Jumat, 08 Mei 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL WEST SUMATERA: Batu Batikam dan Istana Pagar Ruyung

Bersama anak sekolahan di depan Batu Batikam
"Foto-foto", teriak anak-anak SD berseragam pramuka ke saya saat mereka berhamburan memasuki kawasan cagar budaya Batu Batikam di Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar. Sambil tertawa lebar, saya meminta mereka berkumpul di prasasti batu alam yang dikenal sebagai Batu Batikam dalam legenda Minang. Saya meminta bantuan ibu penjaga tempat wisata tersebut memotret saya dan sekumpulan bocah yang tersenyum, tertawa dan berceloteh gembira. Jangan tutupin batunya, kata perempuan itu yang kemudian sibuk mengatur para bocah yang berebutan ingin foto bersama. Selesai berfoto dengan para bocah lelaki, saya menawarkan foto bersama antar anak-anak itu bersama para gurunya yang menemani mereka saat itu. Semua mengiyakan sehingga saya menjadi fotografer mereka mengabadikan momentum kunjungan saya dan mereka ke tempat tersebut.

Batu Batikam 
Batu Batikam berada dalam satu kompleks cagar budaya yang terletak di Kampung / Jorong Dusun Tuo, Desa / Nagari Lima Kaum, Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar. Kompleks cagar budaya seluas 1.800 meter persegi tersebut terletak di pinggir jalan raya yang terhubung ke lokasi Istana Pagar Ruyung.  Batu Batikam merupakan suatu batu andesit berwarna abu-abu gelap berbentuk hampir segitiga dengan lubang di tengahnya. Legenda setempat menceritakan bahwa lubang tersebut merupakan hasil tusukan / tikaman keris Datuak Parpatiah Nan Sabatang sebagai tanda mengakhiri pertikaian antara Datuak Parpatiah Nan Sebatang dengan saudara tirinya bernama Datuak Katamanggungan. 

Konon, Datuak Parpatiah Nan Sebatang dan Datuak Katamenggungan berasal dari rahim ibu yang sama dengan ayah yang berbeda. Ayah Datuak Parpatiah Nan Sebatang merupakan seorang aristokrat atau cerdik pandai, sedangkan ayah Datuak Katamanggungan adalah seorang otokrat atau raja berpunya. Kedua pemimpin tersebut bertengkar hebat pada masa hidup mereka karena berbeda pendapat tentang cara mengatur rakyat. Datuak Parpatiah menginginkan pengaturan yang demokratis, sedangkan Datuak Katemanggungan menginginkan pengaturan yang hirarkis atas ke bawah. Untuk
Anak-anak dan para guru mereka 
mengakhir pertengkaran sekaligus mencegah terjadinya perkelahian antar kedua bersaudara tersebut, keduanya bersama para tokoh adat lainnya melakukan musyawarah dan menyepakati pengaturan rakyat melalui penerapan dua sistem yang demokratis dan hirarkis secara bersama-sama pada suku masing-masing, yakni Koto Piliang dan Bodi Chaniago. Kesepakatan tersebut dimateraikan dengan cara menikam batu andesit menjadi prasasti / tanda peringatan bagi para keturunan mereka sampai dengan saat ini. Kesepakatan penerapan dua sistem pengaturan tersebut tercermin juga pada atap rumah gadang, yakni bagi suku yang menerapkan pengaturan hirarkis, atap rumahnya dibuat bertumpuk-tumpuk, sedangkan suku yang menerapkan pengaturan demokratis, atap rumahnya tidak dibuat bertumpuk. Saya  mendapatkan informasi tambahan tentang perbedaan atap rumah gadang (betumpuk dan tidak bertumpuk) suku-suku Minang dari guide di istana Pagar Ruyung. 

Di area Batu Batikam juga terdapat puluhan batu berbentuk kursi - menurut ibu penjaga situs, kursi-
Kursi-kursi batu mengelilingi Batu Batikam
kursi batu tersebut merupakan tempat duduk para datuk dan tokoh adat lainnya yang mengikuti musyawarah perdamaian Datuak Parpatiah Nan Sebatang dengan Datuak Katamanggungan. Di bagian belakang agak ke kiri dari jejeran prasasti batu peninggalan era neolitikum tersebut terdapat satu pohon beringin besar berdaun rimbun yang telah berusia ratusan tahun. Ranting dan daun-daun pohon beringin itu membentuk semacam kanopi / atap yang melindungi jejeran kursi batu dan Batu Batikam dari sinar matahari.
Kuburan Lima Kaum
Selain itu, dalam jarak sekitar 50an meter dari jejeran prasasti batu tersebut ke arah kiri terdapat 5 kuburan batu yang dikenal sebagai kuburan Lima Kaum yang menjadi nama Nagari / Desa yang menjadi lokasi cagar budaya Batu Batikam. Konon kelima kuburan tersebut merupakan kuburan keturunan Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katemanggungan. Sejarah dan cerita legenda Batu Batikam dan Kuburan Lima Kaum tertulis pada papan informasi yang terpasang dekat prasasti Batu Batikam dan juga di belakang papan nama cagar budaya Batu Batikam. Memasuki kawasan cagar  budaya ini tidak dipungut bayaran alias gratis. Namun saya memberikan donasi sebesar 20ribu ke perempuan penjaga yang telah merawat dan memelihara kawasan cagar budaya tersebut sehingga terlihat bersih, apik dan adem. Cagar budaya Batu Batikam tidak menyediakan tempat parkir, karena itu mobil saya dan Jasman serta 3 angkot yang digunakan rombongan anak SD bersama guru mereka diparkir berjejer di tepi jalan di luar kompleks cagar budaya tersebut.

Berpose di bawah pohon beringin berusia ratusan tahun
Setelah menikmati kawasan cagar budaya Batu Batikam dan legendanya sekitar 40 menit, saya dan Jasman melanjutkan perjalanan ke istana Pagar Ruyung di Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar. Dari lokasi Batu Batikam, mobil berjalan lurus menyusuri jalan beraspal mulus dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari Nagari Lima Kaum ke lokasi istana Pagar Ruyung di Tanjung Emas. Kami tiba sekitar jam 11.30 siang di jalan depan pagar istana. Jasman menurunkan saya di depan loket karcis di samping gerbang kompleks. Jasman membelokan mobil ke kanan menyeberangi jalan depan pagar istana ke tempat parkir di seberang jalan. Di tempat parkir tersebut bejejer puluhan kios souvenir yang membentuk huruf U. 

Depan istana Pagar Ruyung
Saya menghampiri loket tiket dan menyerahkan 20ribu rupiah ke perempuan muda berjilbab yang menjaga loket. Saya menerima tiket seharga 7ribu rupiah dan uang kembalian 13ribu rupiah. Saya berjalan ke pintu gerbang yang dijaga 4 security berseragam safari lengan pendek warna hitam. Saya menyerahkan tiket ke salah satu security yang menyobeknya menjadi dua lalu menyerahkan 1 sobekan ke saya sebagai bukti. Setelah meninggalkan para security lalu mulai memotret istana yang terlihat berdiri megah puluhan meter di dalam kompleks seluas 3,5 hektar. Saya terus berjalan melewati beberapa tangga dari gerbang menuju istana. Sebelum tiba di istana, saya dihampiri 2 badut - yang mana satu diantaranya mengenakan replika pakian adat perempuan Minang. Kedua badut ini menawarkan foto bersama dengan bayaran 5ribu rupiah untuk 3 foto.
Depan Istana Pagar Ruyung
Why not, pikir saya yang langsung mengiyakan ajakan mereka. Kami meminta seorang tukang foto keliling memotret kami bertiga yang bergaya di depan istana. Selesai dipotret, saya menyerahkan selembar 10ribu rupiah ke salah satu dari mereka dan meminta mereka membagi duit tersebut. Saya terus melangkah hingga tiba di tangga bangunan istana. Semua pengunjung diwajibkan melepaskan alas kaki di tangga istana. Saya melepaskan sepatu dan kaos kaki yang kemudian diambil seeorang petugas dan memasukannya ke dalam satu kantong plastik berwarna kehijauan. Untuk jasa tersebut, pengunjung diminta memberikan donasi sekedarnya dengan cara memasukan uang ke kotak donasi yang disediakan di tangga tempat sandal dan sepatu ditinggalkan. Donasi diberikan saat telah selesai mengunjungi istana lalu keluar mengambil sepatu atau sandal yang ditinggalkan dalam plastik yang dijaga 2 orang laki-laki. 

