|
Depan kuil That Byin Nyu |
That Byin Nyu merupakan kuil tertinggi di Bagan, yakni 61,2 meter. Bangunannya berwarna putih dihiasi noda-noda hitam yang tersebar merata di berbagai bagian menandakan ketuaan usia kuil tersebut. www.baganmyanmar.com menulis "Thatbyinnyu dibangun oleh Raja Alaung Sithu pada tahun 1144. Suatu lagu tradisional yang dinyanyikan orang-orang Bagan menuturkan kehebatan kuil tersebut disandingkan dengan 2 kuil lain di Bagan, yakni That Byin Nyu merupakan representasi kehebatan, Ananda representasi kehormatan dan Dammayan Gyi sebagai lambang kebesaran.
Thatbinnyu artinya 'mahatahu' terkait pada pencerahan yang diperoleh Budha". Bangunan berbentuk persegi empat tersebut dilengkapi 4 teras bertingkat, dibangun menggunakan bata dan plester tanpa besi ataupun kayu sama seperti kuil dan pagoda-pagoda lain yang telah saya
|
That Byin Nyu dari samping |
kunjungi hari kemarin. Dalam kuil terdapat 4 patung Budha di 4 sisi bagian dalam searah 4 mata angin (Utara, Selatan, Timur dan Barat). Dinding dihiasi lukisan-lukisan mural sebagaimana kuil lainnya di Bagan. Setelah mengelilingi bagian dalam hingga saya kembali ke pintu masuk, saya keluar dan berbelok ke kiri mengamati arsitektur bagian luar yang tinggi menjulang. Saya keluar kompleks kuil melalui gerbang sebelah kiri yang menghadap Kuil Shwegugyi. Saya kembali ke Pedati sambil jalan berjingkat tanpa alas kaki yang saya tinggalkan di Pedati. Setelah saya duduk di sebelah Ou, Pedati dijalankan menuju Kuil Shwegugyi yang terletak puluhan meter dari Thatbyinnyu.
|
View dari pelataran atas kuil Shwegugyi |
Kuil Shwegugyi berukuran lebih kecil dari Thatbyinnyu. Di kuil ini pengunjung diperbolehkan naik ke pelataran atas untuk melihat Bagan dari ketinggian. Para pedagang minuman dan souvenirs bertebaran di kedua sisi jalan masuk. Saya berjalan melewati mereka menuju tangga di bagian belakang. Seorang anak kecil penjaja suovenir berjalan mendahului dan mendaki tangga terjal sempit dari bata ke lantai atas yang terbuka. Anak kecil tersebut mengajak saya bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris yang lumayan lancar, menanyakan asal-usul dan menawarkan dagangannya yang saya tolak secara halus sambil tersenyum. Saya berjalan perlahan di atas pelataran, mengeliling 4 sisi luar kuil tersebut, mengambil foto dari ketinggian. Panas lantai yang saya injak dan juga cahaya matahari siang terasa membakar kulit lengan dan wajah yang tidak terlindungi penutup. Peluh bercucuran, namun indahnya pemandangan dari ketinggian di atas kuil Shwegugyi membuat saya betah berlama-lama.
|
View dari pelataran atas kuil Shwegugyi |
Seorang anak kecil lain kembali menghampiri saya mengulangi prosesi sebelumnya, yakni menanyakan asal dan menawarkan beberapa lukisan. Saat saya menolak, penjual kecil ini beralih topik meminta duit Indonesia sebagai barang koleksi sambil menunjukan lembaran-lembaran kertas uang beberapa negara yang telah dikoleksi. Saya hanya tersenyum dan membalas bahwa saya tidak membawa uang Indonesia. Anak ini gigih terus mengikuti setiap langkah saya berpindah dari satu sisi ke sisi lain. Namun, saya tetap tidak bergeming atas bujuk rayunya. Saya mengalihkan perhatiannya dengan mengajak ngobrol tak tentu arah. Kehadiran 2 perempuan Eropa mengalihkan perhatian anak tersebut ke mereka. Anak tersebut meninggalkan saya menghampiri kedua pengunjung tersebut, mengajak mereka bercakap-cakap, mengulangi prosesi sama seperti yang dilakukannya terhadap saya.
|
View dari pelataran atas kuil Shwegugyi |
Di satu sisi yang teduh karena sinar matahari terhalang kanopi pohon besar, saya duduk melepas lelah dan menghilangkan cucuran keringat. Beberapa pengunjung lain, termasuk kedua perempuan Eropa tersebut terus ditempeli beberapa anak penjual souvernir, termasuk anak kolektor uang kertas asing. Saya terus duduk menikmati sepoi-sepoi hembusan angin yang menyejukan tubuh. Mata saya terus memandang ke sekeliling, termasuk melayangkan pandang ke kuil Thatbnyinnyu yang terletak puluhan meter dari Shwegugyi.
