Catatan Perjalanan II
14 Agustus 2008
Seharian penuh saya berkeliling dan bertemu dengan kelompok-kelompok masyarakat di 4 desa yang adalah bagian dari 25 desa target proyek yang didukung oleh organisasi dimana saya bekerja. Mata pencarian para anggota kelompok didominasi petani dan nelayan. Pada beberapa kelompok, dominasi anggota perempuan sangat nampak, sementara pada kelompok lain laki-laki lebih dominan terutama di kelompok nelayan. Mungkin karena melaut untuk mencari hasil laut didominasi laki-laki dan juga fasilitatornya adalah laki-laki, maka kecenderungan dominasi laki-laki makin menguat. Saat saya bandingkan dengan kelompok lain yang difasilitasi oleh perempuan, maka dominasi perempuan lebih nampak. Dari aspek kemampuan mengekspresikan kebutuhan dan tuntutan terhadap akses ke berbagai fasilitasi pemerintah, kelompok yang didominasi perempuan nampak lebih aktif dan agresif dibanding kelompok yang didominasi laki-laki, terutama di sektor kesehatan dan pendidikan dasar yang terkait langsung pada kepentingan anak anak dan juga perempuan. Keterbatasan waktu mengakibatkan saya hanya sempat mengunjungi 4 kelompok di 4 desa sekitar Kota Poso. Desa terjauh yang saya kunjungi berjarak 61 KM dari kota Poso dimana desa tersebut berbatasan dengan Kabupaten Parigi Mutong.
Sisa-sisa konflik masih terasa saat mobil membelah jalanan desa. Di kiri dan kanan saat keluar dari kota menuju beberapa desa, bekas-bekas rumah terbakar maupun reruntuhan berbaris menjadi saksi bisu konflik antara saudara di Tanah Sumber si Kayu Hitam tersebut. Masih banyak pula rumah kosong entah penghuninya masih mengungsi atau entah telah menghadap hadirat Ilahi pada kecamuk Barathayuda di Bumi Sintuwu Maroso itu beberapa tahun silam. Walau demikian, mayoritas warga telah kembali dan menata lagi hidup dan kehidupan mereka. Silahturami mulai terbangun lagi dengan usaha dan kerja keras berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah setempat. Tidak terhitung pula banyaknya lembaga swadaya masyarakat yang tak henti asa mendorong rajutan kembali silaturahmi itu menggunakan berbagai upaya dan karya. Dewi perdamaian mulai tersenyum melihat anak anak negeri kembali bersandar bahu membangun tanah leluhur…
Tanpa terasa saya telah menghabiskan 1 hari di bumi Sintuwo Maroso. Saat kota bersiap menyambut kunjungan sang Putri Malam bersama kumandang merdu azan Magrib di tengah gerimis yang tak henti, saya menyelesaikan tugas mengunjungi kelompok dan kembalik berkumpul serta berdiskusi dengan teman-teman di Kota Poso. Malam terus berjalan bersama hangatnya diskusi yang ditemani beberapa pirin pisang goreng panas bersama sambal khas Sulawesi serta gelas gelas kopi dan teh…. Malam telah terlelap saat tubuh ku kembali ke penginapan…
15 Agustus 2008.
Kota masih sedang tertidur pulas, saat mobil yang akan saya tumpangi menuju kota Luwuk di Kabupaten Banggai telah menanti di depan penginapan. Karena telah bersepakat berangkat pagi buta dengan sopir, maka saya pun telah bersiap diri dan check out. Sang mentari mulai tersenyum malu saat kami harus mengantri di Pom Bensin yang dipenuhi jejeran mobil karena hanya satu SPBU yang buka diakibatkan oleh habisnya persediaan di SPBU lain di kota tersebut. Sopir lalu mengambil tindakan nekat menyalib dan menerobos antrian dengan alasan banyak kendaraan berat yang antri sebenarnya akan mengisi solar, sementara mobil kami akan mengisi bensin. Apakah itu benar atau tidak, saya tidak tahu, namun sopir-sopir mobil yang dilangkahi pun tak bergeming kata menegur sehingga kami akhirnya mulai beringsut ke depan dan mendapatkan bensin. Selesai pengisian bensin, mobil pun melaju membelah jalanan Bumi Sintiwu Maraso menuju Mansoni Toni melewati daerah Kabupaten Tojo Unauna (kabupaten pemekaran Poso yang beribukota Ampana). Perjalanan menempuh wilayah kabupaten Tojo Unauna sangatlah melelahkan karena rusak parahnya jalan, harus pula melewati 2 jembatan yang putus di Balingara dan suatu tempat lain yang saya tak ingat namanya lagi .
Malam menjejak mayapada saat mobil memasuki kecamatan Pagimana di Kabupaten Banggai, sekitar 60 km dari Kota Luwuk yang adalah ibukota Kabupaten Banggai. Di dapen gerbang rumah-rumah penduduk yang dilewati mobil ku, terpampang gantungan papan bertuliskan Mansoni Toni. Awalnya saya menduga tulisan tersebut merupakan nama marga dari penghuni rumah. Namun saat saya tanyakan ke sopir, ternyata dugaan ku meleset jauh, karena tulisan Mansoni Toni adalah semacam semboyan yang artinya : MARI MENANAM DI TANAH YANG SUBUR… saya hanya terseyum diam saat mengetahui arti tulisan yang terpampang di sebagian besar rumah berderet di tepi jalan yang kami lalui.
Jalan penuh lubang menyebabkan mobil harus beringsut perlahan mengejar malam menjelan di kota Luwuk, Sayangnya kondisi jalan tidak memungkinkan untuk tiba lebih awal di tempat tujuan. Saat malam sepenuhnya merengkuh bumi, mobil pun mulai meliuk mendaki perbukitan berkelok dan berlubang, Obrolan terus mengulir antara saya, sopir dan seorang teman sopir yang menemani perjalanan kami. Dari nagolor ngidul itu barulah saya tahu bahwa sang sopir juga tidak terlalu familir dengan jalan dan kota yang akan kami tuju. Teman perjalanan kami pernah datang ke kota tujuan kami itu beberapa tahun silam. Karena itu, saya mulai ragu apakah kami menempuh jalan yang benar ke tujuan, atau justru kami sedang tersesat karena telah hampir 1 jam melewati kota Pagimana, namun tujuan belum bersua jua. Karena penasaran, saya meminta sopir menghentikan mobil beberakali guna bertanya pada penduduk di jalan yang kami lewati – dengan jawaban bahwa jalan yang kami tempuh benar menuju kota Luwuk.
Penasaran ku sirna saat mata ku menangkap kerlipan samar-samar lampu di penghujung langit dalam kegelapan sekitar. “akhirnya kita akan tiba juga, kata ku kepada teman-teman seperjalan, sambil menghela napas lega. Pada kelokan terakhir menuruni perbukitan yang kami lalu, jalan serasa membentang lempang mengucapkan selamat datang. Namun, jarak kota masih sekitar 7 km lagi. Sopir dan temanya mengatakan bahwa kota Luwuk di malam hari seperti Hongkong. Penasaran, saya bertanya apakah diantara mereka ada yang telah pernah ke Hongkong? Sehingga bisa membuat perbangingan seperti itu?”, terseyum kecut, sang sopir meralat bahwa menurut kata orang… kami akhirnya tertawa bersama… namun, dari jarak jauh di malam gulita seperti saat itu, pendaran ribuan lampu yang menghiasi kota sungguh tak terperi di ujung bibir guna mengucapkan kekaguman…
Singkat kata, kami akhirnya tiba juga di kota yang telah sedang bersiap ke peraduan. Jam menunjukan pukul 9 lewat 10. Saya meminta sopir menghentikan mobil di satu warung tenda tepi jalan guna mengisi perut. Warung itu dikelola oleh beberapa anak muda dari Jawa – dengan jenis makanan utama adalah ayam goreng bersama tempe, tahu dan lalapan. Tentunya karena berada di daerah Sulawesi maka sajian khas Jawa telah mengalami modifikasi dengan tambahan semangkuk sop panas sebagai teman nasi dan ayam goreng sambal lalapan. Rinai sedang berbintik mengiringi makan malam kami di jalan menuju pertengahan malam. Saat membayar makanan dan minuman, saya mencara informasi hotel tempat tubuh akan dilabuhkan. Ke hotel Rosalia saja, kata para penjual makanan itu. Namun setelah berputar beberapa kali dengan hasil nihil, akhirnya saya memutuskan beristirahat di hotel Dinasti – yang kami temukan secara tidak sengaja saat sedang mencari hotel Rosalia yang direkomendasikan. Wow, ternyata hotel tersebut dilengkapi air panas sehingga saya dengan senang hati mandi di pertengahan malam – yang menyegarkan dan menghilangkan kepenatan perjalanan. Akhirnya, saya pun pulas di ujung malam diiringi deburan samar ombak di kejauhan!!!
14 Agustus 2008
Seharian penuh saya berkeliling dan bertemu dengan kelompok-kelompok masyarakat di 4 desa yang adalah bagian dari 25 desa target proyek yang didukung oleh organisasi dimana saya bekerja. Mata pencarian para anggota kelompok didominasi petani dan nelayan. Pada beberapa kelompok, dominasi anggota perempuan sangat nampak, sementara pada kelompok lain laki-laki lebih dominan terutama di kelompok nelayan. Mungkin karena melaut untuk mencari hasil laut didominasi laki-laki dan juga fasilitatornya adalah laki-laki, maka kecenderungan dominasi laki-laki makin menguat. Saat saya bandingkan dengan kelompok lain yang difasilitasi oleh perempuan, maka dominasi perempuan lebih nampak. Dari aspek kemampuan mengekspresikan kebutuhan dan tuntutan terhadap akses ke berbagai fasilitasi pemerintah, kelompok yang didominasi perempuan nampak lebih aktif dan agresif dibanding kelompok yang didominasi laki-laki, terutama di sektor kesehatan dan pendidikan dasar yang terkait langsung pada kepentingan anak anak dan juga perempuan. Keterbatasan waktu mengakibatkan saya hanya sempat mengunjungi 4 kelompok di 4 desa sekitar Kota Poso. Desa terjauh yang saya kunjungi berjarak 61 KM dari kota Poso dimana desa tersebut berbatasan dengan Kabupaten Parigi Mutong.
Sisa-sisa konflik masih terasa saat mobil membelah jalanan desa. Di kiri dan kanan saat keluar dari kota menuju beberapa desa, bekas-bekas rumah terbakar maupun reruntuhan berbaris menjadi saksi bisu konflik antara saudara di Tanah Sumber si Kayu Hitam tersebut. Masih banyak pula rumah kosong entah penghuninya masih mengungsi atau entah telah menghadap hadirat Ilahi pada kecamuk Barathayuda di Bumi Sintuwu Maroso itu beberapa tahun silam. Walau demikian, mayoritas warga telah kembali dan menata lagi hidup dan kehidupan mereka. Silahturami mulai terbangun lagi dengan usaha dan kerja keras berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah setempat. Tidak terhitung pula banyaknya lembaga swadaya masyarakat yang tak henti asa mendorong rajutan kembali silaturahmi itu menggunakan berbagai upaya dan karya. Dewi perdamaian mulai tersenyum melihat anak anak negeri kembali bersandar bahu membangun tanah leluhur…
Tanpa terasa saya telah menghabiskan 1 hari di bumi Sintuwo Maroso. Saat kota bersiap menyambut kunjungan sang Putri Malam bersama kumandang merdu azan Magrib di tengah gerimis yang tak henti, saya menyelesaikan tugas mengunjungi kelompok dan kembalik berkumpul serta berdiskusi dengan teman-teman di Kota Poso. Malam terus berjalan bersama hangatnya diskusi yang ditemani beberapa pirin pisang goreng panas bersama sambal khas Sulawesi serta gelas gelas kopi dan teh…. Malam telah terlelap saat tubuh ku kembali ke penginapan…
15 Agustus 2008.
Kota masih sedang tertidur pulas, saat mobil yang akan saya tumpangi menuju kota Luwuk di Kabupaten Banggai telah menanti di depan penginapan. Karena telah bersepakat berangkat pagi buta dengan sopir, maka saya pun telah bersiap diri dan check out. Sang mentari mulai tersenyum malu saat kami harus mengantri di Pom Bensin yang dipenuhi jejeran mobil karena hanya satu SPBU yang buka diakibatkan oleh habisnya persediaan di SPBU lain di kota tersebut. Sopir lalu mengambil tindakan nekat menyalib dan menerobos antrian dengan alasan banyak kendaraan berat yang antri sebenarnya akan mengisi solar, sementara mobil kami akan mengisi bensin. Apakah itu benar atau tidak, saya tidak tahu, namun sopir-sopir mobil yang dilangkahi pun tak bergeming kata menegur sehingga kami akhirnya mulai beringsut ke depan dan mendapatkan bensin. Selesai pengisian bensin, mobil pun melaju membelah jalanan Bumi Sintiwu Maraso menuju Mansoni Toni melewati daerah Kabupaten Tojo Unauna (kabupaten pemekaran Poso yang beribukota Ampana). Perjalanan menempuh wilayah kabupaten Tojo Unauna sangatlah melelahkan karena rusak parahnya jalan, harus pula melewati 2 jembatan yang putus di Balingara dan suatu tempat lain yang saya tak ingat namanya lagi .
Malam menjejak mayapada saat mobil memasuki kecamatan Pagimana di Kabupaten Banggai, sekitar 60 km dari Kota Luwuk yang adalah ibukota Kabupaten Banggai. Di dapen gerbang rumah-rumah penduduk yang dilewati mobil ku, terpampang gantungan papan bertuliskan Mansoni Toni. Awalnya saya menduga tulisan tersebut merupakan nama marga dari penghuni rumah. Namun saat saya tanyakan ke sopir, ternyata dugaan ku meleset jauh, karena tulisan Mansoni Toni adalah semacam semboyan yang artinya : MARI MENANAM DI TANAH YANG SUBUR… saya hanya terseyum diam saat mengetahui arti tulisan yang terpampang di sebagian besar rumah berderet di tepi jalan yang kami lalui.
Jalan penuh lubang menyebabkan mobil harus beringsut perlahan mengejar malam menjelan di kota Luwuk, Sayangnya kondisi jalan tidak memungkinkan untuk tiba lebih awal di tempat tujuan. Saat malam sepenuhnya merengkuh bumi, mobil pun mulai meliuk mendaki perbukitan berkelok dan berlubang, Obrolan terus mengulir antara saya, sopir dan seorang teman sopir yang menemani perjalanan kami. Dari nagolor ngidul itu barulah saya tahu bahwa sang sopir juga tidak terlalu familir dengan jalan dan kota yang akan kami tuju. Teman perjalanan kami pernah datang ke kota tujuan kami itu beberapa tahun silam. Karena itu, saya mulai ragu apakah kami menempuh jalan yang benar ke tujuan, atau justru kami sedang tersesat karena telah hampir 1 jam melewati kota Pagimana, namun tujuan belum bersua jua. Karena penasaran, saya meminta sopir menghentikan mobil beberakali guna bertanya pada penduduk di jalan yang kami lewati – dengan jawaban bahwa jalan yang kami tempuh benar menuju kota Luwuk.
Penasaran ku sirna saat mata ku menangkap kerlipan samar-samar lampu di penghujung langit dalam kegelapan sekitar. “akhirnya kita akan tiba juga, kata ku kepada teman-teman seperjalan, sambil menghela napas lega. Pada kelokan terakhir menuruni perbukitan yang kami lalu, jalan serasa membentang lempang mengucapkan selamat datang. Namun, jarak kota masih sekitar 7 km lagi. Sopir dan temanya mengatakan bahwa kota Luwuk di malam hari seperti Hongkong. Penasaran, saya bertanya apakah diantara mereka ada yang telah pernah ke Hongkong? Sehingga bisa membuat perbangingan seperti itu?”, terseyum kecut, sang sopir meralat bahwa menurut kata orang… kami akhirnya tertawa bersama… namun, dari jarak jauh di malam gulita seperti saat itu, pendaran ribuan lampu yang menghiasi kota sungguh tak terperi di ujung bibir guna mengucapkan kekaguman…
Singkat kata, kami akhirnya tiba juga di kota yang telah sedang bersiap ke peraduan. Jam menunjukan pukul 9 lewat 10. Saya meminta sopir menghentikan mobil di satu warung tenda tepi jalan guna mengisi perut. Warung itu dikelola oleh beberapa anak muda dari Jawa – dengan jenis makanan utama adalah ayam goreng bersama tempe, tahu dan lalapan. Tentunya karena berada di daerah Sulawesi maka sajian khas Jawa telah mengalami modifikasi dengan tambahan semangkuk sop panas sebagai teman nasi dan ayam goreng sambal lalapan. Rinai sedang berbintik mengiringi makan malam kami di jalan menuju pertengahan malam. Saat membayar makanan dan minuman, saya mencara informasi hotel tempat tubuh akan dilabuhkan. Ke hotel Rosalia saja, kata para penjual makanan itu. Namun setelah berputar beberapa kali dengan hasil nihil, akhirnya saya memutuskan beristirahat di hotel Dinasti – yang kami temukan secara tidak sengaja saat sedang mencari hotel Rosalia yang direkomendasikan. Wow, ternyata hotel tersebut dilengkapi air panas sehingga saya dengan senang hati mandi di pertengahan malam – yang menyegarkan dan menghilangkan kepenatan perjalanan. Akhirnya, saya pun pulas di ujung malam diiringi deburan samar ombak di kejauhan!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar