Selasa, 14 April 2015

AMAZING INDONESIA. WONDERFUL FLORES: Kampung Wologai dan Pantai Nangapanda

Di salah satu pantai Nangapanda
Rumah-rumah asli dan pusaka adat telah terbakar habis pada tahun 2013 lalu. Hanya 1 tambur pusaka terbuat dari kulit manusia yang terselamatkan. Tambur tersebut pada zaman dulu digunakan untuk memanggil semua anggota suku berkumpul di Wologai guna melakukan upacara adat. Tambur hanya berbunyi saat ditabuh menggunakan helai rambut manusia yang mana bunyinya hanya dapat didengar oleh para kepala suku yang berasal dari Wologai. Semua yang ada sekarang merupakan rumah baru yang dibangun kembali menggunakan dana bantuan pemerintah, demikian kisah yang dituturkan Yohanes, sekretaris desa Wologai yang menemani saya dan Achmad berkunjung ke kampung adat Wologai.

Mobil yang disopiri Yudi berbelok ke kanan jalan setelah melaju sekitar 15 menit dari
Gerbang kampung adat Wologai 
kampung Moni di kaki gunung Kelimutu. Wologai terletak di ketinggian perbukitan Detusoko, namun tidak jauh dari jalan beraspal mulus sehingga memudahkan akses bagi pengunjung. Saat mobil memasuki kawasan perkampungan tersebut, saya memperhatikan adanya penataan dan pembenahan dari gerbang hinggi kampung adatnya. Papan bertuliskan selamat datang menggantung di gerbang kampung tersebut. Bagi pengunjung disediakan tempat parkir berjarak sekitar 10 meter dari gerbang. Setelah mobil diparkir, saya turun bersama Yudi dan Achmad yang berjalan mendampingi saya menuju kantor desa Wologai untuk melakukan registrasi dan memberikan donasi, tidak ada tiket masuk serta tidak ada pungutan wajib. Saya memasukan 50ribu rupiah ke kotak donasi dan mengisi buku tamu yang disediakan di kantor desa tersebut. Letak kantor desa lebih rendah sekitar 2 meter dari jalan kampung sehingga akses masuk dan keluar menggunakan tangga dari batu-batu padas yang telah disusun dan disemen.

Saya, Yohanes dan Achmad berjalan sambil bercakap-cakap menuju kompleks kampung adat yang
Bersama Yohanes, Sekretaris Desa Wologai
terletak sekitar 50an meter dari  kantor desa. Satu pohon beringin besar dan rimbun berdiri kokoh di luar gerbang kampung. Menurut Yohanes, beringin tersebut telah berumur ratusan tahun sepertinya berusia sama dengan kampung adat Wologai. Di depan gerbang kampung adat ada tulisan dilarang merokok. Yohanes menuturkan larangan merokok tersebut diberlakukan secara adat - pelanggar akan dikenakan sanksi adat - guna mencegah terulangnya kebakaran yang memusnahkan seluruh rumah dan benda pusaka di kampung tersebut. Dari gerbang masuk, kami belok kiri dan berjalan memutar secara perlahan. Rumah-rumah panggung dari kayu di kampung tersebut terlihat masih baru. Atapnya terbuat dari alang-alang.
Rumah-rumah di kampung Wologai
Hanya ada sekitar 10 rumah dari sisi kiri sampai kanan dalam area berbentuk lingkaran. Rumah kepala suku terletak di sisi kanan dan lebih besar dari rumah lainnya. Rumah kepala suku terbagi ke dalam 2 bagian, yakni bagian depan yang semi terbuka sebagai tempat menerima tamu serta bagian dalam bagi pemilik rumah dan keluarganya. Antara bagian depan dalam dibatasi pintu berdaun 2 berhiaskan ukiran payudara perempuan sebagai lambang kesuburan bagi masyarakat adat Wologai. Kampung tersebut terletak di area yang lebih tinggi dari kawasan sekitarnya. Menurut Yohanes, pahlawan Ende bernama Marilonga berasal dari kampung tersebut yang menjadi kampung induk bagi beberapa suku yang wajib menghadiri upacara-upacara adat pada waktunya.

Menhir di tempat upacara adat kampung Wologai
Tempat upacara yang juga berbentuk lingkaran terletak di tengah-tengah kampung berjarak sekitar 10 meter dari gerbang. Di tengah tempat upacara berdiri kokoh 2 baru menhir berwarna abu-abu gelap dalam ukuran berbeda sebagai pusat upacara dan penyerahan kurban. Sekitar 5 meter dari batu menhir terletak satu bale-bale dan pondok yang menjadi tempat duduk para kepala suku / musolaki memimpin upacara adat saat upacara sedang berlangsung. Pengunjung dilarang memasuki tempat upacara tersebut. Pada sisi kiri dan kanan terdapat jalan masuk ke tempat upacara berupa tangga dari batu-batu padas berbagai ukuran dan bentuk. Saya diizinkan berdiri di tangga bagian kanan guna memotret tempat upacara, termasuk batu menhir tersebut. Sambil terus ngobrol, kami berjalan kembali ke arah gerbang. Beberapa tukang sedang sibuk membangun satu rumah adat lagi di sebelah kanan gerbang. Dari susunan rumah yang dibangun dan pembangunan yang masih sedang berjalan, saya berkesimpulan pembangunan rumah-rumah adat tersebut dimulai dari sisi kiri gerbang terus ke belakang lalu melingkar ke kanan.

Tempat para kepala suku berkumpul saat upacara adat
Saya diperkenalkan ke seorang tua adat yang sedang berdiri mengawasi pembangunan rumah tersebut. Setelah berjabatan tangan dan bercakap cakap, saya pamit guna meneruskan perjalanan. Yohanes mengantar saya dan Achmad kembali ke mobil yang sedang menunggu di tempat parkir. Yudi sedang tertidur nyenyak di kursi sopir saat kami tiba. Dengkurnya terdengar sampai ke luar mobil. Saya mengetuk-ngetuk pintu mobil membangunkan Yudi yang terbangun sambil gelagapan. Saya tertawa-tawa sementara Yohanes dan Achmad hanya tersenyum. Saya menjabat tangan Yohanes, mengucapkan terima kasih lalu memasuki mobil yang telah dihidupkan Yudi dan siap kembali ke Ende. Yohanes tetap berdiri di tempat parkir melihat dan melambaikan tangannya ke mobil kami yang mulai melaju meninggalkan kampung Wologai.

Salah satu pantai Kota Ende 
Dalam perjalanan kembali ke Ende, kami sempatkan mampir di salah satu kios di kota kecamatan Detusoko guna membeli minuman dingin melepaskan dahaga. Setelah itu mobil kembali melaju membelah jalanan trans Flores yang menghubungkan Ende dan Ruteng. Sekali lagi kami melewati pasar tradisional di pinggiran kota Ende. Yudi mengajak saya ke suatu tempat di kawasan perbukitan di atas kota Ende guna menunjukan ke saya kota Ende dari ketinggian. Setelah melewati pasar, mobil belok kiri menyusuri jalanan datar yang mana sisi kiri dan kanannya berhiaskan rumah-rumah penduduk, kebun dan terkadang pantai-pantai indah. Sekitar 10 menit setelah melewati pemukinan penduduk dan pantai-pantai indah Kota Ende, mobil belok kiri lagi dan mulai mendaki. Jalanan yang kami lalui dalam kondisi berlubang-lubang dan sempit yang hanya dapat dilalui 1 mobil, sehingga mobil berjalan perlahan dan hati-hati. Kami melewati pemukiman dan pepohonan rimbun di kebun-kebun penduduk dan kadang jurang di kiri atau kanan. Akhirnya kami tiba di tempat tujuan di perbukitan atas kota Ende. Mobil diparkir di tepi jalan. Yudi tersenyum ceria menunjuk ke bawah memperlihatkan hamparan kota Ende di tepi teluk. Warna biru air laut perpadu buih-buih putih lidah gelombang di tepi pantai terlihat jelas dari tempat
Teluk dan kota Ende dari perbukitan
saya berdiri. Hamparan pemukiman padat terlihat menyebar dari tepi pantai hingga ketinggian perbukitan. Saya mencoba mencari posisi ideal untuk memotret landscape di bawah sana. Yudi menunjuk atap satu bangunan di tengah kebun sebagai tempat memotret yang ideal. Saya dan Achmad lalu berjalan menuruni bukit melalui setapak yang mengarah ke kebun tersebut. Kami masuk ke dalam kebun melalui lubang di pagar yang menghadap ke jalan. Sepertinya lubang tersebut sengaja dibuat para pengunjung yang secara ilegal masuk ke kebun tersebut guna mengakses atap gedung yang digunakan sebagai lokasi memotret teluk dan kota Ende di bawah perbukitan. Saya menduga Yudi sering membawa pengunjung ke lokasi tersebut. Karena setapak yang saya lalui kelihatan sering digunakan.

Teluk dan kota Ende dari perbukitan
Atap bangunan tersebut seperti muncul dari dalam tanah dengan tinggi sekitar 75cm (tinggi meja kerja) dari tanah kebun tempat saya berdiri. Atap berbentuk hamparan datar dari semen dan beton tersebut ternyata merupakan atap bangunan PDAM yang mensupply air ke kota Ende. Saya meletakan kedua tangan di tepi atap sebagai tumpuan mengangkat tubuh saya ke atas. Gaya yang diikuti Achmad sehingga kami berdua berada di atas atap. Saya mengambil beberapa foto ke teluk dan kota Ende, kemudian meminta Achmad memotret diri saya dengan latar belakang yang sama. Yudi berteriak menyuruh
Teluk dan kota Ende dari perbukitan
kami cepat-cepat  menyelesaikan aktifitas memotret melalui atap tersebut, karena kuatir diketahui security. Saya dan Achmad segera menyelesaikan pemotretan dan bergegas kembali ke mobil dan Yudi yang sedang menunggu di tepi jalan. Setelah kami kembali ke dalam mobil, Yudi menghidupkan dan menjalankan mobil kembali menyusuri jalanan yang kami lalui sebelumnya. Kami kembali ke kota Ende menuruni perbukitan, melewati pemukiman dan tepian-tepian pantai indah saat tiba di dataran kaki perbukitan. Saya meminta Yudi membawa kami ke warung makanan tradisional di samping gerbang bandara kota Ende.

Salah satu pantai Kota Ende
Kami menghabiskan sekitar 1 jam di warung tersebut untuk makan siang dan ngobrol berbagai hal. Setelah itu saya meminta Yudi mengantar saya kembali ke hotel guna beristrahat karena siang hari sangat terik dan tempat wisata yang akan kami kunjungi tersisa satu saja, yakni pantai-pantai indah di Nangapanda sekalian menikmati sunset hari terakhir di Ende karena esok hari saya akan kembali ke Jakarta. Kamar hotel yang berAC sangat menyejukan dan adem melepaskan diri dari panas teriknya matahari di bumi Flores dan kepenatan perjalan sejak subuh hari tadi. Saya berleha-leha beberapa saat kemudian beranjak ke kamar mandi membersihkan diri dilanjutkan dengan beristrahat.

Salah satu pantai di Nangapanda
Jam 3.20  sore saat Yudi mengetuk pintu kamar. Saya bangun membuka pintu dan mempersilahkan Yudi masuk dan duduk di kursi yang tersedia di depan bufet hias sambil menunggu saya membasuh muka menyegarkan kembali wajah saya yang baru bangun tidur. Selesai bersih-bersih dan ganti baju, kami beriringan keluar kamar hotel menuju mobil yang telah menunggu di depan hotel. Saya meninggalkan kunci kamar di resepsionis lalu beranjak keluar menuju mobil yang telah dinyalakan mesinnya oleh Yudi. Perjalanan saya ke pantai-pantai di Nagapanda hanya ditemani Yudi. Achmad tidak lagi menyertai perjalanan kami sore hari ini. Karena itu saya harus mengajarkan
Salah satu pantai di Nangapanda
teknik fotografi dasar ke Yudi agar dia bisa memotret berbagai momen kunjungan saya ke Nangapanda. Keluar dari pekarangan hotel, mobil mengambil jalan ke kanan menuruni jalan Pahlawan depan hotel menuju pantai Ende. Tiba di pertigaan jalan depan pantai, mobil belok kanan lalu  menyusuri jalan mulus di tepi pantai mengarah ke luar kota menelusuri kembali jalan yang saya lalui 2 hari silam saat datang dari Ruteng (Manggarai) - Ngada - Nagakeo - Ende.

Sekitar 1km dari mesjid megah di pinggir jalan yang kami lalui, Yudi menghentikan mobil guna memberi saya kesempatan memotret ombak yang bergulung dan terhempas ke pantai berlatar belakang mesjid. Setelah itu, kami kembali ke mobil yang melaju ke luar kota Ende. Kontur geografis dataran mulai berganti perbukitan. Kiri dan kanan jalan dipenuhi kebun-kebun dan rumah-rumah
Salah satu pantai kota Ende dan menara mesjid di latar belakang
penduduk. Jalan yang kami tempuh seperti terukir di punggung-punggung bukit dengan hamparan pantai dan laut di sebelah kiri dan dinding-dinding bukit di sebelah kanan. Sekitar 15 menit perjalanan dari kota Ende, Yudi menghentikan mobil di tepi jalan di ketinggian suatu bukit yang menyajikan lautan luas dan pulau Ende di horison serta hamparan pasir bersama buih-buih ombak nun jauh di bawah. Puluhan perahu nelayan sedang berlabuh di pantai tersebut menyebar dari tepi pantai hingga laut lepas. Tempat tersebut sepertinya merupakan salah satu tempat para pengunjung menikmati lukisan alam sang Pencipta. Warna biru lautan berpadu dengan warna putih buih-buih ombak yang menghempas ke pasir pantai berwarna coklat berhiaskan warna-warni perahu yang terayun-ayun dalam buaian ombak menciptakan imaginasi tak bertepi. Setelah menikmati alam sekitar selama berberapa menit, Yudi mengajak saya melanjutkan perjalanan.

Salah satu mobil penumpang di pulau Flores
Kadang mobil kami bersua truk-truk yang telah diubah menjadi mobil angkutan jarak jauh dengan memberikan bangku-bangku yang berjejer dari depan ke belakang serta diberi atap kayu. Beberapa kali kami berjumpa dengan truk yang penuh muatan sehingga beberapa penumpang  memilih duduk di atas atap truk - seperti era kereta ekonomi Jakarta-Bogor beberapa tahun silam. Mobil kami terus melaju hingga tiba di suatu dataran yang tepi pantainya telah diubah menjadi pelabuhan ferry. Yudi membelokan mobil ke jalan menuju pelabuhan tersebut. Namun kami tidak memasuki gerbang pelabuhan.

Yudi di salah satu pantai di Nangapanda
Mobil dihentikan sekitar 10 meter dari gerbang lalu saya dan Yudi turun dan berjalan kaki telanjang ke tepi pantai yang tidak jauh dari pelabuhan ferry tersebut. Kami melewati 2 tukang yang sedang sibuk menyelesaikan satu perahu. Seorang anak laki-laki terlihat menemani kedua lelaki dewasa tersebut. Saya tersenyum sambil mengucapkan permisi. Mereka membalas tersenyum sambil mengangguk. Kulit telapak kaki saya menyentuh pasir pantai yang masih basah saat kami tiba di tepi pantai. Di depan saya terhampar lautan luas. Di sisi kiri saya terletak pelabuhan ferry yang berjarak seratusan meter sedangkan di kanan saya terhampar dinding bukit yang menjadi pembatas dengan pantai.
Salah satu pantai di Nangapanda
Saya berjalan mendekati air dan membiarkan kaki-kaki saya dibelai lidah-lidah ombak.  Saya terus berjalan ke arah kanan menuju hamparan batu-batu  karang yang sambung menyambung dengan dinding bukit. Kulit-kulit telapak kaki saya menyentuh hamparan karan, menghadirkan rasa kasar dan sedikit sensasi sakit karena karang yang agak tajam bagi telapak yang terbiasa memakai sepatu dan sandal. Saya terus berjalan berlahan dan hati-hati menuju dinding bukit terdekat mencari tempat ideal untuk memotret. Setelah memotret beberapa obyek, saya menyerahkan kamera ke Yudi dan memberikan petunjuk pengunaannya lalu meminta Yudi memotret diri saya di lokasi tersebut. Kami menghabiskan sekitar 1 jam di lokasi ini lalu kembali ke mobil untuk pindah ke pantai lainnya di jalur tersebut.

Salah satu pantai di Nangapanda
Jarak 10 menit perjalanan mobil dari pantai pelabuhan ferry, Yudi menghentikan mobil di tepi jalan di bawah satu pohon besar. Yudi mengajak saya menuruni bukit ke pantai di bawah. Kami secara perlahan dan hati-hati meniti anak-anak tangga yang terbentuk dari akar-akar pohon di tepi jalan itu hingga tiba di pantai. Sekali lagi pantai sangat indah terhampar di depan saya. Punggung bukit berwarna krem membentuk dinding berbagai motif karena telah mengalami interaksi ratusan atau mungkin jutaan tahun dengan air laut. Karena saat kunjungan tersebut air sedang surut, maka dinding bukit terlihat indah dengan lekukan-lekukakn tertentu berjarak sekitar 10 meter dari lidah gelombang laut.
Salah satu pantai di Nangapanda
Dinding-dinding alam tersebut menjadi lokasi foto yang menarik. Saya dan Yudi bermain-main di pantai ini menunggu sunset menjelang. Sekitar 1 jam berlalu saat Yudi mengajak saya kembali ke mobil. Kami beriringan kemabli mendaki tangga alam hingga tiba di mobil dengan nafas ngos-ngosan, terutama Yudi yang kelebihan berat tubuh. Kami mengaso di depan mobil sambil ngobrol dan foto-foto. Setelah nafas kembali normal dan keringat pun hilang, kami berdua memasuki mobil dan melanjutkan perjalanan menuju pantai lain guna menunggu dan menikmati sunset.

Sunset di salah satu pantai di Nangapanda
Jam 5 lewat saat kami tiba di tempat tujuan akhir. Pantainya terletak di belakang pemukiman. Yudi memarkir mobil di halaman salah satu rumah lalu kami keluar dan berjalan ke pantai di belakang rumah tersebut. Antara pantai dan pemukiman telah diberi pembatas tembok setinggi 75an cm. Sekelompok anak laki-laki sedang bermain sepak bola di tepi pantai sebelah kanan saya. Posisi matahari masih sedang bergeser perlahan ke arah Barat menuju posisi ideal sunset. Saya dan Yudi duduk nongkrong sambil ngobrol di tembok pembatas pantai dan pemukiman. Sesekali kami memotret momen-momen tertentu hinga sunset tiba. Saya dan Yudi bergerak mencari posisi dan mulai mengabadikan perjalanan matahari
Memotret anak-anak yang sedang bermain di pantai Nangapanda
menuju sunset, saat sunset dan saat matahari telah benar-benar menghilang di ufuk Barat meninggalkan semburat jingga kekuningan menuju kegelapan malam. Sesekali terlihat sekelompok burung melintas langit. Suara ceria anak anak masih terdengar. Mereka masih sedang bermain, berlari dan berkejaran walau matahari telah menghilang. Saya mengajak Yudi kembali ke mobil untuk pulang ke hotel di kota Ende.

