Tulisan ini merupakan tugas mata kuliah Metode Penelitian Hukum
================================================
LATAR BELAKANG MASALAH
Menindaklanjuti reformasi politik yang berawal pada tahun 1997 dengan keruntuhan rezim Orde Baru, maka diberlakukan pula berbagai pearturan yang mengadopsi semangat, prinsip dan agenda reformasi – walau tidak semua – antara lain UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah – yang lalu diubah/diganti dengan UU No 32 Tahun 2004.
Pada prinsipnya berbagai peraturan perundang-undangan yang terbit dan mulai berlaku pada periode awal reformasi telah mengadopsi paradigma baru hubungan Pusat dan Daerah, Negara dan Rakyat serta Pemerintah dan Masyarakat, terutama pengaturan dalam UU 32/2004 dapat dilihat sebagai wujud nyata akomodasi tuntutan warga Negara akan adanya suatu pemerintahan yang tranparan dan akuntabel. UU tersebut telah meletakan lanadasan baru dalam hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, antara lain pendelegasian sejumlah wewenang dan tanggungjawab guna Pemerintah Daerah yang lebih otonom. UU tersebut juga menggariskan suatu hubungan baru antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat – yang antara lain mewajibkan Pemerintah Daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanannya guna mewujutkan amanat UUD 1945 tentang kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Dalam kaitannya dengan perwujudan kesejahteraan masyarakat, maka UU 32/2004 melalui Pasal 11[1]-nya mewajibkan adanya suatu Standar Pelayanan Minimum yang disiapkan sebagai basis hukum dan acuan pengukuran kinerja aparat pemerintah melaksanakan 17 urusan wajib Pemerintah Daerah Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 13[2] dan 14[3] UU tersebut. Ketentuan Pasal 11, Ayat (3) Pasal 14[4] serta huruf a Ayat (1)[5] Pasal 16 UU 32/2004 yang memandatkan adanya penetapan standar pelayanan minimum merupakan landasan keluarnya PP 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimum.
Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang diatur dalam beberapa Pasal UU 32/2004 yang lalu diatur lebih lanjut dalam PP 65/2005 tersebut merupakan suatu kewajiban pemerintah guna menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelengaraan urusan wajib Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan 14 UU 32/2004 tersebut di atas. Untuk itu, PP 65/2005 tersebut menetapkan adanya suatu pembatasan waktu pengadaan SPM tersebut oleh Menteri dan Kepala Lembaga Non Departemen sehingga kehadiran SPM tidak tertunda-tunda, yakni dalam jangka waktu 3 tahun sejak PP tersebut berlaku[6]. Oleh karena keberadaan suatu SPM dari Pemerintah Pusat akan menjadi basis hukum sekaligus pedoman bagi instansi teknis terkait di level provinsi dan kabupaten/kota untuk pengaturan lebih lanjut guna adanya ketersediaan akses dan jaminan mutu pelayanan kepada masyarakat sekaligus sebagai alat pengukuran kinerja aparat lembaga pemerintah yang memberikan pelayanan tersebut. Melalui SPM tersebut, masyatakat juga dapat mengajukan sejumlah keluhan guna perbaikan akses dan mutu pelayanan lembaga pemerintah terkait.
Namun, walau batas waktu yang ditetapkan PP tersebut telah lewat – yakni 28 Desember 2008 – hanya ada 4 kementerian dan lembaga non departemen yang telah membuat SPM, yakni Departemen Kesehatan, Dalam Negeri, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup. Jika dikaitkan dengan 17 urusan wajib yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten sebagaimana diatur dalam Pasal 13 dan 14 UU 32, maka masih terdapat 13 kementerian dan lembaga non departemen yang belum memiliki SPM sebagai pedoman dan acuan bagi lembaga teknis di tingkat provinsi dan kabupaten. Tentunya ketiaadaan SPM dari kementerian dan lembaga non departemen di tingkat pusat tersebut dapat menjadi alasan bagi instansi teknis di tingkat provinsi dan kabupten/kota untuk mengingkari kewajiban menyediakan SPM sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU 32/2004 tersebut. Walau sesungguhnya, tidak ada satupun pasal dalm PP 65/005 tersebut yang menyatakan bahwa SPM instansi pemerintah terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus menunggu SPM dari Kementerian/Departemen ataupun lembaga non departemen yang sama di tingkat nasional.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah yang ingin diteliti adalah “bagaimana kedayagunaan / efektifitas penerapan Peraturan Pemerintah No 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal dalam kerangka kewajiban Menteri/Pimpinan Lembaga Non Departemen sebagaimana diatur dalam Ayat 2 Pasal 21 PP tersebut?”.
TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Tujuan dan kegunaan penelitian ini terdiri atas:
Tujuan akademik penelitian ini adalah bahwa hasil penelitian ini dapat berkontribusi bagi perluasan ilmu pengetahuan hukum di bidang tata pemerintahan dan penyelengaraan pelayanan publik, terutama efektifitas suatu peraturan perundang-undangan dalam kaitannya dengan birokrasi pemerintahan.
Tujuan praktis penelitian ini adalah sebagai pemenuhan kewajiban penulis untuk menyelesaikan studi magister hukum.
KAJIAN PUSTAKA
a. Kerangka Koseptual:
Jika ditelusuri ke UUD 1945, maka ketentuan Standar Pelayanan Minimum yang diatur dalam beberapa Pasal UU 32/2004 serta PP 65/2005 sebagaimana tersebut di atas merupakan pengaturan lebih lanjut dari alinea kedua[7] dan keempat[8] UUD 1945, Pokok Pikiran ke 2[9] Pembukaan UUD 1945 serta Sila kelima[10] Pancasila. Selain itu, dalam batang tubuh UUD 1945 juga terdapat beberapa pasal yang secara eksplesit mengatur tentang akses dan jaminan mutu pelayanan Negara demi tercapainya keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan oleh para pendiri Negara sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut, yakni antara lain tentang pendidikan yang diatur dalam Pasal 31, kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 33 dan 34.
Pada level undang-undang, setidaknya terdapat 3 Undang-Undang yang memiliki kaitan langsung dengan pengaturan Standar Pelayanan Minimum, yakni UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) serta UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah – yang lalu diubah/diganti dengan UU No 32 Tahun 2004.
Adanya akses dan jaminan mutu pelayanan lembaga-lembaga pemerintah demi tercapainya kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945 merupakan bagian dari hak asasi rakyat sebagaimana diatur dalam UU HAM. Dimana perwujudannya hanya dapat dicapai melalui pengurusan dan pengelolaan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN sebagaimana diatur dalam UU Anti KKN tersebut di atas. Oleh karena melalui UU Anti KKN, Negara menetapkan adanya sejumlah asas penyelenggaraan Negara[11] yang mengadopsi prinsip-prinsip good governance, yakni partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, tranparansi, pedulih pada stakeholder, berorientasi pada consensus, kesetaraan, efektifitas dan efesiensi, akuntabilitas serta visi strategis[12].
Masuknya prinsip-prinsip good governance[13] sebagai asas-asas penyelenggaraan pemerintahan merupakan pergeseran prinsipil dan signifikan dalam fungsi, peran, tugas dan tanggungjawab pemerintah dari era sebelumnya, yakni sebagai pengatur / regulator menjadi pelayan publik dan administrator. Penegasan normatif terhadap perubahan itu tertuang dalam UU 28/1999 dan UU 32/2004 tersebut di atas. UU 28/1999 telah meletakan landasan hukum baru dalam penyelenggaran pemerintahan yang jika dilaksanakan akan mengahasilkan suatu birokrasi pelayanan masyarakat yang tranparan, akundabel, efesien dan juga efektif. Sedangkan UU 32/2004 telah meletakan landasan hukum baru bagi hubungan pemerintah pusat dan daerah serta juga dalam hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. UU tersebut telah meletakan kerangka normatif baru dalam sistem pemerintahan dan pengurusan pembangunan, terutama pelayanan publik yang terkait langsung dengan kepentingan, kebutuhan dan hak-hak masyarakat sebagai warga Negara pemilik kedaulatan. Perubahan hubungan sentralistik menjadi desentralisasi Pusat – Daerah diatur dalam berbagai pasal UU tersebut yang telah mendesentralisasikan berbagai kewenangan sekaligus tanggungjawab guna Pemerintah Daerah yang lebih otonom. Kerangka normatif baru hubungan pemerintah dengan masyarakat dari semula regulator menjadi pelayan masyarakat dan administrator saja mewajibkan Pemerintah Daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanannya terhadap masyarakat mewujudkan cita-cita UUD 1945 tentang kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta keadilan sosial melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam semua proses pembangunan.
Dalam kerangka teori kenegaraan, kerangka hukum baru yang tertuang dalam UU Anti KKN dan UU Pemerintahan Daerah merupakan upaya mewujudkan Negara kesejahteraan[14] yang “mengantarkan pada aksi perlindungan Negara terhadap masyarakat tertutama kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat, pengangguran dan sebagainya,… Asshiddiqie menguraikan dalam konsep Negara kesejahteraan ini, Negara dituntut untuk memperluas tanggungjawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat”[15].
Dengan demikian, perwujudan kesejahteraan rakyat merupakan peran dan tanggung-jawab pemerintah baik Pusat maupun Daerah sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 dan juga PP 65/2005 tersebut di atas. Tanpa adanya suatu aturan sebagai basis hukum, maka penyelenggara Negara akan menghindari tanggungjawab tersebut karena masih kuatnya praktek-praktek KKN di Negara ini, walau telah ada sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur kewajiban aparat pemerintah sebagai adimistratur dan pelayan dalam pelayanan publik.
b. Kerangka Pemikiran
Dengan hanya ada 4 kementerian dan lembaga non departemen yang telah menyediakan Standar Pelayanan Minimum sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan huruf a Ayat (1) Pasal 16 UU 32/2004 dan PP 65/2005, maka harus dinyatakan bahwa PP tersebut tidak berdaya-guna / tidak efektif.
METODE PENELITIAN
a. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian yuridis empiris karena masalah yang akan diteliti terkait pada hal normatif, yakni PP 65 tahun 2005 dengan penerapannya pada tataran empiris, yakni efektifitas / kedayagunaan dari PP tersebut dalam kerangka waktu 3 tahun, yakni 2005 – 2008.
b. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian normatif akan dilakukan dengan cara mempelajari dan menafsirkan berbagai peraturan perundang-undangan terkait sementara pendekatan empiris akan dilakukan melalui kajian terhadap berbagai referensi sekunder dan tersier yang terkait pada pokok masalah yang diteliti.
c. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah di bidang hukum tata Negara karena terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan Negara, pelayanan publik, birokrasi serta hubungan antara berbagai lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah maupun hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan mandat Pasal 11 dan huruf a Pasal 16 UU 32/2004 maupun PP 65/2005.
d. Data yang diperlukan
Data yang diperlukan terdiri atas data primer, sekunder dan tersier. Data primer akan diperoleh melalui penelusuran dan kajian pustaka terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pokok penelitian, terutama UUD 1945, Undang-Undang (UU) No 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah (PP) No 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal, Keputusan Menteri (Kepmen) Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) No 63 Tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Perumusan Standar Pelayanan Minimal, Kepmen Kesehatan tentang Standar Pelayanan Minimal Sektor Kesehatan, Kepmendagri tentang Sandar Pelayanan Minimal Pengurusan Pencatatan Sipil dan Pengurusan KTP, serta Keputusan Lembaga Non Departemen Tata Ruang tentang SPM Tata Ruang.