Istana Pagar Ruyung yang dibangun tahun 2007
Istana Pagar Ruyung merupakan bangunan berbentuk rumah panggung 3 lantai. Di depan pintu masuk lantai pertama tersedia meja registarasi yang dijaga 2 perempuan muda berjilbab. Saya menghampiri mereka dan mengisi buku tamu di atas meja yang dijaga kedua perempuan tersebut. "apakah bapak mau menggunakan jasa guide", tanya salah satu perempuan. Seperti melihat keraguan saya, temannya menambahkan "gratis pak, tidak perlu bayar lagi". Melihat saya tersenyum dan mengangguk, seorang laki-laki berpakaian rapi serta berkacamata menghampiri saya. Kami bersalaman dan berkenalan satu sama lain. Yose, kata laki-laki tersebut, Jo, balas saya. Kita mulai
Kamar istrahat Raja 
dari sisi ini, kata Yose mengarahkan saya ke sisi kiri lantai 1 istana. Kita berada di lantai 1 istana yang terdiri dari 3 lantai, lanjut Yose. Ruang di depan kita merupakan ruang istrahat raja, kata Yose menunjuk ke kamar di depan kami yang pintunya ditutupi 7 lapis kain dari depan pintu kamar hingga ke dalam. Lapisan-lapisan kain tersebut memiliki makna budaya terkait sejarah keberadaan kerajaan dan suku-suku di ranah Minang. Semua warna berbalut warna dan motif keemasan yang sangat dominan dalam budaya Minang.

Dari kamar istirahat raja, kami berpindah ke kamar tidur raja dan melanjutkan ke jejeran kamar-kamar anak perempuan raja yang telah bersuami hingga tiba di kamar bundo kanduang yang berhadap-hadapan / berlawanan arah dengan kamar istirahat dan kamar tidur raja. Semua kamar tersebut berjejer membentuk huruf U dimana pada sisi kiri istana ditempati raja, tengah ditempati anak-anak perempuan yang telah berkeluarga dengan urutan kamar anak sulung dekat ke kamar raja hingga anak perempuan termuda yang dekat ke kamar bundo kanduang. Di bagian tengah-tengah dari jejeran kamar anak-anak perempuan terletak singgasana berupa bantalan-bantalan kursi
Jejeran kamar anak perempuan yang telah menikah
yang diberi tirai di sisi kiri dan kanannya. Singgasana hanya ditempati oleh bundo kanduang, bukan raja karena sistem kekerabatan matrialkat / garis perempuan dalam adat Miang, kata Yose. Saya hanya mengangguk-angguk. Dimana kamar anak laki-laki, tanya saya ke Yose. Anak laki-laki tidak tinggal di istana. Semua anak laki-laki tidur dan beraktifitas di surau, jelas Yose. 

Kita ke lantai 2, ajak Yose. Kami menaiki tangga kayu berwarna coklat ke lantai 2. Berbeda dengan pengaturan di lantai 1, lantai 2 berbentuk aula tanpa kamar-kamar. Lantai 2 diperuntukan bagi anak-anak perempuan yang belum bersuami. Di ruangan inilah mereka melakukan aktivitas hariannya seperti menenum, bercengkrama,  makan dan minum. Dari lantai 2, kami
Singgasana Bundo Kanduang
meneruskan penelusuran ke lantai 3 yang mana ukuran ruangannya terlihat lebih kecil dari ruangan di lantai 2 dan lantai 1. Dalam ruang berdinding papan - yang telah diukir motif dan dicat warna-warna khas Minang, yakni hitam, merah dan kuning - terdapat pajangan beberapa pusaka kerajaan seperti tombak, pedang, senapan dan juga pistol buatan Belanda sebagai simbol adanya interaksi antara kerajaan Pagar Ruyung dengan Belanda pada masa lalu. 3 kursi berwana coklat yang terbuat dari paduan rotan dan kayu terlihat mengelilingi meja bundar yang terbuat dari kayu dan marmer putih. Menurut Yose, ketiga kursi tersebut merupakan replika tempat duduk 3 raja yang mengurus rakyat dan wilayah Minang, yakni Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadah. Ketiganya akan bertemu, berdiskusi dan mengambil keputusan-keputusan penting di lantai 3 istana yang menjadi tempat kediaman Raja Alam. Raja Adat dan Raja Ibadah tinggal di tempat lain di wilayah berbeda dalam wilayah kekuasaan kerajaan Pagar Ruyung. 

Dari lantai 3 kami kembali ke lantai 2. Sebelum turun ke lantai 1, saya berhenti sejenak di salah satu jendela lantai 2 untuk memotret pemandangan bukit dan sawah di belakang istana. Yose terus menemani saya. Itu contoh rumah gadang Koto Piliang dan Bodi Chaniago - 2 suku utama yang
Replika meja dan kursi rapat Raja Alam, Adat dan Ibadah
menjadi cikal bakal suku-suku di tanah Minang. Apa perbedaan kedua rumah adat tersebut, tanya saya. Atap yang disebut gonjong kedua rumah gadang itu berbeda. Atap bertumpuk seperti itu, kata Yose - sambil menunjuk rumah gadang dengan atap bertumpuk - merupakan lambang sistem pemerintahan adat secara hirarkis atau berjenjang dari atas ke bawah. Di sebelahnya, rumah gadang tanpa atap bertumpuk yang merupakan cerminan sistem pemerintahan demokratis di tanah Minang. Informasi Yose mengingatkan saya pada cerita ibu penjaga situs budaya Batu Batikam.

Kami melangkah meninggalkan lantai 2 ke lantai 1 melanjutkan kunjungan dapur yang terletak di bangunan terpisah di belakang istana. Dapur dan istana dihubungkan oleh semacam jembatan terbuka
Replika rumah gadang atap bertumpuk 
yang menjadi lorong atau koridor. Dapur terbagi menjadi 2 bagian, yakni tempat memasak di sebelah kanan saya atau sebelah kiri istana serta tempat menyiapkan makanan matang sebelum diantar ke dalam istana. Kedua bagian ini dipisah oleh lorong yang tersambung dengan jembatan/lorong ke istana. 

Dari dapur kami kembali ke depan guna keluar dari bangunan istana sekaligus saya mengambil kembali alas kaki yang saya titipkan di tangga masuk depan istana. Yose masih terus menemani saya dan menginformasikan bahwa di bawah lantai 1 disediakan sewa pakaian adat seharga 35ribu
Dapur istana
untuk pemotretan di dalam istana maupun kompleks istana. Karena saya tertarik ingin mencoba, Yose terus menemani dan mengantar saya ke kolong istana yang pintunya terletak di bawah tangga masuk ke istana. 

