pagoda Shwe Zi Gone hanya berjarak sekitar 1 km dari hotel. Dari hotel, pedati yang saya tumpangi mengambil jalan ke kanan menyusuri jalan beraspal hingga bertemu jalan yang pagi tadi saya lalui dari airport. Dari jalan tersebut telah terlihat Pagoda Shwe Zi Gone yang berwarna keemasan. Pedati menyeberangi jalan memasuki suatu lapangan terbuka - seperti lapangan bola yang berdebu pasir halus berwarna kecoklatan. Beberapa stupa terbuat dari bata berdiri tegak berserak di area tersebut. Pedati terus melaju menuju ujung lapangan terbuka yang dikelilingi oleh jalan berukuran lebih kecil. Saat tiba di ujung area terbuka tersebut terlihat 2 perempuan Bagan memakai longi dan wajahnya berbedak tanaka berdiri seperti menyambut pedati yang saya tumpangi - salah satunya menggendong seorang anak perempuan berusia sekitar 2 tahun. Ou menunjukan jalan masuk yang harus saya lewati menuju kompleks pagoda. Kedua perempuan yang menunggu tersebut menghampiri saya saat saya telah turun dan berjalan ke arah jalan masuk yang ditunjukan Ou. Keduanya berlomba memperkenalkan diri masing-masing sambil mengajak saya masuk ke semacam pendopo panjang yang merupakan jalan masuk ke pagoda. Keduanya meminta saya melepaskan sandal dan meninggalkannya di depan pintu masuk. Mereka mengatakan akan menjaga sandal tersebut sampai saya kembali dari pagoda. Ternyata kedua perempuan tersebut merupakan bagian dari sejumlah pedagang souvenir yang menggelar dagangannya di lantai pendopo berjejer sampai ke batas dengan satu aula berwarna putih yang menghubungkan pendopo para penjual tersebut dengan kompleks pagoda. Perempuan yang menggendong anak berusaha menyematkan satu bros kupu-kupu ke baju saya, namun saya menolak sambil tersenyum. Perempuan itu dengan gigih menawarkan dagangannya, namun secara halus saya tolak sambil ternsenyum mengatakan bahwa tujuan saya adalah mengunjungi pagoda, bukan berbelanda. Akhirnya perempuan tersebut menyerah dan membiarkan saya berlalu menyusuri pendopo menuju ke kompleks pagoda. 

Tangga ke dalam Pagoda (tertutup bagi turis
Saya berjalan melewati bangsal berwarna putih dengan panjang sekitar 15 meter dan lebar 7 meter. Saat saya keluar dari bangsal tersebut terhampar bangunan Pagoda Shwe Zi Gone berwarna keemasan dan sangat menyilaukan karena teriknya sinar matahari. Beberapa turis bule dan lokal terlihat berseliweran, namun memilih berjalan di bawah bayang-bayang kuil-kuil yang mengeliling pagoda tersebut. Untuk berpindah dari satu kuil ke kuil lain, saya harus agak berlari guna meminimalkan rasa terbakar di telapak kaki karena harus menapak di atas pasir atau keramik yang panas dan memantulkan sengatan sinar mentari di siang itu. Saya terus menerus mencari berbagai posisi pengambilan foto sambil berpindah secara bertahap mengeliling pagoda sampai saya tiba kembali di pintu masuk. Saya beristrahat sejenak pada satu kuil yang didirikan diantara bangsal dan pagoda.

Hembusan semilir angin sangat menyejukan dan mengurangi panas terik yang terus menyengat menyebabkan keringat terus menerus mengalir dari berbagai bagian tubuh. Saat keringat telah berhenti, saya bangun dan kembali menyusuri bangsal lalu masuk ke pendopo yang diisi para pedagang. Perempuan yang menyambut saya pada saat kedatangan kembali menghampiri saya untuk menawarkan barang dagangannya dengan harga yang lebih murah. Namun saya tetap gigih menolak secara halus. Melihat kegigihan saya, perempuan tersebut menunjuk anaknya sambil mengatakan dia mencari uang untuk makan anaknya. Saya tetap gigih menolak sambil berjalan keluar, memakai kembali sandal saya yang terletak di luar pintu lalu berjalan ke arah pedati yang sedang menunggu di bawah naungan satu pohon besar di pinggir jalan yang menjadi pembatas antara lapangan terbuka dengan pendopo dan kompleks pagoda. 

Salah satu kuil di sekitar Kuil Shwe Lattoo
Ou tersenyum menyambut kedatangan saya. Saya kembali menaiki pedati lalu Ou memutar kendaraan tersebut ke kiri menyusuri jalan beraspal yang berlubang di sana sini kembali ke jalan besar dalam arah yang berlawanan dengan arah kedatangan sebelumnya. Sambil berjalanan, Ou berbicara dengan kuda penarik pedati - yang sepertinya meminta kuda tersebut mempercepat jalannya. Saya diam saja sambil mengamati kiri dan kanan jalan yang dipenuhi serakan bangunan kuil, pagoda dan stupa yang terbuat dari bata merah. Semua bangunan tersebut menyembul di antara pepohonan dan semak belukar serta rerumputkan yang mulai berwarna kecoklatan karena musim panas di negeri tersebut. Hamparan pepohonan, semak dan rerumputan tersebut mengingakan saya ke padang-padang sabana kampung halaman di Timor. Serakan bangunan kuil, pagoda dan stupa  tersebut juga mengingatkan saya ke beberapa candi kecil di negeri sendiri yang sering ditayangkan televisi-televisi nasional - yang belum pernah saya kunjungi - mungkin pada suatu hari nanti, saya akan mengunjungi warisan sejarah negeri sendiri guna mengagumi juga karya para leluhur bangsa yang sangat luar biasa tersebut. 

Satu-satunya Patung Budha dalam Kuil Shwe Lattoo
Sekitar 10 menit kemudian kami tiba di lokasi kunjungan kedua. Shwe Lattoo merupakan kuil kecil yang semuanya terbuat dari bata merah. Kuil ini dikelilingi oleh puluhan kuil dan stupa yang menyembul dari pepohonan dan semak belukar. Kuil ini hanya memiliki satu ruangan dimana pada ujung dalam ruangan tersebut terletak satu patung Budha dalam posisi duduk berwarna kelabu dimakan usia. Dinding kuil dihiasi berbagai lukisan yang mulai kabur dimakan zaman. Di dalam kuil terdapat 3 orang pembuat lukisan pasir (sand painting). Pelukis yang lebih muda bertindak sebagai guide yang menceritakan sejarah dan seluk beluk kuil tersebut. Saya diajak naik ke atap kuil melewati tangga bata yang terletak di sebelah kiri pintu masuk. Karena tangga ke atap itu sangat terjal dan gelap, guide berjalan di depan menggunakan lampu baterai agar saya bisa melihat dan melewati anak-anak tangga. Perkiraan saya, pengunjung berbadan besar tidak akan bisa ke atap karena lorong bertangga tersebut sangat sempit apalagi saat akan berbelok ke atap, pengunjung harus sangat membungkuk seperti akan merayap guna melewati pintu atas ke atap. Saat kepala saya menyembul di atap, sengatan sinar matahari
View dari atas Kuil Shwe Lattoo
langsung menyergap. Atap yang terbuka tersebut juga langsung menerima sinar matahari dengan suhu sekitar 38 derajat selsius - mengingatkan saya pada kunjungan ke Cordoba - Spanyol dengan suhu siang hari yang hampir sama. Saat kaki menapak atap, panasnya seperti membakar telapak saya sehingga saya harus menggunakan satu kaki bergantian secara cepat guna sedikit mengurangi sengatan rasa terbakar. Saya diajak masuk ke stupa di puncak yang merupakan penutup kuil tersebut - yang memiliki jendela terbuka ke 4 arah mata angin sehingga saya bisa menikmati sebaran kuil, pagoda dan stupa-stupa di sekililing kuil tersebut. Saya berjalanan mengelilingi ruangan stupa sambil mengambil beberapa foto. Saya sempatkan juga keluar ke arah belakang lalu memutar ke kanan melewati penampang di atap selebar 30an cm lalu merayap melewati satu lubang yang ukurannya sangat pas di badan saya yang memisahkan stupa dan salah satu tiang atap di belakang kuil. Setelah mengambil beberapa foto, saya lalu berjalan kembali ke depan dan sekali lagi harus merayap melewati lubang untuk berpindah ke hamparan datar di bagian depan.
View dari Kuil Shwe Lattoo
Karena hamparan pada atap depan ini terbuka dan di beberapa bagian telah dilapisi semen,  mungkin untuk menutupi keretakan maka suhunya sangat panas. Walau demikian, saya tetap berusaha mengambil beberapa foto lagi sebelum turun. Saat turun, saya harus sangat hati-hati karena tangga sempit dan terjal tersebut ternyata lebih sukar dilalui saat turun daripada naik. Akhirnya saya tiba kembali ke ruang utama kuil.

Guide yang mengantar saya berkeliling sekaligus pelukis tersebut menawarkan beberapa lukisan pasirnya - yang sangat indah. Namun saya harus mempertimbangkan dimana akan meletakan lukisan  tersebut di rumah jika saya beli. Tinggal di apartemen kecil membuat saya harus memikirkan secara cermat pembelian barang seperti lukisan itu karena hampir seluruh dinding apartemen saya telah dipenuhi oleh furnitur guna kebutuhan lain seperti buku dan tempat penyimpanan. Akhirnya saya memutuskan membeli satu  lukisan saja seharga 5000 kyat atau 5 dolar dari harga 20.000 kyat melalui tawar menawar yang cukup alot. Saat ini, lukisan tersebut bertengger di dinding kamar tidur saya sebagai kenangan kunjungan ke negeri para bhiksu tersebut. 

Kuil Htilominlo
Dari Shwe Lattoo, kami mengarah ke Old Bagan. Ternyata Pagoda Shwe Zi Gonde dan Kuil Shwe Lattoo yang baru saya kunjungi terletak dalam wilayah administrasi Nyaung O, sama dengan hotel Zfrreti tempat saya menginap selama di Bagan. Pedati yang saya tumpangi kembali menyusuri jalan raya beraspal bagus yang juga dilalui pedati-pedati lain, kendaraan bermotor roda 4 dan roda 2 hingga sepeda. Para pengendara sepeda dayung maupun elektrik didominasi turis bule yang berseliweran dari dan ke Old Bagan. Sebagaimana rencana yang telah saya sepakati dengan Ou, dari Shwe Lattoo kami ke Kuil Htilominlo. Hamparan puluhan pagoda, kuil dan stupa tak henti berseliweran di depan mata saya.

Arsitektur Kuil Htilominlo berbeda dengan Pagoda Shwe Zi Gone dan Kuil Shwe Lattoo yang telah saya kunjungi. Bangunannya lebih besar 4 atau 5 kali Shwe Lattoo dan sedikit lebih panjang dari Pagoda Shwe Zi Gone. Bangunan Kuil terbuat dari bata merah dengan berbagai pahatan di luar dan lukisan pada dinding di dalamnya. Banyak pengunjung lokal yang berkunjung dan berdoa di kuil ini. Di samping kiri dan kanan dalam gerbang masuk berjejer para penjual souvenir. Berbeda dengan para pedagang di Shwe Zi Gone Pagoda yang agresif, para penjual di kawasan ini hanya duduk sambil berteriak menawarkan
Depan pintu masuk Kuil Htilominlo
dagangannya bagi para pengunjung yang lalu-lalang keluar masuk kuil.

Wikipedia menulis kuil ini dibangun oleh Raja Nantaungmya pada tahun 1218 dekat jalan antara Bagan dan Nyaung U. Nama Htilominlo merupakan kekeliruan bacaan kata dalam bahasa Pali, yakni berkat dari tiga dunia. Raja Nantaungmya membangun dan memperluas kuil tersebut di tempatnya sekarang sebagai suatu ucapan syukur atas keterpelihannya sebagai raja dari 5 orang bersaudara melalui suatu pemilihan. Proses pemilihan dilakukan dengan cara kelima bersaudara tersebut berdiri dalam suatu lingkaran, lalu suatu payung putih diletakan di tengah-tengah lingkaran. Payung putih tersebutlah yang memilih Nantaungnya sebagai raja karena payung tersebut codong / menunduk ke arah Nantaungmya di lingkaran tersebut. Sebagaimana kuil-kuil lainnya, di Htilominlo juga terdapat 4 postur Budha berlapis emas dalam posisi duduk dalam berbagai gaya. Dinding kuil juga dilukis dengan ajaran-ajaran Budha dalam bentuk gambar yang masih terlihat jelas didominasi warna merah maroon.

Arsitektur atap Kuil Htilominlo
Dari Kuil Htilominlo, kami beranjak ke Kuil Ananda atau Ananda Temple yang letaknya tidak terlalu jauh. Saya terus menikmati sebaran kuil, pagoda dan stupa yang bertebaran di berbagai tempat sepanjang jalan berpasir yang dilalui pedati. Udara yang panas dankering sedikit dihilangkan oleh angin sepoi-sepoi sepanjang perjalanan. Saya meminta Ou berhenti sejenak dalam jarak agak jauh untuk memberikan saya posisi pengambilan foto yang cukup bagus meliputi keseluruhan kuil. Setelah itu pedati kembali maju dan berhenti di bawah salah satu pohon besar dalam jarak sekitar 20  meter dari pintu masuk ke kuil. Saya turun dan berjalan ke arah pendopo panjang yang menjadi jalan masuk ke kuil. Pendopo dipenuhi para pedagang souvenir yang mengelar dagangannya di kiri dan kanan. Hanya tersisa sekitar 1 meter sebagai jalan masuk keluar bagi para pengunjung. Saya berjalan sambil mengamat-amati barang-barang yang dijual yang lebih beragam dan kualitasnya seperti lebih bagus dari yang dijual di Shwe Zi Gone. Tidak ada satupun pedagang yang berteriak atau secara agresif menghampiri saya untuk menawarkan dagangannya sehingga saya dengan tenang terus berlalu menuju kuil.
Gerbang sekaligus lorong ke Kuil Ananda

Saat saya melangkah melewati lorong dan masuk ke kuil, saya melihat suatu batu bulat yang diatasnya tercetak telapak kaki Budha. Setelah mengamat-amati dan mengambil beberapa foto, saya lalu berjingkat melewati beberapa umat yang sedang sembayang di depan Budha yang menghadap ke batu bulat tersebut sekaligus menghadap lorong masuk. Dinding-dinding kuil penuh lukisan didominasi warna merah maroon. Kuil Ananda memiliki 4 patung Budha dalam posisi berdiri dimana semuanya berwarna kuning emas. 

Salah satu dari 4 postur Budha di Kuil Ananda
Konon nama Ananda diperoleh dari sepupu pertama sekaligus sekretaris Budha yang bernama Venerable Ananda. Nama tersebut berasal dari kata Ananta Pinya dalam bahasa Sansekerta yang terjemahan bebasnya adalah kebijaksanaan tanpa akhir. Namun kata Ananda dalam bahasa Pali, Sansekterta dan juga bahasa India berarti kebahagiaan yang adalah nama populer untuk para penganut Budha dan Hindu. Kuil Ananda didedikasikan sebagai suatu peringatan bagi kebijaksanaanBudha yang tanpa batas oleh orang Burma dalam bahasa Pali. 

Setelah berkeliling mengamat-amati berbagai lukisan dan juga keempat postur Budha dalam posisi berdiri di dalam Kuil tersebut, saya lalu keluar ke sisi kiri untuk mengamati arsitektur dari luar. Panas yang luar biasa menyengat dan tanpa sandal membuat saya harus berlari ke bayangan satu pohon besar di halaman luar tersebut. Seorang turis perempuan - yang kemudian memperkenalkan dirinya berasal dari Korea Selatan meminta bantuan saya memotret dirinya dengan latar belakang kuil tersebut. Sebaliknya saya juga meminta hal yang sama. Saat mengetahui saya berasal dari Indonesia, dengan lancar turis tersebut mengucapkan "terima kasih". Saya sempat kaget mendengar kata terima kasih meluncur dari mulutnya sehingga kami lalu terlibat obrolan kecil, dimana turis perempuan tersebut menceritakan
Di sisi luar kanan Kuil Ananda
bahwa dia baru kembali dari Bali. 

Dari sisi kanan, saya lalu berlari kecil kembali ke dalam kuil dan berjalan ke sisi kanan untuk melihat bagian tersebut. Sama dengan di sisi kirinya. Pada sisi kanan kuil terdapat semacam pendapa terbuka yang dipagari pagar besi. Saya tidak tahu fungsinya karena tidak ada guide yang menyertai saya sehingga saya hanya mengambil beberapa foto lalu berjalan kembali menyusuri pendapa. Di ujung pendapa saya berhenti sejenak di depan penjual minuman untuk membeli air mineral dingin guna menghilangkan haus sekaligus mendinginkan sedikit panas yang menyengat. Where do you come from, tanya seorang penjual souvenir lelaki yang duduk tidak jauh dari penjual minuman. "Indonesia", jawab saya. "oo Mr.
Relief Kaki Budha di Pintu masuk Kuil Ananda
Jokowi?, tanya lelaki tersebut lebih lanjut. Saya tersenyum lebar lalu menjawab "yes" dan memulai obrolan dengan lelaki tersebut sambil minum sekaligus beristirahat sejenak. Lelaki itu menceritakan bahwa dia sangat mengagumi Jokowi dan selalu mengikut beritanya di televisi. Setelah kelelahan saya mengendor, saya lalu pamit pada lelaki tersebut dan berjalan keluar menuju Ou dan pedatinya yang sedang menunggu di bawah pohon dalam jarak sekitar 20an meter dari pintu gerbang. Saya juga membeli sekaleng cocacola bagi Ou - yang menerima minuman tersebut sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih. 

Pedati diputar kembali ke arah jalan yang telah kami lalui sebelumnya. Setiba di jalan raya beraspal, Ou membelokan pedati ke arah kiri sehingga kami semakin jauh masuk ke wilayah old Bagan. Kami menuju Kuil Thatbyinyu yang dikenal sebagai kuil tertinggi di Bagan. 

Bersambung ke Bagan: Kuil Thatbyinyu, Shwegugyi, Mahabodhi dan Bulathe. 