Kajian sekunder akan dilakukan terhadap berbagai tulisan artikel, makalah dan buku dan juga rancangan undang undang (RUU) yang terkait dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), birokrasi pemerintahan, reformasi birokrasi, reformasi pelayanan publik, pemerintahan daerah, hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah yang antara lain ditulis oleh Transparansi Internasional Indonesia, Yeremias T. Kaban, Lijan Poltak Sinambela, Agussalim Andi Gadjong, Ambar Teguh Sulistiyani, World Bank, UNDP, dan berbagai penulis lainnya serta RUU Pelayanan Publik. Sedangkan kajian tersier akan dilakukan terhadap bahan-bahan terkait lainnya.
e. Cara memperoleh data
Cara memperoleh data adalah dengan melakukan penelusuran dan kajian pustaka (Library Research) di berbagai perpustakaan, membeli dan mempelajari buku-buku, termasuk jurnal yang relevan serta juga website yang relevan.
f. Rencana analisa
Analisis akan dilakukan dengan cara penafsiran karena penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis empiris.
SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan penelitian dan hasilnya akan menggunakan referensi dasar buku Pedoman Penulisan Tesis yang diterbitkan oleh Universitas Jayabaya. Untuk itu, kerangka penulisan hasil penelitian ini akan ditulis sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab II : Kajian Teoritis dan Perundang-undangan
Bab III : Deskripsi Obyek Penelitian
Bab IV : Hasil Penelitian dan Analisa
Bab V : Penutup
Daftar Kepustakaan
DAFTAR KEPUSTAKAAN
- Undang Undang Dasar 1945
- Undang Undang (UU) No 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negra yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
- UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
- Peraturan Pemerintah (PP) No 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
- Rancangan Undang Undang (RUU) Pelayanan Publik
- Prinsip-prinsip Good Governance. Tranparansi Internasional Indonesia. www.transparansi.or.id
- Prinsip-Prinsip Good Governance. Komite Nasional Kebijakan Governance. www.governance-indonesia.com
- Kaban, Yermias T. Good Governance dan Capacity Building sebagai Indikator Utama dan Fokus Penilaian Kinerja Pemerintahan. Naskah No. 20 Juni – Juli 2000.
- Community, Green Mind. Teori dan Politik Hukum Tata Negara. 2009
[1] Pasal 11 UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan “penyelenggaraan urusan pemerintahanyang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah.
[2] Ayat (1) Pasal 13 UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan “urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi mrupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata tuang; c. penyelengaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumberdaya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil an menengah, termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan, termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal, termasuk lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh aturan perundang-undangan”.
[3] Ayat (1) Pasal 14 UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan “ urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan pemanfaatan dan pengawasan tata ruang; c. penyelengaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang ksehatan; f. penyelengaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketegakerjaan; i. fasilitasi pengembangan kperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. penanganan pertanahan; l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyeengaraan pelayanan dasar lainnya; p.urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
[4] Ayat (3) Pasal 14 UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan “pelaksanaan ketenutan sebagaimana diatur dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 Ayat (1) dan Ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
[5] Huruf a Ayat (1) Pasal 16 UU 32/2004 menyatakan “hubungan dalam bidang pelayanan umum antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (4) dan Ayat (5) meliputi : a. kewenangan, tanggungjawab dan penentuan standar pelayanan minimal”.
[6] PP 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal diberlakukan pada tanggal 28 Desember 2005 melalui Lembaran Negara (LN) Nomor 150 Tahun 2005.
[7] Alinea kedua UUD 1945 menyatakan “dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagi dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
[8] Alinea keempat UUD 1945 menyatakan “… dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”
[9] Pokok Pikiran ke 2 UUD 1945 menyatakan “Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”
[10] Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
[11] Asas-asas penyelenggaraan Negara yang diatur dalam Pasal 3 UU 28 tahun 1999 bahwa asas-asas umum penyelenggraan Negara meliputi : 1. Asas kepastian hukum; 2. Asas tertib penyelenggaraan Negara; 3. Asas kepentingan umum; 4. Asas keterbukaan; 5. Asas proporsionlitas; 6. Asas profesionalitas; 7. Asas akuntabilitas. Penjelasan Pasal 3 tersebut mengemukakan bahwa “1. Asas kepastian hukum adalah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap penyelenggaraan Negara; 2. Yang dimaksud dengan asas “tertib penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara; 3. Yang dimaksud dengan asas kepentingan umum adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif; 4. Yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskrimintaif tentang penyelengaraan Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara; 5. Yang dimaksud dengan asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara; 6. Yang dimaksud dengan asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 7. Yang dimaksud dengan asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
[12] Prinsip-prinsip good governance di bagian good governance. www. tranparansi.or.id. tanggal akses 20 Mei 2009.
[13] Good governance dimaknai secara beragam oleh para ahli di Indonesia. Prof. Bintoro Tjokroamidjojo dalam Good Governance (Paradima Baru Manajemen Pembangunan) memaknai good governance sebagai suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan. Yeremias T.Keban, Ph.D dalam “Good Governance” dan “Capacity Building” sebagai indikator utama dan fokus penilaian kinerja pemerintahan mengemukakan bahwa “… pembahasan tentang good governance dapat ditelusuri dari tulisan J.S. Edralin (1997). Governance merupakan suatu terminologi yang digunakan untuk menggantikan istilah government yang menunjukan penggunaan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah kenegaraan. Istilah ini secara khusus menggambarkan perubahan peranan pemerintah dari pemberi pelayanan (provider) kepada “enabler” atau “facilitator”, dan perubahan kepemilikan yaitu dari milik negara menjadi milik rakyat (hal.4)
[14] … Negara kesejahteraan dapat didefenisikan sebagai sebuah sistem kesejahteraan sosial yang member peran lebih besar pada Negara atau pemerintah (untuk mengalokasikan sebagaian dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya). Oleh Grand Mind Community, 2009. Teori Politik Hukum Tata Negara, Hal. 307.
[15] Ibid.
Aku, Sang Penjelajah#Langit itu ayahku#Bumi itu ibuku#Gunung-gunung itu kakaku#Lautan samudera itu adikku#Sungai ngarai itu sodaraku#Padang-padang itu sodariku#Hutan rimba belukar itu temanku#Tebing-tebing itu sobatku#Bintang-gemintang itu kekasihku#Mentari pagi itu pujaanku#Surya senja itu cintaku##Aku, Sang Penjelajah#Perjalanan itu ibadah#Berkelana itu doa#Mengasoh itu kidung##Aku, Sang Penjelajah#Tak terikat waktu#Tak terkurung ruang#Tak terpaku tempat##Aku, Sang Penjelajah#Akan ku daki..
Minggu, 19 Juli 2009
Efektifitas Penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa
Tulisan ini merupakan tugas Mata Kuliah Sosioliogi Hukum Kuliah Magister Hukum
===========================================================
1. LATAR BELAKANG
Desa sebagai suatu kesatuan territorial administratif dan sosiologis merupakan unit terkecil pemerintahan Negara Republik Indonesia. Sebagai suatu unit admistratif dan sosialogis, pada pokoknya suatu desa memiliki 2 aturan main utama untuk mengatur segla peri kehidupan penduduknya, yakni aturan-aturan adat – yang pada umumnya tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dari kebiasaan dan kebudayaan penduduk di desa tersebut serta aturan-aturan Negara yang diberlakukan secara struktural dari tingkat nasional hingga ke desa.
Pada era Orde Baru, desa diatur secara ketat oleh Negara melalui UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan berbagai peraturan pelaksanaanya. Namun seiring dengan hadirnya era reformasi di Negara Republik Indonesia, maka aturan-aturan tentang desa juga mengalami berbagai perubahan signifikan yang memberikan otonomi lebih luas terhadap desa dibanding era sebelumnya, misalnya antara lain adalah bahwa istilah desa untuk unit pemerintahan terkecil Negara tidak perlu seragam lagi. Masing-masing kesatuan sosiologis administratif tersebut dapat menggunakan istilah sendiri sesuai konteks lokal dan kesepakatan bersama masyarakat setempat tentunya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 12 Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 1 Angka 5 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, menyatakan bahwa “Desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat, yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Selanjutnya Pasal 200 Ayat 2 UU tersebut menyatakan bahwa “Pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Desa dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat”.
Pasal 206 UU No. 32 Tahun 2004 juncto Pasal 7 PP No. 7 Tahun 2005 tentang Desa mengatur kewenangan desa meliputi “a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; b) urusan pemerintahanyang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; c) tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota; d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Selanjutnya Pasal 207 menyatakan bahwa “tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia”.
Pembangunan di desa merupakan bagian dari pembangunan bangsa dan Negara Republik Indonesia. Karena itu, pembangunan harus dilakukan menggunakan suatu perencanaan yang baik dan matang sebagaimana diatur dalam UU No. 25Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam pada itu, konsiderans menimbang dalam UU tersebut pada poin c,d dan e menyatakan bahwa “c) tugas pokok bangsa selanjutnya adalah menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu serta mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan; d) untuk menjamin agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efesien dan bersasaran maka diperlukan perencanaan pembangunan nasional; e) agar dapat disusun perencanaan pembangunan nasional yang dapat menjamin tercapainya tujuan Negara perlu adanya sistem perencanaan pembangunan nasional”. Selanjutnya Pasal 1 angka 1, 2 dan 3 UU tersebut menyatakan bahwa “1) perencanaan adalah suatu tindakan untuk menentukan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia; 2) Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara; 3) Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah suatu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsure penyelenggara Negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah”.
Secara struktural, perencanaan pembangunan nasional diatur penyelenggaraannya secara berjenjang yang dimulai dengan perencanaan pembangunan di ditingkat Desa melalui suatu Musyararah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional juncto PP No 8 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pembangunan Daerah. Pasal 20 Ayat (1) PP No 8 Tahun 2008 tersebut menyatakan bahwa “Musrenbang RKPD kabupaten/kota dimulai dari Musrenbang desa atau sebutan lain/kelurahan dan kecamatan atau sebutan lain” yang lalu diteruskan secara berjenjang ke Murenbang kabupaten/kota, provinsi dan kemudian berpuncak pada Musrenbang Nasional – yang dikoordinir oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Kenyataannya, banya desa yang tidak memiliki RKP-Desa, apalagi RPJMDesa sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas. Dalam banyak kasus seperti yang terjadi di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara, rencana pembangunan yang disebut sebagai hasil suatu Musrenbang hanyalah buah pikir para Kepala Desa yang disampaikan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan yang lalu secara berjenjang diteruskan ke tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Dari praktek-praktek Musyarawah Perencanaan Pebangunan yang terjadi di level desa ditemukan adanya sejumlah masalah, yakni :
1) Minim atau tidak adanya partisipasi warga masyarakat karena minimnya kapasitas pemerintah desa memfasilitasi perencanaan pembangunan di desa sebagai akibat dari minimnya pengetahuan, kesadaran dan kapasitas – yang harusnya difasilitasi oleh Badan Perencanaan Pebangunan Daerah (BAPPEDA) kabupaten/kota dimana suatu desa berada.
2) Perencanaan pembangunan yang dilakukan beberapa desa masih bersifat elitis, yakni hanya melibatatkan aparat desa dan para tokoh. Akibatnya kebutuhan orang miskin dan terpinggirkan seperti perempuan, anak-anak, orang cacat dan juga lansia tidak teridentifikasi dan terumuskan.
3) Beberapa desa yang melakukan musyarawah perencanaan pembangunan tidak memiliki kemampuan analisis yang memadai sehingga hasil perencanaannya secara umum adalah daftar keinginan semata, bukan kebutuhan prioritas yang harus didanai oleh Negara melalui APBD dan/atau APBN.
4) Mayoritas hasil Musrebangdes tidak terakomodir dalam perencanaan pembangunan di level yang lebih tinggi seperti kecamatan, kabupaten/kota dan seterusnya. Halmana berdampak pada apatisme desa, termasuk masyarakatnya untuk melakukan Musrenbangdes.
2. LANDASAN TEORI dan ANALISIS
Permasalah Musrenbangdes tersebut diatas dapat dianalisis menggunakan teori fungsional struktural yang dikemukakan oleh Emile Durkheim dan Robert K. Merton.
Durkheim mengemukakan bahwa “1) Di setiap masyarakat senantiasa dijumpai suatu keterkaitan (kohesi). Dalam masyarakat seperti itu terdapat pengelompokan intermedier atas lembaga-lembaga kemasyarakatan, sehingga di dalam masyarakat ada semacam suatu struktur tertentu; dan 2) jika dalam pengelompokan membagi nilai dengan norma-norma yang sama, maka masyarakat itu memiliki aturan dalam pergaulan hidup, dimana orang-orang mempunyai ikatan-ikatan erat dalam pengelompokan intermedier, sehingga mereka mengindahkan nilai-nilai dan norma pergaulan hidup tersebut”[1].
Sedangkan, menurut teori Anomi Fungsional Strukturalisme Robert K. Merton sebagai penyempurnaan terhadap teori Durkheim bahwa “ kesenjangan antara tujuan dan alat tidak dapat diterangkan dari sudut prikologi atau biologi, tetapi adalah akibat dari kultur dan struktur pergaulan hidup”[2].
3. ANALISIS
Desa merupakan suatu pengelompokan sosial, budaya dan juga administrasi pemerintahan. Di suatu desa sendiri terdapat berbagai kelompok masyarakat yang berinteraksi satu sama lain sesuai norma-norma sosial budaya setempat. Dalam kaitannya dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat diidentifikasi adanya sejumlah kelembagaan terkait satu sama lain sebagaimana teori Durkheim, yakni antara lain Desa (Pemerintah Desa, Lembaga Kemasyarakat Desa, dan juga kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan di desa), lembaga pemerintahan tingkat Kecamatan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) kabupaten/kota, serta berbagai lembaga sektoral di tingkat kecamatan hingga kabupaten/kota seperti Dinas Kesehatan dengan Unit Pelayanan Teknis (UPT) Puskesmas, Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, dll yang mana semuanya terkait satu sama lain dalam perencanaan pembangunan sebagimana diatur oleh aturan perundang-undangan tentang Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang telah memberikan kewenangan dan kewajiban kepada masing-masing lembaga.
Dalam kaitannya dengan Musrenbang desa/atau nama lainnya maka Pasal 63 PP No 72 tahun 2005 tentang Desa menyatakan bahwa “1) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, maka disusun perencanaan pembangunan desa sebagai suatu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten / kota; 2) perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada Pasal (1) disusun secara partisipatif oleh pemerintahan desa sesuai dengan kewenangannya; 3) dalam perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan desa”. Selanjutnya dalam Pasal 64 diatur bahwa “(1) perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 Ayat (2) disusun secara berjangka meliputi : a) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa yang selanjutnya disebut RPJMD untuk jangka waktu 5 (lima) tahun; b) Rencana Kerja Pembangunan Desa, selanjutnya disebut RKP-Desa, merupakan penjabaran dan RPJMD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Lebih lanjut, PERMENDAGRI No 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa menyatakan bahwa “pengertian Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa yang selanjutnya disebut MUSRENBANGDES adalah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan secara partisipatif oleh para pemangku kepentingan desa (pihak yang berkepentingan untuk mengatasi permasalah desa dan pihak yang akan terkena dampak hasil musywarah) untuk menyepkati rencana kegiatan di desa 5 (lima) dan 1 (satu) tahunan. Musrenbangdes berfungsi sebagai wadah untuk menselaraskan kesepakatan antar para pelaku, baik pemerintah, masyarakat maupun swasta tentang rencana kerja tahunan di masing-masing desa. Musrenbang juga digunakan untuk menjabarkan rencana jangka panjang menjadi kegiatan anggaran tahunan”[3]
Secara berjenjang, RKP-Desa dan RPJMDes terintegrasi dengan RKP-Kabupaten / kota dan RPJMD kabupaten/kota yang lalu teritegrasi ke provinsi dan seterusnya sampai ke level nasional. Masalahnya, masing-masing lembaga yang terikat dalam suatu sistem perencanaan tersebut sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tersebut memiliki ego, kepentingan, keinginan, kebutuhan dan agenda sendiri-sendiri untuk menyerap dan menggunakan anggaran pembangunan dalam membiayai perencanaan-perencanaan pembangunan.
Pada level desa, Kepala Desa memiliki kepentingan, keinginan dan kebutuhan yang berbeda dengan warga masyarakatnya. Kelompok elit desa memiliki kepentingan dan kebutuhan berbeda dengan kelompok miskin dan terpinggirkan, dan seterusnya. Di level kecamatan, masing-masing desa memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda satu sama lain. Demikian juga dengan di level kabupaten/kota, semua lembaga tersebut memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda – yang mana seharusnya kepentingan dan kebutuhan berbeda tersebut dapat dikompromikan dengan menggunakan dasar kepentingan dan kebutuhan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat sebagai alat kontrolnya.
Namun karena kepentingan dan kebutuhan masing-masing pihak tidak dapat dikompromomikan dalam proses-proses perencanaan, maka yang terjadi adalah lembaga yang secara struktural berada di posisi lebih tinggi akan mengorbankan kepentingan dan kebutuhan lembaga yang lebih rendah posisinya. Misalnya, Pemerintah Desa yang memiliki kepentingan dan kebutuhan sendiri akan memasukan kepentingan dan kebutuhan tersebut sebagai hasil Musrenbang di level desa, demikian seterusnya secara berjenjang sehingga pada saat Musrenbang kabupaten/kota, hasil-hasil yang muncul adalah kepentingan dan kebutuhan masing-masing lembaga di level kabupaten dan kota yang memiliki posisi, wewenang dan sumber daya lebih dibandingkan dengan lembaga-lembaga di level kecamatan dan desa yang harusnya dilihat sebagai suatu pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan tentang Perencanaan Pembangunan.
Akibatnya, usulan-usulan masyarakat yang disampaikan melalui pertemuan-pertemuan Musrenbangdes tidak terakomodir ke dalam perencanaan pembangunan daerah di tingkat kabupaten maupun provinsi. Dampak selanjutnya adalah program-program pembangunan yang masuk ke desa tidak menjawab kebutuhan masyarakat desa sehingga menjadi tidak bermanfaat karena tidak sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Contohnya kasus yang terjadi di Kelurahan Takome, Kota Ternate, Provinsi Maluku Tenggara. Pada Musrenbang tahun 2007, penduduk kelurahan tersebut mengajukan usulan pengadaan alat tangkap ikan bagi nelayan setempat. Namun, Pemerintah Daerah memberikan bantuan ternak sapi pada tahun 2008 – dimana sapi-sapi tersebut diberikan pada kelompok elit setempat. Contoh kasus tersebut memperlihatkan tidak adanya hubungan antara hasil Musrenbang dengan realisasinya. Praktek-praktek seperti kasus di Kelurahan Takome tersebut telah berlangsung selama bertahun-tahun karena faktor-faktor antara lain :1) tidak ada mekanisme formal dan praktis yang memungkinkan masyarakat desa mengawal usulan-usulan mereka hingga ke Musrenbang tingkat kabupaten / kota dan provinsi; 2) Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) di level kabupaten / kota memiliki agenda dan kepentingan sendiri yang berbeda dengan agenda dan kepentingan masyarakat desa; 3) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) kabupaten/kota sebagai lembaga pemerintah yang bertanggungjawab mengkoordinir perencanaan pembangunan lebih memilih mengakomodir agenda-agenda SKPD terkait daripada memasukan agenda masyarakat desa sebagaimana teori Anomi Robert K. Merton tersebut di atas bahwa kesenjangan tersebut diakibatkan oleh kultur dan struktur. Karena praktek-praktek seperti itu telah berlangsung bertahun-tahun, maka dapat dikatakan bahwa hasil-hasil Musrenbangdes yang tidak terakomodir di tingkat kabupaten/kota hingga provinsi telah menjadi budaya. Strukur pemerintahan yang berjejang dari desa hingga kabupaten/kota dan provinsi telah mengakibatkan usulan-usulan masyarakat desa tidak diperhatikan dan dijawab dalam rencana-rencana pembangunan daerah saat lembaga-lembaga sektoral pemerintah memiliki agenda dan kepentingan sendiri untuk dilaksanakan. Tidak ada mekanisme yang member ruang bagi masyarakat desa untuk menyuarakan kebutuhan dan kepentingannya dalam Murenbang kabupaten/kota dan provinsi membuat kebutuhan-kebutuhan mereka selalu diabaikan.
