|
Bersama Bu Desi di depan foto Bung Hatta
di Lantai 2 Rumah Kelahiran Bung Hatta |
"Pak, nunggu beberapa menit sambil isi buku tamu di teras, karena saya masih bersih-bersih", sapa seorang perempuan paruh baya saat saya mengucapkan salam ketika memasuki teras rumah kelahiran Bung Hatta di Jl. Soekarno Hatta No. 37 Bukit Tinggi yang terletak dekat pertigaan Pasar Bawah Bukit Tinggi. Rumah 2 lantai tersebut terkesan teduh dan terawat, termasuk taman depan yang dipagari sebagai pembatas dengan jalanan di depannya. "Baik bu", balas saya sambil duduk di salah satu kursi depan meja tempat buku tamu. Buku tamu tersebut saya buka dan baca sekilas untuk mengetahui asal-usul pengunjung lain yang telah mampir terlebih dahulu ke tempat tersebut. Setelah itu saya mencatatkan nama saya kemudian bertanya ke ibu yang menjaga rumah tersebut. "Bu, uang donasinya taruh dimana?", "taruh dalam buku tamu aja pak", balas perempuan paruh baya tersebut dari dalam rumah. "baik bu", balas saya sambil mengambil selembaran 50ribu dari dompet dan menaruhnya di buku tamu yang kemudian saya tutup kembali.
|
Kamar di teras depan |
Sambil menunggu, saya sempatkan melihat-lihat 1 kamar di sisi kiri saya atau di sisi kanan teras rumah hadap jalan raya depan rumah. Kamar tersebut tidak terlalu besar, mungkin berukuran 2x2 meter atau 2 x 2,5 meter saja namun sangat bersih dan rapi. Satu dipan berukuran sekitar lebar 1 meter menempati setengah luas kamar tersebut dilengkapi bantal dan sprei yang semuanya berwarna putih. Di sampingnya terletak meja dan kursi yang menghadap jendela. Dinding kamar dari papan berwarna coklat berhias foto-foto Bung Hatta dan juga 1 gambar Garuda Pancasila. Berhadapan dengan kamar tersebut di sisi kanan saya atau sisi kiri teras rumah juga terdapat satu kamar lain dengan ukuran sama. Kamar ini sepertinya diperuntukan bagi para security karena terlihat seragam security berwarna biru dongker serta helm dan juga televisi kecil mengisi kamar tersebut.
|
Rumah kelahiran Bung Hatta dari depan |
"Silahkan masuk pak" kata perempuan paruh baya tersebut dari dalam rumah. "Baik bu, terima kasih", balas saya lalu melangkah memasuki ruang tamu melewati kain pintu berwarna kuning keemasan. Ruang tamu cukup luas, bersih dan adem. Dinding ruangan terbuat dari bilah-bilah papan yang telah dicat putih dan diberi aksen hijau pada balok-balok yang mengapit dan menahan dinding-dinding rumah. Lantainya dilapisi tikar-tikar lampin berwarna coklat asal Kalimantan, sedangkan langit-langit ditutupi plafon terbuat dari anyaman bambu yang terlihat sangat terawat. Ruang tamu dilengkapi 2 set kursi dan 2 meja bundar yang diberi renda-renda putih mengingatkan saya akan rumah kakek di kampung. 1 set kursi terbuat dari
rotan sedangkan 1 lagi sepertinya terbuat dari kayu jati sama seperti mejanya. Lampu gantung model klasik berwarna putih menghiasi langit-langit ruangan. Pada salah satu sisi dinding tersandar rapi bufet kecil terbuat dari kayu berwarna gelap dan mengkilap berisi berbagai buku dan dokumen.
|
Teras depan rumah kelahiran Bung Hatta |
Foto-foto Bung Hatta dalam berbagai pose dan kegiatan terlihat menghiasi seluruh dinding ruang tamu, bersama foto keluarga seperti ayah, ibu, paman dan juga gurunya yang mempengaruhi kehidupan dan karir Bung Hatta. Ruang tamu tersebut diapit 2 kamar di kiri dan kanan. Kamar-kamar tersebut dilengkapi tempat tidur berukir dengan 4 tiang di 4 sudutnya sebagai tempat kelambu. Terdapat juga lemari dan meja kecil bulat bertaplak renda putih. Tempat tidur diberi sprei putih yang pinggirannya berenda warna senada - sangat khas tempat tidur saat saya masih kecil.
