|
Dalam kompleks Kuil Tenryuji |
Kompleks Kuil Tenryuji yang cukup luas menyediakan dua jalan masuk dan keluar di kiri dan kanannya. Setelah melewati gerbang kanan, saya belok kiri menuju bangunan kayu berwarna hitam yang sisi luarnya menempel ke pagar pembatas kompleks kuil dengan jalan raya. Bangunan ini sebenarnya merupakan gerbang luar kuil sebagaimana di kuil-kuil lainnya di Jepang yang telah saya kunjungi - yang memiliki gerbang luar dan gerbang dalam. Namun karena telah dibangun jalan di kiri dan kanan kompleks dengan gerbang biasa, maka sepertinya gerbang luar tersebut ditutup. Bangunan gerbang tersebut terlihat masih sangat kokoh walau telah cukup tua. Saya berjalan ke bangunan tersebut untuk melihat secara dekat keindahan arsitekturnya sekaligus mengambil beberapa foto. Setelah itu saya terus berjalan ke kiri menapak dan menyusuri jalan beraspal dalam kompleks di bagian kiri yang disediakan bagi pengunjung bermobil ataupun pejalan kaki.
|
Dalam kompleks Kuil Tenryuji |
Kuil utama terletak di ujung belakang kompleks yang berjarak ratusan meter dari gerbang depan di samping jalan raya. Sesekali saya mampir di beberapa lokasi memotret dan mendokumentasikan suasana sekitar, terutama warna-warna daun musim gugur yang telah berubah menjadi kemerahan ataupun kekuningan. Di tengah kompleks terlihat satu kolam besar yang ditutup bagi umum karena sedang direnovasi. Pagar setinggi 1,5 meter menghalangi pengunjung masuk ke area kolam. Saya hanya bisa melongok dan memotret kolam dari pagar pembatas. Di dalam kompleks juga tersedia lahan parkir kendaraan. Beberapa bis pariwisata dan mobil pribadi sedang parkir di sekitar area tersebut, namun tidak terlalu penuh.
|
Kuil Tenryuji |
Kuil Tenryuji dibangun tahun 1339 oleh shogun Ashikaga Takauji. Kuil ini diperuntukan bagi Kaisar Go-Daigo yang baru saja wafat di tahun tersebut. Shogun Takauji membangun kuil Tenryuji untuk menenangkan jiwa sang Kaisar. Dalam perjalannya, kuil Tenryuji telah terbakar beberapa kali karena peperangan. Namun selalu dibangun kembali, terutama pada periode Meiji tahun 1868 - 1912 (www.japan-guide.com). Kompleks kuil dipenuhi pepohonan berbagai jenis. Guguran daun didominasi warna merah yang dibiarkan berserakan di dalam kompleks. Saya terus berjalan menuju bangunan kuil Tenryuji. Sebelum tiba di kuil Tenryuji, saya mampir memotret satu kuil Shinto yang terletak puluhan meter dari Kuil Tenryuji - dilihat dari gerbang / Torii warna merah sebagai penanda dan pembeda dengan kuil-kuil Budha.
Kuil Tenryuji merupakan kuil Budha aliran Zen. Bangunan utama didampingi beberapa bangunan
|
Kuil Tenryuji |
tambahan di sebelah kanannya. Semua bangunan, baik bangunan utama maupun pendamping didominasi warna putih dan coklat tua. Ratusan orang hilir mudik dan berfoto di depan kuil maupun tamannya. Para pengunjung lain terlihat sedang mendaraskan doa-doa di depan Kuil Tenryuji. Setelah menikmati dan mendokumentasikan arsitektur kuil, taman dan juga pengunjung yang hilir mudik, saya berbalik arah berjalan meninggalkan kuil melalui jalan utama yang berada dalam satu garis lurus dengan gerbang kanan dari jalan raya atau dari depan kuil jika dilihat dari Kuil Tenryuji.
