|
Patung Budha di Ngar Htet Gyi Pagoda |
"This is new building, replaced the old one that had been broken by fire", kata seorang bapak yang memakai kemeja lengan pendek warna krem dipadu longi warna coklat muda. Akhirnya kami ngobrol beberapa menit terkait sejarah keberadaan Pagoda Ngar Htet Gyi yang saya kunjungi setelah selesai mengunjungi Botahtaung Pagoda di tepi sungai Irrawaddy. Pagoda ini terletak pada arah yang berlawanan dengan Pagoda Sule dan Pagoda Botahtaung. Sepertinya terletak di ketinggian perbukitan kota Yangon. Satu patung Budha raksasa memakai baju besi berwarna kuning emas menjadi pusat/sentral dan mendominasi kuil tersebut. Patung Budha bersandar pada semcama kursi dari kayu jati berwarna coklat dan berukir indah. Berbeda dengan dua Pagoda yang telah saya kunjungi, bangunan Pagoda ini setengah terbuka, yakni dari pintu masuk yang menjadi batas ratusan anak tangga yang menghubungkan kuil tersebut dengan jalan raya serta sepanjang sisi kanan kuil. Sisi belakang yang berhadapan dengan Sang Budha ke arah kiri sampai dengan belakang Sang Budha adalah dinding tertutup dari lantai sampai ke langit-langit. Struktur bangunannya terbuat dari lempengan besi baja yang menghubungkan lantai dengan atap serta samping kiri dan kanan bangunan. Lantainya ditutupi keramik warna merah hati, sedangkan bagian dimana umat duduk melakukan doa diberi karpet berwarna hijau.
|
Sajak pada lempengan batu di Ngar Htet Gyi |
Di bagian belakang bangunan yang berhadapan dengan Sang Budha terdapat sajak pada lembaran batu berukuran sekitar lebar 75cm dan tinggi 1 meter. Pada pintu masuk kuil di sebelah kanan pengunjung terdapat semacam konter yang dijaga seorang orang perempuan. Saat saya ingin bertanya tentang tiket sambil menunjukan satu lembaran kyat, perempuan tersebut hanya menunjuk kotak donasi yang terletak sekitar 5 meter dari konter tersebut. Berbagai patung kecil dan lukisan disusun berderet sepanjang dinding pembatas pelataran sebelah kiri sampai dengan bagian belakang yang sejajar pada lempengan batu tersebut. Tiang-tiang kuil di bagian belakang dan dinding pembatas dihiasi keramik mosaik berukuran sekitar 3x3cm didominasi warna hijau muda pucat. Bangunan Pagoda berada dalam kompleks biara Ashay Tawya. Konon nama Pagoda tersebut diambil dari bentuk atapnya yang berlapis lima, sehingga Pagoda Ngar Htet Gyi artinya Pagoda beratap lima lapis.
|
Lonceng di Ngar Htet Gyi |
Legenda setempat menceritakan bahwa patung Budha asli dengan tinggi sekitar 6,7 meter adalah sumbangan Pangeran Minyedeippa pada tahun 1558. Patung asli tersebut kemudian diperbesar pada tahun 1900 mencapai ketinggian sekitar 14 meter. Beberapa umat terlihat silih berganti datang dan pergi mendaraskan doa masing-masing. Sebelum mengucapkan doa, masing-masing dari mereka duduk bersimpuh mensedekapkan kedua belah tangan di dada lalu menunduk menyembah Sang Budha. Saya duduk termenung memandang dan mengagumi Sang Budha di depan sambil memikirkan betapa luar biasanya para seniman Burma yang menghasilkan karya seni indah tiada tara di depan saya. Keheningan sangat terasa hadir di sekeliling saya. Hanya gumanan doa para umat yang terdengar secara konsisten menghadirkan suasana religius. Sekitar 30 menit kemudian saya beranjak mengeliling kuil tersebut. Mengambil beberapa foto menarik kemudian beranjak keluar meninggalkan ruang utama Pagoda tersebut. Saya kembali menyusuri ratusan anak tangga turun ke jalan raya dimana mobil yang saya gunakan sedang menunggu guna mengantar saya ke kuil / pagoda berikutnya.
