|
Di salah satu pantai Nangapanda |
Rumah-rumah asli dan pusaka adat telah terbakar habis pada tahun 2013 lalu. Hanya 1 tambur pusaka terbuat dari kulit manusia yang terselamatkan. Tambur tersebut pada zaman dulu digunakan untuk memanggil semua anggota suku berkumpul di Wologai guna melakukan upacara adat. Tambur hanya berbunyi saat ditabuh menggunakan helai rambut manusia yang mana bunyinya hanya dapat didengar oleh para kepala suku yang berasal dari Wologai. Semua yang ada sekarang merupakan rumah baru yang dibangun kembali menggunakan dana bantuan pemerintah, demikian kisah yang dituturkan Yohanes, sekretaris desa Wologai yang menemani saya dan Achmad berkunjung ke kampung adat Wologai.
Mobil yang disopiri Yudi berbelok ke kanan jalan setelah melaju sekitar 15 menit dari
|
Gerbang kampung adat Wologai |
kampung Moni di kaki gunung Kelimutu. Wologai terletak di ketinggian perbukitan Detusoko, namun tidak jauh dari jalan beraspal mulus sehingga memudahkan akses bagi pengunjung. Saat mobil memasuki kawasan perkampungan tersebut, saya memperhatikan adanya penataan dan pembenahan dari gerbang hinggi kampung adatnya. Papan bertuliskan selamat datang menggantung di gerbang kampung tersebut. Bagi pengunjung disediakan tempat parkir berjarak sekitar 10 meter dari gerbang. Setelah mobil diparkir, saya turun bersama Yudi dan Achmad yang berjalan mendampingi saya menuju kantor desa Wologai untuk melakukan registrasi dan memberikan donasi, tidak ada tiket masuk serta tidak ada pungutan wajib. Saya memasukan 50ribu rupiah ke kotak donasi dan mengisi buku tamu yang disediakan di kantor desa tersebut. Letak kantor desa lebih rendah sekitar 2 meter dari jalan kampung sehingga akses masuk dan keluar menggunakan tangga dari batu-batu padas yang telah disusun dan disemen.
Saya, Yohanes dan Achmad berjalan sambil bercakap-cakap menuju kompleks kampung adat yang
|
Bersama Yohanes, Sekretaris Desa Wologai |
terletak sekitar 50an meter dari kantor desa. Satu pohon beringin besar dan rimbun berdiri kokoh di luar gerbang kampung. Menurut Yohanes, beringin tersebut telah berumur ratusan tahun sepertinya berusia sama dengan kampung adat Wologai. Di depan gerbang kampung adat ada tulisan dilarang merokok. Yohanes menuturkan larangan merokok tersebut diberlakukan secara adat - pelanggar akan dikenakan sanksi adat - guna mencegah terulangnya kebakaran yang memusnahkan seluruh rumah dan benda pusaka di kampung tersebut. Dari gerbang masuk, kami belok kiri dan berjalan memutar secara perlahan. Rumah-rumah panggung dari kayu di kampung tersebut terlihat masih baru. Atapnya terbuat dari alang-alang.
|
Rumah-rumah di kampung Wologai |
Hanya ada sekitar 10 rumah dari sisi kiri sampai kanan dalam area berbentuk lingkaran. Rumah kepala suku terletak di sisi kanan dan lebih besar dari rumah lainnya. Rumah kepala suku terbagi ke dalam 2 bagian, yakni bagian depan yang semi terbuka sebagai tempat menerima tamu serta bagian dalam bagi pemilik rumah dan keluarganya. Antara bagian depan dalam dibatasi pintu berdaun 2 berhiaskan ukiran payudara perempuan sebagai lambang kesuburan bagi masyarakat adat Wologai. Kampung tersebut terletak di area yang lebih tinggi dari kawasan sekitarnya. Menurut Yohanes, pahlawan Ende bernama Marilonga berasal dari kampung tersebut yang menjadi kampung induk bagi beberapa suku yang wajib menghadiri upacara-upacara adat pada waktunya.