|
Gerbang luar Kuil Tenryuji (telah ditutup) |
Keluar gerbang kompleks kuil Tenryuji, saya belok kanan menuju halte bis yang berjarak 50an meter dari gerbang kuil. Puluhan orang sedang berdiri antri di halte tersebut. Kedua sisi jalan masih penuh sesak dengan orang-orang yang lalu lalang maupun sedang berdiri antri di depan restoran dan kios-kios souvenirs. Awalnya saya ingin meneruskan perjalanan ke Kuil Kinkakuji, namun dari informasi online, akses ke kuil tersebut hanya bisa menggunakan taksi dari tempat saya berdiri saat ini atau menggunakan bis dari stasiun Kyoto. Karena saya tidak mendapatkan taksi walau telah mencoba menghentikan beberapa taksi yang melewati depan halte, maka saya putuskan kembali ke stasiun Kyoto menggunakan kereta JR dari stasiun Arashiyama. Dari stasiun Kyoto saya akan mencari bis ke Kuil Kinkakuji. Untuk itu, saya berdiri agak jauh dari halte guna mengorientasikan diri saya terhadap situasi saat itu sekaligus
|
Kuil pendamping Kuil Tenryuji |
melihat-lihat bis yang bisa saya tumpangi ke stasiun Arashiyama. Asumsi saya, bis yang melewati jalan utama depan kompleks kuil pasti lewat dekat stasiun. Karena itu, saya mengikuti beberapa penumpang lainnya masuk ke salah satu bis yang berhenti di depan halte. Bis besar seukuran bis PPD 213 di Jakarta ini penuh sesak sehingga saya memindahkan ransel kamera ke depan dada mencegah terjadinya tindak kejahatan. Walau Jepang dikenal aman, namun saya perlu waspada tentunya. Para penumpang naik dari pintu belakang lalu turun dari pintu depan di sebelah sopir. Karena itu, pada saat naik saya belum menggunakan tiket terusan yang telah saya beli di stasiun Kyoto (baca catatan perjalanan dari stasiun Hiroshima ke Kyoto dan Arashiyama).
|
Kompleks Kuil Tenryuji |
Bis terus melaju melewati rel kereta yang melintang di jalan raya tersebut. Tidak ada halte di sekitar rel yang membuat bis berhenti sehingga saya tidak bisa turun lalu berjalan menyusuri rel ke stasiun Arashiyama sebagaimana yang telah saya pikirkan. Karena bis semakin jauh dari rel kereta, saya memutuskan tetap berada dalam bis sampai perhentian akhir atau terminal bis. Asumsinya, bis tersebut akan balik melewati halte dekat kuil Tenryuji dimana saya naik. Bis yang saya tumpangi akhirnya tiba di perhentian akhir. Semua penumpang harus turun karena bis dikosongkan menunggu giliran berangkat lagi. Pada saat turun, saya hanya menunjukan tiket ke sopir seperti yang dilakukan penumpang yang turun duluan. Sopir melihat tiket dan mengangguk sebagai tanda OK sehingga saya turun dan keluar bis. Kompleks terminal akhir bis tidak terlalu besar. Terminal ini berukuran sekitar 30 x 30 meter persegi
|
Jalan utama dari gerbang lurus ke Kuil Tenryuji |
berbentuk U menghadap jalan raya. Bis dengan nomor berbeda berjejer di terminal tersebut. Tiga orang petugas berseragam terlihat mengatur bis-bis yang berjejer rapi siap diberangkatkan sesuai jadwal masing-masing. Di pinggir jalan sebelah kiri terminal terdapat halte dimana beberapa calon penumpang sedang duduk menunggu bis. Halte tersebut menyediakan juga petunjuk tempat-tempat yang akan dilewati dengan nomor bis masing-masing. Iseng saja saya berjalan ke halte tersebut membaca-baca informasi yang tersedia. Pada awalnya saya tersesat dari Arashiyama hingga tiba di tempat ini. Namun di halte tersebut saya mendapatkan informasi adanya bis yang melewati kuil Kinkakuji yang akan saya kunjungi hari ini. Saya bergegas masuk antrian di belakang para calon penumpang lain yang telah antri duluan. Tak sampai 5 menit, bis nomor 52 yang akan melewati kuil Kinkakuji berhenti. Saya bergegas naik mengikuti penumpang lainnya. Setelah melewati beberapa halte, bisa tiba di halte samping depan kompleks kuil Kinkakuji. Saya turun dari pintu depan sebagaimana biasa sambil menunjukan tiket terusan yang saya miliki.