|
Reclining Budha di Chauk Htet Gyi |
|
Depan reclining Budha |
Tempat kunjungan berikutnya adalah Chauk Htet Gyi yang berjarak sekitar 700an meter dari Ngar Htet Gyi pada sisi jalan yang berbeda. Dari Ngar Htet Gyi di posisi yang lebih tinggi, saya telah dapat melihat bangunan Chauk Htet Gyi. Mobil yang saya gunakan tidak berbelok ke kiri menyusuri jalan utama menuju Kuil Chauk Htet Gyi melainkan mengambil jalan samping dan memutar dari belakang. Setelah tiba di tempat tujuan barulah saya memahami mengapa mobil mengambil jalan samping ke belakang disebabkan oleh gerbang kuil yang menghadap jalan samping yang terhubung ke jalan utama. Kompleks Kuil adalah ruang terbuka yang pada sisi kiri gerbang masuk terdapat jejeran kios yang menjual beragam souvenir. Kuil itu sendiri adalah suatu bangunan besar dengan jendela2 besar yang terbuka sehingga memudahkan cahaya dan angin memasuki bangunan. Bangunan kuil ini melindungi satu Patung Budha sangat besar dalam posisi tidur atau lebih sering dikenal dengan
reclining budha - sama seperti Patung
reclining Budha di Kuil Wat Pho di Bangkok, Thailand. Sama seperti bangunan Ngar Htet Gyi, struktur bagunan Kuil Chauk Htet Gyi terbuat dari besi baja.
Reclining Budha atau Budha yang sedang berbaring dalam kuil tersebut berukuran panjang 65,85 meter yang merupakan perpanjangan dari aslinya pada tahun 1899 sepanjang 59,28 meter dengan tinggi sekitar 30 meter. Pembuatan
reclining Budha ini dimulai pada tahun 1899 atas sumbangan seorang warga Burma bernama U Hpo Thar. Penyelesaiannya dilakukan dalam 3 tahap, yakni 1899, 1907 dan 1973. Pembangunan secara bertahap tersebut juga mengubah posisi
reclining Budha tersebut. Pada awalnya, posisi kepala Budha mengarah ke Barat dengan wajah menghadap Selatan. Namun dalam penyelesaian di tahun 1973, posisi kepala mengarah ke Timur dengan wajah menghadap Utara.
|
Sajak pada lempengan batu |
Saya terkagum-kagum melihat karya luar biasa tersebut. Secara perlahan saya berjalan dari posisi kepala ke arah kaki yang dikerjakan dengan sangat detail dan indah. Pada telapak kaki, tergambar masa hidup yang dilalui Budha. Dalam jarak sekitar 2 meter dari tapak kaki Budha tergantung semacam sajak yang ditulis pada lempangan batu berukuran sekitar 1x2 meter. Beberapa bhiksu tua terlihat sedang duduk bersila memegang tasbih menggumankan doa masing-masing. Seorang bhiksu lain terlihat sedang asyik dengan HPnya. Pengunjung lokal maupun manca negara silih berganti datang dan pergi. Sekitar 3 meter dari kaki Budha agak ke samping kiri terdapat semacam panggung kecil yang saya gunakan mengambil foto yang cukup bagus. Pada saat saya sedang mengamat-amati kaki Budha dan juga lempengan batu yang tergantung di dekatnya, terlihat sepasang turis Jepang berusia paruh baya memotret beberapa kali. Saya menyarankan mereka menggunakan panggung kecil yang telah saya
reclining Budha.
|
Informasi tentang ukiran-ukiran di kaki Budha |
gunakan tersebut. Ternyata hasilnya cukup memuaskan mereka sehingga sambil membungkuk, pasangan tersebut tersenyum ramah sambil mengucapkan terima kasih . Saya tersenyum dan membalas ucapan mereka kemudian beranjak pergi mengarah ke pintu masuk untuk kembali ke mobil yang menunggu di halaman kuil. Sebelum keluar dari bangunan kuil, saya menyempatkan diri memberikan donasi ke kotak donasi yang tersedia dekat pintu masuk. Saya baru menyadari bahwa kompleks dan kuil ini tidak dibangun di atas ketinggian perbukitan ataupun tempat yang sengaja ditinggikan seperti kompleks dan 3 pagoda yang telah saya kunjungi sebelumnya - sehingga pengunjung ataupun umat perlu mendaki beberapa tangga guna memasuki kompleks kuil atau pagoda. Hanya tempat Budha yang dibuat menyerupai panggung dengan tinggi sekitar 1,5meter sebagai tempat berbaring
|
Shwedagon Pagoda di siang hari |
"Now, we are going to Shwedagon, kata saya ke sopir setelah kembali ke mobil. Okay sir, balas sopir sambil menjalankan mobilnya keluar dari kompleks kuil Chauk Htet Gyi. Tak sampai sepuluh menit dari Chauk Htet Gyi, kami telah tiba di gerbang Timur Pagoda Shwedagon. Sopir menjelaskan kepada saya bahwa Shwedagon memiliki 4 pintu gerbang searah mata angin, yakni Timur, Barat, Utara dan Selatan. Saya diturunkan di gerbang Timur untuk memudahkan saya kembali ke hotel, karena gerbang Timur menghadap ke jalan utama yang akan saya lalui saat akan kembali ke hotel. Sebagaimana kesepakatan kami sebelumnya, saya minta didrop di kompleks Shwedagon, setelah itu sopir dan mobilnya telah selesai menjalankan tugas dan perannya. Sebelum turun, saya menghitung tarip ditambah 3.000 kyat sebagai tip yang saya berikan ke sopir atas jasanya mengantar saya berkeliling hari ini. Saat turun dari mobil, saya langsung memasukan sandal saya ke tas plastik yang telah saya bawa yang kemudian saya masukin ke dalam ransel. Saya kemudian melangkah perlahan menaiki tangga-tangga yang berjejer rapi menuju Pagoda Shwedagon di ketinggian. Kios-kios penjualan souvenir berjejer rapi di sisi kiri dan kanan tangga.
Saat saya tiba di puncak, saya disambut seorang petugas laki-laki yang memakai baju putih lengan
|
Shwedagon di malam hari |
pendek dipadu longyi biru langit yang berdiri di depan loket penjualan tiket. Lokat penjualan tiket tersebut hanyalah sebuah meja yang dilengkapi 2 kursi. Seorang petugas perempuan dan laki-laki duduk berdampingan mengurus tiket masuk ke Shwedagon. Petugas laki-laki yang menyambut saya menyerahkan 1 peta informasi tentang Pagoda Shwedagon setelah saya membayar 8.000 kyat atau 8 dollar sebagai biaya tiket masuk. Sambil tersenyum ramah, petugas laki-laki tersebut menjelaskan sekilas tentang Pagoda Shwedagon sambil membuka dan menunjukan tempat-tempat penting di areal Pagoda sebagaimana tercantum dalam peta. Setelah selesai, saya mengucapkan terima kasih dan mulai berjalan mengitari kompleks Pagoda tersebut dari pintu Timur. Sepanjang sisi kiri saya berderet sejumlah kuil dan stupa berisi patung Budha, para raja dan ratu serta para bhiksu dalam berbagai ukuran dan model dimana semuanya didominasi warna kuning emas. Sedangkan di sebelah kanan saya terletak Pagoda Shwedagon yang megah berwarna kuning emas juga. Stupa-stupa berbagai ukuran berwarna dominan emas dan putih berjejer mengelilingi Pagoda. Dalam stupa-stupa tersebut terdapat patung Budha berukuran lebih kecil dalam berbagai pose. Pada lokasi-lokasi tertentu diantara stupa-stupa tersebutpatung dan informasi hari-hari sembahyang dalam periode 7 hari kalender masehi, yakni Monday, Tuesday dan seterusnya yang ditulis dalam bahasa Burma dan Inggris.
Informasi pada peta yang dibagikan setelah saya membayar tiket masuk menyebutkan bahwa Pagoda
|
Salah satu kuil |
Shwedagon dibangun di atas bukit Sanguttara di Kotapraja Dagon. Tinggi Pagoda adalah sekitar 100 meter di area seluas 46 hektar, sedangkan komplek utama Pagoda meliputi 6 hektar. Pagoda dapat dikunjungi melalui 4 pintu masuk, yakni dari Selatan melalui Shwedagon Pagoda road, Barat melalui U Wisara road, Utara melalui Arzani road dan Timur melalui Gyatawya road. Akses pengunjung pada pintu-pintu masuk tersebut dapat menggunakan tangga atau eskalator. Namun saya tidak melihat eskalator di Pintu Timur yang saya gunakan masuk ke kompleks Pagoda. Konon Pagoda ini menyimpan 8 helai rambut suci Budha. 8 helai rambut tersebut diperoleh 2 orang pedagang Burma bernama Taphussa dan Ballika. Mereka bertemu Budha pada saat Budha mengalami pencerahan pada sekitar tahun 103 Saka atau tahun 600 sebelum Masehi. Kedua pedagang tersebut memberikan sedekah makanan kepada Budha. Budha lalu memberikan 8 helai rambutnya sebagai suatu berkat bagi keduanya.
|
Puncak Shwedagon di malam hari |
Taphussa dan Ballika kembali ke tanah milik Okkalapa dan diterima oleh orang banyak yang dipimpin Okkalapa. Raja Okkalapa dan para pengikutnya lalu mengabadikan rambut suci Budha tersebut bersama 3 barang peninggalan Budha, yakni Kukusanda Budha, pemurni air Kawnagamana Budha dan selimut Kassapa Budha dalam suatu tempat yang disucikan sebagai Shwedagon dengan tinggi sekitar 22 meter. Oleh karena berisi 4 barang peninggalan Budha yang telah mengalami pencerahan, maka dikenal sebagai Shwedagon atau tempat penyimpanan 4 peninggalan suci Budha.
Sejak tahun 600 sebelum Masehi sampai dengan abad ke 14, Shwedagon dijaga oleh 32 raja dalam dinasti Okkalapa. Lalu sejak tahun 1372 Masehi oleh Raja Banya U, Banyayan, Banyagyandow, dan lainnya. Pada saat Ratu Shin Saw Pu naik tahta di tahun 1453, sang ratu meninggikan tempat penyimpanan barang-barang peninggalan Budha tersebut menjadi 302 kaki (sekitar 92 meter). Raja Sinbyushin membangun kembali bangunan Pagoda Shwedagon pada tahun 1774 Masehi dengan tinggi 326 kaki atau sekitar 100 meter. Ratusan atau bahkan ribuan patung berbagai ukuran dan dari berbagai bahan (batu permata, perunggu, perak, emas) merupakan sumbangan dari berbagai orang, termasuk orang kaya, ratu dan raja yang merentang sepanjang sejarah keberadaan Pagoda tersebut. Patung, kuil, pagoda-pagoda lebih kecil dan stupa-stupa yang berada dalam komplek Pagoda Shwedagon memiliki sejarah dan fungsi masing-masing bagi umat Budha.
Setelah mengeliling seluruh komplek, termasuk area belakang yang jarang dikunjungi turis manca
|
Di salah satu sudut dekat Pintu Timur |
negara - dimana saya bisa membunyikan lonceng - saya lalu duduk beristrahat di teras salah satu bangunan kuil menunggu malam untuk melihat keindahan Shwedagon di malam hari sebagaimana yang terlihat di berbagai website. Semakin sore, kompleks Pagoda semakin ramai oleh umat yang datang dan bersembahyang ataupun para turis dari berbagai negara. Sekitar jam 4 sore, beberapa rombongan sukarelawan mulai menyapu seluruh kompleks Pagoda dengan cara berdiri berjejer membentuk barisan horisontal. Barisan horisontal penyapu yang didominasi perempuan tersebut bergerak searah jarum jam menyapu mengeliling Pagoda. Rombongan tersebut saling susul menyusul dengan jarak sekitar 10 meter antara rombongan satu dengan yang lainnya. Setelah pasukan penyapu selesai, muncul pasukan pel didominasi laki-laki dalam formasi yang sama, yakni horisontal yang terdiri atas beberapa formasi yang saling susul.
Lampu-lampu mulai dinyalakan menjelang sunset sekitar jam 5.30an. Keindahan Pagoda di siang hari mulai berubah di senja beranjak malam. Pendaran warna keemasan beresonansi dengan nyala lampu sekitar menciptakan cahaya baru yang sangat indah. Apalagi saat kawasan sekitar telah benar-benar dilingkupi malam gelap. Hanya cahaya Pagoda Shwedagon yang nampak bersinar dan berpendar-pendar bahkan bisa dilihat dari jarak beberapa kilometer saat saya telah berjalan meninggalkan kompleks Pagoda tersebut kembali ke hotel sekitar jam 7 malam. Saat menuruni tangga dari puncak sampai dengan jalan raya, saya coba menghitung total keseleuruhannya adalah 150 anak tangga. Walau ujung akhir tangga yang bertemu jalan telah dilingkupi gelap, hanya sinar tamaram lampu para
|
Bersama bhiksu di salah satu kuil |
pedagang sekitar yang terlihat, namun para pengunjung terus menerus berjalan menaiki tangga-tangga yang ada menuju Pagoda Shwedong di puncak bukit. Tepat di ujung tangga yang tersambung dengan jalan, saya mengeluarkan sandal dari tas dan kembali mengenakannya lalu menyusuri jalanan tamaran di depan saya. Para pedagang yang kebanyakan menjual pernak-pernik dan buah masih lumayan ramai berjejer sepanjang jalan yang saya lalu. Mata saya mencari-cari pedagang makanan karena mulai berasa lapar dan saya tidak pasti apakah bisa memesan makanan di hotel. Sekitar 100 meter dari anak tangga terakhir ke Pagoda, saya melihat beberapa pedagang makanan yang berjejer di jalan yang saya lalui. Saya lalu mampir ke warung tenda yang terlihat cukup ramai. Beruntunglah pemiliknya seorang laki-laki paru baya yang mengenakan baju lengan pendek warna coklat dipadu longyi bisa berbahasa Inggris. Saya lalu meminta ayam goreng, sayur bayam dan nasi putih. Jika di Indonesia, makanan warung tenda pinggir jalan kebanyakan disusun dalam gerobak yang diberi kaca sehingga minimal melindungi makanan tersebut dari debu, maka di Yangon dan beberapa kota lain yang saya kunjungi kemudian, makannya diletakan di atas meja terbuka. Saya sudah tidak memikirkan masalah higenitasnya, yang penting adalah perut saya tidak keroncongan yang dapat berimplikasi ke kambuhnya penyakit maag kronis saya. Saya hanya perlu membayar 500 kyat untuk seluruh makanan dan minum yang saya habiskan malam itu.
|
Membunyikan lonceng di bagian belakang |
Selesai makan dan minum serta membayar harganya, saya beranjak dari warung dan kembali menelusuri jalan menuju ke hotel bermodalkan peta yang saya peroleh dari hotel pagi tadi. Jalanan yang saya lalui tidak memiliki lampu jalan seperti Jakarta yang terang benderang :). Hanya sinar lampu tamaram dari bangunan atau kendaraan yang lalu lalang. Pada satu pertigaan, saya menemukan semacam pos jaga yang diisi oleh beberapa anak muda berseragam
|
Shwedagon dari jendela kamar hotel di pagi hari |
biru sedang asyik bermain kartu dan bersenda-gurau. Saya menghampiri mereka untuk menanyakan arah jalan ke hotel sambil memperlihatkan peta yang saya pegang. Salah satu dari mereka menjawab agar saya berjalan lurus saja lalu jika bertemu perempatan lagi, maka saya harus belok kanan. Saya mengucapkan terima kasih lalu menyeberangi pertigaan depan pos tersebut. Sekitar 50 meter dari pos tersebut saya tiba di satu jalan kecil di sebelah kiri saya yang terhubung ke jalan raya yang sedang saya telusuri. Insting saya mengatakan bahwa jalan kecil tersebut adalah jalan ke arah hotel tempat saya menginap malam itu. Percaya pada insting, saya lalu belok kiri memasuki jalan tersebut - yang ternyata benar karena sekitar 15 meter kemudian saya melihat papan bertuliskan nama Clover Hotel. Sekitar jam 9 malam saat saya tiba di hotel yang sepi-sepi saja. Para staf mengucapkan selamat malam sambil
|
Shwedagon dari jendela kamar hotel di malam hari |
tersenyum. Saya membalas ucapan mereka dan melanjutkan langkah saya ke lift untuk selanjutnya ke lantai 6 dimana kamar saya berada. Saya sempatkan berisitirahat sekitar 15 menit sebelum melangkah ke kamar mandi. Air hangat dan dingin yang saya gunakan berganti-ganti saat mandi kembali menyegarkan tubuh yang kelelahan karena seharian berkeliling Yangon. Sebelum merebahkan diri ke tempat tidur berukuran king, saya sempatkan sekali lagi mengintip Shwedagon Pagoda dari jendela kamar. Saya mengambil beberapa foto terakhir Pagoda tersebut. Supaya tidak kesiangan, saya memasang alarm HP terlebih dahulu untuk membangunkan saya di subuh hari pada jam 4. Saya juga telp ke resepsionis meminta wakeup call. Setelah itu lampu-lampu kamar saya matikan dan tubuh pun saya baringkan ke tempat tidur yang terasa sangat nyaman. Good night everyone!!!
Bersambung: Bagian V: Bagan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar