KOTA KUPANG : Karang-Karang Yang Berubah, Karang-Karang Yang Merangas, Karang-Karang Yang Teguh.
Bagian kedua: Karang-Karang Yang Merangas.
Hari kedua, saya berpindah dari rumah adik bungsu di Oesapa ke rumah adik perempuan di Oesao. Dia satu-satunya adik perempuan kami 6 bersaudara dengan 5 laki-laki dan 1 perempuan semata wayang yang menjadi kesayangan keluarga. Karena itu, saat perkawinannya, ayahanda rela mewariskan sebagian harta kekayaannya, termasuk tanah - yang dalam tradisi asli Rote merupakan hak waris anak lelaki saja. Dalam sejarah pewarisan adat Rote, warisan kepada anak perempuan hanya terjadi pada beberapa keluarga, terutama keluarga kepala suku / Manek yang tidak memiliki anak laki-laki, maka harta warisan dipastikan akan diperoleh anak perempuan.
Perjalanan ke rumah adik perempuan di Oesao harus berganti 2 kali angkot dan 1 ojek. Dari rumah adik lelaki bungsu di Oesapa, saya menggunakan angkot ke Terminal Noelbaki. Belum banyak perubahan yang terjadi di sini, jalan berlubang memaksa angkot yang ku tumpangi harus terombang-ambing ke kiri dan ke kanan. Sepanjang jalan dijejeri oleh rumah-rumah beratap daun gewang dan berdiding bebak - pohon khas Pulau Timor - berlantai tanah silih berganti tertangkap pandangan mata ku yang harus mengintip diantara sela-sela poster-poster yang memenuhi angkot. Rumah-rumah itu terlihat renta karena usia dan juga berselimut debu coklat keputihan. Kemiskinan terlihat kasat mata. Tak ada perubahan yang berarti dalam perjalanan bulan berganti tahun.
Memasuki terminal, mata ku menangkap jejeran sayur mayur, sirih pinang dan hasil bumi lainnya yang dijual dalam jejeran lapak para pedagang kecil di samping kiri terminal. Para calo berebut penumpang yang baru turun dari angkot guna mendapatkan jasa dari angkot yang akan berangkat dari Terminal Noelbaki ke Oesao. Keriuhan itu berpadu serasi dengan debu yang beterbangan karena tiupan angin kemarau. Saya hanya menanggapi para calo sekeliling ku dengan senyuman sambil mata ku menyapu sekilas wajah mereka satu per satu. Kulit coklat gelap bertato dengan rambut awut-awutan yang diminyaki tertempel debu di sana-sini bersama bibir kemerahan dan gigi berangkat kehitaman karena menyirih dan merokok tiada henti menyajikan sesuai yang khas. Kaki ku terus manapak memasuki bangunan terminal yang lantainya telah berlubang-lubang dan tanpa dinding sekat sehingga debu dan angin leluasa berseliweran. Senyum tak lepas dari bibir ku menyikapi tawaran para calo sambil kepala ku terus menggeleng memberikan penolakan halus terhadap tawaran mereka hingga kaki ku menapak masuk angkot terdepan yang telah siap berangkat sekaligus mengakhiri kerubungan para calo yang beralih mencari mangsa lain. Angkot yang ku tumpangi lalu berputar ke kanan keluar dari terminal menapaki jalan berlubang dan berdebu menggapai jalan Timor Raya yang beraspal bagus. Dentuman musik rock terus bergetar dari speaker di langit-langit dan kolong tempat duduk angkot. Aku akhirnya harus memaksa diri untuk terbiasa dengan hingar bingar tersebut, karena itulah kebiasaan angkot di Kota Kupang - yang didukung oleh perilaku penumpangnya juga. Dulu saat masih pelajar SMA dan Mahasiwa di kota tersebut, rasanya tidak afdol jika tidak menumpang angkot yang musiknya paling keras dengan dentuman bass yang kalo bisa telah terdengar 100 meter jauhnya dengan hiasan warna warni. Makin keras raungan musik dan makin ramai hiasan suatu angkot akan membuat angkot tersebut laris, jadi rebutan dan buah bibir. Kebiasaan ini belum berubah, walau polisi setempat telah sering melakukan razia.
Lanscape sepanjang jalan yang ku lalui belum banyak berubah yang didominasi warna kecoklatan karena musim kemarau. rumput, debu hingga rumah dan bangunan sepanjang jalan serasa berbalut coklat juga karena debu. Semuanya seperti merangas karena kemarau panjang yang telah menjadi bagian dari Kota Kupang dan Pulau Timor. Keringat yang melelehi badan terasa bercampur debu-debu halus membuat tubuh ku juga seperti merangas bersama kehidupan dan bumi di luar angkot. Saat angkot menyusuri jalan Tuapukan, mata ku tak lepas mengintip kemiskinan nyata dari jejeren rumah para pengunsi yang mulai reot dan renta. Atap daun, dinding dan juga lantai tanah itu telah menua dan merangas karena kekeringan dan juga kemiskinan. Kehadiran para pengungsi itu makin melengkapi kemiskinan penduduk setempat yang telah berjalan tahun berganti tahun.
Keriuhan perempatan Oesao masih seperti dulu. Pasar tumpah sepanjang jalan hingga ke perempatan menghasilkan campuran hiruk pikuk dan bau khas pasar yang harus diterima dan dijalani oleh para pembeli, penjual, pelintas hingga penduduk sekitar. Sedikit perubahan yang terjadi adalah jalan yang dilalui telah diperbagus sehingga tidak lagi berlubang dan berlumpur seperti dulu. Panas menyengat terasa menampar-nampar tubuh ku saat kaki ku melangkah turun dari angkot. Dentuman musik angkot terasa membekas di belakang telinga ku seiring dengan masuknya keriuhan perempatan. Kaki ku menghampiri salah satu pengojek yang stanby di atas motornya sambil merokok. Saat ku sebut tempat tujuan, dia bertanya rumah siapa? saat ku sebut nama adik perempuan ku dan nama suaminya, mengalirlah obrolan akrab antara si pengojek dan saya. Karena dia cukup mengenal keluarga adik perempuan ku - hingga kami tiba di tempat tujuan. Kesejukan terasa mengalir dari rimbunan pepohonan dan bunga-bungaan yang mengelilingi rumah adik ku dalm sambutan keponakan kembar perempuan ku. Mereka berebut mengambil alih ransel yang membebani punggung ku. Kedua tangan ku merangkul pinggul keduanya di samping kiri dan kanan. Tak terasa mereka telah tumbuh menjadi 2 gadis cantik yang tidak lagi bisa ku gendong dan kelonin seperti saat mereka kecil dulu. Ibu dan ayah mereka ternyata sedang di tempat hajatan keluarga, sehingga Inda dan Intan demikian nama kedua keponakan kembar ku - yang lalu sibuk menyiapkan minuman dan makan siang untuk ku, sambil ngobrol antara teras belakang tempat aku duduk dengan ruang tengah dan dapur tempat mereka berdua menyiapkan makan siang. Berselang beberapa menit kemudian, aku beralih ke teras depan menikmati hamparan sawah yang membentang di seberang jalan depan rumah, menikmati sepoi-sepoi angin sejuk tanpa terasa mata ku terpejam dengan kaki yang berselonjor di atas sofa.
Aku, Sang Penjelajah#Langit itu ayahku#Bumi itu ibuku#Gunung-gunung itu kakaku#Lautan samudera itu adikku#Sungai ngarai itu sodaraku#Padang-padang itu sodariku#Hutan rimba belukar itu temanku#Tebing-tebing itu sobatku#Bintang-gemintang itu kekasihku#Mentari pagi itu pujaanku#Surya senja itu cintaku##Aku, Sang Penjelajah#Perjalanan itu ibadah#Berkelana itu doa#Mengasoh itu kidung##Aku, Sang Penjelajah#Tak terikat waktu#Tak terkurung ruang#Tak terpaku tempat##Aku, Sang Penjelajah#Akan ku daki..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur
1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...
-
Ini juga posting JADUL tahun 2007. Saat bongkar-bongkar blog baru ketahuan kalo posting ini belum dipublikasikan pada tahun 2007... lama am...
-
Saya menulis esai ini pada 12 September 2005 yang dipublikasikan salah satu milis lingkungan Indonesia. Tulisan ini saya temukan kembali mel...
-
Kemah Tabor di Mataloko Saya memilih sarapan roti lapis telur dadar bersama kopi Bajawa. Yudi dan Mako memilih nasi goreng bersama kopi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar