Minggu, 15 Februari 2015

AMAZING INDONESIA. WONDERFUL FLORES : Labuan Bajo, Ruteng (Manggarai) dan Ende

Menjelang sunset dari perbukitan di atas kota Labuan Bajo
Masih ada tiket kah? tanya Arwin (lihat catatan Jakarta - Labuan Bajo) ke perempuan setengah baya yang duduk di belakang meja kerja sambil ngobrol dengan seorang laki-laki yang duduk berhadapan agak menyamping dengan perempuan tersebut. Ekspress sudah penuh malam ini, balas perempuan itu. Kalo mau, yang biasa saja, lanjutnya. Tidak tante, saya cari yang untuk besok saja. Kata saya mengambil alih pembicaraan. Masih ada kalo untuk besok, timpal perempuan itu. Saya minta satu kursi berangkat besok pagi, minta dijemput di hotel Rama, balas saya. Perempuan tersebut menanyakan nama saya lalu menuliskannya pada lembaran tiket yang masih terekat pada satu buku tiket (seperti buku kuitansi). Berapa nomor telpon bapa, tanya perempuan tersebut. Wah masih mau cari kartu karena nomor Jakarta tidak bisa aktif di sini, balas saya. Kalo bagitu, bapa cari kartu dulu supaya saya bisa catat nomor hp bapa. Perempuan itu melanjutkan dengan memberi petunjuk ke Arwin kemana mencari sim card yang cocok dengan iphone saya.

Salah satu sudut kawasan sekitar kota Labuan Bajo 
Saya dan Arwin kembali menaiki motor yang dikemudikan Arwin ke arah kiri dari tempat penjualan tiket tersebut. Sekitar 50an meter dari tempat penjualan tiket, kami tiba di suatu perempatan. Arwin membelokan motor ke kiri menyusuri jalan sekitar 20an meter lalu berhenti di satu kios penjualan pulsa. Perempuan penjaga kios mengatakan tidak menjual sim card dan menyarankan kami mencoba peruntungan ke grapari telkomsel yang terletak beberapa puluh meter dari kios tersebut. Saya dan Arwin kembali menaiki motor yang kembali melaju di jalanan kota pada sore hari yang agak sepi. Di
Hanya daun yang mengering di musim kemarau agar bertahan
suatu pertigaan, motor dibelokan ke kanan menyusuri jalanan berlubang menuju jejeran ruko satu lantai yang berjarak sekitar 10 meter dari jalanan berlubang tersebut. Motor diparkir depan grapari, saya turun dan melangkah masuk diiringi Arwin. Dalam ruangan berAC saya bertemu  2 perempuan yang berjaga di konter dalam ruangan tersebut. Saya mengemukakan tujuan saya mendapatkan sim card untuk iphone saya. Bapa kembali besok pagi saja karena petugas yang bisa potong sim card telah pulang, jawab satu dari kedua perempuan tersebut. Apes de, kata saya dalam hati. Saya mengucapkan terima kasih lalu
Perbukitan di atas kota Labuan Bajo 
bersama Arwin berjalan keluar dan kembali ke sepeda motor Arwin. Kita coba ke tempat lain dekat pasar di pelabuhan, ajak Arwin. Ok, jawab saya sambil naik ke boncengan motor. Pencarian sim card sore hari itu berakhir dengan tangan hampa setelah kami mengunjungi satu kios lagi di dekat pelabuhan. Saya meminta Arwin kembali ke tempat penjualan tiket dan menginformasikan ke perempuan pejual tiket bahwa saya tidak  mendapatkan sim card baru sehingga tidak bisa dihubungi melalui telpon bagi perjalanan besok pagi. Bapa tunggu saja di luar hotel besok pagi sekitar jam 7, kata perempuan tersebut. Baik tante, balas saya sambil menerima tiket dan menyerahkan 100 ribu rupiah yang adalah harga tiket perjalanan Labuan Bajo ke Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai.

View dari Puncak Lawang 
Kita jalan-jalan keliling kota, kata saya ke Arwin yang kembali menghidupkan sepeda motornya. Setelah saya nangkring di boncengan, motor dikemudikan menyusuri jalanan yang telah kami lalui sebelumnya saat mencari sim card, yakni mengarah ke lampu merah lalu belok kiri menyusuri jalan 2 jalur terpisah. Hanya sesekali kami bertemu sepeda motor atau mobil pribadi yang lewat di jalur sebelah jalan yang sedang kami lalui. Saya ingin memotret sunset, kata saya ke Arwin. Saya mendiskripsikan tempat yang saya ketahui saat dalam perjalanan dari bandara ke hotel bersama Patti siang tadi (lihat catatan perjalanan Jakarta - Labuan Bajo).  Di suatu tikungan di atas bukit, saya melihat hamparan laut di
Pelabuhan Labuan Bajo
bawah bukit berhiaskan berbagai kapal dan perahu serta sebaran beberapa pulau kecil. Oh itu, saya tau tempatnya, namnya Puncak Lawang, kata Arwin. Kita ambil jalan memutar ke atas bukit supaya bapa bisa liat pemandangan lain juga. Saya mengiyakan saja karena saya memperkirakan sunset masih sekitar 1 jam lagi dari posisi matahari saat itu. Kami menuju arah perbukitan di atas bandara Komodo. Di beberapa tempat, motor dihentikan Arwin yang menanyakan apakah saya ingin memotret pemandangan yang terhampar di hadapan kami. Saya mengiyakan lalu turun dari boncengan dan mengambil beberapa foto. Itu bukit cinta, kata Arwin menunjuk satu bukit gersang berwarna kecoklatan dihiasi pepohonan dalam jarak berjauhan. Bukit itu merupakan tempat orang-orang muda Labuan Bajo memadu kasih sehingga disebut bukit cinta, lanjut Arwin. Saya hanya mengiyakan saja. Mata saya terus berpindah dari kanan ke kiri sepanjang jalan yang kami lalui menikmati suasana perbukitan. Saya meminta Arwin berhenti di beberapa tempat menarik untuk difoto sebelum kami tiba di tempat tujuan saya memotret sunset.

