Jumat, 18 Juli 2014

PARIS - Bagian II: Mengapa disebut City of Love / Kota Cinta?

Bagian II: Lanutan Basilita Sacre Coeur, Moulin Rouge dan Eiffel.

Basilika Sacre Coeur 


Basilika Sacre Coeur dibangun di puncak bukit Montmarte dengan ketinggian 130 meter di atas permukaan laut. Montmarte berada di bagian Utara Kota Paris yang merupakan tempat tertinggi di Kota Paris. Bangunan semi bulat berwarna putih tersebut dikelilingi pepohonan lebat yang tumbuh rapat dan seperti bersesakan di jurang  berbentuk kurva yang mengelilingi Basilika di samping kira, kanan dan belakang yang seperti suatu benteng alam pada masa itu seandainya Basilika ini merupakan suatu benteng atau puri raja dan ratu. Dalam sejarahnya, puncak bukit tempat Basilika merupakan suatu kompleks biara dan tempat ibadah para biarawan Jesuit. Bagian depan Basilika merupakan suatu pelataran luas  yang terbagi atas 3 bagian berbeda di batasi oleh tangga berundak terbuat dari semen dari gerbang masuk sampai dengan pintu bangunan Basilika. Basilika didesain oleh Paul Abadie. Konstruksi dimulai pada tahun 1875 dan selesai pada tahun 1914 yang didedikasikan sebagai suatu monumen keagamaan, budaya dan juga politik. Umumnya  bangunan Katedral, Basilika, Puri, Istana hingga Benteng pada abad pertengahan berwarna abu-abu gelap atau kekuningan atau kecoklatan. Namun Basilika sejak dibangun diberi warna putih - yang katanya merupakan satu dari dua bangunan terputih di Eropa pada masa itu, yakni bersama Vittoriano Monumen atau Altare della Patria di Roma, Italia (ceritanya menyusul dalam bagian tentang perjalanan di Roma). Inspirasi pembuatan Basilika dicetuskan pada tanggal 14 September 1870 bersamaan dengan Proklamasi Republik ke III Perancis. Karena itu, secara politik dan budaya, pembangunan Basilika didedikasikan bagi 58.000 orang Perancis yang telah mengorbankan nyawanya dalam perang Franco-Prusia.

Di pelataran ketiga depan Basilika Sacre Coeur 
Dari pintu gerbang ke pelataran kedua, pengunjung harus mendaki tangga berbentuk setengah melingkar di samping kiri dan kanan pelataran pertama yang ditempatkan sepertinya sebagai pembatas dengan pepohonan di sisi kiri dan kanannya. Pelataran pertama adalah semacam tempat parkir kendaraan - namun tidak ada kendaraan yang terparkir di pelataran tersebut di sore hari saat saya berkunjung. Pelataran tersebut dipenuhi para turis dan pemuda-pemuda Afrika penjual souvenir. Dari pelataran pertama depan gerbang masuk dan keluar, pengunjung dan tentunya umat yang akan beribadah pada hari-hari peribadatan akan berjalan mendaki ke pelataran kedua yang dihiasi rerumputan hijau. Di pelataran kedua ini,  sebagian Kota Paris mulai terlihat di kejauhan. Pelataran ketiga tepat berada di depan gedung Basilika. Pelataran dan pintu masuk Basilika dibatasi oleh beberapa anak tangga. Tangga berundak di pelataran kedua yang terhubung ke pelataran ketiga dibangun di tengah-tengah dalam suatu garis lurus ke pintu-pintu masuk Basilika di atas pelataran ketiga. Tangga berundak di pelataran kedua ini membagi  halaman berumput hijau pelataran kedua  tersebut menjadi 3 bagian, yakni kiri, tengah dan kanan. Sedangkan tangga berundak yang menghubunkan pelataran kedua dan ketiga dibangun agak melingkar di sisi terluar berbatasan dengan barisan pepohonan di kiri dan kanan halaman Basilika - mirip dengan posisi tangga penghubung pelataran pertama dan kedua.  Saat saya amati lebih teliti  sepertinya ada pembagian area penjualan antar pelataran, karena saya tidak melihat para penjual souvenir berseliweran di pelataran kedua. Para "PKL" di pelataran kedua adalah penjual minuman dan makanan kecil. Banyak pengunjung yang duduk selonjor atau tiduran sambil menenggak bir dingin dalam botol beling warna hijau seukuran botol aqua sedang. Karakter para penjual souvenir di pelataran pertama dan ketiga juga berbeda. Di pelataran pertama, para penjual sangat agresif mendekati dan menawarkan barang ke pengunjung. Sedangkan di pelataran ketiga, mereka hanya mengelar dagangannya di halaman pelataran.

Untuk mencapai pelataran ketiga lalu masuk ke Basilika, saya mendaki tangga yang dibuat agak melingkar di sebelah kanan saya. Pelataran ketiga dan tangga-tangga bangunan Basilika merupakan tempat terbaik untuk mengambil foto Kota Paris bagian Utara. Saat itu sore menjelang malam, seperti menjelang magrib di Indonesia. Kelap-kelip lampu kota terlihat mulai berpendar-pendar indah. Saya berhenti sejenak mengapati para pengunjung lain dengan polah tingkah masing-masing, mengamati para penjual souvenir maupun mainan. Kelakuan para penjual mainan mengingatkan saya pada para
Paris Utara dari Basilika Sacre Coeur di sore hari
penjual yang sama di kawasan ITC dan Tanah Abang. Mereka mensimulasikan berbagai mainan seperti mobil, burung2an dan lain-lain. Saya hanya penasaran saja apakah mainan-mainan tersebut bisa terjual di tempat seperti ini?. Rasa penasaran tersebut tidak bisa terjawab karena saya tidak punya keinginan mendekati salah satu dari para penjual tersebut untuk berkomunikasi mengingat tips dan triks yang disampaikan oleh tour leader kepada semua anggota rombongan. Saya juga mengamati dan menikmati lanskap kota nun jauh di bawah bukit sampai batas langit. Pendar-pendar cahaya di remang sore menjelang malam menghadirkan suasana berbeda bagi saya yang sedang menikmatinya. Setelah puas mengambil beberapa foto, saya lalu beranjak masuk ke Basilika melalui pintu sebelah kiri.

Bagian dalam Basilika Sacre Coeur

Tak sedikit pengunjung yang masuk ke Basilika, tentunya dengan kepentingan masing-masing. Saya hanya ingin melihat-lihat dan mengagumi interiornya. Sedangkan lainnya sedang berlutut dan berdoa atau duduk dalam keheningan di bangku-bangku kayu warna coklat gelap yang berjejer 2 baris dari depan mimbar dan altar hingga pintu masuk Basilika. Walau banyak pengunjung lalu lalang di dalam Basilika namun suasana sangat hening dan tamaran karena hanya mengandalkan sinar matahari yang masuk serta lampu-lampu gantung bercahaya redup menghadirkan suasana syahdu dan religius. Interior Basilika sangat megah. Langit-langit Basilika ditopang oleh pilar-pilar tebal dan tinggi yang saling terhubung membentuk kubah berjejer dari pintu masuk hingga ke altar dan mimbar sekaligus seperti membagi bagian dalam Basilika menjadi 3 bagian. Langit-langit di atas altar dan mimbar dihiasi lukisan Yesus dalam jubah putih membentangkan tanganNya seperti sedang melayang dengan diapit oleh dua malaikat di kiri dan kanan. Lukisan tersebut mengingatkan saya pada cerita Alkitab tentang kenaikan Yesus ke surga pasca kebangkitan. Dinding dalam bagian kiri dan kanan Basilika berhiaskan berbagai lukisan religius, lilin, lampu gantung serta patung-patung orang suci dalam kepercayaan Khatolik. Saya terus berjalan menyusuri lorong dalam Basilika dari pintu masuk sampai dengan altar terus menuju bagian belakang altar lalu berputar ke kiri dan mulai menyusuri lorong bagian kiri Basilika. Kadang saya berhenti sejenak guna mengamati secara dekat dan membaca berbagai informasi yang disiapkan pada karya-karya di dalam Basilika. Sekitar 30 menit saya menghabiskan waktu berkeliling di dalam Basilika. Saat saya keluar dari pintu sisi kanan Basilika, saya melihat beberapa teman seperjalanan telah duduk selonjor di tangga depan Basilika sambil menikmati suasana sore dan juga memandang Kota Paris sampai di ujung langit. Saya lalu bergabung ke teman-teman seperjalanan. Kami mengambil beberapa foto bersama dan meneruskan ngobrol di beranda tersebut melepaskan lelah sambil menikmati suasana. Tak terasa, kegelapan malam secara berlahan mulai menyergap kawasan sekitar. Cahaya matahari siang mulai berganti sinar listrik saat tour leader mengajak kami berdiri dan berjalan keluar kompleks Basilika menuju suatu cafe yang adalah tempat kami akan makan malam yang telah diatur oleh tour. Makan malam sudah termasuk dalam biaya yang saya bayarkan ke tour. Makan pagi disediakan oleh hotel tempat kami menginap karena harga kamar telah termasuk makan pagi.

Hanya sekitar 5 menit berjalan kaki dari kompleks Basilika, kami telah tiba di depan cafe Cadet de Casogne yang terletak di 4 Place du Tertre. Rombongan kami disambut oleh pelayan yang mempersilahkan kami satu persatu menuju lantai 2 diiringi live musik oleh group musik yang bermain di lantai 1 sebelah tangga ke lantai 2. Satu per satu anggota rombongan mengambil tempat kursi-kursi yang telah diatur mengitari 5 meja. Setelah semua anggota rombongan mendapatkan tempat, makanan pembuka berupa roti dan keju diedarkan bersama beberapa jenis minuman, termasuk white wine, sehingga saya memilih air putih dan white wine. Saya memilih steak ayam lengkap bersama kentang goreng, sayuran serta irisan wortel dan kacang - persis seperti porsi steak kesukaan saya di food louver Grand Indonesia. Sambil makan, kami dihibur oleh group band yang terus menerus menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris dan Perancis. Suasana riang gembira terus terjadi sepanjang acara makan malam tersebut. Senda gurau teman semeja maupun antar meja terus menerus terjadi. Saya menyempatkan diri untuk mengenal lebih dekat teman-teman seperjalanan yang duduk semeja. Makanan malam ditutup dengan seporsi kecil ice cream berbagai rasa yang dapat dipilih sesuai selera masing-masing anggota rombongan.
Cafe tempat makan malam 
Tanpa terasa kami telah menghabiskan lebih dari 1 jam di cafe tersebut. Setelah selesai makan malam, saya dan beberapa teman seperjalanan sepakat untuk melanjutkan jalan-jalan di Paris pada malam hari. Mereka yang tidak ingin ikut, terutama yang sudah cukup umur dan senior memilih kembali ke hotel bersama tour leader. Tour leader mengingatkan kami tentang tiket Metro sekali jalan yang telah dibagikannya pada saat kami masih di bis dalam perjalanan ke Basilika Sacre Coeur. Tiket tersebut dapat digunakan dari stasiun Metro mana saja di Paris untuk kembali ke stasiun Metro terdekat dengan hotel tempat kami menginap selama berada di Paris. Seluruh anggota rombogan secara bersama-sama keluar dari cafe tersebut. Di jalan depan cafe, kami membagi diri ke dalam 2 rombongan berbeda. Satu rombongan bersama team leader akan kembali ke hotel, sedangkan rombongan saya akan menyusuri jalan-jalan Kota Paris bagian Utara di malam ini. Rombongan saya lalu mengambil jalan ke sebelah kanan dari depan cafe. Kami lalu menyusuri jalan-jalan lorong yang bersilangan di sepanjang jalan yang kami lalu mencari jalan raya yang dilalui kendaraan sebagai patokan. Anggota rombongan saling mengingatkan satu sama lain agar tidak tersesat. Kami hanya berpatokan pada 2 tanda, yakni harus berjalan menurun dan mencari stasiun Metro yang dapat dipastikan akan dekat ke jalan raya. Hampir jam 9 malam saat itu, namun jalan-jalan yang kami lalui masih dipenuhi para pejalan kaki yang hilir mudir dalam rombongan-rombongan kecil, berpasangan maupun sendiri-sendiri. Sekitar 5 menit berjalan dari cafe, kami sampai di suatu stasiun Metro. Dua anggota rombongan keturunan India berkewarganegaraan Australia memutuskan kembali ke hotel. Sisanya terus menyusuri jalan-jalan lorong mencari jalan raya. Sekitar 5 menit dari stasiun Metro tersebut, kami tiba di suatu perempatan yang ramai dilalui kendaraan. Empat teman asal Philipina yang bekerja di Kanada dan Dubai mampir ke sebuah kios membeli air mineral - lalu secara perlahan kami terus berjalan menyusuri jalan tersebut mengarah ke suatu tempat. Saya hanya mengikuti saja anggota rombongan tersebut sambil mengamat-amati kiri dan jalan tersebut. Kiri dan kanan jalan berjejer kios dan toko-toko seks - baik yang hanya berjualan pernik-pernik seks, maupun yang menawarkan layanan seks. Di depan tempat-tempat yang menawarkan layanan seks, berdiri para perempuan berbagai tipe dibalut pakaian ketat memperlihatkan liku-liku tubuh masing-masing.