Dalam kaitanya dengan kondisi tersebut, teori Robert K. Merton memberikan penjelasan bahwa “terdapat jurang pemisah antara di satu sisi ambisi-ambisi atau tujuan-tujuanyang ditetapkan oleh suatu kebudayaan (mencapai sukses), di sisi lain kemungkinan-kemungkinan untuk mencapai hal itu (puncak). Bagi sebagian besar warga hal tersebut tidak mungkin mencapai puncak, mereka yang tinggal di daerah kumuh atau yang dibesarkan dalam gubuk tidak memperoleh pendidikan yang baik, karenanya tidak mempunyai pekerjaan yang layak, bahkan tidak mampu menabung uang untuk membuka usaha sendiri”[4]. Dalam kasus Musrenbangdes yang tidak terakomodir di level kabupaten/kota maupun provinsi memperlihatkan adanya korelasi jarak, pendidikan dan juga struktur dalam pengabaian kebutuhan dan kepentingan desa pada Musrenbang kabupaten/kota dan provinsi. Meskinpun untuk itu telah tersedia aturan yang memberikan jaminan adanya perencanaan dari bahwa namun tidak tersedianya aturan yang mengatur akses desa ke forum Musrenbang di tingkat kabupaten/kota dan provinsi menyebabkan kebutuhan dan kepentingan pembangunan desa/kelurahan selalu terabaikan dan diatur oleh lembaga-lembaga pemerintah di level kabupaten/kota atau provinsi. Masyarakat desa sebagai kelompok masyarakat yang berada pada jejang terbawah struktur kekuasaan pemerintah tidak memiliki ruang menyuarakan kebutuhan dan kepentingan mereka. Penyuaraan kebutuhan dan kepentingan mereka sangat tergantung pada kelompok-kelompok kelas menengah yang didominasi oleh organisasi-organisasi non pemerintah (Lembaga Swadaya Masyarakat / LSM) yang di beberapa daerah juga tidak memiliki akses ke forum Musrenbang kabupaten / kota. Kalaupun kelas menengah ini memiliki akses ke forum-forum Musrenbang, maka kadang mereka juga harus berkompromi dengan agenda dan kepentingan dinas-dinas sektoral pemerintah setempat. Jika tidak, maka pada Musrenbang yang akan datang, mereka tidak akan lagi diikut sertakan.
Dengan demikian, harus dinyatakan bahwa kebutuhan dan kepentingan desa hanya bisa terakomodir dalam forum Musrenbang kabupaten / kota dan provinsi jika wakil-wakil masyarakat desa yang dipilih melalui suatu proses yang terbuka dan menyeluruh di desa diikutsertakan dalam forum-forum Musrenbang kabupaten/kota dan provinsi sehingga mereka dapat menyuarakan dan memperjuangkan terakomodirnya agenda-agenda pembangunan desa untuk mendapatkan pembiayaan Negara melalui APBN dan APBD. Jika tidak, maka pengabaian kebutuhan dan agenda pembangunan desa akan terus berlangsung – walaupun tersedianya aturan yang menjamin akomodasi kebutuhan dan agenda pembangunan desa, namun ketiadaan mekanisme kontrol menyebabkan penyimpangan akan selalu terjadi terus menerus.
4. REFERENSI
- UU No 32 Tahun 2004 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah
- UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional
- PP 72 Tahun 2005 tentang Desa
- PP No 8 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pembangunan Daerah
- PERDA Kabupaten Luwu Utara No 15 tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa / Kelurahan
- Prof. Dr. Bambang Widodo. Paradigma Sosiologi Hukum. Universitas Jayabaya, 2009.
- Arum Widayatsih. MUSRENBANG: Dilema “titah Paduka” dan kebutuhan masyarakat desa
- Sukanto Toding. Bahteramas dan Kemandirian Desa
- Imron Rosyid. Merencanakan dan Mengelola Keuangan Desa
- Aos Kuswandi. Penyusunan Pelaporan Pembangunan Desa, 2007
[1] Prof. Dr. Bambang Widodo. Paradigma Sosiologi Hukum, Hal. 33. Universitas Jayabaya, 2008.
[2] Ibid
[3] Arum Widayatsih. Blog 11 Juni 2008. Hal. 1
[4] Opcit. Hal 40
===========================================================
1. LATAR BELAKANG
Desa sebagai suatu kesatuan territorial administratif dan sosiologis merupakan unit terkecil pemerintahan Negara Republik Indonesia. Sebagai suatu unit admistratif dan sosialogis, pada pokoknya suatu desa memiliki 2 aturan main utama untuk mengatur segla peri kehidupan penduduknya, yakni aturan-aturan adat – yang pada umumnya tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dari kebiasaan dan kebudayaan penduduk di desa tersebut serta aturan-aturan Negara yang diberlakukan secara struktural dari tingkat nasional hingga ke desa.
Pada era Orde Baru, desa diatur secara ketat oleh Negara melalui UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan berbagai peraturan pelaksanaanya. Namun seiring dengan hadirnya era reformasi di Negara Republik Indonesia, maka aturan-aturan tentang desa juga mengalami berbagai perubahan signifikan yang memberikan otonomi lebih luas terhadap desa dibanding era sebelumnya, misalnya antara lain adalah bahwa istilah desa untuk unit pemerintahan terkecil Negara tidak perlu seragam lagi. Masing-masing kesatuan sosiologis administratif tersebut dapat menggunakan istilah sendiri sesuai konteks lokal dan kesepakatan bersama masyarakat setempat tentunya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 12 Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Pasal 1 Angka 5 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, menyatakan bahwa “Desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat, yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Selanjutnya Pasal 200 Ayat 2 UU tersebut menyatakan bahwa “Pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Desa dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat”.
Pasal 206 UU No. 32 Tahun 2004 juncto Pasal 7 PP No. 7 Tahun 2005 tentang Desa mengatur kewenangan desa meliputi “a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; b) urusan pemerintahanyang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; c) tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota; d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Selanjutnya Pasal 207 menyatakan bahwa “tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia”.
Pembangunan di desa merupakan bagian dari pembangunan bangsa dan Negara Republik Indonesia. Karena itu, pembangunan harus dilakukan menggunakan suatu perencanaan yang baik dan matang sebagaimana diatur dalam UU No. 25Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam pada itu, konsiderans menimbang dalam UU tersebut pada poin c,d dan e menyatakan bahwa “c) tugas pokok bangsa selanjutnya adalah menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu serta mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan; d) untuk menjamin agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efesien dan bersasaran maka diperlukan perencanaan pembangunan nasional; e) agar dapat disusun perencanaan pembangunan nasional yang dapat menjamin tercapainya tujuan Negara perlu adanya sistem perencanaan pembangunan nasional”. Selanjutnya Pasal 1 angka 1, 2 dan 3 UU tersebut menyatakan bahwa “1) perencanaan adalah suatu tindakan untuk menentukan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia; 2) Pembangunan nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara; 3) Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah suatu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsure penyelenggara Negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah”.
Secara struktural, perencanaan pembangunan nasional diatur penyelenggaraannya secara berjenjang yang dimulai dengan perencanaan pembangunan di ditingkat Desa melalui suatu Musyararah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional juncto PP No 8 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pembangunan Daerah. Pasal 20 Ayat (1) PP No 8 Tahun 2008 tersebut menyatakan bahwa “Musrenbang RKPD kabupaten/kota dimulai dari Musrenbang desa atau sebutan lain/kelurahan dan kecamatan atau sebutan lain” yang lalu diteruskan secara berjenjang ke Murenbang kabupaten/kota, provinsi dan kemudian berpuncak pada Musrenbang Nasional – yang dikoordinir oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Kenyataannya, banya desa yang tidak memiliki RKP-Desa, apalagi RPJMDesa sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas. Dalam banyak kasus seperti yang terjadi di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara, rencana pembangunan yang disebut sebagai hasil suatu Musrenbang hanyalah buah pikir para Kepala Desa yang disampaikan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan yang lalu secara berjenjang diteruskan ke tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Dari praktek-praktek Musyarawah Perencanaan Pebangunan yang terjadi di level desa ditemukan adanya sejumlah masalah, yakni :
1) Minim atau tidak adanya partisipasi warga masyarakat karena minimnya kapasitas pemerintah desa memfasilitasi perencanaan pembangunan di desa sebagai akibat dari minimnya pengetahuan, kesadaran dan kapasitas – yang harusnya difasilitasi oleh Badan Perencanaan Pebangunan Daerah (BAPPEDA) kabupaten/kota dimana suatu desa berada.
2) Perencanaan pembangunan yang dilakukan beberapa desa masih bersifat elitis, yakni hanya melibatatkan aparat desa dan para tokoh. Akibatnya kebutuhan orang miskin dan terpinggirkan seperti perempuan, anak-anak, orang cacat dan juga lansia tidak teridentifikasi dan terumuskan.
3) Beberapa desa yang melakukan musyarawah perencanaan pembangunan tidak memiliki kemampuan analisis yang memadai sehingga hasil perencanaannya secara umum adalah daftar keinginan semata, bukan kebutuhan prioritas yang harus didanai oleh Negara melalui APBD dan/atau APBN.
4) Mayoritas hasil Musrebangdes tidak terakomodir dalam perencanaan pembangunan di level yang lebih tinggi seperti kecamatan, kabupaten/kota dan seterusnya. Halmana berdampak pada apatisme desa, termasuk masyarakatnya untuk melakukan Musrenbangdes.
2. LANDASAN TEORI dan ANALISIS
Permasalah Musrenbangdes tersebut diatas dapat dianalisis menggunakan teori fungsional struktural yang dikemukakan oleh Emile Durkheim dan Robert K. Merton.
Durkheim mengemukakan bahwa “1) Di setiap masyarakat senantiasa dijumpai suatu keterkaitan (kohesi). Dalam masyarakat seperti itu terdapat pengelompokan intermedier atas lembaga-lembaga kemasyarakatan, sehingga di dalam masyarakat ada semacam suatu struktur tertentu; dan 2) jika dalam pengelompokan membagi nilai dengan norma-norma yang sama, maka masyarakat itu memiliki aturan dalam pergaulan hidup, dimana orang-orang mempunyai ikatan-ikatan erat dalam pengelompokan intermedier, sehingga mereka mengindahkan nilai-nilai dan norma pergaulan hidup tersebut”[1].
Sedangkan, menurut teori Anomi Fungsional Strukturalisme Robert K. Merton sebagai penyempurnaan terhadap teori Durkheim bahwa “ kesenjangan antara tujuan dan alat tidak dapat diterangkan dari sudut prikologi atau biologi, tetapi adalah akibat dari kultur dan struktur pergaulan hidup”[2].
3. ANALISIS
Desa merupakan suatu pengelompokan sosial, budaya dan juga administrasi pemerintahan. Di suatu desa sendiri terdapat berbagai kelompok masyarakat yang berinteraksi satu sama lain sesuai norma-norma sosial budaya setempat. Dalam kaitannya dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat diidentifikasi adanya sejumlah kelembagaan terkait satu sama lain sebagaimana teori Durkheim, yakni antara lain Desa (Pemerintah Desa, Lembaga Kemasyarakat Desa, dan juga kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan di desa), lembaga pemerintahan tingkat Kecamatan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) kabupaten/kota, serta berbagai lembaga sektoral di tingkat kecamatan hingga kabupaten/kota seperti Dinas Kesehatan dengan Unit Pelayanan Teknis (UPT) Puskesmas, Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, dll yang mana semuanya terkait satu sama lain dalam perencanaan pembangunan sebagimana diatur oleh aturan perundang-undangan tentang Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang telah memberikan kewenangan dan kewajiban kepada masing-masing lembaga.