Sunset di pantai kota Labuan Bajo 
Saat kami tiba di tempat tujuan, sunset masih sekitar 30an menit lagi. Saya mengambil beberapa foto di tempat tersebut. Saya memperkirakan tidak akan mendapatkan posisi sunset yang ideal dari posisi matahari yang saya perhatikan akan terhalang satu pulau kecil saat matahari akan menghilang di ufuk barat. Saya meminta Arwin mengantar saya ke pantai terdekat untuk mendapatkan sunset ideal yang saya inginkan. Kami kembali menyusuri jalanan menurun ke arah kota. Tiba di jalan datar, sepeda motor Arwin melaju melewati pasar kota dan jejeran kios, toko, rumah serta restoran. Di suatu pertigaan yang tidak terlihat oleh saya karena terhalang jejeran bangunan sepanjang jalan yang sepertinya berdiri di atas
Sunset di pantai kota Labuan Bajo 
jalan, sepeda motor dibelokan ke arah kanan turun menyusuri jalan berbatu ke arah pantai melewati rumah-rumah penduduk. Kami tiba di saat yang sangat tepat dimana matahari berada pada posisi ideal meninggalkan bumi sementara beberapa nelayan tampak berjalan meninggalkan perahu-perahu mereka akan kembali ke rumah dan pelukan istri serta anak-anak mereka membawa hasil tangkapan. Beberapa anak muda perempuan dan laki-laki tampak duduk sepanjang tanggul pantai yang tidak seberapa tinggi, menikmati kepergian matahari ke peraduannya. Lampu di rumah-rumah penduduk tepian pantai mulai menyala saat saya dan Arwin bergerak meninggalkan lokasi tersebut. Seperti umumnya perkampungan nelayan, rumah-rumah penduduk dibangun sambung menyambung tanpa halaman samping kiri dan
Kapal-kapal wisata ke pulau Komodo dan pulau lainnya
kanan. Halaman depan yang ada juga seadaanya sekedar halaman dengan hiasan beberapa bunga. Kampung nelayan tepi pantai ini langsung berbatasan dengan bukit di atasnya yang juga dipenuhi rumah penduduk yang langsung berbatasan dengan jalanan kota Labuan Bajo. Arwin membawa saya mampir beberapa menit di pelabuhan Labuan Bajo. Kami melewati jejeren tumpukan peti kemas dan jembatan penghubung daratan dengan tempat sandaran kapal. Pelabuhan terletak dalam teluk yang tenang. Kapal-kapal wisata yang membawa turis dari Labuan Bajo ke pulau Komodo dan pulau-pulau lainnya sedang buang sauh di sebelah kiri jalan penghubung daratan dan dermaga kapal. Sebelah kanan lebih lenggang. Hanya beberapa perahu nelayan yang sedang parkir di pasir pantai yang landai.  Lampu-lampu kapal yang membuang sauh dan sandar di pelabuhan mulai menyala. Demikian juga dengan di kapal-kapal yang sedang parkir bertebaran dalam teluk. Sepoi angin laut di senja menjelang malam terasa dingin sehingga saya mengajak Arwin kembali ke daratan mencari tempat makan.

Tempat makan malam di Labuan Bajo 
Saya dan Arwin beranjak meninggalkan pantai. Arwin membawa saya ke jejeran warung makan tepi pantai yang menjual berbagai jenis ikan segar, bernama wisata kuliner Kampung Ujung. Saya dan Arwin memilih ikan masing-masing sesuai selera. Setelah itu, tukang bakar ikan membersihkan ikan tersebut, memberi garam secukupnya lalu memanggang ikan tersebut di atas bara api. Beberapa bule terlihat makan di meja sebelah, beberapa lainnya lalu lalang melihat-lihat berbagai jenis ikan yang dipajang di meja-meja depan jejeran warung tersebut. Saya makan dengan lahap menghabiskan seekor ikan bakar ditemani sepiring nasi panas bersama sambal pedas khas Indonesia Timur serta juga segelas air jeruk hangat. Sambil makan saya bercakap-cakap dengan Arwin tentang keluarganya dan kesehariannya sebagai tukang ojek. Saya juga menikmati aktifitas perempuan pemilik warung yang sedang asyik mengolah sayur lalapan sambil bercakap-cakap dengan temannya dan seorang laki-laki tentang keseharian mereka.

Ikan segar yang dipilih, dibersiin dan dipanggang gunakan arang kayu
Malam telah larut saat Arwin mengantar saya kembali ke hotel yang hanya berjarak sekitar 1 km dari tempat wisata kulier tersebut. Saya memberi tambahan 50 ribu rupiah ke Arwin sebagai balas jasa atas kesediaannya menemani saya sampai kami selesai makan malam. Dengan demikian, ongkos ojek saya setengah harian di Labuan Bajo adalah 100 ribu rupiah, diluar makan malam.

Sepertinya semua tamu telah terlelap saat saya memasuki kamar dan kemudian membersihkan diri menggunakan air hangat, tak lupa menyikat gigi sebelum melelapkan diri di ke keempukan tempat tidur hotel. Pagi hari, saya sempatkan mengambil beberapa foto dari
View kota dari pelataran lantai 4 hotel Rama 
tempat sarapan di teras terbuka lantai 4 hotel tersebut. Para tamu dipersilahkan memilih sarapan roti bakar atau nasi goreng bersama kopi atau teh. Sambil menunggu nasi goreng yang saya pesan disiapkan, saya berkeliling di pelataran tempat sarapan tersebut mengintip berbagai aktifitas bangunan sekitar hotel, termasuk beberapa kantor perusahaan swasta yang terletak di jalan depan hotel. Selesai sarapan, saya kembali ke kamar menyiapkan diri berangkat ke Ruteng di pagi hari. Sebagaimana jadwal yang tertulis di tiket, saya akan berangkat jam 7 pagi. Saya turun ke meja resepsionis di lantai 2 untuk membayar harga kamar yang telah saya tempati semalam sekaligus check out sebelum jam 7 pagi. Saya meminta tolong resepsionis menelpon agen bis menggunakan telpon hotel untuk menginformasikan bahwa saya telah menunggu jemputan.

Suasana kota Labuan Bajo di pagi hari
Labuan Bajo merupakan kota kecil tepi pantai yang aslinya adalah satu perkampungan nelayan. Labuan Bajo atau Labuhan Bajo atau Labuanbajo menjadi ibukota Kabupaten Manggarai Barat saat wilayah tersebut dimekarkan menjadi kabupatan defenitif pada tahun 2003 - dipisah dari kabupaten Manggarai. Selain wilayah daratan Flores Barat, wilayah kabupaten Manggarai Barat meliputi juga pulau Komodo, Rinca, Seraya Besar, Seraya Kecil Bidadari dan Longos serta beberapa pulau kecil lainnya yang menjadi obyek wisata diving, snorkling dan trekking, termasuk fotografi  terutama berburu foto si binatang purba - sang komodo. Saat ini Labuan Bajo terus berbenah dan berkembang menjadi kota wisata. Sejak pemerintah meluncurkan Sail Komodo, Labuan Bajo menjadi tempat kedatangan para turis lokal dan manca negara yang ingin ke pulau Komodo dan sekitarnya. Saat saya berada di kota itu, terlihat para bule berseliweran di jalan,  pasar dan pantai hanya mengenakan sandal dan pakaian seadaanya. Mulai terlihat seperti seliweran para bule di Bali. Sebaliknya, wisatawan dalam negeri belum terlihat bersilewaran seperti di Bali :).

Suasana pelabuhan Labuan Bajo dari Lantai 4 Hotel Rama
Jam 7 lewat 10 saat saya melihat dari jendela hotel adanya satu mini bus warna biru parkir di jalan depan hotel. Seorang laki-laki staf hotel memastikan bis tersebut merupakan bis yang akan saya gunakan. Saya berjalan mengiringi staf hotel yang membawa koper saya menuruni tangga hotel ke bis yang sedang menunggu. Setelah kami tiba di bis, koper saya diambil alih kondektur, saya memberikan tip sambil mengucapkan terima kasih ke staf hotel yang telah bercapai lelah mengangkat koper. Saya memasuki mini bus yang sangat bersih. Setiap penumpang mendapatkan 1 kursi yang terpisah satu sama lain dengan kursi penumpang lainnya. Sepertinya mini bus ini lebih ramping dari mini bus yang pernah saya gunakan dalam perjalanan dari Bagan ke Mandalai di Myanmar (baca catatan perjalanan Bagan - Mandalay). Mini bis di Myamar mempunyai 2 kursi bersebelahan di satu sisi dengan 1 kursi terpisah lainnya alias pada satu baris terdapat 3 kursi. Sementara mini bus ekpres Labuan Bajo - Ruteng hanya memiliki 2 kursi per baris sehingga memberi kesan sangat privat. Hanya bagian belakang mini bis yang kursinya sambung menyambung tanpa gang pemisah.