|
Dalam kompleks luar Kuil Kinkakuji |
Dari halte depan kompleks kuil, saya berjalan beberapa meter ke gerbang yang dijaga seorang petugas pengatur kendaraan masuk keluar kompleks kuil. Gerbang tersebut berhadapan langsung dengan pertigaan jalan raya depan kompleks kuil. Rimbunan pepohonan bersama warna-warni dedaunannya menyambut saya dan para pengunjung lainnya. Saya menyusuri jalan tanah berkerikil dalam kompleks mencari Kuil Kinkakuji yang sangat terkenal di dunia. Ratusan orang datang dan pergi - suasananya hampir sama dengan di hutan bambu Arashiyama. Namun karena kompleks kuil ini cukup luas dengan jalan masuk keluar berbeda, maka para penjunjung tidak terkonsentrasi pada satu titik yang dapat menyulitkan saya mengambil foto-foto bagus. Sekitar 100 meter dari gerbang di pinggir jalan dalam kompleks tersebut disediakan denah informasi keseluruhan kompleks Kuil Kinkakuji. Saya melihat-lihat dan memotret denah
|
Denah kompleks Kuil Kinkakuji |
berbahasa Jepang tersebut lalu melanjutkan perjalanan saya mengikuti arus para pengunjung lainnya hingga kami tiba di loket tiket di depan satu pohon besar, tinggi, rindang dan berlumut. "hmmm sepertinya pohon ini berusia ratusan tahun dari ciri-ciri fisiknya, batin saya". Setelah mengambil beberapa foto, saya menuju loket tiket dan menyerahkan uang 500yen yang adalah harga tiket masuk ke bagian dalam kompleks tempat Kuil Kinkakuji berada. Petugas loket menyerahkan tiket kertas bertulisan huruf Jepang dengan lebar sekitar 7cm dan panjang 15cm. Saya berjalan menuju gerbang masuk yang dijaga 2 gadis muda. Tiket saya tunjukan ke para gadis tersebut yang mempersilahkan saya melewati gerbang. Saya berjalan perlahan menuju kuil Kinkakuji berwarna kuning keemasan yang berjarak 100an meter dari gerbang.
|
Kolam, taman dan Kuil Kinkakuji / Kuil Emas |
Ratusan orang berkerumun di pagar pembatas yang membatasi para pengunjung dari taman, kolam dan kuil Kinkakuji. Sinar matahari sore memantulkan warna kuning emas Kuil Kinkakuji ke kolam dan lingkungan sekitarnya. Warna hijau, kuning dan merah dedaunan membuat lingkungan sekitar kolam terlihat sangat elok, indah dan agung. Saya harus berdesakan dengan pengunjung lain guna mendapatkan sepotong foto terbaik di lokasi tersebut. Dari satu sudut saya berpindah ke sudut lain dan harus cepat-cepat mengambil posisi di pagar pembatas saat pengunjung lain bergeser. Setelah puas mengambil foto kuil dan tamannya, termasuk kolam, saya meninggalkan pagar pembatas dan berjalan-jalan mengitari kompleks bagian dalam sekitar kuil. Saya melihat-lihat dan memotret obyek lain yang tidak terlalu ramai. Setelah itu saya berjalan terus mengikuti jalan setapak yang dibangun mengitari samping kuil menuju pintu keluar yang jaraknya ratusan meter dari kuil Kinkakuji. Setelah melewati sisi sebelah kuil Kinkakuji, jalan berbelok ke kanan dan agak mendaki mengitari taman dan kolam lain berjarak 30an meter dari jalan setapak. Bebatuan dalam taman sekitar kolam disusun
