Selasa, 05 Juli 2016

JELAJAH INDONESIA. FLORES: Waerebo, Cancar dan Labuan Bajo

Di depan rumah adat Niang Gendang - Waerebo
Saya dan Timo meninggalkan Waerebo di pagi hari saat para penghuninya masih sedang terlelap. Kabut masih sedang menggantung di ujung subuh saat kami keluar dari rumah adat Niang Gena Maro (baca catatan sebelumnya tentang Waerebo : Negeri di Balik Langit). Saya ingin tiba di Denge secepatnya untuk melanjutkan perjalanan ke Cancar menikmati panorama sawah sarang laba-laba sebelum ke Labuan Bajo. Para ibu yang pagi ini bertugas di dapur telah sibuk menghidupkan api, namun saya tidak ingin menunggu sarapan disajikan. Para ibu akhirnya membekali saya dan Timo sekantong kerupuk singkong yang telah digoreng. Saya juga masih punya sekantong buah markisa yang saya beli kemarin. Dengan modal kerupuk dan buah markisa, saya dan Timo melangkah meninggalkan Waerebo. Perjalanan pulang ke Denge lebih cepat dari perjalanan kami dari Denge ke Waerebo. Kami menempuh waktu 2 jam perjalanan Waerebo ke Denge yang menurut Timo adalah rekor waktu tercepat selama dia menemani para tamu yang datang dan pergi ke Waerebo selama hampir 3 tahun. Rekor yang sama dari Denge ke Waerebo karena kami hanya menempuh jarak 9km dalam waktu 2 jam 45 menit. Waktu tempuh rata-rata yang dibutuhkan pengunjung lainnya berkisar 3-4 jam. 

Jalan Denge - Pos 1
Perjalanan pulang lebih cepat karena jalan yang kami lalui lebih banyak menurun. Saya juga telah hafal kondisi jalan sehingga lebih mudah menapakan kaki di tempat yang tepat :). Setelah melewati Pos 1 (baca catatan sebelumnya tentang Dintor - Waerebo), saya dan Timo bertemu sekelompok turis Perancis di jalan berbatu yang sedang dipadatkan itu. Sekitar 1 kilometer kemudian, kami bertemu sepasang turis lain. Kami saling bertukar sapa dan ngobrol sambil mengaso sejenak. Laki-laki yang berasal dari Australia memakai celana pendek, kaos oblong sandal gunung dan topi. Perempuan yang dari Philipina memakai gaun, sepatu kulit dan topi pantai. Sepasang kekasih berlainan kebangsaan dan gaya.  Saya tak yakin mereka akan tiba di Waerebo melihat gaun dan sepatu yang dipakai perempuan, kata saya ke Timo. Saat kami tiba di Denge, Yudi dan Mako belum tiba menjemput kami. Di tempat ini kami bertemu satu rombongan turis Belanda yang adalah tamu Waerebo lodge (baca catatan sebelumnya tentang Dintor), karena mereka diantar truk pemilik Waerebo lodge yang dikenali Timo. "Timo, coba tanya ke para pemuda itu, apakah mereka mo antar kita ke Dintor. Ntar kita bayar
Denge
masing-masing 10ribu", kata saya ke Timo ketika saya melihat beberapa pemuda bersepeda motor sedang parkir di pinggir jalan. Timo menyampaikan pertanyaan saya dalam bahasa lokal yang dengan senang hati diterima. Saat dalam perjalanan ke Dintor, kami bertemu Yudi dan Mako yang sedang membawa mobil untuk menjemput saya dan Timo.  Saya meminta Yudi dan Mako kembali ke Dintor, sedangkan saya dan Timo melanjutkan dengan sepeda motor yang telah kami sewa.

Tiba di Waerebo lodge, saya mandi lalu berganti pakaian dan sarapan bersama Yudi dan Mako. Timo juga melakukan hal yang sama karena Timo akan menemani kami ke Labuan Bajo. Setelah mengantar saya sampai Labuan Bajo, Yudi dan Mako akan kembali ke Ende melalui Ruteng sehingga Timo bisa numpang di mobil yang sama untuk turun di Ruteng. Selesai sarapan saya menyelesaikan administrasi pembayaran sewa kamar bersama makanan dan minuman yang disediakan istri om Martinus yang adalah pemilik sekaligus pengelola Waerebo lodge di Dintor. Saya hanya membayar 450 ribu rupiah untuk penginapan selama 2 malam bersama makan dan minumnya, termasuk untuk Yudi dan Mako yang menunggu saya kembali dari Waerebo.