|
Ruang tamu rumah kelahiran Bung Hatta |
"Pakai sandal itu pak", kata bu Desi, demikian nama ibu paruh baya yang telah menyambut saya sejak 30an menit lalu. "Baik bu", balas saya sambil mengambil sepasang sandal kayu yang tersedia di samping pintu belakang. Saya melanjutkan ekplorasi saya ke bagian belakang rumah kelahiran Bung Hatta ini. Di bagian ini terdapat sederet ruangan yang dibangun berbentuk memanjang langsung pada batas tanah dan pekarangan belakang. Ruangan pertama yang saya kunjungi adalah ruang tidur Bung Hatta saat kecil. Ruangan ini dilengkapi 1 dipan yang berukuran sama seperti di dalam kamar di teras. Seperti tempat-tempat tidur di kamar-kamar lainnya, dipan ini juga dilengkapi seprei putih dan bantal dalam sarung berwarna
|
Kamar masa kecil Bung Hatta |
senada. Kamar ini dilengkapi juga dengan lemari pakaian dan meja serta kursi yang semuanya terbuat dari kayu warna senada, yakni coklat gelap. Pada dinding kamar bersandar 1 sepeda ontel yang menurut Bu Desi merupakan sepeda Bung Hatta saat kecil dulu. Sebagaimana anak laki-laki Minang pada umumnya, sebagian besar waktu kecil Bung Hatta dihabiskan di Surau. Bersebelahan dengan kamar Bung Hatta adalah dapur keluarga yang masih tertata apik, kemudian gudang dan tempat dokar/pedati yang bannya masih sangat keras karena tidak menggunakan ban yang diisi angin. Di bagian samping rumah dalam bentuk huruf L berjarak sekirar 3 meter dari bangunan tempat kamar tidur Bung Hatta hingga ruangan pedati terdapat bangunan kecil lain berjejer 3 ruang kecil yang menurut Bu Desi adalah kandang kuda pada masa lalu. Saat ini ruangan-ruangan tersebut kosong, namun tetap dirawat dan dibersihkan secara teratur sebagaimana ruangan / kamar-kamar lainnya di rumah tersebut.
|
Dapur rumah kelahiran Bung Hatta |
Dari bagian belakang dan halamannya, saya kembali ke rumah induk menuju lantai 2 melalui tangga yang terletak dalam ruang makan yang berada di samping pintu belakang rumah induk. Lantai 2 terdiri dari 3 ruangan, yakni 2 ruang tidur di kiri dan kanan serta 1 ruang tengah yang hanya berhiaskan foto-foto Bung Hatta dan juga keluarganya seperti foto ayah, ibu, paman dan gurunya. Disini, bu Dessi mendampingi dan bertindak sebagai guide menjelaskan serba-serbi rumah kelahiran Bung Hatta tersebut serta juga keberadaannya yang telah merawat rumah tersebut selama 18 tahun - sebagai pegawai honorer Dinas Pariwisata Bukit Tinggi. Sekelompok anak sekolahan terlihat juga sedang berkeliling di lantai 2 sehingga saya
|
Tangga ke lantai 2 rumah kelahiran Bung Hatta |
meminta salah satu dari mereka memotret diri saya dan bu Desi di depan foto close up Bung Hatta di lantai 2 rumah tersebut. Setelah ngobrol berbagai hal dengan bu Desi sekitar 20an menit sambil berkeliling, saya pamit meninggalkan rumah kelahiran salah satu Proklamator negara RI tersebut guna melanjutkan perjalanan ke Lubang Jepang membawa kesan yang tak akan terlupakan melihat rumah yang dengan segala isinya yang masih sangat terawat. Seandainya semua peninggalan masa lalu dirawat seperti rumah masa kecil Bung Hatta tersebut, Indonesia semakin kaya dengan berbagai warisannya, pikir saya sambil kembali duduk di sebelah Jasman memintanya mengantar saya ke tempat bubur Campiun sebelum ke Lubang Jepang.
Warung Pecal Ayang tidak hanya menjual bubur campiun, namun juga makanan lain, seperti bubur kacang ijo dan lontong sayur untuk sarapan. Saya memesan 1 piring bubur campiun - campuran 7 jenis bubur - bersama segelas teh talua - minuman khas Minang yang terbuat dari telur bebek atau ayam, teh, susu kental manis dan gula. Jasman memesan lontong sayur dan segelas kopi. Setelah kami mampir sekitar 20an menit di warung Pecal Ayang untuk sarapan (sarapan kedua bagi saya, karena telah sarapan nasi kapau di Pasar Atas - lihat catatan perjalanan sebelumnya), saya dan Jasman melanjutkan perjalanan ke Lubang Jepang yang tidak terlalu jauh dari warung Pecal Ayang.
|
Ngarai Sianok dari Taman Panorama |
Taman Wisata Panorama dan Lubang Jepang, demikian yang tertulis pada plang di gerbang saat saya melangkah memasuki gerbang kawasan wisata tersebut. Saya menghampiri loket karcis yang terletak di sebelah kanan saya (kiri gerbang). Jasman dan mobil yang kami gunakan akan menunggu saya di Koto Gadang, karena dari tempat wisata ini saya akan berjalan kaki melalui Jenjang 1000 ke Koto Gadang di seberang ngarai Sianok. "sepuluh ribu rupiah pak", kata penjaga loket sambil menyodorkan selembar karcis masuk. Saya menerima karcis tersebut bersama 1 brosur berwarna putih yang dicetak dan dilipat rapi berisi informasi semua tempat wisata di Bukit Tinggi. Saya mengambil karcis dan mengembalikan brosur karena saya telah mendapatkan brosur yang sama dari hotel. Dari loket karcis, saya berjalan
|
Taman Panorama berlatar Ngarai Sianok |
mengikuti jalan-jalan setapak yang rapi dan bersih dalam Taman Panorama tersebut menuju salah satu tebing di sebelah kanan saya guna menikmati Ngarai Sianok di kejauhan. Taman Wisata Panorama ini lebih cocok bagi wisata keluarga, terutama anak-anak karena terlihat seperti taman bermain anak-anak. Saya melewati beberapa patung prajurit Jepang di tengah taman terus mengarah ke tebing yang saya tuju. Beberapa pengunjung lain terlihat sedang asyik berfoto di tempat tersebut. Tiba di situ, saya mengambil beberapa foto lalu minta tolong salah seorang pengunjung memotret diri saya dengan latar belakang Ngarai Sianok nan indah. Selesai berfoto di tempat tersebut, saya mengambil jalan balik mengikut petunjuk arah yang ada menuju Lubang Jepang.
"Mau ke Lubang Jepang pak?", sapa seorang pemuda bertubuh ceking memakai hem merah bercelana jins hitam. Iya, balas saya sambil terus berjalanan. "mau saya temanin?, tanya pemuda tersebut yang ternyata adalah seorang guide lokal. "Boleh", balas saya sambil berhenti
|
Pintu masuk Lubang Jepang |
sesaat menunggu pemuda tersebut menghampiri saya sehingga kami berjalan berdampingan ke Lubang Jepang yang terletak tengah-tengah Taman Panorama. "Wira, kata pemuda tersebut sambil menjabat tangan saya". "Jo, balas saya. Kami menuruni beberapa anak tangga semen hingga tiba di depan Lubang Jepang. Sebelum memasuki lubang, Wira menjelaskan kepada saya beberapa bagian dan juga sejarah singkat lubang tersebut, termasuk rencana pemerintah daerah setempat melengkapi Lubang Jepang tersebut dengan berbagai fasilitas publik sebagaimana tertulis di denah yang tertempel di bagian kiri lubang sebelum pintu masuk. Wira memotret saya beberapa kali di depan gerbang masuk, kemudian kami memasuki Lubang Jepang tersebut. Kami berjalan perlahan menuruni tangga-tangga semen yang memudahkan pengunjung memasuk Lubang Jepang. "Kita turun 65 meter dari permukaan tanah ke
|
Bersama pengunjung lain di tangga ke dasar Lubang |
dasar lubang di dalam tanah untuk menyusuri lorong-lorong Lubang Jepan ini", kata Wira sambil kami terus berjalan menuruni tangga-tangga tersebut. Beberapa anak lelaki yang juga sedang berkunjung ikut bergabung dengan saya mendengarkan cerita Wira tentang Lubang Jepang. Kami akhirnya menjadi satu rombongan pengunjung yang berjalan-jalan menyusuri berbagai lorong di Lubang tersebut. "lorong-lorong ini telah diperlebar dan ditinggikan untuk memudahkan pengunjung. Dinding-dindingnya juga telah dilapisi semen", demikian potongan-potongan informasi yang kami peroleh dari Wira. Lumayan juga mendapatkan pelajaran sejarah tentang Lubang ini, kata saya dalam hati.