Setelah terasa kelelahan menguap dan cucuran keringat lenyap, saya perlahan beranjak ke dalam kuil untuk melihat-lihat bagian dalam. Pada beberapa sudut, saya mengambil foto melalui jendela-jendela yang saya gunakan sebagai frame mendapatkan foto berbentuk 3 dimensi. Setelah
|
Makan siang para penjaja souvenirs |
puas berkeliling, saya kembali ke pelataran tempat tangga lalu secara perlahan menuruni tangga bata tersebut. Ternyata menuruni tangga terjal dan sempit terasa lebih sulit dibanding naik. Sebelum tiba di pelataran bawah, saya berhenti sejenak di tangga mengamati sekelompok anak dan perempuan dewasa duduk melingkar mengelilingi nampan bulat berisi makanan. Mereka makan siang beramai-ramai hanya menggunakan tangan. Setelah mengambil beberapa foto saya terus menuruni tangga ke pelataran bawah. Tiba di bawah saya beranjak masuk ke ruang depan kuil yang pintunya terbuka lebar ke halaman yang dibatasi dinding tanpa atap. Saya bercakap-cakap dengan dua perempuan pedagang di area tersebut. Seorang perempuan memoles bedak tanaka di kedua pipi dan dahinya. Perempuan ini berjualan souvenir yang digelar di lantai kuil sambil menjaga anak lelaki yang sedang bermain di sekitar situ. Saya mengambil beberapa foto, mengucapkan terima kasih lalu beranjak keluar.
Saya kembali melewati para pedagang souvenir dan minuman ringan yang berjejer di kedua sisi jalan
|
Membunuh haus di tangga jalan masuk Shwegugyi |
masuk. Di ujung jalan masuk depan tangga, saya duduk di sisi kanan tangga lalu meminta kelapa muda yang dijual di sisi kiri dan kanan tangga tersebut. Seorang perempuan muda berbedak tanaka memotong kelapa muda berwarna hijau dan menyerahkannya ke saya setelah menaruh sedotan. Dengan lahap saya menyeruput air kelapa itu sampai tandas. Para perempuan pedagang yang berada sekitar situ mengajak saya bercakap-cakap. Sama seperti kedua penjual kecil di pelataran atas, mereka memulai dengan asal negara lalu meminta diajarin beberapa patah kata Indonesia. Dengan senang hati saya mengajarkan kata-kata terima kasih, membalas ucapan terima kasih dengan kata sama-sama atau kembali kasih, selamat pagi, siang, sore dan malam, kata cinta, kata cantik dan kata gagah. Mereka mencoba beberapa kali menghafal dan mengucapkannya sambil tertawa-tawa. Jika ada yang berhasil saya mengancungkan 2 jempol sebagai penghargaan dan pujian, perempuan lain bertepuk tangan dan tertawa-tawa. Kami terus bercakap-cakap sambil mereka terus berusaha menguasai kata-kata yang saya ajarkan. Setelah kelelahan saya lenyap, saya membayar 1000 kyat atas kelapa yang telah saya konsumsi. Setelah itu saya mengucapkan terima kasih menggunakan bahasa Indonesia yang dibalas perempuan penjual dengan ucapan sama-sama. Saya tersenyum mengacungkan satu jempol sambil berjalan kembali ke Pedati yang diparkir sekitar 20 meter di bawah kerindangan pohon di dekat kuil. Para perempuan mengucapkan
good bye sambil tersenyum lebar.