Istana Pagar Ruyung di Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat merupakan replika dari istana asli kerajaan Pagar Ruyung. Istana asli yang disebut Istana Si Linduang Bulan berada di bukit Batu Patah. Dalam sejarahnya, Istana Si Linduang Bulan juga telah mengalami beberapa kali pembangunan karena dibakar pada zaman perang melanda kerajaan Pagar Ruyung. Istana yang hancur dibangun lagi pada tahun1750, 1804 dan 1869. Istana yang telah dibangun kembali tersebut terbakar lagi pada tahun 1961. Pada tahun 1974, Gubernur Sumatera Barat memprakarsai
Depan istana Pagar Ruyung
pembangunan replika istana tidak jauh dari replika kedua yang ada saat ini. Replika pertama yang dibangun tahun 1974 -1975 tersebut terbakar pada tahun 2007, sehingga Pemerintah Daerah Sumatera Barat membangun replika baru yang disebut Istana Basa Pagar Ruyung yang sedang saya kunjungi saat ini. Saya menghabiskan 1 jam 20 menit di istana Pagar Ruyung mendapatkan pelajaran berharga tentang ranah Minang, mencoba pakaian adatnya lalu berkeliling memotret diri yang dilakukan oleh seorang tukang foto keliling di kompleks istana tersebut. Saya menutup kunjungan saya di istana
Depan istana Pagar Ruyung
Pagar Ruyung dengan mengambil sepatu saya sekaligus memberikan donasi ke kotak yang disediakan di tempat saya dan para pengunjung lain meninggalkan alas kaki mereka.

Bersambung ke Perjalanan ke Bukit Tinggi dan Jam Gadang..





Kamis, 07 Mei 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL WEST SUMATERA: Air Terjun Lembah Anai dan Danau Singkarak.

Di air terjun Lembah Anai 
Biaya per hari 400 ribu rupiah diluar bensin, makan dan rokok sopir. Jika nginap, nambah 125ribu untuk penginapan sopir, demikian harga yang diminta Windi, sopir mobil yang saya hubungi saat mencari mobil yang dapat saya gunakan dari Padang ke beberapa tempat wisata di Sumatera Barat selama 2 hari. Bagaimana kalo 500ribu per hari sudah termasuk bensin, saya mencoba bernegosiasi, namun tidak berhasil sehingga saya harus menerima harga yang diberikan Windi. Windi merupakan seorang sopir di Padang yang direkomendasikan teman saya. Harga tersebut ternyata lebih murah dari harga yang ditawarkan sopir yang mengantar saya dari Airport Padang ke hotel Sofyan Inn Rangkayo Basa - yang menjadi tempat menginap saya selama berada di Padang. Kami sepakat berangkat dari Hotel Sofyan Inn pada jam 7 pagi menuju Air Terjun Lembah Anai, mampir makan di Sate Mak Syukur, melanjutkan perjalanan ke Danau Singkarak lalu ke Batu Angke, Batu Batikam selanjutnya
Lembah Anai
ke Istana Pagar Ruyung kemudian makan siang dan melanjutkan perjalanan ke Bukit Tinggi untuk beristrahat lalu melanjutkan lagi di esok hari dari Bukit Tinggi.

Saya telah menunggu di lobby hotel pada jam 7 pagi. Namun, Windi belum muncul saat jam saya telah menunjukan angka 7.15. Saya mengirim SMS menanyakan posisi Windi lalu menerima balasan bahwa Windi tidak jadi mengantar saya karena ada urusan lain sehingga perannya digantikan oleh orang lain bernama Jasman. Melalui SMS yang sama, Windi memberikan informasi nomor telpon Jasman yang bisa saya hubungi. Saya menelpon Jasman namun tidak diangkat sehingga saya mengirim SMS dalam nada kecewa dan kesal ke Windi. 3 menit kemudian Windi membalas SMS saya menginformasikan bahwa Jasman sedang dalam perjalanan ke Hotel. Jam telah menunjuk angka 7.23, namun Jasman belum tiba sehingga saya kembali menelpon
Jalanan Kota Padang
ke nomor yang diberikan Windi. Kali ini telpon tersebut diangkat dan dijawab bahwa posisinya telah dekat dengan hotel. Saya tidak punya pilihan, hanya menunggu dalam kekesalan karena Windi mengganti orang lain tanpa informasi ke saya sebelumnya.

Jasman tiba sekitar jam 7.30 pagi. Wajahnya terlihat kusut sehingga saya tidak tega mengomeli sopir pengganti Windi yang akan menemani saya selama 2 hari perjalanan ke beberapa tempat di Sumatera Barat. Walau masih kesal, namun saya menahan diri mengingat keselamatan perjalanan kami berada ditangan Jasman. Koper saya diambil alih dan ditaruh ke bagasi di belakang. Saya menyimpan ransel kamera di deretan kursi bagian tengah. Saya duduk menemani Jasman di depan. Kami meninggalkan hotel jam 7.40 pagi alias telah terlambat 40 menit dari waktu keberangkatan yang saya sepakati dengan Windi hari kemarin. Saya mengambil inisiatif mengajak Jasman ngobrol ringan sepanjang perjalanan dari hotel mengarah ke luar kota Padang, termasuk menanyakan tempat kami mengisi bensin sebagaimana kesepakatan saya dan Windi. Dari obrolan ringan tersebut, saya mendapatkan informasi bahwa Jasman adalah ayahnya Windi. Windi merupakan anak tunggal. Jasman menggantikan Windi, karena Windi harus mengurus penjualan mobil lain yang akan dilihat pembeli pada hari ini.

Air terjun Lembah Anai
Jalanan kota Padang yang kami lalu masih lenggang, rapi dan bersih. Mungkin karena masih pagi di hari Sabtu. Jalanan dihiasi rimbunan pepohonan, terutama di kanan yang menjadi pembatas dengan arah sebaliknya di sebelah kanan saya. Sampai di satu tempat, Jasman membelokan mobil ke kiri jalan menuju suatu tempat pengisian bahan bakar yang terletak tidak jauh dari jalan tersebut. Saya membayar 235ribu untuk pengisian full tanki yang diminta Jasman ke penjual. Selesai mengisi bensin kami melanjutkan perjalanan ke Lembah Anai yang berjarak 1,5 jam perjalanan mobil dari Padang. Meninggalkan Kota Padang, mobil memasuki kawasan Kabupaten Padang Pariaman. Jalanan yang semula rapi, bersih dan mulus sekarang berganti agak bergelombang dan berdebu. Pinggiran jalan
Air terjun Lembah Anai
yang semula didominasi bangunan ruko dan pemukiman mulai berganti pemandangan alam berupa kebun, sawah dana perbukitan apalagi saat kami akan memasuki lembah Anai. Pemandangan didominasi jejeran bukit hijau karena tutupan kerimbunan hutan.

Air terjun lembah Anai terletak di tepi jalan utama Padang Pariaman - Bukit Tinggi. Jasman memarkir mobil di tepi jalan berjejer dengan mobil-mobil lain yang telah tiba terlebih dahulu. Puluhan meter dari air terjun tersebut berjejer kios penjual makanan dan minuman sampai dengan gerbang ke kompleks air terjun. Seorang lelaki bisu sedang duduk di atas kursi plastik usang depan gerbang. Di depannya terletak kotak donasi yang telah terisi dengan uang kertas bernilai beragam. Saat saya melangkah melewatinya tanpa memberikan donasi, pria itu kelihatan sebal dan berteriak-teriak seperti memberitahu orang-orang sekitar situ. Sambil tersenyum dan menggunakan isyarat, saya menginformasikan kepada pria tersebut bahwa donasi akan saya berikan setelah keluar dari lokasi air terjun. Saya terus melangkah menapaki jalanan selebar 1 meteran yang
Air terjun Lembah Anai
bagian kanannya dipagari pagar pembatas dengan jalan raya. Bagian kirinya lebih tinggi sekitar 50cm dari jalan tersebut. 2 pedagang batu akik - seorang laki-laki dan seorang perempuan - terlihat sedang membuka lapak dagangan disitu. Saya tersenyum dan mengangguk sambil berjalan melewati mereka hingga tiba di lokasi air terjun. Hawa sejuk sangat terasa saat saya tiba dekat lokasi air terjun. Puluhan orang, baik perempuan maupun laki-laki, dewasa dan anak-anak terlihat sedang beraksi di lokasi tersebut, termasuk bergaya dan berfoto. Beberapa tukang foto setempat terlihat berseliweran menawarkan jasa mereka sambil menunjukan hasil-hasil pemotretan sebelumnya. Saya tidak tahu apakah ada yang menggunakan jasa mereka atau tidak. Namun saat saya berada di lokasi tersebut, terlihat masing-masing orang atau group sibuk dengan kameranya.

Kenalan di air terjun Lembah Anai
Saya mengambil beberapa foto lalu meminta seorang tukang foto keliling memotret diri saya menggunakan kamera saya tentunya. Setelah itu saya turun ke sungai mencoba merasakan dinginnya air terjun yang mengalir ke sungai di bawahnya. Selesai mencuci tangan dan muka, saya mengambil posisi lagi untuk memotret. Saya meminta seorang lelaki yang sedang menemani 2 perempuan berjilbab untuk memotret diri saya lagi. Setelah itu saya memotret mereka menggunakan kamera meraka dan juga kamera saya. Kami lalu berkenalan dan bertukar nomor telpon guna mengirim hasil foto saya melalui fasilitas WA tentunya. Saya menikmati suasana sejuk tempat tersebut sekitar 20 menit kemudian beranjak meninggalkan lokasi saat satu kelompok berjumlah puluhan orang terlihat berjalan beriringan memasuki lokasi. Sampai di gerbang, saya memberikan donasi ke kota donasi yang dijaga pria bisu tersebut. Setelah membeli air mineral dan biskut di salah satu kios depan gerbang, saya dan Jasman memasuki mobil dan bergerak meninggalkan lokasi air terjun lembah Anai.

Rumah makan 

Mobil meliuk-liuk di jalan berkelok-kelok yang mulai mendaki. Sekitar 15 menit dari lokasi air terjun, pemandangan alam mulai berganti rumah-rumah penduduk beratap tanduk kerbau khas rumah Minang. Mobil dibelokan ke pinggir jalan sebelah kiri memasuki lokasi rumah makan Sate Mak Syukur. Teman saya merekomendasikan mampir menikmati sate padang di rumah makan ini. 20 menit merupakan waktu tempuh dari air terjun lembah Anai ke sate Mak Syukur. Jejeran mobil terlihat diparkir di halaman rumah makan tersebut mengindikasikan ramainya pengunjung. Saya dan Jasman memasuki rumah makan dan
Unti di rumah makan Sate Mak Syukur
mencari tempat duduk kosong yang masih ada. Seorang pelayan laki-laki menghampiri kami dan menanyakan pesanan kami. Saya meminta 2 porsi sate dan air mineral. Jasman meminta jus alpukat. Selain kerupuk, kami juga disuguhi sejenis makanan tradisional yang terbungkus daun berminyak. Namanya Unti, kata Jasman. Terbuat dari campuran tepung beras, gula dan kelapa yang dimasak menggunakan air kelapa sehingga pembungkusnya kelihatan berminyak, lanjut Jasman. Sambil menunggu sate dihidangkan, saya mencoba Unti yang tentu saja enak rasanya walau berminyak.

Sate dihidangkan dalam piring yang telah dilapisi daun pisang. Saya mencicipi sate panas tersebut secara perlahan guna merasakan sensasi kenikmatannya - yang memang benar-benar berbeda dengan sate-sate padang yang telah pernah saya cicipi di berbagai tempat di Jakarta. Ternyata benar kata teman saya, sate Mak Syukur sangat empuk, gurih dan enak. Dengan harga 20ribu rupiah per porsi, lidah saya telah bisa merasakan sensasi kenikmatan sate padang di wilayah asalnya. Saya dan Jasman
Sate Mak Syukur
menghabiskan waktu sekitar 30 menit di rumah makan ini lalu melanjutkan perjalanan kami ke Danau Singkarak di Kabupaten Solok. Mobil melaju meninggalkan rumah makan sate Mak Syukur. Sekitar 5 menit dari rumah makan, mobil belok kanan menyusuri jalanan ibukota salah satu kecamatan di Tanah Datar. Menurut Jasman, jika kami langsung ke Bukit Tinggi, maka kami harus mengambil jalan lurus, tidak belok kanan. Saya hanya mengiyakan saja sambil menikmati pemandangan silih berganti dari tempat duduk saya di dalam mobil yang melaju melewati jalanan mulus yang sedang kami lalui.

20an menit kemudian saya mulai melihat danau kebiruan berselimut kabut berjarak ratusan meter di sebelah kanan jalan yang sedang kami lalui. Danau seperti berada dalam suatu kuali raksasa yang terbentuk dari jejeran berbukitan hijau. Airnya terlihat sangat tenang dan diam tanpa riak. Sekitar 10 menit kemudian, kami mulai mendekati pinggiran danau yang dikelilingi pemukiman. Kanan dan kiri jalan yang kami lalui dijejeri rumah toko yang menjual aneka barang dagangan, termasuk makanan dan hasil
Danau Singkarak
bumi. Karena tidak melihat tempat rekreasi tepi danau yang digunakan masyarakat umum, maka mobil kami terus menyusuri jalan raya di tepi danau mencari tempat ideal menikmati danau Singkarak, termasuk memotret. Mobil melewati jembatan yang kerangkanya terbuat dari baja abu-abu yang terlihat mengkilap diterangi matahari siang. Sungai di bawah jembatan mengalirkan air danau keluar yang digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk mengairi persawahan, kata Jasman. Saya hanya mengangguk-angguk menanggapi informasi tersebut. Danau Singkarak terletak di wilayah 2 kabupaten, yakni Solok dan Tanah Datar, kata Jasman. Danau ini merupakan hulu 2 sungai (batang), yakni Ombilin dan Anai dengan luas 108,7 km2.

Danau Singkarak 
Mobil kami terus melaju perlahan melewati suatu belokan setelah jembatan hingga tiba di suatu hamparan kosong yang tidak diokupasi pemukiman. Seorang lelaki sedang duduk merenung di suatu tempat duduk beton di bawah kerimbunan satu pohon Ketapang di tepi danau. Saya berjalan ke lokasi tersebut lalu mengangguk sambil tersenyum dan berkata permisi ke lelaki itu. Lelaki itu tersenyum balik dan mengangguk. Saya mencari posisi dan mulai memotret, kemudian menyapa lelaki itu dan ngobrol santai sambil duduk di sisi lain beton tersebut. Saya meminta Jasman memotret kami berdua lalu meminta lelaki tersebut memotret saya dan Jasman. Saat kami ngobrol-ngobrol, lelaki itu
Kenalan di tepi Danau Singkarak 
menginformasikan ke kami posisi ideal memotret danau Singkarak, yakni dari atas bukit atau dekat jembatan. Setelah puas menikmati danau Singkarak yang hening dan terlihat bersih, saya dan Jasman pamit melanjutkan perjalanan. Mobil berputar balik dan bergerak ke arah jembatan yang telah kami lalui. Sebelum melewati jembatan, Jasman membelokan mobil ke kenan menyusuri jalan mendaki di sebelah jembatan. Kami mengikuti saran si lelaki tepi danau Singkarak, yakni mencari posisi ideal di perbukitan atas danau guna memotret danau dari ketinggian. Tiba di tempat yang terasa ideal, saya meminta Jasman menghentikan mobil lalu saya mulai memotret lalu kembali ke mobil dan bergerak lagi mencari tempat lain. Setelah beberapa kali dan merasa cukup, saya mengajak Jasman melanjutkan perjalanan ke Batu Angke, Batu Batikam dan Istana Pagar Ruyung. Saat mobil tiba di atas jembatan, sekali lagi saya meminta Jasman berhenti, saya turun dan mulai memotret danau dari atas jembatan. Sambil memotret saya merasa jembatan bergoyang / bergetar ketika dilewati mobil sehingga saya cepat-cepat menyelesaikan pemotretan.
Bersama Jasman di tepi Danau Singkarak

Sekali lagi mobil kami melewati jembatan lalu belok kanan sekitar 10 meter dari jembatan. Kami tidak balik menyusuri jalan yang telah dilalui sebelumnya dari lembah Anai. Kami mengambil jalan berbeda menuju Batu Angke dan Batu Batikam di Kabupaten Tanah Datar.

=======================================
Bersambung ke Batu Batikam dan Istana Pagar Ruyung





Kamis, 30 April 2015

JELAJAH EROPA BARAT - SWISS KE ITALIA: Menara Pisa dan Kota Florence

Pagi masih berkabut dan dingin di Wilderswil, Swiss (lihat catatan perjalanan di Swiss) saat saya dan rombongan teman seperjalan beramai-ramai sarapan mempersiapkan diri melanjutkan perjalanan ke Italia. Sebelum sarapan, semua anggota rombongan telah berkemas dan membawa koper masing-masing ke bis yang selanjutnya akan ditempatkan Carl ke bagasi bis. Koper berbagai ukuran dan warna berjejer di samping bis yang kami gunakan. Sementara Carl sibuk mengurus koper-koper tersebut, kami berpindah ke ruang makan menyerbu menu English breakfast - terdiri dari roti, ham, keju, susu, kopi, the dan buah - yang disiapkan pemilik sekaligus pengelola penginapan yang telah kami tempati selama 2 malam. Sekitar 30an menit kami berada di ruang makan mengenyangkan perut masing-masing mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang selama 7 jam dari Wilderswil ke Pisa sebelum masuk ke Florence.

Bus menuruni perbukitan tempat penginapan menuju jalan raya Wilderswil lalu menyusuri jalanan
tersebut menuju kota Interlaken di tepi danau. Setelah melewati salah satu danau yang mengapit kota Interlaken, bis memulai perjalanan mendaki menyusuri dinding pegunungan Alpen. Rumah-rumah pedesaan Swiss terlihat menyebar di perbukitan hijau dengan jalanan desa yang rapi dan sepi. Di beberapa tempat terlihat beberapa ekor sapi sedang merumput di rerumputan hijau yang menyebar menutupi punggung-punggung bukit bagaikan hamparan permadani hijau. Bis terus melaju mendaki menuju puncak yang disebut Susten Pass di ketinggian 2000an meter dari permukaan laut. Puncak-puncak gunung terlihat berselimutkan salju sementara lembah dihiasi
hamparan rumput hijau yang kadang diselingi jalan kecil atau sungai berair jernih. Melewati dinding perbukitan Alpen serasa berada di negeri cerita dongeng karya Christian Hans Aderson yang merupakan salah satu bacaan favorit masa kecil saya.

Bis akhirnya tiba dipuncak bernama Susten Pass. Carl menghentikan bis di tepi jalan, memberi kesempatan pada seluruh anggota rombongan, termasuk Carl dan Lenka berfoto bersama di tepi jalan Susten Pass berlatarbelakang lelehan salju. Selesai berfoto, beberapa anggota rombongan pergi ke toilet di area tersebut dilanjutkan dengan foto-foto diri baik sendiri-sendiri ataupun berdua atau dalam kelompok-kelompok kecil. Saya menggunakan kesempatan tersebut turut juga
mendokumentasikan diri di ketinggian pegunungan Alpen. Udara terasa dingin walau mentari sedang bersinar penuh di pagi hari sekitar jam 10. Tour Leader harus beberapa kali mengingatkan anggota rombongan yang asyik foto bersama di tepi jalan tersebut, karena jalan tersebut merupakan jalan utama yang menghubungkan Swiss dan Italia sehingga banyak kendaraan, terutama truk dan bis-bis besar melintasi jalan tersebut. Hanya sekitar 15 menit kami berhenti di Susten Pass untuk berfoto semata. Setelah itu, kami kembali ke bis melanjutkan perjalanan menuju Italia.

Kami tiba di perbatasan kedua negara sekitar jam 11 siang. Carl menghentikan mobil di perbatasan
memberikan waktu 15 menit bagi semuanya ke toilet di satu toko yang menjual berbagai kebutuhan, terutama makanan dan minuman seperti wine, coklat, roti dll. Beberapa anggota rombongan terlihat berbelanja setelah selesai dari toilet. Saya dan beberapa anggota rombongan lainnya sempat foto-foto bersama lalu kembali ke bis. Carl melanjutkan perjalanan hingga kami tiba di suatu perhentian Autogril sekitar jam 12 siang untuk makan siang. Kami menghabiskan waktu 30 menit di lokasi ini untuk makan siang, ke toilet dan juga istrahat. Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke Menara Pisa.

Bis memasuki tempat parkir yang berjarak 1km dari Menara pada jam 3 sore. Dari tempat parkir bis, saya dan rombongan berjalan menyusuri pedestarian diantara rumah-rumah penduduk. Di satu tempat, para PKL dari Afrika sedang membuka lapak penjualan tas dan jam tangan. Lenka (tour leader) telah mengingatkan kami agar tidak belanja apapun di para PKL tersebut karena dilarang pemerintah kota di negara-negara Eropa. Karena jual beli barang melalui para PKL tak berizin tersebut termasuk kegiatan ilegal atau pelanggaran hukum. Setelah melewati para PKL, kami belok kanan menyusuri pedestarian lagi sekitar 300an meter kemudian belok kiri menyeberangi rel kereta di satu pertigaan. Di tempat ini, kami berpapasan dengan berkelompok-kelompok turis yang berjalan balik
ke tempat parkir ataupun berjalan dari jalan lain yang lalu bersama-sama menuju Menara. Setelah melewati puluhan rumah, kami tiba di lokasi terluar kompleks menara yang dipagari pagar besi. Kiri dan kanan jalan dijejeri para penjual souvenir sepanjang puluhan meter. Kami terus berjalan hingga tiba di gerbang yang menjadi pembatas dengan kompleks Menara. Kompleks Menara merupakan suatu kawasan seluas satu lapangan bola kaki. Dalam kompleks tersebut berdiri Menara miring Pisa, Katedral dan Baptistry (Gedung Pembaptisan).


Halaman kompleks ditumbuhi rerumputan hijau yang tumbuh dari tepi pagar kompleks sampai
dengan tetirisan bangunan. Kompleks Menara dipagari pagar setinggi pinggang. Beberapa pengunjung terlihat berdiri di tiang-tuang beton pagar guna mengambil posisi foto dalam berbagai gaya. Saya ikut mencari posisi dan meminta teman perjalanan memotret gaya saya sedang memegang Menara. Di kawasan tersebut juga terdapat jalanan selebar 3 meteran yang dilalui para pengunjung sekaligus menjadi pembatas antara pagar kompleks Menara dengan jejeran kios souvenir. Selesai berkeliling dan berfoto, saya mampir ke salah satu kios membeli oleh-oleh berupa snow ball, magnet kulkas dan gantungan kunci. Setelah itu saya berjalan keluar gerbang untuk menunggu anggota rombongan lainnya. Karena belum ada yang tiba, saya sempatkan berjalan-jalan di jejeran kios souvenir luar gerbang. Seorang pedagang Asia Selatan menghampiri saya menawarkan snowball dan gantungan kulkas - yang harganya ternyata lebih murah dari harga di dalam kawasan gerbang yang dijual oleh orang Italia. Harga souvenir di dalam kawasan gerbang tidak dapat ditawar, berbeda dengan di luar gerbang yang bisa dilakukan tawar menawar.