View dari atas bis Labuan Bajo - Ruteng
Bis yang saya tumpangi masih menjemput beberapa penumpang sambil mengarah ke luar kota menuju Ruteng meliuk mengikuti kontur jalan yang berkelok-kelok naik turun gunung, lembah. Jalanan yang dilalui cukup lebar dan terawat, bahkan di beberapa tempat nampak jalan-jalan tersebut baru diperbaharui sehingga masih sangat nyaman dilalui mini bis yang saya tumpangi. Rumah-rumah penduduk seperti berada dalam kebun pepohonan yang sangat rindang. Kesan hijau dan subur nampak menghiasi kontur lahan yang dilalui. Di beberapa tempat terlihat sawah-sawah berteras di punggung bukit sedang menguning, sedangkan pada beberapa dataran lain yang terlihat hanya kehijauan padi di persawahan sejauh mata
View dari atas bis Labuan Bajo - Ruteng
memandang. Sekitar jam 10 pagi, bis berhenti di satu rumah makan yang terletak di perbatasan kabupatan Manggarai Timur dan Manggarai. Semua penumpang bis memasuki rumah makan mencari tempat duduk masing-masing lalu memesan makanan dan minumannya. Saya memesan sepiring nasi dengan lauk ikan goreng dan sekaleng coca-cola. Sebelum rombongan saya selesai makan, serombongan bule dengan pakaian seadaannya dan rambut awut-awutan memasuki rumah makan yang sama. Sepertinya warung ini merupakan tempat singgah para traveller baik penduduk lokal maupun para wisatawan. Sekitar 30 menit berada di warung menyelesaikan makanan dan minum, saya dan para penumpang lainnya kembali ke bis yang berjalan meninggalkan tempat tersebut menuju Ruteng.

Kursi penumpang mini bus Labuan Bajo - Ruteng
Saat bis tiba di kota Ruteng sekitar jam 12 siang, hujan deras sedang mengguyur kota tersebut. Kabut juga terlihat memayungi kota. Mini bis mengantar setiap penumpang ke tempat masing-masing. Saya minta sopir menurunkan saya di penginapan milik Susteran yang cukup terkenal di Flores. Saya mendapatkan informasi penginapan ini dari perempuan penjual tiket dan juga sopir mini bis saat kami ngobrol tentang hotel yang bisa saya tumpangi di Ruteng. Sopir menyarankan saya menginap di penginapan Kongregasi Susteran Santa Maria Berdukacita atau lebih dikenal dengan penginapan Susteran MBC. Perempuan penjual tiket dan juga sopir mini bis mengingatkan saya akan jam malam yang berlaku di penginapan tersebut, yakni jam 9 malam gerbang susteran dikunci sehingga tidak ada lagi orang yang masuk keluar kompleks penginapan. Saat saya keluar bis di pinggir jalan depan susteran, gerimis sedang berlangsung. Sambil berjalan cepat menyeret koper saya menyusuri jalan mendaki ke jejeran bangunan di atas bukit. Kompleks susteran dipenuhi pepohonan dan tanaman hias, termasuk bunga berbagai jenis yang terawat dengan baik. Bangunan dalam kompleks dikelompokan ke dalam fungsi masing-masing, yakni penginapan sekaligus kantor para suster di bangunan berlantai 2 dengan basement yang menjadi kantor, asrama putri dan bangsal seperti ruang pertemuan sekaligus tempat sarapan bagi para tamu yang menginap. Penginapan dan kantor sekaligus tempat ibadah para suster terletak di sisi kiri jalan masuk, ruang makan pagi dan bangsal pertemuan terletak di sisi kanan, sedangkan asrama putri terletak di belakang. Di antara penginapan dan asrama dibangun taman dan gasebo. Saat saya tiba di ruang resepsionis sekaligus ruang duduk dan nonton tv bagi para suster, terlihat sekelompok bule bersama guide lokal mereka sedang duduk menunggu pembagian kamar. Saya meminta kamar single double bed, namun saya hanya mendapatkan  kamar twin beds seharga 250 ribu per malam, karena kamar single penuh oleh para turis manca negara.

Penginapan Susteran Maria Berdukacita (SMBC)
Selesai menyimpan koper, mandi dan berganti pakaian, saya keluar kamar menikmati hujan yang mulai menderas. Menggunakan payung yang salalu saya bawa dalam ransel, saya berjalan ke taman dan gasebo yang terletak diantara bangunan penginapan dan asrama puteri. Saya mesan segelas teh panas yang saya nikmati dengan biskuit yang juga saya bawa karena penginapan tidak menyediakan snacks berupa kue ataupun sejenisnya. Sambil menikmati teh panas dalam deras hujan yang menguyur daerah sekeliling, saya mengajak ngobrol seorang pemuda staf penginapan tersebut, bernama Martin. Saya bertanya ke Martin tentang beberapa tempat wisata yang ingin saya kunjungi, antara lain kampung adat Wae Rebo, kampung adat lain yang dekat ke kota Ruteng, pemandian air panas sekaligus air terjunnya serta pantai indah berjarak sekitar 30an km dari kota Ruteng. Obrolan kami berkisar tentang alat transportasi dan biayanya. Biaya termahal adalah ke Wae Rebo - kampung adat yang hanya memiliki beberapa rumah adat sejak dulu kala sampai saat ini. Kampung ini diperkenalkan di berbagai media nasional dan internasional, terutama keunikatan arsitektur rumah
Salah satu sudut penginapan SMBC
adatnya sehingga saat ini menjadi salah satu tujuan wisata utama di Manggarai. Paket wisata ke kampung ini berharga 2juta 500 ribu rupiah all in (termasuk sewa kendaraan, menginap semalam di Wae Rebo serta konsumsi siang, malam dan pagi sebelum kembali ke Ruteng). Rute perjalanan ke kampung ini adalah menggunakan kendaraan sekitar 3 jam kemudian berjalan kaki mendaki perbukitan sekitar 3 jam hingga tiba di Wae Rebo, demikian juga sebaliknya. Total waktu perjalanan yang dibutuhkan sekitar 6 jam sekali jalan alias waktu tempuh PP sekitar 12 jam, karena itu setiap pengunjung disarankan menginap semalam di Wae Rebo menikmati suasana dan keramahan penduduknya. Perjalanan ke kampung adat lain dekat kota atau air terjun dan kolam air panas serta pantai akan menempuh waktu sekitar 30an menit menggunakan ojek atau sewa mobil. Biaya menggunakan ojek lebih murah, yakni sekitar 40ribu rupiah pp ke masing-masing tempat. Jika menggunakan mobil sewaan, maka biaya sewa pagi sampai malam adalah 500 ribu rupiah. Martin akhirnya menjadi teman ngobrol selama saya berada di Ruteng, termasuk membantu mengurus sim card baru bagi HP saya.