Bersambung...
Sunset di salah satu pantai di Nangapanda


       

Jumat, 20 Maret 2015

AMAZING INDONESIA. WONDERFUL FLORES: Danau Kelimutu dan Desa Moni

Puncak gunung Kelimutu - Danau Kelimutu
Sunrise di Gunung Kelimutu .
Jam 4 subuh saya telah dijemput Yudi dan seorang temannya bernama Achmad guna berangkat mengejar sunrise di puncak gunung Kelimutu dilanjutkan dengan menikmati danau tiga warna, yakni danau Kelimutu. Mobil yang saya tumpangi melenggang bebas di jalanan kota yang sepi dan lenggang. Saat kami melewati pasar Ende barulah terlihat aktivitas para pedagang yang sedang menyiapkan barang dagangan berupa hasil bumi dan laut guna menyambut para pembeli di pagi hari. Mobil terus melaju menuju perbukitan melewati jalan berliku yang diapit jurang dan dinding bukit silih berganti. Di beberapa bagian terlihat longsoran batu dan pasir yang telah digeser dan ditumpuk di tepi jalan sehingga sopir harus cukup waspada. Pada beberapa area datar atau perbukitan yang tidak terlalu terjal terlihat rumah-rumah penduduk yang masih sedang tidur berselimutkan kabut tipis di subuh hari. Kami tiba di pertigaan menuju danau Kelimutu dan jalan trans Flores arah Maumere di Desa moni sekitar jam 6.30 pagi. Mobil mengambil jalan ke kanan dari pertigaan tersebut, menyusuri jalan aspal yang hanya cukup untuk 1 mobil dan 1 sepeda motor saat berpapasan. Udara pagi yang segar dan dingin terasa mengelus-elus pucuk hidung dan kulit tubuh. Kami harus berpaca dengan sinar matahari yang mulai bangkit dari peraduannya di ufuk timur. Mobil terus mendaki bersama kami bertiga yang ngobrol ngarol ngidul sambil mendengarkan musik. Yudi mengatakan kemungkinan saya tidak bisa menikmari sunrise di puncak Kelimutu. Saya hanya mengangguk saja kaeena tidak mungkin juga dipaksakan dalam kondidi jalan berkabut dan berkelok-kelok terus mendaki.

Sunrise di Gunung Kelimutu
Saat kami tiba di gerbang masuk menuju kawasan konservasi danau Kelimutu, sunrise mulai terlihat nyata di antara awan kabut dan jejeran pegunungan. Saya turun dan menuju konter tiket yang terletak di sebelah kanan pintu gerbang. Seorang perempuan yang menjaga konter tersebut meminta saya membayar 30ribu rupiah sebagai tiket masuk bersama mobil ke kawasan danau Kelimutu. Saya memperhitungkan, kami tidak akan mampu mengejar kemunculan sunrise di puncak Kelimutu. Karena itu, saya memutuskan berhenti beberapa menit di gerbang masuk guna menikmati sunrise di depan gerbang masuk sambil memotret. Setelah sunrise lewat alias matahari pagi telah bersinar
Danau berwarna hitam dari 3 danau Kelimutu
sempurna, saya mengajak Rudi dan Ahcmad kembali ke mobil meneruskan perjalanan ke puncak Kelimutu. Pada tanjakan kelokan pertama dari gerbang, kami berpapasan dengan 6 turis bule yang juga sedang mendaki sambil berjalan kaki. Rudi memainkan lampu mobil yang dibalas salah seorang turis yang melambaikan tangannya sambil mengucapkan good morning. Mobil terus menanjak dan meliuk-liuk mengikuti kontur jalan hingga kami tiba di tempat parkit yang terletak sekitar 1 km dari danau Kelimutu. Mobil kami bukan yang pertama tiba di tempat parkir tersebut. Terlihat beberapa mobil dan juga 1 bis berwarna coklat dalam kondisi yang tidak terlalu bagus (seperti kondisi metro mini di Jakarta). Yudi mengatakan ke saya bahwa perjalanan ke danau selanjutnya harus ditempuh dengan berjalan kaki. Saya hanya ditemani Achmad, Yudi tidak bisa mendaki karena kondisi tubuhnya yang overweight.

Saya dan Achmad mulai menyusuri jalan setapak yang telah dibuat bertangga-tangga menggunakan
Jalan setapak ke dan dari danau Kelimutu
semen. Kiri dan kanan kami hanyalah hutan belukar semata. Sekitar 200 meter dari tempat parkir, tangga semen berakhir dilanjutkan dengan jalan berbatu kerikil dengan lebar sekitar 3 meter yang dijejeri pohon pinus di samping kiri sedangkan di sisi kanan adalah perbukitan dengan berbagai pepohohan dan semak. Saya dan Achmad berpapasan dengan beberapa turis bule yang telah kembali dari danau. Sepertinya mereka telah selesai menikmati sunrise di puncak gunung Kelimutu sekalian menikmati danau Kelimutu. Seorang ibu bersama anak laki-lakii berusia sekitar 10 tahun, sepasang kakek dan nenek. Jalan tanah berbatu kerikil yang kami susuri berakhir di ratusan anak tangga semen yang telihat berliku menuju puncak. Secara perlahan saya dan Achmad mulai mendaki anak-anak tangga tersebut. Di pertengahan perjalanan itu, sekali lagi kami berpapasan dengan sekelompok turis yang berjalanan pulang menuruni tangga yang sama. Saat jalanan semakin terjal, sisi kiri dan kananya diberi pagar pembatas besi hingga ke puncak. Masyarakat setempat percaya dan memberi nama masing-masing danau sesuai sejarahnya, yakni Tiwu Ata Polo dipercaya sebagai tempat berkumpulnya arwah para tukang tenung/sihir dan orang jahat, Tiwu Nuwa Muri Ko'ofai sebagai tempat berkumpulnya arwah muda-mudi dan Tiwu Ata Mbupu dipercaya sebagai tempat berkumpulnya arwah para tetua.

Bekenalan dan foto bersama di tepi danau Kelimutu
Tubuh saya telah berkeringat saat tiba di puncak. Danau berwarna hitam berada di sebelah kiri saya sedangkan 2 danau berwarna hijau berada di sebelah kanan saya. Seorang laki-laki parubaya (yang kemudian saya kenal bernama om Petrus) tersenyum menyambut saya sambil mengucapkan selamat datang. Saya tersenyum balik sambil mengucapkan terima kasih dengan nafas yang masih ngos-ngosan. Puluhan turis masih sedang menikmati matahari dan danau 3 warna di lokasi tersebut. Di puncak gunung ini telah dibangun tugu danau Kelimutu yang dipagari pagar besi sebagai pembatas karena tanah di sekitar lokasi tersebut sangat labil sehingga para turis diingatkan tidak keluar dari pagar pembatas. Saya berjalan mengelilingi lokasi tersebut sambil memotret obyek-obyek menarik, terutama ketiga
Suster Kepala yang memimpin rombongan suster dari Larantuka
danau Kelimutu. Selain saya dan Achmad serta beberapa turis bule, terlihat juga serombongan suster gereja Khatolik yang juga sedang asyik berfoto dibantu Om Petrus. Om Petrus bersama istrinya menjual coffee mix dan kopi lokal yang telah dicampur jahe dan snacks pagi para pengunjung. Om Petrus menawarkan dirinya memotret para suster. Melihat kegembiraan mereka, saya ikut bergabung untuk foto bareng. Para turis bule juga ikut serta sehingga kami saling foto satu sama lain dibantu Om Petrus. Setelah selesai foto-foto, para suster tersebut menyanyikan beberapa lagu gerejawi
membuat badan merinding mendengar paduan suara melantunkan puji-pujian ke Yang Maha Kuasa di  belantara raya di pagi tersebut. Saya mengajak ngobrol suster kepala yang memberi informasi mereka merupakan rombongan suster dari satu biara di kota Larantuka Flores Timur. Mereka sedang dalam perjalanan wisata rohani dengan mampir ke beberapa tempat lain sebelum ke Kelimutu. Setelah bercakap-cakap dan foto-foto kami membubarkan diri dan kembali ke aktifitas masing-masing. Suster kepala memimpin para muridnya berkontempelasi merenungkan keagungan sang Pencipta.

Saya beranjak ke tempat jualan kopi om Petrus yang dijaga istrinya. Tempat jualan ini terletak di bawah tugu menghadap ke danau berwarna hitam. Saya memesan 1 coffee mix. Saat saya sedang
Bersama om Petrus
menikmati kopi tersebut, para turis bule yang berpapasan dengan kami dekat gerbang sedang mendaki. Saat mereka tiba, kami berkenalan satu sama lain dan ngobrol tentang pengalaman perjalanan kami ke berbagai tempat. Setelah itu, para suster yang telah selesai berkontempelasi mengajak mereka foto bersama. Saya sekali lagi ikut bergabung dan tenggelam dalam  keceriaan. Setelah itu saya kembali menyeruput dan menikmati kopi mix sedangkan para turis bule berkeliling dan foto-foto. 4 dari mereka kemudian bergabung dengan saya memesan kopi ke istri om Petrus. Sambil ngopi saya ngobrol lebih jauh dengan seorang turis laki-laki asal Jerman. Kami bertukar nomor HP dan berjanji akan bertemu di Jakarta untuk melanjutkan obrolan kami sambil ngopi dan dan hangout. Setelah puas menikmati ketiga danau dan kawasan sekitarnya, saya pamit ke om Petrus, istrinya, para suster serta Alex, teman baru asal Jerman.

Danau berwarna hijau tua dan hijau muda
Saya dan Achmad menuruni ratusan anak tangga menuju jalan tanah berbatu nun jauh di bawah sambil sesekali berhenti dan mengambil foto. Sebelum keluar dari daerah tersebut, di satu kelokan, saya belok kiri mengikuti jalan setapak menuju suatu view point yang disediakan pengelola kawasan konservasi Kelimutu guna menikmati salah satu danau berwarna hijau dari sisi lain. Dari sisi tersebut terlihat warna air kedua danau telah hampir serupa walau masih nampak perbedaannya, yakni satu diantaranya berwarna lebih tua. Setelah mengambil beberapa foto, saya berjalan kembali ke jalan setapak menuju ke tempat parkir mobil. Yudi telah menunggu di salah satu warung yang telah buka di tempat parkir tersebut sambil ngobrol dengan beberapa laki-laki setempat. Seorang ibu penjulan tenun sekaligus penjaga warung menawarkan kain-kain tenun Ende yang sangat
bagus dengan harga bervariasi dari 100 sampai dengan 250 ribu rupiah.. Namun saya tidak berniat
Danau berwarna hitam
membeli karena tidak mungkin menggunakan kain-kain tersebut di Jakarta. Saya hanya membeli telur rebus untuk ganjal perut bersama sebotol aqua sedang. Achmad melakukan hal yang sama, sementara Rudi telah selesai sarapan. Saya membayar semuanya sambil bercakap-cakap sebentar dengan para lelaki dan ibu penjual tenun lalu pamit meninggalkan tempat tersebut.

Mobil dikemudikan Yudi menyusuri jalan berliku dan meliuk-liuk menuruni gunung Kelimutu. Sekitar 5 km dari gerbang, Rudi menghentikan mobil di tepi jalan yang sekelilingnya dihampari persawahan hijau karena padi yang ditaman baru berusia sekitar 2 atau 3 minggu. Yudi mengajak saya keluar mobil lalu kami berjalan beriringan menapaki pematang-pematang sawah menuju suatu lokasi di tengah-tengah sebidang saya. Kami tiba di satu kolam kecil berair jernih. Yudi mencelupkan kakinya lalu mengajak saya ikut melakukan hal yang
Kolam air panas di tengah persawahan
sama. Ternyata kolam tersebut memiliki air hangat berbau belerang. Kata Yudi tidak banyak turis yang mengetahui keberadaan kolam tersebut. Saya duduk pada satu batu di tepi kolam dan merendam kaki saya sambil bercakap-cakap dengan Yudi dan Achmad. Sekitar 20an menit kemudian, kami menyudahi percakapan di tepi kolam itu lalu kembali beriringan ke mobil guna melanjutkan perjalanan.