|
Kolam, taman dan Kuil Kinkakuji / Kuil Emas |
dalam pola tertentu. Sepasang bebek dewasa dan anak-anaknya terlihat mengapung diam di kolam. Jalan setapak yang mengitari kolam dibuat seperti huruf L sehingga pengunjung bisa berjalan sambil menikmati keteduhan taman dan kolam di sebelah kiri, sedangkan di sebelah kanan terhampar guguran daun warna-warni dan puluhan pohon dengan dedaunan yang juga berwarna warni seperti hiasan di sisi lain kuil Kinkakuji. Jalan terus menanjak hingga puncak bukit kecil lalu menurun menuju gerbang keluar dan masuk. Di puncak bukit kecil agak ke kanan terdapat satu bangunan kecil sederhana terbuat dari kayu dan papan berwarna krem. Konon bangunan tersebut merupakan tempat tinggal biksu pertapa pada masa lalu. Setelah menikmati kesederhanaan bangunan dan memotret obyek-obyek menarik di sekitarnya, termasuk memotret kuil Kinkakuji dari ketinggian bukit, saya berbalik arah kembali ke jalan setapak, berjalan menuruni bukit kecil tersebut menuju gerbang.
|
Kolam, taman dan Kuil Kinkakuji / Kuil Emas |
Pada awalnya, Kuil Kinkakuji merupakan suatu vila yang disebut
Kitayama-day milk seorang penguasa istana bernama Saionji Kintsune. Sejarah Kinkakuji dimulai tahun 1397 saat vila tersebut dibeli Shogun Ashikaga Yoshimitsu yang mengubahnya menjadi kompleks kuil Kinkakuji. Ketika sang Shogun meninggal, fungsi vila diubah anaknya menjadi kuil Zen sesuai keinginan sang shogun. Pada saat perang Onin tahun 1467-1477, seluruh bangunan dalam kompleks tersebut dimusnahkan, hanya Kuil Kinkakuji yang tetap berdiri kokoh. Namun, Kuil Kinkakuji dibakar tahun 1950 oleh seorang calon pendeta Budha berusia 22 tahun yang berusaha bunuh diri di bukit Daimon-ji di belakang Kuil... Kuil dibangun kembali tahun 1955. Bangunannya terdiri dari 3 tingkat dengan tinggi 12,5 meter (www.wikipedia.com).
Langit mulai gelap diiringi gerimis kecil saat saya
|
Tiket masuk ke bagian dalam kompleks Kuil Kinkakuji |
berjalan ke gerbang. Sekitar 30an meter dari gerbang terdapat bangunan berbentuk los beserta banku-bangku panjang di halamannya. Puluhan pengunjung sedang berdiri atau duduk beristirahat di emperan bangunan tertutup tersebut. Di sebelah kiri bangunan berjejer mesin penjualan minuman dan makanan ringan. Saya menuju salah satu mesin lalu memasukan koin 110 yen ke kotak minuman coklat panas. Sambil duduk menunggu gerimis usai, saya menyeruput dan menghabiskan coklat panas tersebut. Setelah itu saya meneruskan ayunan langkah ke gerbang. Karena hari masih sore sekitar jam 4, saya ingin melanjutkan perjalanan ke Kuil Ginkakuji (Perak) di sisi lain Kyoto.