|
Kuil Mahabodhi |
Saya kembali nangkring di Pedati yang mengarah ke kuil Mahabodhi yang terletak beberapa ratus meter dari kuil Shwegugyi. Pedati berlari kecil melewati jalan-jalan berdebu membelah hamparan lahan yang diisi bangunan kuil berbagai ukuran dan bentuk yang seperti menyembul diantara pepohonan dan warna kecoklatan tumbuhan semak. Kami kembali ke jalan raya beraspal yang dilalui Pedati beberapa puluh meter jauhnya. Pedati kemudian menyeberangi jalan beraspal tersebut dan kembali berlari kecil menyusuri jalan debu berwarna kapucino. Puncak kuil Mahabodhi terlihat menyembul diantara pepohonan. Dari jauh, menara kuil ini nampak seperti kuil-kuil di India yang saya lihat di internet. Atapnya menjulang tinggi berbentuk kukusan terbalik yang dipenuhi berbagai ukiran. Tampak 2 perempuan sedang duduk di pelataran terbuka depan kuil berjarak sekitar 10 meter dari gerbang masuk. Saya melewati mereka sambil mengucapkan hallo dan tersenyum. Keduanya membalas senyum sambil mengangguk. Saya memasuki kuil, mengamati satu-satunya ruangan di kuil tersebut sekaligus mengamati satu-satunya pose Budha di tengah-tengah ruangan. Setelah puas, saya keluar dan berbelok ke samping kanan menelusuri sisi luar bangunan kuil tersebut. Pagar bata setinggi 1 meter menjadi batas halaman kuil dengan daerah sekitarnya yang terbuka. Dari samping kanan, saya berjalan ke belakang lalu menyusuri sisi bagian kiri kemudian kembali ke depan.
|
Menara kuil Mahabodhi |
Salah satu perempuan berbadan subur berpoles bedak tanaka mengajak saya bercakap-cakap dan mengundang saya mampir ke kiosnya untuk mencoba bedak tanaka yang dipakai. Saya menolak dengan alasan tidak pantas seorang laki-laki seperti saya menggunakan bedak tanaka. Sambil tertawa, perempuan tersebut menjelaskan bahwa saya terlihat seperti para lelaki Myanmar pada umumnya yang juga menggunakan bedak sebagai pendingin wajah dan tangan guna menimalkan sengatan panas matahari. Keramahannya sangat membius sehingga saya akhirnya mengikuti saja ajakannya ke kiosnya yang terletak di luar pagar kuil berjarak 20an meter dari gerbang kuil. Tiba di dalam kios, perempuan tersebut mempersilahkan saya duduk di satu dipan kecil dalam ruangan berukuran sekitar 2 x 3 meter. Perempuan tersebut duduk di satu bangku yang lebih rendah posisinya dari dipan. Sambil bercakap-cakap, tangannya menggosok lempengan bedak berwarna kuning berbentuk persegi selebar 2 x 2 cm dengan tebal sekitar 0,5cm ke semacam batu ceper bulat yang dibasahi tetesan air. Hasilnya adalah adonan kecil bedak yang lalu diambil menggunakan jari-jarinya dan dioleskan ke wajah saya. Saya menutup mata sambil menikmati sensasi dingin bedak tersebut. Setelah permukaan wajah saya diolesi seluruhnya, perempuan itu lalu menawarkan 1 paket bedak terdiri dari beberapa lempengan terbungkus plastik seharga 3 kyat. Saya mengiyakan sambil tersenyum. Namun, tawarannya belum berakhir. Perempuan itu membuka seikat kain berisi beberapa
longyi yang masih terbungkus plastik menandakan
longyi-longyi tersebut masih baru dan diperjualbelikan. Karena saya berencana membeli
longyi sejak awal (baca catatan di kota Yangon), maka saya menanyakan harganya. Perempuan itu membuka tawarannya pada harga 8000 kyat. Saya menawar sampai dengan 5000 kyat lalu membeli 5
longyi dengan warna dan motif berbeda sebagai oleh-oleh. Perempuan itu belum bosan menawarkan dagangan lain yakni baju-baju khas Myanmar. Sambil tertawa saya menjawab tidak yang dibalas dengan senyuman lebar dan kata-kata okay-okay. Saya lalu pamit dan kembali ke Pedati diantar perempuan tersebut yang berbicara dengan Ou dalam bahasa mereka.
|
Memakai bedak dingin Tanaka |
Hari telah menjelang sore saat saya selesai di kuil Mahabodhi. Ou mengarahkan Pedati ke jalan pulang, namun kami belum kembali ke hotel. Kami sedang menuju Pagoda Bulathe untuk menikmati sunset dari puncak Pagoda. Jalan ke Bulathe melewati kuil Htilominlo yang telah saya kunjungi sebelumnya. Sekitar 20 meter dari gerbang kuil Htilominlo, Pedati mengambil jalan ke kiri melewati samping kiri pagar kuil Htilominlo menempuh jalan berdebu tebal berjarak sekitar 1,5 km dari Htiminlo atau sekitar 2,5km dari kuil Mahabodhi. Beberapa pengunjung terlihat telah berada di atas pagoda saat saya dan Ou tiba di tempat tersebut. 2 lelaki Eropa baru saja tiba di lokasi tersebut menggunakan Pedati seperti saya juga. Saya bergegas ke tangga bata terjal yang terlihat lurus ke atas. Namun, sebelum kaki saya menginjak tangga pertama, 2 petugas pariwisata laki-laki yang mengenakan seragam celana berwarna biru dongker (seperti warna celana satpam di Indonesia) dipadu baju lengan pendek berwarna biru langit menyapa saya sambil tersenyum ramah. Salah satu petugas menanyakan tiket masuk seharga 15 dollar US atau 15.000 kyat yang telah saya bayar di Bandara Bagan saat tiba kemarin. Beruntung tiket tersebut saya simpan di dompet sehingga saya tidak mengalami kesulitan menunjukan tiket tersebut ke kedua petugas tersebut. Mereka mengucapkan terima kasih sambil tersenyum dan menyerahkan kembali tiket tersebut. Petugas yang menyerahkan kembali tiket mengatakan pada saya agar menyimpan tiket tersebut dengan baik untuk kebutuhan pemeriksaan sesewaktu yang dilakukan petugas. Saya menerima kembali tiket tersebut, membalas ucapan terima kasih petugas lalu mengembalikan tiket tersebut ke dompet yang saya simpan kembali ke ransel.
|
View dari puncak Pagoda Bulathe |
Saya mendaki tangga bata terjal tersebut perlahan-lahan hingga tiba di puncak pagoda. Saya berdiri menarik nafas panjang beberapa kali sambil melayangkan pandangan ke sekitar yang mulai sejuk karena sore telah menghampiri. Nun jauh di ufuk terlihat awal tebal kehitaman menaungi sebagian Bagan, sementara di ujung lain terlihat hujan sedang berlangsung. Saya mengambil beberapa foto lalu duduk di salah satu pelataran menghadap sungai Irrawady nun jauh di Barat - menunggu tibanya sunset. Beberapa turis Eropa terlihat duduk selonjor dalam kebisuan masing-masing menikmati suasana sekitar. Sekitar 15 menit di atas, serombongan turis Jepang terlihat berseliweran
di pelataran tersebut mengambil beberapa foto kemudian duduk menikmati suasana senja. Semuanya sedang menunggu sunset. Sepasang turis berwajah Eropa terlihat mendekat dari arah kanan saya. Turis laki-laki tersebut memperhatikan iphone yang saya gunakan mengambil beberapa gambar dari ketinggian Pagoda Bulathe. Turis yang berasal dari Spanyol tersebut menanyakan kepada saya apakah saya bermasalah dengan koneksi telpon dan internet menggunakan iphone selama di Bagan?. Ketika saya menjawab tidak, turis tersebut membagi kesulitannya menggunakan iphone miliknya. Saya menyarankan dia menggunakan sim card lokal atau sinyal wifi di hotelnya saja untuk kebutuhan di Bagan dan tempat-tempat lain di Myanmar. Kami lalu terlibat obrolan seru tentang Eropa dan Spanyol, karena saya menceritakan pengalaman kunjungan saya ke Sevilla, Granada, Cordoba, Barcelona dan Madrid di Spanyol. Keduanya berasal dari kota Segovia sehingga mereka menyarankan saya mengunjungi kota tersebut suatu hari nanti. Saya juga menceritakan tempat-tempat menarik di Indonesia yang sebaiknya dikunjungi oleh mereka berdua. Setelah bertukar pengalaman, kami lalu kembali ke perenungan masing-masing di puncak Pagoda Bulathe menunggu sunset seperti pengunjung lain yang menerawang dalam pikiran masing-masing.
|
View dari puncak Pagoda Bulathe |
Cuaca tidak bersahabat di sore itu. Awan gelap mulai menaungi langit sekitar pagoda. Seorang turis laki-laki muda dari Eropa yang duduk selonjor di sebelah kiri depan saya mulai membuat perkiraan sunset tidak akan muncul karena cuaca yang sepertinya akan hujan dan matahari juga menghilang tertutup awal tebal di Barat. Si anak muda yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos kutung itu menceritakan pengalamannya kemarin gagal menikmati sunset karena hujan. Dia memperkirakan kami tidak akan dapat menikmati sunset juga karena sepertinya hujan segera turun. Para turis Jepang telah berlalu dari pelataran tersebut. Tak lama kemudian gerimis mulai turun sehingga kami semua yang masih berada di pelataran tersebut memutuskan meninggalkan pelataran kembali ke kendaraan masing-masing. Karena Pagoda tidak memiliki ruangan seperti kuil, maka kami tidak memiliki pilihan berlindung dari hujan. Gerimis mulai menderas mengiringi satu per
|
Perepmpuan pendula souvenir yang saya ajak ngobrol |
satu langkah saya menuruni tangga curam dari puncak Pagoda. Saya harus ekstra hati-hati karena tangga yang terbuat dari bata tersebut berubah licin saat disirami hujan. Akhirnya saya bernafas lega saat kaki telanjang ku menginjak tanah. Saya berlari kecil ke Pedati yang menunggu di bawah pohon rindang tidak jauh dari depan tangga. Ou menyambut saya sambil tersenyum dan mengarahkan Pedati menyusuri kembali jalan yang kami tempuh saat datang. Tiba di jalan aspal, Oo membelokkan Pedati ke arah kanan kembali ke hotel. Beberapa Pedati terlihat terburu-buru melewati kami berlomba dengan gerimis yang semakin deras. Saya mengatakan kepada Ou agar tidak terburu-buru. Kami dapat menikmati hujan dari atas Pedati yang membelah jalan beraspal lebar yang sangat lenggang. Sekitar 15 menit kemudian, kami tiba di hotel. Kegelapan beserta gerimis telah memayungi hotel dan kawasan sekitarnya. Ou memarkir Pedati di depan hotel, berbicara sebentar dengan kudanya lalu turun mengikuti saya ke lobby hotel. Saya duduk di salah satu kursi dan mempersilahkan Ou duduk di kursi lain di depan saya. Sambil bercakap-cakap, saya mengeluarkan 25.000 kyat dari dompet dan menyerahkannya ke Ou sebagai pembayaran jasa dan tipnya mengantar saya berkeliling hari ini. Harga sewa Pedati 22.000 kyat, namun saya menambah 3000 kyat sebagai tip atas jasa Ou hari ini.
|
That Byin Nyu dari ketinggian Shwegugyi |
Saya kembali ke kamar, beristrahat sejenak lalu mandi air hangat dan dingin berganti-ganti menyegarkan kembali tubuh sekaligus mengusir kepenatan perjalanan hari ini. Setelah itu saya tiduran beberapa menit sambil menghidupkan alarm hp agar membangunkan saya jam 7.30 malam untuk makan malam. Saya terbangun oleh bunyi alarm, kemudian cuci muka, berkumur, memakai celana pendek dan kaos kutung serta sandal. Saya keluar kamar dan hotel menuju restoran langganan saya yang terletak sekitar 50an meter dari hotel. Dari loby hotel saya berjalan melewati resepsionis ke pintu samping kanan, belok kanan menyusuri jalan berlumpur yang baru saja diguyur hujan sore tadi. Saya
|
Restoran favorit saya di Nyaung U, Bagan |
menggunakan sinar HP sebagai penerangan. Tiba di perempatan, saya belok kanan sekali lagi menuju restauran yang terletak sekitar 20 meter dari pertigaan tersebut. Selesai makan malam, saya kembali ke hotel mengepak barang sebagai persiapan pindah ke Mandalay esok hari menggunakan bus pada jam 8 pagi.
Bersambung..