Kami tiba kembali di pertigaan jalan Ende, Kelimutu dan Maumere. Mobil dihentikan lalu kami turun nongkrong di tepi jalan menikmati pemandangan di lembah yang dihiasi persawahan dan perkampungan. Yudi menunjukan ke saya satu kompleks perkampungan adat  nun jauh di mata. Dengan lensa tele kamera
Di tepi jalan Ende - Maumere 
DSRL Canon, saya coba mengintip kampung tersebut. Rumah-rumah dibangun dalam bentuk setengah lingkaran yang mengelilingi satu tugu di atas semacam hamparan bulat. Kata Rudi, tugu dan hamparan melingkar tersebut merupakan tempat dilangsungkannya upacara-upacara adat. Seorang ibu berkain sarung Ende mengendong anak kecil lewat depan kami. Saya menyapa dan mengajak foto bersama. Si ibu tidak mengiyakan namun tidak juga menolak sehingga saya berinisiatif mendekati serta meminta Yudi memotret kami sebagai kenangan dari tempat tersebut. Setelah puas menikmati alam sekitar, kami kembali ke mobil yang dikemudikan Yudi menyusuri jalan ke arah Maumere. Kami akan mengunjungi satu air terjun di desa Moni. Desa ini merupakan desa wisata tempat para turis asing maupun lokal menginap untuk mendaki ke gunung Kelimutu di subuh hari. Seperti desa wisata dimanapun di dunia, aneka bentuk penginapan dengan namanya masing-masing berjejer di kiri dan kanan jalan seperti menyambut para tamu. Mobil terus dikemudikan melewati jejeran penginapan tersebut hingga tiba lagi di hamparan saya di kiri dan kanan jalan. Di ujung hamparan, Yudi membelokan mobil mengarah kembali ke Ende.

Air terjun Moni 
Mobil kembali melewati jejeran penginapan yang telah kami lalui sebelumnya. Pada satu titik jalan yang agak menanjak, Yudi meminggirkan dan memarkir mobil lalu mengajak saya keluar mobil dan menunjuk ke sebelah kiri bawah sambil menginformasikan adanya air terjun di lokasi tersebut. Seperti sebelumnya, Yudi tidak dapat menemani saya ke lokasi air terjun karena jalan yang cukup curam saat turun atau sebaliknya mendaki saat kembali ke tepi jalan tempat mobil sedang di parkir. Badannya yang cukup tambun dan subur menyulitkan Yudi mengakses tempat-tempat curam ataupun tinggi sehingga seperti subuh dari di gunung Kelimutu, Achmad dengan setia kembali mengawal dan menemani saya ke air terjun Moni, namanya. Secara bertahap saya sekalian memberikan dasar-dasar fotografi ke Achmad dan Yudi yang berlatih menggunakan kamera saya sekalian memotret kunjungan-kunjungan saya sebagai suatu dokumentasi saya di tempat-tempat kunjungan.

Saya dan Achmad jalan beriringan menyusuri jalan yang terbuat dari susunan batu-batu padas. Kami berpapasan dengan seorang lelaki paruh baya mengenakan sarung Ende berwarna hitam strip biru sedang memikul bambu mentah mendaki jalan tersebu (corak dan warna kain yang dikenakan perempuan dan laki-laki Ende. Umumnya motif dan warna untuk laki-laki hanyalah berstrip dengan warna hitam dan biru). Saya dan
Air terjun Moni
Achmad berjalan sambil melihat-lihat dan menikmati kesegaran udara setempat sampai kami tiba di dekat lokasi air terjun yang terletak sekitar 40an meter dari tepi jalan Ende - Maumere. Untuk mencapai lokasi air terjun, kami harus menyeberangi jembatan bambu dan kayu yang terlihat bolong-bolong dan rapuh. Saat Achmad menyeberang, jembatan terse but bergoyang-goyang sehingga saya memutuskan menyeberang dengan cara melompat-lompat dari satu batu ke batu lainnya di dalam sungai hingga tiba di seberang lalu berjalan ke air terjun. Air terjun dengan tinggi sekitar 10an meter tersebut dinaungi sejumlah pohon besar di kiri dan kanannya. Sekelompok orang sedang mandi-mandi di dalam kolam di bawah air terjun. Saya dan Achmad hanya duduk memandang dan menikmati hempasan air terjun ke kolam alam di
Depan air terjun Moni
bawah dan keramaian orang-orang yang bermain air di kolam tersebut. Setelah puas menikmati keindahan air terjun dan lingkungan sekitar, saya mengajak Achmad kembali ke mobil. Saya memberanikan diri menyeberangi jembatan bambu yang bergoyang-goyang tersebut hingga tiba di seberang. Achmad hanya tertawa melihat saya melompat dari ujung jembatan. Kami lalu mulai berjalan mendaki ke tepi jalan raya. Saat kami tiba di ujung pendakian, terlihat beberapa perempuan beriringan menuruni jalan yang telah kami lewati tersebut. Saya menyapa mereka sambil minta izin memotret. Seorang ibu sambil tertawa malu mengatakan wajah dan pakaian mereka tidak menarik difoto. Saya hanya tertawa dan terus memotret dan mengucapkan terima kasih.

Rombongan para ibu berjalan ke arah air terjun Moni
Yudi hanya tertawa-tawa melihat kami kembali ke mobil dalam keadaan berkeringat dan kelelahan. Kami cepat-cepat masuk mobil menikmati AC guna mendinginkan kegerahan dari pendakian tadi. Kita kemana lagi, tanya saya ke Yudi. Ke kampung adat Wologai, balas Yudi. Siap, balas saya tersenyum memperhatikan Yudi yang menyetir mobil melaju kembali ke arah kota Ende. Sekitar 20 menit dari lokasi air terjun, mobil dibelokan ke kanan menyusuri jalan beraspal cukup bagus menuju kampung adat tersebut.

Bersambung...

Kamis, 05 Maret 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL FLORES: Pelabuhan Ende, Taman Soekarno dan Museum Soekarno