|
Tiket masuk ke bagian dalam kompleks Kuil Kinkakuji |
"Bagaimana saya ke kuil Ginkakuji?", tanya saya dalam bahasa Inggris ke petugas pengatur lalu lintas kendaraan di depan gerbang luar kuil Kinkakuji. " Go straight, across the street and take bus number 204", balas petugas tersebut sambil menunjuk jalan tusuk sate depan gerbang kuil. Saya mengucapkan terima kasih sambil mengangguk lalu berbalik menyeberangi jalan depan gerbang kuil. Udara terasa dingin sehingga resleting jaket saya tarik setinggi leher. Kupluk saya tarik menutupi telinga guna sedikit menghangatkan tubuh. Sekitar 300 meter dari jalan depan gerbang kuil, saya tiba di pertigaan lain yang cukup ramai oleh lalu lalang kendaraan. Saat lampu hijau menyala bagi penyeberang, saya menyeberang bersama pejalan kaki lainnya. Halte tempat menunggu bis 204 menuju kuil Ginkakuji tidak terlalu jauh dari pertigaan yang barusan saya seberangi. Saya masuk ke antrian yang cukup panjang bersama orang-orang bergaya turis dan juga orang-orang setempat.
|
Kolam dalam kompleks Kuil Kinkakuji |
Hampir 30an menit saya antri di halte tersebut sampai mendapatkan bis 204 yang adalah bis dengan rute reguler. Hari telah malam saat saya masih dalam perjalanan menggunakan bis tersebut. Bis berhenti di banyak halte sehingga memperpanjang waktu tempuh menuju kuil Ginkakuji. Karena Kuil Ginkakuji tutup jam 5 sore, maka saya memutuskan kembali ke stasiun Kyoto guna mengambil koper di loker lalu menuju ryokan (penginapan khas Jepang) yang telah saya pesan 6 bulan silam menggunakan aplikasi booking.com. Melalui peta digital google saya mengetahui bahwa rute bis menjauh dari stasiun Kyoto. Karena itu saya turun di halte terdekat di jalan yang sedang dilalui bis. Di halte tersebut saya mencermati informasi nomor bis yang menuju stasiun Kyoto lalu saya menaiki bis nomor 05 yang berhenti di halte. Setelah melewati 2 halte, saya sadar bahwa arah bis semakin jauh dari stasiun Kyoto. Saya lalu turun di halte terdekat, menyeberang dan menunggu bis nomor yang sama di halte seberang jalan. Saya bertanya pada seorang perempuan muda yang juga sedang menunggu bis di halte tersebut. Perempuan itu mengarahkan saya ke pertigaan yang berjarak 100an meter dari halte. "You have to across the street and turn right to the shelter" kata perempuan tersebut. "Arigato, kata saya lalu bergegas meninggalkan halte karena hari semakin malam.
|
Bukit kecil dalam kompleks Kuil Kinkakuji |
Dalam perjalanan ke pertigaan saya melihat informasi stasiun kereta dengan tanda menunjuk pertigaan lain di seberang jalan. Karena mempertimbangkan kemudahan menggunakan kereta, saya menyeberang dan menelusuri jalan lain ke arah berbeda mengikuti arah tanda panah ke stasiun kereta. Jalan yang saya susuri sangat tamaram tanpa lampu jalan. Hanya lampu dari rumah-rumah penduduk atau toko yang masih buka membantu menerangi kesunyian pedestarian yang sedang saya susuri. Setelah bertanya 4 kali ke orang berbeda, satu diantaranya perempuan Indonesia yang mampir berbelanja di 7 eleven di lokasi yang sedang saya susuri. Perempuan berjilbab tersebut menggendong bayi dalam gendongan tertutup karena malam yang dingin. Ibu muda tersebut akan masuk ke 7 eleven saat saya keluar. Saat kami berpapasan, saya menyapa dalam bahasa Inggris lalu beralih ke bahasa Indonesia
|
Rumah bhiksu pertapa dalam kompleks Kuil Kinkakuji |
saat mengetahui ibu muda itu berasal dari Bandung. Dia mengikuti suaminya yang mendapatkan beasiswa kuliah di universitas Kyoto. Dari ibu muda tersebut saya mendapatkan arah lebih jelas ke stasiun kereta yang sedang saya cari. Lingkungan pemukiman dan jalan yang sedang saya lalui sangat sepi. Seperti jam 12 malam di kampung halaman saya di Kupang. Di satu pertigaan saya bertanya pada 3 perempuan muda yang sepertinya sedang berjalan ke arah stasiun. Ternyata dugaan saya benar karena itu saya berjalan mengekor di belakang mereka menuju stasiun yang berjarak sekitar 1,5 km dari halte bis nomor 05.