Pasar desa dalam perjalanan Ruteng - Bajawa
Esok hari, hujan masih terus mengguyur Ruteng. Saya menghabiskan waktu di penginapan dengan membaca dan menulis hingga sore hari. Saat hujan agak reda di sore hari kedua saya di Ruteng, saya sempatkan keluar penginapan. Menyewa ojek dan mengelilingi kota. Namun hanya sekitar 30an menit gerimis kembali menyirami kota Ruteng sehingga saya memutuskan kembali ke penginapan. karena hujan tidak berhenti sepanjang sore hingga malam, saya putuskan meninggalkan Ruteng menuju Ende sebagai tempat transit ke Danau Kelimutu (dikenal juga sebagai danau tiga warna) yang berjarak sekitar
Kondisi jalan Nagakeo - Ende
3 jam perjalanan dari kota Ende.  Saya menyewa mobil untuk perjalanan Ruteng - Ende. Dikenal sebagai travel dengan harga 1 juta 400 ribu rupiah dengan waktu tempuh sekitar 6 jam. Mungkin saja pengunaan istilah travel adalah lokasisasi dari istilah travel dalam bahasa Inggris tersebut. Karena itu, jika ingin mencari mobil sewaan di Ruteng dan Ende, maka disebut mencari travel. Travelnya parkir di dekat pertokoan, dstnya :), demikian kata-kata yang saya peroleh saat mencari mobil sewaan ini di Ruteng dan Ende, termasuk saat akan ke danau Kelimutu di kabupaten Ende.

Kondisi jalan Nagakeo - Ende
Perjalanan Ruteng Ende cukup berliku naik turun bukit dan gunung serta meliuk di lembah-lembah berhias kebun, sawah dan juga pemukiman penduduk. Jalanan di kabupaten Ngada cukup menantang karena mobil harus meliuk di jalanan berbentuk seperti huruf S dan Z yang diapit dinding bukit terjal di sebelah kiri dan jurang curam di sebelah kanan. Jalan yang dilalui cukup bagus kecuali di kabupaten Nagakeo yang berada di antara kabupaten Manggarai dan Ende. Jalan sepanjang puluhan kilometer sedang diperbaiki sehingga mobil harus melalui jalanan berbatu dan berdebu. Saat berpapasan dengan kendaraan lain dapat dipastikan debu tebal beterbangan sehingga sopir mobil yang saya gunakan harus selalu menggerakan
Angkutan publik di NTT
pembersih kaca. Kondisi ini berlangsung sampai kami tiba di perbatasan kabupaten Nagakeo dengan kabupaten Ende. Dinding perbukitan di sebelah kiri dengan hamparan pantai berair biru jernih sangat mempesona sepanjang perjalanan dari perbatasan kabupaten hingga tiba di kota Ende. Beberapa kilometer dari kota Ende, terlihat gunung Meja dan pulau Ende yang mempesona di kejauhan. Legenda setempat menceritakan adanya perkelahian antara 2 gunung lain berjenis kelamin laki-laki memperebutkan gunung Meja berjenis kelamin perempuan. Perang itu berakibat terbentuknya pulau Ende dari senjata salah satu lelaki yang jatuh ke laut dalam perkelahian tersebut.

Pantai-pantai indah sebelum memasuki Kota Ende
Sekitar jam 4 sore, mobil yang saya tumpangi tiba di kota Ende. Saya berkeliling mencari hotel / penginapan yang bisa saya tumpangi. Akhirnya saya mendapatkan penginapan untuk semalam saja, karena kata resepsionis, semua kamar telah dipesan salah satu lembaga pemerintah untuk kegiatan traning. Saya mengiyakan saja, yang penting saya punya tempat istrahat malam ini. Besok bisa cari lagi penginapan lain, pikir saya. Selesai menaruh koper, saya keluar mencari ojek untuk berkeliling kota. Kota Ende terletak di perbukitan pinggiran pantai Ende. Dataran rendah yang menghubungkan pantai dengan perbukitan hanyalah selebar beberapa ratus meter. Kota ini memanjang mengikuti kontur pantai sekaligus melebar ke perbukitan sekelilingnya. Bangunan gereja dan mesjid tersebar merata di beberapa lokasi mengindikasikan kepercayaan sekaligus keberagaman penduduknya.
Peserta karnaval budaya di kota Ende
Sebelum berkeliling saya mengajak tukang ojek mencari ATM yang kami dapatkan di tepi jalan pasar Senggol namanya :). Nama yang sama dengan pasar sejenis di kota Kupang, tempat kelahiran saya. Saking sempit dan padatnya pengunjung pasar, maka para pengunjung akan saling bersenggolan saat bertemu satu sama lain. Dari situlah asal muasal nama senggol. Pada satu titik mengelingi kota Ende di sore hari itu, kami bertemu barisan karnaval yang terdiri dari pasukan drumband dan barisan anak-anak sekolah berusia TK hingga SMA mengenakan pakaian adat berbagai daerah menyemarakan
Sunset di pulau Ende
suasana karnaval. Semua kendaraan dihentikan polisi yang berjaga, karena jalanan digunakan peserta karval. Saya gunakan momentum tersebut memotret kegiatan karnaval, kemudian kembali berkeliling hingga tiba di tepi pantai Ende menunggu sunset saat matahari menghilang di balik pulau Ende.

Saat sunset telah pergi dan kota diselimuti kegelapan malam, saya mengajak tukang ojek mencari makan khas Ende. Tukang ojek membawa saya ke satu warung lokal yang terletak persis di sebelah kiri gerbang bandara. Makanan lokal seperti nasi jagung, nasi kacang merah, jagong bose, ubi parut dan lainnya dijual di warung ini. Warung ini menjadi tempat langganan saya makan siang dan malam selama berada di kota tersebut. Saya mengakhiri malam pertama di Ende dengan kembali ke hotel membersihkan tubuh lalu terlelap dalam kesunyian malam.
Gunung Meja di kota Ende

Bersambung

Kamis, 12 Februari 2015

AMAZING INDONESIA. WONDERFUL FLORES : Perjalanan Jakarta - Labuan Bajo.

Kesibukan di bandara Ngurah Rai, Bali
Saya  menggunakan Lion Air dari Jakarta ke Bali pada tanggal 6 November 2014 kemudian menggunakan pesawat Garuda dari Bali ke Labuan Bajo pada hari yang sama. Rencana perjalanan dari Jakarta tertunda sekitar 2 jam karena pesawat Lion yang akan saya tumpangi sedang mengalami masalah teknis, demikian pengumuman yang disampaikan pihak maskapai. Para penumpang lain yang akan menggunakan pesawat yang sama terlihat mengomel dan beberapa berjalan ke meja CS Lion di ruang tunggu terminal 3 Soetta. Saya memilih membaca koran dan juga coba memotret beberapa moment menarik di sekitar ruang tunggu, termasuk memotret seorang anak perempuan yang sedang asyik belajar di tengah lalu lalang para penumpang di ruang tunggu tersebut. Saat pesawat pengganti telah siap, pihak maskapai memanggil para penumpang melakukan boarding. Setiap penumpang diberi sebungkus roti O sebagai kompensasi penundaan jam keberangkatan. Penundaan tersebut tentunya berdampak pada
Menunggu boarding di terminal 3 Soetta
penerbangan saya dari Bali ke Labuan Bajo. Karena jam penerbangan saya dari Jakarta adalah 8.10 pagi dan tiba di Bali pada jam 11 pagi. Dari Bali akan berangkat pada jam 11.55 siang dengan rencana tiba di Labuan Bajo pada jam 13.25 siang. Tidak ada yang menarik selama penerbangan Jakarta - Bali. Hanya obrolan singkat saya dengan seorang Bule asal Brusel yang memperkenalkan dirinya bernama Rudi. Rudi menceritakan pengalamannya berkunjung ke beberapa negara Asia. Kunjungan ke Indonesia saat ini merupakan kunjungan kedua. Tujuan perjalanannya kali ini adalah  Flores yang akan dimulai dari Maumere, ibukota Kabupaten Sikka yang adalah salah satu kabupaten di pulau Flores. Obrolan kami memberi kesempatan pada Rudi melatih bahasa Indonesianya yang cukup lumayan. Rudi menceritakan ke saya bahwa sebelum berkunjung ke Indonesia, dia mempelajari dan telah menguasai 150 kata-kata Indonesia. Saya berbagai cerita dan pengalaman perjalanan di Eropa. Pada akhirnya Rudi memberikan alamat emailnya guna digunakan menghubungi dia jika suatu saat saya berkunjung ke Brusel :).

Salah satu gerbang masuk ke terminal Ngurah Rai
Pesawat Lion yang saya tumpangi mendarat mulus di bandara Ngurah Rai Bali setelah menempuh waktu penerbangan sekitar 1 jam 50 menit. Saya mengikuti para penumpang perjalan ke terminal baru yang megah dengan interior Bali yang sangat kental. Gerbang masuk dijaga 2 patung besar berkain kotak-kotak hitam, putih dan merah perlambang pengusir roh jahat dalam kepercayaan setempat. Sebelum masuk ke ruang tunggu, saya harus berjalan melewati deretan toko sovenir dan restoran yang berjejer menjual berbagai jenis souvernir, makanan dan minuman, termasuk salak Bali yang menjadi salah satu jenis oleh-oleh khas Bali yang selalu dibawa pulang para pengunjung yang berwisata ataupun berbisnis di Bali. Layout dan pencahayaan alami sinar matahari di siang hari pada terminal baru ini mengingatkan saya akan terminal 2 El Prat Barcelona (lihat catatan tentang Barcelona). Saya melewati deretan kios dan restoran mencari konter Garuda yang kemudian saya lihat berada di sebelah kanan di ujung gedung terminal. Saya berjalan ke arah konter yang sedang dikerubungi para calon penumpang lainnya yang satu tujuan dengan saya ke Labuan Bajo.
Salah satu sudut dalam terminal Ngurah Rai
Beberapa bule hanya mengenakan pakaian seadanya serta sandal terlihat duduk selonjor di lantai terminal sambil membaca buku. Petugas konter yang melayani saya menginformasikan penundaan penerbangan sekitar 30 menit. Saya harus membiasakan diri dengan penundaan-penundaan seperti ini, kata saya pada diri sendiri. Inilah kondisi riil negara tercinta. Semuanya santai, tidak harus terburu-buru. Karena itu saya seharusnya punya rencana-rencana cadangan. Hmmm saya masih punya waktu makan siang, pikir saya sambil mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju restoran yang terletak berlawanan arah dengan konter Garuda tersebut.

Rudi yang saya kenal di dalam penerbangan Jakarta - Bali sedang makan siang bersama seorang perempuan bule di restoran yang saya datangi. Hi, sapa saya sambil tersenyum dan mengangguk ke perempuan yang duduk di hadapan Rudi. Hi, how is your flight, balas Rudi sambil tersenyum. It delays for about 30 minutes which giving me time for lunch, balas saya. Great, balas Rudi lalu memperkenalkan saya ke perempuan yang ternyata istrinya. Kami berjabat tangan sambil menyebutkan nama masing-masing dan mengucapkan nice to meet you satu sama lain. Saya kemudian memilih meja sendiri dan melambaikan tangan ke arah seorang pelayan restoran yang sedang lewat. Sang pelayan datang bersama lembaran menu. Saya memesan mie ayam bakso dan 1 botol kecil air mineral. Sambil menunggu pesanan disiapkan dan disajikan, saya mengisi waktu berselancar di internet mencari informasi-informasi terkini tentang Labuan Bajo, terutama pulau Komodo dan Rinca.

View dari langit di sekitar bandara Ngurah Rai
Saat saya masih sedang menikmati mie ayam bakso, terdengar pengumuman boarding garuda Labuan Bajo di gate 1. Saya cepat-cepat menghabiskan makanan dan minuman yang tersedia lalu berjalan menghampiri meja Rudi. Saya mengucapkan selamat berpisah ke Rudi dan istrinya lalu bergegas keluar restoran mengambil arah kiri menuju gate 1 yang terletak lumayan jauh dari restoran dalam arah berlawanan dengan konter check in Garuda sebelumnya. Setelah melewati pemeriksaan, saya berjalan ke tangga kemudian keluar bersama para penumpang lain berjalan menuju pesawat ATR Garuda yang sedang parkir puluhan meter dari pintu keluar bangunan terminal. Sebagaimana biasa, setelah semua penumpang menempati kursi masing-masing, prosedur standar keselamatan diperagakan para kru pesawat sambil pesawat memulai gerakan take off . Karena saya duduk sebelah jendela atau biasa disebut window seat, maka saya bisa memotret beberapa foto kesibukan naik turun pesawat dan juga suasana pantai sekitar bandara saat pesawat telah melayang di udara. Demikian juga saat pesawat mulai mendekati Labuan Bajo, sebaran pulau, dataran dan pegunungan menjadi obyek menarik dipotret dari udara dengan segala keterbatasan lensa tele kamera Canon DSRL milik saya. Jam 3 sore saat pewasat ATR Garuda yang saya tumpangi landing di bandara Komodo, Labuan Bajo. Bandara masih dalam tahap pembangunan, termasuk runway dan bangunan terminalnya. Bandara terletak di tepi laut, sebelah kanan yang berhadapan dengan bangunan terminal di atas bukti adalah jejeran bukit dengan pepohonan dan rerumputan berwarna kecoklatan.

Runway bandara Komodo di Labuan Bajo 
Keluar dari pesawat, saya dan penumpang lainnya berjalan mendaki ke bangunan terminal yang terletak di ketinggian lalu masuk ke bangunan  terminal dan menunggu pengambilan bagasi. Setelah pengambilan bagasi, saya berjalan ke arah konter taksi yang terletak samping kiri dalam pintu keluar. Perempuan muda berjilbab yang menjaga konter tersenyum ramah menyambut saya dan menanyakan tujuan. Ke Hotel Rama, kata saya. Enam puluh ribu, balas perempuan tersebut. Uang yang saya berikan ditukar selembar kupon / tiket taksi. Seorang laki-laki menyambut saya dipintu keluar sambil tersenyum mengulurkan tangannya. Kami berjabat tangan dan memperkenalkan diri masing-masing. Stevan, katanya. Jo, balas saya. Stevan mengambil alih koper saya dan mengatakan kami perlu menunggu taksi yang dikemudikan temannya. Sambil menunggu, saya dan Stevan bercakap-cakap menggunakan bahasa campuran dialek kupang dan Indonesia baku saat Stevan mengetahui saya berasal dari Kupang. Keramahan khas Timur menyeruak dalam obrolan kami yang membuat saya merasa berada di kampung sendiri. Saya meminta beberapa informasi terkait pulau Komodo dan Rinca karena saya berencana mengunjungi salah satu pulau tersebut guna memotret binatang purba tersebut dalam perjalanan saya ke tujuan utama kunjungan di Danau Kelimutu, Kabupaten Ende.