Depan Moulin Rouge 
Ternyata perjalanan malam menyusuri jalan kota Paris di bagian ini adalah untuk menemukan suatu tempat yang sangat terkenal di dunia  bernama Moulin Rouge yang berasal dari Kota Paris. Saat saya menanyakan ke teman seperjalanan apa itu Moulin Rouge, teman perjalanan saya sedikit heran dan balik bertanya "you don't know what it is?". Saya membalas "if I know, then I won't ask you" sambil terseyum. Secara singkat, teman saya tersebut menginformasikan bahwa Moulin Rouge adalah semacam suatu tempat pertunjukan kabaret yang sangat terkenal sejak. Penasaran dengan jawabannya yang singkat, saya lalu mencari informasi tambahan di internet. Rumah atau tempat pertunjukan kabaret Moulin Rouge dibangun pada tahun 1889 oleh Charles Zidler dan Joseph Oller yang juga adalah pemilik Paris Olympia atau tempat pertunjukan musik (music hall) yang dibangun pada tahun 1888 di Paris. Moulin Rouge terkenal karena penandanya berbentuk kincir angin berwarna merah (red windmill) di atapnya. Kincir angin tersebut seperti berwarna kuning keemasan di malam hari karena lampu-lampunya. Tempat ini dikenal sebagai tempat kelahiran tarian spritual can-can yang aslinya merupakan suatu tarian erotis yang dilakukan oleh para PSK yang bekerja di kawasan tersebut. Pantas saja kedua sisi jalan daerah tersebut dipenuhi jejeran kios dan toko seks, pikir saya. Seiring perkembangan jaman, tarian erotis tersebut secara perlahan berevolusi menjadi suatu seni tari modern yang lalu menyebar ke seluruh Eropa dan dikenal sebagai kabaret. Saat ini, Moulin Rouge adalah suatu tempat hiburan bagi para pelancong dari seluruh dunia. Kami akhirnya tiba di depan Moulin Rouge yang terletak dekat suatu perempatan dan stasiun Metro Blance. Banyak sekali turis yang berkerumun di sekitar tempat tersebut, terutama di seberang jalan Moulin Rouge di atas stasiun Metro. Semua turis secara bergiliran berpose dan berfoto sebagai kenang-kenangan. Tentu saja, saya tidak ketinggalan melakukan hal yang sama. Setelah kunjungan ke Moulin Rouge, saya teringat kembali tawaran tour leader saat kami masih di bis dalam perjalanan memasuki Kota Paris. Saat itu, tour leader menawarkan beberapa paket terpisah bagi anggota rombongan yang ingin menggunakannya. Satu diantara paket tersebut adalah menonton pertunjukan kabaret yang sangat terkenal di Eropa tersebut. Namun karena saat itu saya tidak terlalu familiar dengan yang disebut kabaret, saya memilih untuk jalan sendiri.

Selesai dari Moulin Rouge, rombongan saya memutuskan untuk kembali ke Eiffel  untuk menikmati Eiffel di malam hari. Kami lalu memutuskan menggunakan tiket Metro yang telah disediakan oleh tour leader. Untuk kembali ke hotel, kami bisa membeli tiket baru atau menggunakan kendaraan lainnya. Kami lalu menyeberang jalan depan Moulin Rouge lalu masuk ke gerbang pintu stasiun dan turun ke stasiun di bawah tanah. Sambil berjalan, rombongan mendiskusikan apakah akan kembali ke Trocadero (lihat catatan bagian 1) atau langsung ke kawasan tempat Menara Eiffel. Setelah beradu argumen, akhirnya kami sepakat langsung ke area Menara Eiffel. Kami lalu membuka peta untuk mencari stasiun Metro terdekat ke Menara tersebut yang adalah Champ de Mars. Sekitar 10 menit,
Menara Eiffel di malam hari 
kami telah tiba di stasiun tujuan. Saat kepala kami menyembul keluar dari stasiun Champ de Mars, Eiffel terlihat anggun dalam balutan cahaya kuning keemasan. Pedestarian yang kami lalu dari stasiun ke kawasan menara terlihat tamaran. Pedestarian terletak antara jalan raya dan taman sekaligus hamparan berumput hijau dan dipenuhi bunga aneka jenis. Para pengunjung masih lalu lalang namun tidak padat sehingga dengan cepat kami telah tiba di bawah menara. Menara ini berdiri atau dibangun tidak jauh dari satu sisi sungai Seine. Didesain oleh Gustave Eiffel - yang kemudian menjadi nama Menara tersebut. Dibangun pada tahun 1887 dan selesai pada tahun 1889 setinggi 324 meter sebagai bangunan tertinggi di Paris hingga saat ini jika dihitung bersama antena yang terpasang di puncaknya sepanjang 5,2 meter. Menara Eiffel juga menjadi bangunan tertinggi di dunia sejak tahun 1889 sampai dengan 1930 - yang kemudian digeser oleh Chrysler Building di Kota New York. Sisi Eiffel yang menghadap Sungai Siene langsung berbatasan dengan suatu pertigaan jalan di depannya. Sisi sebaliknya merupakan suatu taman yang cukup luas dimana turis bisa nongkrong menghabiskan waktu di tempat tersebut.