|
Antrin di halte bis 204, 205 dan lainnya |
Kereta yang berhenti di stasiun ini merupakan kereta khusus pinggiran kota dan hanya memiliki 1 gerbong yang hanya melayani 2 stasiun. Hal ini mengingatkan saya akan kereta PP yang melayani rute Minoo park di Osaka. Bedanya kereta yang melayani rute Minoo park memiliki 5-8 gerbong. Semua penumpang turun dari kereta 1 gerbong tersebut saat kereta tiba di stasiun akhirnya. Saya turun dan masuk ke stasiun untuk berganti peron mencari kereta ke stasiun Kyoto. "
you have to pay because your JR Pass is not valid for this train", kata petugas penjaga pintu saat saya menunjukan JR Pass. Saya mengangguk dan bertanya harus bayar berapa. "210 yen", kata petugas tersebut. Selain mengizinkan saya masuk setelah membayar, petugas juga memberitahu saya untuk membeli tiket lagi di dalam stasiun agar saya bisa menggunakan kereta non JR menuju stasiun yang terhubung / dilewati kereta JR dimana saya dapat
|
Kesunyian malam saat saya tersesat di pinggiran Kyoto
|
gunakan JR Pass menuju stasiun Kyoto. Saya sekali lagi harus membayar 210 yen untuk mendapatkan tiket menumpang kereta non JR ke stasiun yang dilewati kereta JR. Saya memasukan uang logam 210 yen ke mesin penjualan tiket lalu mengambil lembaran tiket yang dikeluarkan mesin tersebut. Dengan tiket tersebut saya masuk ke peron kereta lalu masuk ke kereta dengan bangku-bangku panjang perwarna hijau muda. Kereta yang saya tumpangi berhenti di stasiun yang dilewati kereta JR setelah melewati 3 stasiun. Saya turun di stasiun menunggu kereta JR berhenti.
|
Ryokan Nishikiro
|
Setelah tersesat 2 kali hari ini, saya akhirnya tiba di stasiun Kyoto sekitar jam 9 malam. Saya mampir makan malam di salah satu resto dalam stasiun. Selesai makan, saya keluar menuju basement stasiun menggunakan eskalator ke loker penyimpanan koper (baca catatan perjalanan dari stasiun Hiroshima ke Kyoto dan Hutan Bambu Arashiyama. Dari loker saya berjalan lurus ke ujung bangunan stasiun dimana saya akan keluar melalui 1 dari 4 pintu keluar /
exit di bagian tersebut, yakni
exit 1,2,3 dan 4. Saya keluar melalui
exit 3 mengacu ke peta google di HP. Udara sangat dingin saat saya muncul di atas tanah. Dari
exit 3, saya berjalan lurus berlawanan arah dengan stasiun menyusuri pedestarian yang bersih, lebar dan apik di luar bangunan stasiun - menuju
ryokan (penginapan khas Jepang) Nishikiro yang terletak di sekitar stasiun Kyoto. Setelah berjalan sekitar 200 meter, saya menyadari telah berjalan ke arah yang salah. Peta google menunjukan lokasi ryokan Nishikiro berada di sebelah kiri sisi seberang jalan yang telah saya susuri dan lewati. Saya lalu menyeberang jalan dan masuk melalui jalan kecil / gang ke kompleks pemukiman. Setelah belok kiri 2 kali, saya tiba di penginapan yang saya cari - yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari stasiun Kyoto.
|
Kimono dan Yukata yg disedikan ryokan Nishikiro bagi tamu |
Bersambung...