Minggu, 05 Maret 2017

JELAJAH DUNIA. BEIJING: Jalan Wangfujing / Wangfujing Street

Tempat nginap selama di Beijing
Setelah beristriahat sekitar 2 jam di kamar hotel Beijing 161 Wangfujing yang menjadi tempat
menginap saya selama di Beijing, saya mandi dan keluar hotel menyusuri jalan Dongsi South / Dongsi Selatan menuju jalan Wangfujing yang terletak sekitar 2 km dari penginapan saya. Keluar dari pintu hotel, saya disambut udara dingin malam yang sangat menusuk karena suhu ) derajat celsius di Beijing saat ini. Jaket jeans bersama kupluk dan syal sangat membantu mengusir hawa dingin. Saya belok kanan lalu menyeberang jalan gang depan hotel berjalan sekitar 30an meter lalu belok kiri menyusuri trotoar jalan Dongsi Selatan yang cukup lebar karena selain digunakan para pejalan kaki, kadang pesepeda juga menggunakan pedestarian ini. Berbeda dengan trotoar di seberangnya yang telah memisahkan para pengguna jalan ke 3 kelompok, yakni trotoar bagi para pejalan kaki, jalur khusus bagi para pesepeda dan motor serta jalan bagi mobil.

Trotoar yang saya lalui dipenuhi jejeran toko yang menjual berbagai barang, terutama HP dan pakaian musim dingin. Sesekali saya melihat restoran kecil menyelip diantara toko-toko tersebut. Saya berjalan terus hingga sampai di suatu pertigaan yang dari google map di HP yang telah saya unduh di hotel, pertigaan di depan saya ini terhubung ke jalan Wangfujing yang menjadi tujuan jelajah saya malam ini. Saat lampu menyala hijau bagi para pejalan kaki, saya ikut menyeberang bersama pejalan kaki lainnya. Sampai di seberang, saya memilih berjalan menyusuri ruang terbuka antara jalan raya di sebelah kanan  dan jejeran toko di sebelah kiri. Bagian ini agak gelap karena hanya diterangi cahaya lampu dari toko-toko yang masih sedang buka. Pada beberapa bagian pelataran tersebut ada pengerjaan seperti pemasangan kabel dan lain-lain sehingga saya harus berpindah ke selasar jejeran toko sepanjang jalur yang sedang saya susuri. Sekitar 20 menit dari pertigaan yang saya seberangi tersebut, saya tiba di jalan Wangfujing yang terang benderang. Kondisinya berbeda jauh dari jalan tamaram yang barusan saya lewati.

Pedestarian Wangfujing
Wikipedia menulis "Jalan Wangfujing merupakan satu dari tempat belanja terkenal di Beijing, Cina yang berlokasi di Distrik Dongcheng. Kebanyakan kawasan utama jalan ini merupakan pedestarian / jalan bagi para pejalan kaki dan sangat terkenal dengan tempat belanja bagi para turis dan juga penduduk setempat. Pada pertengahan masa pemerintahan Dinasti Miang, kawasan ini telah menjadi kawasan komersial. Pada era pemerintahan Dinasti Qing, 10 kawasan perumahan bagi para keluarga bangsawan dan pangeran Cina dibangun di kawasan tersebut segera setelah ditemukannya sumur yang dipenuhi air berasa manis. Karena itulah, tempat tersebut dinamakan 'Wang Fu' atau Perumahan Para Pangeran, 'Jing' atau Sumur. Di kawasan ini dapat ditemukan banyak makanan eksotik".

Pedestarian Wangfujing
Saya berdiri beberapa saat mengamati suasana sekitar di perempatan jalan yang barusan saya susuri dimana jalan ini bertemu dengan jalan Wangfujing. Seorang laki-laki muda bersama istrinya yang sedang menggendong anak perempuan mereka melintas di depan saya. Melihat saya berdiri mengamati daerah sekitar, si laki-laki menyapa saya menggunakan bahasa Inggris. Saya senang sekali mendapatkan orang Cina yang bisa berbahasa Inggris sehingga kami saling bertukar sapa dan mengobrol sejenak. Namun, ternyata laki-laki ini seorang penjual jasa pembuatan nama Cina para turis atau penduduk setempat yang ingin menggunakan jasanya. Nama-nama tersebut bisa dilukis di tubuh berbentuk tato atau bisa ditulis di cincin ataupun kalung. Laki-laki tersebut dengan ramah mengajak saya mampir ke tempat tinggalnya yang katanya tidak terlalu jauh dari perempatan tersebut. Laki-laki itu menawari saya pembuaan nama saya dalam huruf Cina yang tentunya saya kemudian harus membayar jasa tersebut. Saya dengan tegas menolak dan mengucapkan terima kasih. Laki-laki itu tidak memaksa, dengan ramah dia mengucapkan selamat menikmati Beijing kemudian bersama istri dan anaknya berlalu dari perempatan. Mereka berjalan ke arah jalan yang telah saya lewati sebelumnya saat berjalan ke arah jalan Wangfujing dari hotel.

Katedral Beijing di Wangfujing
Saya belok kiri menyusuri pedestarian yang sangat bersih dan lebar selebar jalan bagi kendaraan di sebelahnya, yakni sekitar 10an meter. Gedung-gedung bertingkat berupa mall, perkantoran hingga barisan butik dan pertokoan berjejer di kiri dan kanan Jalan Wangfujing. Cahaya lampu dari gedung dan juga lampu jalan yang berjejer sepanjang pedestarian tersebut menerangi jalan Wangfujing sehingga saya seperti berjalan di dalam suatu gedung yang terang benderang. Saya berjalan perlahan menikmati suasana malam Jalan Wangfujing. Saya tiba di satu bagian yang sepertinya terpisah dari bagian lain di Jalan Wangfujing. Cahaya lampu di bagian ini sangat tamaram dan berasal dari jejeran bangunan pertokoan di seberang jalan. Bagian ini agak ditinggikan sekitar 1 meter dimana diatasnya berdiri kokok Katedral Beijing. Bangunan Katedral berjarak sekitar 100an meter dari Jalan Wangfujing dimana bagian depannya yang terbuka dan luas tersebut terhubung langsung ke Jalan Wangfujing. Karena telah malam, pintu-pintu Katedral telah tertutup sehingga saya hanya bisa menikmati keindahan luarnya di malam hari yang seperti berwarna keemasan. Banyak pejalan kaki yang juga mampir dan foto-foto dengan latar bangunan Katedral yang terlihat indah tersebut. Setelah puas mengambil beberapa foto, saya menuruni anak-anak tangga pelataran terbuka Katedral lalu kembali menyusuri Jalan Wangfujing yang terang benderang.

Pedestarian Wangfujing
Saya terus berjalan hingga tiba di suatu kawasan dimana sekelompok perempuan dan laki-laki sedang asyik menari menggunakan kipas diiringi lagu berbahasa Mandarin dari player portable yang diletakan di atas pedestarian tempat mereka sedang menari dengan riang. Kostum dan kipas yang digunakan para penari tersebut berwarna warni. Langkah-langkah mereka maju dan mundur lalu ke kiri dan ke kanan kemudian berputar sambil kipas dibuka dan ditutup dalam berbagai gaya. Kadang di dada, di atas kepala atau bahkan di kaki sambil melakukan gerakan mengangkat sebelah kaki atau menunduk. Gerakan mereka sangat energik, serempak dan indah. "wah tontonan gratis, kata saya dalam hati lalu duduk di salah satu bangku kayu berwarna krem yang terpasang di pinggir pedestarian seperti pembatas antara jalan bagi kendaraan dan jalan bagi para pejalan kaki. Bangku-bangku ini dipasang berjejer dalam jarak tertentu yang menjadi tempat duduk bagi para pejalan kaki yang ingin menikmati suasana Wangfujing. Saya menikmati sajian tarian gratis tersebut sambil duduk di bangku kayu tanpa merasa terganggu oleh para pejalan kaki lain yang juga sedang  hilir mudik di tempat tersebut memakai pakaian-pakaian musim dingin berupa jas atau jaket tebal dan panjang sampai ke betis atau lutut.

Pedestarian Wangfujing
Sekitar 30an menit menikmati pertunjukan tarian gratis di pedestarian jalan Wangfujing, saya meneruskan perjalanan menyusuri lagi jalan Wangfujing. Saya tiba di perempatan kedua yang berjarak sekitar 500an meter dari perempatan pertama tempat saya bertemu penjual jasa pembuatan nama menggunakan huruf Cina. Salah satu jalan di perempatan ini ditutup bagi kendaraan. Hanya para pejalan kaki yang berseliweran di jalan dengan lebar sekitar 30an meter tersebut - yang diapit deretan bangunan toko, mall dan perkantoran. Jalan ini menghadap ke arah saya jika saya terus berjalan lurus sehingga saya menyeberang ke jalan tersebut dan berbaur dengan para pejalan kaki lainnya. Bagian ini mengingatkan saya akan pusat bisnis Ginza di Tokyo, Jepang yang saya jelajahi tahun 2015 dimana sebagian jalan utama selebar 30an meter juga ditutup dan diperuntukan bagi para pejalan kaki serta seniman jalanan dilengkapi berbagai kafe. Kurang lebih sama seperti Jalan Champs-Elysees di Paris, Perancis yang pernah saya kunjungi dan jelajah di tahun 2013 atau Jalan La Rambla di Barcelona, Spanyol yang telah saya jelajahi di tahun 2013 saat menjelajahi berbagai tempat di 8 negara Eropa Barat (lihat catatan perjalanan di Paris dan Barcelona). Jelajah saya di jalan Wangfujing berakhir di stasiun metro Wangfujing yang berbatasan dengan jalan lain yang cukup ramai oleh lalu lalang kendaraan. Di seberang pedestarian yang saya susuri terdapat 2 gang utama yang menjadi tempat para PKL menjual camilan makanan khas Beijing dan juga berbagai souvenir. Karena hari telah cukup larut, saya memutuskan akan menjelajahi kedua gang tersebut esok hari saja.

Katedral Beijing di Wangfujing
Setelah puas menikmati suasana sekitar, saya menyeberang lalu mulai menyusuri kembali Jalan Wangfujing ke arah kedatangan saya, namun di sisi berbeda hingga saya tiba kembali di perempatan tempat saya bertemu laki-laki penjual jasa pembuatan nama dalam tulisan Mandari tersebut. Saya menyeberangi perempatan jalan tersebut lalu kembali menyusuri jalan yang agak tamaram itu kembali ke hotel. Saya mampir di satu toko roti yang masih buka guna membeli roti sebagai persiapan bekal esok hari perjalanan jelajah ke Taman Tiantan dan Kuil Heaven / Temple of Heaven di sisi lain Beijing. Waktu menunjukan hampir jam 10malam waktu Beijing saat saya duduk dalam salah satu restoran di seberang jalan depan hotel. Saya  menikmati makan malam saya ditemani sebotol beer sebelum kembali ke kamar. Minum beer sebetol akan membantu melelapkan saya melewati malam sehingga bisa bangun subuh dalam kondisi segar dan siap melanjutkan jelajah ke Kuil Heaven, Stadion Olimpiade atau yang dikenal dengan nama stadion sarang burung lalu sekali ke Jalan Wangfujing untuk berbelanja souvenir dan makanan eksotiknya.

Bersambung...

Minggu, 26 Februari 2017

JELAJAH DUNIA. BEIJING: Taman Jingshan / Jingshan Park dan Beijing Zoo / Kebun Binatang Beijing

Kuil Budha di Puncak Bukit dalam Taman Jingshan
Dari pinggir jalan depan kompleks pintu keluar Kota Terlarang di sebelah Utara, saya menyeberang ke Taman Jingshan yang kompleknya dipagari setinggi 3 meteran. Karena saya tidak menemukan gerbang masuk dan/atau keluar di seberang jalan, maka saya belok kiri menyusuri trotoar / pedestarian yang cukup lebar sepanjang pagar tembok taman. Saya berjalan hingga tiba di ujung pagar yang berbatasan dengan suatu perempatan jalan. Saya belok kanan terus menyusuri pedestarian yang dibangun menempel ke pagar tembok Taman Jingshan sekaligus menjadi pemisah dengan jalan raya yang membentang di sebelah Taman. Di pedestarian ini banyak pohon besar memberikan perlindungan bagi para pejalan kaki dari sengatan sinar matahari siang. Saya terus berjalan beberapa ratus meter, namun saya mulai ragu apakah saya berjalan di arah yang benar karena saya tidak menemukan gerbang masuk-keluar yang sedang saya cari. Saya bertemu 5 orang berseragam tentara (3 laki-laki dan 2 perempuan) warna hijau sebagaimana yang saya pernah lihat di berita ataupun film-film Cina. Saya berjalan menghampiri mereka untuk menanyakan arah gerbang. "Excuse me, where is the gate to the park?, Tanya saya sambil menunjukan foto Taman Jingshan dan keterangan yang ditulis dalam bahasa Latin dan Cina yang telah saya simpan di HP. "You are at right direction, sir, just go straight for about one hundred meters where you will see the gate", kata salah satu perempuan sambil tersenyum ramah. "Thank you so much", balas saya sambil tersenyum dan mengangguk lalu meneruskan langkah saya menyusuri pedestarian tersebut.

Taman Jingshan
Sekitar 150an meter dari tempat saya bertanya ke para anggota militer Cina tersebut, saya tiba di gerbang Barat Taman Jingshan yang sepi dan tenang. Gerbang terletak sekitar 50 meter dari pinggir jalan membentuk huruf U terbalik ke arah jalan. Di sisi kanan gerbang atau sisi kiri saya saat berdiri menghadap gerbang terdapat loket penjualan tiket yang dijaga seorang perempuan berusia 30an. Saya berjalan menghampiri loket tersebut menanyakan harga tiket masuk. Saya menyerahkan 5 yuan ke petugas loket yang mengembalikan 3 yuan bersama selembar tiket alias tiket masuk Taman Jingshan seharga 2yuan atau sekitar 4ribu rupiah yang tentunya sangat murah. Saya berjalan menuju gerbang yang dijaga seorang lelaki. Saya menyerahkan tiket ke lelaki tersebut yang merobek pinggiran tiket lalu menyerahkan kembali ke saya. Saya mengangguk dan berjalan melewati penjaga gerbang, masuk ke dalam Taman.

Setapak menuju Puncak Bukit 
Jalan dalam Taman terbagi ke dalam 3 bagian, yakni di tengah yang berada dalam satu garis lurus dengan gerbang, di kiri dan di kanan gerbang. Pepohonan dalam Taman ditanam secara teratur dalam jarak tertentu. Rerumputan hijau yang sangat terawat menutupi permukaan tanah di bawah pepohonan bagaikan lembaran permadani. Udara terasa sejuk dan angin bertiup sepoi menimbulkan musik alami yang terjadi dari gesekan dan ayunan daun-daun pepohonan. Sekitar 100 meter dari jalan yang saya susuri terdapat jalan lain yang lebih kecil. Dengan ragu saya berbelok ke jalan tersebut dan berjalan pelan menikmati kesegaran dan kesunyian Taman. Saya tiba ti daerah yang mulai mendaki sehingga diberi anak-anak tangga dari semen. Saya terus menyusuri jalan tersebut yang membawa saya ke puncak bukit di dalam Taman Jingshan. Saat tiba di puncak, jalan bercabang 2 ke kiri atau ke kanan. Saya memilih jalan kiri yang membawa saya ke kuil Budha yang berada dalam satu garis lurus dengan Gerbang Utara Kota Terlarang yang menjadi pintu keluar bagi para pengunjung Kota Terlarang.

Kota Terlarang dari Puncak Bukit dalam Taman Jingshan
Saya akhirnya tiba di bagian tertinggi bukit dalam Taman Jingshan. Di puncak bukit ini terdapat kuil Budha yang tidak terlalu besar. Di dalam kuil terdapat patung Budha yang sedang duduk bersila dengan tangan terangkat dalam posisi terbuka seperti memberi berkat bagi umat. Kuil ini memiliki 3 pintu, yakni Selatan, Barat dan Timur. Patung Budha dalam kuil menghadap pintu Selatan yang berada dalam satu garis lurus dengan Kota Terlarang di kejauhan. Langit-langit kuil di bagian dalam dan luarnya didominasi gambar bebek berwarna putih dengan motif lain berwarna biru dan hijau. Karena tidak boleh mengambil foto dalam kuil, saya hanya berjalan berkeliling dan melihat-lihat di bagian dalam kuil setelah itu saya keluar melalui pintu samping dan berputar kembali ke depan. Saya bersama pengunjung lain memandang Kota Terlarang yang terhampar sekitar 500an meter di bawah bukit di luar Taman. Sayangnya polusi kota Beijing sangat pekat sehingga Kota Terlarang ditutupi kabut putih yang mengaburkan foto-foto dan video yang saya ambil. Saat saya turun ke halaman kuil, saya melihat penanda kilometer 0 kota Beijing di halaman tersebut. Saya mengambil beberapa foto lalu meneruskan jelajah saya mengamati daerah sekitar kuil. Puas menjelajah bagian atas, saya turun melalui jalan bertangga di arah Timur.

Tempat Kaisar Terakhir Dinasti Ming bunuh diri 
Saya tiba di satu pertigaan di ujung setapak bertangga dari puncak bukit yang barusan saya tinggalkan. Pagar taman setinggi 3meter berada di depan saya dalam jarak sekitar 7 meter dari ujung jalan setapak bertangga-tangga tersebut. Saya belok kanan mencoba menjelajah daerah sekitar di bagian kanan. Di bagian ini terdapat tanda peringatan kaisar terakhir dinasti Ming yang bunuh diri dengan cara menggantung tubuhnya. Puas menjelajah bagian ini, saya belok kembali ke arah setapak dan terus berjalan mencari gerbang keluar taman yang berjarak sekitar 250 meter dari ujung setapak bertangga-tangga yang telah saya tinggalkan. Sebelum keluar gerbang, saya sempatkan mengambil beberapa foto pepohonan berdaun kuning yang berbaris rapi di sebelah kiri gerbang dalam jarak sekitar 50 meter. Setelah itu, saya keluar gerbang dan mengamati jalan raya di depan saya. Di kiri dan kanan gerbang terdapat pedestarian / trotoar yang cukup lebar sekitar 8-10 meter yang diteduhi pohon-pohon besar dalam jarak tertentu. Setelah mengamati beberapa saat daerah sekitar, saya belok kiri menyusuri pedestarian mencari halte bis untuk menunggu bis yang dapat saya gunakan ke Jalan Wangfujing sebagaimana informasi yang terpampang di papan informasi di pinggir jalan depan gerbang keluar Kota Terlarang (baca catatan sebelumnya).

Bagian Timur Taman Jingshan
Ternyata saya membuat kesalahan saat belok kiri di gerbang Timur. Karena untuk mendapatkan bis 101 menuju Wangfujing, saya harus mengitari 3,4 Taman Jingshan, yakni dari gerbang Timur lalu melewati bagian Utara taman yang tidak memiliki gerbang sampai saya tiba kembali di gerbang Barat yang saya gunakan saat masuk ke Taman Jingshan. Saya menghabiskan sekitar 45menit dari gerbang Timur hingga tiba di gerbang Barat. Walau banyak bis berseliweran dan berhenti di beberapa halte, namun saya memilih berjalan terus guna kembali ke halte depan gerbang keluar Kota Terlarang. Sebelum tiba di halte tujuan, saya mampir ke satu restoran di luar pagar Taman Jingshan di bagian Barat. Waktu telah menunjukan jam 2 siang sedangkan saya belum makan dan juga sedang sangat haus karena lupa membekali diri dengan air kemasan.

Selesai makan siang, saya kembali menyusuri pedestarian di bagian luar sebelah Barat Taman Jingshan menuju jalan depan gerbang keluar Kota Terlarang yang berjarak sekitar 10an menit dari restoran tersebut. Saat saya tiba di halte, saya berdiri beberapa saat mengamat-amati halte dan daerah sekitar sehingga saya jadi tahu bis dengan nomor tertentu akan berhenti pinggir jalan yang telah diberi nomor sebagai tempat antrian para calon penumpang sesuai nomor-nomor bis. Saya antri di belakang 3 calon penumpang lain yang 
Langit-langit Kuil Budha di Puncak Bukit
telah berdiri di depan nomor 101. Bis 101 inilah yang akan saya tumpangi ke Wangfujing karena tujuan jelajah saya berikutnya adalah Jalan Wangfujing yang sangat terkenal di Beijing sama seperti Jalan Malioboro di Jogja atau Orchad Road di Singapura. Saat bis tiba, saya naik, menempelkan kartu Smart Beijing (baca catatan sebelumnya tentang Airport ke Hotel dan Beijing ke Tembok Besar) lalu duduk di salah satu kursi kosong yang masih ada. Dalam bis tersedia informasi halte-halte yang dilewati dalam bahasa Inggris dan Cina. Sayangnya nama halte hanya tersedia dalam bahasa Cina sehingga saya tidak bisa tau kapan bis akan tiba di halte yang paling dekat dengan Jalan Wangfujing. Setelah perjalanan sekitar 20an menit, saya sadar bahwa bis telah meninggalkan pusat bisnis Wangfujing karena daerah yang dilewati sepertinya daerah pinggiran kota. Saya tetap duduk tenang dan mengamati pemandangan sepanjang jalan yang dilewati bis. Rumah-rumah susun sepanjang jalan yang dilewati terlihat lebih sederhana. Daerah sekitarnya juga kering dan berdebu. Bis akhirnya tiba di halte terakhir sehingga semua penumpang harus turun, termasuk saya. Saat tiba di luar, saya baru tahu jika halte terakhir ini terhubung ke stasiun metro / subway Kebun Binatang Beijing / Beijing Zoo.

Depan Planetarium Beijing
Saya tidak punya rencana ke Bejing Zoo, namun karena telah tersesat dan terlanjur berada di sini, saya memutuskan sekalian mampir ke Beijing Zoo. Saya bisa menjelajah daerah Wangfujing di malam hari saat selesai dari Beijing Zoo. Namun pertama-tama yang ingin saya temukan adalah toilet. Karena itu sambil mengamat-amati daerah sekitar, mata saya sekalian mencari-cari informasi toilet. Saya berjalan keluar dari halte ke pinggir jalan raya yang sangat lebar seperti jalan Sudirman - Thamrin di Jakarta. Mungkin ini salah satu jalan utama Bejing, duga saya. Di sebelah kiri saya dalam jarak sekitar 20an meter dari pinggir jalan terpampang informasi besar tentang Beijing Zoo dan gedung Planetarium Cina. Saya berjalan ke dalam kompleks Planetarium yang terbuka dan sepi. Tiba di dalam kompleks, mata saya melihat petunjuk arah toilet sehingga saya berjalan lurus sekitar 50 meter lalu belok kanan ke arah suatu bangunan warna kuning kelabu / krem. Tanda panah membawa saya ke bagian belakang gedung yang berjarak sekitar 200 meter dari gerbang masuk hingga saya tiba di satu toilet yang sangat bersih dan sepi sama seperti daerah sekitarnya. Selesai dari toilet, saya berjalan kembali ke halaman depan Planetarium yang cukup luas. Dalam jarak sekitar 200an meter dari gerbang terdapat bangunan utama tingkat tinggi yang semuanya terbuat dari kaca dan berbentuk segitiga atau kubus terbalik yang sangat indah. Saya mampir beberapa menit di bola dunia yang sepertinya terbuat dari stainless di halaman depan Planetarium dalam jarak sekitar 75 meter dari gedung Planetairum tersebut. Selesai foto-foto dan duduk beberapa menit menikmati suasana sunyi kawasan tersebut, saya bangun dan berjalan menuju satu bangunan kecil seperti toko yang berada di sebelah gerbang masuk ke komplek Planetarium. Toko ini dijaga seorang perempuan muda yang acuh tak acuh. Penjaga toko asyik sendiri di mejanya dan tidak menyapa ataupun melihat ke arah saya. Saya berkeliling melihat-lihat isi toko yang didominasi bola dunia berbagai ukuran, model dan bahan. Di atas satu lemari kaca yang berhadapan dengan pintu masuk dan keluar terdapat setumpuk peta kota Beijing berisi informasi tempat-tempat wisata di seluruh Kota. Saya  mengambil 1 lalu berjalan keluar toko tersebut, karena perempuan penjaga toko terus tidak peduli dengan kehadiran saya di tokonya.

Kompleks Panda dalam Beijing Zoo
Keluar kompleks, saya berjalan menuju lorong bawah tanah yang menghubungkan kedua sisi jalan utama tersebut. Jika di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, penyeberangan manusia di jalan-jalan utama menggunakan jembatan, maka di Beijing menggunakan lorong bawah tanah. Lorong tersebut membawa saya tiba di sisi seberang jalan utama depan Planetarium. Di atas tanah ujung lorong, saya belok kiri berjalan menyusuri pedestarian selebar 3 meteran dengan taman hijau selebar 7 meteran sepanjang jalan dan pedestarian tersebut. Saya mencari-cari gerbang masuk Beijing Zoo, namun saya tidak menemukan gerbang tersebut sampai tiba di suatu jalan kecil yang tersambung ke jalan utama yang pedestariannya sedang saya susuri. Saya berhenti sejenak membuka dan mengamati peta yang saya pegang lalu menghampiri seorang laki-laki berseragam biru gelap yang sedang bekerja di taman hijau sepanjang pedestarian tersebut. Saya menunjuk tanda Beijing Zoo di peta sambil bertanya dalam bahasa Inggris. Ternyata petugas taman tersebut bisa berbahasa Inggris walau terpatah-patah, namun dia memahami pertanyaan saya. Dia meminta saya balik sambil menunjuk arah berlawanan, yakni ke arah pedestarian yang saya telah lewati. Saya mengucapkan terima kasih lalu kembali menyusuri pedestarian menuju lorong bawah tanah. Saya terus berjalan melewati gerbang stasiun metro Beijing Zoo. Gerbang kebun binatang ini berjarak sekitar 150 meter dari bangunan gerbang stasiun. Karena letaknya agak ke dalam sekitar 30an meter,  sehingga saya tidak melihat gerbang tersebut saat keluar dari lorong bawah tanah karena terhalang bangunan stasiun.