Setelah semua berkumpul depan gerbang, kami kembali menyusuri pedestarian ke tempat parkir bus guna melanjutkan perjalanan ke penginapan di kota Florence / Firenze. Bis tiba di Florence sekitar jam 5 sore. Penginapan tujuan kami berada dalam satu kompleks dengan jejeran apartemen hunian penduduk. Gerbang samping dibuka sehingga bisa memasuki kompleks penginapan guna menurunkan semua penumpangnya. Sebagaimana kota-kota lain di Eropa Barat, bis tidak diizinkan berhenti dan parkir di jalan depan hotel. Saya turun bersama teman-teman lain lalu masing-masing mengambil kopernya yang telah dikeluarkan Carl dari bagasi bis. Masing-masing memasuki penginapan dari pintu samping lalu berkumpul di lobby. Lenka sedang mengurus dan mengambil semua kunci kamar. Saya mendapat kamar di lantai 4. Sebagaimana biasa di hotel-hotel lainnya, kami mengatur agar setiap anggota yang mendapatkan kamar di lantai yang sama menggunakan lift pada saat bersamaan guna memudahkan dan mempercepat masing-masing orang memasuki kamarnya.

Plus Florence Hostel, demikian nama penginapan tempat saya dan teman-teman menginap semalam
 di Florence sebelum melanjutkan perjalanan ke Roma. Penginapan ini sepertinya menjadi salah satu penginapan favorit turis yang terlihat dari wajah berbagai orang dari berbagai etnis dan bangsa sedang melakukan berbagai aktivitas di lobby hotel ataupun keluar masuk lift. Plus Florence Hostel berlokasi di Via Santa Caterina d'Alessandria, 15, 50129, Firenze, Italia. Kamar hostel ini cukup luas, rapi dan sangat bersih. Interiornya didisain minimalis, termasuk tempat tidur ukuran queen yang ditutupi sprei dan bed cover putih bersih. Kamar mandi sangat kecil namun apik dan bersih. Tempat shower ditutup pintu kaca sehingga air mandi tidak tampias ke area kering closet dan wastafel. Kamar saya memiliki balkon yang saya buka untuk menikmati langit kota Florence.

Selesai mandi dan ganti, saya bergegas turun ke restoran karena penginapan menyediakan welcome drink berupa red wine dan tapas (berbagai snacks, termasuk kue dan buah-buahan yang dipotong-potong kecil dan dihidangkan di piring-piring kecil. Tapas merupakan snacks khas negara-negara Eropa latin, karena kudapan ini saya
temukan juga di Spanyol, namun tidak saya temukan di Inggris, Belanda dan Jerman. Seorang staf hotel melayani kami di restoran terbuka di lantai 3 penginapan tersebut. Kami duduk berkelompok 3 - 5 orang menikmati tapas, red wine dan beraneka jus sambil ngobrol ngarol ngidul menunggu waktu memulai kunjungan ke berbagai obyek wisata di kota tua Florence.

Bersambung

Selasa, 14 April 2015

AMAZING INDONESIA. WONDERFUL FLORES: Kampung Wologai dan Pantai Nangapanda

Di salah satu pantai Nangapanda
Rumah-rumah asli dan pusaka adat telah terbakar habis pada tahun 2013 lalu. Hanya 1 tambur pusaka terbuat dari kulit manusia yang terselamatkan. Tambur tersebut pada zaman dulu digunakan untuk memanggil semua anggota suku berkumpul di Wologai guna melakukan upacara adat. Tambur hanya berbunyi saat ditabuh menggunakan helai rambut manusia yang mana bunyinya hanya dapat didengar oleh para kepala suku yang berasal dari Wologai. Semua yang ada sekarang merupakan rumah baru yang dibangun kembali menggunakan dana bantuan pemerintah, demikian kisah yang dituturkan Yohanes, sekretaris desa Wologai yang menemani saya dan Achmad berkunjung ke kampung adat Wologai.

Mobil yang disopiri Yudi berbelok ke kanan jalan setelah melaju sekitar 15 menit dari
Gerbang kampung adat Wologai 
kampung Moni di kaki gunung Kelimutu. Wologai terletak di ketinggian perbukitan Detusoko, namun tidak jauh dari jalan beraspal mulus sehingga memudahkan akses bagi pengunjung. Saat mobil memasuki kawasan perkampungan tersebut, saya memperhatikan adanya penataan dan pembenahan dari gerbang hinggi kampung adatnya. Papan bertuliskan selamat datang menggantung di gerbang kampung tersebut. Bagi pengunjung disediakan tempat parkir berjarak sekitar 10 meter dari gerbang. Setelah mobil diparkir, saya turun bersama Yudi dan Achmad yang berjalan mendampingi saya menuju kantor desa Wologai untuk melakukan registrasi dan memberikan donasi, tidak ada tiket masuk serta tidak ada pungutan wajib. Saya memasukan 50ribu rupiah ke kotak donasi dan mengisi buku tamu yang disediakan di kantor desa tersebut. Letak kantor desa lebih rendah sekitar 2 meter dari jalan kampung sehingga akses masuk dan keluar menggunakan tangga dari batu-batu padas yang telah disusun dan disemen.

Saya, Yohanes dan Achmad berjalan sambil bercakap-cakap menuju kompleks kampung adat yang
Bersama Yohanes, Sekretaris Desa Wologai
terletak sekitar 50an meter dari  kantor desa. Satu pohon beringin besar dan rimbun berdiri kokoh di luar gerbang kampung. Menurut Yohanes, beringin tersebut telah berumur ratusan tahun sepertinya berusia sama dengan kampung adat Wologai. Di depan gerbang kampung adat ada tulisan dilarang merokok. Yohanes menuturkan larangan merokok tersebut diberlakukan secara adat - pelanggar akan dikenakan sanksi adat - guna mencegah terulangnya kebakaran yang memusnahkan seluruh rumah dan benda pusaka di kampung tersebut. Dari gerbang masuk, kami belok kiri dan berjalan memutar secara perlahan. Rumah-rumah panggung dari kayu di kampung tersebut terlihat masih baru. Atapnya terbuat dari alang-alang.
Rumah-rumah di kampung Wologai
Hanya ada sekitar 10 rumah dari sisi kiri sampai kanan dalam area berbentuk lingkaran. Rumah kepala suku terletak di sisi kanan dan lebih besar dari rumah lainnya. Rumah kepala suku terbagi ke dalam 2 bagian, yakni bagian depan yang semi terbuka sebagai tempat menerima tamu serta bagian dalam bagi pemilik rumah dan keluarganya. Antara bagian depan dalam dibatasi pintu berdaun 2 berhiaskan ukiran payudara perempuan sebagai lambang kesuburan bagi masyarakat adat Wologai. Kampung tersebut terletak di area yang lebih tinggi dari kawasan sekitarnya. Menurut Yohanes, pahlawan Ende bernama Marilonga berasal dari kampung tersebut yang menjadi kampung induk bagi beberapa suku yang wajib menghadiri upacara-upacara adat pada waktunya.