Dalam kaitannya dengan Musrenbang desa/atau nama lainnya maka Pasal 63 PP No 72 tahun 2005 tentang Desa menyatakan bahwa “1) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, maka disusun perencanaan pembangunan desa sebagai suatu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten / kota; 2) perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada Pasal (1) disusun secara partisipatif oleh pemerintahan desa sesuai dengan kewenangannya; 3) dalam perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan desa”. Selanjutnya dalam Pasal 64 diatur bahwa “(1) perencanaan pembangunan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 Ayat (2) disusun secara berjangka meliputi : a) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa yang selanjutnya disebut RPJMD untuk jangka waktu 5 (lima) tahun; b) Rencana Kerja Pembangunan Desa, selanjutnya disebut RKP-Desa, merupakan penjabaran dan RPJMD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Lebih lanjut, PERMENDAGRI No 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa menyatakan bahwa “pengertian Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa yang selanjutnya disebut MUSRENBANGDES adalah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan secara partisipatif oleh para pemangku kepentingan desa (pihak yang berkepentingan untuk mengatasi permasalah desa dan pihak yang akan terkena dampak hasil musywarah) untuk menyepkati rencana kegiatan di desa 5 (lima) dan 1 (satu) tahunan. Musrenbangdes berfungsi sebagai wadah untuk menselaraskan kesepakatan antar para pelaku, baik pemerintah, masyarakat maupun swasta tentang rencana kerja tahunan di masing-masing desa. Musrenbang juga digunakan untuk menjabarkan rencana jangka panjang menjadi kegiatan anggaran tahunan”[3]
Secara berjenjang, RKP-Desa dan RPJMDes terintegrasi dengan RKP-Kabupaten / kota dan RPJMD kabupaten/kota yang lalu teritegrasi ke provinsi dan seterusnya sampai ke level nasional. Masalahnya, masing-masing lembaga yang terikat dalam suatu sistem perencanaan tersebut sebagaimana diatur dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional tersebut memiliki ego, kepentingan, keinginan, kebutuhan dan agenda sendiri-sendiri untuk menyerap dan menggunakan anggaran pembangunan dalam membiayai perencanaan-perencanaan pembangunan.
Pada level desa, Kepala Desa memiliki kepentingan, keinginan dan kebutuhan yang berbeda dengan warga masyarakatnya. Kelompok elit desa memiliki kepentingan dan kebutuhan berbeda dengan kelompok miskin dan terpinggirkan, dan seterusnya. Di level kecamatan, masing-masing desa memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda satu sama lain. Demikian juga dengan di level kabupaten/kota, semua lembaga tersebut memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda – yang mana seharusnya kepentingan dan kebutuhan berbeda tersebut dapat dikompromikan dengan menggunakan dasar kepentingan dan kebutuhan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat sebagai alat kontrolnya.
Namun karena kepentingan dan kebutuhan masing-masing pihak tidak dapat dikompromomikan dalam proses-proses perencanaan, maka yang terjadi adalah lembaga yang secara struktural berada di posisi lebih tinggi akan mengorbankan kepentingan dan kebutuhan lembaga yang lebih rendah posisinya. Misalnya, Pemerintah Desa yang memiliki kepentingan dan kebutuhan sendiri akan memasukan kepentingan dan kebutuhan tersebut sebagai hasil Musrenbang di level desa, demikian seterusnya secara berjenjang sehingga pada saat Musrenbang kabupaten/kota, hasil-hasil yang muncul adalah kepentingan dan kebutuhan masing-masing lembaga di level kabupaten dan kota yang memiliki posisi, wewenang dan sumber daya lebih dibandingkan dengan lembaga-lembaga di level kecamatan dan desa yang harusnya dilihat sebagai suatu pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan tentang Perencanaan Pembangunan.
Akibatnya, usulan-usulan masyarakat yang disampaikan melalui pertemuan-pertemuan Musrenbangdes tidak terakomodir ke dalam perencanaan pembangunan daerah di tingkat kabupaten maupun provinsi. Dampak selanjutnya adalah program-program pembangunan yang masuk ke desa tidak menjawab kebutuhan masyarakat desa sehingga menjadi tidak bermanfaat karena tidak sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Contohnya kasus yang terjadi di Kelurahan Takome, Kota Ternate, Provinsi Maluku Tenggara. Pada Musrenbang tahun 2007, penduduk kelurahan tersebut mengajukan usulan pengadaan alat tangkap ikan bagi nelayan setempat. Namun, Pemerintah Daerah memberikan bantuan ternak sapi pada tahun 2008 – dimana sapi-sapi tersebut diberikan pada kelompok elit setempat. Contoh kasus tersebut memperlihatkan tidak adanya hubungan antara hasil Musrenbang dengan realisasinya. Praktek-praktek seperti kasus di Kelurahan Takome tersebut telah berlangsung selama bertahun-tahun karena faktor-faktor antara lain :1) tidak ada mekanisme formal dan praktis yang memungkinkan masyarakat desa mengawal usulan-usulan mereka hingga ke Musrenbang tingkat kabupaten / kota dan provinsi; 2) Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) di level kabupaten / kota memiliki agenda dan kepentingan sendiri yang berbeda dengan agenda dan kepentingan masyarakat desa; 3) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) kabupaten/kota sebagai lembaga pemerintah yang bertanggungjawab mengkoordinir perencanaan pembangunan lebih memilih mengakomodir agenda-agenda SKPD terkait daripada memasukan agenda masyarakat desa sebagaimana teori Anomi Robert K. Merton tersebut di atas bahwa kesenjangan tersebut diakibatkan oleh kultur dan struktur. Karena praktek-praktek seperti itu telah berlangsung bertahun-tahun, maka dapat dikatakan bahwa hasil-hasil Musrenbangdes yang tidak terakomodir di tingkat kabupaten/kota hingga provinsi telah menjadi budaya. Strukur pemerintahan yang berjejang dari desa hingga kabupaten/kota dan provinsi telah mengakibatkan usulan-usulan masyarakat desa tidak diperhatikan dan dijawab dalam rencana-rencana pembangunan daerah saat lembaga-lembaga sektoral pemerintah memiliki agenda dan kepentingan sendiri untuk dilaksanakan. Tidak ada mekanisme yang member ruang bagi masyarakat desa untuk menyuarakan kebutuhan dan kepentingannya dalam Murenbang kabupaten/kota dan provinsi membuat kebutuhan-kebutuhan mereka selalu diabaikan.
Dalam kaitanya dengan kondisi tersebut, teori Robert K. Merton memberikan penjelasan bahwa “terdapat jurang pemisah antara di satu sisi ambisi-ambisi atau tujuan-tujuanyang ditetapkan oleh suatu kebudayaan (mencapai sukses), di sisi lain kemungkinan-kemungkinan untuk mencapai hal itu (puncak). Bagi sebagian besar warga hal tersebut tidak mungkin mencapai puncak, mereka yang tinggal di daerah kumuh atau yang dibesarkan dalam gubuk tidak memperoleh pendidikan yang baik, karenanya tidak mempunyai pekerjaan yang layak, bahkan tidak mampu menabung uang untuk membuka usaha sendiri”[4]. Dalam kasus Musrenbangdes yang tidak terakomodir di level kabupaten/kota maupun provinsi memperlihatkan adanya korelasi jarak, pendidikan dan juga struktur dalam pengabaian kebutuhan dan kepentingan desa pada Musrenbang kabupaten/kota dan provinsi. Meskinpun untuk itu telah tersedia aturan yang memberikan jaminan adanya perencanaan dari bahwa namun tidak tersedianya aturan yang mengatur akses desa ke forum Musrenbang di tingkat kabupaten/kota dan provinsi menyebabkan kebutuhan dan kepentingan pembangunan desa/kelurahan selalu terabaikan dan diatur oleh lembaga-lembaga pemerintah di level kabupaten/kota atau provinsi. Masyarakat desa sebagai kelompok masyarakat yang berada pada jejang terbawah struktur kekuasaan pemerintah tidak memiliki ruang menyuarakan kebutuhan dan kepentingan mereka. Penyuaraan kebutuhan dan kepentingan mereka sangat tergantung pada kelompok-kelompok kelas menengah yang didominasi oleh organisasi-organisasi non pemerintah (Lembaga Swadaya Masyarakat / LSM) yang di beberapa daerah juga tidak memiliki akses ke forum Musrenbang kabupaten / kota. Kalaupun kelas menengah ini memiliki akses ke forum-forum Musrenbang, maka kadang mereka juga harus berkompromi dengan agenda dan kepentingan dinas-dinas sektoral pemerintah setempat. Jika tidak, maka pada Musrenbang yang akan datang, mereka tidak akan lagi diikut sertakan.
Dengan demikian, harus dinyatakan bahwa kebutuhan dan kepentingan desa hanya bisa terakomodir dalam forum Musrenbang kabupaten / kota dan provinsi jika wakil-wakil masyarakat desa yang dipilih melalui suatu proses yang terbuka dan menyeluruh di desa diikutsertakan dalam forum-forum Musrenbang kabupaten/kota dan provinsi sehingga mereka dapat menyuarakan dan memperjuangkan terakomodirnya agenda-agenda pembangunan desa untuk mendapatkan pembiayaan Negara melalui APBN dan APBD. Jika tidak, maka pengabaian kebutuhan dan agenda pembangunan desa akan terus berlangsung – walaupun tersedianya aturan yang menjamin akomodasi kebutuhan dan agenda pembangunan desa, namun ketiadaan mekanisme kontrol menyebabkan penyimpangan akan selalu terjadi terus menerus.
4. REFERENSI
- UU No 32 Tahun 2004 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah
- UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional
- PP 72 Tahun 2005 tentang Desa
- PP No 8 Tahun 2008 tentang Perencanaan Pembangunan Daerah
- PERDA Kabupaten Luwu Utara No 15 tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa / Kelurahan
- Prof. Dr. Bambang Widodo. Paradigma Sosiologi Hukum. Universitas Jayabaya, 2009.
- Arum Widayatsih. MUSRENBANG: Dilema “titah Paduka” dan kebutuhan masyarakat desa
- Sukanto Toding. Bahteramas dan Kemandirian Desa
- Imron Rosyid. Merencanakan dan Mengelola Keuangan Desa
- Aos Kuswandi. Penyusunan Pelaporan Pembangunan Desa, 2007
[1] Prof. Dr. Bambang Widodo. Paradigma Sosiologi Hukum, Hal. 33. Universitas Jayabaya, 2008.
[2] Ibid
[3] Arum Widayatsih. Blog 11 Juni 2008. Hal. 1
[4] Opcit. Hal 40
Sejarah Hukum : Makalah 40 halaman - gelo benar.
Sabtu, 18 Juli 2009,
Pada hari Jumat, 17 Juli 2009 saya mendapatkan sms dari beberapa teman kuliah bahwa hari sabtu ada kuliah sejarah hukum. SMS yang saya saya terima dari pak Slamet, yang lalu saya konfirmasi apakah mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah umum atau konsentrasi berhubung karena saya telah mengambil konsentrasi HTN, maka saya perlu informasi jelas sehingga tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu. Jawabannya adalah mata kuliah umum sehingga saya akhirnya harus mengikuti kuliah tersebut.
Kuliah di mulai jam 1, dimana saat saya tiba kuliah telah dimulai, padahal jam yang saya kenakan baru menunjukan pukul 1 tepat. Pintu saya ketuk perlahan lalu melangkah masuk dan mengucapkan salam terhadap dosen yang menyahut seadanya. Suasana kelas terasa lain daripada biasanya. Sepertinya ada ketegangan dalam kelas. Diam-diam saya mengambil tempat duduk di belakang Pak Panca Hasibuan disamping Pak Jurnalis. Pak Jurnalis kemudian mengambil absensi dan menyodorkanya kepada ku, namun karena dosen juga sedang melakukan absensi menggunakan list yang dipegangnya, maka map absen yang disodorkan Jurnlis tidak saya hiraukan karena mengira dicandai.
Saat sang dosen selesai mengabsen, beberapa teman susul menyusul masuk, antara lain Pak Gatot yang bekerja di BPKP, Bu Sumarni di KPK, Pak Junias di salah satu Law Firm di Jakarta serta Pak Loekman lalu Bu Wan Sellya yang memiliki kantor notariat sendiri. Mereka juga merasakan suasana tegang kelas sehingga mulai kasak kusuk mencari tau apa yang sebenarnya terjadi. Karena saya duduk paling dekat dengan teman-teman yang baru masuk tersebut, maka rasa penasaran mereka dalam bentuk tanya tersebut disampaikan ke saya, namun saya hanya mengankat bahu sambil mencibir tanda tak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.
Saat sang dosen keluar ruangan, sambil meminta agar kami membaca fotocopian bahan kuliah yang telah dibagikan oleh Pak Slamet, kelas langsung ribut dan saling sapa satu sama lain, termasuk mencari tahu apa yang terjadi, yakni bahwa sang dosen ngomel-ngomel karena sabtu lalu saat dia tiba untuk mengajar, ternyata semua mahasiswa telah pulang sehingga dia terpaksa gigit jari dan balik juga. Padahal dia telah bersusah payah dari Tanggerang untuk menyampaikan kuliahnya.
Suasana mulai mencair saat dosen memasuki kelas sambil membawa setumpuk buku baru yang masih bersampul plastik. Dia bertanya berapa mahasiswa yang hadir, saya menjawab 16 setelah menghitung semunya, namun ternyata dia ingin mengetahui berapa semua mahasiswa yang mengikuti kuliah Sejarah Hukum, setelah berpandangan satu sama lain, maka Pak Budi Setiawan pun menjawab sekitar 30 orang. Lalu ditanggapin bahwa buku yang dibawanya tidak mencukupi karena hanya 25. Menurutnya buku tersebut juga telah habis di Gramedia sehingga dia secara khusus meminta penerbit menyediakan buku yang ternyata tulisan sang dosen itu sendiri. Teman-teman yang duduk dijajar depan lalu berinisiatif mengambil dan membangikan buku-buku tersebut, sambil ditimpali oleh dosen dengan informasi bahwa harga buku belum berubah sejak dijual di toko buku Gramedia, yakni 100 ribu per buku. Tentu saja beberapa diantara kami merengut mendengar harga tersebut, namun tidak ada pilihan selain membeli buku tersebut... saya hanya senyum simpul melihat ke Pak Jurnalis yang duduk di sebelah saya.
Saat sang dosen keluar lagi untuk mengurus sesuatu, bagaikan burung lepas sangkar, berbagai komentar pun berseliweran tentang hal tersebut, termasuk tentang PPN 10%... ada yang mengatakan jika dijual di Gramedia, seharusnya buku tsb dipotong pajak 10%, dan karena ada teman kuliah, yakni Pak Rio yang bekerja di kantor Pajak, maka beberapa teman sambil bercanda mengatakan agar pak Rio meminta pajak buku tersebut, yang disambut lainnya sambil meng-iya-iya dan ketawa ketiwi - yang lalu semua tiba-tiba diam saat dosen masuk kembali ke ruangan.
Sang dosen lalu memulai kuiahnya - yang bahannya telah para mahasiswa pegang. tidak ada yang baru karena ternyata sang dosen hanya membaca apa yang telah tertulis dan dipaparkan melalu infocus dimana fotocopiannya telah sedang kami pegang. Akibatnya langsun terasa, karena beberapa dari kami, terutama yang duduk dijejeran kursi kedua ke belakang mulai ngantuk dan menutup mata di tengah ruangan yang panas karena AC sedang tidak berfungsi.
Beberapa kali sang dosen keluar masuk entah mengurus fotocopy ataupun menerima dan/atau menelpon. beberapa teman juga menggunakan waktu tersebut untuk keluar ruangan yang tentu saja mereka bertemu dosen di luar ruangan, sehingga saat masuk lagi dosen berkomentar getas bahwa kami disuruh membaca dan mempelajari bahan yang telah disiapkan bukannya masuk keluar ruangan. Saya hanya tertawa kecil ke teman2 yang tadi keluar ruangan, dimana mereka ada yang terperanga dan ada yang tertunduk malu karena diomelin dosen... he he he ada aja...
Saat kuliah berlangsung, beberapa diantara kami, termasuk saya mencoba mencairkan suasana dan membangun komunikasi dengan sang dosen, namun jawaban-jawaban dosen yang ketus meruntuhkan semangat untuk berkomunikasi lebih lanjut. Bahkan salah satu teman yang biasanya suka bertanya, yakni Pak Panca juga terduduk diam sepanjang kuliah berlangsung sehingga saya dan Bu Marni mengolok-oloknya... tapi tidak ditanggapi sebagaimana biasanya. Pk Wardani yang bekerja di Kantor Imigrasi Jakarta Barat - yang duduk dibelakang ku beberapa mengorek tubuh ku dan berbisik bahwa dosen tersebut direkomendasikan oleh pak Slamet untuk menjadi pembimbing tesis, sehingga saya menoleh sejenak untuk menanggapi "ambil aja pak" sambil tertawa kecil.. yang lalu dibalas "wah, ntar dipikir-pikir dulu lagi", kalau bimbingan yang diberikan sebagaimana saat menjawab pertanyaan di kelas, kita bisa makin lama menyelesaikan kuliah nih... saya mau minta Prof Mustofa salah satunya... saya mengangguk menyetujui... sambil kami terus berbisik satu sama lain bahwa dosen pembimbing lainnya akan kami liat terlebih dahulu dari cara mereka mengajar di kelas.
Saat membicarakan tugas yang diberikan oleh dosen, saya mencoba menawar waktu deadline, namun dosen dengan getas menjawab bahwa waktu tidak bisa diperpanjang karena 2 alasan, yakni 1) waktu semester yang hampir selesai, dimana tugas tersebut termasuk salah satu aspek penilaian yang akan berkontribusi pada hasil peniliaian keseluruhan terhadap mata kuliahnya; 2) mahasiswa biasanya suka kerja pada saat akan deadline, sehingga memberikan kelonggaran waktu tidak akan membantu. Selain itu, makalah yang dibuat harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukannya, yakni 40 halaman, menggunakan teknik penulisan ilmiah yang benar dan tepat, tiap halaman harus memiliki paling tidak 1 footnote, harus memiliki tabel, grafik dan juga lampiran - dimana makalah yang lengkap seperti itu akan mendapatkan nilai yang bagus. Jika ada syarat yang tidak dipenuhi, maka penilainnya juga akan berkurang. Tentu saja teman-teman pada BT dan cemberut, lalu dengan bercanda satir saya berpura-pura menenangkan dengan mengatakan "yang penting dikerjakan dan lulus" yang dibalas dengan senyum masam...
Jarum jam hampir menunjukan pukul 4sore saat kuliah diakhiri. Di lift saya bertemu Pak Lukman yang mengomentari kuliah hari ini bahwa dosennya serius banget.. he he he saya hanya tertawa sambil memencet tombol lift. Kami lalu berpisah di teras kampus... untuk pulang ke rumah masing-masing. Panas mentari masih tersisa di sore itu sehinga saya memutuskan untuk langsung pulang dan tidur sejenak. Ternyata sampai di rumah saya langsung tidur-tiduran yang memulaskan sehingga baru terbangun saat mendengar Azan Magrib dari musolah dekat rumah... malam telah menjelang.
Pada hari Jumat, 17 Juli 2009 saya mendapatkan sms dari beberapa teman kuliah bahwa hari sabtu ada kuliah sejarah hukum. SMS yang saya saya terima dari pak Slamet, yang lalu saya konfirmasi apakah mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah umum atau konsentrasi berhubung karena saya telah mengambil konsentrasi HTN, maka saya perlu informasi jelas sehingga tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu. Jawabannya adalah mata kuliah umum sehingga saya akhirnya harus mengikuti kuliah tersebut.
Kuliah di mulai jam 1, dimana saat saya tiba kuliah telah dimulai, padahal jam yang saya kenakan baru menunjukan pukul 1 tepat. Pintu saya ketuk perlahan lalu melangkah masuk dan mengucapkan salam terhadap dosen yang menyahut seadanya. Suasana kelas terasa lain daripada biasanya. Sepertinya ada ketegangan dalam kelas. Diam-diam saya mengambil tempat duduk di belakang Pak Panca Hasibuan disamping Pak Jurnalis. Pak Jurnalis kemudian mengambil absensi dan menyodorkanya kepada ku, namun karena dosen juga sedang melakukan absensi menggunakan list yang dipegangnya, maka map absen yang disodorkan Jurnlis tidak saya hiraukan karena mengira dicandai.
Saat sang dosen selesai mengabsen, beberapa teman susul menyusul masuk, antara lain Pak Gatot yang bekerja di BPKP, Bu Sumarni di KPK, Pak Junias di salah satu Law Firm di Jakarta serta Pak Loekman lalu Bu Wan Sellya yang memiliki kantor notariat sendiri. Mereka juga merasakan suasana tegang kelas sehingga mulai kasak kusuk mencari tau apa yang sebenarnya terjadi. Karena saya duduk paling dekat dengan teman-teman yang baru masuk tersebut, maka rasa penasaran mereka dalam bentuk tanya tersebut disampaikan ke saya, namun saya hanya mengankat bahu sambil mencibir tanda tak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.
Saat sang dosen keluar ruangan, sambil meminta agar kami membaca fotocopian bahan kuliah yang telah dibagikan oleh Pak Slamet, kelas langsung ribut dan saling sapa satu sama lain, termasuk mencari tahu apa yang terjadi, yakni bahwa sang dosen ngomel-ngomel karena sabtu lalu saat dia tiba untuk mengajar, ternyata semua mahasiswa telah pulang sehingga dia terpaksa gigit jari dan balik juga. Padahal dia telah bersusah payah dari Tanggerang untuk menyampaikan kuliahnya.
Suasana mulai mencair saat dosen memasuki kelas sambil membawa setumpuk buku baru yang masih bersampul plastik. Dia bertanya berapa mahasiswa yang hadir, saya menjawab 16 setelah menghitung semunya, namun ternyata dia ingin mengetahui berapa semua mahasiswa yang mengikuti kuliah Sejarah Hukum, setelah berpandangan satu sama lain, maka Pak Budi Setiawan pun menjawab sekitar 30 orang. Lalu ditanggapin bahwa buku yang dibawanya tidak mencukupi karena hanya 25. Menurutnya buku tersebut juga telah habis di Gramedia sehingga dia secara khusus meminta penerbit menyediakan buku yang ternyata tulisan sang dosen itu sendiri. Teman-teman yang duduk dijajar depan lalu berinisiatif mengambil dan membangikan buku-buku tersebut, sambil ditimpali oleh dosen dengan informasi bahwa harga buku belum berubah sejak dijual di toko buku Gramedia, yakni 100 ribu per buku. Tentu saja beberapa diantara kami merengut mendengar harga tersebut, namun tidak ada pilihan selain membeli buku tersebut... saya hanya senyum simpul melihat ke Pak Jurnalis yang duduk di sebelah saya.
Saat sang dosen keluar lagi untuk mengurus sesuatu, bagaikan burung lepas sangkar, berbagai komentar pun berseliweran tentang hal tersebut, termasuk tentang PPN 10%... ada yang mengatakan jika dijual di Gramedia, seharusnya buku tsb dipotong pajak 10%, dan karena ada teman kuliah, yakni Pak Rio yang bekerja di kantor Pajak, maka beberapa teman sambil bercanda mengatakan agar pak Rio meminta pajak buku tersebut, yang disambut lainnya sambil meng-iya-iya dan ketawa ketiwi - yang lalu semua tiba-tiba diam saat dosen masuk kembali ke ruangan.
Sang dosen lalu memulai kuiahnya - yang bahannya telah para mahasiswa pegang. tidak ada yang baru karena ternyata sang dosen hanya membaca apa yang telah tertulis dan dipaparkan melalu infocus dimana fotocopiannya telah sedang kami pegang. Akibatnya langsun terasa, karena beberapa dari kami, terutama yang duduk dijejeran kursi kedua ke belakang mulai ngantuk dan menutup mata di tengah ruangan yang panas karena AC sedang tidak berfungsi.
Beberapa kali sang dosen keluar masuk entah mengurus fotocopy ataupun menerima dan/atau menelpon. beberapa teman juga menggunakan waktu tersebut untuk keluar ruangan yang tentu saja mereka bertemu dosen di luar ruangan, sehingga saat masuk lagi dosen berkomentar getas bahwa kami disuruh membaca dan mempelajari bahan yang telah disiapkan bukannya masuk keluar ruangan. Saya hanya tertawa kecil ke teman2 yang tadi keluar ruangan, dimana mereka ada yang terperanga dan ada yang tertunduk malu karena diomelin dosen... he he he ada aja...
Saat kuliah berlangsung, beberapa diantara kami, termasuk saya mencoba mencairkan suasana dan membangun komunikasi dengan sang dosen, namun jawaban-jawaban dosen yang ketus meruntuhkan semangat untuk berkomunikasi lebih lanjut. Bahkan salah satu teman yang biasanya suka bertanya, yakni Pak Panca juga terduduk diam sepanjang kuliah berlangsung sehingga saya dan Bu Marni mengolok-oloknya... tapi tidak ditanggapi sebagaimana biasanya. Pk Wardani yang bekerja di Kantor Imigrasi Jakarta Barat - yang duduk dibelakang ku beberapa mengorek tubuh ku dan berbisik bahwa dosen tersebut direkomendasikan oleh pak Slamet untuk menjadi pembimbing tesis, sehingga saya menoleh sejenak untuk menanggapi "ambil aja pak" sambil tertawa kecil.. yang lalu dibalas "wah, ntar dipikir-pikir dulu lagi", kalau bimbingan yang diberikan sebagaimana saat menjawab pertanyaan di kelas, kita bisa makin lama menyelesaikan kuliah nih... saya mau minta Prof Mustofa salah satunya... saya mengangguk menyetujui... sambil kami terus berbisik satu sama lain bahwa dosen pembimbing lainnya akan kami liat terlebih dahulu dari cara mereka mengajar di kelas.
Saat membicarakan tugas yang diberikan oleh dosen, saya mencoba menawar waktu deadline, namun dosen dengan getas menjawab bahwa waktu tidak bisa diperpanjang karena 2 alasan, yakni 1) waktu semester yang hampir selesai, dimana tugas tersebut termasuk salah satu aspek penilaian yang akan berkontribusi pada hasil peniliaian keseluruhan terhadap mata kuliahnya; 2) mahasiswa biasanya suka kerja pada saat akan deadline, sehingga memberikan kelonggaran waktu tidak akan membantu. Selain itu, makalah yang dibuat harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukannya, yakni 40 halaman, menggunakan teknik penulisan ilmiah yang benar dan tepat, tiap halaman harus memiliki paling tidak 1 footnote, harus memiliki tabel, grafik dan juga lampiran - dimana makalah yang lengkap seperti itu akan mendapatkan nilai yang bagus. Jika ada syarat yang tidak dipenuhi, maka penilainnya juga akan berkurang. Tentu saja teman-teman pada BT dan cemberut, lalu dengan bercanda satir saya berpura-pura menenangkan dengan mengatakan "yang penting dikerjakan dan lulus" yang dibalas dengan senyum masam...
Jarum jam hampir menunjukan pukul 4sore saat kuliah diakhiri. Di lift saya bertemu Pak Lukman yang mengomentari kuliah hari ini bahwa dosennya serius banget.. he he he saya hanya tertawa sambil memencet tombol lift. Kami lalu berpisah di teras kampus... untuk pulang ke rumah masing-masing. Panas mentari masih tersisa di sore itu sehinga saya memutuskan untuk langsung pulang dan tidur sejenak. Ternyata sampai di rumah saya langsung tidur-tiduran yang memulaskan sehingga baru terbangun saat mendengar Azan Magrib dari musolah dekat rumah... malam telah menjelang.
Akuntabiliitas Proses Seleksi Kertas Konsep
Jumat, 17 Juli 2009
Setelah proses review selama 1 bulan (15 Juni - 15 Juli 2009), dimana masing-masing anggota panel melakukan review dan memberikan skoring masing-masing pada lembaran skroing yang telah disiapkan oleh saya untuk memudahkan kerja anggota panel dan juga pengumpulan, tabulasi serta rekapitulasi hasil skoring tersebut. Sampai dengan akhirnya Panel Seleksi Kertas Konsep Proyek yang terdiri dari 1 orang mewakili GU UNDP Indonesia, Pemerintah Indonesia dan LEAD Project bertemu untuk pengambilan keputusan kertas konsep mana yang diterima dan ditolak.
1 minggu sebelumnya, saya sebagai orang yang bertanggungjawab di project untuk kertas2 konsep yang masuk telah mengumpulkan hasil review dari semua anggota panel. Selama 5 hari kerja, hasil-hasil review tersebut saya tabulasikan lalu rekapitulasi sehingga mendapatkan skoring terhadap setiap lembaga pengaju kertas konsep. Semua skoring yang dihasilkan saya kategorisasi ke dalam tiga tipe, 1) lolos tanpa perlu diskusi; 2) lolos atau gagal tapi perlu didiskusikan lagi oleh para anggota panel; 3) gagal tanpa perlu diskusi. Dari total 46 kertas konsep proyek telah direview, ditabulasi serta direkap, mayoritas masih harus didiskusikan oleh para anggota panel karena adanya perbedaan skoring individual. Hanya beberapa yang lolos atau gagal tanpa perlu didiskusikan lagi.
Akhirnya, pertemuan panel pada tanggal 17 Juli berlangsung juga walau terlambat dari jam yang disepakati. oleh karena bom Marriot dan Carlton di Kuningan telah memacetkan sebagian jalan di Jakarta sehingga salah satu anggota panel tidak dapat hadir pada waktunya. Untuk itu, kami yang telah ada harus menunggu sambil bercakap-cakap tentang peristiwa teror pagi tadi sambil menonton tv yang tersedia di ruangan tersebut. Berbagai dugaan tentang siapa dibalik teror tersebut pun bermunculan dari masing-masing orang tentunya dengan basis argumentasi masing-masing.
Sekitar 30 menit molor, kami mendapatkan telpon dari anggota panel yang terjebak macet yang meminta agar pertemuan dimulai saja sambil menunggu anggota panel yang belum hadir. semuanya setuju dengan catatan melewati hasil-hasil skoring dari anggota panel yang belum hadir untuk mendapatkan klarifikasi terlebih dahulu baru pengambilan keputusan.
Saat pengambilan keputusan terhadap 3 lembaga dari Sulawesi Tenggara telah dilakukan, anggota panel yang terlambat akhirnya tiba. Diskusi pengambilan keputusan pun dilanjutkan dimana masing-masing anggota panel harus memberikan klarifikasi alias mempertanggungjawabkan hasil skoringnya terhadap kertas konsep yang direviewnya. Oleh karena adanya perbedaan yakni rendah dan tinggi yang lalu menghasilkan akumulasi persentase skoring lolos atau gagal, maka perlu ada klarifikasi misalnya dari anggota yang menghasilkan skoring rendah dan anggota yang mengahasilkan skoring tinggi. Apa alasannya sehingga hasil skoring individual dari anggota panel tersebut muncul seperti yang ditabulasikan. Klarifikasi masing-masing anggota akan memberikan pemahaman dan juga perspektif terhadap hasil skoring sehingga keputusan menerima atau menolak memiliki landasan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan oleh panel sebagai suatu tim. Dengan demikian, keputusan tersebut tidak hanya bersandar pada hasil akhir rekapitulasi presentasi total, tapi juga alasan-alasannya. Semua alasan-alasan yang menghasilkan keputusan menolak atau menerima satu kertas konsep dicatat oleh salah seorang staf proyek yang diminta khusus bertindak sebagai pencatat. Pertemuan juga dihadiri oleh seorang staf ahli Bappenas yang bertindak sebagai pengamat. Dua anggota panel penasaran dengan persentase individual yang dihasilkan dari hasil skoring mereka sehingga saya harus menjelaskan bahwa hasil mentah skoringnya kemudian dibagi dengan bilangan pembagi 500 untuk mendapatkan persentase rata-rata yang lalu dijumlahkan dengan hasil dari anggota lain kemudian dibagi tiga untuk menghasilkan angka dan persentase rata-rata terhadap masing-masing pelamar yang mengajukan kertas konsepnya. Dengan sistem seperti itu, maka transparansi dan akuntabilitas proses tetap terjaga, karena masing-masing anggota panel tidak akan mengetahui berapa skor dan persentase yang dihasilkan oleh mereka masing-masing. Saya sebagai penanggungjawab pun tidak bisa memainkan hasil skoring karena pada pertemuan tersebut, semua dokumen yang digunakan oleh masing-masing anggota panel akan diperiksa lagi untuk memeriksa silang hasil tabulasi dan rekapitulasi yang saya buat, dengan demikian jika terjadi penyimpangan, maka anggota panel yang memberikan skoring akan mengetahui dan memprotes hasil tabulasi dan rekapitulasi tersebut. Dengan sistem tersebut, maka check and balance terhadap hasil skoring benar-benar terjaga sekaligus mencegah adanya favoritisme terhadap lembaga-lembaga tertentu.
Pertemuan pengambilan keputusan tersebut berakhir jam 11.30 yang menghasilkan sekitar 12 lembaga lolos ke tahap berikut dari 46 lembaga pengusul. Untuk itu, saya kemudian menginformasikan secara singkat proses selanjutnya, yakni surat pemberitahuan dari Proyek ke semua lembaga serta surat dari BAPPENAS ke BAPPEDA2 terkait berisi informasi yang sama tentang proses seleksi dan hasilnya.
Sambil menunggu makan siang yang telah dipesan, masing-masing anggota panel menyibukan diri dengan obrolan tentang berbagai hal, terutama yang terkait dengan masalah teror bom. Berbagai dugaan menguar lagi dengan analisis masing-masing. Pada saat yang sama, Manajer Proyek menginformasikan bahwa semua staf diminta pulang ke rumah masing-masing oleh UNDSS. Instruksi tersebut telah diteruskan kepada semua staf yang berada dalam ruang pertemuan maupun di kantor di Jakarta.
Setelah makan siang, saya dan Proyek Manajer kembali ke kantor. Tidak lama berselang, Manajer Proyek pun balik ke rumah sesuai instruksi UNDSS, staf lain pun susul menyusul, hanya tinggal saya dan Asisten Proyek yang bertahan sampai jam 4 sore karena masih ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Akhirnya saya selesai dan balik terlebih dahulu meninggalkan Asisten Proyek yang masih mengurus beberapa masalah perjalanan peserta yang akan ke ICAAP di Bali. Ada yang mengubah tanggal dan rute perjalanannya sehingga Asisten Proyek harus segera mengurusnya karena telah time limit dan juga mengingat besok hari weekend serta senin libur resmi nasional.
Dari kantor saya menuju ke gym di FF Grand Indonesia sebagaimana biasa untuk berolah raga sekitar 1 jam lalu sauna atau steam untuk menyergarkan tubuh terlebih dahulu sebelum balik ke rumah. Jalanan sepi saat saya menuju FF GI, demikian pula saat selesai berolah raga dan balik ke rumah. Halte Dukuh Atas dan Bus Transjakarta yang menjadi kendaraan rutin ku tidak lah terlalu penuh sebagaimana biasanya.
Setelah proses review selama 1 bulan (15 Juni - 15 Juli 2009), dimana masing-masing anggota panel melakukan review dan memberikan skoring masing-masing pada lembaran skroing yang telah disiapkan oleh saya untuk memudahkan kerja anggota panel dan juga pengumpulan, tabulasi serta rekapitulasi hasil skoring tersebut. Sampai dengan akhirnya Panel Seleksi Kertas Konsep Proyek yang terdiri dari 1 orang mewakili GU UNDP Indonesia, Pemerintah Indonesia dan LEAD Project bertemu untuk pengambilan keputusan kertas konsep mana yang diterima dan ditolak.
1 minggu sebelumnya, saya sebagai orang yang bertanggungjawab di project untuk kertas2 konsep yang masuk telah mengumpulkan hasil review dari semua anggota panel. Selama 5 hari kerja, hasil-hasil review tersebut saya tabulasikan lalu rekapitulasi sehingga mendapatkan skoring terhadap setiap lembaga pengaju kertas konsep. Semua skoring yang dihasilkan saya kategorisasi ke dalam tiga tipe, 1) lolos tanpa perlu diskusi; 2) lolos atau gagal tapi perlu didiskusikan lagi oleh para anggota panel; 3) gagal tanpa perlu diskusi. Dari total 46 kertas konsep proyek telah direview, ditabulasi serta direkap, mayoritas masih harus didiskusikan oleh para anggota panel karena adanya perbedaan skoring individual. Hanya beberapa yang lolos atau gagal tanpa perlu didiskusikan lagi.
Akhirnya, pertemuan panel pada tanggal 17 Juli berlangsung juga walau terlambat dari jam yang disepakati. oleh karena bom Marriot dan Carlton di Kuningan telah memacetkan sebagian jalan di Jakarta sehingga salah satu anggota panel tidak dapat hadir pada waktunya. Untuk itu, kami yang telah ada harus menunggu sambil bercakap-cakap tentang peristiwa teror pagi tadi sambil menonton tv yang tersedia di ruangan tersebut. Berbagai dugaan tentang siapa dibalik teror tersebut pun bermunculan dari masing-masing orang tentunya dengan basis argumentasi masing-masing.
Sekitar 30 menit molor, kami mendapatkan telpon dari anggota panel yang terjebak macet yang meminta agar pertemuan dimulai saja sambil menunggu anggota panel yang belum hadir. semuanya setuju dengan catatan melewati hasil-hasil skoring dari anggota panel yang belum hadir untuk mendapatkan klarifikasi terlebih dahulu baru pengambilan keputusan.
Saat pengambilan keputusan terhadap 3 lembaga dari Sulawesi Tenggara telah dilakukan, anggota panel yang terlambat akhirnya tiba. Diskusi pengambilan keputusan pun dilanjutkan dimana masing-masing anggota panel harus memberikan klarifikasi alias mempertanggungjawabkan hasil skoringnya terhadap kertas konsep yang direviewnya. Oleh karena adanya perbedaan yakni rendah dan tinggi yang lalu menghasilkan akumulasi persentase skoring lolos atau gagal, maka perlu ada klarifikasi misalnya dari anggota yang menghasilkan skoring rendah dan anggota yang mengahasilkan skoring tinggi. Apa alasannya sehingga hasil skoring individual dari anggota panel tersebut muncul seperti yang ditabulasikan. Klarifikasi masing-masing anggota akan memberikan pemahaman dan juga perspektif terhadap hasil skoring sehingga keputusan menerima atau menolak memiliki landasan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan oleh panel sebagai suatu tim. Dengan demikian, keputusan tersebut tidak hanya bersandar pada hasil akhir rekapitulasi presentasi total, tapi juga alasan-alasannya. Semua alasan-alasan yang menghasilkan keputusan menolak atau menerima satu kertas konsep dicatat oleh salah seorang staf proyek yang diminta khusus bertindak sebagai pencatat. Pertemuan juga dihadiri oleh seorang staf ahli Bappenas yang bertindak sebagai pengamat. Dua anggota panel penasaran dengan persentase individual yang dihasilkan dari hasil skoring mereka sehingga saya harus menjelaskan bahwa hasil mentah skoringnya kemudian dibagi dengan bilangan pembagi 500 untuk mendapatkan persentase rata-rata yang lalu dijumlahkan dengan hasil dari anggota lain kemudian dibagi tiga untuk menghasilkan angka dan persentase rata-rata terhadap masing-masing pelamar yang mengajukan kertas konsepnya. Dengan sistem seperti itu, maka transparansi dan akuntabilitas proses tetap terjaga, karena masing-masing anggota panel tidak akan mengetahui berapa skor dan persentase yang dihasilkan oleh mereka masing-masing. Saya sebagai penanggungjawab pun tidak bisa memainkan hasil skoring karena pada pertemuan tersebut, semua dokumen yang digunakan oleh masing-masing anggota panel akan diperiksa lagi untuk memeriksa silang hasil tabulasi dan rekapitulasi yang saya buat, dengan demikian jika terjadi penyimpangan, maka anggota panel yang memberikan skoring akan mengetahui dan memprotes hasil tabulasi dan rekapitulasi tersebut. Dengan sistem tersebut, maka check and balance terhadap hasil skoring benar-benar terjaga sekaligus mencegah adanya favoritisme terhadap lembaga-lembaga tertentu.
Pertemuan pengambilan keputusan tersebut berakhir jam 11.30 yang menghasilkan sekitar 12 lembaga lolos ke tahap berikut dari 46 lembaga pengusul. Untuk itu, saya kemudian menginformasikan secara singkat proses selanjutnya, yakni surat pemberitahuan dari Proyek ke semua lembaga serta surat dari BAPPENAS ke BAPPEDA2 terkait berisi informasi yang sama tentang proses seleksi dan hasilnya.
Sambil menunggu makan siang yang telah dipesan, masing-masing anggota panel menyibukan diri dengan obrolan tentang berbagai hal, terutama yang terkait dengan masalah teror bom. Berbagai dugaan menguar lagi dengan analisis masing-masing. Pada saat yang sama, Manajer Proyek menginformasikan bahwa semua staf diminta pulang ke rumah masing-masing oleh UNDSS. Instruksi tersebut telah diteruskan kepada semua staf yang berada dalam ruang pertemuan maupun di kantor di Jakarta.
Setelah makan siang, saya dan Proyek Manajer kembali ke kantor. Tidak lama berselang, Manajer Proyek pun balik ke rumah sesuai instruksi UNDSS, staf lain pun susul menyusul, hanya tinggal saya dan Asisten Proyek yang bertahan sampai jam 4 sore karena masih ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Akhirnya saya selesai dan balik terlebih dahulu meninggalkan Asisten Proyek yang masih mengurus beberapa masalah perjalanan peserta yang akan ke ICAAP di Bali. Ada yang mengubah tanggal dan rute perjalanannya sehingga Asisten Proyek harus segera mengurusnya karena telah time limit dan juga mengingat besok hari weekend serta senin libur resmi nasional.
Dari kantor saya menuju ke gym di FF Grand Indonesia sebagaimana biasa untuk berolah raga sekitar 1 jam lalu sauna atau steam untuk menyergarkan tubuh terlebih dahulu sebelum balik ke rumah. Jalanan sepi saat saya menuju FF GI, demikian pula saat selesai berolah raga dan balik ke rumah. Halte Dukuh Atas dan Bus Transjakarta yang menjadi kendaraan rutin ku tidak lah terlalu penuh sebagaimana biasanya.
Langganan:
Postingan (Atom)
JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur
1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...
-
Ini juga posting JADUL tahun 2007. Saat bongkar-bongkar blog baru ketahuan kalo posting ini belum dipublikasikan pada tahun 2007... lama am...
-
Saya menulis esai ini pada 12 September 2005 yang dipublikasikan salah satu milis lingkungan Indonesia. Tulisan ini saya temukan kembali mel...
-
Kemah Tabor di Mataloko Saya memilih sarapan roti lapis telur dadar bersama kopi Bajawa. Yudi dan Mako memilih nasi goreng bersama kopi...