Kamis, 16 Oktober 2014

MYANMAR: ONCE UPON A TIME. Bagian V: Dari Yangon ke Bagan

Santai di tepi kolam renang Zfrreti hotel di Bagan
kring... kring...kring... dering bersahutan telpon hotel dan hp membangunkan saya di subuh hari dari kelelapan tidur semalam. "wake up call, sir" demikian suara lelaki dari meja resipsionis. "thanks", balas saya kemudian meletakan kembali gagang telp di tempatnya. Saya bangun dari tempat tidur dan beranjak ke jendela. Tirai jendela saya sibak untuk melongok kembali Pagoda Shwedagon di kejauhan dalam tamaram subuh. Setelah itu, saya beranjak ke kamar mandi lalu sikat gigi dan menyiram tubuh saya dengan air hangat dan dingin berganti-ganti untuk membersihkan tubuh sekaligus menghilangkan ngantuk yang masih menggayut di ujung pelupuk mata. Telah menjadi kebiasaan dalal perjalanan-perjalanan saya, saya selalu merapihkan semua barang bawaan saya pada malam terakhir di suatu tempat kunjungan. Dengan demikian, jika harus check out subuh hari seperti saat ini, maka tidak perlu terburu-buru yang dapat berakibat meninggalkan sesuatu di hotel.

Selesai mandi dan ganti, saya lalu beranjak keluar kamar. Semua lampu saya matikan dan pintu ditutup di belakang saya. Tiba di lantai bawah, saya menghampiri meja resepsionis yang dijaga 2 staf laki-laki. Saya menyerahkan kembali kunci kamar ke salah satu staf yang mengucapkan terima kasih dan menginformasikan kepada saya bahwa taksi yang akan saya gunakan ke airport telah menunggu. Taksi tersebut merupakan taksi yang kemarin saya gunakan berkeliling Yangon. Sebelum berpisah di area Pagoda Shwedagon, saya menanyakan kepada sopir taksi apakah dia bersedia mengantar saya ke airport di subuh hari ini sekaligus kami menegosiasikan biayanya yang kami sepakati sebesar 5000 kyat atau 5 dollar USA. Harga tersebut lebih murah 3000 kyat dibanding saat saya menggunakan taksi dari airport ke hotel sejumlah 8000 kyat.

Jalanan masih dalam kondisi sepi. Hanya beberapa kendaraan yang melintas sehingga perjalanan saya dari hotel ke airport berlangsung dalam waktu sekitar 20 menit saja. Saya diturunkan di terminal domestik, karena saya akan menggunakan penerbangan domestik Bagan Air ke Bagan. Setelah bagasi saya diturunkan, saya memberikan uang pembayaran ke sopir taksi, mengucapkan terima kasih lalu menarik koper beroda saya memasuki bangunan terminal. Walau masih subuh, namun terminal telah diramaikan para calon penumpang berbagai maskapai yang berdiri mengantri di masing-masing konter. Konter maskapai Bagan Air baru akan dibuka 30 menit lagi saat saya menghampiri dan mencari informasi pada seorang staf maskapai yang mengenakan seragam kerja berwarna hijau dan putih, warna yang sama dengan warna pesawat Bagan Air. Karena masih memiliki waktu sekitar 30 menit, saya memutuskan memgambil duit di ATM sekitar airport.

Mesin ATM di Airport Yangon
Seorang petugas security yang saya tanyai tentang lokasi ATM menunjuk ke bangunan terminal internasional yang bersebelahan dengan terminal domestik. Setelah keluar dari terminal domestik, saya hanya perlu berjalan sekitar 25 meter lalu memasuki terminal internasional yang pintunya tidak terkunci. Terminal tersebut sepi, hanya terlihat seorang petugas security  yang berjaga di dalamnya. Saya lalu berjalan menghampiri salah satu mesin ATM yang menurut informasi tertulis di mesin tersebut dapat menerima berbagai jenis kartu ATM. Kartu ATM BNI saya keluarkan dari dompet dan masukin ke mesin ATM tersebut yang menyediakan dua pilihan bahasa, yakni Inggris dan Burma. Saya lalu mengikuti arahan mesin ATM yang kemudian bermasalah karena duit dan kartu ATM saya tidak keluar. Saya hanya mendapatkan tulisan eror di layar mesin ATM serta struck bukti pengambilan yang menujunjukan angka 0 di bagian pengambilan.  Berbagai upaya saya lakukan agar kartu ATM saya bisa dikeluarkan, namun semuanya gagal. Saya lalu berbicara ke satu-satunya security di gedung tersebut. Petugas tersebut berjalan ke satu konter di sebelah mesin ATM yang berjarak sekitar 1 meter - yang sepertinya adalah konter pelayanan para nasabah bank yang mesin ATMnya telah menelan kartu ATM saya. Kami membangunkan seorang perempuan yang sedang tertidur di atas kursi dalam ruang konter.  

Petugas keamanan menjelaskan masalah saya dalam bahasa Burma ke perempuan tersebut yang lalu meminta saya menelpon pelayanan 24 jam bank tersebut melalui nomor telpon yang tertera di mesin ATM. Saya meminta perempuan tersebut menelpon menggunakan HP saya. Setelah tersambung dan berbicara dalam bahasa Burma sekitar 2 menit, perempuan tersebut menyerahkan kembali HP saya sambil menjelaskan bahwa kartu ATM saya baru akan bisa dikeluarkan sekitar jam 10 pagi karena petugas yan gmenurus mesin baru akan masuk kantor pada jam 10an. Saya kembali menjelaskan kepada perempuan tersebut bahwa saya harus berangkat ke Bagan pada jam 7 pagi ini sambil menunjukan tiket saya. Perempuan tersebut lalu berusaha membangunkan seorang rekan laki-lakinya yang sedang tidur bergelung dalam selimut di lantai konter yang telah diberi alas seperti tikat. Sekitar 15 menit berusaha barulah rekannya benar-benar terbangun dan memberikan jawaban yang sama seperti jawabadan petugas call center yang telah ditelpon perempuan tersebut. Walau dongkol dengan situasi tersebut, namun saya mengucapkan terima kasih lalu berjalan ke deretan kursi di ruang tunggu terminal tersebut.
Struck ATM yang menelan ATM saya 

Saya memutuskan untuk menenangkan diri dengan duduk pada salah satu kursi kosong di ruang tunggu tersebut sambil memikirkan beberapa seknario yang paling mungkin bisa saya gunakan dalam kondisi tidak punya uang tunai di Bagan dan Mandalay. Setelah  menenangkan diri, saya lalu menelpon call center 24 jam BNI di Jakarta untuk memblokir kartu ATM saya. Kemudian saya beranjak kembali ke terminal domestik untuk check in. Tiba di terminal domestik, suasana telah semakin ramai. Konter Bagan Air telah dibuka dilayani oleh 2 staf perempuan dan seorang staf laki-laki yang terlihat mengurus bagasi para penumpang. Saya ikut dalam antrian yang telah terbentuk dan secara perlahan terus maju. Tiba di depan konter, saya menyerahkan tiket dan menunjukan koper yang saya bawa untuk ditempatkan di bagasi pesawat. "Only this", tanya petugas perempuan di konter sambil menunjuk koper saya. "yes" balas saya sambil menyerahkan koper tersebut ke petugas laki-laki yang mengurus bagasi. Urusan administrasi check in dan bagasi selesai sekitar 5 menit. Dari konter check in, saya berbalik lalu berjalan ke arah kanan memasuki lorong ke ruang tunggu yang terletak di belakang konter check in.

Singkat kata, saya akhirnya boarding dan berangkat ke Bagan menggunakan pesawat Bagan Air dengan waktu tempuh 1 jam 12 menit - hampir sama dengan waktu tempuh Jakarta - Jogja. Para penumpang dilayani 2 pramugari dan 1 pramugara. Pesawat yang saya tumpangi merupakan pesawat yang masih menggunakan baling-baling dengan jumlah kursi 30an. Penumpang diberi snacks berupa 1 roti dan 1 croisant dan jus jeruk atau cocacola serta kopi dan teh. Langit berwarna biru dengan awan putih yang berarak di sana dan sini sampai pesawat mendarat dengan mulus di Airport Bagan. Saat masih di atas udara wilayah Bagan, kondisinya sangat kontras dengan Yangon yang terlihat hijau  karena masih banyak pepohonan. Wilayah Bagan didominasi warna coklat perbukitan serta hamparan dataran yang luas dalam warna sama. Di perbukitan maupun hamparan datar di bawah terlihat serakan candi dan pagoda dalam berbagai bentuk dan warna - bagaikan berada di atas negeri antah beranta dalam dongeng.

Pada saat kepala saya nongol keluar dari perut pesawat, udara panas berdebu langsung menyergap
Pesawat Bagan Air yang saya gunakan dari Yangon ke Bagan
padahal masih sekitar jam 9 pagi. Airportnya masih sederhana setaraf airport kelas II di Indonesia. Saat tiba dalam bangunan terminal, terlihat dominasi laki-laki berkain longi. Setelah mengambil bagasi, saya lalu berjalan ke pintu keluar. Sebelum tiba di pintu keluar, para turis, termasuk saya tentunya harus mampir di meja petugas yang terletak di samping dalam pintu keluar. Para turis diminta membayar biaya masuk ke tempat-tempat wisata di Bagan, yakni sebesar 15 dollar atau 15.000 kyat per orang. Duit saya semakin susut, pikir saya. Namun tidak ada pilihan sehingga saya membayar biaya masuk tersebut lalu diberi tiket seukuran kartu nama berwarna putih dengan gambar pagoda. Saya beranjak keluar setelah menerima tiket tanda pembayaran sekaligus menjadi izin masuk berkunjung ke berbagai kuil dan pagoda di Bagan yang totalnya berjumlah 3.122. Saya disambut seorang laki-laki tinggi langsing memakai longi dan baju lengan pendek warna coklat. Ternyata lelaki tersebut adalah sopir taksi yang menawarkan jasa mengantar saya ke hotel dengan harga 6000 kyat. Harga tersebut lebih murah 2000 kyat dari informasi yang saya peroleh di internet. Saya mengiyakan tawarannya sehingga koper saya diambil alih laki-laki tersebut sambil berjalan ke taksinya.

Bersama Khwa Khwa pada hari ke 2 saya di Bagan
Bahasa Inggris sopir taksi yang saya tumpangi lumayan bagus sehingga selama perjalanan airport - hotel, saya mendapatkan banyak informasi tentang Bagan, termasuk restoran, tempat penukaran uang dan lainnya. Saya meminta dia mampir di salah satu ATM di tepi jalan yang kami lalui. Saya ingin mencoba menggunakan ATM Bank Mandiri saya, walau saya tahu bahwa saya tidak menyimpan cukup banyak uang di bank Mandiri. Mobil lalu berhenti di satu ATM bank lokal yang terletak di pinggir jalan. Saya lalu masuk dan memasukan ATM Mandiri saya ke mesin ATM lalu  mengikuti arahan bahasa Inggris yang tersedia. Saya langsung terserang panik saat mesin tersebut tidak mengeluarkan sejumlah duit yang ingin saya tarik. Saya mencoba 2 kali lagi namun selalu gagal. 2 laki-laki setempat yang berada di sekitar ATM berinisiatif membantu dengan menyarankan saya untuk mencoba menarik dalam jumlah yang lebih kecil. Saya mengucapkan terima kasih kepada mereka
lalu mencoba lagi dan ternyata berhasil. Mereka tertawa senang saat melihat saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Saya kembali ke taksi dengan perasaan gembira yang saya tularkan ke sopir taksi. "The machine is great" kata saya dengan senang ke sopir. "I could take money from it", dilanjutkan dengan cerita tentang ketidakberuntungan saya dengan mesin ATM di airport Yangon. Saat tiba di hotel dan bisa mengakses wifi, saya langsung mengirim bbm ke staf keuangan kantor untuk mengirim transfer duit bulanan saya ke bank Mandiri saja, tidak ke BNI.

Masih dalam perjalanan menuju hotel, sopir taksi memberikan kartu namanya serta menawarkan jasa mengantar saya ke berbagai tempat wisata yang akan saya kunjungi. Harga jasa jemput berkeliling dan antar kembali ke hotel adalah 22.000 kyat untuk setengah hari dan 35.000 kyat selama 1 hari yakni dari pagi sekitar jam 8 sampai dengan sunset. Setelah selesai sunset barulah saya diantar kembali ke hotel. Pada kartu yang saya terima tertulis nama KHWA KHWA diucap COCO, namun saya lebih suka mengucapkannya menjadi JOJO yang mirip dengan nama panggilan saya Jo. Kelihatannya Khwa Khwa tidak keberatan dengan panggilan Jojo yang saya gunakan kepadanya sehingga kami semakin akrab. Saya utarakan ke Khwa Khwa bahwa saya juga ingin membeli longi sebagai oleh-oleh serta ingin memotret para bhiksu di pagi hari saat mereka mencari donasi makanan dari umat. Khwa Khwa menginformasikan kepada saya bahwa saya bisa mendapatkan longi dengan harga murah di pasar lokal setempat (hanya ada satu). Memotret para bhiksu juga bisa dilakukan di lokasi yang sama, yakni di jalan depan pasar. Khwa Khwa juga menginformasikan kepada saya restoran dan warung makan yang letaknya tidak terlalu jauh dari hotel.

Zfrreti Hotel - tempt saya menghabiskan 2 malam 3 hari di Bagan
Tak lama kemudian, taksi telah tiba di depan hotel Zfrreti yang saya booking. Sebelum turun, Khwa Khwa sekali lagi menanyakan persetujuan saya apakah akan menggunakan jasanya mengantar saya berkeliling?. Secara diplomatis, saya mengatakan akan meminta staf hotel menghubungi dia setelah saya beristirahat beberapa menit di hotel dan mengatur rute kunjungan saya. "okay, I will be waiting for your call from the hotel", katanya mengakhir pembicaraan kami karena telah tiba di depan hotel. Saya turun dan berjalan ke meja resepsionis yang terletak di bagian kanan dalam teras hotel yang terbuka ke jalan. Khwa Khwa menyusul sambil membawa koper saya yang kemudian diambil alih salah satu staf hotel. Saya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum ramah ke Khwa Khwa yang membalas dengan anggukan dan senyum lebar dan berlalu meninggalkan teras hotel kembali ke taksinya yang diparkir di depan hotel.

Kolam renang Zfrreti Hotel - Bagan 
Saya menjelaskan ke resepsionis bahwa bookingan saya adalah untuk besok, bukan hari ini. "It is okay, we still have room for you today. Howver, as you are coming in directly without booking for today, you have to pay 5 dollars additional charge" kata resepsionis tersebut. "It means you have to pay 55 dollar for today and another 50 dollar for the room that you have already booked online" lanjutnya. "Okay, I pay it accordingly", balas saya sambil mengeluarkan uang 100 dollar ditambah 5000 kyat yang saya serahkan ke resepsionis perempuan tersebut. Dalam hati sebenarnya saya heran, mengapa booking online lebih murah harganya daripada go show seperti saat ini. Namun menyadari bahwa itu aturan yang hanya dijalankan oleh mereka sebagai staf, maka saya hanya bertanya-tanya dalam hati.

Setelah administrasi hotel selesai, saya menyempatkan diri duduk beristrahat beberapa menit di teras sambil mengamati interior hotel dan
Jalan penghubug ke kamar-kamar Zfrreti Hotel - Bagan
menikmati jus jeruk yang disediakan hotel sebagai welcome drink. Di sebelah kiri - berlawanan posisi dengan meja resepsionis terdapat kolam renang - yang tidak sempat saya nikmati selama menginap 2 malam 3 hari di hotel tersebut. Di belakang antara batas teras dan bangunan kamar-kamar hotel terdapat 1 mesin ATM yang hanya beroperasi pada siang hari sehingga memudahkan saya mengambil uang tunai. Setelah menhabiskan minuman dan menerima kembali passport yang telah difotocopy oleh staf hotel, saya lalu meminta salah satu staf yang memakai baju lengan pendek putih dan longi hijau kotak-kotak mengantar saya ke kamar 310 di lantai 3 hotel tersebut. Saya juga meminta dibookingin pedati/dokar yang akan saya gunakan berkeliling hari ini. Saya memutuskan akan menggunakan taksi Khwa Khwa esok hari saja sehingga saya bisa mencoba moda transportasi yang berbeda.

Bersambung ke bagian VI : Keliling Bagan

Salah satu interior langit-langit teras Zfrreti Hotel - Bagan
Interior teras Zfrreti Hotel - Bagan

Senin, 06 Oktober 2014

MYANMAR : ONCE UPON A TIME. Bagian IV: Ngar Htet Gyi, Chauk Htet Gyi dan Shwedagon Pagoda



Patung Budha di Ngar Htet Gyi Pagoda
"This is new building, replaced the old one that had been broken by fire", kata seorang bapak yang memakai kemeja lengan pendek warna krem dipadu longi warna coklat muda. Akhirnya kami ngobrol beberapa menit terkait sejarah keberadaan Pagoda Ngar Htet Gyi yang saya kunjungi setelah selesai mengunjungi Botahtaung Pagoda di tepi sungai Irrawaddy. Pagoda ini terletak pada arah yang berlawanan dengan Pagoda Sule dan Pagoda Botahtaung. Sepertinya terletak di ketinggian perbukitan kota Yangon. Satu patung Budha raksasa memakai baju besi berwarna kuning emas menjadi pusat/sentral dan mendominasi kuil tersebut. Patung Budha bersandar pada semcama kursi dari kayu jati berwarna coklat dan berukir indah. Berbeda dengan dua Pagoda yang telah saya kunjungi, bangunan Pagoda ini setengah terbuka, yakni dari pintu masuk yang menjadi batas ratusan anak tangga yang menghubungkan kuil tersebut dengan jalan raya serta sepanjang sisi kanan kuil. Sisi belakang yang berhadapan dengan Sang Budha ke arah kiri sampai dengan belakang Sang Budha adalah dinding tertutup dari lantai sampai ke langit-langit. Struktur bangunannya terbuat dari  lempengan besi baja yang menghubungkan lantai dengan atap serta samping kiri dan kanan bangunan. Lantainya ditutupi keramik warna merah hati, sedangkan bagian dimana umat duduk melakukan doa diberi karpet berwarna hijau.

Sajak pada lempengan batu di Ngar Htet Gyi
Di bagian belakang bangunan yang berhadapan dengan Sang Budha terdapat sajak pada lembaran batu berukuran sekitar lebar 75cm dan tinggi 1 meter. Pada pintu masuk kuil di sebelah kanan pengunjung terdapat semacam konter yang dijaga seorang orang perempuan. Saat saya ingin bertanya tentang tiket sambil menunjukan satu lembaran kyat, perempuan tersebut hanya menunjuk kotak donasi yang terletak sekitar 5 meter dari konter tersebut. Berbagai patung kecil dan lukisan disusun berderet sepanjang dinding pembatas pelataran sebelah kiri sampai dengan bagian belakang yang sejajar  pada lempengan batu tersebut.  Tiang-tiang kuil di bagian belakang dan dinding pembatas dihiasi keramik mosaik berukuran sekitar 3x3cm didominasi warna hijau muda pucat. Bangunan Pagoda berada dalam kompleks biara Ashay Tawya. Konon nama Pagoda tersebut diambil dari bentuk atapnya yang berlapis lima, sehingga Pagoda Ngar Htet Gyi artinya Pagoda beratap lima lapis.

Lonceng di Ngar Htet Gyi
Legenda setempat menceritakan bahwa patung Budha asli dengan tinggi sekitar 6,7 meter adalah sumbangan Pangeran Minyedeippa pada tahun 1558. Patung asli tersebut kemudian diperbesar pada tahun 1900 mencapai ketinggian sekitar 14 meter. Beberapa umat terlihat silih berganti datang dan pergi mendaraskan doa masing-masing. Sebelum mengucapkan doa, masing-masing dari mereka duduk bersimpuh mensedekapkan kedua belah tangan di dada lalu menunduk menyembah Sang Budha. Saya duduk termenung memandang dan mengagumi Sang Budha di depan sambil memikirkan betapa luar biasanya para seniman Burma yang menghasilkan karya seni indah tiada tara di depan saya. Keheningan sangat terasa hadir di sekeliling saya. Hanya gumanan doa para umat yang terdengar secara konsisten menghadirkan suasana religius. Sekitar 30 menit kemudian saya beranjak mengeliling kuil tersebut. Mengambil beberapa foto menarik kemudian beranjak keluar meninggalkan ruang utama Pagoda tersebut. Saya kembali menyusuri  ratusan anak tangga turun ke jalan raya dimana mobil yang saya gunakan sedang menunggu guna mengantar saya ke kuil / pagoda berikutnya.

Reclining Budha di Chauk Htet Gyi 
Depan reclining Budha
Tempat kunjungan berikutnya adalah Chauk Htet Gyi yang berjarak sekitar 700an meter dari Ngar Htet Gyi pada sisi jalan yang berbeda. Dari Ngar Htet Gyi di posisi yang lebih tinggi, saya telah dapat melihat bangunan Chauk Htet Gyi. Mobil yang saya gunakan tidak berbelok ke kiri menyusuri jalan utama menuju Kuil Chauk Htet Gyi melainkan mengambil jalan samping dan memutar dari belakang. Setelah tiba di tempat tujuan barulah saya memahami mengapa mobil mengambil jalan samping ke belakang disebabkan oleh gerbang kuil yang menghadap jalan samping yang terhubung ke jalan utama. Kompleks Kuil adalah ruang terbuka yang pada sisi kiri gerbang masuk terdapat jejeran kios yang menjual beragam souvenir. Kuil itu sendiri adalah suatu bangunan besar dengan jendela2 besar yang terbuka sehingga memudahkan cahaya dan angin memasuki bangunan. Bangunan kuil ini melindungi satu Patung Budha sangat besar dalam posisi tidur atau lebih sering dikenal dengan reclining budha - sama seperti Patung reclining Budha di Kuil Wat Pho di Bangkok, Thailand. Sama seperti bangunan Ngar Htet Gyi, struktur bagunan Kuil Chauk Htet Gyi terbuat dari besi baja. Reclining Budha atau Budha yang sedang berbaring dalam kuil tersebut berukuran panjang 65,85 meter yang merupakan perpanjangan dari aslinya pada tahun 1899 sepanjang 59,28 meter dengan tinggi sekitar 30 meter. Pembuatan reclining Budha ini dimulai pada tahun 1899 atas sumbangan seorang warga Burma bernama U Hpo Thar. Penyelesaiannya dilakukan dalam 3 tahap, yakni 1899, 1907 dan 1973. Pembangunan secara bertahap tersebut juga mengubah posisi reclining Budha tersebut. Pada awalnya, posisi kepala Budha mengarah ke Barat dengan wajah menghadap Selatan. Namun dalam penyelesaian di tahun 1973, posisi kepala mengarah ke Timur dengan wajah menghadap Utara.

Sajak pada lempengan batu
Saya terkagum-kagum melihat karya luar biasa tersebut. Secara perlahan saya berjalan dari posisi kepala ke arah kaki yang dikerjakan dengan sangat detail dan indah. Pada telapak kaki, tergambar masa hidup yang dilalui Budha. Dalam jarak sekitar 2 meter dari tapak kaki Budha tergantung semacam sajak yang ditulis  pada lempangan batu berukuran sekitar 1x2  meter. Beberapa bhiksu tua terlihat sedang duduk bersila memegang tasbih menggumankan doa masing-masing. Seorang bhiksu lain terlihat sedang asyik dengan HPnya. Pengunjung lokal maupun manca negara silih berganti datang dan pergi. Sekitar 3 meter dari kaki Budha agak ke samping kiri terdapat semacam panggung kecil yang saya gunakan mengambil foto yang cukup bagus. Pada saat saya sedang mengamat-amati kaki Budha dan juga lempengan batu yang tergantung di dekatnya, terlihat sepasang turis Jepang berusia paruh baya memotret beberapa kali. Saya menyarankan mereka menggunakan panggung kecil yang telah sayareclining Budha.
Informasi tentang ukiran-ukiran di kaki Budha
gunakan tersebut. Ternyata hasilnya cukup memuaskan mereka sehingga sambil membungkuk, pasangan tersebut tersenyum ramah sambil mengucapkan terima kasih . Saya tersenyum dan membalas ucapan mereka kemudian beranjak pergi mengarah ke pintu masuk untuk kembali ke mobil yang menunggu di halaman kuil. Sebelum keluar dari bangunan kuil, saya menyempatkan diri memberikan donasi ke kotak donasi yang tersedia dekat pintu masuk. Saya baru menyadari bahwa kompleks dan kuil ini tidak dibangun di atas ketinggian perbukitan ataupun tempat yang sengaja ditinggikan seperti kompleks dan 3 pagoda yang telah saya kunjungi sebelumnya - sehingga pengunjung ataupun umat perlu mendaki beberapa tangga guna memasuki kompleks kuil atau pagoda. Hanya tempat Budha yang dibuat menyerupai panggung dengan tinggi sekitar 1,5meter sebagai tempat berbaring



Shwedagon Pagoda di siang hari
"Now, we are going to Shwedagon, kata saya ke sopir setelah kembali ke mobil. Okay sir, balas sopir sambil menjalankan mobilnya keluar dari kompleks kuil Chauk Htet Gyi. Tak sampai sepuluh menit dari Chauk Htet Gyi, kami telah tiba di gerbang Timur Pagoda Shwedagon. Sopir menjelaskan kepada saya bahwa Shwedagon memiliki 4 pintu gerbang searah mata angin, yakni Timur, Barat, Utara dan Selatan. Saya diturunkan di gerbang Timur untuk memudahkan saya kembali ke hotel, karena gerbang Timur menghadap ke jalan utama yang akan saya lalui saat akan kembali ke hotel. Sebagaimana kesepakatan kami sebelumnya, saya minta didrop di kompleks Shwedagon, setelah itu sopir dan mobilnya telah selesai menjalankan tugas dan perannya. Sebelum turun, saya menghitung tarip ditambah 3.000 kyat sebagai tip yang saya berikan ke sopir atas jasanya mengantar saya berkeliling hari ini. Saat turun dari mobil, saya langsung memasukan sandal saya ke tas plastik yang telah saya bawa yang kemudian saya masukin ke dalam ransel. Saya kemudian melangkah perlahan menaiki tangga-tangga yang berjejer rapi menuju Pagoda Shwedagon di ketinggian. Kios-kios penjualan souvenir berjejer rapi di  sisi kiri dan kanan tangga.

Saat saya tiba di puncak, saya disambut seorang petugas laki-laki yang memakai baju putih lengan
Shwedagon di malam hari 
pendek dipadu longyi biru langit yang berdiri di depan loket penjualan tiket. Lokat penjualan tiket tersebut hanyalah sebuah meja yang dilengkapi 2 kursi. Seorang petugas perempuan dan laki-laki duduk berdampingan mengurus tiket masuk ke Shwedagon. Petugas laki-laki yang menyambut saya menyerahkan 1 peta informasi tentang Pagoda Shwedagon setelah saya membayar 8.000 kyat atau 8 dollar sebagai biaya tiket masuk. Sambil tersenyum ramah, petugas laki-laki tersebut menjelaskan sekilas tentang Pagoda Shwedagon sambil membuka dan menunjukan tempat-tempat penting di areal Pagoda sebagaimana tercantum dalam peta. Setelah selesai, saya mengucapkan terima kasih dan mulai berjalan mengitari kompleks Pagoda tersebut dari pintu Timur. Sepanjang sisi kiri saya berderet sejumlah kuil dan stupa berisi patung Budha, para raja dan ratu serta para bhiksu dalam berbagai ukuran dan model dimana semuanya didominasi warna kuning emas. Sedangkan di sebelah kanan saya terletak Pagoda Shwedagon yang megah berwarna kuning emas juga. Stupa-stupa berbagai ukuran berwarna dominan emas dan putih berjejer mengelilingi Pagoda. Dalam stupa-stupa tersebut terdapat patung Budha berukuran lebih kecil dalam berbagai pose. Pada lokasi-lokasi tertentu diantara stupa-stupa tersebutpatung dan informasi hari-hari sembahyang dalam periode 7 hari kalender masehi, yakni Monday, Tuesday dan seterusnya yang ditulis dalam bahasa Burma dan Inggris.

Informasi pada peta yang dibagikan setelah saya membayar tiket masuk menyebutkan bahwa Pagoda
Salah satu kuil 
Shwedagon dibangun di atas bukit Sanguttara di Kotapraja Dagon. Tinggi Pagoda adalah sekitar 100 meter di area seluas 46 hektar, sedangkan komplek utama Pagoda meliputi 6 hektar. Pagoda dapat dikunjungi melalui 4 pintu masuk, yakni dari Selatan melalui Shwedagon Pagoda road, Barat melalui U Wisara road, Utara melalui Arzani road dan Timur melalui Gyatawya road. Akses pengunjung pada pintu-pintu masuk tersebut dapat menggunakan tangga atau eskalator. Namun saya tidak melihat eskalator di Pintu Timur yang saya gunakan masuk ke kompleks Pagoda. Konon Pagoda ini menyimpan 8 helai rambut suci Budha. 8 helai rambut tersebut diperoleh 2 orang pedagang Burma bernama Taphussa dan Ballika. Mereka bertemu Budha pada saat Budha mengalami pencerahan pada sekitar tahun 103 Saka atau tahun 600 sebelum Masehi. Kedua pedagang tersebut memberikan sedekah makanan kepada Budha. Budha lalu memberikan 8 helai rambutnya sebagai suatu berkat bagi keduanya.
Puncak Shwedagon di malam hari
Taphussa dan Ballika kembali ke tanah milik Okkalapa dan diterima oleh orang banyak yang dipimpin Okkalapa. Raja Okkalapa dan para pengikutnya lalu mengabadikan rambut suci Budha tersebut bersama 3 barang peninggalan Budha,  yakni Kukusanda Budha, pemurni air Kawnagamana Budha dan selimut Kassapa Budha dalam suatu tempat yang disucikan sebagai Shwedagon dengan tinggi sekitar 22 meter. Oleh karena berisi 4 barang peninggalan Budha yang telah mengalami pencerahan, maka dikenal sebagai Shwedagon atau tempat penyimpanan 4 peninggalan suci Budha.

Sejak tahun 600 sebelum Masehi sampai dengan abad ke 14,  Shwedagon dijaga oleh 32 raja dalam dinasti Okkalapa. Lalu sejak tahun 1372 Masehi oleh Raja Banya U, Banyayan, Banyagyandow, dan lainnya. Pada saat Ratu Shin Saw Pu naik tahta di tahun 1453, sang ratu meninggikan tempat penyimpanan barang-barang peninggalan Budha tersebut menjadi 302 kaki (sekitar 92 meter). Raja Sinbyushin membangun kembali bangunan Pagoda Shwedagon pada tahun 1774 Masehi dengan tinggi 326 kaki atau sekitar 100 meter.  Ratusan atau bahkan ribuan patung berbagai ukuran dan dari berbagai bahan (batu permata, perunggu, perak, emas) merupakan sumbangan dari berbagai orang, termasuk orang kaya, ratu dan raja yang merentang sepanjang sejarah keberadaan Pagoda tersebut. Patung, kuil, pagoda-pagoda lebih kecil dan stupa-stupa yang berada dalam komplek Pagoda Shwedagon memiliki sejarah dan fungsi masing-masing bagi umat Budha.

Setelah mengeliling seluruh komplek, termasuk area belakang yang jarang dikunjungi turis manca
Di salah satu sudut dekat Pintu Timur
negara - dimana saya bisa membunyikan lonceng - saya lalu duduk beristrahat di teras salah satu bangunan kuil menunggu malam untuk melihat keindahan Shwedagon di malam hari sebagaimana yang terlihat di berbagai website. Semakin sore, kompleks Pagoda semakin ramai oleh umat yang datang dan bersembahyang ataupun para turis dari berbagai negara. Sekitar jam 4 sore, beberapa rombongan sukarelawan mulai menyapu seluruh kompleks Pagoda dengan cara berdiri berjejer membentuk barisan horisontal. Barisan horisontal penyapu yang didominasi perempuan tersebut bergerak searah jarum jam menyapu mengeliling Pagoda. Rombongan tersebut saling susul menyusul dengan jarak sekitar 10 meter antara rombongan satu dengan yang lainnya. Setelah pasukan penyapu selesai,  muncul pasukan pel didominasi laki-laki dalam formasi yang sama, yakni horisontal yang terdiri atas beberapa formasi yang saling susul.

Lampu-lampu mulai dinyalakan menjelang sunset sekitar jam 5.30an. Keindahan Pagoda di siang hari mulai berubah di senja beranjak malam. Pendaran warna keemasan beresonansi dengan nyala lampu sekitar menciptakan cahaya baru yang sangat indah. Apalagi saat kawasan sekitar telah benar-benar dilingkupi malam gelap. Hanya cahaya Pagoda Shwedagon yang nampak bersinar dan berpendar-pendar bahkan bisa dilihat dari jarak beberapa kilometer saat saya telah berjalan meninggalkan kompleks Pagoda tersebut kembali ke hotel sekitar jam 7 malam. Saat menuruni tangga dari puncak sampai dengan jalan raya, saya coba menghitung total keseleuruhannya adalah 150 anak tangga. Walau ujung akhir tangga yang bertemu jalan telah dilingkupi gelap, hanya sinar tamaram lampu para
Bersama bhiksu di salah satu kuil 
pedagang sekitar yang terlihat, namun para pengunjung terus menerus berjalan menaiki tangga-tangga yang ada menuju Pagoda Shwedong di puncak bukit. Tepat di ujung tangga yang tersambung dengan jalan, saya mengeluarkan sandal dari tas dan kembali mengenakannya lalu menyusuri jalanan tamaran di depan saya. Para pedagang yang kebanyakan menjual pernak-pernik dan buah masih lumayan ramai berjejer sepanjang jalan yang saya lalu. Mata saya mencari-cari pedagang makanan karena mulai berasa lapar dan saya tidak pasti apakah bisa memesan makanan di hotel. Sekitar 100 meter dari anak tangga terakhir ke Pagoda, saya melihat beberapa pedagang makanan yang berjejer di jalan yang saya lalui. Saya lalu mampir ke warung tenda yang terlihat cukup ramai. Beruntunglah pemiliknya seorang laki-laki paru baya yang mengenakan baju lengan pendek warna coklat dipadu longyi bisa berbahasa Inggris. Saya lalu meminta ayam goreng, sayur bayam dan nasi putih. Jika di Indonesia,  makanan warung tenda pinggir jalan kebanyakan disusun dalam gerobak yang diberi kaca sehingga minimal melindungi makanan tersebut dari debu, maka di Yangon dan beberapa kota lain yang saya kunjungi kemudian, makannya diletakan di atas meja terbuka. Saya sudah tidak memikirkan masalah higenitasnya, yang penting adalah perut saya tidak keroncongan yang dapat berimplikasi ke kambuhnya penyakit maag kronis saya. Saya hanya perlu membayar 500 kyat untuk seluruh makanan dan minum yang saya habiskan malam itu.

Membunyikan lonceng di bagian belakang
Selesai makan dan minum serta membayar harganya, saya beranjak dari warung dan kembali menelusuri jalan menuju ke hotel bermodalkan peta yang saya peroleh dari hotel pagi tadi. Jalanan yang saya lalui tidak memiliki lampu jalan seperti Jakarta yang terang benderang :). Hanya sinar lampu tamaram dari bangunan atau kendaraan yang lalu lalang. Pada satu pertigaan, saya menemukan semacam pos jaga yang diisi oleh beberapa anak muda berseragam

Shwedagon dari jendela kamar hotel di pagi hari
biru sedang asyik bermain kartu dan bersenda-gurau. Saya menghampiri mereka untuk menanyakan arah jalan ke hotel sambil memperlihatkan peta yang saya pegang. Salah satu dari mereka menjawab agar saya berjalan lurus saja lalu jika bertemu perempatan lagi, maka saya harus belok kanan. Saya mengucapkan terima kasih lalu menyeberangi pertigaan depan pos tersebut. Sekitar 50 meter dari pos tersebut saya tiba di satu jalan kecil di sebelah kiri saya yang terhubung ke jalan raya yang sedang saya telusuri. Insting saya mengatakan bahwa jalan kecil tersebut adalah jalan ke arah hotel tempat saya menginap malam itu. Percaya pada insting, saya lalu belok kiri memasuki jalan tersebut - yang ternyata benar karena sekitar 15 meter  kemudian saya melihat papan bertuliskan nama Clover Hotel. Sekitar jam 9 malam saat saya tiba di hotel yang sepi-sepi saja. Para staf mengucapkan selamat malam sambil
Shwedagon dari jendela kamar hotel di malam hari
tersenyum. Saya membalas ucapan mereka dan melanjutkan langkah saya ke lift untuk selanjutnya ke lantai 6 dimana kamar saya berada. Saya sempatkan berisitirahat sekitar 15 menit sebelum melangkah ke kamar mandi. Air hangat  dan dingin yang saya gunakan berganti-ganti saat mandi kembali menyegarkan tubuh yang kelelahan karena seharian berkeliling Yangon. Sebelum merebahkan diri ke tempat tidur berukuran king, saya sempatkan sekali lagi mengintip Shwedagon Pagoda dari jendela kamar. Saya mengambil beberapa foto terakhir Pagoda tersebut. Supaya tidak kesiangan, saya memasang alarm HP terlebih dahulu untuk membangunkan saya di subuh hari pada jam 4. Saya juga telp ke resepsionis meminta wakeup call. Setelah itu lampu-lampu kamar saya matikan dan tubuh pun saya baringkan ke tempat tidur yang terasa sangat nyaman. Good night everyone!!!

Bersambung: Bagian V: Bagan

Senin, 29 September 2014

MYANMAR: ONCE UPON A TIME. Bagian III : Pagoda Sule dan Pagoda Botahtaung.

Menara Sule Pagoda dari Jl. Anawratta
 Where are we going now? tanya saya ke sopir taksi yang saya gunakan. "Sule Pagoda is not so far from here, so we are heading to the pagoda now, balas sopir sambil menjalankan mobil. Alright, balas saya. Sekitar 5 menit dari restoran, saya telah melihat puncak pagoda berwarna kuning emas tersebut. Terlihat megah dan terletak tepat di suatu perempatan. Sebelah kiri dan kanan jalan yang kami lalui dipenuhi bangunan-bangunan tua yang sepertinya difungsikan seperti ruko-ruko di Indonesia. Dari perempatan, taksi berbelok ke kanan menyusuri sisi kiri pagoda lalu berbelok lagi ke kiri hingga tiba di bagian depan kiri dekat pintu gerbang pagoda. Bagian luar pagoda dikeliling oleh jejeran kios yang sedang tutup sehingga saya tidak bisa mengintip apa yang dijual di kios-kios tersebut. Terdapat juga beberapa tempat penukaran uang terlihat dari papan nama yang tertempel di bagian atas luar beberapa kios yang tertutup. Taksi diparkir pada tempat parkir yang dipenuhi mobil berbagai tipe dan merek. Antara tempat parkir dan pagoda dipisah oleh suatu pertigaan yang sangat ramai. Di tempat tersebut terlihat banyak orang menunggu bis maupun yang menyeberang ke berbagai arah, termasuk ke Pagoda Sule. Berhadapan dengan tempat parkir yang dipisah jalan, terlihat satu bangunan megah berwarna putih yang sepertinya berfungsi sebagai kantor. Sepertinya bangunan tersebut peninggalan Inggris dilihat dari gaya arsitekturnya. Berhadapan dengan Pagoda Sule dalam jarak sekitar 300 meter yang dipisah oleh jalan raya terdapat suatu bangunan gereja berwarna putih

Saya menyeberang mengikuti para penyeberang lainnya saat terlihat jalan agak sepi. Sama seperti menyeberang di Jakarta, para penyeberang yang harus ektra hati-hati karena kendaraan yang lalu lalang tidak mengurangi kecepatannya sama sekali. Beruntunglah jalan di depan pagoda sedang macet sehingga saya bisa menyeberang dengan lebih nyaman walau harus selap-selip diantara mobil-mobil yang tertahan kemacetan. Di depan gerbang masuk pagoda, saya disambut beberapa perempuan penjual bunga yang mengenakan longyi dan wajahnya berhias bedak tanaka :). "Flower for Budha?, sapa seorang perempuan saat saya menapak memasuki gerbang. Saya menggeleng sambil tersenyum. Saya lalu membungkuk melepaskan sandal, seorang perempuan yang duduk di depan suatu tempat penyimpanan sandal dan sepatu meminta saya menaruh sandal di tempat tersebut. Setelah itu, perempuan tersebut mengarahkan saya ke loket tiket
Gereja yang berhadapan dengan Sule Pagoda
yang terletak di sisi kanan saya. Saya berjalan ke loket dan membeli tiket masuk seharga 3 dollar atau 3000 kyat. Setelah itu, saya lalu menaiki tangga-tangga dari gerbang masuk ke Pagoda Sule yang terletak di ketinggian.

Wikipedia menulis bahwa Sule Pagoda terletak di tengah-tengah kota Yangon. Pagoda ini memiliki peran penting dalam ideologi, ekonomi, geografi dan sejarah politik kontemporer Burma, termasuk menjadi tempat berkumpul para demonstran tahun 1988 dan 2007 yang dimotori para bhiksu. Sule Pagoda dibangun sebelum Shwedagon Pagoda. Menurut legenda setempat, Pagoda ini dibangun pada masa Budha sehingga telah berusia 2500 tahun. Menurut legenda orang Burma, tempat dimana Sule Pagoda dibangun adalah rumah dari roh suci berkuasa penuh bernama Sularata (Sule Nat). Raja para roh suci yang bernama Sakka ingin membantu raja legendaris Okkalab membangun suatu tempat suci bagi peninggalan rambut suci
Salah satu kuil yang dibangun mengelilingi Sule Pagoda
Budha pada tempat yang sama dimana tiga peninggalan Budha telah dikuburkan. Sayangnya, Sakka tidak tahu secara pasti dimana peninggalan-peninggalan tersebut telah dikuburkan di masa lalu. Namun, Sule Nat yang telah sangat tua telah menyaksikan kejadian besar tersebut. Karena itu, para dewa, roh-roh suci, dan manusia berkumpul di sekitar raksasa Sule dan menanyakan lokasi yang akhirnya diingat olehnya.

Pagoda Sule dijadikan pusat kota Yangon oleh Letnan Alexander Fraser dari para insinyur Bengal yang membangun jalan yang terletak di Yangon segera setelah pendudukan Inggris pada pertengahan abad 19. Jalan tersebut pada awalnya dinamai Jalan Fraser, namun sekarang telah berganti nama menjadi Jalan Anawratta dan masih tetap menjadi salah satu jalan utama di Yangon. Pagoda Sule adalah satu pagoda bergaya Mon berbentuk segi delapan dengan panjang 7,315 meter, setinggi 43,891 meter. Ukuran tersebut diperluas oleh Ratu Shin Sawbu pada tahun 1453-1472. Disekitar Pagoda terdapat 10 lonceng perunggu dalam berbagai ukuran serta berisi catatan nama para penyumbang dan tanggal sumbangan tersebut diberikan.  Legenda lain menceritakan nama Sule berasal dari kata Su dan Le yang artinya semak berduri liar. Legenda lain menghubungkan nama tersebut ke kata Cula dalam bahasa Pali yang artinya kecil / ceti atau pagoda kecil. Setelah saya mengunjungi beberapa pagoda lainnya, maka kata Cula tersebut sepertinya memiliki kebenaran karena ukuran Pagoda Sule lebih kecil dari pagoda-pagoda lainnya, terutama Shwdagon tentunya.

Sule Pagoda yang diapit oleh kuil-kuil sekelilingnya 
Pada saat saya berkunjung, beberapa kuil yang mengeliling Pagoda sedang direnovasi. Walau demikian, umat Budha terus masuk dan keluar mendaraskan doa masing-masing di kuil-kuil yang belum atau telah selesai direnovasi. Dari pintu masuk, saya belok kiri menyusuri jalan kecil dari keramik yang memisahkan kuil-kuil dan bangunan berbentuk memanjang seperti asrama dengan Pagoda yang terletak di tengah. Saya terus berjalan memutari pagoda melihat-lihat, mengambil foto-foto sampai saya tiba kembali di pintu masuk. Saya lalu menuruni tangga menuju gerbang di bawah dekat jalan yang telah saya ceritakan di atas. Perempuan yang berjaga di tempat sepatu dan sandal saat saya masuk ternyata tidak berada ditempatnya. Saya lalu mengambil sandal saya, memasukan 1000 kyat ke kotak donasi yang tersedia lalu berjalan keluar kembali ke tempat parkir dimana taxi sedang menunggu.