|
Menhir di tempat upacara adat kampung Wologai |
Tempat upacara yang juga berbentuk lingkaran terletak di tengah-tengah kampung berjarak sekitar 10 meter dari gerbang. Di tengah tempat upacara berdiri kokoh 2 baru menhir berwarna abu-abu gelap dalam ukuran berbeda sebagai pusat upacara dan penyerahan kurban. Sekitar 5 meter dari batu menhir terletak satu bale-bale dan pondok yang menjadi tempat duduk para kepala suku / musolaki memimpin upacara adat saat upacara sedang berlangsung. Pengunjung dilarang memasuki tempat upacara tersebut. Pada sisi kiri dan kanan terdapat jalan masuk ke tempat upacara berupa tangga dari batu-batu padas berbagai ukuran dan bentuk. Saya diizinkan berdiri di tangga bagian kanan guna memotret tempat upacara, termasuk batu menhir tersebut. Sambil terus ngobrol, kami berjalan kembali ke arah gerbang. Beberapa tukang sedang sibuk membangun satu rumah adat lagi di sebelah kanan gerbang. Dari susunan rumah yang dibangun dan pembangunan yang masih sedang berjalan, saya berkesimpulan pembangunan rumah-rumah adat tersebut dimulai dari sisi kiri gerbang terus ke belakang lalu melingkar ke kanan.
|
Tempat para kepala suku berkumpul saat upacara adat |
Saya diperkenalkan ke seorang tua adat yang sedang berdiri mengawasi pembangunan rumah tersebut. Setelah berjabatan tangan dan bercakap cakap, saya pamit guna meneruskan perjalanan. Yohanes mengantar saya dan Achmad kembali ke mobil yang sedang menunggu di tempat parkir. Yudi sedang tertidur nyenyak di kursi sopir saat kami tiba. Dengkurnya terdengar sampai ke luar mobil. Saya mengetuk-ngetuk pintu mobil membangunkan Yudi yang terbangun sambil gelagapan. Saya tertawa-tawa sementara Yohanes dan Achmad hanya tersenyum. Saya menjabat tangan Yohanes, mengucapkan terima kasih lalu memasuki mobil yang telah dihidupkan Yudi dan siap kembali ke Ende. Yohanes tetap berdiri di tempat parkir melihat dan melambaikan tangannya ke mobil kami yang mulai melaju meninggalkan kampung Wologai.
|
Salah satu pantai Kota Ende |
Dalam perjalanan kembali ke Ende, kami sempatkan mampir di salah satu kios di kota kecamatan Detusoko guna membeli minuman dingin melepaskan dahaga. Setelah itu mobil kembali melaju membelah jalanan trans Flores yang menghubungkan Ende dan Ruteng. Sekali lagi kami melewati pasar tradisional di pinggiran kota Ende. Yudi mengajak saya ke suatu tempat di kawasan perbukitan di atas kota Ende guna menunjukan ke saya kota Ende dari ketinggian. Setelah melewati pasar, mobil belok kiri menyusuri jalanan datar yang mana sisi kiri dan kanannya berhiaskan rumah-rumah penduduk, kebun dan terkadang pantai-pantai indah. Sekitar 10 menit setelah melewati pemukinan penduduk dan pantai-pantai indah Kota Ende, mobil belok kiri lagi dan mulai mendaki. Jalanan yang kami lalui dalam kondisi berlubang-lubang dan sempit yang hanya dapat dilalui 1 mobil, sehingga mobil berjalan perlahan dan hati-hati. Kami melewati pemukiman dan pepohonan rimbun di kebun-kebun penduduk dan kadang jurang di kiri atau kanan. Akhirnya kami tiba di tempat tujuan di perbukitan atas kota Ende. Mobil diparkir di tepi jalan. Yudi tersenyum ceria menunjuk ke bawah memperlihatkan hamparan kota Ende di tepi teluk. Warna biru air laut perpadu buih-buih putih lidah gelombang di tepi pantai terlihat jelas dari tempat
|
Teluk dan kota Ende dari perbukitan |
saya berdiri. Hamparan pemukiman padat terlihat menyebar dari tepi pantai hingga ketinggian perbukitan. Saya mencoba mencari posisi ideal untuk memotret landscape di bawah sana. Yudi menunjuk atap satu bangunan di tengah kebun sebagai tempat memotret yang ideal. Saya dan Achmad lalu berjalan menuruni bukit melalui setapak yang mengarah ke kebun tersebut. Kami masuk ke dalam kebun melalui lubang di pagar yang menghadap ke jalan. Sepertinya lubang tersebut sengaja dibuat para pengunjung yang secara ilegal masuk ke kebun tersebut guna mengakses atap gedung yang digunakan sebagai lokasi memotret teluk dan kota Ende di bawah perbukitan. Saya menduga Yudi sering membawa pengunjung ke lokasi tersebut. Karena setapak yang saya lalui kelihatan sering digunakan.