Menhir di tempat upacara adat kampung Wologai
Tempat upacara yang juga berbentuk lingkaran terletak di tengah-tengah kampung berjarak sekitar 10 meter dari gerbang. Di tengah tempat upacara berdiri kokoh 2 baru menhir berwarna abu-abu gelap dalam ukuran berbeda sebagai pusat upacara dan penyerahan kurban. Sekitar 5 meter dari batu menhir terletak satu bale-bale dan pondok yang menjadi tempat duduk para kepala suku / musolaki memimpin upacara adat saat upacara sedang berlangsung. Pengunjung dilarang memasuki tempat upacara tersebut. Pada sisi kiri dan kanan terdapat jalan masuk ke tempat upacara berupa tangga dari batu-batu padas berbagai ukuran dan bentuk. Saya diizinkan berdiri di tangga bagian kanan guna memotret tempat upacara, termasuk batu menhir tersebut. Sambil terus ngobrol, kami berjalan kembali ke arah gerbang. Beberapa tukang sedang sibuk membangun satu rumah adat lagi di sebelah kanan gerbang. Dari susunan rumah yang dibangun dan pembangunan yang masih sedang berjalan, saya berkesimpulan pembangunan rumah-rumah adat tersebut dimulai dari sisi kiri gerbang terus ke belakang lalu melingkar ke kanan.

Tempat para kepala suku berkumpul saat upacara adat
Saya diperkenalkan ke seorang tua adat yang sedang berdiri mengawasi pembangunan rumah tersebut. Setelah berjabatan tangan dan bercakap cakap, saya pamit guna meneruskan perjalanan. Yohanes mengantar saya dan Achmad kembali ke mobil yang sedang menunggu di tempat parkir. Yudi sedang tertidur nyenyak di kursi sopir saat kami tiba. Dengkurnya terdengar sampai ke luar mobil. Saya mengetuk-ngetuk pintu mobil membangunkan Yudi yang terbangun sambil gelagapan. Saya tertawa-tawa sementara Yohanes dan Achmad hanya tersenyum. Saya menjabat tangan Yohanes, mengucapkan terima kasih lalu memasuki mobil yang telah dihidupkan Yudi dan siap kembali ke Ende. Yohanes tetap berdiri di tempat parkir melihat dan melambaikan tangannya ke mobil kami yang mulai melaju meninggalkan kampung Wologai.

Salah satu pantai Kota Ende 
Dalam perjalanan kembali ke Ende, kami sempatkan mampir di salah satu kios di kota kecamatan Detusoko guna membeli minuman dingin melepaskan dahaga. Setelah itu mobil kembali melaju membelah jalanan trans Flores yang menghubungkan Ende dan Ruteng. Sekali lagi kami melewati pasar tradisional di pinggiran kota Ende. Yudi mengajak saya ke suatu tempat di kawasan perbukitan di atas kota Ende guna menunjukan ke saya kota Ende dari ketinggian. Setelah melewati pasar, mobil belok kiri menyusuri jalanan datar yang mana sisi kiri dan kanannya berhiaskan rumah-rumah penduduk, kebun dan terkadang pantai-pantai indah. Sekitar 10 menit setelah melewati pemukinan penduduk dan pantai-pantai indah Kota Ende, mobil belok kiri lagi dan mulai mendaki. Jalanan yang kami lalui dalam kondisi berlubang-lubang dan sempit yang hanya dapat dilalui 1 mobil, sehingga mobil berjalan perlahan dan hati-hati. Kami melewati pemukiman dan pepohonan rimbun di kebun-kebun penduduk dan kadang jurang di kiri atau kanan. Akhirnya kami tiba di tempat tujuan di perbukitan atas kota Ende. Mobil diparkir di tepi jalan. Yudi tersenyum ceria menunjuk ke bawah memperlihatkan hamparan kota Ende di tepi teluk. Warna biru air laut perpadu buih-buih putih lidah gelombang di tepi pantai terlihat jelas dari tempat
Teluk dan kota Ende dari perbukitan
saya berdiri. Hamparan pemukiman padat terlihat menyebar dari tepi pantai hingga ketinggian perbukitan. Saya mencoba mencari posisi ideal untuk memotret landscape di bawah sana. Yudi menunjuk atap satu bangunan di tengah kebun sebagai tempat memotret yang ideal. Saya dan Achmad lalu berjalan menuruni bukit melalui setapak yang mengarah ke kebun tersebut. Kami masuk ke dalam kebun melalui lubang di pagar yang menghadap ke jalan. Sepertinya lubang tersebut sengaja dibuat para pengunjung yang secara ilegal masuk ke kebun tersebut guna mengakses atap gedung yang digunakan sebagai lokasi memotret teluk dan kota Ende di bawah perbukitan. Saya menduga Yudi sering membawa pengunjung ke lokasi tersebut. Karena setapak yang saya lalui kelihatan sering digunakan.

Teluk dan kota Ende dari perbukitan
Atap bangunan tersebut seperti muncul dari dalam tanah dengan tinggi sekitar 75cm (tinggi meja kerja) dari tanah kebun tempat saya berdiri. Atap berbentuk hamparan datar dari semen dan beton tersebut ternyata merupakan atap bangunan PDAM yang mensupply air ke kota Ende. Saya meletakan kedua tangan di tepi atap sebagai tumpuan mengangkat tubuh saya ke atas. Gaya yang diikuti Achmad sehingga kami berdua berada di atas atap. Saya mengambil beberapa foto ke teluk dan kota Ende, kemudian meminta Achmad memotret diri saya dengan latar belakang yang sama. Yudi berteriak menyuruh
Teluk dan kota Ende dari perbukitan
kami cepat-cepat  menyelesaikan aktifitas memotret melalui atap tersebut, karena kuatir diketahui security. Saya dan Achmad segera menyelesaikan pemotretan dan bergegas kembali ke mobil dan Yudi yang sedang menunggu di tepi jalan. Setelah kami kembali ke dalam mobil, Yudi menghidupkan dan menjalankan mobil kembali menyusuri jalanan yang kami lalui sebelumnya. Kami kembali ke kota Ende menuruni perbukitan, melewati pemukiman dan tepian-tepian pantai indah saat tiba di dataran kaki perbukitan. Saya meminta Yudi membawa kami ke warung makanan tradisional di samping gerbang bandara kota Ende.

Salah satu pantai Kota Ende
Kami menghabiskan sekitar 1 jam di warung tersebut untuk makan siang dan ngobrol berbagai hal. Setelah itu saya meminta Yudi mengantar saya kembali ke hotel guna beristrahat karena siang hari sangat terik dan tempat wisata yang akan kami kunjungi tersisa satu saja, yakni pantai-pantai indah di Nangapanda sekalian menikmati sunset hari terakhir di Ende karena esok hari saya akan kembali ke Jakarta. Kamar hotel yang berAC sangat menyejukan dan adem melepaskan diri dari panas teriknya matahari di bumi Flores dan kepenatan perjalan sejak subuh hari tadi. Saya berleha-leha beberapa saat kemudian beranjak ke kamar mandi membersihkan diri dilanjutkan dengan beristrahat.

Salah satu pantai di Nangapanda
Jam 3.20  sore saat Yudi mengetuk pintu kamar. Saya bangun membuka pintu dan mempersilahkan Yudi masuk dan duduk di kursi yang tersedia di depan bufet hias sambil menunggu saya membasuh muka menyegarkan kembali wajah saya yang baru bangun tidur. Selesai bersih-bersih dan ganti baju, kami beriringan keluar kamar hotel menuju mobil yang telah menunggu di depan hotel. Saya meninggalkan kunci kamar di resepsionis lalu beranjak keluar menuju mobil yang telah dinyalakan mesinnya oleh Yudi. Perjalanan saya ke pantai-pantai di Nagapanda hanya ditemani Yudi. Achmad tidak lagi menyertai perjalanan kami sore hari ini. Karena itu saya harus mengajarkan
Salah satu pantai di Nangapanda
teknik fotografi dasar ke Yudi agar dia bisa memotret berbagai momen kunjungan saya ke Nangapanda. Keluar dari pekarangan hotel, mobil mengambil jalan ke kanan menuruni jalan Pahlawan depan hotel menuju pantai Ende. Tiba di pertigaan jalan depan pantai, mobil belok kanan lalu  menyusuri jalan mulus di tepi pantai mengarah ke luar kota menelusuri kembali jalan yang saya lalui 2 hari silam saat datang dari Ruteng (Manggarai) - Ngada - Nagakeo - Ende.