Jalan pengunjung dalam Beijing Zoo
Saya berjalan melewati gerbang menuju loket tiket yang terletak dalam satu bangunan panjang di tepi jalan utama. Saya membeli tiket masuk seharga 20yuan atau sekitar 20ribu rupiah. Setelah mengantongi tiket masuk, saya berjalan kembali ke gerbang lalu menyerahkan tiket ke seorang petugas laki-laki yang memakai seragam biru dongker termasuk topinya. Sepertinya semua petugas yang telah pernah saya temui di berbagai tempat memakai seragam berwarna sama, yakni biru dongker atau biru gelap. Karena tidak ingin membuang waktu, saya bertanya ke pedugas tersebut dimana bagian beruang panda. Petugas menunjuk ke kiri sehingga saya berjalan ke arah yang ditunjuk melewati satu gerbang lain. Saya tiba di suatu hamparan terbuka yang sangat tenang dan hijau. Di sisi kanan saya terhampar jejeran kios-kios souvenir dalam bentuk seragam seperti bangunan ruko tanpa tingkat di Jakarta. Di sebelah kanan saya terdapat gerbang menuju tempat beruang panda yang didisain menggambarkan si panda dan juga ada tulisan panda bears. Saya berjalan ke arah gerbang lalu menyerahkan tiket ke seorang petugas perempuan di dalam satu bangunan pos yang terletak persis di samping gerbang bagian masuk pengunjung. Antara bagian masuk dan keluar diberi pembatas dari stanless setinggi dada saya.

Panda dalam kompleks Beijing Zoo
Tujuan saya hanya ke bagian beruang panda, sehingga mata saya hanya mencari-cari tanda ke bagian tersebut. Akhirnya saya tiba di bagian panda yang berada dalam kandang raksasa. Rerumputan dibiarkan tumbuh hijau dalam kandang. Dua rumah-rumahan setinggi 3 meteran di buat dalam kandang tersebut. Rumah-rumahan itu di lengkapi tangga dari kayu-kayu bulat sehingga beruang-beruang panda dalam kandang tersebut bisa naik dan turun. Di salah satu tangga, seekor beruang panda ukuran besar sedang tidur telungkup tak peduli dengan suara anak-anak yang berisik dan berteriak-teriak gembira melihat beruang-beruang panda di lokasi tersebut. Satu panda lagi berjalan hilir mudik dalam kandang dari tangga ke gua buatan dari semen di dalam kandang yang tersambung ke suatu bangunan. Kadang panda tersebut hanya berjalan mengeliling satu pohon besar berdaun rindang dalam kadang tersebut. Puas menikmati tingkah pola panda-panda tersebut saya berjalan meninggalkan kandang untuk menjelajah dan menikmati hal lain di kebun binatang tersebut. Saya berjalan hingga tiba di depan 
Panda sedang ngemil daun bambu :) 
bangunan yang bagian luarnya terdapat pernik-pernik panda seperti patung batu berbentuk panda dikeliling pohon-pohon bambu yang daunnya merupakan makanan panda. Setelah mengambil beberapa foto, saya berjalan masuk ke dalam bangunan tersebut yang bagian dalamnya sangat luas dan lapang. Dalam bangunan ini terdapat kios yang menjual berbagai pernik berbentuk panda. Saya memilih topi dan boneka panda kecil yang sedang makan daun bambu. Saat saya meninggalkan kios, saya melihat sekumpulan orang sedang menonton satu panda dewasa yang asyik makan daun bambu dalam posisi duduk bersandar di dinding bebatuan yang dibuat dalam kandangnya di luar gedung. Karena dinding gedung di bagian ini menggunakan kaca tembus pandang yang tebal, maka para pengunjung dapat menikmati tingkah pola panda dan juga mengambil foto-foto yang diinginkan.




Taman dalam Beijing Zoo
Selesai dari kompleks panda, saya berjalan keluar kembali melewati gerbang yang sama saat saya masuk. Dari depan gerbang, saya belok kiri menuju bagian lain. Sepertinya kebun binatang ini sekaligus menjadi taman indah dan sejuk karena saya berjalan di antara berbagai pohon besar rindang yang berjejer seperti memagari jalan-jalan dalam taman bersama rerumputan hijau dan bunga berbagai jenis. Saya membaca informasi arah berbagai bagian kebun binatang Beijing yang ditaruh di salah satu bagian taman berjarak sekitar 25 meter dari gerbang. Setelah itu saya melangkah perlahan menikmati suasana sepi dan lenggang taman menuju bagian serigala, beruang es dan juga kera berbagai jenis. Selesai menjelajah bagian-bagian tersebut, saya kembali menyurusi jalan taman menuju gerbang luar. Di taman dan jalan yang menghubungkan berbagai bagian dalam kebun binatang tersebut terdapat bangku-bangku taman dari kayu berwarna coklat. Saya duduk di salah satu bangku menikmati kesunyian dan keteduhan taman yang menjadi bagian dari kebun binatang Beijing. 

Petunjuk arah Utara di Puncak Bukit Taman Jingshan
Puas menikmati keteduhan dan kebisuan taman dalam Kebun Binatang Beijing, saya meninggalkan bangku kayu itu dan mulai berjalan perlahan menapaki jalan yang telah saya lalui saat menjelajah bagian kebun binatang ini. Hari mulai sore saat saya tiba di gerbang dan jalan ke stasiun metro Beijing Zoo yang terletak sekitar 100an meter dari gerbang kebun binatang yang barusan saya tinggalkan. Saya berganti metro dua kali yang membawa saya kembali ke stasiun Dongsi seperti biasa. Udara terasa dingin saat saya tiba di pintu keluar stasiun. Saya belok kiri menyusuri jalan dalam komplek stasiun sejauh 100an meter lalu belok kiri lagi melangkah ringan menuju hotel yang berjarak 2 gang dari stasiun Dongsi. Saya ingin beristirahat sejenak dan mandi air hangat barulah keluar lagi menjelajah jalan Wangfujing di malam hari sambil mencari makan malam di daerah sekitarnya. 

Bersambung...

Senin, 02 Januari 2017

JELAJAH DUNIA. BEIJING: Kota Terlarang / Forbidden City / Palace Museum

Hall of Supreme Harmony dalam Kota Terlarang
Tujuan perjalanan jelajah hari ini adalah  Kota Terlarang atau Forbidden City dan Taman Jingshan yang menurut informasi internet berada di sisi Selatan Kota Terlarang. Karena Kota Terlarang merupakan suatu kompleks besar yang berlapis-lapis pembagian zonanya, saya telah menyiapkan tenaga dan waktu untuk hanya menjelajahi kedua tempat tersebut. Tentunya sebagaimana biasa saya selalu mulai di pagi hari sehingga tempat tujuan belum dijejali para pengunjung yang biasanya mulai membludak pada  jam 10 ke atas. Sebagaimana biasanya saya selalu mulai dari stasiun subway/metro Dongsi yang merupakan stasiun subway paling dekat ke hotel Beijing 161 Wangfujing yang menjadi tempat inap saya selama di Beijing. Di stasiun Dongsi, saya langsung menuju metro di jalur 5 stasiun akhir Ciqu. Saya turun di stasiun Dongdan yang adalah stasiun kedua dari Dongsi. Di stasiun Dongdan, saya berjalan ke jalur 1 menuju stasiun akhir bernama Pingguoyuan. Saya turun di stasiun Tian'anmen East yang berjarak 2 stasiun dari Dongdan.

Jalan penghubung Miridian Gate dengan Gate of Supreme Harmony
Saat turun di stasiun Tian'anmen East, saya hanya perlu mengikuti  petunjuk panah dan abjad menuju pintu keluar sesuai informasi internet. Saya akan keluar ke lapangan Tiananmen melalui Exit / pintu keluar A. Dari peron pemberhentian metro, saya naik tangga menuju lantai 2 lalu mencari Exit A sebagai pintu keluar ke lapangan Tiananmen untuk selanjutnya masuk ke Kota Terlarang melalui Gerbang Miridian di bagian Selatan Kota Terlarang. Gerbang Selatan menjadi satu-satunya pintu masuk ke Kota Terlarang. Sedangkan pintu keluar hanya bisa melalui Gerbang Utara yang menjadi satu-satunya pintu keluar dari kompleks Kota Terlarang. Gerbang Utara ini terhubung ke Taman Jingshan - dimana saya dan para pengunjung lain bisa melihat seluruh kompleks Kota Terlarang dari puncak bukit di dalam taman tersebut. Papan petunjuk arah dan panah mengarahkan saya berjalan lurus dari tangga saat saya tiba di lantai 2. Akan tetapi saat saya tiba di dekat pintu keluar yang berjarak30an meter dari tangga, saya tidak menemukan tanda bertulisan Exit A, hanya ada tanda Exit C yang menunjuk ke kiri dan Exit D yang menunjuk ke kanan. Setelah mencari-cari beberapa saat, namun tidak menemukan tanda Exit A, saya menghampiri dan menanyakan Exit A ke seorang petugas penjaga mesin Xray. "Tiananmen Square", tanya balik si petugas. "Yes, and Forbidden City", balas saya. Petugas menunjuk ke arah Exit C. Saya mengucapkan terima kasih lalu berjalan keluar melalui Exit C yang membawa saya tiba di suatu taman. Saya menduga taman ini bagian dari lapangan Tiananmen yang terkenal itu. Dengan berlalunya waktu, maka informasi di internet juga menjadi kurang akurat karena belum diperbaharui, pikir saya sambil jalan dan mengamati lingkungan sekitar. 

Rombongan tour dalam kompleks Kota Terlarang
Di pintu keluar, saya belok kiri menuju suatu area terbuka yang dibatasi pagar-pagar stainless setinggi pinggang. Pagar ini membatasi taman dengan jalan raya selebar puluhan meter di depan saya yang cukup ramai dilalui mobil, bis, motor dan sepeda. Di antara taman dan jalan tersedia trotoar / pedestarian namun sangat jarang dilewati para pejalan kaki. Tidak seperti pedesatarian di bagian lain kota Beijing yang selalu ramai sebagimana saya temukan saat berkeliling kota tersebut. Karena tidak ada tanda / petunjuk apapun, saya mulai mengamati sekeliling saya mencari jalan masuk ke Kota Terlarang. Informasi di internet tidak menyediakan informasi rinci / detail sehingga saya harus berimprovisasi untuk menemukan jalan ke tempat tujuan saya pagi ini. Sekitar 80an meter di sebelah kiri saya terlihat banyak orang antri di depan suatu pos jaga berwarna putih berukuran sekitar 5x6 meter. 

Denah rute bis keliling Kota Terlarang
Setelah melakukan analisis cepat sekitar 2 menit, saya memutuskan berjalan ke arah antrian dan ikut mengantri. "untung-untungan saja", pikir saya. Kalo salah, saya hanya perlu putar balik. Saya tidak bisa bertanya ke depan atau belakang ataupun ke sebelah kiri saya dalam antrian yang membentuk 2 baris karena semuanya berbicara dalam bahasa yang tidak saya pahami. Saya memperhatikan tetangga di kiri saya mengeluarkan semacam surat identitas, seperti KTP di Indonsia. Karena itu, saya pun menyiapkan paspor saya. Secara perlahan antrian terus maju hingga saya berada 2 baris dekat ke pintu masuk pos jaga tersebut. Seorang perempuan muda berseragam hitam memakai topi warna sama sedang memeriksa identitas para pengantri. Saya menyerahkan paspor yang diterima lalu diperiksa bolak-balik kemudian dikembalikan lagi sambil mengarahkan saya menggunakan bahasa isyarat agar maju. Melewati pintu pos, saya dihadapkan pada mesin Xray dimana saya harus melewatkan ransel kamera di alat tersebut sambil seluruh badan saya diperiksa seorang petugas perempuan muda menggunakan alat pengecek elektronik. 4 perempuan muda berseragam hitam seperti rekan mereka lainnya sedang duduk di sebelah kanan mesin Xray. Mereka asyik ngobrol sambil sesekali melihat ke mesin Xray. Di sebelah kiri saya setelah perempuan yang memeriksa badan para pengantri, berdiri 5 petugas laki-laki yang semuanya juga menggunakan seragam hitam, termasuk topi. Mereka sedang ngobrol dan bercanda satu sama lain.