|
Teluk dan kota Ende dari perbukitan |
Atap bangunan tersebut seperti muncul dari dalam tanah dengan tinggi sekitar 75cm (tinggi meja kerja) dari tanah kebun tempat saya berdiri. Atap berbentuk hamparan datar dari semen dan beton tersebut ternyata merupakan atap bangunan PDAM yang mensupply air ke kota Ende. Saya meletakan kedua tangan di tepi atap sebagai tumpuan mengangkat tubuh saya ke atas. Gaya yang diikuti Achmad sehingga kami berdua berada di atas atap. Saya mengambil beberapa foto ke teluk dan kota Ende, kemudian meminta Achmad memotret diri saya dengan latar belakang yang sama. Yudi berteriak menyuruh
|
Teluk dan kota Ende dari perbukitan |
kami cepat-cepat menyelesaikan aktifitas memotret melalui atap tersebut, karena kuatir diketahui
security. Saya dan Achmad segera menyelesaikan pemotretan dan bergegas kembali ke mobil dan Yudi yang sedang menunggu di tepi jalan. Setelah kami kembali ke dalam mobil, Yudi menghidupkan dan menjalankan mobil kembali menyusuri jalanan yang kami lalui sebelumnya. Kami kembali ke kota Ende menuruni perbukitan, melewati pemukiman dan tepian-tepian pantai indah saat tiba di dataran kaki perbukitan. Saya meminta Yudi membawa kami ke warung makanan tradisional di samping gerbang bandara kota Ende.
|
Salah satu pantai Kota Ende |
Kami menghabiskan sekitar 1 jam di warung tersebut untuk makan siang dan ngobrol berbagai hal. Setelah itu saya meminta Yudi mengantar saya kembali ke hotel guna beristrahat karena siang hari sangat terik dan tempat wisata yang akan kami kunjungi tersisa satu saja, yakni pantai-pantai indah di Nangapanda sekalian menikmati sunset hari terakhir di Ende karena esok hari saya akan kembali ke Jakarta. Kamar hotel yang berAC sangat menyejukan dan adem melepaskan diri dari panas teriknya matahari di bumi Flores dan kepenatan perjalan sejak subuh hari tadi. Saya berleha-leha beberapa saat kemudian beranjak ke kamar mandi membersihkan diri dilanjutkan dengan beristrahat.
|
Salah satu pantai di Nangapanda |
Jam 3.20 sore saat Yudi mengetuk pintu kamar. Saya bangun membuka pintu dan mempersilahkan Yudi masuk dan duduk di kursi yang tersedia di depan bufet hias sambil menunggu saya membasuh muka menyegarkan kembali wajah saya yang baru bangun tidur. Selesai bersih-bersih dan ganti baju, kami beriringan keluar kamar hotel menuju mobil yang telah menunggu di depan hotel. Saya meninggalkan kunci kamar di resepsionis lalu beranjak keluar menuju mobil yang telah dinyalakan mesinnya oleh Yudi. Perjalanan saya ke pantai-pantai di Nagapanda hanya ditemani Yudi. Achmad tidak lagi menyertai perjalanan kami sore hari ini. Karena itu saya harus mengajarkan
|
Salah satu pantai di Nangapanda |
teknik fotografi dasar ke Yudi agar dia bisa memotret berbagai momen kunjungan saya ke Nangapanda. Keluar dari pekarangan hotel, mobil mengambil jalan ke kanan menuruni jalan Pahlawan depan hotel menuju pantai Ende. Tiba di pertigaan jalan depan pantai, mobil belok kanan lalu menyusuri jalan mulus di tepi pantai mengarah ke luar kota menelusuri kembali jalan yang saya lalui 2 hari silam saat datang dari Ruteng (Manggarai) - Ngada - Nagakeo - Ende.
Sekitar 1km dari mesjid megah di pinggir jalan yang kami lalui, Yudi menghentikan mobil guna memberi saya kesempatan memotret ombak yang bergulung dan terhempas ke pantai berlatar belakang mesjid. Setelah itu, kami kembali ke mobil yang melaju ke luar kota Ende. Kontur geografis dataran mulai berganti perbukitan. Kiri dan kanan jalan dipenuhi kebun-kebun dan rumah-rumah
|
Salah satu pantai kota Ende dan menara mesjid di latar belakang |
penduduk. Jalan yang kami tempuh seperti terukir di punggung-punggung bukit dengan hamparan pantai dan laut di sebelah kiri dan dinding-dinding bukit di sebelah kanan. Sekitar 15 menit perjalanan dari kota Ende, Yudi menghentikan mobil di tepi jalan di ketinggian suatu bukit yang menyajikan lautan luas dan pulau Ende di horison serta hamparan pasir bersama buih-buih ombak nun jauh di bawah. Puluhan perahu nelayan sedang berlabuh di pantai tersebut menyebar dari tepi pantai hingga laut lepas. Tempat tersebut sepertinya merupakan salah satu tempat para pengunjung menikmati lukisan alam sang Pencipta. Warna biru lautan berpadu dengan warna putih buih-buih ombak yang menghempas ke pasir pantai berwarna coklat berhiaskan warna-warni perahu yang terayun-ayun dalam buaian ombak menciptakan imaginasi tak bertepi. Setelah menikmati alam sekitar selama berberapa menit, Yudi mengajak saya melanjutkan perjalanan.
|
Salah satu mobil penumpang di pulau Flores |
Kadang mobil kami bersua truk-truk yang telah diubah menjadi mobil angkutan jarak jauh dengan memberikan bangku-bangku yang berjejer dari depan ke belakang serta diberi atap kayu. Beberapa kali kami berjumpa dengan truk yang penuh muatan sehingga beberapa penumpang memilih duduk di atas atap truk - seperti era kereta ekonomi Jakarta-Bogor beberapa tahun silam. Mobil kami terus melaju hingga tiba di suatu dataran yang tepi pantainya telah diubah menjadi pelabuhan ferry. Yudi membelokan mobil ke jalan menuju pelabuhan tersebut. Namun kami tidak memasuki gerbang pelabuhan.
|
Yudi di salah satu pantai di Nangapanda |
Mobil dihentikan sekitar 10 meter dari gerbang lalu saya dan Yudi turun dan berjalan kaki telanjang ke tepi pantai yang tidak jauh dari pelabuhan ferry tersebut. Kami melewati 2 tukang yang sedang sibuk menyelesaikan satu perahu. Seorang anak laki-laki terlihat menemani kedua lelaki dewasa tersebut. Saya tersenyum sambil mengucapkan permisi. Mereka membalas tersenyum sambil mengangguk. Kulit telapak kaki saya menyentuh pasir pantai yang masih basah saat kami tiba di tepi pantai. Di depan saya terhampar lautan luas. Di sisi kiri saya terletak pelabuhan ferry yang berjarak seratusan meter sedangkan di kanan saya terhampar dinding bukit yang menjadi pembatas dengan pantai.
|
Salah satu pantai di Nangapanda |
Saya berjalan mendekati air dan membiarkan kaki-kaki saya dibelai lidah-lidah ombak. Saya terus berjalan ke arah kanan menuju hamparan batu-batu karang yang sambung menyambung dengan dinding bukit. Kulit-kulit telapak kaki saya menyentuh hamparan karan, menghadirkan rasa kasar dan sedikit sensasi sakit karena karang yang agak tajam bagi telapak yang terbiasa memakai sepatu dan sandal. Saya terus berjalan berlahan dan hati-hati menuju dinding bukit terdekat mencari tempat ideal untuk memotret. Setelah memotret beberapa obyek, saya menyerahkan kamera ke Yudi dan memberikan petunjuk pengunaannya lalu meminta Yudi memotret diri saya di lokasi tersebut. Kami menghabiskan sekitar 1 jam di lokasi ini lalu kembali ke mobil untuk pindah ke pantai lainnya di jalur tersebut.
|
Salah satu pantai di Nangapanda |
Jarak 10 menit perjalanan mobil dari pantai pelabuhan ferry, Yudi menghentikan mobil di tepi jalan di bawah satu pohon besar. Yudi mengajak saya menuruni bukit ke pantai di bawah. Kami secara perlahan dan hati-hati meniti anak-anak tangga yang terbentuk dari akar-akar pohon di tepi jalan itu hingga tiba di pantai. Sekali lagi pantai sangat indah terhampar di depan saya. Punggung bukit berwarna krem membentuk dinding berbagai motif karena telah mengalami interaksi ratusan atau mungkin jutaan tahun dengan air laut. Karena saat kunjungan tersebut air sedang surut, maka dinding bukit terlihat indah dengan lekukan-lekukakn tertentu berjarak sekitar 10 meter dari lidah gelombang laut.
|
Salah satu pantai di Nangapanda |
Dinding-dinding alam tersebut menjadi lokasi foto yang menarik. Saya dan Yudi bermain-main di pantai ini menunggu sunset menjelang. Sekitar 1 jam berlalu saat Yudi mengajak saya kembali ke mobil. Kami beriringan kemabli mendaki tangga alam hingga tiba di mobil dengan nafas ngos-ngosan, terutama Yudi yang kelebihan berat tubuh. Kami mengaso di depan mobil sambil ngobrol dan foto-foto. Setelah nafas kembali normal dan keringat pun hilang, kami berdua memasuki mobil dan melanjutkan perjalanan menuju pantai lain guna menunggu dan menikmati sunset.
|
Sunset di salah satu pantai di Nangapanda |
Jam 5 lewat saat kami tiba di tempat tujuan akhir. Pantainya terletak di belakang pemukiman. Yudi memarkir mobil di halaman salah satu rumah lalu kami keluar dan berjalan ke pantai di belakang rumah tersebut. Antara pantai dan pemukiman telah diberi pembatas tembok setinggi 75an cm. Sekelompok anak laki-laki sedang bermain sepak bola di tepi pantai sebelah kanan saya. Posisi matahari masih sedang bergeser perlahan ke arah Barat menuju posisi ideal sunset. Saya dan Yudi duduk nongkrong sambil ngobrol di tembok pembatas pantai dan pemukiman. Sesekali kami memotret momen-momen tertentu hinga sunset tiba. Saya dan Yudi bergerak mencari posisi dan mulai mengabadikan perjalanan matahari
|
Memotret anak-anak yang sedang bermain di pantai Nangapanda |
menuju sunset, saat sunset dan saat matahari telah benar-benar menghilang di ufuk Barat meninggalkan semburat jingga kekuningan menuju kegelapan malam. Sesekali terlihat sekelompok burung melintas langit. Suara ceria anak anak masih terdengar. Mereka masih sedang bermain, berlari dan berkejaran walau matahari telah menghilang. Saya mengajak Yudi kembali ke mobil untuk pulang ke hotel di kota Ende.
Bersambung...
|
Sunset di salah satu pantai di Nangapanda |