Terminal Komodo, Labuan Bajo 
Obrolan saya dan Stevan terhenti saat satu mobil Toyota Inova berhenti di depan kami berdua yang berdiri di selasar terminal. Stevan memperkenalkan saya ke Patti yang menyopiri mobil tersebut. Patti mengambil alih koper saya dan memasukannya ke mobil kemudian membuka pintu mobil dan mempersilahkan saya masuk. Saya berjabatan tangan dengan Stevan dan mengucapkan selamat berpisah kemudian berlalu dari tempat tersebut bersama mobil yang dikemudikan Patti. Dimana bisa mendapatkan informasi tentang kapal yang ke pulau Komodo atau Rinca?, tanya saya ke Patti di sela-sela obrolan kami dalam perjalanan keluar dari kompleks bandata. Oh gampang, nanti kita bisa singgah di information center dalam perjalanan ke hotel, kata Patti dalam dialek Kupang. Sekitar 5 menit kemudian mobil dihentikan di
Bandara Komodo, Labuan Bajo
tepi jalan dekat jejeran kios para travel agent yang memasang plang information center. Patti mengajak saya memasuki satu kios yang cukup besar berukuran sekitar 5 kali 6 meter. Bangunan beratap seng dan berdinding semi permanen tersebut dibagi menjadi dua bagian. Bagian depannya digunakan sebagai kantor yang memamerkan berbagai poster dan foto-foto tempat wisata di pulau Komodo, Rinca dan pulau-pulau lainnya di Kabupaten Manggarai Barat tersebut. Awalnya saya berpikir information center dimaksud adalah sejenis kantor pemerintah yang menyediakan layanan informasi wisata. Ternyata information center di Labuan Bajo adalah salah satu travel agent setempat yang menyediakan paket wisata bagi para pengunjung.

Salah satu jalan di Labuan Bajo
Kalo bapa mau berkunjung ke pulau Komodo tidak bisa pulang hari, kata laki-laki muda yang berjaga di tempat tersebut. Mengenakan sandal, bercelana jeans dilengkapi baju kaos biru, lelaki tersebut dengan ramah dan lancar menjelaskan paket wisata yang dijual travel agentnya. Kalo bapa mo pulang hari, bapa tidak bisa ke Komodo. Hanya bisa ke Rinca, sambungnya. Kalo ke Komodo paketnya 3 hari, per orang bayar 800 ribu rupiah. Itu sudah termasuk makan 3 kali dan menginap di kapal bersama wisatawan lainnya. Kegiatannya berenang, snorkling di beberapa tempat di pulau-pulau kecil sekitar Komodo, trekking dan memotret di Komodo. Kalo ke Rinca, berangkat pagi, pulang sore. Hanya untuk trekking dan foto-foto saja, katanya dengan lancar. Wah saya tidak bisa snorkling, bagaimana?. Ya bapa duduk-duduk baca di kapal saja atau bisa juga berenang di sekitar tempat snorkling, timpalnya. Kalau saya ingin langsung ke pulau Komodo untuk trekking dan foto-foto saja bagaimana, tanya saya. Tidak bisa, karena itu sudah satu paket. Tidak ada wisatawan yang langsung ke Komodo, apalagi wisatawan bule, kata lelaki tersebut. Baik sudah, balas saya dalam dialek Kupang. Terima kasih atas informasinya, saya pikir-pikir dulu di hotel. Kalau jadi, saya akan menghubungi Patti untuk ambil tempat dan bayar, kata saya menutup pembicaraan kami.

Salah satu sudut kota Labuan Bajo 
Saya dan Patti kembali ke mobil yang kemudian disopiri menuju hotel yang letaknya tidak begitu jauh dari "information center" tersebut. Mobil diparkir di depan bangunan hotel berlantai 4 berwarna hijau. Lantai pertama difungsikan sebagai super market. Patti menggeret koper saya ke resepsionis di lantai 2. Seorang perempuan muda menyambut saya dengan senyumnya. Selamat sore, sapa perempuan tersebut. Sore, balas saya dengan senyum ramah juga. Saya sudah booking melalui booking.com, lanjut saya. Atas nama siapa bapa, tanya perempuan tersebut. Saya menyebutkan nama, sambil menyerahkan KTP.


Suasana sore di salah satu sudut kota Labuan Bajo
Bapa, saya pamit dulu, kata Patti. Okay Patti, terima kasih banyak yach, kata saya sambil memasukan uang tip ke genggaman tangannya. Terima kasih banyak bapa, balas Patti sambil tersenyum ramah. Jika bapa butuh kendaraan atau memutuskan ke Komodo atau Rinca, bapa hubungi saya saja, tambahnya. Pasti Patti, balas saya. Patti akhirnya berjalan pergi sambil tangannya menarik ke atas jeans biru gelap yang nampak kedodoran. Setelah urusan administrasi check in selesai, seorang staf laki-laki mengangkat koper saya berjalan ke arah tangga naik ke lantai 4. Kamar 06 yang saya tempati merupakan kamar delux twin beds seharga 400 ribu rupiah per malam. Kamarnya sangat luas seperti luas kamar hotel Santika di Jakarta - yang pernah saya gunakan beberapa kali di tahun 2000an saat harga per malam masih 500an ribu - tentu saja dengan fasilitas yang lebih minim dibanding fasilitas kamar hotel Santika. Saya sebenarnya meminta kamar double delux (one bed), namun kata resepsionis kamar itu sangat terbatas dan masih sedang digunakan. Tidak ada pilihan, saya harus menerima kamar yang tersedia. Setelah staf hotel menyalakan AC dan memastikan lampu kamar berfungsi, saya memberikan tip sebagaimana biasa. Saya memutuskan mandi terlebih dahulu sebelum keluar berkeliling kota Labuan Bajo di sore hingga malam hari.

Arwin - pengojek, guide dan teman ngobrol di Labuan Bajo
Saat saya tiba di halaman hotel sekaligus super market, nampak para tukang ojek sedang duduk bercengkrama di atas ojek mereka yang sedang parkir di depan hotel tersebut. Bapa mau jalan-jalan kah?, tanya salah satu diantara mereka sambil tersenyum ramah. Iya, saya  mau cari keliling kota dan juga cari tiket bis ke Ruteng, balas saya ramah. Pengojek yang menyapa saya mendorong seorang temannya ke depan saya. Kasih berapa kalo keliling sampai selesai makan malam?, tanya saya kepada pengojek tersebut. Terserah bapa saja, balasnya. Bagaimana kalo 50, tanya saya. Dia mengangguk dan bergerak menunggangi
Ikan segar yang siap dibakar sesuai pilihan pembeli
motornya, sambil menyerahkan helm ke saya. Helm saya kenakan lalu ikut naik memboceng di ojek yang telah dihidupkan siap untuk mengantar saya berkeliling Labuan Bajo di sore cerah itu. Kita ke tempat penjualan tiket bis ke Ruteng dulu, setelah itu kita cari sim card untuk HP saya, karena sim card XL yang saya gunakan tidak bisa beroperasi di kota kecil ini. Baik bapa, jawabnya. Siapa nama  mu, tanya saya. Arwin, kata pengojek yang kemudian menjadi teman ngobrol saya sejak sore itu hingga malam saat kami selesai makan malam di jejeran warung pinggir jalan tepi pantai Labuan Bajo.

