Rabu, 30 Juli 2014

PARIS - Bagian IV: Jawaban Mengapa disebut City of Love / Kota Cinta.

Depan Katedral Notre Dame
Bagian IV : Notre Dame, Champs Elysees, Arc de Triomphe dan Ponts des Arts (Jembatan Cinta)

Karena saya tidak tahu secara pasti harus turun di stasiun mana yang terdekat ke Notre Dame, saya memutuskan turun di Saint Michel. Saat kepala saya nongol di atas tanah, kawasan sekeliling saya terlihat ramai dengan manusia yang berlalu lalang. Semuanya mengarah atau balik dari Notre Dame. Ya, Katedral tersebut tidak terlalu jauh dari stasiun Saint Michel. Saya berjalan perlahan menikmati suasana sekitar, termasuk melihat-lihat kios-kios souvenirs yang berjejer dari stasiun sampai dengan pertigaan jalan yang memisahkan Katedral dengan bangunan lainnya. Katedral tersebut berdiri kokoh di tepi sungai Seine. Untuk mencapai halaman Katedral dari stasiun Saint Michel saya harus menyeberang 2 kali karena Katedral tersebut diapit oleh pertigaan jalan yang seperti berbentuk T yang memisahkan Katedral dari kerumunan bangunan lain maupun kesibukan bisnis souvenir dan makanan di pinggir jalan lainnya. Halaman Katedral adalah tanah berwarna kekuningan bercampur pasir halus sehingga sangat berdebu jika angin bertiup bahkan sepoi-sepoi - seperti warna tanah liat di Indonesia. Depan Katedral
dibangun panggung berundak-undak seperti tangga yang memberikan tempat bagi para pengunjung duduk selonjor diatasnya menikmati bangunan Katedral dari luar. Setelah melihat-lihat halaman Katedral, saya bergabung dengan antrian para turis lain yang berjumlah sangat banyak sehingga antrian cukup panjang untuk memasuki Katedral. Pintu Katedral terdiri atas 3 berbentuk pintu berkubah/berkanopi yang berdiri kokoh di kiri, kanan dan tengah. Hanya 2 pintu yang dibuka dan digunakan, yakni bagian kiri dan kanan. Pintu sebelah kanan saya digunakan sebagai pintu masuk, sedangkan pintu sebelah kiri digunakan sebagai pintu keluar bagi para pengunjung. Ketiga pintu tersebut berukir para malaikat dan orang-orang suci dalam kepercayaan Khatolik. Semua pintu tersebut berkanopi dari lantai sampai dengan langit-langitnya dengan ketebalan sekitar 1 meter. Semuanya berwarna abu-abu. Sedangkan bangunan Katedral berwarna krem. Terlihat sangat indah dan megah luar biasa. Sepertinya tidak tersisa ruang kosong seinci pun dari pintu-pintu tersebut yang tidak dipahat dan diukir menggunakan suatu imajinasi seni tingkat tinggi.

Satu-satunya foto diri di dalam Notre Dame
Saya terus berjalan hingga tiba di dalam. Suasana dalam Katedral terasa syahdu dan religius. Tak ada suara dari para  pengunjung yang hilir mudik di dalam Katedral. Semuanya berjalanan dalam hening. Hanya lampu blitz kamera yang kadang berpendar. Suasana seperti ini saya temui juga di Katedral lainnya di negara Eropa lainnya. Kebanyakan pengunjung yang sedang duduk dalam keheningan atau sedang berdoa adalah generasi tua. Hanya sedikit anak muda yang terlihat duduk hening atau berdoa di depan Altar. Dinding-dinding Katedral dihias indah dalam selera seni tinggi. Lampu-lampu gantung yang dinyalakan tidak terlalu menyingkap suasana tamaram dalam Katedral - mungkin sengaja diatur demikian guna menghadirkan suasana religius. Para pengunjung secara tidak langsung dipaksa untuk tidak berisik ataupun bercakap-cakap satu sama lain. Saya terus berjalan ke arah belakang Altar. Ketika saya bertemu seorang pengunjung perempuan yang sedang memotret di dekat saya, saya meminta pengunjung tersebut meangabadikan 1 foto kenangan di dalam Notre Dame. Ya saya hanya punya 1 foto tersebut sebagai kenangan di dalam Katedral. Itupun agak buram karena kekurangan cahaya. Jendela-jendela kaca patri warna-warni berbentuk persegi, semi bulan dan bulat menghiasi dinding-dinding bangunan di kiri dan kanan hingga ke langit-langit. Selain memberikan keindahan, jendela-jendela tersebut juga
salah satu sisi kanan bagian dalam Notre Dame
memantulkan sinar matahari ke dalam Katedral yang memberi cahaya alami walau tidak terlalu terang seperti saat saya berada di luar bangunan. Bagian dalam Katedral terbagi dalam 3 blok besar, yakni kiri, kanan dan tengah. Blok kiri dan kanan berupa lorong yang pastinya digunakan umat dan para pejabat gereja atau bahkan raja dan ratu serta para pejabat pemerintah pada masa lalu untuk masuk dan keluar dari Katedral tersebut. Lorong tersebut sekarang digunakan oleh para pengunjung untuk masuk dan keluar. Bagian tengah merupakan aula tempat ibadah yang langsung menghadap Altar yang terletak di tengah-tengah sebelah belakang bagian dalam Katedral. Altar berada satu garis lurus dengan pintu masuk bagian tengah yang tertutup bagi para pengunjung. Di depan altar sampai 3/4 bagian ke arah pintu masuk tengah disediakan bangku-bangku kayu berwarna coklat pudar - yang
Lorong bagi umat dan pengunjung
merupakan ciri khas bangku gereja di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Di sebelah blok kiri dan kanan dekat ke jendela-jendela kaca patri terdapat semacam kamar-kamar (chambers) berhiaskan lukisan maupun patung dilengkapi kursi atau bangku besi berwarna kehitaman. Tiang-tiang berwarna krem betemu di langit-langit membentuk kubah terlihat sangat kokoh dan artisitik karena berbentuk agak bulat dan seperti berlapis-lapis antara ukuran besar dan kecil yang menyatu bagaikan akar pohon yang jalin menjalin satu sama lain. Jalinan tersebut bertemu kembarannya membentuk kubah penopang langit-langit nun jauh di atas. Saya habiskan lebih dari 1 jam di dalam Katedral melihat berbagai karya seni yang terpampang indah di dalam Katedral Notre Dame. Pada salah satu bagian di sebelah kiri di bagian belakang setelah Altar, disediakan meja tempat lilin bersama lilin yang masih sedang menyala karena telah dibakar para pengujung terdahulu maupun lilin yang masih utuh untuk digunakan pengunjung lain. Lilin-lilin yang disediakan adalaah lilin-lilin seperti lilin aroma terapi berbentuk bulat pipih dalam wadah alumunium. Di samping meja lilin tersebut, tersedia kotak donasi. Saya mengambil satu lilin, membakarnya lalu hening sejenak dalam doa. Setelah selesai, lilin yang masih menyala tersebut saya letakan berdampingan dengan lilin pengunjung lain yang masih menyala. Saya mengambil 1 Euro dari dompet dan memasukannya ke dalam kotak donasi. Lalu saya berkeliling lagi menyusuri lorong yang mengarah ke pintu keluar.

Pilar-pilar di dalam Notre Dame
Nama lengkap Katedral ini adalah Notre Dame de Paris yang adalah bahasa Perancisnya Our Lady of Paris. Sepertinya ini sebutan kehormatan umat Khatolik Paris bagi Bunda Maria, karena saya melihat Patung Bunda Maria berdiri kokoh menggendong bayi Yesus di bagian depan Katedral Notre Dame. Konon, arsitektur Notre Dame merupakan salah satu arsitektur gothik terbaik Perancis. Notre Dame juga merupakan bangunan gereja terbesar dibanding bangunan gereja-gereja lainnya di dunia. Di dalam bangunan juga tersedia replika Katedral yang menceriterakan kilas balik bangunan tersebut selama beberapa abad sejak dibangun pada tahun 1163 dan selesai pada tahun 1345. Bangunan memiliki panjang 128 meter, lebar dan tinggi sama-sama berukuran 69 meter. Dari lantai bangunan  hingga puncak menara kembar terlihat seperti bangunan yang memiliki 3 1/2 lantai. Memiliki 387 anak tangga dari lantai dasar ke puncak menara. Tepat saat kunjungan saya, pengurus Katedral sedang merayakan ulang tahun Katedral. Untuk itu mereka menyediakan semacam liontin bulat dari logam berlapis emas atau perak seharga 5 Euro. Pembelian dilakukan dengan cara memasukan koin 5 Euro ke kotak yang disediakan. Sama seperti membeli minuman dingin di halte-halte transjakarta. Saat koin telah masuk, maka pembeli tinggal menekan tombol liontin yang dipilih, lalu liontin tersebut akan keluar dari lubang yang tersedia. Saya membeli 1 liontin sebagai kenang-kenangan :). Masih siang, namun langit Paris sedang berawan sehingga membawa kesejukan saat saya keluar dari Katedral. Pengunjung semakin banyak yang duduk di panggung yang disediakan di depan Katedral. Saya sempatkan mengambil beberapa foto kemudian mata mulai jelajatan mencari toilet. Petunjuk bertuliskan toilet dan tanda panah yang mengarahkan saya ke ruang bawah tanah di sebelah kiri bangunan Katedral. Saya lalu berjalan ke arah tersebut lalu menuruni tangga ke dalam tanah. Dalam perjalan tersebut, saya bertemu beberapa pengunjung lain yang berjalan ke atas sehingga saya yakin bahwa toilet tersebut berfungsi. Sesampainya didalam saya harus antri. Untunglah dilakukan pemisahan antara toilet perempuan dan laki-laki. Antrian ke toilet
Salah satu sudut berhiaskan kaca patri
laki-laki lebih sedikit dari antrian ke toilet perempuan. Terlihat beberapa suster mengawasi antrean dan mempersilahkan pengunjung menggunakan toilet yang kosong saat pengguna sebelumnya keluar. Setelah giliran saya selesai, saya lalu keluar lagi kembali ke atas tanah menghirup udara Paris. Setelah beristrahat sejenak di bawah kerindangan salah satu pohon di sebelah kiri depan Katedral, saya lalu melangkah keluar dari halaman Katedral. Saya menyeberang ke arah jejeran restoran dan kios-kios souvenir. Sudah saatnya saya belanja souvenir, pikir saya. Tiba di jalan yang dijejeri kios dan restoran-restoran tersebut, saya memutuskan untuk masuk dan menyusuri gang-gang yang ada di antara kios dan restoran-restoran tersebut. Tak apa-apa jika saya sesekali tersesat supaya bisa mengetahui seperti apa suasana kota ini di bagian belakangnya. Ternyata bagian belakang sama ramai dengan bagian depan. Saya terus berjalan menyusuri suatu gang hingga melewati sekitar 3 atau 4 blok bangunan yang didominasi kios souvenir dan restoran. Turis juga tak kalah ramai berlalu-lalang di gang tersebut. Karena tidak menemukan tempat yang cukup sepi dari turis, akhirnya saya memutuskan berjalan balik ke arah Katedral guna kembali ke stasiun yang saya perkirakan ada di sebelah kiri saya. Setelah tiba kembali ke jalan besar, ternyata perkiraan saya salah karena saya telah melewati stasiun Saint Michel yang terletak di sebelah kanan saya.

Stasiun Metro
Tiba di stasiun, saya sempatkan duduk beristrahat sejenak sambil membuka dan mempelajari peta yang selalu saya bawa dalam ransel. Seorang tunawisma terlihat sedang tidur terlelap di salah satu bangku stasiun pada peron yang berlawanan dengan peron tempat saya menunggu Metro. Karena masih ingin beristrahat, saya mengabaikan Metro yang baru saja tiba. Selesai mempelajari peta dan memutuskan rute yang akan saya tempuh ke Champs Elysees yang adalah jalan terkenal di Paris sama seperti La Rambla di Barcelona atau semacam Malioboro di Jogja yang sangat terkenal di Indonesia. Namun, setelah saya tiba di Champs Elysees dan juga kemudian di La Rambla Barcelona, Malioboro tidak dapat dibandingkan dengan kedua jalan ini. Dari rute Metro di peta yang saya pegang, saya harus berganti Metro untuk mencapai Champs Elysees. Saya lalu memasuki Metro yang tiba ke arah stasiun akhir Versailles Chateau sehingga saya bisa turun di
Stasiun Metro
stasiun Invalides lalu menggunakan Metro jalur ungu ke arah Pointe du Lac. Saya turun di  Stasiun Concorde (hanya 1 stasiun dari Invalides) lalu berganti Metro di jalur kuning kecil arah La Defence. Sebenarnya stasiun Concorde juga berada dalam area Champs Elysees. Namun karena melihat indahnya stasiun-stasiun Metro Paris dengan desain dan warna berbeda, maka saya memutuskan berkeliling ke beberapa stasiun terlebih dahulu untuk foto-foto sebelum keluar ke Jalan  Champs Elysees. Saya lalu turun di stasiun Champs Elysees Clemenceau. Selesai foto, saya kembali naik ke Metro yang tiba di stasiun tersebut, kemudian turun di stasiun Franklin D Roosevelt. Selesai foto-foto, naik lagi ke Metro lalu turun di  stasiun Charles de Gaulle Etoile. Selesai foto di stasiun ini saya memutuskan untuk keluar karena dugaan saya jaraknya telah cukup jauh dari Champs
Stasiun Metro
Elysees. Saat kepala saya nongol di atas tanah, pemandangan pertama yang terpampang adalah Arc de Triomphe yang menurut catatan Wikipedia merupakan salah satu ikon kota Paris yang terletak di tengah-tengah Champs Elysees Avenue. Champs Elysees sendiri merupakan jalan dengan panjang sekitar 2 km yang menghubungkan istana Concorde dan istana Charles de Gaulle. Lebar jalan ini sekitar 30 - 40 meter terdiri atas jalan kendaraan di tengah yang diapit oleh pedestarian / trotoar yang sepertinya sama lebar dengan jalan kendaraan. Jalan kendaraan dan pedestarian dibatasi jejeran pohon yang ditanam dalam garis lurus dari ujung ke ujung jalan tersebut. Batas pinggir luar pedestarian adalah jejeran toko butik dan perkantoran. Merek-merek terkenal seperti Louis Vuitton, Gucci, Cartier, Zara semuanya ada di jalan ini. Ada juga restoran, pub dll berderet sepanjang jalan. Di atas pedestarian yang sangat lebar tersebut terdapat restoran-restoran dan kios-kios souvenir dan juga bunga yang berdiri dalam jarak tertentu sehingga tidak bersesakan dan kumuh. Ratusan atau bahkan ribuan pejalan kaki hilir mudik di jalan ini. Banyak juga yang sedang nongkrong di restoran-restoran yang ada atau bahkan hanya duduk-duduk di bangku-bangku yang tersedia sepanjang jalan tersebut.

Ujung jalan Champs Elysees dekat Arc de Triomphe
Karena Arc de Triomphe juga terletak di Champs Elysees, maka saya tidak kehabisan waktu untuk mengunjungi 2 tempat berbeda.  Pertama yang saya kunjungi dan amati adalah Arc de Triomphe. Sama seperti bangunan abad pertengahan lainnya. Bangunan bersejarah ini juga berwarna krem atau coklat muda cenderung kuning. Bagaikan kaki raksasa yang berdiri kokoh mengangkangi Champs Elysees. Bangunan ini memiliki 4 pintu menghadap 4 mata angin tentunya. 2 diantara pintu-pintu tersebut seperti mengangkangi  Champs Elysees sehingga mengingatkan saya akan Menara Eiffel. Terdapat 4 patung yang diletakan di dasar tugu. Tugu ini didesain pada tahun 1806 oleh Jean Chalgrin sebagai tugu peringatan bagi para pejuang yang gugur dalam revolusi Perancis dan perang-perang Napoleon. Di bawah tugu terdapat pusara peringatan bagi para prajurit tanpa nama yang gugur dalam perang dunia I. Konon desain tugu terinspirasi dari Arch of Titus pada zaman Romawi. Tugu sejenis dalam bentuk yang lebih kecil terlihat juga di kawasan Museum Louvre. Bentuk tugu yang sama saya lihat juga di kompleks Colloseum di Roma.  Wikipedia selanjutnya menginformasikan bahwa bangunan ini merupakan tugu tertinggi didunia sebelum penyelesaian tugu sejenis di Mexico City pada tahun 1938 setinggi 67 meter. Arc de Triomphe juga menjadi model bagi tugu peringatan sejenis di Kota Pyongyang setinggi 60 meter atau lebih tinggi dari Arc de Triomphe yang hanya setinggi 50 meter, lebar 45 meter dan tebal 22 meter. Tiket masuk bagi orang dewasa adalah 9,50 Euro. Gratis bagi pengunjung  berumur di bawah 18 tahun, para difabel dan warga negara-negara Uni Eropa yang berumur 18 - 26 tahun. Selain dapat dicapai dengan Metro dari stasiun Charles de Gaulle Etoile, tugu ini dapat dicapai menggunakan bus no 22, 30, 31, 52, 73 dan 92. Jam buka adalah jam 10 pagi sampai 11 malam di bulan April - September dan jam 10 pagi sampai 10.30 malam di bulan Oktober sampai dengan Maret. Pengunjung akan menggunakan lift dari lantai dasar ke museum  yang  menyajikan berbagai model tugu-tugu sejenis dan juga sejarah dan konstruksi Arc de Triomphe. Dari museum tersebut, pengunjung hanya perlu mendaki 46 anak tangga ke puncak tugu untuk melihat Paris dari ketinggian.

Depan Arc de Triomphe (tengah jalan Champs Elysees
Mengikuti contoh turis lainnya yang berfoto dengan latar belakang Arc de Triomphe, saya lalu menyeberang pembatas yang membagi 2 jalan kendaraan di jalan Champs Elysees tersebut. seorang polisi berdiri mengawasi para turis yang asik berfoto ria di tempat tersebut. Karena tempat pengambilan foto terletak persis di tengah-tengah jalan yang dilalui kendaraan, maka saya harus ekstra hati-hati. Namun, nampaknya para pengemudi mobil dan juga polisi setempat telah maklum akan kelakuan para turis. Dugaan saya, tempat foto ini telah digunakan berulang dan tahunan oleh para turis sehingga orang lokal dan polisi telah terbiasa. Karena sempitnya area pengambilan foto, maka para turis yang akan mengambil foto di tempat tersebut harus antri satu per satu. Selesai foto-foto, saya kembali menyeberang ke pedestarian dan mulai menyusuri jalan tersebut dari barat ke Timur. Saya masuk ke beberapa toko butik hanya untuk melihat-lihat interior dan juga harga-harga barang yang sangat mahal. Menu dan juga harga porsi makanan di restoran-restoran tenda di atas pedestarian pun saya intip. Sepiring piza seharga 20 Euro sangat mahal bagi saya tentunya. Rata-rata harga makanan ada dalam kisaran 20 - 45 Euro.

Setelah menyusuri sisi kiri Champs Elysees sekitar 700 meter dari arah Arc de Triomphe,
Menyusuri Champs Elysees
saya lalu menyeberang guna menyusuri sisi kanan jalan tersebut.  Di sisi kirinya terletak butik jam Cartier yang terkenal seantero dunia karena di butik inilah Lady Diana membeli jam tangan bagi Dody Al Fayed di malam hari sebelum kecelakaan yang merengut nyawa mereka. Karena itu, saya sempatkan mengabil foto diri dengan latar belakang toko jam tersebut. Pada sisi sebelah jalan berdiri megah toko butik Louis Vuitton. Saya akhirnya tiba kembali di Arc de Triomphe dari sisi seberang jalannya. Mata saya jelajatan mencari bangku untuk selonjor mengistrahatkan kaki yang kelelahan karena telah menyusuri hampir 1.5 km Champs Elysees di kedua sisinya. Karena tidak melihat bangku, saya lalu berjalan menuju suatu toko yang di emperannya sedang duduk selonjor beberapa orang. Saya nongkrong di tempat ini sekitar 1 jam memperhatikan manusia berbagai bangsa dengan warna kulit dan gaya pakaian berbeda terus menerus berlalu lalang di Champs de Elysees. Ada juga beberapa kelompok judi togel yang membuka lapak judi di seberang jalan tersebut. Tidak ada polisi yang mengawasi karena itu mereka terus berusaha menarik perhatian para pejalan kaki.

Depan toko Cartier
Saya memperhatikan 2 gadis yang mengejar beberapa pejalan kaki sambil menawarkan gelang aneka warna dan bentuk. Namun mereka yang ditawari terlihat terus berjalan sambil menggelengkan kepala dan menggoyangkan tangan sebagai tanda penolakan. Semakin sore, Champs Elysees semakin ramai dipenuhi para pejalan kaki di kedua sisinya. Kendaraan yang lalu lalang di jalurnya seperti kalah banyak dengan jumlah para pejalan kaki. Restoran-restoran juga terlihat penuh. Beberapa pengunjung terlihat antri menunggu giliran. Saya teringat kembali Jalan Malioboro yang sangat terkenal di Indonesia yang ternyata kalah jauh dari segi luas dan pengaturannya. Mungkin saja Malioboro terkenal karena para PKL yang penuh sesak berjejalan menjual barang dengan harga murah meriah sebagai oleh-oleh sepanjang jalan tersebut. Kondisi tersebut tidak terlihat di Champs Elysees. Di ujung kanan Champs Elysees yang dekat ke Arc de Triomphe terlihat beberapa kereta kuda dan juga semacam becak motor yang ngetem menunggu turis sepertinya. Champs Elysees terlihat sangat lebar dan luas, artistik dan bebas dari sampah produksi manusia. Hanya terlihat dedaunan kering yang bertebaran karena pepohonan yang ditanam sepanjang jalan tersebut. Pantas saja jalan ini menjadi salah satu ikon kota Paris bahkan ada yang mengatakan belum ke Paris jika belum mampir di Champs Elysees.

Stasiun Metro
Setelah kelelahan sirna, saya bangun dan berjalan menyeberang jalan menuju stasiun Charles de Gaulle Etoile. Saya akan ke tempat tujuan berikut, yakni Pont des Arts atau Bridge of Love atau Jembatan Cinta - mungkin ini yang menyebabkan Paris disebut City of Love?.  Untuk mencapai Pont des Arts, saya harus turun di stasiun Metro Pont Neuf yang berada di jalur pink.  Untuk itu saya seharusnya turun di stasiun transit  Musee du Louvre. Namun karena dalam peta saya melihat stasiun Musee du Louvre bertetangga dengan stasiun Pont Neuf, saya memutuskan turun dan keluar di stasiun Musee du Louvre lalu berjalan ke Pont des Art. Hanya sekitar 5 menit saya telah turun di stasiun Musee du Louvre yang terletak di belakang bangunan Museum Louvre. Saya harus menyeberang 2 kali untuk mencapai tempat tujuan saya. Setibanya saya di Pont des Arts, ratusan orang sedang berada di atas jembatan tersebut dengan berbagai aktivitas masing-masing. Kedua sisi jembatan yang berpagar besi digantungi jutaan gembok aneka warna dan bentuk dengan tulisan dalam berbagai bahasa. Saya berjalan perlahan menyusuri jembatan yang melintang di atas sungai Seine. Pont des Arts merupakan jembatan pedestarian alias hanya untuk pejalan kaki. Karena itu di kedua sisinya yang berbatasan dengan bantaran sungai diberi tangga berundak-undak. Banyak pengunjung yang hanya berdiri menyandar sambil memperhatikan aliran sungai Sein di bawah atau memandang gedung-gedung tua di sekitarnya.

Gembok-gembok cinta di Pont des Arts
Wikipedia mencatat sejarah Pont des Arts dimulai pada sekitar tahun 1802 - 1804, pada masa pemerintahan Kaisar Napoleon 1. Pont des Arts merupakan jembatan besi pertama yang dibangun di Paris yang melintasi sungai Seine. Jembatan ini sejak awalnya hanya difungsikan sebagai pedestarian atau jembatan bagi para pejalanan kaki melintasi kedua sisi sungai Sein yang menghubungkan Institut du France di satu sisi dengan Palais du Louvre di sisi lain sungai. Konstruksi baru jembatan tersebut dilakukan pada tahun 1981 dan diresmikan pada tanggal 27 Juni 1984 oleh Presiden Jacques Chirac. Kedua sisi jembatan berpagar besi warna hijau yang dipenuhi gembok cinta. Lantainya terbuat dari papan berwarna keabuan mungkin karena sering dilalui pejalan kaki dan pengunjung sehingga terlihat tua dan kusam. Kedua sisi yang berbatasan dengan pinggiran sungai diberi tangga berundak 2 lapis. Jembatan
Masih di Pont des Arts
ini juga digunakan sebagai tempat pameran dan juga pertunjukan berbagai seni lukis, gambar dan foto. Tidak ada catatan tentang waktu penggunaan kedua sisi jembatan tersebut sebagi tempat gembok-gembok cinta dari berbagai belahan dunia. Wikipedia hanya mencatat sejarah penggunaan gembok cinta dimulai sekitar 100 tahun silam pada era perang dunia I. Dalam legenda Serbia diceritakan asal muasal gembok cinta bermula di jembatan Most Ljubavi di Kota Vrnjacka Banja. Konon seorang gadis bernama Naja dari kota tersebut jatuh cinta terhadap seorang pegawai pemerintah Serbia bernama Relja. Setelah mereka berkomitmen mengikat cinta mereka satu sama lain dalam pertunangan, sang pemuda harus pergi berperang di Yunani. Di negara tersebut, Relja jatuh cinta terhadap seorang perempuan setempat dari Corfu. Akibatnya pertunangan Nada dan Relja berantakan / putus. Nada patah hati yang membawanya menuju kematian. Sejak itu, para perempuan kota Vrnjacka yang memiliki kekasih mulai menuliskan nama mereka dan kekasihnya di gembok yang dipasang pada terali-terali jembatan tempat Nada dan Relja bertemu dan jatuh cinta satu sama lain. Gembok-gembok cinta mulai bermunculan di negara-negara Eropa lainnya pada tahun 2000an.




Pont des Arts dari arah Museum Louvre
Suasana semakin sejuk, sore hari mulai menaungi Kota Paris. Beberapa pasangan terlihat berciuman atau hanya berpelukan mesra memandangi senja sungai Seine. Tidak sedikit juga yang seorang diri menikmati kebisuan Pont des Arts. Saya menyempatkan diri mengambil beberapa foto dan juga meminta seorang turis mengambil foto diri saya. Sekitar 1 jam menghabiskan waktu di jembatan ini, saya memutuskan untuk meninggalkannya. Terlihat beberapa pasang turis sedang berjongkok dan mencoba mencari cela diantara jutaan gembok guna memasang gembok mereka sendiri. Beberapa yang telah selesai, berdiri sambil berpelukan lalu bersama-sama melempar kunci gembok ke sungai Seine. Mungkin saat sungai tersebut banjir, maka kunci-kunci tersebut akan terbawa banjir ke laut?. Tak ada yang tahu, tak perlu pula mencari jawabannya. Berita terbaru tentang Pont des Arts adalah kisi-kisi jembatan yang digantungi jutaan gembok itu runtuh pada Juni 2014. Apakah keruntuhan itu akan meruntuhkan pula cinta kasih para kekasih yang mengikatkan janji dan komitmen di gembok-gembok cinta yang terpasang di kedua sisi jembatan tersebut? Tak ada yang tahu. Satu hal yang pasti, Paris dikenal dunia sebagai City of Love. Apakah asal-muasal julukan tersebut adalah dari gembok-gembok cinta tersebut?. Mungkin saja, karena ternyata gembok-gembok cinta tersebut tidak hanya terpasang di Pont des Arts, beberapa jembatan lain di atas sungai Sein juga telah mulai digantungi gembok-gembok cinta, walau belum sesesak Pont des Arts.

Saatnya pergi ke tempat tujuan berikut, pikir saya sambil mulai berlalu dari tempat tersebut. Saya
Belakang Museum Louvre
menyeberang di perempatan menuju Museum Louvre. Namun sore telah tiba, maka saya tidak mungkin mengunjungi museum tersebut dan juga saya bukanlah pengagum benda-benda purbakala sehingga saya bersedia mengeluarkan 13 Euro (Sekitar 170an ribu rupiah) untuk kunjungan singkat ke dalam Museum tersebut. Dari perempatan belakang museum Louvre, saya belok kiri menyusuri pedestarian yang membentang sepanjang jalan tersebut sambil menikmati suasana sejuk sore hari Kota Paris. Saya berhenti di beberapa tempat untuk mengambil foto bangunan-bangunan tua, taman dan juga orang yang berlalu lalang. Perjalanan menyusuri pedestarian tersebut ternyata membawa saya tiba di stasiun Metro Pont Neuf yang berdekatan dengan jembatan Pont Neuf  yang adalah jembatan tertua di Kota Paris. Jembatan berwarna kuning keemasan di sore menjelang malam terlihat sangat indah, kokoh dan artistik. Dibangun pada tahun 1578 dan selesai 1607 dengan panjang 232 meter dan lebar 22 meter. Setelah mengambil beberapa foto, saya lalu beranjak ke stasiun Metro Pont Neuf guna menuju tujuan berikut, yakni Concorde Square.

Obeliks di Concorde Square 
Dari stasiun Pont Neuf di jalur pink, saya transit di stasiun Musee du Louvre di jalur kuning lalu naik Metro ke arah stasiun La Defense. Hanya 1 stasiun dari Musee du Louvre, saya telah tiba di stasiun Concorde. Keluar dari stasiun Metro saya langsung menuju ruang publik yang sangat luas yang dikenal dengan nama Concorde Square. Di sini, saya menikmati satu tugu obeliks berusia jutaan tahun setinggi 23 meter yang terbuat dari batu granit merah. Obeliks ini berasal kuil Luxor di  Kota Luxor, Mesir yang diberikan ke raja Perancis sebagai suatu hadiah. Awalnya, obeliks tersebut merupakan benda milik raja Rames II yang digunakan sebagai suatu tugu atau prasasti peringatan atas pemerintahannya. Bentuknya ramping dan menjulang mencerupai piramida mini. Selain obeliks tersebut juga ada 8 patung yang dipasang di delapan sudut lapangan tersebut. Patung-patung tersebut mewakili 8 kota Perancis. Selain itu juga terdapat 2 air mancur yang sangat indah di malam hari saat lampu-lampu dinyalakan yang membuat keduanya berwarna kuning keemasan. Konon katanya, jika pengunjung meninggalkan koin di air mancur tersebut, maka pengunjung tersebut akan mendapat keberuntungan dalam hidupnya. Legenda yang sama dengan ikon kota Florence (lihat catatan tentang Florence dan air mancur Trevi di Roma (lihat catatan tentang Roma).

Air Mancur sejajar Obeliks di Concorde Square
Hanya sedikit pengunjung yang bertebaran di berbagai sudut lapangan seluas lebih dari 8 hektar tersebut yang merupakan square terbesar di Paris. Concorde Square merupakan salah satu tempat bersejarah dalam sejarah Perancis, terutama di masa revolusi Perancis. Nama awalnya adalah Place Louis XV sebagai penghormatan terhadap Raja Perancis tersebut. Namun seiring perjalanan sejarah Perancis, terutama pada masa revolusi Perancis, sqaure tersebut berganti nama menjad Place de le Revolution bersamaan dengan penghancuran patung Louis XV di square tersebut. Sejarah Perancis juga mencatat tempat ini sebagai tempat hukuman bagi 1,100 orang menggunakan guillotine pada masa Perancis dikuasai Dinasti Jacobin. Setelah berganti nama beberapa kali lagi, akhirnya pada tahun 1830, tempat tersebut dinamai Place de la Concorde hingga saat ini.  


Stasiun Metro
Malam telah tiba. Saatnya kembali ke hotel, walau sebenarnya mengeliling Paris sekali lagi di malam hari akan luar biasa, namun saya telah kehabisan tenaga, terutama di bagian kaki. Ssaya harus beristirahat karena akan menjalani perjalanan panjang sekitar 9 jam dari Paris ke Wilderswill di Swiss. Sekali lagi saya menggunakan Metro kembali ke hotel. Untuk itu, saya naik dari stasiun Concorde ke stasiun Musee du Louvre lalu berganti Metro dari jalur kuning ke pink menuju stasiun akhir di Porte de la Villette. Sudah saatnya mencari makan malam, mandi, packing dan beristrahat mempersiapkan diri bagi perjalanan ke Jungfraujoch, Swiss. Sebelum tiba di hotel, saya memutuskan mampir di salah satu restoran yang berjejer di seberang jalan depan hotel. Setelah melihat-lihat menu beberapa restoran di jejeran tersebut, saya memutuskan mampir di restoran yang menjual steak untuk makan malam. Pemilik sekaligus penjualnya adalah orang Timur Tengah. Saat saya sedang menikmati steak, masuk 4 gadis menggunakan hijab. Sang pemilik/penjual mengucapkan Assalammuallaikum yang dibalas serentak oleh para gadis tersebut. Rombongan ini duduk bersebelahan dengan meja saya sehingga saya sempatkan kenalan dan ngobrol sekedarnya. Ternyata mereka berasal dari Malaysia dan sedang sekolah di London. Mereka menggunakan tour agent yang sama dengan saya - untuk mengunjungi Paris hanya pada waktu weekend.  
Stasiun Metro




BERSAMBUNG: Swiss: Wilderswil, Jungfraujoch dan Interlaken!!

Senin, 28 Juli 2014

PARIS - Bagian III: Mengapa disebut City of Love / Kota Cinta?

Bagian III: Seine River Gruise dan Gedung Montparnasse

Eiffel dari tepian sungai Seine


Come, follow me, kata salah satu pelayan restoran sambil mengambil botol minuman kosong yang saya pegang sekaligus mengajak saya keluar dari antrian. Saya diajak ke dapur hotel lalu pelayan restoran tersebut menuangkan air minum ke  botol kosong dan menyerahkan kembali botol berisi air tersebut ke saya. Merci (terima kasih) kata saya dalam bahasa Perancis lalu berbalik dan melangkah keluar dari restoran meninggalkan pelayannya yang telah berbaik hati membantu saya mendapatkan air minum dengan cepat tanpa harus antri bersama tamu restoran yang sedang mengantri untuk sarapan mereka.  Ya, saya telah siap untuk memulai petualangan pagi ini mengelilingi Paris setelah selesai makan pagi. Restoran telah buka pada jam 6pagi. Sebelum pintu restoran dibuka pun banyak tamu yang telah antri. Sepertinya semua yang antri di pintu restoran hotel adalah para turis yang tidak ingin kehilangan waktunya, sama seperti saya. Makan pagi ala Eropa yang disiapkan hotel telah saya habiskan sekitar 20 menit sejak saat saya mendapatkan meja sarapan. Setelah itu, saya lalu antri mengambil air minum sebagai bekal di jalan, karena saya tidak tahu apakah saya akan menemukan kios yang menjual minuman dan makanan kecil atau tidak, maka saya mempersiapkan diri dengan botol air mimum tersebut. Kemarin saat berkeliling, saya hanya melihat kios-kios penjual souvernir di berbagai tempat - yang tertata rapi. Tidak mau mengambil resiko mendapatkan kesulitan mencari minum saat keliling Kota Paris, saya lalu memutuskan membawa air minum dari hotel.

Di atas kapal yang menyusuri sungai Seine
Keluar dari pintu hotel saya berbelok ke sebelah kanan menyusuri jalan yang masih sepi menuju stasiun Metro yang terletak sekitar 50an meter dari hotel. Tujuan saya adalah ke dermaga kapal Sungai Sein yang terletak dekat Menara Eiffel. Tiket gratis yang saya peroleh dari tour akan saya gunakan sebagai pembuka petualangan saya di Paris hari ini. Tiba di stasiun Porte de La Villette, saya mengamat-amati kawasan sekitar mencari konter tiket. Ternyata masih sepi, namun pembelian tiket tersedia melalui mesin - yang dapat dibeli secara cash atau menggunakan kartu debit atau kredit. Mesin pembelian dengan cara cash menyediakan 2 fasilitas, yakni pembayaran menggunakan koin dan menggunakan uang kertas. Saya lalu membaca-baca informasi yang tersedia, dimana untuk turis disediakan tiket harian bisa 1 hari 2 hari atau 3 hari - yang harganya lebih murah dibandingkan jika beli tiket PP atau tiket 1 kali jalan (single trip) seharga 1,9 Euro (sekitar 30 ribu saat itu dengan kurs 15 ribu rupiah per Euro). Saya lalu memutuskan membeli tiket 1 hari (1 day trip) seharga 12 Euro (sekitar 150 ribu rupiah) yang dapat digunakan untuk berkeliling seluruh Paris dalam sehari menggunakan Metro. Stasiun bawah tanah Metro di kota-kota Eropa, termasuk Paris sangat bersih dan rapi. Informasi dalam bahasa Inggris juga tersedia sehingga memudahkan para turis seperti saya. Sekali lagi saya akan menggunakan Metro ke stasiun Champ de Mars untuk mencapai dermaga kapal di Sungai Sein. Karena dermaga tersebut letaknya persis di depan Menara Eiffel, maka stasiun tujuan saya sama dengan stasiun semalam saat saya kembali mengunjungi Eiffel di malam hari
Teman-teman seperjalanan
kemarin. Untuk mencapai Champ de Mars saya harus berganti Metro, tentunya hal tersebut tidak terlalu menyulitkan karena saya tinggal melihat papan informasi yang tersebar di stasiun transit. Berbeda dengan penggunaan komunter di Jakarta yang tidak menyediakan informasi rute kereta di stasiun-stasiunnya, kereta komuter atau Metro di kota-kota Eropa selalu menyediakan informasi tersebut di stasiun maupun di dalam kereta. Mungkin karena letak stasiun di bawah tanah dengan banyak lorong menuju pintu berbeda, maka informasi tersebut sangatlah perlu guna mencegah calon penumpang tersesat ke peron yang salah. Dari stasiun transit tersebut (seperti stasiun Manggarai di Jakarta dimana saya naik komuterline dari Bekasi, namun karena saya akan ke Tanah Abang, maka saya harus transit di Manggarai), saya hanya perlu berjalan mengikuti tanda panah yang mengarahkan saya ke suatu lorong yang terus saya ikuti sampai tiba di depan peron. Tak ada kata kereta terlambat di Kota ini. Sepertinya kereta selalu ada setiap 3 menit sehingga calon penumpang tidak perlu menunggu terlalu lama.

Katedral Notre Dame dari atas sungai Seine
Sekitar 7 - 10 menit kemudian, saya telah keluar dari stasiun Champ de Mars. Melihat Menara Eiffel di pagi hari sangat berbeda dengan melihatnya di sore dan malam hari. Pagi berkabut memperlihatkan Eiffel dalam jarak dekat yang berwarna abu-abu. Saya berhenti mengambil beberapa foto lalu berjalan membelakangi Eiffel sekitar 30 meter lalu menuruni tangga menuju sungai kemudian menyusuri semacam pedestarian pinggiran sungai sekitar 40an meter menuju ke dermaga tempat kapal yang akan saya tumpangi menyusuri sungai Sein sedang menunggu. Di pinggir dermaga dekat ke pintu kapal yang sedang bersandar, saya disambut 2 gadis Perancis yang sambil terseyum ramah memeriksa tiket yang saya berikan ke mereka lalu mempersilahkan saya masuk ke kapal. Sama seperti kapal yang saya gunakan menyusuri sungai Thames di London, kapal ini juga terdiri atas 3 dek, yakni bawah, tengah dan atas. Saya memilih dek atas yang terbuka sehingga lebih mudah bergerak ke berbagai posisi untuk melihat dan mengambil foto. Tak lama
salah satu jembatan di atas sungai Seine
setelah saya memasuki kapal, motor kapal mulai menderu dan kapal secara perlahan bergerak ke tengah sungai meninggalkan dermaga. Kapal secara perlahan terus bergerak menjauhi Menara Eiffel terus menyusuri sungai. Seorang pemandu memberikan informasi lisan menggunakan bahasa Inggris melalui pengeras suara  tentang nama, sejarah dan pengunaan bangunan-bangunan ataupun jembatan-jembatan yang kami lalui. Salah satu yang mengesankan saya adalah Katedral Notre Dame. Jika dilihat dari jauh, bangunan Katedral Notre Dame berbentuk huruf T dengan menara kembar di depannya serta 1 menara berbentuk rumit di tengah-tengah bangunan yang mengingatkan saya akan kerumitan arsitektur Gereja Sagrada Familia di Barcelona (lihat catatan tentang Barcelona). Katedral tersebut sepertinya dibangun di atas delta sungai yang mempertemukan aliran suatu sungai lebih kecil dengan aliran sungai Seine sebagai sungai utamanya.

Pengalaman menyusuri sungai Thames di London dan Seine di Paris mengingatkan saya akan gagasan Gubernur Sutiyoso di Jakarta beberapa tahun silam yang menyediakan kapal melewati sungai Ciliwung. Saya coba membandingkan kondisi sungai Ciliwung dengan sungai Thames dan Seine yang berbeda bagaikan bumi dan langit. Menyusuri sungai Thames dan Sein, saya
Salah satu gedung dilihat dari atas sungai Seine
mendapatkan pelajaran sejarah luar biasa tentang negara-negara tersebut. Airnya sangat bersih dan tidak terlihat sepotong sampah pun serta tidak ada bau busuk menyengat seperti di sungai-sungai di Jakarta. Saya  hanya membayangkan jika saya menyusuri sungai Ciliwung, maka apa yang bisa saya peroleh? sejarah telah hilang. Pemandangan yang tersaji pun hanya sampah dan pemukiman kumuh sepanjang sungai beriringan dengan bau busuk menyakitkan hidung dan kepala. Kondisi yang tidak saya temukan di sungai Thames dan Seine. Selain kapal-kapal untuk para turis seperti saya, kedua sungai tersebut juga dilayari oleh kapal-kapal besar yang lalu lalang yang sepertinya membawa barang.

Sekitar 45 menit kemudian, penyusuran sungai Seine lengkap dengan sejarahnya berakhir. Saya dan para turis lain diturunkan di dermaga tempat kami naik di kaki Eiffel. Luar biasa, komentar saya dalam hati. Sambil berjalan kembali ke tangga tepi sungai menuju stasiun Metro Champ de Mars, saya terus mengamati daerah sekelilingnya. Eiffel terus saja mempesona saya - pantas menjadi ikon kota Paris, pikir saya. Kedua kaki Eiffel mengapit suatu jalan raya sehingga jika dilihat dari jauh sepertinya jalan tersebut berada di bawah selangkangan Eiffel. Salah satu  berbatasan dengan jalan, pelataran lalu sungai Sein. Sedangkan Pada sisi
kaki yang lain yang berseberangan dengan sungai Seine, terbentang suatu taman indah yang luas - mungkin seperti Monas di Jakarta yang diapit oleh taman-taman. Bedanya, tak ada PKL yang secara sembrono berjualan di dalam taman tersebut seperti di Monas. Sesuatu yang sangat kontradiktif dengan kondisi jalan dan taman-taman di Jakarta yang diduduki para PKL. Padahal taman tersebut tidak dipagari seperti Monas. Para pedagang diberi tempat-tempat khusus oleh pemerintah kota setempat. Hal yang sama juga saya lihat di kota-kota Eropa lainnya saat berkeliling. Kios-kios mereka - yang hampir semuanya berjualan souvenirs tertata rapi dan berada di tempat-tempat tertentu. Tidak menduduki trotoar ataupun jalan seperti di Jakarta.

Eiffel dari atas sungai Seine
Setelah puas melihat-lihat sekali lagi di Eiffel, saya merasa ingin kencing. Mata saya berkeliling mencari toilet namun tidak menemukan di sekitar tempat saya berdiri. Karena itu saya lalu berjalan ke stasiun dengan harapan akan menemukan toilet di stasiun Metro. Namun beruntunglah saya, karena di pedestarian menuju stasiun Metro yang tidak jauh dari Eiffel dekat dengan para penjual souvenir yang mulai membuka kiosnya, saya melihat suatu bangunan berbentuk selinder bertuliskan toilet. Saya lalu berjalan ke bangunan tersebut, dimana ada beberapa orang yang sedang antri. Saya lalu ikut antri dan mengamati bagaimana para pengantri di depan saya menggunakan toilet tersebut oleh karena tidak ada seorang pun penjaga toilet yang kelihatan sekitar situ. Ternyata toilet tersebut adalah toilet otomatis yang hanya dapat digunakan dengan memasukan koin 1 Euro ke dalam tempat koin, seperti memasukan koin ke kotak telpon umum di Indonesia pada tahun 90-2000an untuk dapat menggunakan telpon tersebut. Mekanisme yang sama digunakan oleh toilet ini. Saat pengguna keluar, maka penguna berikut harus menunggu sekitar 2 - 3 menit agar toilet secara otomatis membersihkan  pengguna sebelumnya. Pada dinding terpampang informasi tertulis dan lampu kecil dalam 3 warna berbeda, yakni merah, kuning dan hijau yang menginformasikan kepada pengguna tentang kondisi toilet apakah sedang digunakan (being used), sedang pembersihan otomatis (being cleaned automatically) atau kosong (vacant) sehingga dapat digunakan. Saat tiba giliran saya, saya memasukan koin 1 Euro ke tempat koin. Pintu toilet secara otomatis terbuka sehingga saya masuk
dan pintu kembali tertutup secara otomatis. Luas toilet tersebut sekitar 1,5 meter persegi dilengkapi wastafel, closet dan cermin. Saya hanya menggunakan toilet tersebut untuk kencing sehingga saya cepat selesai. Setelah melakukan pembersihan dengan tissue yang tersedia, saya mematut diri sekilas di cermin kemudian mendekati pintu dan berdiri menunggu pintu terbuka otomatis karena menggunakan sensor suhu tubuh manusia, dugaan saya. Ternyata pintu tidak terbuka sehingga saya mengamat-amati pintu tersebut dan menemukan tombol kecil yang saya tekan. Ujicoba tersebut berhasil karena pintu terbuka sehingga saya lalu melangkah keluar. Saat saya tiba di luar, pintu secara otomatis menutup dan terkunci, dimana toilet mulai proses pembersihan, termasuk penyiraman kencing saya tadi tentunya, pikir saya karena saya tidak bisa melakukan penyiraman atau flush sebab tidak tersedia fasilitas tersebut.


salah satu jembatan di atas sungai Seine 
Selesai urusan toilet, saya sempatkan mampir di salah satu kios souvenir yang terletak sekitar 5 meter dari toilet tersebut. Saat saya melihat-lihat, penjual yang sepertinya orang Asia Timur (mungkin India atau Banglades atau Srilanka) tersenyum dan bertanya apakah saya dari Malaysia atau Indonesia. Saat saya menjawab dari Indonesia, dengan ramah penjual tersebut mengatakan selamat pagi dan apa khabar?. Saya membalas ucapan selamat paginya dan kemudian menggunakan bahasa Inggris untuk percakapan selanjutnya karena saya yakin bahwa penjual tersebut hanya mengetahui beberapa patah kata bahasa Indonesia. Dari percakapan sekilas tersebut, penjual itu menceritakan bahwa banyak turis Malaysia dan Indonesia yang sering berbelanja di kiosnya. Karena itu, jika saya ingin membeli souvenir maka saya akan diberi harga khusus. Namun saya tahu dengan pasti itu hanyalah taktik penjualan. Karena itu setelah melihat beberapa barang dan harganya yang cukup mahal, saya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum ramah kemudian berlalu dari tempat tersebut.

salah satu stasiun Metro
Saya kembali menyusuri pedestarian menuju stasiun Metro. Kios-kios souvenir mulai buka sehingga saya mampir di beberapa kios guna melihat-lihat dan membandingkan harga-harga souvenir yang ingin saya beli. Namun saya tidak membeli satu pun souvenir di kios-kios tersebut karena berpikir bahwa pasti harganya lebih mahal 1 atau 2 Euro dibandingkan di tempat lain yang agak jauh dari tempat2 wisata utama tersebut. Karena masih pagi, maka saya hanya berjalan-jalan di sekitar Eiffel mengamati para pemain judi togel yang mulai membuka permainan secara berkelompok di pedestarian yang saya lalui. Beberapa teman menginformasikan kepada saya bahwa permainan tersebut ilegal sehingga sering diciduk polisi, namun para penjudi tersebut selalu kembali bermain untuk menipu para turis yang tertarik. Untuk itu, mereka selalu kucing-kucingan dengan polisi. Sama saja dengan di Indonesia, pikir saya. Saya pernah menjumpai permainan tipuan ini di pasar dan trotoar di beberapa kota di Indonesia. Mereka bermain dalam kelompok-kelompok kecil sekitar 4 - 5 orang yang semuanya adalah teman. 1 orang bertindak sebagai bandar sedangkan lainnya bertindak sebagai turis yang ikut bermain dan menang untuk menarik pejalan kaki yang benar-benar adalah turis. Saya hanya mengamati dari jauh saja sambil pura-pura memotret pemandangan sekitar. Karena saya
Sebagian Paris dari Montpranasse
telah melewati stasiun Metro Champs de Mars, maka saya memutuskan untuk berjalan ke stasiun berikut, yakni Pont de l"Alma guna menggunakan Metro ke tujuan berikut yakni Menara Montparnasse. Oleh karena stasiun terdekat ke Montparnasse berada di jalur berbeda, maka saya harus berganti Metro di stasiun Viroflay Rive Gauche. Stasiun ini seperti statiusn transit Manggarai di Jakarta. Di stasiun Viroflay saya berganti Metro dari jalur kuning ke jalur hijau. Metro yang melalui jalur ini akan berakhir di stasiun Gare Montpranasse - yang adalah tujuan kunjungan saya setelah Seine River Cruise. Keluar dari stasiun, saya telah melihat bangunan tinggi menjulang yang terkesan modern seperti bangunan2 menjulang di Jakarta. Bedanya, bangunan ini merupakan satu-satunya bangunan menjulang di tempat tersebut. Dari brosurnya maupun websitenya tertulis montparnasse56. Saya terus berjalan menuju bangunan tersebut, masuk melalui salah satu pintu lalu bertanya kepada security sambil menunjukan tiket yang saya pegang. Security mengarahkan saya ke pintu lain - dimana banyak turis sedang antri untuk memasuki lift bangunan yang akan membawa saya ke lantai atas tempat saya akan menikmati

Eiffel dilihat dari Montpranasse
landscape kota Paris dari ketinggian. Saya menunjukan tiket ke 2 penjaga lift yang terdiri dari 1 laki-laki dan 1 perempuan berpakaian jas lengkap bersama dasi. Sambil tersenyum ramah mereka mengucapkan selamat datang dan mempersilahkan para pengunjung memasuki lift. Setelah dirasa cukup, pintu lift ditutup dan lift meluncur ke atas. Tak berapa lama, lift berhenti, pintu terbuka dan kami dipersilahkan keluar ke lobby lift oleh seorang penjaga berjas dan berdasi yang telah menunggu di lobby tersebut untuk mengarahkan pengunjung ke pintu masuk. Saya berjalan memasuki semacam aula yang terletak di samping kiri saya dari pintu keluar lift. Sebelah kanan aula yang saya masuki adalah toko souvenir, sedangkan sebelah kirinya ruang lapang yang dipenuhi para pengunjung - tua muda, laki perempuan. Dekat ke dinding-dinding kaca terdapat sejumlah teropong dan juga layar monitor seperti televisi. Saya berjalan mendekati salah satu teropong yang saya gunakan melihat-lihat kota dari ketinggian. Layar monitor memperlihatkan juga tempat-tempat utama yang menjadi ikon kota Paris - selain Menara Eiffel - yang juga menjadi tempat kunjungan turis lokal dan mancanegara. Untuk melihat dari dekat salah satu ikon tersebut, saya hanya perlu menyentuh foto bangunan di layar monitor tersebut yang kemudian mengeluarkan sejumlah informasi tertulis.

Bagian lain Paris dari Montpranasse
Dari brosur yang saya peroleh yang ditulis dalam bahasa Prancis - hanya sedikit informasi dalam bahasa Inggris, saya mengetahui bahwa bangunan ini diresmikan pada tahun 1997. Fondasinya sedalam 70 meter. Bangunan ini terdiri dari 56 lantai, memiliki 25 lift dengan kecepatan 6 meter per detik. Memiliki 7.200 jendela, lebih dari 5000 karyawan, memiliki 1.306 tangga dan dikunjungi sekitar 1 juta turis setiap tahun. Lantai dimana saya berada juga dilengkapi dengan fasilitas restoran dan toilet yang terpisah bagi perempuan dan laki-laki. Dari menara ini, pengunjung dapat melihat 11 ikon lain kota Paris, yakni Menara Eiffel, Arch de Triomphe, Invalides, Museum d'Orsay, Opera Garnier, Sacre Coeur, Louvre Museum, Notre Dame, Jardin du Luxembourg, Patheon dan Bastile. Semua bangunan bersejarah tersebut dapat dibaca informasi lengkapnya di layar monitor yang tersedia di lantai tempat para turis lalu lalang dan melihat-lihat dari ketinggian. Setelah puas melihat-lihat Eiffel dari bagian kiri Montpranasse, saya secara perlahan berbalik dan mengarah ke bagian kanan. Karena bagian kiri tempat saya tidak terhubung langsung ke sebelah kanan, maka akses ke sebelah kanan hanya bisa dilakukan dengan jalan balik melewati restoran dan tempat jual beli souvenirs. Beberapa layar monitor juga tersedia di bagian kanan bersama 2 perangkat audio visual yang bisa digunakan pengunjung untuk mengetahui sejarah Paris, Perancis dan juga tempat-tempat bersejarah yang dapat dilihat dari gedung tersebut, termasuk sejarah Montpranasse itu sendiri. Beberapa turis terlihat duduk selonjoran beristirahat sepertinya. Saya menduduki salah satu kursi kosong yang disiapkan di depan perangkat audio visual. Sambil nonton sajian dalam bahasa Inggris, saya melahap buah apel yang saya bawa dan simpan dalam ransel sebagai pengganjal perut.

Sekitar 1 jam saya berada di gedung Montparnasse - menikmati Paris dari ketinggian, terutama Menara Effiel dari sisi lain kota Paris. Saya lalu memutuskan sudah saatnya mengunjungi tempat lain di kota tersebut. Tempat kunjungan berikut adalah Katedral Notre Dame.  Keluar dari gedung Montpranasse, saya berbelok ke sebelah kiri menuju stasiun tempat saya turun sebelumnya saat akan mengunjungi gedung tersebut. Beberapa calon penumpang terlihat menarik koper dan juga membawa ransel di punggung mereka. Beberapa PKL membuka lapak yang tertata rapi di koridor terbuka antara gedung dan stasiun. Saya terus berjalan sambil mengamat-amati saja para PKL tersebut. Stasiun ini ternyata terintegrasi dengan mall 4 lantai. Karena penasaran, saya tidak turun ke stasiun di bawah  tanah, saya malah naik menggunakan eskalator ke lantai-lantai atas. Rasa ingin tahu saya terpuaskan dengan melihat-lihat bahwa jualan di mall tersebut hampir sama dengan jualan di mall-mall di Jakarta. Karena itu saya lalu kembali turun menuju stasiun di bawah tanah. Dari stasiun bawah tanah tersebut saya kembali mengggunakan Metro ke arah stasiun Saint Cyr. Sama seperti rute kedatangan saya ke gedung Montpranasse, saya turun di stasiun Viroflay Rive Gauche lalu mengambil Metro jalur kuning ke Saint-Michel Notre Dame.

BERSAMBUNG ke Notre Dame, Champ Elysees dan Arc de Triomphe

Jumat, 18 Juli 2014

PARIS - Bagian II: Mengapa disebut City of Love / Kota Cinta?

Bagian II: Lanutan Basilita Sacre Coeur, Moulin Rouge dan Eiffel.

Basilika Sacre Coeur 


Basilika Sacre Coeur dibangun di puncak bukit Montmarte dengan ketinggian 130 meter di atas permukaan laut. Montmarte berada di bagian Utara Kota Paris yang merupakan tempat tertinggi di Kota Paris. Bangunan semi bulat berwarna putih tersebut dikelilingi pepohonan lebat yang tumbuh rapat dan seperti bersesakan di jurang  berbentuk kurva yang mengelilingi Basilika di samping kira, kanan dan belakang yang seperti suatu benteng alam pada masa itu seandainya Basilika ini merupakan suatu benteng atau puri raja dan ratu. Dalam sejarahnya, puncak bukit tempat Basilika merupakan suatu kompleks biara dan tempat ibadah para biarawan Jesuit. Bagian depan Basilika merupakan suatu pelataran luas  yang terbagi atas 3 bagian berbeda di batasi oleh tangga berundak terbuat dari semen dari gerbang masuk sampai dengan pintu bangunan Basilika. Basilika didesain oleh Paul Abadie. Konstruksi dimulai pada tahun 1875 dan selesai pada tahun 1914 yang didedikasikan sebagai suatu monumen keagamaan, budaya dan juga politik. Umumnya  bangunan Katedral, Basilika, Puri, Istana hingga Benteng pada abad pertengahan berwarna abu-abu gelap atau kekuningan atau kecoklatan. Namun Basilika sejak dibangun diberi warna putih - yang katanya merupakan satu dari dua bangunan terputih di Eropa pada masa itu, yakni bersama Vittoriano Monumen atau Altare della Patria di Roma, Italia (ceritanya menyusul dalam bagian tentang perjalanan di Roma). Inspirasi pembuatan Basilika dicetuskan pada tanggal 14 September 1870 bersamaan dengan Proklamasi Republik ke III Perancis. Karena itu, secara politik dan budaya, pembangunan Basilika didedikasikan bagi 58.000 orang Perancis yang telah mengorbankan nyawanya dalam perang Franco-Prusia.

Di pelataran ketiga depan Basilika Sacre Coeur 
Dari pintu gerbang ke pelataran kedua, pengunjung harus mendaki tangga berbentuk setengah melingkar di samping kiri dan kanan pelataran pertama yang ditempatkan sepertinya sebagai pembatas dengan pepohonan di sisi kiri dan kanannya. Pelataran pertama adalah semacam tempat parkir kendaraan - namun tidak ada kendaraan yang terparkir di pelataran tersebut di sore hari saat saya berkunjung. Pelataran tersebut dipenuhi para turis dan pemuda-pemuda Afrika penjual souvenir. Dari pelataran pertama depan gerbang masuk dan keluar, pengunjung dan tentunya umat yang akan beribadah pada hari-hari peribadatan akan berjalan mendaki ke pelataran kedua yang dihiasi rerumputan hijau. Di pelataran kedua ini,  sebagian Kota Paris mulai terlihat di kejauhan. Pelataran ketiga tepat berada di depan gedung Basilika. Pelataran dan pintu masuk Basilika dibatasi oleh beberapa anak tangga. Tangga berundak di pelataran kedua yang terhubung ke pelataran ketiga dibangun di tengah-tengah dalam suatu garis lurus ke pintu-pintu masuk Basilika di atas pelataran ketiga. Tangga berundak di pelataran kedua ini membagi  halaman berumput hijau pelataran kedua  tersebut menjadi 3 bagian, yakni kiri, tengah dan kanan. Sedangkan tangga berundak yang menghubunkan pelataran kedua dan ketiga dibangun agak melingkar di sisi terluar berbatasan dengan barisan pepohonan di kiri dan kanan halaman Basilika - mirip dengan posisi tangga penghubung pelataran pertama dan kedua.  Saat saya amati lebih teliti  sepertinya ada pembagian area penjualan antar pelataran, karena saya tidak melihat para penjual souvenir berseliweran di pelataran kedua. Para "PKL" di pelataran kedua adalah penjual minuman dan makanan kecil. Banyak pengunjung yang duduk selonjor atau tiduran sambil menenggak bir dingin dalam botol beling warna hijau seukuran botol aqua sedang. Karakter para penjual souvenir di pelataran pertama dan ketiga juga berbeda. Di pelataran pertama, para penjual sangat agresif mendekati dan menawarkan barang ke pengunjung. Sedangkan di pelataran ketiga, mereka hanya mengelar dagangannya di halaman pelataran.

Untuk mencapai pelataran ketiga lalu masuk ke Basilika, saya mendaki tangga yang dibuat agak melingkar di sebelah kanan saya. Pelataran ketiga dan tangga-tangga bangunan Basilika merupakan tempat terbaik untuk mengambil foto Kota Paris bagian Utara. Saat itu sore menjelang malam, seperti menjelang magrib di Indonesia. Kelap-kelip lampu kota terlihat mulai berpendar-pendar indah. Saya berhenti sejenak mengapati para pengunjung lain dengan polah tingkah masing-masing, mengamati para penjual souvenir maupun mainan. Kelakuan para penjual mainan mengingatkan saya pada para
Paris Utara dari Basilika Sacre Coeur di sore hari
penjual yang sama di kawasan ITC dan Tanah Abang. Mereka mensimulasikan berbagai mainan seperti mobil, burung2an dan lain-lain. Saya hanya penasaran saja apakah mainan-mainan tersebut bisa terjual di tempat seperti ini?. Rasa penasaran tersebut tidak bisa terjawab karena saya tidak punya keinginan mendekati salah satu dari para penjual tersebut untuk berkomunikasi mengingat tips dan triks yang disampaikan oleh tour leader kepada semua anggota rombongan. Saya juga mengamati dan menikmati lanskap kota nun jauh di bawah bukit sampai batas langit. Pendar-pendar cahaya di remang sore menjelang malam menghadirkan suasana berbeda bagi saya yang sedang menikmatinya. Setelah puas mengambil beberapa foto, saya lalu beranjak masuk ke Basilika melalui pintu sebelah kiri.

Bagian dalam Basilika Sacre Coeur

Tak sedikit pengunjung yang masuk ke Basilika, tentunya dengan kepentingan masing-masing. Saya hanya ingin melihat-lihat dan mengagumi interiornya. Sedangkan lainnya sedang berlutut dan berdoa atau duduk dalam keheningan di bangku-bangku kayu warna coklat gelap yang berjejer 2 baris dari depan mimbar dan altar hingga pintu masuk Basilika. Walau banyak pengunjung lalu lalang di dalam Basilika namun suasana sangat hening dan tamaran karena hanya mengandalkan sinar matahari yang masuk serta lampu-lampu gantung bercahaya redup menghadirkan suasana syahdu dan religius. Interior Basilika sangat megah. Langit-langit Basilika ditopang oleh pilar-pilar tebal dan tinggi yang saling terhubung membentuk kubah berjejer dari pintu masuk hingga ke altar dan mimbar sekaligus seperti membagi bagian dalam Basilika menjadi 3 bagian. Langit-langit di atas altar dan mimbar dihiasi lukisan Yesus dalam jubah putih membentangkan tanganNya seperti sedang melayang dengan diapit oleh dua malaikat di kiri dan kanan. Lukisan tersebut mengingatkan saya pada cerita Alkitab tentang kenaikan Yesus ke surga pasca kebangkitan. Dinding dalam bagian kiri dan kanan Basilika berhiaskan berbagai lukisan religius, lilin, lampu gantung serta patung-patung orang suci dalam kepercayaan Khatolik. Saya terus berjalan menyusuri lorong dalam Basilika dari pintu masuk sampai dengan altar terus menuju bagian belakang altar lalu berputar ke kiri dan mulai menyusuri lorong bagian kiri Basilika. Kadang saya berhenti sejenak guna mengamati secara dekat dan membaca berbagai informasi yang disiapkan pada karya-karya di dalam Basilika. Sekitar 30 menit saya menghabiskan waktu berkeliling di dalam Basilika. Saat saya keluar dari pintu sisi kanan Basilika, saya melihat beberapa teman seperjalanan telah duduk selonjor di tangga depan Basilika sambil menikmati suasana sore dan juga memandang Kota Paris sampai di ujung langit. Saya lalu bergabung ke teman-teman seperjalanan. Kami mengambil beberapa foto bersama dan meneruskan ngobrol di beranda tersebut melepaskan lelah sambil menikmati suasana. Tak terasa, kegelapan malam secara berlahan mulai menyergap kawasan sekitar. Cahaya matahari siang mulai berganti sinar listrik saat tour leader mengajak kami berdiri dan berjalan keluar kompleks Basilika menuju suatu cafe yang adalah tempat kami akan makan malam yang telah diatur oleh tour. Makan malam sudah termasuk dalam biaya yang saya bayarkan ke tour. Makan pagi disediakan oleh hotel tempat kami menginap karena harga kamar telah termasuk makan pagi.

Hanya sekitar 5 menit berjalan kaki dari kompleks Basilika, kami telah tiba di depan cafe Cadet de Casogne yang terletak di 4 Place du Tertre. Rombongan kami disambut oleh pelayan yang mempersilahkan kami satu persatu menuju lantai 2 diiringi live musik oleh group musik yang bermain di lantai 1 sebelah tangga ke lantai 2. Satu per satu anggota rombongan mengambil tempat kursi-kursi yang telah diatur mengitari 5 meja. Setelah semua anggota rombongan mendapatkan tempat, makanan pembuka berupa roti dan keju diedarkan bersama beberapa jenis minuman, termasuk white wine, sehingga saya memilih air putih dan white wine. Saya memilih steak ayam lengkap bersama kentang goreng, sayuran serta irisan wortel dan kacang - persis seperti porsi steak kesukaan saya di food louver Grand Indonesia. Sambil makan, kami dihibur oleh group band yang terus menerus menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris dan Perancis. Suasana riang gembira terus terjadi sepanjang acara makan malam tersebut. Senda gurau teman semeja maupun antar meja terus menerus terjadi. Saya menyempatkan diri untuk mengenal lebih dekat teman-teman seperjalanan yang duduk semeja. Makanan malam ditutup dengan seporsi kecil ice cream berbagai rasa yang dapat dipilih sesuai selera masing-masing anggota rombongan.
Cafe tempat makan malam 
Tanpa terasa kami telah menghabiskan lebih dari 1 jam di cafe tersebut. Setelah selesai makan malam, saya dan beberapa teman seperjalanan sepakat untuk melanjutkan jalan-jalan di Paris pada malam hari. Mereka yang tidak ingin ikut, terutama yang sudah cukup umur dan senior memilih kembali ke hotel bersama tour leader. Tour leader mengingatkan kami tentang tiket Metro sekali jalan yang telah dibagikannya pada saat kami masih di bis dalam perjalanan ke Basilika Sacre Coeur. Tiket tersebut dapat digunakan dari stasiun Metro mana saja di Paris untuk kembali ke stasiun Metro terdekat dengan hotel tempat kami menginap selama berada di Paris. Seluruh anggota rombogan secara bersama-sama keluar dari cafe tersebut. Di jalan depan cafe, kami membagi diri ke dalam 2 rombongan berbeda. Satu rombongan bersama team leader akan kembali ke hotel, sedangkan rombongan saya akan menyusuri jalan-jalan Kota Paris bagian Utara di malam ini. Rombongan saya lalu mengambil jalan ke sebelah kanan dari depan cafe. Kami lalu menyusuri jalan-jalan lorong yang bersilangan di sepanjang jalan yang kami lalu mencari jalan raya yang dilalui kendaraan sebagai patokan. Anggota rombongan saling mengingatkan satu sama lain agar tidak tersesat. Kami hanya berpatokan pada 2 tanda, yakni harus berjalan menurun dan mencari stasiun Metro yang dapat dipastikan akan dekat ke jalan raya. Hampir jam 9 malam saat itu, namun jalan-jalan yang kami lalui masih dipenuhi para pejalan kaki yang hilir mudir dalam rombongan-rombongan kecil, berpasangan maupun sendiri-sendiri. Sekitar 5 menit berjalan dari cafe, kami sampai di suatu stasiun Metro. Dua anggota rombongan keturunan India berkewarganegaraan Australia memutuskan kembali ke hotel. Sisanya terus menyusuri jalan-jalan lorong mencari jalan raya. Sekitar 5 menit dari stasiun Metro tersebut, kami tiba di suatu perempatan yang ramai dilalui kendaraan. Empat teman asal Philipina yang bekerja di Kanada dan Dubai mampir ke sebuah kios membeli air mineral - lalu secara perlahan kami terus berjalan menyusuri jalan tersebut mengarah ke suatu tempat. Saya hanya mengikuti saja anggota rombongan tersebut sambil mengamat-amati kiri dan jalan tersebut. Kiri dan kanan jalan berjejer kios dan toko-toko seks - baik yang hanya berjualan pernik-pernik seks, maupun yang menawarkan layanan seks. Di depan tempat-tempat yang menawarkan layanan seks, berdiri para perempuan berbagai tipe dibalut pakaian ketat memperlihatkan liku-liku tubuh masing-masing.

Depan Moulin Rouge 
Ternyata perjalanan malam menyusuri jalan kota Paris di bagian ini adalah untuk menemukan suatu tempat yang sangat terkenal di dunia  bernama Moulin Rouge yang berasal dari Kota Paris. Saat saya menanyakan ke teman seperjalanan apa itu Moulin Rouge, teman perjalanan saya sedikit heran dan balik bertanya "you don't know what it is?". Saya membalas "if I know, then I won't ask you" sambil terseyum. Secara singkat, teman saya tersebut menginformasikan bahwa Moulin Rouge adalah semacam suatu tempat pertunjukan kabaret yang sangat terkenal sejak. Penasaran dengan jawabannya yang singkat, saya lalu mencari informasi tambahan di internet. Rumah atau tempat pertunjukan kabaret Moulin Rouge dibangun pada tahun 1889 oleh Charles Zidler dan Joseph Oller yang juga adalah pemilik Paris Olympia atau tempat pertunjukan musik (music hall) yang dibangun pada tahun 1888 di Paris. Moulin Rouge terkenal karena penandanya berbentuk kincir angin berwarna merah (red windmill) di atapnya. Kincir angin tersebut seperti berwarna kuning keemasan di malam hari karena lampu-lampunya. Tempat ini dikenal sebagai tempat kelahiran tarian spritual can-can yang aslinya merupakan suatu tarian erotis yang dilakukan oleh para PSK yang bekerja di kawasan tersebut. Pantas saja kedua sisi jalan daerah tersebut dipenuhi jejeran kios dan toko seks, pikir saya. Seiring perkembangan jaman, tarian erotis tersebut secara perlahan berevolusi menjadi suatu seni tari modern yang lalu menyebar ke seluruh Eropa dan dikenal sebagai kabaret. Saat ini, Moulin Rouge adalah suatu tempat hiburan bagi para pelancong dari seluruh dunia. Kami akhirnya tiba di depan Moulin Rouge yang terletak dekat suatu perempatan dan stasiun Metro Blance. Banyak sekali turis yang berkerumun di sekitar tempat tersebut, terutama di seberang jalan Moulin Rouge di atas stasiun Metro. Semua turis secara bergiliran berpose dan berfoto sebagai kenang-kenangan. Tentu saja, saya tidak ketinggalan melakukan hal yang sama. Setelah kunjungan ke Moulin Rouge, saya teringat kembali tawaran tour leader saat kami masih di bis dalam perjalanan memasuki Kota Paris. Saat itu, tour leader menawarkan beberapa paket terpisah bagi anggota rombongan yang ingin menggunakannya. Satu diantara paket tersebut adalah menonton pertunjukan kabaret yang sangat terkenal di Eropa tersebut. Namun karena saat itu saya tidak terlalu familiar dengan yang disebut kabaret, saya memilih untuk jalan sendiri.

Selesai dari Moulin Rouge, rombongan saya memutuskan untuk kembali ke Eiffel  untuk menikmati Eiffel di malam hari. Kami lalu memutuskan menggunakan tiket Metro yang telah disediakan oleh tour leader. Untuk kembali ke hotel, kami bisa membeli tiket baru atau menggunakan kendaraan lainnya. Kami lalu menyeberang jalan depan Moulin Rouge lalu masuk ke gerbang pintu stasiun dan turun ke stasiun di bawah tanah. Sambil berjalan, rombongan mendiskusikan apakah akan kembali ke Trocadero (lihat catatan bagian 1) atau langsung ke kawasan tempat Menara Eiffel. Setelah beradu argumen, akhirnya kami sepakat langsung ke area Menara Eiffel. Kami lalu membuka peta untuk mencari stasiun Metro terdekat ke Menara tersebut yang adalah Champ de Mars. Sekitar 10 menit,
Menara Eiffel di malam hari 
kami telah tiba di stasiun tujuan. Saat kepala kami menyembul keluar dari stasiun Champ de Mars, Eiffel terlihat anggun dalam balutan cahaya kuning keemasan. Pedestarian yang kami lalu dari stasiun ke kawasan menara terlihat tamaran. Pedestarian terletak antara jalan raya dan taman sekaligus hamparan berumput hijau dan dipenuhi bunga aneka jenis. Para pengunjung masih lalu lalang namun tidak padat sehingga dengan cepat kami telah tiba di bawah menara. Menara ini berdiri atau dibangun tidak jauh dari satu sisi sungai Seine. Didesain oleh Gustave Eiffel - yang kemudian menjadi nama Menara tersebut. Dibangun pada tahun 1887 dan selesai pada tahun 1889 setinggi 324 meter sebagai bangunan tertinggi di Paris hingga saat ini jika dihitung bersama antena yang terpasang di puncaknya sepanjang 5,2 meter. Menara Eiffel juga menjadi bangunan tertinggi di dunia sejak tahun 1889 sampai dengan 1930 - yang kemudian digeser oleh Chrysler Building di Kota New York. Sisi Eiffel yang menghadap Sungai Siene langsung berbatasan dengan suatu pertigaan jalan di depannya. Sisi sebaliknya merupakan suatu taman yang cukup luas dimana turis bisa nongkrong menghabiskan waktu di tempat tersebut.

Depan Menara Eiffel


Anggota rombongan sepakat memilih jalan sendiri-sendiri untuk mengekplorasi kawasan menara tersebut dari berbagai sudut. Kami juga sepakat untuk bertemu lagi di sisi Menara depan pertigaan tersebut pada jam 11.30 malam. Saat saya sedang asyik mengambil beberapa foto, saya dikejutkan oleh kesibukan beberapa pelancong dan polisi yang berjaga di sekitar situ - yang ternyata menangkap seorang pencopet - mengingatkan saya untuk lebih waspada dan semakin berhati-hati. Mendekati jam 11.30 malam, satu per satu anggota rombongan berkumpul di tempat yang telah disepakati sebelumnya. Kami lalu berunding apakah akan kembali ke hotel menggunakan Metro atau taxi. Semua sepakat menggunakan taxi dengan pertimbangan telah kelelahan sehingga ingin cepat-cepat kembali dan beristrahat. Kami berdiri dekat antrian taxi, menunggu taxi dengan ukuran yang cukup besar guna menampung kami berenam. Kebetulan ukuran taxi-taxinya ada 2, yakni berukuran sedang yang hanya bisa memuat 4 orang maksimum seperti taxi-taxi di Jakarta dan satu lagi berukuran lebih besar yang bisa membawa 6 - 7 penumpang. Kami lalu berjalan menuju taxi yang kami pilih. Satu demi satu masuk, lalu kami menyebutkan nama hotel dan alamatnya. Namun, sopir taxi keturunan Afrika tersebut tidak bisa berbahasa Inggris sementara tidak satu pun anggota rombongan bisa berbahasa Perancis. Salah satu anggota rombongan membuka peta dan menunjunjukan hotel serta nama jalan / alamat hotel yang tertera di peta tersebut. Sopir taxi mengangguk-angguk dan membalas dalam bahasa Perancis. Dari anggukan sopir, saya menerka bahwa sopir tahu alamat tujuan kami. Toh kalau tersesat, saya tidak kuatir karena kami berjumlah 6 orang sehingga bisa lebih mudah mencari jalan balik ke hotel. Taxi secara perlahan terus beringsut menuju ujung antrian lalu keluar mengarah ke pertigaan depan Eiffel. Saya terus menikmati Kota Paris dari dalam taxi walau tubuh telah merasa lelah. Kota diterangi dengan cahaya dengan jalan-jalan mulai sepi. Sekitar 10 menit kemudian, taxi telah tiba di depan hotel. Seorang teman membagi biaya taxi ke semua anggota secara merata lalu masing-masing menyerahkan bagiannya yang kemudian diberikan ke sopir taxi. Turun dari taxi, semua anggota rombongan langsung menuju lift guna ke kamar masing-masing. Tiba di kamar, saya masih sempatkan mandi air hangat guna melemaskan otot tubuh yang kelelahan sehingga bisa terlelap tidur sehingga dapat bangun dalam keadaan segar dengan tenaga baru guna bertualang sehari penuh lagi di Kota Paris - dimulai dengan wisata sungai menyusuri sungai Seine menggunakan tiket yang telah disediakan tour. Tidak ada tambahan biaya untuk tiket tersebut.

BERSAMBUNG..




JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...