Sekitar 1km dari mesjid megah di pinggir jalan yang kami lalui, Yudi menghentikan mobil guna memberi saya kesempatan memotret ombak yang bergulung dan terhempas ke pantai berlatar belakang mesjid. Setelah itu, kami kembali ke mobil yang melaju ke luar kota Ende. Kontur geografis dataran mulai berganti perbukitan. Kiri dan kanan jalan dipenuhi kebun-kebun dan rumah-rumah
Salah satu pantai kota Ende dan menara mesjid di latar belakang
penduduk. Jalan yang kami tempuh seperti terukir di punggung-punggung bukit dengan hamparan pantai dan laut di sebelah kiri dan dinding-dinding bukit di sebelah kanan. Sekitar 15 menit perjalanan dari kota Ende, Yudi menghentikan mobil di tepi jalan di ketinggian suatu bukit yang menyajikan lautan luas dan pulau Ende di horison serta hamparan pasir bersama buih-buih ombak nun jauh di bawah. Puluhan perahu nelayan sedang berlabuh di pantai tersebut menyebar dari tepi pantai hingga laut lepas. Tempat tersebut sepertinya merupakan salah satu tempat para pengunjung menikmati lukisan alam sang Pencipta. Warna biru lautan berpadu dengan warna putih buih-buih ombak yang menghempas ke pasir pantai berwarna coklat berhiaskan warna-warni perahu yang terayun-ayun dalam buaian ombak menciptakan imaginasi tak bertepi. Setelah menikmati alam sekitar selama berberapa menit, Yudi mengajak saya melanjutkan perjalanan.

Salah satu mobil penumpang di pulau Flores
Kadang mobil kami bersua truk-truk yang telah diubah menjadi mobil angkutan jarak jauh dengan memberikan bangku-bangku yang berjejer dari depan ke belakang serta diberi atap kayu. Beberapa kali kami berjumpa dengan truk yang penuh muatan sehingga beberapa penumpang  memilih duduk di atas atap truk - seperti era kereta ekonomi Jakarta-Bogor beberapa tahun silam. Mobil kami terus melaju hingga tiba di suatu dataran yang tepi pantainya telah diubah menjadi pelabuhan ferry. Yudi membelokan mobil ke jalan menuju pelabuhan tersebut. Namun kami tidak memasuki gerbang pelabuhan.

Yudi di salah satu pantai di Nangapanda
Mobil dihentikan sekitar 10 meter dari gerbang lalu saya dan Yudi turun dan berjalan kaki telanjang ke tepi pantai yang tidak jauh dari pelabuhan ferry tersebut. Kami melewati 2 tukang yang sedang sibuk menyelesaikan satu perahu. Seorang anak laki-laki terlihat menemani kedua lelaki dewasa tersebut. Saya tersenyum sambil mengucapkan permisi. Mereka membalas tersenyum sambil mengangguk. Kulit telapak kaki saya menyentuh pasir pantai yang masih basah saat kami tiba di tepi pantai. Di depan saya terhampar lautan luas. Di sisi kiri saya terletak pelabuhan ferry yang berjarak seratusan meter sedangkan di kanan saya terhampar dinding bukit yang menjadi pembatas dengan pantai.
Salah satu pantai di Nangapanda
Saya berjalan mendekati air dan membiarkan kaki-kaki saya dibelai lidah-lidah ombak.  Saya terus berjalan ke arah kanan menuju hamparan batu-batu  karang yang sambung menyambung dengan dinding bukit. Kulit-kulit telapak kaki saya menyentuh hamparan karan, menghadirkan rasa kasar dan sedikit sensasi sakit karena karang yang agak tajam bagi telapak yang terbiasa memakai sepatu dan sandal. Saya terus berjalan berlahan dan hati-hati menuju dinding bukit terdekat mencari tempat ideal untuk memotret. Setelah memotret beberapa obyek, saya menyerahkan kamera ke Yudi dan memberikan petunjuk pengunaannya lalu meminta Yudi memotret diri saya di lokasi tersebut. Kami menghabiskan sekitar 1 jam di lokasi ini lalu kembali ke mobil untuk pindah ke pantai lainnya di jalur tersebut.

Salah satu pantai di Nangapanda
Jarak 10 menit perjalanan mobil dari pantai pelabuhan ferry, Yudi menghentikan mobil di tepi jalan di bawah satu pohon besar. Yudi mengajak saya menuruni bukit ke pantai di bawah. Kami secara perlahan dan hati-hati meniti anak-anak tangga yang terbentuk dari akar-akar pohon di tepi jalan itu hingga tiba di pantai. Sekali lagi pantai sangat indah terhampar di depan saya. Punggung bukit berwarna krem membentuk dinding berbagai motif karena telah mengalami interaksi ratusan atau mungkin jutaan tahun dengan air laut. Karena saat kunjungan tersebut air sedang surut, maka dinding bukit terlihat indah dengan lekukan-lekukakn tertentu berjarak sekitar 10 meter dari lidah gelombang laut.
Salah satu pantai di Nangapanda
Dinding-dinding alam tersebut menjadi lokasi foto yang menarik. Saya dan Yudi bermain-main di pantai ini menunggu sunset menjelang. Sekitar 1 jam berlalu saat Yudi mengajak saya kembali ke mobil. Kami beriringan kemabli mendaki tangga alam hingga tiba di mobil dengan nafas ngos-ngosan, terutama Yudi yang kelebihan berat tubuh. Kami mengaso di depan mobil sambil ngobrol dan foto-foto. Setelah nafas kembali normal dan keringat pun hilang, kami berdua memasuki mobil dan melanjutkan perjalanan menuju pantai lain guna menunggu dan menikmati sunset.

Sunset di salah satu pantai di Nangapanda
Jam 5 lewat saat kami tiba di tempat tujuan akhir. Pantainya terletak di belakang pemukiman. Yudi memarkir mobil di halaman salah satu rumah lalu kami keluar dan berjalan ke pantai di belakang rumah tersebut. Antara pantai dan pemukiman telah diberi pembatas tembok setinggi 75an cm. Sekelompok anak laki-laki sedang bermain sepak bola di tepi pantai sebelah kanan saya. Posisi matahari masih sedang bergeser perlahan ke arah Barat menuju posisi ideal sunset. Saya dan Yudi duduk nongkrong sambil ngobrol di tembok pembatas pantai dan pemukiman. Sesekali kami memotret momen-momen tertentu hinga sunset tiba. Saya dan Yudi bergerak mencari posisi dan mulai mengabadikan perjalanan matahari
Memotret anak-anak yang sedang bermain di pantai Nangapanda
menuju sunset, saat sunset dan saat matahari telah benar-benar menghilang di ufuk Barat meninggalkan semburat jingga kekuningan menuju kegelapan malam. Sesekali terlihat sekelompok burung melintas langit. Suara ceria anak anak masih terdengar. Mereka masih sedang bermain, berlari dan berkejaran walau matahari telah menghilang. Saya mengajak Yudi kembali ke mobil untuk pulang ke hotel di kota Ende.

Bersambung...
Sunset di salah satu pantai di Nangapanda


       

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...