Bagunan di sebelah depan kiri Sule Pagoda
Taksi keluar ke arah kanan dari tempat parkir yang berlawanan dengan arah kedatangan. Sesampainya diperempatan belakang Pagoda Sule, taksi belok kiri melewati berbagai bagunan tua bergaya Eropa yang sepertinya bangunan-bangunan peninggalan Inggris. Setelah itu, taksi belok kiri lagi menyusuri jalan raya yang memisahkan sungai Yangon di sebelah kanan dengan bangunan-bagunan tua didominasi warna merah bata di sebelah kiri. Menurut cerita sopir, bangunan-bangunan tersebut peninggalan Inggris yang dahulunya digunakan sebagai perkantoran karena kawasan yang kami lewati merupakan kawasan pelabuhan dagang pada zaman kolonial Inggris. Setelah melewati satu perempatan lagi, kami lewat di

Salah satu bangunan peninggalan Inggris
depan bangunan Pasar Bogyoke Aung San yang terkenal di kalangan para pelancong dan merupakan salah satu tempat yang direkomendasikan untuk dikunjungi saat melancong ke Yangon. Sayangnya, pasar tersebut tutup pada hari Senin, yakni hari dimana saya sedang mengelilingi kota Yangon saat itu. Karena itu saya tidak dapat mampir melihat-lihat kesibukan pasar sekaligus mencari longyi. Saat saya katakan ke sopir bahwa saya ingin mencari longyi, sopir mengatakan sebaiknya saya mencari dan membeli di Mandalay saja yang lebih murah (sopir tahu bahwa saya akan berkunjung ke Mandalay setelah Yangon dan Bagan). Why, tanya saya. It is cheaper because the longyi is produced in Mandalay, balas sopir.

Kami tiba di satu perempatan lain tak jauh dari Pasar Bogyoke Aung San. Taksi lalu berbelok ke
Pagoda Botahtaung
kanan menuju Pagoda Botahtaung yang telah terlihat dari perempatan. Cuaca saat itu tidak terlalu bersahabat karena sedang gerimis. Sampai di gerbang samping, taksi berhenti menurunkan saya. Saat akan keluar dari taksi, sopir menyodorkan payung. Saya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum dan menerima payung tersebut.  Sopir mengatakan mobil akan diparkir di sebelah jalan sambil menunjuk ke tempat lain berjarak sekitar 10 meter dari tempat saya turun. Saya mengiyakan lalu berjalan ke arah pintu masuk pagoda. Saat saya akan melepaskan sandal, seorang petugas meminta saya  menemui petugas lain yang berjaga di semacam pos yang terletak di sebelah kanan gerbang samping. Saya menuju pos tersebut, masuk dan berbicara sesaat dengan seorang petugas perempuan yang menanyakan asal saya. Kemudian, petugas menyodorkan tiket masuk seharga 3000 kyat. Saya membayar tiket tersebut lalu berjalan keluar pos mengarah ke pintu masuk pagoda. Sandal saya lepas di pintu masuk yang saya letakan berjejer dengan sandal-sandal lain yang telah berada di tempat tersebut. Sekali lagi saya menyusuri lorong yang tidak terlalu panjang kemudian menaiki beberapa anak tangga menuju bangunan utama.

Bagian dalam Pagoda Botahtaung
Wikipedia menulis bahwa Botahtaung artinya 1000 pejabat militer (1000 military officers). Menurut legenda setempat, Pagoda ini dibangun oleh suku Mon yang adalah salah satu suku Austronesia yang menyebarkan Agama Budha di Asia, termasuk Thailand dan Burma / Myanmar. Pagoda ini dibangun dalam waktu yang sama dengan Pagoda Shwedagon. Bangunan aslinya hancur total pada masa Perang Dunia II. Karena itu, pagoda yang sedang saya kunjungi saat ini merupakan pengganti bangunan aslinya. Sepertinya kompleks dan bangunan pagoda ini seukuran dengan Sule Pagoda, namun dinding-dindingnya seperti dilapisi lembaran emas dari bawah hingga langit-langit - yang diberi pengaman. Menurut legenda setempat, di Pagoda ini juga tersimpan rambut suci Budha. Ruangan-ruangan di bagian dalam berbentuk segitiga dimana di ujung segitiga beberapa ruangan terlihat 1 atau 2 umat sedang duduk bersila mendaraskan doa. Pada sisi lain di ujung ruangan yang diberi pembatas kawat tebal sebagai pengaman berjejer berbagai aset pagoda tersebut yang sepertinya terbuat dari batu jade, perunggu, perak dan emas. Sepertinya semua barang sangat berharga sehingga disimpan dalam lemari pengaman bisa dilihat namun tidak bisa dijamah oleh pengunjung. Satu demi satu ruangan berdiding emas berukir berbagai
Salah satu relief dinding Pagoda Botahtaung
motif tersebut saya telusuri mengagumi keindahan Pagoda tersebut. Sekitar 45 menit kemudian, saya telah tiba di pintu masuk berpapasan dengan pengunjung lain yang baru tiba dan sedang berjalan masuk. Saya keluar ke pelataran di bawah tangga mengambil beberapa foto lalu berjalan keluar ke arah kanan untuk melihat Pagoda tersebut dari sisi luarnya. Gerimis yang masih berlangsung tidak menghalangi saya mengitari Pagoda tersebut. Sisi luar kiri Pagoda diapit oleh semacam sekolahan yang bersebelahan dengan satu kuil.

Di belakang Pagoda terletak satu bangunan memanjang semacam bangsal atau tempat pertemuan. Beberapa orang terlihat sedang tiduran ataupun duduk-duduk lesehan dalam bangsal tersebut. Di luarnya disediakan 2 gentong air minum beserta beberapa mug. Karena masih gerimis, saya memutuskan duduk di teras luar bangsal dekat ke gentong air sambil mengamat-amati pagoda dan lingkungan sekelilingnya. Saya dihampiri seorang lelaki Burma mengenakan baju lengan pendek kotak-kotak putih dan ber-longyi. Saya diajak ngobrol berbahasa Inggris tentunya. Lelaki tersebut memperkenalkan asalnya dari
Salah satu relief dinding Pagoda Botahtaung
Mandalay. Saat saya bertanya bagaimana dia / menggunakan alat transportasi apa dari Mandalay ke Yangon, dengan tersenyum si lelaki menjawab hanya perlu semedi. Saya membalas senyumnya dan mengangguk-anggukan kepala, namun tidak percaya sama sekali akan jawabannya yang menurut saya tidak masuk akal. Dugaan saya ternyata benar, karena setelah ngobrol ngorol ngidul sekitar 5 menit, lelaki tersebut menawari saya untuk berkeliling Pagoda bersamanya - tentunya dengan imbalan pada akhirnya. Membaca indikasi tersebut - yang telah saya ketahui dari informasi-informasi online yang saya pelajari, maka dengan halus tawaran tersebut saya tolak, "thanks but i have already visited all of the rooms inside the Pagoda as well as its surroundings, I am ready to move to other pagoda, timpal saya. Mendengar jawaban saya, keramahannya langsung sirna dan dia pun ngeloyor pergi begitu saja.

Bangunan yang mengeliling Pagoda Botahtaung
Setelah gerimis agak reda, saya bangun dan berjalan ke arah sebelah kiri saya atau kanan Pagoda yang belum saya hampiri. Pada bagian ini hanya ada pagar berjarakan sekitar 20 meter dari bangunan Pagoda yang membatasi Pagoda dengan lingkungan sekitarnya. Pada bagian ujung depan pelataran digantung satu lonceng berukuran sedang. Saya mampir beberapa menit mengamat-amati lonceng tersebut sambil mengambil beberapa foto. Selesai dari situ, saya masuk kembali ke bangunan Pagoda melalui pintu kiri, berlawanan dengan pintu yang saya gunakan saat keluar ke sebelah kanan Pagoda. Saya terus berjalan ke gerbang luar lalu memakai kembali sandal yang saya tinggalkan saat akan masuk ke bangunan Pagoda sebelumnya. Dugaan saya, Pagoda ini hanya dikunjungi oleh turis lokal atau umat atau oleh turis Asia karena saya tidak melihat seorang pun turis bule berkeliaran di lingkungan tersebut. Atau mungkin karena lagi gerimis sehingga para turis pada malas berjalan-jalan. Pada saat saya mengitari bagian
Lonceng yang terletak di kanan depan Pagoda Botahtaung
luar Pagoda saya hanya melihat seorang pengunjung Asia yang juga melihat-lihat daerah sekitar karena dari gaya pakaian dan ransel serta payung yang dibawa terlihat bahwa orang tersebut bukan orang lokal.

Mata saya celingukan mencari taksi yang saya gunakan karena hampir semua mobil yang diparkir di tempat yang ditunjukin sopir sebelumnya berwarna putih. Mungkin melihat saya celingukan mencari mobil tersebut, sopir mobil berinisiatif mengendarai mobil ke arah saya. Saya lalu membuka pintu kiri dan masuk ke mobil tanpa menunggu sopir membukakan pintu sebagaimana yang telah dilakukannya di beberapa tempat terdahulu. "Where we going now", tanya saya setelah duduk santai di dalam mobil. We are heading to Ngar Htet Gyi Pagoda, balas sopir. OK, jawab saya.

Bersambung ke bagian IV:  Ngar Htet Gyi, Chauk Htet Gyi dan Shwedagon Pagoda

Bangunan bergaya Eropa peninggalan Inggris 

Bangunan bergaya Eropa peninggalan Inggris 

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...