Bersambung

Sabtu, 07 Februari 2015

BARCELONA : Casa Mila, Sangrada Familia dan Park Guel

Depan gerbang Park Guell 
Casa Mila merupakan salah satu karya monumental warisan Antonio Gaudi, selain Sangrada Familia, Park Guell dan karya arsitektur lainnya yang bertebaran di seluruh Barcelona. Saat ini Casa Mila merupakan salah satu karya arsitektur yang masuk dalam world heritage UNESCO. Sebagaimana karya arsitektur Gaudi lainnya. Bangunan berlantai 9 ini keluar dari pakem arsitektur umum abad 19 Eropa berbentuk geometris. Bangunannya penuh lekuk dan liku-liku berbentuk diagonal. Bagian depannya terbuat dari batu yang menjadi kontroversi pada masa itu. Balkon dan jendela-jendela dibuat dari  besi berwarna hitam yang dibentuk menyerupai suluran tanaman merambat. Casa Mila merupakan gabungan 2 bangunan berbeda yang jika dilihat dari atas, bentuknya seperti jaring melengkung ke bawah atau seperti kurva terbalik yang memiliki lubang besar di tengahnya. Lubang tersebut berfungsi memberikan aliran udara segar dan sinar matahari ke atrium Casa Mila yang terbuka ke langit. Cerobong asap dan ventilasinya berwarna krem berbentuk seperti para satria Eropa abad pertengahan atau dapat juga diinterpretasi sebagai kepala naga, patung-patung berbentuk abstrak serta lengkungan-lengkungan seperti goa.

Depan Casa Mila
Casa Mila didesain Gaudi atas pesananan seorang pengusaha bernama Pere Mila i Camps dan istrinya yang bernama Roser Seginon i Artells. Dibangun pada tahun 1906 dan selesai pada tahun 1910. Pada tahun 1912, Casa Mila menjadi tempat tinggal suami istri ini sampai akhir hayat mereka. Casa Mila telah berpindah tangan beberapa kali setelah keduanya meninggal. Saat ini bangunan tersebut difungsikan sebagai apartemen, perkantoran, tempat pameran dan juga obyek wisata. Bangunannya terletak di samping suatu pertigaan yang cukup ramai di kota Barcelona. Pada masa pembangunannya, Casa Mila pernah disegel pemerintah Barcelona karena desain dan tingginya melangggar peraturan kota. Setelah mengalami beberapa penyesuaian, akhirnya Casa Mila dapat diselesaikan. Pada masa itu, Casa Mila merupakan suatu bangunan berkonstruksi inovatif, terutama garasi bawah tanah. Interior langit-langitnya berwarna-warni seperti warna-warni Park Guell. Waktu kunjungan dibagi dalam 2 periode, yakni pagi hingga sore dan malam hari dengan harga tiket berbeda. Harga tiket malam hari lebih mahal. Tiket masuk siang hari terbagi dalam 4 kategori, yakni umum sebesar 20,50 euro; 16,50 euro bagi pelajar dan orang cacat; warga Catalonia seharga 12 euro dan anak-anak seharga 10,25 euro. Untuk malam hari hanya ada 2 kategori, yakni kategori umum sebesar 30 euro dan bagi anak-anak seharga 15 euro.

Bagian depan Casa Mila
Setelah puas melihat-lihat dan berfoto, saya berjalan kembali ke halte bis Barcelona City Tour yang terletak sekitar 10an meter dari Casa Mila. Dari depan Casa Mila, saya belok kanan menyusuri pedestarian yang dinaungi pepohonan sehingga mengurangi sengatan sinar matahari yang mulai terik.    Kendaraan umum maupun pribadi hilir mudik di sebelah kiri saya hingga saya tiba di halte. Sekitar 5 menit menunggu, bis pun tiba dan menurunkan beberapa penumpang. Setelah selesai, saya dan para wisatawan lain yang telah menunggu di halte bergegas naik mencari kursi masing-masing. Saya kembali duduk di salah satu kursi dekat jendela lalu memasang earphones dan memulai lagi ritual mendengarkan informasi yang disediakan dalam bis tersebut. Sekitar 10 menit kemudian, bis akan tiba di halte terdekat ke Sagrada Familia. Saya memutuskan turun di halte tersebut untuk mengunjungi Katedral yang telah dibangun 100 tahun lebih, namun belum selesai hingga saat ini.

Saat saya tiba di dekat Katedral Sagrada Familia, antrian telah mengular karena hari telah siang. Saya menyeberangi jalan kecil
Salah satu bagian Sagrada Familia
depan Sagrada Familia lalu bergabung dengan puluhan wisatawan lain yang sedang sibuk melihat-lihat maupun memotret. Panas terik menyengat kulit bersama debu kecoklatan yang beterbangan karena lalu lalangnya para pengunjung di tempat tersebut. Karena Sagrada Familia masih terus dibangun, maka terlihat jaring penahan serpihan kayu, batu dan debu terpasang di sebagian bangunan yang sedang dikerjakan pembangunannya.

Sagrada Familia merupakan suatu gereja Khatolik Roma yang mulai dibangun tahun 1882. Antoni Gaudi mengambil alih pembangunan Katedral tersebut pada tahun 1883 dan mentransformasikan gaya arsitekturnya yang merupakan gabungan gaya senin Nouveau dan Gothic. Pembangunan berjalan sangat lambat karena 3 faktor utama, yakni dananya
Salah satu bagian Sagrada Familia
mengandalkan sumbangan / donasi pribadi, terhalang perang sipil Spanyol pada tahun 1936-1939 serta dikerjakan secara manual oleh para pekerja pa saat awal pembangunan. Bentuk Sagrada Familia diinspirasi oleh Josep Maria Bocabella, pendiri Asosiasi Spritual Para Pengikut Santo Joseph. Pembangunan atap lengkung gereja ini dimulai pada 19 Maret 1882 - pada waktu pelaksanaan festival Santo Joseph - mengikuti disain yang disiapkan arsitek Fransisco de Paula del Villiar yang merencanakan suatu bentuk bangunan gereja bergaya kebangkitan kembali arsitektur Gothic. Pembuatan atap lengkung tersebut diselesaikan pada tanggal 18 Maret 1883 sebelum pengunduran diri Villar yang digantikan oleh Gaudi. Gaudi mengubah desain Sangrada Familia secara radikal - yang terlihat dari bentuk dan arsitektur bangunannya saat ini. Sangrada Familia dilengkapi 18 puncak menara yang terbagi menjadi 12 menara melambangkan 12 rasul atau murid Yesus, 4 menara melambangkan 4 penginjil, yakni Lukas, Matius, Yohanes dan Markus, 1 menara melambangkan Sang Perawan Suci, Maria, Ibu Yesua serta 1 menara yang paling tinggi sebagai lambang Yesus Kristus. Pada Menara tertinggi ini dipasang lambang salib. Diperkirakan Sangrada Familia akan menjadi bangunan gereja tertinggi di dunia saat pembangunannya telah selesai. Rencananya pembangunan gereja ini diselesaikan tahun 2026 sebagai peringatan bagi 100 tahun kematian Gaudi.