|
Di salah satu lorong |
Kami berhenti di beberapa tempat guna mengamati lebih dekat sekaligus mendengarkan informasi lanjutan dari Wira. "Lubang ini dilengkapi gudang senjata, kamar tidur, kamar tahanan/penjara dan juga ruang eksekusi / dapur. Seluruh lorong yang ada berjumlah 22, namun baru 20 yang dibuka untuk umum. 1 lorong lagi masih sedang disurvey dan diduga tersambung ke Jam Gadang dan Benteng Fort de Kock (baca catatan perjalanan sebelumnya), sedangkan 1 lagi tidak dibuka karena berbahaya bagi pengunjung", kata Wira. Lorong-lorong yang kami lalui cukup nyaman dan bersih serta terang karena telah diberi penerangan listrik. Saya perkirakan lebar masing-masing lorong bisa dilalui 4-5 orang dewasa yang berjalan berdampingan satu sama lain dengan tinggi sekitar 2 meter. Wira membawa saya dan teman-teman kecil yang bersama kami tersebut ke ujung salah satu lorong yang diberi pintu besi terkunci. "Di luar pintu ini, kita bisa melihat perkampungan di seberang lembah. Dahulu digunakan pasukan Jepang untuk mengintai aktivitas penduduk. Namun, karena terletak di ujung tebing, pemerintah menutup dan menggembok pintunya sehingga tidak membahayakan pengunjung. Dari lorong tersebut, Wira membawa kami ke dapur yang dinding ujung belakangnya telah diberi tembok guna
|
Salah satu lorong sebagai penjara pada masanya |
menutup satu lubang yang menghubungkan ujung lorong dapur itu dengan sungai di lembah di bawah Lubang Jepang tersebut. "konon katanya, "dapur" ini merupakan tempat eksekusi para pekerja yang menggali Lubang Jepang ini", cerita Wira". "Mereka dieksekusi di tempat ini lalu mayatnya dibuang ke bawah melalui lorong yang telah ditutup dengan tembok ini karena mayat ataupun tulang belulang mereka tidak pernah ditemukan sampai saat ini", lanjut Wira yang meminta saya mengintip melalui lubang berukuran sebesar 2 kepalan orang dewasa di bagian bawah tembok tersebut. Saya hanya bisa melihat secercah cahaya. Wira meminta kamera saya lalu menempatkannya di lobang kecil tersebut dan menekan tombol pengambilan foto. Setelah itu, kami sama-sama memperhatikan hasilnya yang adalah suatu lorong sempit dalam bentuk yang masih seperti aslinya.
|
Lubang intip ke lorong di bawah tembok dinding dapur |
Dari dapur dan tempat eksekusi tersebut, Wira membawa kami berjalan balik melewati lorong yang telah kami lalui sebelumnya. Kami menuju ke ujung lorong lain yang berlawanan arah dengan lorong yang ujungnya diberi pintu besi dan dikunci. "Ini lorong yang diduga terhubung ke Jam Gadang dan Benteng Fort de Kock", kata Wira menunjuk satu lorong di depan kami yang terlihat masih belum direnovasi. Selesai dari lorong tersebut, kami dibawa Wira mengarah ke satu lorong yang membawa kami ke pintu keluar. Di lorong ini sedang dipersiapkan pembangunan toilet, restoran dan juga mushola. Di depan pintu terhampar jalan aspal berkelok ke lembah. "Itu jenjang / janjang 1000, kata Wira menunjuk ke lembah di depan pintu keluar Lubang Jepang. Saya menyerahkan 50ribu rupiah sebagai balas
|
Hasil foto lorong dari lubang intip |
jalasnya menemani sekaligus menceritakan sejarah Lubang Jepang ke saya dan rombongan anak-anak yang bertemu dan bersama-sama menelusuri lorong-lorong Lubang Jepang tersebut. "Terima kasih banyak Pak, kata Wira sambil tersenyum lebar". "Sama-sama Wira, sukses yach, balas saya sambil menjabat tangannya sebagai salam perpisahan. Saya juga bersalaman dengan anak-anak yang telah menyertai kami berkeliling dalam Lubang Jepang selama hampir 1 jam. Semua bentuk lorong di Lubang Jepang sama sehingga jika tidak menggunakan pemandu, pengujung bisa tersesat dan berputar-putar di dalam Lubang tersebut. Dinding-dinding lorong terbuat dari campuran kapur dan tanah sehingga semakin kuat jika terkena air. Dinding juga dibuat bergelombang guna meniadakan gema suara. Secara keseluruhan, panjang Lubang Jepang tersebut diperkirakan 1,5km. Lubang Jepang dan Rumah kelahiran Bung Hatta meninggalkan kesan yang sangat mendalam pada diri saya karena perawatannya yang telaten. Peninggalan-peninggalan sejarah tersebut terlihat sangat terurus jika saya bandingkan dengan tempat-tempat sejarah lain yang pernah saya kunjungi dan ekplorasi seperti misalnya Meseum Fatahillah di Jakarta yang pernah saya kunjungi dan mendapatkan kesan tidak terurus karena berdebu dan terkesan dibiarkan seadanya. Berbeda jauh dengan Rumah kelahiran Bung Hatta dan Lubang Jepang yang sangat lengkap cerita bisu maupun lisannya.
Saya menyeberangi jalan depan pintu keluar Lubang Jepang lalu berjalan turun ke lembah mengikuti jalan setapak yang terbuat dari semen. Sekeliling jalan yang saya lewati hanyalah pepohonan dan rerumputan. Di satu tempat saya mampir ke warung sederhana di tepi jalan yang sedang saya lalui guna membeli air mineral dan makanan kecil khas setempat yang disebut "pensi" yakni kerang
|
Jembatan penghubung di Bukit Tinggi dan Koto Gadang di Jenjang 1000 |
-kerang mini di air tawar yang dioseng-oseng - kebanyakan berasal dari danau Maninjau. "3 ribu rupiah untuk pensi dan 5 ribu untuk air", kata penjualnya. Saya menyerahkan duit 8 ribu lalu mengambil 1 porsi pensi yang ditaruh dalam gelas-gelas bekas air mineral. Saya terus berjalan sambil mencicipi pensi dan kadang berhenti mengambil beberapa foto landscape sawah hingga tebing-tebing nan elok. Saat saya melewati perkampungan di lembah tersebut, saya mendonasikan 5 ribu rupiah ke peti donasi yang diletakan di tengah jalan sebagai biaya kebersihan. Saya terus melanjutkan perjalan hingga melewati satu jembatan gantung yang menghubungkan sisi Bukit Tinggi dan Koto Gadang.
|
Tangga-tangga di Jenjang 1000 |
Jalanan mulai mendaki saat saya melewati jembatan gantung tersebut. Tidak jauh dari Jembatan dan sebelum pendakian tangga pertama yang tersusun bersama tangga-tangga lain pada kemiringan sekitar 40an derajat, saya sekali lagi harus memberikan donasi untuk biaya kebersihan yang dijaga seorang pemuda. "Wah saya telah memberi sumbangan kebersihan di kampung di bawah", kata saya saat berhadapan dengan pemuda tersebut. "Ini lain pak", balas pemuda itu sehingga saya mengeluarkan 10ribu rupiah dan memasukannya ke peti donasi tersebut. "Seperti preman aja neh orang", omel saya dalam hati sambil mulai mendaki tangga-tangga setengah vertikal tersebut. Setelah tangga, saya berjalan di setapak semen yang datar menuju tangga lain demikian seterusnya sehingga total saya harus melewati 336 anak tangga barulah saya tiba di dataran sebelah di daerah Koto Gadang. Total waktu tempuh yang saya lalui adalah 22 menit dengan beberapa kali berhenti untuk memotret dan juga beristirahat terutama setelah melewati tangga-tangga setengah vertikal yang mengabiskan nafas saat tiba di puncak pendakian. Rasanya lega setelah melewati tantangan tersebut walau terasa lelah dana keringat membanjiri tubuh di panas terik siang itu.
|
Jalan setapak di Jenjang 1000 |
Jasman tersenyum lebar saat saya tiba di sisi Koto Gadang. Taman Wisata Panorama dan Lubang Jepang yang barusan saya kunjungi telah berada di seberang nun jauh di mata. Jasman sedang menikmati segelas kopi sambil duduk di bangku yang berada di bawah satu pohon rindang. Tidak jauh dari pohon tersebut, berdiri warung kelontong yang menjual kopi yang diminum Jasman. Penjualnya seorang lelaki muda bertanya apakah saya ingin pesan kopi atau minuman lain, saya menjawab tidak karena saya masih sedang membawa botol air mineral yang saya beli dalam perjalanan melewati Jenjang 1000. Saya meminta Jasman mengambil rokok kesukaannya - yang saya bayar bersama segelas kopi yang telah dipesan dan diminumnya. Sambil duduk beristrahat dan ngobrol, saya mengamati daerah sekitar tugu Jenjang 1000. Di depan saya di seberang jalan depan gerbang masuk keluar Jenjang 1000 berderet kios dan warung yang menjual berbagai jenis minuman dan makanan kecil. Saya bertegur sapa dengan beberapa rombongan yang lewat searah maupun berlawanan arah menuruni Jenjang 1000 menuju Bukit Tinggi. Setelah Jasman menghabiskan rokok dan kopinya, saya meminta dia memotret saya di depan tugu Jenjang 1000 sebagai kenangan
|
Salah satu bentuk rumah di Koto Gadang |
telah pernah mampir dan melewati tempat tersebut. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke workshop perak di Koto Gadang. Jalan yang kami lalui tidak terlalu luas namun cukup bagus dari Tugu Jenjang 1000 hingga ke beberapa workshop kerajinan perak yang berjejer di pingir jalan besar. Rumah-rumah yang kami lewati di tepi jalan tidak menampakan kekhasan Minang. Semua rumah beratap seng yang telah menghitam dimakan usia, berbentuk kubus seperti rumah-rumah modern di tempat-tempat lain di Indonesia. "Kebanyakan penduduk Koto Gadang merupakan turunan para pekerja / karyawan orang Belanda", kata Jasman sambil sibuk menyetir. Saya hanya mengangguk-angguk sambil terus mengamati dan kadang memotret rumah-rumah yang kami lewati. Saat tiba di pertigaan, saya melihat
|
Mesjid di pertigaan Koto Gadang |
satu mesjid cukup besar dihadapan kami. Di sebelah kiri kami terlihat satu rumah penduduk dengan ciri khas Minang - dinding berukir / motif berhiaskan warna hitam, merah dan putih serta beratap Gonjong.
Jasmin membelokan mobil ke arah kanan menyusuri jalanan datar yang bagus aspalnya. Kiri dan kanan jalan terhampar persawahanan dan rumah-rumah penduduk silih berganti. Kami tiba di satu workshop pembuat perhiasan perak. Karena Koto Gadang terkenal dengan silver hand made-nya, sebagaimana informasi seorang teman, maka saya dan Jasman berkunjung ke Koto Gadang dengan tujuan melihat-lihat sekaligus membeli salah satu perhiasan
|
Tempat saya membeli cincin perak motif Minang |
buatan tangan Koto Gadang sebagai kenang-kenangan. Kami mampir di beberapa workshop sampai saya menemukan 1 cincin perak bakar bermotif khas Minang seharga 350ribu rupiah. Setelah membeli cincin tersebut, saya dan Jasman meneruskan perjalanan ke Danau Maninjau.
Bersambung!!