Melewati pintu pos, saya berada dalam suatu taman apik dan bersih bersama banyak pohon. Kelompok-kelompok manusia terlihat di kejauhan. Saya tahu mereka adalah para pengunjung yang menggunakan tour karena topi warna seragam atau bendera-bendera sebagai penanda - sebagaimana pengalaman saya saat ambil tour mengelilingi Eropa Barat (Baca catatan perjalanan di Eropa Barat). Di sebelah kanan saya dalam jarak sekitar 30an meter saya melihat tangga menuju lorong bawah tanah. Lorong bawah tanah ini berada di bawah jalan besar yang telah saya lihat dan amati sebelum ikut antrian ke tempat pemeriksaan paspor alias lorong ini merupakan tempat penyebarangan - dimana di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia selalu menggunakan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Di dinding jalan sisi menghadap pos diberi informasi tertulis tentang Kota Terlarang dan lapangan Tiananmen. Saya hanya perlu berjalan lurus dari tangga menuju arah ke Kota Terlarang. Jika saya belok kiri, maka saya kan menuju lapangan Tiananmen. Saya memilih berjalan lurus karena saya ingin masuk pagi ke dalam kawasan Kota Terlarang.

Depan gerbang masuk ke Kota Terlarang
Saat saya keluar di seberang terowongan, kawasan sekitar telah cukup ramai dengan pengunjung. Banyak pengunjung laki-laki yang hanya sekedar duduk-duduk sambil merokok di depan terowongan. Banyak juga yang mulai foto-foto di sekitar lokasi tersebut. Saya belok kiri menuju tembok berwarna merah maroon setinggi sepuluan meter. Di tembok ini tergantung  foto Mao Sendong - sang pemimpin revolusi Cina yang mengubah bentuk negara tersebut dari kekaisaran menjadi republik - berukuran besar sehingga bisa terlihat dari kejauhan. Di atas tembok terdapat bangunan panjang bercat merah maroon dengan atap susun dua. Bangunan ini diapit bendera Cina sebanyak 4 bendera di masing-masing sisi. Menurut internet, tembok tersebut merupakan batas terluar Kota Terlarang. Sedangkan bangunan di atasnya saat ini difungsikan sebagai museum. Saya terus berjalan dan kadang berhenti untuk memotret sampai tiba di suatu jembatan penghubung pelataran yang menjadi bagian dari lapangan Tiananmen dengan batas terluar Kota Terlarang. Sisi kiri dan kanan jembatan ditanami berbagai bunga yang membentuk taman hijau sebagai pembatas antara pelataran yang terhubung dengan jalan raya dan pelataran yang terhubung dengan pagar tembok terluar Kota Terlarang setinggi 10an meter. Beberapa penjaga berseragam jas panjang abu-abu dan hitam berdiri kaku di beberapa tempat memperhatikan para pengunjung yang semakin ramai. Setelah tiba di seberang jembatan, saya berjalan mengikuti pengunjung lainnya ke arah satu-satunya gerbang yang dibuka bagi pengunjung untuk masuk ke bagian dalam kawasan Kota Terlarang. Gerbang ini merupakan satu dari lima gerbang terluar Kota Terlarang di bagian Selatan. Gerbang yang berada di bawah pagar tembok setebal 10an meter tersebut membentuk lorong yang saya lewati menuju kompleks dalam Kota Terlarang. 

Depan gerbang Supreme Harmony 
Tiba di luar gerbang berbentuk lorong tersebut, saya berhadapan dengan pelataran seluas 2 atau 3 kali lapangan sepak bola. Pelataran ini memisahkan gerbang yang barusan saya lalu yang disebut Miridian Gate dengan pagar tembok kedua dan gerbangnya yang disebut Gate of Supreme Harmony. Seluruh pagar tembok setebal 10an meter dan bangunan yang berada di atasnya atau yang dibangun menyambung ke pagar tembok tersebut berwarna merah maroon. Di tengah-tengah kompleks disediakan jalan selebar 7 meter yang menghubungkan kompleks ini dengan kompleks lain di bagian dalam yang juga dipagari dengan benteng tebal berwarna merah maroon. Sebelah kiri saya berjejer bangunan lain dalam pagar benteng tersebut yang sebagian difungsikan sebagai loket penjualan tiket masuk yang berjarak puluhan meter dari jalan di tengah kompleks.Saya berjalan lurus hingga tiba di pagar pembatas dari besi bercat merah maroon setinggi dada saya yang dijaga seorang penjaga berseragam hijau lumut yang berdiri kaku menghadap Barat. Pagar besi yang berbentuk huruf U ini terhubung ke tempat pemeriksaan tiket masuk di kedua sisi ujung huruf U tersebut. Kedua tempat pemeriksaan tiket ini masih berjarak puluhan meter dari Gate of Supreme Harmony.

Jejeran bangunan dan loket penjualan tiket masuk
Karena saya masih bingung sehingga belum beli tiket masuk, maka saya hanya berdiri memperhatikan penjaga dan antrian para pengunjung di pintu pemeriksaan tersebut. Setelah mengambil beberapa foto, saya berbalik dan menghampiri papan informasi berjarak 20an meter dari pagar besi. Papan informasi ini menyediakan informasi tertulis beserta tanda panah tentang beberapa tempat dalam kompleks tempat saya sedang berdiri, termasuk loket penjualan tiket masuk ke "the Palace Museum". Istilah "the Palace Museum tersebut lah yang membuat saya tidak membeli tiket, karena tujuan saya adalah "the Forbidden City, bukan "the Palace Museum". Ternyata nama "the Palace Museum" tersebut merupakan nama resmi Pemerintah Cina bagi "the Forbidden City" / Kota Terlarang yang dikenal luas, terutama melalui internet. Setelah menyimpulkan bahwa nama "the Palace Museum" yang digunakan Pemerintah Cinta adalah nama resmi dari "the Forbidden City". 

Depan Gerbang Supreme Harmony 
Saya berjalan kembali ke arah kedatangan lalu belok kanan ke jejeran loket penjualan tiket yang saat saya masuk berada di sebelah kiri saya. Jejeren loket penjualan tiket diberi pagar-pagar stainles setinggi pinggang saya yang membentuk lorong sepanjang 10 meter dari halaman menuju loket. Saya masuk ke salah satu lorong yang langsung membawa saya ke loket yang dijaga seorang lelaki muda. "how much", tanya saya ke petugas tersebut. "Forty yuan" balas petugas tersebut ramah sambil tersenyum. Saya menyerahkan uang 100 yuan yang dikembalikan 60 yuan bersama selembar tiket berwarna merah maroon di bagian atas sedangkan bagian bawahnya berwarna putih. Bagian atas terdapat foto bangunan utama dalam Kota Terlarang sedangkan bagian bawahnya berisi informasi dalam huruf Cina, termasuk harga tiket menggunakan angka Latin dan Cina. Bagian belakang tiket berwarna putih berisi informasi dalam tulisan Cina dan Latin berwarna merah tentang jam buka dan tutup kompleks - yang disebut / bernama The Palace Museum - yakni 1 April - 31 Oktober dibuka jam 8.30 pagi dan tutup jam 5 sore. Sedangkan pada 1 November - 31 Maret, dibuka jam 8.30 pagi dan tutup jam 4.30 sore. Kompleks juga ditutup setiap hari Senin, kecuali hari libur nasional yang jatuh pada hari Senin, maka kompleks tersebut dibuka untuk umum dan juga setiap hari Senin di bulan Juli dan Agustus.

Depan Gerbang Supreme Harmony
Dari loket penjualan tiket, saya berjalan kembali ke tempat pemeriksaan tiket. Saya memilih bagian kiri sebagai pintu masuk. Tiba di tempat pemeriksaan tiket, saya menyerahkan tiket ke salah satu loket yang dijaga seorang perempuan muda. Petugas tersebut mencap tiket tersebut lalu menyerahkan kembali ke saya. Tiket yang telah dicap tersebut saya serahkan ke petugas pemeriksa yang menjaga pintu masuk. Jarak antara loket dan petugas pemeriksa tiket dengan gerbang masuk / Gate of Supreme Harmony masih puluan meter. Setelah melewati petugas pemeriksa, saya berjalan perlahan-lahan ke Gate of Supreme Harmony sambil memperhatikan lingkungan sekitar yang mulai sibuk dengan para pengunjung. Melewati Gate of Supreme Harmony, saya tiba di suatu pelataran yang sangat luas dan kosong. Jauh di depan saya berdiri bangunan berwarna merah maroon yang dikenal dengan nama Hall of Supreme Harmony. Kompleks ini dikeliling pagar tembok tebal setinggi 10an meter dengan beberapa bangunan berwarna merah maroon yang menempel ke pagar tembok tersebut. Kanal air selebar 10an meter dibangun memanjang dari Timur ke Barat yang memisahkan halaman utama dengan gerbang. 

Depan jembatan ke Hall of Supreme Harmony 
Saya berjalan melewati salah satu dari lima jembatan yang terbuat dari batu pualam putih di atas kanal terus menuju bangunan Hall of Supreme Harmony. Seluruh lantai kompleks dari gerbang ke bangunan Hall of Supreme Harmony dilapisi semacam batu-batu andesit dipotong persegi warna abu-abu sehingga tidak ada debu berterbangan saat ratusan orang berjalan sambil foto-foto antara gerbang dan bangunan Hall of Supreme Harmony. Bangunan Hall of Supreme Harmony merupakan bangunan bertingkat dua yang didominasi warna merah maroon pada dinding dan tiang-tiangnya. Bangunan dibangun di atas fondasi bertingkat 3 dari batu pualam putih. Akses ke bangunan ini melalui 2 tangga yang konon pada era kekaisaran merupakan jalan para menteri. Kedua tangga ini mengapit jalan kaisar yang terletak di tengah dan ditutup menggunakan pagar besi sehingga tidak bisa dilalui para pengunjung. Jalan para kaisar ini berada dalam satu garis lurus dengan pintu utama bangunan Hall of Supreme Harmony. Teras terbuka Hall of Supreme Harmony ditopang 12 tiang bulat bercat merah maroon. Tiang-tiang ini membentuk 11 kanopi / kubah. Serupa dengan di bangunan bersejarah lainnya dan kuil-kuil di Bejing, pengunjung tidak diizinkan masuk ke dalam bangunan. Pengunjung hanya bisa melihat dan memotret dari pintu utama yang dibuka namun diberi pagar besi setinggi dada saya. 

Hall of Supreme Harmony
Selain Hall of Supreme Harmoni, di atas benteng yang memagari Hall of Supreme Harmoni serta disekelilingnya terdapat bangunan-bangunan lain yang lebih kecil dan ditutup bagi turis. Saya hanya mengamati dan memotret dari jauh. Menurut Wikipedia, Kota Terlarang terdiri dari beberapa bagian, yakni Gerbang Miridian (gerbang masuk bagi para pengunjung yang terletak di Utara), Gerbang Divine Might (gerbang keluar bagi para pengunjung yang terletak di Selatan), Pintu Barat, Pintu Timur, Menara-Menara, Gerbang Supreme Harmony, Hall of Supreme Harmony, Hall of Military Eminence, Hall of Literary Glory, Southern Three Places, Palace of Heavenly Purity, Imperial Garden, Hall of Mental Cultivation dan Palace of Tranquil Longevity. Keseluruhan bagian tersebut berada dalam kompleks seluas 961 meter ( Utara - Selatan) x 753 meter (Timur - Barat). Didalamnya terdapat 980 bangunan dengan 8.886 ruangan yang masih ada hingga saat ini. Dalam mitologi disebutkan bahwa Kota Terlarang memiliki 9.999 kamar / ruangan, termasuk teras. Semua istana dan bangunan yang berada dalam Kota Terlarang dibangun secara bertahap yang dimulai tahun 1406 sampai dengan 1420. Kota ini didiami para kaisar, keluarga dan para pegawai kekaisaran sejak tahun 1420 - 1912 oleh dua dinasti kekaisaran, yakni dinasti Ming dan Qing. 