Bangunan di samping gerbang Park Guell
Setelah mengambil beberapa foto, saya kembali ke halte untuk melanjutkan perjalanan ke Park Guell - salah satu karya warisan Antoni Gaudi di Barcelona. Matahari sedang sangat terik saat bis yang saya tunggu tiba di halte. Saya cepat-cepat memasuki bis berAC itu saat para turis dalam bus yang turun di halte telah selesai. Sejuknya udara dalam bis sangat menyegarkan. Saya mulai haus, namun saya tidak menemukan penjual minuman di sekitar tempat saya dan para turis lain berkumpul dan mengagumi Sangrada Familia. Waktu tempuh dari Sagrada Familia ke Park Guell lebih lama dibanding dari Casa Mila ke Sagrada Familia. Saat turun dari bis, saya masih harus berjalan sekitar 15 menit dari halte menuju lokasi Park Guell. Untuk menghindari sengatan matahari, saya berusaha berjalan di bawah bayangan bangunan sepanjang pedestarian yang saya lalui. Sekitar 10 menit menempuh perjalanan dari halte, saya tiba di suatu pertigaan. Di pertigaan ini tersedia petunjuk belok kiri menuju Park Guell. Jalanan yang saya lalui sangat lenggang dan sepi. Hanya beberapa sepeda motor yang sesekali melintas. Sekitar 5 menit kemudian saya tiba di satu pertigaan dimana saya harus belok kanan. Jalanan di pertigaan ini lebih ramai dilalui kendaraan pribadi dan umum. Beberapa mini bus terlihat lalu lalang di jalanan tersebut. Tidak jauh dari pertigaan, saya
Salah satu bagian dalam Park Guell
menemukan Park Guell yang sangat terkenal di dunia sebagai salah satu obyek wisata populer di Spanyol. Sebelum menyeberangi jalan depan Park Guell, saya sempatkan membeli minuman dingin yang dijual seorang PKL di pinggir jalan seberang jalan depan gerbang Park Guel. PKL ini merupakan satu-satunya pedagang minuman dan makanan kecil di area tersebut. Kesan semrawut dan kumuh sama sekali tidak terlihat di tempat ini. Semuanya tertara rapi dan teratur. Sangat berbeda dengan kondisi jalan di kota-kota Indonesia yang umumnya diduduki para PKL, terutama di tempat-tempat umum seperti taman.

Dari pintu gerbang Park Guell, saya belok kiri mengambil jalan memutar yang terus menanjak hingga saya tiba di suatu pelataran yang dinaungi pepohonan hijau. Pelataran terbuka ini diapit lorong dengan tiang-tiang penyangga melengkung berwarna krem /coklat muda berbentuk seperti kaki-kaki tenda raksasa yang tidak simetris seperti sarang semut. Tiang-tiang tersebut sepertinya terbuat dari ribuan batu padas berbagai ukuran. Puluhan turis terlihat duduk melepaskan lelah dan bernaung di bawah bayang-bayang pepohonan menghindari sengatan terik matahari. Saya mengamat-amati dan mengagumi tiang-tiang penyangga
Salah satu bagian Park Guell
berbentuk kanopi yang terlihat rumit yang dikerjakan dengan teliti.  Setelah beristirahat sekitar 20 menit di area berkanopi tersebut, saya bangun dan berjalan menurun memasuki suatu jalan tanah berwarna kecoklatan dan berdebu dalam sengatan sinar matahari siang yang sangat terik. Di sebelah kanan saya berdiri semacam tebing / dinding tanah setinggi 2 meteran yang telah dibentuk berlekuk-lekuk seperti dinding gua dalam berbagai jurnal ilmiah maupun film. Sebelah kiri saya adalah hamparan kosong yang diisi berbagai jenis tanaman dan rerumputan. Di suatu sudut jalan yang saya lalu, saya melihat bangunan merah bata berdiri kokoh di sebelah kiri yang ternyata merupakan museum Gaudi. Setelah mengambil beberapa foto, saya terus berjalan menelusuri jalan berdebu di depan saya sampai saya tiba di suatu pelataran terbuka berbentuk bulat berlekuk dan berliku.
Lorong di dalam Park Guell
Pelataran ini dilengkapi semacam bangku taman dari ujung kiri ke ujung kanan yang berbentuk melingkar berlekuk seperti punggung ular atau binatang melata lainnya mengikuti bentuk pelataran. Tempat duduk tersebut diselimuti mosaik berbagai warna dan bentuk yang berkilau dalam sengatan sinar matahari. Saya terus berjalan ke ujung pelataran yang terletak sekitar 10 meter di atas gerbang masuk dan keluar. Nun jauh di horison, laut mediterania berwarna biru terlihat mempesona.  Setelah berfoto di tempat tersebut, saya berjalan keluar menyusuri bagian kiri pelataran sambil menikmati mosaik warna-warni. Tiba di ujung luar pelataran, saya berjalan menuruni tangga ke arah gerbang masuk dan keluar. Di suatu sudut, saya berbelok menuruni tangga lain yang membawa saya ke rangkaian tiang sebesar pelukan orang dewasa dengan tinggi sekitar 7 meter yang menyangga pelataran yang telah saya kunjungi sebelumnya. Tiang-tiang ini juga berwarna tanah. Di ujung atas atau pada langit-langit yang menyangga pelataran diatasnya, pengunjung bisa menikmati lagi mosaik berbagai warna yang membentuk gambar berbagai jenis hewan.

Mosaik di pelataran atas gerbang
Wikipedia menulis Park Guel merupakan refleksi dari talenta seni Gaudi, terutama fase sebagai seorang seniman naturalis pada dekade pertama abad 20. Pada fase ini, sang seniman menyempurnakan gaya personalnya yang terinspirasi dari bentuk-bentuk organisme yang ditemukan di alam. Gaudi mempraktekannya dalam suatu seri solusi struktural baru yang berakar pada kedalaman analisis terhadap bentuk-bentuk geometris yang kedalamnya, para seniman Catalan menambahkan kebebasan kreatif dan suatu imajinasi serta kreasi-kreasi ornamen. Pada desain Park Guell, Gaudi menerapkan semua daya imaginasi artistiknya yang kemudian juga akan menjadi simbol dari gaya seni organiknya yang berpuncak pada pembangunan Sagrada Familia.
Mosaik di tangga depan gerbang Park Guell

Setelah puas berkeliling dan menikmati satu lagi karya monumental Gaudi, saya berjalan keluar menuruni tangga yang tersedia di tempat tersebut menuju gerbang. Di sebelah kanan gerbang saat saya keluar atau sebelah kiri saat saya masuk berdiri suatu bangunan kecil dengan luas sekitar 3x3 meter - semacam pos jaga di gerbang halaman orang-orang kaya atau para pejabat Indonesia - yang berhiaskan mosaik menutupi seluruh bangunan sampai ke atap dan menara kecilnya. Saya mencoba mengintip ke dalam bangunan tersebut yang berhiaskan berbagai relief dari mosaik warna warni. Setelah puas melihat-lihat, saya menyeberang jalan depan taman lalu belok kanan dan berjalan menyusuri trotoar kembali ke halte bis Barcelona City Tour. Saya mampir ke beberapa toko dan kios souvenir di jalan yang saya lalui untuk melihat-lihat dan juga membeli magnet kulkas dan snow ball Barcelona sebagai benda kenangan saya telah pernah berkunjung ke Barcelona. Saya memutuskan kembali ke kawasan Catalunya guna menyusuri jalan La Ramblas menuju monumen Colombus di tepi pantai Barcelona.

Bersambung...

Jalan menuju Park Guell


JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...