Depan Menara Eiffel


Anggota rombongan sepakat memilih jalan sendiri-sendiri untuk mengekplorasi kawasan menara tersebut dari berbagai sudut. Kami juga sepakat untuk bertemu lagi di sisi Menara depan pertigaan tersebut pada jam 11.30 malam. Saat saya sedang asyik mengambil beberapa foto, saya dikejutkan oleh kesibukan beberapa pelancong dan polisi yang berjaga di sekitar situ - yang ternyata menangkap seorang pencopet - mengingatkan saya untuk lebih waspada dan semakin berhati-hati. Mendekati jam 11.30 malam, satu per satu anggota rombongan berkumpul di tempat yang telah disepakati sebelumnya. Kami lalu berunding apakah akan kembali ke hotel menggunakan Metro atau taxi. Semua sepakat menggunakan taxi dengan pertimbangan telah kelelahan sehingga ingin cepat-cepat kembali dan beristrahat. Kami berdiri dekat antrian taxi, menunggu taxi dengan ukuran yang cukup besar guna menampung kami berenam. Kebetulan ukuran taxi-taxinya ada 2, yakni berukuran sedang yang hanya bisa memuat 4 orang maksimum seperti taxi-taxi di Jakarta dan satu lagi berukuran lebih besar yang bisa membawa 6 - 7 penumpang. Kami lalu berjalan menuju taxi yang kami pilih. Satu demi satu masuk, lalu kami menyebutkan nama hotel dan alamatnya. Namun, sopir taxi keturunan Afrika tersebut tidak bisa berbahasa Inggris sementara tidak satu pun anggota rombongan bisa berbahasa Perancis. Salah satu anggota rombongan membuka peta dan menunjunjukan hotel serta nama jalan / alamat hotel yang tertera di peta tersebut. Sopir taxi mengangguk-angguk dan membalas dalam bahasa Perancis. Dari anggukan sopir, saya menerka bahwa sopir tahu alamat tujuan kami. Toh kalau tersesat, saya tidak kuatir karena kami berjumlah 6 orang sehingga bisa lebih mudah mencari jalan balik ke hotel. Taxi secara perlahan terus beringsut menuju ujung antrian lalu keluar mengarah ke pertigaan depan Eiffel. Saya terus menikmati Kota Paris dari dalam taxi walau tubuh telah merasa lelah. Kota diterangi dengan cahaya dengan jalan-jalan mulai sepi. Sekitar 10 menit kemudian, taxi telah tiba di depan hotel. Seorang teman membagi biaya taxi ke semua anggota secara merata lalu masing-masing menyerahkan bagiannya yang kemudian diberikan ke sopir taxi. Turun dari taxi, semua anggota rombongan langsung menuju lift guna ke kamar masing-masing. Tiba di kamar, saya masih sempatkan mandi air hangat guna melemaskan otot tubuh yang kelelahan sehingga bisa terlelap tidur sehingga dapat bangun dalam keadaan segar dengan tenaga baru guna bertualang sehari penuh lagi di Kota Paris - dimulai dengan wisata sungai menyusuri sungai Seine menggunakan tiket yang telah disediakan tour. Tidak ada tambahan biaya untuk tiket tersebut.

BERSAMBUNG..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...