Aktivitas anak-anak di Pelabuhan Kota Ende
Puluhan anak laki-laki sedang asyik bermain di dermaga dan pantai pelabuhan kota Ende menjelang sunset. Mereka mengelompokan diri ke kelompok berbeda memainkan permainan berbeda. Satu kelompok terlihat asyik main lompat dari dermaga ke laut lalu berenang ke pantai dan berjalan kembali ke dermaga untuk melompat lagi ke laut. Kelompok lain sedang asyik bermain sepak bola di tepi pantai, sedangkan satu kelompok lainnya sedang berlarian atau berkejaran satu sama lain. Satu kelompok lagi terlihat sedang menggambar di atas pasir pantai. Beberapa anak perempuan terlihat main sepeda di jalur penghubung daratan dan dermaga yang menjadi tempat sandaran kapal-kapal besi ataupun kayu. Dua lelaki dewasa terlihat memarkir motor dan asyik memancing di tepian
Aktivitas anak-anak di Pelabuhan Ende
dermaga. Dua kapal kayu sedang bersandar di samping kiri dermaga mengisi bahan bakar dan dan air. Saya menghampiri tiga kelasi kapal yang sedang duduk santai di tumpukan tali temali di atas dermaga sambil memperhatikan rekan-rekan mereka yang sedang bekerja mengisi air dan bahan bakar dari selang-selang yang menghubungkan kapal dan tangki di dermaga tersebut. Dari mana mas, tanya saya ke salah satu dari para kelasi itu sambil tersenyum ramah. Dari Surabaya mas, balasnya. Wah lumayan jauh mas, balas saya. Percakapan pembuka tersebut menjadi awal obrolan panjang antara saya dan kelasi itu serta teman-temannya, termasuk beberapa  yang duduk-duduk di selasar masing-masing
Aktivitas anak-anak di Pelabuhan Ende
kapal. Percakapan tersebut sekaligus membuka peluang bagi saya memotret aktivitas mereka sambil menunggu matahari yang sedang berjalan ke peraduannya di balik pulau Ende (Pulau Ende merupakan satu pulau kecil terpisah dari kota Ende yang terletak di daratan Flores.

Saat sang surya secara perlahan mendekati posisi ideal untuk dipotret, saya meninggalkan para kelasi guna mencari posisi bagi pemotretan sunset hingga mentari menghilang di balik pulau Ende meninggalkan semburat kemerahan dan jingga di langit yang semakin tamaram. Setelah itu, saya duduk selonjor di dermaga menikmati udara senja dan sepoi angin laut sambil mendengarkan deburan ombak silih berganti memukul tiang-tiang dermaga diselingi teriakan gembira
Pengisian air dan bahan bakar kapal di Pelabuhan Ende
anak-anak pantai yang sedang berkejaran antar sesama atau yang sedang bermain dengan lidah-lidah ombak yang menghampas ke tepian.  Saat azan Magrib telah selesai dan langit di sekitar telah mulai gelap, saya bangun dan berjalan balik ke hotel Mentari yang terletak di perbukitan sekitar 1 kilometer dari pelabuhan Ende. Dari gerbang pelabuhan saya belok kiri menyusuri jalanan kota yang diterangi lampu jalan dan kendaraan bermotor yang berseliweran 2 arah. Setelah melewati gelanggang olahraga dan taman Bung Karno, saya tiba di perempatan yang tidak terlalu ramai oleh seliweran kendaraan. Saya menyeberang ke kanan lalu menyusuri jalan Pahlawan menuju Hotel Mentari tempat saya menginap selama di Ende. Hotel yang terletak di Jl. Pahlawan No. 19 tersebut menyediakan beberapa pilihan
Sunset di Pulau Ende dilihat dari Pelabuhan Kota Ende
harga kamar. Saya memilih kamar deluxe seharga 400 ribu rupiah per malam. Letak hotel ini tidak terlalu jauh dari pantai Ende maupun Taman Soekarno dan Museum (rumah pengasingan) Soekarno sehingga memudahkan akses ke tempat-tempat tersebut selama saya berada di Ende. Selesai membersihkan badan dan salin pakaian bersih, saya keluar ke depan hotel mencari ojek untuk mengantar saya ke warung makanan lokal yang terletak di samping pintu gerbang bandara H Hasan Aroeboesman, Ende.


Katedral Christo Regi di salah satu bagian Kota Ende
Hari berikutnya saya bangun pagi dan kembali menyusuri jalan Pahlawan menuju pantai Ende. Tujuan saya pagi ini adalah Taman Bung Karno dan museumnya yang terletak di lokasi berbeda, namun tidak terlalu berjauhan sehingga dapat diakses dengan berjalan kaki dari hotel Mentari. Saya belok kiri di salah satu perempatan yang terletak 1 blok dari perempatan semalam saat saya balik ke hotel. Kesegaran udara pagi bersama sepoi angin menemani penelusuran saya di jalan tersebut menuju satu gereja / katedral di ujung jalan yang sedang saya susuri. Gedung gereja / katedral tersebut telah saya lihat beberapa kali selama berada di Ende sejak saat saya tiba sampai dengan saat-saat saya berkeliling di kota tersebut.
Sketsa wajah Jokowi di poster toko penjualan meubel 
Hanya satu yang ingin saya lakukan, yakni memotret katedral tersebut sebagaimana kebiasaan saya saat menjelajah berbagai pelosok negeri. Jalanan yang sedang saya susuri sangat sepi karena masih pagi dan sepertinya bukan jalur utama kendaraan maupun warga kota. Selain rumah tinggal dan beberapa toko serta kios, kedua sisi jalan dipenuhi pohon-pohon besar berusia puluhan tahun yang memberikan kesejukan dari naungan yang tercipta saat terik di siang hari apalagi di pagi yang masih sepi tersebut. Saya sempatkan memotret satu toko meubel yang memasang sektsa wajah Presiden Jokowi pada spanduk promosinya di tepi jalan yang sedang saya lalui. Setelah itu saya terus berjalan ke area gedung gereja yang terletak berseberangan sekitar 10an meter
Gedung Katedral
dari toko meubel tersebut. Bangunan gereja terletak sekitar 40an meter dari tepi jalan yang dipagari pagar tembok. Banyak bahan bangunan seperti pasir dan besi-besi beton terlihat bertumpuk-tumpuk di halaman bagian kanan gereja karena sepertinya akan ada tambahan bangunan di bagian tersebut. Setelah mengambil beberapa foto, saya berjalan keluar dari halaman itu lalu menyeberang ke jalan arah toko meubel kemudian menyusuri jalan yang berlawanan arah dengan gedung gereja. Sekitar 20an meter dari pertigaan jalan yang sedang saya susuri, saya menjumpai pedagang kue yang menjual berbagai jenis kue, termasuk donat. Saya membeli satu donat seharga 2000 rupiah lalu meneruskan langkah sambil mengunyah donat yang barusan saya beli.

Titik / Km 0 Kota Ende
Sekitar 30 meter dari tempat penjual kue, saya tiba di suatu perempatan yang sepertinya telah saya lewati semalam saat berjalan pulang dari pantai menuju hotel Mentari. Saya menyeberangi perempatan tersebut menuju jejeran kios yang mulai buka. Jalan yang sedang saya susuri mulai ramai, termasuk para penjual makanan pagi seperti nasi kuning yang terlihat telah membuka lapaknya dekat perempatan yang saya seberangi. Saya terus berjalan menyelewati deretan kios, termasuk seorang tukang sol sepatu yang tersenyum ramah saat saya lewat di depannya. Perjalanan pagi ini membawa saya ke gelangang olahraga sederhana yang terletak di titik 0 kota Ende. Saya melihat sekelompok anak SD perpakaian olahraga warna putih dan merah sedang berbaris rapi dipimpin seorang guru laki-laki. Saya tersenyum dan mengangguk ramah ke pak guru yang juga membalas dengan ramah sehingga saya berani memotret aktivitas pak guru dan anak-anak didiknya. Melihat saya memotret, pak guru sibuk mengatur anak-anak tersebut agar berbaris rapi :).

Selesai memotret titik 0 Kota Ende di jalan yang terlihat sepi serta memotret aktivitas olahraga anak-anak SD di gelanggang olahraga tersebut, saya berjalan memasuki gelanggang melalui tangga-tangga yang tersedia di situ. Tangga-tangga tersebut menghubungkan pedestarian saya berdiri dengan
Gelanggang olahraga Kota Ende
gelanggang olahraga yang terbuka ke daerah sekitarnya. Saya mengambil jalan pintas ke Taman Bung Karno yang terletak bersisian dengan gelanggang olah raga tersebut. Anak-anak SD telah memulai aktivitas olahraga mereka dengan berlari mengelilingi gelagang tersebut setelah aktivitas baris berbaris mereka selesai. Saya memotret pohon Sukun yang dahulu menjadi tempat perenungan Bung Karno menghasilkan Pancasila. Di samping pohon Sukun tersebut terlihat Bung Karno sedang duduk merenung di atas satu bangku panjang. Sang Proklamator mengenakan pakaian khasnya seperti terlihat di film-film dokumenter. Bung Karno terlihat duduk memandang laut Sabu yang terletak beberapa puluh meter dari tempat tersebut bersama Pulau Ende nun jauh di horison, namun masih cukup jelas terlihat dari
Gelanggang olahraga Kota Ende
taman tersebut. Saya memcoba beberapa sudut pengambilan foto untuk mendapatkan foto-foto terbaik. Setelah itu saya duduk sebentar di bangku yang diduduki sang Bung. Saya memandang dan mengagumi sang pendiri bangsa lalu beralih menatap lautan luas yang membentang di depan sambil memikirkan seperti apa saat itu saat si bung benar-benar duduk di tempat ini sambil memikirkan bangsanya, Indonesia Raya yang kaya dan makmur.

Bung Karno dan Pohon Sukun yang melahirkan Pancasila
Dari tempat perenungan Bung Karno, saya berjalan ke kanan menyusuri jalan setapak dalam taman yang diberi nama Taman Bung Karno. Taman ini berbatasan dengan gelanggang olahraga di sebelah kiri Bung Karno, sebelah kanan,  belakang dan depannya dengan tiga jalan berbeda. Taman dipenuhi beberapa pohon besar berusia puluhan tahun terlihat dari ketinggian dan diemeternya yang lebih dari sepelukan orang dewasa. Kerimbunan dedaunan menaungi keseluruhan bagian taman memberikan suasana adem, sejuk dan nyaman. Tiga tukang kebun terlihat sedang menyapu dan membersihkan taman dari dedaunan kering yang bertebaran. Saya berjalan perlahan menyusuri jalan-jalan setapak di
Bung Karno sedang menatap laut Sabu dan Pulau Ende
dalam taman tersebut menikmati keteduhan pepohonan sekelilingnya. Hingar bingar suara kendaraan seperti teredam oleh pepohonan besar di dalam taman sehingga suasana terasa syahdu dan tidak berisik ataupun ramai. Setelah mengambil beberapa foto, saya berjalan ke arah pintu gerbang yang terbuka ke jalan raya dekat perempatan. Setelah menyebarangi perempatan saya menyusuri kembali Jalan Pahlawan mengarah ke hotel. Saya belok kiri di satu perempatan lain yang terletak satu blok sebelum hotel. Jalan ke arah museum atau rumah pengasingan Bung Karno ini berlawanan arah dengan jalan menuju gereja yang telah saya kunjungi sebelumnya. Dari perempatan tersebut, saya terus menyusuri jalan lebih kecil dari jalan Pahlawan. Sekitar 50an meter dari perempatan, saya tiba
Papan nama Taman Bung Karno
di kompleks museum Bung Karno - dulu merupakan rumah pengasingan si Bung. Gerbangnya sedang terkunci menutup akses masuk ke halaman dan rumah mungil indah bercat putih di dalam halaman yang terlihat bersih, asri dan terawat. Akses ke dalam kompleks dan rumah yang menjadi museum hanya bisa dilakukan melalui telpon ke penjaganya untuk reservasi terlebih dahulu. Halaman dan rumah pengasingan tersebut letaknya lebih rendah sekitar 50an cm dari jalan raya. Pintu dan jendela-jendela rumah itu tertutup rapat sehingga saya hanya bisa melihat-lihat rumah pengasingan dan halamannya dari luar pagar sekaligus mengambil beberapa foto.
Pagar depan rumah pengasingan / museum Bung Karno
Bangunan dan halamannya dikelilingi pagar tembok. Dinding rumah mungil tersebut berwarna putih sedangkan pintu dan jendelanya diberi warna kuning muda / krem. Tiang dan balok-baloknya dicat hijau. Satu pohon rindang berada di samping kanan museum memberikan nuansa sejuk di halaman dan rumah tersebut.

Seorang ibu menaikan anaknya ke boncengan motor seorang lelaki yang berhenti di pinggir jalan depan Museum Soekarno. Sepertinya si ibu menitipkan anaknya ke lelaki tersebut yang juga telah membonceng seorang anak kecil lainnya. Setelah lelaki itu menjauh bersama motornya dan kedua anak kecil tersebut, saya juga bergerak
Rumah pengasingan / museum Bung Karno 
meninggalkan kawasan tersebut kembali menyusuri jalanan menuju perempatan untuk kembali ke hotel. Saya belok kiri saat tiba di perempatan menyusuri jalanan yang sedikit mendaki kembali ke hotel. Saya langsung ke ruangan makan di restoran hotel yang terletak di lantai 2. Selain teh dan kopi, hotel juga menyediakan nasi bersama lauk daging dan sayuran serta roti bagi para tamu yang ingin sarapan. Saya memilih sarapan nasi dan lauknya bersama secangkir teh. Selesai sarapan, saya kembali ke kamar untuk mandi dan menyiapkan diri bagi penjelajahan selanjutnya.

Aktivitas warga Kota Ende di pagi hari
Bersambung...

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...