Depan Hall of Central Harmony 
Puas melihat-lihat dan memotret di Hall of Supreme Harmony sepanjang 30 meter itu, saya berjalan ke kiri menuruni tangga di bagian ini menuju belakang Hall of Supreme Harmoni melalui gerbang kecil di samping Hall of Supreme Harmoni. Halaman samping kiri cukup luas berbentuk seperti huruf T terbalik dimana kepala T ditempati bangunan Hall of Supreme Harmony yang telah saya lewati. Di halaman belakang ini juga terdapat berbagai bangunan berukuran lebih kecil yang dibangun menempel ke tembok pembatas bagian dalam dengan bagian luar Kota Terlarang. Setelah mengambil beberapa foto di bagian ini, saya berjalan ke kanan sehingga tiba di belakang Hall of Supreme Harmony lalu saya berjalan menuju bangunan lebih kecil bernama Hall of Central Harmony yang berada diantara Hall of Supreme Harmony dan Hall of Preserving Harmony. Hall of Supreme Harmony dan Hall of Preserving Harmony merupakan bangunan terbesar dari ketiga bangunan yang memiliki fungsi berbeda. Hall of Supreme Harmony merupakan pusat seremoni acara-acara kekaisaran. Hall of Central Harmony digunakan para kaisar untuk mempersiapkan diri atau beristirahat dari kegiatan-kegiatan seremonial. Sedangkan Hall of Preserving Harmony merupakan tempat pelatihan dan ujian bagi para calon pekerja kekaisaran. Di Hall of Preserving Harmoni terdapat kursi kekaisaran berwarna kuning emas diapit tiang-tiang berwarna merah maroon dan kuning emas. Ketiga bangunan ini dikenal sebagai pusat mahkota kekaisaran Cina di masa lalu. 

Antara Hall of Central Harmony dan Hall of Preserving Harmony 
Dari Hall of Preserving Harmony, saya celingukan mencari-cari toilet karena telah hampir 3 jam saya menjelajah beberapa bagian Kota Terlarang. Setelah mencari ke kiri dan ke kanan, saya menemukan papan informasi toilet ke sebelah kanan. Saya berjalan beberapa puluh meter ke samping kanan meninggalkan jalan utama yang melewati bangunan-bangunan utama di dalam Kota Terlarang. Saya berjalan menuju dan melewati satu gerbang kecil yang saya temukan
Hall of Preserving Harmony 
di bagian ini. Saat melewati gerbang tersebut, saya melihat toilet berada di sebelah kiri saya. Pintu luar toilet diberi penutup tirai dari lembar-lembar plastik tebal seperti yang saya lihat di beberapa supermarket di Jakarta yang membatasi area umum dengan area khusus staf dan gudang. Saat saya melewati tirai plastik tersebut saya masuk ke ruang tunggu selebar 7x6 meterdiisi barisan kursi kayu di sisi kanan. Saya terus berjalan melewati ruangan tersebut menuju toilet laki-laki di sebelah kanan. Toiletnya modern, luas dan bersih. Keluar dari toilet, saya mengamat-amati lorong panjang dari gerbang yang telah saya lewati hingga ke gerbang lain berjarak puluhan meter dari gerbang sebelah toilet. Di lorong selebar 10 meter tersebut terdapat 2 gerbang kecil di bagian kanan menuju kawasan lain dalam komplek tersebut. Saya berjalan melewati salah satu gerbang hingga tiba di suatu halaman yang dikeliling bangunan-bangunan dengan pintu tertutup berwarna merah. Di sebelah kiri saya terdapat gerbang lain yang saya lewati yang membawa saya ke halaman lain. Di halaman ini saya melihat nama museum keramik yang menarik saya memasuki bangunan tersebut. 

Museum keramik 
Museum dijaga para penjaga berpakaian safari warna biru dongker. Hanya sedikit pengunjung dalam museum ini. Saya bertanya ke penjaga apakah saya boleh memotret, penjaga menjawab ramah bahwa boleh memotret sehingga saya mulai berkeliling mengamat-amati sekaligus memotret berbagai keramik yang dipajang dalam lemari-lemari kaca. Keramik-keramik yang dipamerkan dibagi dan ditempatkan dalam 3 ruangan berbeda. Puas melihat-lihat dan memotret, saya berjalan keluar dari pintu lain di bagian belakang museum. Saya berada di suatu halaman lain yang dikitari banguan-bangunan tertutup pintu dan jendelanya. Saya berjalan perlahan menyusuri lorong-lorong depan bangunan sambil mengamati dan memotret hingga saya tiba di satu gerbang yang membawa saya kembali ke lorong tempat toilet. Di bagian ini - sejajar toilet - terdapat jejeran bangku berwarna coklat yang menjadi tempat istirahat beberapa pengunjung. Saya mengambil tempat di salah satu bangku untuk beristirahat sekalian minum dan makan roti yang saya bawa dalam ransel karena hari telah cukup siang. 

Hall of Union dan Palace of Earthly Tranquility
Setelah  beristirahat sekitar 15 menit, saya meneruskan perjalanan saya menyusuri lorong tersebut. Saya melihat satu gerbang di sebelah kiri - sejajar bangunan toilet - sehigga saya berjalan menuju dan melewati gerbang tersebut. Saya tiba di satu pelataran berisi beberapa bangunan. Dari informasi internet yang saya simpan di HP, saya tahu bahwa bangunan-bangunan yang sedang saya lihat ini adalah Palace of Heavenly Purity, Hall of Union dan Palace of Earthly Tranquility. Palace of Heavenly Purity merupakan tempat tinggal para kaisar. Hall of Union merupakan tempat harta benda terpenting kekaisaran. Sedangkan Palace of Earthly Tranquility merupakan tempat tinggal para permaisuri. Sama seperti Hall of Supreme Harmony, Hall of Central Harmony dan Hall of Preserving Harmony, ketiga bangunan ini dibangun di atas fondasi yang ditinggikan sekitar 5 meter dari atas tanah dan terbuat dari batu pualam putih. Saya berjalan ke masing-masing bangunan untuk mengamati dan memotret. Seperti bangunan-bangunan sebelumnya, para pengunjung hanya bisa melihat / mengamati dan memotret bagian dalam bangunan dari pintu utama yang dibuka namun diberi pagar pembatas dari besi-besi bulat setinggi dada saya. 

Singasana kaisar dalam Palace of Heavenly Purity
Puas mengamati dan memotret, saya balik kanan berjalan menuruni tangga di samping kiri depan Palace of Earthly Tranquility yang membawa saya ke toko souvenirs. Saya masuk dan melihat-lihat lalu membeli beberapa magnet kulkas seharga 12yuan per magnet. Ternyata harga ini sangat mahal dibandingkan harga magnet yang saya beli di jalan Wangfujing (catatan perjalanannya menyusul). Keluar dari toko souvenir saya belok kanan menuju gerbang samping ketiga bangunan yang telah saya kunjungi. Saya kembali ke lorong lalu belok kiri dan berjalan lurus menuju gerbang di ujung lorong. 

Singgasana Permaisuri dalam Palace of Earthly Tranquility
Keluar dari gerbang, saya tiba di kompleks kebun kekaisaran atau Imperial Garden. Kebun ditanami pohon-pohon bambu, pinus dan cemara yang telah berusia ratusan tahun. Selain pepohonan, taman juga diisi dengan bukit-bukti batu buatan di antara pepohonan dalam kompleks seluas 12.000 M2. Puas melihat-lihat Imperial Garden, saya berjalan memasuki satu vila bernama Hall of Imperial Peace yang memisahkan taman tersebut ke dua bagian, yakni Timur dan Barat. Vila ini memiliki 20 kamar dan aula terbuka dengan gaya berbeda-beda berhiaskan lukisan-lukisan naga dan burung pionix. Warna vila didominasi warna merah dengan akses biru dan kuning emas. Saya juga masuk,
Paviliun Myriad Springs
mengamati dan memotret satu dari 4 paviliun. 4 paviliun tersebut dibangun di masing-masing sudut taman mewakili 4 mata angin. Paviliun yang saya kunjungi bernama Myriad Springs ini dibangun tahun 1535 pada era dinasti Ming. Paviliun ini dibangun di atas fondasi batu pualam putih setinggi 1 meteran. Paviliun memiliki 4 pintu terbuka dengan atap tinggi bersusun dua dimana atap pertama berbentuk seperti gelombang, sedangkan atap kedua berbentuk bulat seperti atap Temple of Heaven. Seluruh dinding paviliun dicat merah dengan akses kuning emas. Dinding bagian dalam sampai ke langit-langit paviliun dilukis indah dalam warna merah, biru, hitam dan kuning emas. 

Imperial View Hill
Dari paviliun Myriad Springs, saya berjalan kembali ke taman hingga bertemu dengan arus ratusan pengunjung yang sepertinya berjalan ke gerbang luar. Gerbang ini berada di samping kanan bukit batu buatan berwarna putih setinggi 14 meter. Bukit batu buatan ini dihiasi kepala naga dan singa. Dalam bukit batu ini terdapat juga goa buatan yang pintu masuknya berwarna merah. Pintu masuk ke goa buatan ini ditutup dan digembok. Di atas bukti batu tersebut terdapat satu paviliun bernama Imperial View yang menjadi tempat para kaisar dan keluarga mereka menikmati pemandangan dari ketinggian. Melewati gerbang kecil di samping bukit batu buatan tersebut, saya tiba di suatu pelataran terbuka yang terletak antara taman dengan pagar tembok tebal dan gerbang keluar yang disebut Gate of Divine Might yang terletak di bagian Utara Kota Terlarang. Pelataran ini dipenuhi para pengunjung dari berbagai bangsa. Dari pelataran tersebut saya berjalan keluar kompleks melewati satu dari 3 pintu gerbang keluar. Ratusan pengunjung memenuhi pelataran terbuka seluas ratusan meter persegi di luar gerbang Utara. Pelataran ini menjadi pemisah tembok dan gerbang Kota Terlarang dengan suatu jalan raya yang cukup ramai. Saya mengambil beberapa foto lalu berjalan ke papan informasi yang terpasang dekat pinggir jalan. Saya membaca informasi nomor-nomor bis yang melewati tempat tersebut serta arah tujuan bis-bis tersebut. Karena informasi ditulis
Gerbang Divine Might
menggunakan huruf Cina dan Latin, maka saya bisa mengetahui arah tujuan dan bis yang akan saya tumpangi. Namun, saya masih akan menjelajah Taman Jingshan yang terletak di seberang jalan depan gerbang keluar kompleks Kota Terlarang. Karena itu, saya menyeberang jalan lalu belok kiri berjalan di pedestarian menuju arah Barat mencari gerbang masuk ke Taman Jingshan. 

Bersambung...


Minggu, 18 Desember 2016

JELAJAH DUNIA. TEMBOK BESAR CINA / THE GREAT WALL: Beijing - Huairou - Mutianyu

Tembok Besar Cina di Mutianyu
Sejak di Indonesia, saya telah memutuskan akan menjelajah Tembok Besar Cina / the great wall  di bagian Mutianyu. Menurut informasi internet, bagian ini lebih sepi dari bagian lain bernama Badaling yang telah bisa langsung dicapai menggunakan kereta. Untuk mencapai Mutianyu tersedia 3 pilihan tranportasi, yakni menggunakan taksi dengan biaya cukup mahal, menggunakan bis yang lebih murah atau menggunakan bis lalu berganti menggunakan minivan alias 2 jenis kendaraan. Biaya menggunakan bis langsung dari Beijing ke Mutianyu lebih murah dibanding dua lainnya. Namun saya mendapatkan kesulitan menemukan tempat saya akan naik bis ini. Sedangkan menggunakan taxi sangat mahal, sehingga saya memutuskan menggunakan bis dari terminal di stasiun Dongshimen yang saya telah ketahui seluk-beluknya daripada menggunakan bis di terminal yang saya masih harus cari-cari lokasinya. Dengan menggunakan bis dari terminal di stasiun subway Dongshimen, saya akan turun di kota Huairou untuk melanjutkan perjalanan menggunakan minivan dari kota tersebut ke Mutianyu. 

Informasi di stasiun metro Dongshimen
Sebagaimana biasa, karena saya selalu ingin mendapatkan foto-foto bagus di tempat-tempat jelajah saya, maka saya telah bangun jam 5 pagi menyiapkan diri menuju Tembok Besar bagian Mutianyu pagi ini. Keluar dari hotel sekitar jam 5.30 pagi, saya menyeberang jalan menuju toko 24 jam seperti alfamart ato indomart di Jakarta. Saya beli 2 bakpao dan coklat batangan serta air mineral sebagai bekal makan di jalan karena hotel tidak menyediakan makan pagi. Biasanya saya bisa membeli roti atau sandwich di hotel, namun bagian penjualan baru buka jam 7pagi. Dari toko, saya kembali menyeberang ke arah hotel lalu belok kiri menyusuri pedestarian yang membawa saya ke stasiun subway / metro Dongsi. Dari stasiun Dongsi, saya naik metro line 6 arah Lucheng. Di stasiun Chaoyangmen (1 stasiun dari Dongsi), saya turun dan ganti kereta ke jalur 2 menuju stasiun Dongshimen yang berjarak 2 stasiun dari Chaoyangmen. Turun di stasiun Dongshimen, saya hanya perlu mengikuti petunjuk berupa tulisan dan panah menuju terminal bis yang tersambung dengan stasiun tersebut. Saya naik turun eskalator dan berjalan menyusuri lorong-lorong stasiun metro Dongshimen menuju terminal. Stasiun Dongshimen juga menjadi stasiun naik dan turun kereta airport / airport express sehingga saya lebih mengenal seluk beluk stasiun ini karena sejak tiba di Beijing, saya telah menggunakan kereta dari airport internasional Beijing. Untuk  mencapai terminal bis menuju Mutianyu, saya berjalan melewati lorong-lorong panjang, termasuk melewati lorong masuk ke stasiun kereta airport express. Suasana dalam stasiun bawah tanah ini mulai ramai karena hari semakin terang. Dari arah sebaliknya di lorong panjang menuju terminal bis, ratusan orang yang baru turun dari metro ataupun bis berjalan berlawanan arah untuk selanjutnya berpencar ke berbagai jalur sesuatu tujuan masing-masing. Untungnya, jalur berlawanan arah dipisah pagar setinggi kepala saya sehingga saya tidak perlu bertabrakan dengan ratusan orang tersebut. 


Eskalator dari terminal bis ke dalam stasiun metro / subway
Terminal bis terletak di atas tanah sehingga saya menapaki beberapa anak tangga lalu melanjutkan dengan eskalator. Di atas tanah, terminal dibagi ke 2 arah berbeda, yakni Utara dan Selatan atau kiri dan kanan saya. Karena saya telah mempelajari informasi di internet, maka saya memilih arah kiri / Utara yang bersebelahan dengan restoran cepat saji Mc Donald. Terminalnya sangat sepi, tidak banyak orang lalu-lalang di tempat tersebut. Saat kembali dari Mutianyu baru saya menemukan alasan kenapa terminal terlihat sepi, karena tempat tersebut hanya untuk calon penumpang yang akan naik bis. Tempat menurunkan penumpang adalah di halte yang berada di luar bangunan terminal yang berjarak sekitar 200 meter jalan kaki menuju stasun subway Dongshimen yang tersambung ke terminal bis Dongshimen. Terminal berbentuk pelataran yang didalamnya diberi nomor-nomor bis ke tujuan berbeda melalui lorong-lorong berbeda. Pagar-pagar pemisah berupa tiang-tiang besi sebesar tangan orang dewasa dengan tinggi sekitar 1meter, lebar 75cm. Pagar-pagar tersebut membentuk lorong panjang menuju ujung pelataran dimana bis-bis akan berhenti sesuai nomor masing-masing untuk menaikan penumpang. 

Salah naik bis nomor 918, harusnya naik 916
Saya langsung menuju lorong bertuliskan angka 918, yakni nomor bis yang akan saya tumpangi menuju Huairou lalu berganti menggunakan minivan menuju Mutianyu. Di ujung lorong yang saya susuri terdapat papan hijau bertulisan putih tentang nomor bis 918 dan rute-rute yang ditempuh dalam bahasa Cina. Karena bis yang akan saya tumpangi telah menunggu di ujung lorong, saya langsung naik lalu menempelkan Beijing smart card (baca catatan sebelumnya tentang Perjalanan Jakarta-Beijing) di alat pembaca kartu yang terpasang di tiang sebelah sopir. Setelah itu saya melangkah ke dalam dan duduk di salah satu kursi kosong di bagian depan. Bisnya berwarna hijau strip putih di bagian luar. Bagian dalamnya sangat bersih dan menggunakan AC. Sopir bis memakai jas dan pantolan serta topi berwarna biru tua. Tak butuh waktu lama, bis yang saya tumpangi mulai berjalan meninggalkan terminal dengan hanya 10 penumpang, termasuk saya. Karena saya duduk di depan, maka saya bisa memperhatikan lalu lintas yang cukup sepi di jalan-jalan yang sangat lebar dan bersih serta halte-halte tempat bis-bis berhenti menurunkan dan menaikan penumpang. Saat mata saya berpaling ke dalam bis dan mulai memperhatikan lebih teliti, saya sadar telah salah naik bis. Sesuai informasi internet, bis yang saya tumpangi akan menuju kota Huairou sebagai tujuan akhir. Nama tersebut tidak saya temukan pada informasi tertulis tentang rute dan halte-halte yang disinggahi bis hingga tujuan akhir. Informasi ini tertulis dalam 2 bahasa, yakni Inggris dan Cina yang tertempel di langit-langit bis di atas kepala penumpang. Saya memeriksa informasi internet yang telah saya simpan di HP. Bis yang seharusnya saya tumpangi adalah nomor 916, bukan 918. 

Depan pintu barak para prajurit di Tembok Cina
Saya tetap tenang sambil menunggu bis berhenti di halte sehingga saya bisa turun. Setelah melewati beberapa halte, bis akhirnya berhenti di satu halte berjarak sekitar 3 km dari terminal Dongshimen. Setelah turun saya melihat-lihat informasi nomor-nomor bis dan rute yang tertempel di halte tersebut. Saya melihat nomor 916 tertulis di salah satu papan informasi, namun informasi rute tertulis dalam bahasa Cina :). Saat saya melihat bis 916 hanya melewati halte tempat saya berdiri saat itu, maka saya memutuskan kembali ke stasiun metro Dongshimen menggunakan subway yang akan lebih mudah bagi saya daripada menggunakan bis. Saya berjalan ke arah kanan menuju tempat menyeberangan. Seorang perempuan muda bersepatu hak tinggi dengan blaser khaki dan rok setinggi lutut berwarna senada dengan blasernya sedang berdiri menunggu lampu hijau untuk menyeberang. Saya berdiri antri di belakang perempuan ini lalu ikut menyeberang saat lampu berwarna hijau. Sampai di seberang, saya belok kiri menuju stasiun subway yang berjarak sekitar 10 meter. Tiba di pintu stasiun saya menuruni tangga-tangga menuju bagian dalam stasiun yang terletak di dalam tanah. 

Bagian dari Tembok Besar Cina di Mutianyu
Setelah berganti 2 kali, saya akhirnya tiba kembali di stasiun Dongshimen. Sekali lagi saya menyusuri lorong2 dan naik melalui eskalator hingga tiba kembali ke pelataran terminal lalu memilih jalur nomor bis 916. Saat saya tiba di ujung lorong, bis telah menunggu. Seorang perempuan dan 2 laki-laki memakai blaser biru dengan topi berwarna senada berada di ujung lorong ini. Cekungan persegi empat di ujung lorong berukuran 1x1 meter dilengkapi 1 kursi dan 1 meja kecil. "Mereka mungkin petugas terminal" duga saya. "Ni hao ma", sapa si perempuan. "Ni hao", balas saya. Perempuan itu melanjutkan menggunakan bahasa Cina yang tentunya tidak saya pahami. Saya balas menggunakan bahasa Ingggris. "Want to take a faster bus?", tanya perempuan itu mengubah percakapan ke dalam bahasa Inggris. "Why not", balas saya. Perempuan itu lalu menulis nomor bis 805 sambil mengatakan bis tersebut sangat cepat. Beruntunglah saya teringat penipuan yang dilakukan terhadap seorang perempuan bule yang menceritakan pengalamannya di situs "lonely planet". "No, thanks", kata saya ke perempuan itu dan kedua temannya. Perempuan itu masih berusaha meyakinkan saya untuk menggunakan bis yang direkomendasikan dia. Namun saya meninggalkan mereka dan bergegas menaiki bis 916 yang masih parkir. 

Suasana pagi dalam stasiun Dongshimen
Bis 916 menunggu cukup lama di tempat tersebut, jika saya bandingkan dengan bis nomor 918 sebelumnya. Beberapa menit saya telah berada dalam bis, saat salah satu petugas laki-laki yang satu kelompok dengan perempuan itu masuk ke bis menghampiri saya. "Want to use minivan?, only 30yuan", kata laki-laki itu ramah. "how about 20yuan", tanya saya bernegosiasi". "25", balasnya. "No, 20". Saya bersikukuh karena membaca informasi di internet bahwa tiap penumpang hanya perlu membayar 20yuan dari Huairou ke Mutianyu. "Alright, let's get off", kata laki-laki tersebut menyetujui 20yuan. "What," tanya saya. "20 yuan only from Beijing to Mutianyu?, tanya saya ingin memastikan. "Yes" balas laki-laki tersebut sambil mengajak saya turun. Saya sadar sedang memasuki perangkap penipuan lain. Para penumpang lain yang semuanya penduduk setempat hanya memperhatikan percakapan saya dengan si petugas laki-laki itu. Saya duga mereka tidak mengerti bahasa Inggris seperti umumnya penduduk di Beijing. Karena itu saya tidak beerharap mendapatkan bantuan mereka. Saya teringat informasi internet tentang penipuan menggunakan minivan yang akan membawa korbannya berputar-putar sekitar Bejing lalu diperas untuk membayar biaya yang sangat mahal. "No, thanks, I thought it is from Huairou to Mutianyu", kata saya ke lelaki itu. "No?, tanya lelaki itu menegaskan. "No, thanks" kata saya tegas sambil menggeleng-geleng. Lelaki itu beranjak turun mendengar saya bersikukuh tidak akan menggunakan minivan yang ditawarkannya dari Beijing ke Huairou. 

Informasi nama-nama halte di langit-langit bis
Setelah lelaki itu turun, sopir menutup pintu bis lalu bis bergerak meninggalkan terminal. Bis cukup penuh. Setelah keluar dari kota, bis memasuk jalan tol yang padat sehingga bis berjalan perlahan-lahan. Kemacetan yang mengingatkan saya akan Jakarta. Saya mengisi waktu dengan memperhatikan informasi digital yang ditayangkan dalam bahasa Inggris dan Cina tentang halte-halte yang disinggahi bis. Informasi tertulis nama halte juga tertempel di langit-langit bis. Walau tertulis dalam 2 bahasa, namun informasi digital di depan bis hanya memuat nama halte dalam bahasa Cina sehingga saya tidak tahu nama halte tempat saya akan turun sebagaimana yang telah saya peroleh dari internet. Informasi di internet menyatakan untuk ke Mutianyu, saya bisa berganti minivan di halte ke 15 dari terminal Dongshimen. Namun karena jarak cukup jauh, saya kadang lupa sudah halte keberapa saat bis berhenti. Karena itu, saya mencoba cara lain, yakni memotret informasi tertulis di langit-langit bis lalu membandingkan dengan informasi digital di depan. Informasi tertulis di langit-langit bis ditulis menggunakan pola penulisan Cina,  yakni dari atas ke bawah, sedangkan di informasi digital ditulis menggunakan pola latin, yakni horisontal dari kiri ke kanan. Setelah foto nama2 halte di internet saya buat horisontal supaya sama dengan pola informasi digital di depan bis, saya bisa menemukan halte-halte tempat bis berhenti hingga tiba di halte ke 15 di Kota Huairou. Dari halte ini terdapat 2 pilihan menuju Mutianyu, yakni menggunakan minivan atau bis. Untuk menggunakan bis, para calon penumpang harus menyeberang karena bis-bis tersebut berada di seberang jalan. 

Suasana Kota Huairou - transit ke Mutianyu
Saat saya turun bersama penumpang lain yang ternyata berasal dari Jakarta juga, para sopir minivan telah menunggu dan menawarkan penggunaan minivan dengan bayaran 20yuan per orang sekali jalan. Hanya ada 1 orang yang bisa berbahasa Inggris di antara para sopir tersebut. Orang ini bertindak sebagai jurubicara antara kami dengan para sopir minivan. Sepertinya mereka mengatur antrian / giliran pengantaran sehingga tidak terjadi rebutan antar sopir. Setelah jurubicara memastikan kami akan menggunakan minivan dengan bayaran 20 yuan per orang,  jurubicara itu menyerahkan kami (saya dan 4 penumpang lain asal Indonesia sepakat menggunakan 1 minivan) ke seorang sopir lelaki berusia paruh baya yang tidak bisa berbahasa Inggris. Karena itu, saya berinisiatif menanyakan ke jurubicara bagaimana cara kami kembali ke Huairou. Jurubicara mengatakan bahwa minivan bisa menunggu dengan harga yang sama yakni 20yuan dari Mutianyu ke Huairou. Sopir menutup pintu minivan saat kami semua telah berada di dalam minivan lalu menghidupkan mesin mobil. Sebelum minivan bergerak meninggalkan daerah tersebut, sopir membagikan brosur wisata Tembok Besar bagian Mutianyu yang berisi informasi rute dan tempat-tempat penting seperti loket penjualan tiket, halte shuttle bus, pintu masuk sekaligus pemeriksaan tiket, terminal kereta gantung / cable car dll. Jarak tempuh minivan dari Kota Huairou ke Mutianyu sekitar 25menit menyusuri jalan bagus, luas dan sepi. Setelah keluar dari kota, minivan menyusuri jalan yang kiri kanannya dijejeri pepohonan di kontur geografis perbukitan yang terus mendaki. Sekitar 10 menit keluar dari pool minivan di Kota, Huairou, sopir menunjuk Tembok Besar yang terlihat di kejauhan. Saya mengintip sambil mengangguk-angguk karena toh kami tidak bisa bercakap-cakap dengan sopir yang hanya bisa berbahasa Cina. 

Sopir minivan di tempat parkir di Mutianyu
Tiba di tempat parkir, saya dan teman-teman baru saya harus menggunakan bahasa isyarat lagi dengan sopir bahwa dia dan minivan akan menunggu kami di tempat tersebut. Kami juga diminta membayar biaya parkir sebesar 5yuan ato sekitar 10ribu rupiah. Tempat parkir ini sepertinya dikelola penduduk setempat, karena masih sangat sederhana berupa suatu kompleks yang lahannya masih tanah dan dibiarkan apa adanya. Saya menyerahkan uang 5 yuan pembayaran parkir ke seorang perempuan tua yang rambutnya telah memutih. Keduanya sopir dan penjaga lahan parkir tersebut berbicara dalam bahasa mereka. Perempuan itu menerima uang sambil senyum kecil dan mengangguk sehingga saya pun tersenyum dan mengangguk membalas keramahannya. Sebelum meninggalkan tempat parkir, saya meminta sopir berdiri di samping minivan lalu memotret sopir dan minivan untuk memudahkan saya dan teman-teman baru saya menemukan minivan atau sopir saat balik dari Tembok Besar. Selesai foto, ternyata kami tidak berjalan sendiri ke loket tiket. Sopir berjalan menemani kami ke loket penjualan tiket di dalam suatu kompleks yang telah tertata rapi. Kompleks ini berjarak sekitar 500an meter dari tempat parkir. Kami berjalan menyeberangi 2 jalan raya yang memisahkan kompleks parkir dengan kompleks pejualan tiket dan jalan masuk ke Tembok Besar.  Kami tiba di depan gerbang masuk yang sangat lebar dengan tulisan Cina besar berwarna kuning emas di atasnya. Di sebelah kanan tulisan tersebut terdapat tulisan latin berukuran lebih kecil berupa ucapan selamat datang di Mutianyu. Udara terasa membekukan sehingga saya mengambil dan mengenakan sarung tangan agar terasa sedikit hangat. 

Depan gerbang masuk ke Tembok Besar di Mutianyu
Setelah melewati gapura, saya sempatkan ke toilet yang berada dalam satu bangunan di sebelah kiri gerbang masuk. Toiletnya luas dan sangat bersih dibandingkan dengan kondisi toilet di Fragrant Hill yang telah saya jelajahi. Selesai dari toilet, saya keluar dan berjalan sekitar 70an meter ke loket karcis. Loket karcis berada dalam suatu bangunan tersendiri yang sangat besar. Hanya ada beberapa orang di sekitar loket, salah satunya adalah sopir minivan kami. Ternyata jurubicara para sopir yang kami temui di kota Huairou telah tiba di tempat ini sehingga menjadi perantara bahasa antara kami dengan sopir soal waktu tunggu. Selain menjual tiket masuk ke Tembok Besar, loket ini juga menjual tiket kereta gantung atau cable car. Pengunjung diberi pilihan menggunakan cable car atau jalan kaki ke Tembok Besar yang terletak di puncak jajaran pegunungan. Untuk balik ke halte bis, pengunjung bisa memilih menggunakan cable car, jalan kaki atau perosotan :). Saya memilih naik dan turun menggunakan cable car saja karena jika hanya sekali jalan, harganya 80yuan, jika PP harganya 100yuan. Selain tiket masuk dan cable car saya juga harus membeli tiket bis PP yang akan mengantar para pengunjung PP dari halte naik ke halte dekat tempat pemeriksaan tiket. Jadinya saya membeli 3 tiket berbeda untuk bisa masuk ke Tembok Besar, yakni tiket bis, tiket kereta gantung / cable car dan tiket masuk. 

Denah kompleks Tembok Besar di Mutianyu
Setelah mengantongi tiket, saya sekali lagi bertemu sopir kami untuk menyepakati lamanya waktu tunggu, yakni 3 jam. Kami perkirakan 3 jam sebagai waktu maksimum jelajah Tembok Besar, tanpa memperhitungkan waktu tempuh dari loket tiket hingga tiba di atas Tembok Besar yang ternyata cukup jauh. Dari loket tiket, saya belok kanan masuk ke dalam kompleks melalui gapura kedua yang besarnya seukuran gapura pertama, namun berwarna coklat dengan ukuran lebih besar tinggi dari gapura pertama. Di gapura berwarna coklat tersebut tertera tulisan Mu Tian Yu dalam bahasa Cina dan Latin. Kawasan ini sangat luas dan sepi. Mungkin karena masih pagi sehingga masih sedikit pengunjung yang tiba di tempat ini. Jalan dalam kompleks cukup bagus dan tertata rapi. Para penjual cindera mata, makanan ringan dan juga minuman berjejer di sebelah kanan jalan berjarak sekitar 100 meter dari gerbang masuk. Saya dan teman-teman saya mampir membeli makanan ringan dan minuman lalu meneruskan perjalan ke halte bis. Setelah melewati jejeran para PKL, resto dan juga kios, kami tiba di halte bis. Untuk mencapai halte, para pengunjung harus melewati jalan yang dibuat berputar-putar yang dibatasi pagar-pagar stainless setinggi pinggang
Bis-bis yang antar dan jemput para pengunjung di Mutianyu
orang dewasa. Di ujung lorong-lorong berputar tersebut, berdiri seorang laki-laki pemeriksa tiket berseragam biru dongker. Saat tiba di depan petugas tersebut, saya menyerahkan semua tiket yang saya pegang. Petugas mengambil tiket bergambar bis yang disobek satu sisi lalu dikembalikan ke saya. Saya melangkah melewati palang disebelah kanan petugas lalu belok kiri di belakangnya mengikuti lorong yang telah dibuat berakhir di suatu tempat berjarak 20an meter di sisi kiri petugas pemeriksa tiket. Di ujung lorong ini, saya antri di belakang 4 calon penumpang lain yang telah lebih dahulu tiba. Tak lama antri, salah satu bis yang berjejer di dalam kompleks yang cukup luas itu keluar dari antrian dan berjalan ke arah kami. Saat bis berhenti dan membuka pintunya, kami bergegas masuk dari depan dan tengah. Saya memilih duduk di bangku terdepan di sebelah kanan belakang sopir atau di depan pintu masuk. Posisi ini membuat saya dapat menikmati pemandangan luar secara utuh hingga kami tiba di halte penurunan. Jarak tempuh dari halte naik ke halte turun sekitar 3km. Walau demikian, saya melihat beberapa pengunjung - dugaan saya orang setempat - memilih berjalan kaki menyusuri jalan yang terus mendaki hingga tiba di tempat pemeriksaan tiket masuk. 

Tempat pemeriksaan tiket masuk ke Tembok Besar
Sekitar 10an menit dari halte naik, bis menurunkan para penumpangnya di halte turun yang juga terlihat lenggang karena masih sedikitnya pengunjung di tempat tersebut. Saya mengikuti pengunjung lain keluar dari bis lalu berjalan lurus ke jalan setapak berjarak 20an meter dari halte kemudian belok kiri menyusuri jalan selebar 5 meter yang terbuat semen. Jalan ini membawa para pengunjung dari halte bis ke tempat pemeriksaan tiket berjarak 100an meter. Tempat pemeriksaan tiket dijaga seorang perempuan paruh baya berambut pendek ikal yang mengenakan seragam berupa jas panjang berwarna biru dongker. Pintu pemeriksaan tiket dibagi ke 2 jalur yang dihalangi palang-palang stainless. Tiket diletakan petugas perempun tersebut ke mesin pembaca lalu mempersilahkan saya masuk. Melewati tempat pemeriksaan tiket, saya dan pengunjung lainnya masih harus berjalan ke tempat cable car yang berjarak sekitar 100 meter. Jalan terus mendaki, namun udara dingin dan suasana sejuk membuat perjalan ke tempat cable car tidak terasa melelahkan. Ruang terbuka antara tempat pemeriksaan tiket dengan tempat cable car cukup luas sekitar 1/4 lapangan sepak bola yang sebagian digunakan sebagai tempat parkir yang juga terlihat lenggang. Di sebelah kanan berjarak sekitar 10 meter terdapat jalan bertangga-tangga bagi para pengunjung yang memilih jalan kaki ke Tembok Besar berjarak beberapa kilo meter di puncak-puncak gunung. Jalan yang sama digunakan pengunjung yang turun dari cable car menuju jalan keluar di samping tempat pemeriksaan tiket lalu melanjutkan ke halte bis.  

Cable car 
Jalan ke terminal cable car berada di sebelah kiri  tempat parkir dan berada di ketinggian lantai 2 bangunan tembok bertingkat 2 dan bercat putih. Saat masuk ke ruang terminal cable car, saya melihat seorang petugas laki-laki berjaga di tempat ini. Cable car berbentuk seperti telur raksasa warna oranye bisa diisi 4 orang dewasa. Setelah penumpang masuk, pintunya menutup perlahan secara otomatis. Setelah itu kotak telur raksasa ini berjalan perlahan hingga melewati satu alat setinggi pinggang orang dewasa yang dijaga petugas laki-laki tersebut. Tempat ini berada di sebelah kiri saat saya duduk menghadap ke arah Tembok Besar. Setelah melewati alat ini, kotak telur raksasa yang saya tumpangi mulai berjalan kencang menuju puncak bukit melewati hamparan lembah yang ditumbuhi semak belukar dan pepohonan berdaun berwarna-warni, terutama kuning dan merah.  

Dalam cable car 
Saat cable car tiba di atas, pintu terbuka perlahan secara otomatis. Seorang petugas berjaga di terminal atas sekalian membantu menurunkan penumpang karena cable car tidak berhenti total. Saat tiba di terminal, cable car jalan sangat perlahan agar para penumpang bisa turun setelah pintu terbuka otomatis di sisi sebelah kiri. Selesai menurunkan penumpang, cable car  terus berjalan lurus sekitar 10 meter kemudian berputar ke kanan menuju tempat calon penumpang naik lalu kembali meluncur ke terminal bawah mengantar para pengunjung yang telah selesai berkunjung atau kembali dari Tembok Besar. Setelah keluar dari cable car, saya berjalan lurus melewati pintu berpalang stainless. Tiba di luar, saya belok kanan berjalan sejauh 10an meter dari pintu terminal cable car lalu belok kiri menyusuri setapak bertangga yang terbuat dari semen yang diapit pagar setinggi 5 meteran di sebelah kiri dan setinggi pinggang saya di sebelah kanan. Setapak ini terbagi ke 2 bagian yakni bertangga-tangga dan tanpa tangga yang mungkin untuk para pengguna kursi roda. Setapak dengan panjangsekitar  50 meter dari terminal cable car membawa saya ke suatu pelataran terbuka di kiri saat saya tiba di puncak tangga jalan setapak yang saya susuri. Di sisi kanan saya terpampang Tembok Besar yang akan saya kunjungi. Di pelataran ini tersedia bangku-bangku panjang bagi pengunjung yang ingin mengaso sejenak menyiapkan tenaga menuju Tembok Besar atau bagi yang telah selesai jalan-jalan. Satu tugu berwarna antara pink dan coklat dengan tulisan "national tourist attraction of Mutianyu Great Wall" dalam bahasa Cina dan Inggris dibangun di pelataran ini. Saya mengambil beberapa foto, termasuk foto diri saya lalu berjalan ke tembok besar yang berjarak 10an meter di belakang tugu. 
Setapak dari terminal cable car ke Tembok Besar


Di pelataran depan Tembok Besar 
Ada 2 jalan masuk ke atas Tembok Besar dari belakang Tugu. Jalan masuk pertama langsung naik melalui beberapa anak tangga lalu masuk melalui celah tembok selebar 1 meteran yang dibuat bagi para pengunjung masuk dan keluar. Jalan kedua di belakang Tugu adalah menyusuri bagian luar dinding tembok melalui setapak dari semen bertangga-tangga mengikuti kontur tanah perbukitan sepanjang beberapa ratus meter hingga tiba di pintu masuk ke Tembok Besar. Saya dan hampir semua pengunjung memilih menggunakan jalan masuk pertama. Setelah meloloskan badan saya melewati celah antar tembok, saya menapakan kaki di atas Tembok Besar Cina. Dalam catatan wikipedia, bahan-bahan Tembok Besar Cina terbuat dari batu atau batako atau bata atau kayu. Bagian ini sepertinya terbuat dari bata berwarna abu-abu dan kehitaman yang mungkin telah berubah warna karena lamanya waktu. Tembok di Mutianyu merupakan bagian dari keseluruhan Tembok Besar Cina sepanjang 21.196km yang dibangun dari Timur ke Barat. Lebar tembok berkisar 5 - 9 meter dengan tinggi sekitar 3 - 5 meter sehingga membentuk semacam lorong raksasa tanpa atap. Dalam jarak tertentu terdapat menara, pos jaga dan barak prajurit yang semuanya terbuat dari bata. Menurut Wikipedia, Tembok Cina mulai dibangun pada abad ke 7 Sebelum Masehi (SM) di bagian tertentu - yang kemudian mulai intensif pembangunannya pada tahun 220 - 206 SM di masa pemerintahan kaisar pertama Cina bernama Qin Shi Huang. Pembangunan besar-besaran dilakukan pada masa pemerintahan Dinasti Ming. 

Tembok Besar Cina di Mutianyu
Saya berjalan perlahan-lahan menikmati keindahan puncak-puncak gunung dan lembah dari atas tembok. Tembok di bagian Mutianyu lebih sepi pengunjung dibandingkan bagian Badaling, demikian informasi yang saya peroleh dari internet. Namun, kondisi pagi ini tidak sepi-sepi amat. Selalu ada pengunjung yang datang dan pergi melintas di atas Tembok. Dari pintu masuk, saya belok kiri terus berjalan perlahan menikmati suasana dan udara dingin. Jaket, syal, topi dan sarung tangan membantu menghangatkan tubuh saya. Saya tiba di pos jaga atau menara pengawas berukuran sekitar 4x4 meter terbuat dari bata. Banyak coretan dalam pos yang menempel ke tembok. Di bagian kanan terdapat pintu menuju balkon selebar 1 meter sepanjang pos. Pengunjung bisa menikmati pemandangan lembah dan jejeran gunung dari balkon ini, termasuk mengambil foto-foto bagus ke arah bagian luar tembok yang telah saya lewati yang berada pada posisi lebih tinggi atau ke bagian berlawanan yang berada di posisi lebih rendah lalu menanjak kembali ke pos lain. Selesai mengambil foto di pos ini, saya melanjutkan perjalanan menyusuri tembok. Keluar pos, saya menuruni anak-anak tangga menuju bagian lebih rendah lalu berjalan menuju pos lain berjarak 500an meter dari pos yang baru saja saya tinggalkan. 

Pos jaga sekaligus menara pengawas
Saya tiba di pos kedua yang berjarak sekitar 1km dari celah masuk ke Tembok Besar. Pos ini lebih besar dan sepertinya barak para prajurit jaga di zaman dulu. Pintu dan jendelanya berbentuk kubah tebal sekitar 50an cm - sama seperti pos yang telah saya tinggalkan. Dari pintu masuk terdapat lorong tembus ke bagian sebelahnya. Di sebelah kanan lorong ini  terdapat beberapa ruangan - mungkin ruang tidur, dapur dan perlengkapan para prajurit zaman dulu. Di bagian belakang bangunan barak sebelum pintu keluar kembali ke Tembok, terdapat tangga selebar 75cm ke atas barak. Saya menaiki tangga ini lalu keluar melalui "lubang" berukuran sekitar 1meter x 70cm dan tiba di suatu pelataran terbuka selebar 50an M2 di atas barak. Pelataran ini dikeliling tembok setinggi dada orang dewasa serta lubang-lubang berjarak sekitar 1 meter satu sama lain - seperti lubang angin di rumah-rumah penduduk di Indonesia. Karena pelataran ini berada di ketinggian, maka saya bisa melihat jauh sekaligus mengambil beberapa foto menarik dari tempat ini. Puas foto, saya turun dengan sangat hati-hati karena harus melewati "lubang" / atau pintu masuk dan keluar pelataran di atas barak. Saya keluar barak, menuruni anak-anak tangga lalu melanjutkan perjalanan saya menyusuri jalan / lorong di atas Tembok Besar sambil sesekali berhenti mengambil foto lalu melanjutkan lagi perjalanan saya. Tembok dibangun mengikuti kontur tanah yang naik dan turun serta berbelok-belok mengikuti kontur puncak gunung dan bukit. Tembok dibangun diatas puncak-puncak bukit dan gunung di daerah tersebut sebagai pembatas dengan daerah luar tembok yang konon katanya merupakan daerah negara lain pada masa lalu. Saya tidak tahu apakah bagian luar Tembok saat ini masuk bagian wilayah Cina atau tidak.  

Tembok Besar Cina di Mutianyu
Setelah berjalan sekitar 3km, saya memutuskan balik karena hari semakin siang dan juga rombongan kami berjanji ke sopir minivan akan menghabiskan sekitar 3 jam saja di atas Tembok Besar. Saat tiba di celah masuk dan keluar pengunjung, saya memutuskan berjalan terus menyusuri bagian sebelah kanan celah / pintu masuk dan keluar yang belum saya susuri karena saat masuk saya langsung mengambil jalan ke kiri. Saya tiba di bangunan semacam barak memiliki beberapa ruang dengan pintu dan jendela berbentuk kubah - seperti barak sebelumnya yang telah saya lihat. Beda dengan barak sebelumnya, barak ini memiliki atap dan tidak memiliki tangga ke bagian atas alias tidak punya pelataran atas seperti barak sebelumnya. Setelah mengambil beberapa foto, saya kembali melanjutkan perjalanan. Setelah berjalan sekitar 2km, saya memutuskan kembali ke pintu/celah masuk dan keluar untuk pulang.  Tiba kembali ke pelataran yang ada Tugunya, saya berjalan lurus menuruni beberapa tangga menuju toilet yang terletak dalam satu bangunan di ujung luar pelataran. Keluar dari toilet saya belok kanan menuruni tangga-tangga semen hingga tiba kembali di bangunan terminal cable car. Saya masuk ke terminal cabel car melalui pintu lain yang terletak di sebelah kanan dalam jarak 5 meteran dari pintu keluar. Bagian ini ini dijaga seorang perempuan paru baya memakai jas tebal panjang berwarna biru gelap. Saya menyerahkan karcis masuk ke perempuan itu yang lalu menaruh ke mesin pembaca tiket kemudian menyerahkan kembali ke saya. Saya melangkah maju sekitar 7 meter dari perempuan penjaga lalu masuk ke kotak cable car terdekat yang berjalan perlahan di sisi kanan saya. Tiba di terminal bawah, para pengunjung keluar ke sisi yang berlawanan dengan pintu masuk saat naik. Saya keluar lalu berjalan perlahan melalui jalan bertangga-tangga yang terbuat dari semen. Jalan ini menyambung dengan setapak naik dan turun bagi pengunjung Tembok Besar yang jalan kaki. 

Salah satu jendela di barak prajurit
Tiba di tempat bis, saya naik dari pintu depan dan duduk di kursi depan dekan pintu - sama seperti saat datang. Bis menunggu penumpang lain  sekitar 10an menit lalu bertolak kembali ke tempat antar jemput dekat. Turun dari bis, saya dan para pengunjung lain berjalan melalui jalan di bagian belakang tempat naik dan turun yang dipisahkan oleh pagar besi setinggi dada orang dewasa. Kami melewati para penjual buah-buahan basah dan kering yang berjarak sekitar 30an meter dari para penjual souvenir. Saya mampir ke toilet di bangunan tinggi yang memisahkan para penjual souvenir dengan antrian ke loket pemeriksaan tiket bis. Selesai dari toilet, saya mampir ke beberapa penjual souvenir. Saya menawar dan membeli maknet kulkas, snow ball / bola salju yang berisi air dan beruang panda di dalamnya. Sayangnya snow ball ini diambil pihak security bandara Beijing karena saya simpan di ransel kamera yang saya bawa ke kabin. Menurut petugas, show ball tersebut berisi cairan yang dilarang peraturan penerbangan untuk dibawah ke kabin. Saya hanya berhasil membawa snow ball ukuran kecil melewati security sebagai oleh-oleh yang selalu saya bawa ke rumah dalam perjalanan jelajah saya ke negara-negara lain. 

Tembok Besar Cina di Mutianyu
Melewati para penjual souvenir, saya mampir di satu restoran cukup besar di daerah tersebut. Di dalam restoran tersebut saya bertemu anggota rombongan lain yang sedang makan siang. Karena kami telah telat - hampir 4 jam, saya hanya membeli kue pai yang saya makan sambil jalan bersama rombongan ke tempat penjualan tiket - tempat sopir minivan akan bertemu kami. Saat kami tiba, sang sopir tersenyum ceria sambil memberi bahasa isyarat kami telah menghabiskan waktu selama 4 jam. Saya dan anggota rombongan berbicara satu sama lain menggunakan bahasa Indonesia "sepertinya dia mo minta tambah bayar karena kita melewati waktu yang disepakati". "Kita bayar sesuai pembiacaraan awal saja yakni 40yuan PP, ga usah nambah, demikian kami sepakat dan saling mengingatkan satu sama lain. 

Tembok Besar Cina di Mutianyu
Perjalanan kembali ke pool minivan di Kota Huairou berlangsung lancar. Karena jalan sepi, kami tiba kembali di pool sekitar 20an menit dari tempat parkir di Mutianyu. Saat sopir membuka pintu minivan bagi kami turun, dengan senyum ramah dia meminta tambah bayar, namun saya menggeleng sambil senyum dan menyerahkan uang pembayaran yang telah dikumpulkan anggota rombongan ke saya. Sopir tidak memaksa hanya menggeleng sambil tersenyum. Walau kami tidak menambah pembayaran, sopir tetap ramah dan menunjukan ke kami halte bis di seberang jalan untuk menunggu bis 916 express kembali ke Beijing. Saya mengucapkan terima kasih dalam bahasa Cina sambil menjabat tangan sopir sebagai salam perpisahan lalu berjalan menyeberang bersama rombongan saat lampu menyala hijau pagi para penyeberang. Kami hanya menunggu sekitar 5 menit saat bis 916 berhenti. Satu demi satu kami naik dan mencari tempat duduk masing-masing di dalam bis yang belum terlalu penuh. Seorang kondektur muda - seusia anak SMA klas 1 di Indonesia - membantu sopir mengatur para penumpang. Kondektur berseragam hitam, termasuk topinya. Kondektur ini berbicara ke saya dalam bahasa Cina yang saya balas menggunakan bahasa Inggris karena kami sama-sama tidak mengerti apa yang sedang saling kami komunikasikan. Mengentahui saya bukan orang Cina, kondektur muda ini semakin ramah dan berusaha bercakap-cakap, namun akhirnya menyerah karena kami tidak  bisa berkomunikasi. Saya mengajak dia foto berdua namun dengan bahasa isyarat dia menolak sambil menunjuk ke depan. Saya menerka maksudnya mungkin kuatir ditegur sopir bis. 

Lorong dalam barak prajurit
Beruntung saya bertemu dan telah berkomunikasi menggunakan senyuman, anggukan dan gelengan dengan kondektur muda yang ramah tersebut. Karena saat turun, saya lupa dimana menyimpan "Beijing smart card" saya yang berlaku sebagai alat pembayaran bis. Setelah mencari-cari sekitar 5 menit, namun tidak menemukan kartu tersebut, akhirnya si kondektur mempersilahkan saya turun tanpa menempel kartu saya ke mesin pembaca kartu di pintu belakang. Anggota rombongan lain telah turun terlebih dahulu dan menunggu di halte. Setelah turun, saya mengatakan saatnya berpisah di halte tersebut. Kami saling berjabatan tangan lalu berpisah. Mereka berjalan duluan ke stasiun metro, sementara saya masih mencari-cari kartu pembayaran saya karena saat akan masuk ke stasiun metro, saya harus menggunakan kartu tersebut. Jika kartu tersebut jatuh dalam bis, maka saya harus beli kartu baru. Akhirnya saya menemukan kartu tersebut terselip dalam salah satu kantong ransel kamera. Setelah menemukan kartu dan menyimpan di kantong jaket sehingga gampang diakses, saya berjalan menyusuri trotoar sepanjang 20an meter lalu belok kanan menyusuri jalan yang dipisahkan pagar setinggi 2 meteran. Pagar ini memisahkan terminal bis di sebelah kiri saya dengan bangunan stasiun metro / subway di sebelah kanan. Setelah berjalan sekitar 200an meter, saya tiba di restoran Mc. Donald di depan pintu masuk ke terminal bis sekaligus ke stasiun metro.  

Bangunan terminal cable car 
Menggunakan eskalator, saya turun ke dalam stasiun metro. Setelah mengambil tas kamera yang melewati mesin Xray, saya kembali berjalan menyusuri lorong, turun tangga, menyusuri lorong lagi lalu turun tangga lagi hingga tiba di peron tempat saya menunggu metro ke jalur 4 lalu akan turun dan ganti metro ke jalur 6 menuju stasiun Dongsi. Seperti sebelumnya, saya akan turun di stasiun Dongsi dan keluar menuju hotel Beijing 161 Wangfujing sebagai tempat penginapan saya selama berada di Bejing. Hari telah sore saat saya tiba di hotel. Saya memutuskan beristirahat hingga malam tiba, lalu mandi dan ganti pakaian untuk selanjutnya keluar dan berjalan kaki dari hotel ke jalan Wangfujing yang terletak beberapa blok atau sekitar 2 km dari hotel  saat saya cek menggunakan google map

Bersambung...   












JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...