Cancar 
Perjalanan kembali dari Dintor ke Ruteng menyediakan 3 pilihan jalan berbeda dengan plus-minus masing-masing. Setelah saya, Yudi, Mako dan Timo mendiskusikan pilihan-pilihan yang tersedia, saya memutuskan kami kembali ke Ruteng melalui jalan yang sama saat kami datang ke Dintor. Saya tidak mau mengambil resiko kehabisan bensin di jalan atau mendapatkan halangan lainnya jika mengambil rute lain walau akan mendapatkan pengalaman berbeda. Setelah melewati jalan berliku yang kadang berlubang-lubang selama hampir 3 jam,  kami tiba di jalan trans Flores di kota Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai. Saya meminta Yudi langsung ke Labuan Bajo dengan mampir sesaat di Cancar. Saya ingin mendapatkan pesona dan keelokan sunset di Labuan Bajo yang pernah saya nikmati tahun 2014 (baca catatan
Cancar
perjalanan di Labuan Bajo pada tahun 2014). Yudi langsung belok kiri dari pertigaan jalan kecil yang kami lalui ke jalan trans Flores yang lebar dan beraspal bagus. 30an menit kemudian kami tiba di Cancar. Yudi membawa kami ke halaman satu rumah penduduk di bawah bukit di pinggir jalan Cancar. Saat kami semua keluar dari mobil, seorang lelaki sedang duduk di kursi plastik seperti sedang menjaga sesuatu di halaman belakang rumah tersebut. Ternyata lelaki tersebut merupakan pemilik rumah yang halamannya akan kami atau pengunjung lain lewati menuju atas bukit di belakang rumahnya guna melihat pesona sawah berbentuk sarang laba-laba. Saya membayar 40ribu rupiah sebagai tiket bagi kami berempat melewati halaman rumah lelaki tersebut menuju bukit pandang sawah laba-laba.

Timo di Cancar
Kami harus mendaki jalan tanah berdebu ke atas bukit setinggi 30an meter. Di beberapa bagian, jalan mendaki tersebut diberi penahan dari kayu sebagai injakan kaki para pengunjung. Saat tiba di atas, kami harus mencari spot strategis untuk melihat sekaligus memotret bentuk sarang laba-laba sawah yang terhampar jauh di lembah. Bukit yang kami daki hanya ditumbuhi semak belukar. Di beberapa bagian tersedia jalan-jalan setapak yang dibuat para pengunjung. Sinar matahari nan terik terasa menggigiti kulit namun tidak bisa dihindari karena tidak ada pepohonan sebagai peneduh di atas bukti tempat kami
Cancar
menikmati keindahan sawah laba-laba. Lembah di bawah bukit dipenuhi barisan sawah laba-laba sejauh mata memandang. Sawah laba-laba merupakan satu-satunya di dunia yang hanya ada di Manggarai, Flores, NTT, Indonesia. Sawah ini disebut Lingko oleh orang Manggarai. Konon, pembagian lahan sawah yang berbentuk sarang laba-laba itu dimulai dari tengah oleh tua adat yang memiliki wewenang dan tanggungjawab untuk itu. Tua adat akan berdiri dan memasang patok pada poros lahan yang akan dijadikan sawah oleh suatu suku. Dari patok itulah ditarik garis ke ujung-ujung terluar lahan. Garis-garis milik keluarga berbeda dalam satu suku itulah yang membentuk pola seperti sarang laba-laba. Setelah memotret sawah laba-laba dari beberapa tempat di atas bukit kami berlalu meninggalkan punggung bukit dan kembali ke halaman pemilik rumah menuju mobil yang kami tinggalkan di situ.

Pelabuhan Labuan Bajo dari kamar hotel Green Hill Butique
Dari Cancar, kami melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo sebagai tempat transit bagi saya menuju Taman Nasional (TN) Komodo. Rencananya saya akan menghabiskan 3 hari di TN Komodo. Saya akan menginap diatas kapal kayu yang telah saya sewa seharga 5,5 juta rupiah selama 3 hari. Sohib, sodara sekaligus teman saya bernama Richard akan bergabung di Labuan Bajo sore ini. Kami akan bertemu dan menginap di hotel yang sama di Labuan Bajo, yakni di Green Hill Boutique Hotel. Setelah menempuh waktu hampir 4 jam melewati barisan perbukitan dan juga sawah hijau seluas ratusan hektar di daerah Lembor, rombongan kami tiba di Labuan Bajo menjelang sore. Yudi kesulitan mencari hotel karena letak hotel tersebut tersembunyi di atas bukit di belakang satu restoran Italia di kota Labuan Bajo. Setelah memutari kota
Pelabuhan Labuan Bajo dari kamar hotel Green Hill Butique
Labuan Bajo 3 kali, akhirnya kami menemukan papan nama hotel yang tergantung bersebelahan dengan papan nama restoran Italia di tepi jalan utama kota Labuan Bajo. Ruang resepsionis berada di pinggir jalan utama yang dipenuhi jejeran berbagai kios, toko, warung, restoran, homestay dan hotel. Yudi, Mako dan Timo memindahkan koper saya ke ruang resepsionis. Setelah menyelesaikan administrasi check in, termasuk pembayaran kamar untuk 1 malam, saya menyelesaikan urusan pembayaran sewa mobil dan jasa Timo menemani saya di Waerebo. Saya berpisah dengan Yudi, Mako dan Timo di resepsionis Green Hill Boutique Hotel. Walau hari telah sore, namun Yudi ingin langsung pulang ke Ende. Mungkin mereka akan menginap di Ruteng sebagaimana rencana di Dintor. 

Sunset di Labuan Bajo dari restoran hotel Green Hill Butique
Seorang staf hotel mengangkat koper saya dan membawanya ke kamar hotel yang berjarak puluhan anak tangga di atas bukit dari ruang resepsionis. Hotel ini hanya memiliki beberapa kamar yang dibangun dalam 2 baris di ketinggian berbeda mengikuti kontur tanah berbukit. Saya mendapatkan satu kamar di bangunan baris depan. Kamar dan interiornya bertema vintage dengan jendela lebar yang terbuka menghadap lautan di kejauhan. Dari kamar, saya bisa melihat kapal dan perahu motor yang melintas di teluk Labuan Bajo. Saat saya sedang berleha-leha di kamar sambil menikmati panorama pelabuhan, saya  menerima khabar melalui WA dari Richard yang telah tiba menggunakan pesawat garuda dari Bali. Ternyata Richard lebih mudah menemukan hotel tempat kami menginap malam ini, karena sopir taksi bandara telah sering mengantar tamu ke hotel ini.

Sunset di Labuan Bajo dari restoran hotel Green Hill Butique
Melalui kamar atau teras depan kamar, para tamu bisa menikmati keindahan senja hari pelabuhan Labuan Bajo. Namun, para staf hotel menginformasikan ke saya bahwa lokasi strategis menikmati sunset adalah di restoran yang berjarak sekitar 20an meter dari kamar. Saya dan Richard memesan minum sore dan minta disediakan di restoran terbuka yang menyediakan pemandangan ke sebagian kota Labuan Bajo di bawah dan juga teluk Labuan Bajo. "Matahari akan menghilang di belakang Pulau Bidadari", kata salah satu staf hotel. Saya hanya mengangguk sambil berpikir, oh ternyata itu pulau Bidadari yang berada dalam daftar kunjungan saya setelah pulau Kanawa di TN Komodo. Letaknya tidak terlalu jauh dari teluk Labuan Bajo karena terlihat dari restoran hotel Green Hill Boutique. Perairan Pulau Bidadari merupakan salah satu lokasi diving dan snorkling di Labuan Bajo. 

Sunset di Labuan Bajo dari restoran hotel Green Hill Butique
Saat sunset menjelang, saya dan Richard berpindah dari teras kamar ke restoran hotel. Warna kekuningan menuju jingga mulai muncul di horison Barat bersama bergulirnya matahari secara perlahan menuju peraduan malam. Semakin lama, semburat jingga langit semakin kuat seiring makin dekatnya perjalanan matahari tiba ke tujuan akhir di malam hari. Bulatan sempurna sang senja menghadirkan pesona tak terkatakan yang hanya bisa dinikmati pada saat yang tepat di tempat yang tepat juga. Kamera DSRL dan HP saya bergantian mendokumentasikan daya magis sunset Labuan Bajo sore itu. Tak ada suara, hanya belaian lembut angin sore terasa samar hingga menghilangnya sang raja siang secara perlahan ke dalam pelukan dewi malam.

Sunset di Labuan Bajo dari restoran hotel Green Hill Butique
Selesai menikmati keindahan sunset Labuan Bajo, saya dan Richard kembali ke teras kamar. Kami bercakap-cakap sambil menunggu om Kancek. Om Kancek adalah penghubung saya di Labuan Bajo yang saya kenal dari teman seorang rekan kerja di Jakarta. Kami telah berkomunikasi beberapa kali melalui telpon untuk mengatur rencana perjalanan saya di TN Komodo. Sekitar jam 7 malam, om Kancek tiba di hotel. Sekali lagi kami membicarakan rencana perjalanan selama 3 hari di TN Komodo sekaligus urusan pelunasan sewa kapal. Om Kancek tidak bisa menemani saya dan Richard karena ada urusan lain. Namun om Kancek menjamin nahkoda kapal telah berpengalaman dan mengetahui semua tempat yang akan kami jelajahi selama 3 hari.
Sunset di Labuan Bajo dari restoran hotel Green Hill Butique
Saya hanya mengiyakan lalu kami berpisah dengan janji akan dijemput dan diantar om Kancek ke kapal esok pagi. Kami keluar bersama dari hotel untuk mentransfer pembayaran kapal, sekaligus saya dan Richard akan mencari makan malam di salah satu warung atau restoran yang bertebaran sepanjang jalan utama kota Labuan Bajo. Kami juga dapat menikmati suasana malam kota kecil yang sedang mengeliat karena telah menjadi destinasi para pengunjung domestik dan manca negara. Di jalan, kami berpapasan dengan beberapa turis manca negara yang berpakaian seadaanya, termasuk hanya memakai sandal jepit. Pakaian khas para divers atau snorklers manca negara seperti yang pernah saya jumpai di Bali dan Lombok.


Salah satu penghuni rumah adat Niang Gendang di Waerebo
Bersambung ke TN Komodo : Pulau Rinca, Pulau Padar dan Pulau Kalong Komodo. 

Minggu, 03 Juli 2016

JELAJAH INDONESIA. FLORES: Waerebo - Negeri di Balik Langit

Kampung adat Waerebo
Waerebo merupakan salah satu dusun di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, NTT.  Dusun ini terletak di ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut. Karena itulah, jalan ke Waerebo merupakan jalan yang terus mendaki sejak dari Denge. Tujuh rumah adat berbentuk kerucut beratap daun rumbia atau lontar merupakan bagian dari dusun Waerebo yang dihuni 40 Kepala Keluarga (KK). Mata pencarian utama penduduk Waerebo adalah bertani kopi dan menenun. Saat saya menjelajah Waerebo, saya menemukan kopi di mana-mana. Pohon-pohon kopi di kebun-kebun penduduk. Biji-biji kopi dalam karung di rumah-rumah penduduk serta biji-biji kopi yang dijemur di halaman-halaman rumah. Para tamu juga disuguhi kopi tumbuk dan teh. Walau saya telah berpantang minum kopi hitam selama beberapa tahun, saat di Bajawa dan Waerebo, saya memilih minum kopi karena ingin menikmati kelezatan kopi Flores yang sangat terkenal.

Atap Niang Gendang / rumah induk 
Asal usul penduduk Waerebo memiliki dua versi. Satu versi menceritakan dongeng turun temurun leluhur lelaki yang berasal dari satu kampung dekat Kota Ruteng saat ini. Versi lain menceritakan leluhur lelaki penduduk Waerebo berasal dari tanah Minang. Kedua versi ini  memiliki kesamaan, yakni perjalanan leluhur lelaki yang perpindah beberapa tempat hingga tiba di Waerebo lalu memutuskan menetap dan beranak pinak di Waerebo. Sejak leluhur lelaki sampai dengan saat ini, Waerebo telah memiliki 19 generasi. Sebagian penduduk Waerebo saat ini berada di kampung Kombo yang menjadi kembaran Waerebo. Di kampung Kombo penghuninya tidak terikat adat untuk membangun dan menjaga rumah-rumah adat sebagaimana di Waerebo. Akses ke pelayanan publik juga lebih mudah di kampung Kombo
Niang Gendang 
dibandingkan kampung asli mereka yang telah menjadi destinasi turis domestik dan manca negara. Waerebo yang menyandang predikit arsitektur tradisional warisan dunia versi UNESCO telah dikelola dengan baik untuk kenyamanan para pengunjung, terurama turis asing yang sering berkunjung dalam jumlah 5-10 orang per rombongan. Selain kopi, ekonomi penduduk Waerebo digerakan oleh kunjungan turis yang puncaknya pada bulan November setiap tahun bersamaan dengan perayaan adat tahun baru Waerebo, demikian cerita pak Rafael - salah satu tetua suku yang menerima kunjungan saya di rumah induk bernama Niang Gendang. Posisi Niang Gendang terletak di tengah dan diapit 6 rumah adat dengan masing-masing 3 di kiri dan 3 di kanan. Posisi Niang Gendang lebih tinggi dari 6 rumah adat lainnya serta memiliki penanda berbeda di bagian atapnya seperti tanduk kerbau. Sedangkan 6 rumah adat lainnya hanya berbentuk seperti huruf I. 

7 rumah adat Waerebo
Ketujuh rumah adat Waerebo disebut Mbaru Niang. Masing-masing rumah memiliki nama sendiri-sendiri. Rumah induk di tengah - yang menjadi tempat wajib bagi setiap tamu masuki saat pertama menginjakan kaki di Waerebo bernama Niang Gendang. Selanjutnya berurutan ke sebelah kanan dari yang terdekat ke Niang Gendang adalah Niang Gena Ndorom, Niang Gena Jekong dan Niang Gena Mandok. Urutan di sebelah kiri dari yang paling dekat ke Niang Gendang adalah Niang Gena Pirum, Niang Gena Jintam dan Niang Gena Maro. Niang Gena Maro dijadikan tempat menginap bagi para pengunjung dan tamu pada hari-hari biasa karena konon katanya tidak ada lagi penerus penghuni rumah adat Niang Gena Maro. Saat dilakukan event tertentu yang dihadiri ratusan pengunjung, ketujuh rumah adat Waerebo difungsikan sebagai penginapan. Masing-masing rumah adat memiliki tinggi 
Niang Gendang diapit Niang Gena Ndorom & Niang Gena Pirum
sekitar 5meter. Masing-masing rumah adat memiliki 5 tingkatan yang memiliki nama dan fungsi berbeda. Rumah induk / Niang Gendang lebih besar dan lebih tinggi dari keenam rumah lainnya. Tingkatan tertinggi atau tingkatan kelima bernama Hekang Kode sebagai tempat para leluhur. Hekang Kode terbuat dari anyaman bambu yang disebut Langkar. Tingkatan keempat disebut Lempa Rae merupakan tempat penyimpanan persediaan makanan atau lumbung pangan. Tingkatan ketiga bernama Lentar sebagai tempat penyimpanan benih tanaman pertanian dan perkebunan. Tingkatan kedua disebut Lobo yang merupakan tempat penyimpanan peralatan makan, minum dan barang lainnya. Tingkatan pertama atau paling bawah bernama Tenda yang menjadi pusat aktibitas para penghuni sebagai kamar tidur, ruang pertemuan, dapur, ruang makan dan sebagainya. Di halaman depan Niang Gedang / rumah induk terdapat altar yang disebut Compak sebagai tempat pelaksanan berbagai upacara adat. Compak merupakan tempat tersuci di kampung Waerebo dan juga kampung-kampung adat lainnya di Manggarai. 

Bersama pak Rafael di dalam Niang Gendang
Rumah Induk atau Niang Gendang tempat saya disambut dan diupacarai secara adat memiliki 8 kamar bagi 8 keluarga. Kamar-kamar ini bersusun melingkar mengikuti bentuk melingkar bagian dalam rumah adatnya. Bagian paling depan sisi kiri dan kanan pintu dijadikan ruang terbuka sebagai ruang duduk dan tidur. Pola pengaturan ruang yang sama berlaku di 5 rumah lainnya.

Berbeda dengan Niang Gendang yang memiliki 8 kamar, kelima rumah lain hanya memiliki 6 kamar yang dihuni 6 keluarga di masing-masing rumah. Sedangkan 1 rumah bernama Niang Gena Maro tidak memiliki kamar karena disediakan bagi para tamu atau pengunjung, demikian ringkasan cerita Pak Rafael dan Timo saat kami meneruskan percakapan setelah selesai acara penerimaan secara adat.



Anak-anak sedang bermain di halaman















Bersama Timo di halaman
Sekitar jam 1 siang, Pak Rafael mempersilahkan saya beristirahat ti rumah adat Niang Gena Maro. Rumah ini terletak di ujung terjauh sebelah kiri Niang Gendang atau rumah pertama di sebelah jalan masuk keluar kompleks. Niang Gena Maro yang diperuntukan bagi para tamu dilengkapi dapur terpisah di belakang. Di bawah rumah dapur yang dibangun berbentuk panggung tersebut telah dibangun kamar mandi dan toilet berjarak sekitar 5 meter dari dapur. Para ibu sedang sibuk menyiapkan makan siang bagi saya dan Timo karena hanya kami berdua yang menjadi tamu siang ini. Kami disuguhi kopi dan buah-buahan terlebih dahulu sebelum makan siang siap dihidangkan. Saya memberikan uang 350ribu ke Timo untuk diserahkan ke para ibu sebagai ongkos menginap bersama makanan dan minuman selama sehari saya berada di Waerebo. Harga tersebut merupakan harga yang disepakati para tetua adat dan diberlakukan Yayasan pengelola rumah-rumah adat Waerebo yang adalah penduduk Waerebo. Harga tersebut berlaku bagi semua pengunjung baik domestik maupun manca negara. "Para ibu yang bertugas mengurus tamu telah memiliki jadwal masing-masing sesuai aturan yang disepakati bersama para tua adat dan Yayasan", kata Timo saat saya menggali lebih jauh urusan dapur. 

Bentuk Niang Gena Maro sama persis dengan Niang Gendang atau rumah induk. Bedanya Niang
Bagian dalam Niang Gena Maro
Gena Maro tidak memiliki kamar seperti di rumah induk dan juga 5 rumah adat lain yang dihuni penduduk Waerebo. Lantai Niang Gena Maro yang terbuat dari bilah-bilah papan telah diberi hamparan tikar tebal sebagai tempat tidur para tamu dari samping pintu masuk melingkar mengikuti bentuk bulat rumah hingga sisi lainnya. Di salah satu sudutnya bertumpuk puluhan bantal dan kain selimut pembungkus tubuh di malam hari saat tidur. Timo memgambil 2 bantal dan 2 selimut bagi kami berdua. Kami memilih tempat di sebelah
Pulang dari kebun di sore hari
kiri pintu masuk sebagai tempat istirahat. Di dinding sisi kiri pintu belakang menuju dapur dijadikan etalase berbagai produk pertanian dan tenunan penduduk Waerebo. Sarung tenunan berbagai bentuk dan warna tergantung rapi. Di bawahnya, di atas lantai papan Niang Gena  Maro disediakan dan dijual kopi Waerebo yang telah dikemas dalam berbagai ukuran. Tersedia juga madu, buah-buahan segar, gelang dan cincin dari akar dan kayu yang diatur rapi di atas lantai tempat gantung sarung tenunan. "Berapa harga kain tenunan ini?, tanya saya ke Timo. Timo meneruskan pertanyaan saya dalam bahasa setempat ke para ibu yang sedang sibuk di dapur. "Lima ratus ribu rupiah", kata Timo setelah mendapatkan jawaban dari dapur. Saya memilih dan membeli 2 kain tenunan serta sebungkus kopi bubuk bermerek Waerebo seharga 60 ribu rupiah.

Menjemur kopi di halaman 
Karena setelah makan siang tidak ada kegiatan, maka saya memilih tiduran sambil ngobrol dengan Timo. Saya sempat terlelap karena saat terbangun Timo sudah tidak berada di samping saya. Saya melihat seorang pemuda sedang asyik dengan laptop di sudut lain rumah adat yang saya tempati. Saya bangun dan menghampiri pemuda tersebut mengajak kenalan dan bercakap-cakap. Namanya Bunga, salah satu staf Yayasan pengelola rumah-rumah adat Waerebo. Bunga sedang mengerjakan pembukuan. Pernah kuliah di Makassar, Sulawesi Selatan. Akhirnya Bunga memilih kembali ke kampung berkerja membantu para tua adat mengelola Yayasan. Bunga merupakan satu-satunya orang muda diantara para orang tua dan anak-anak yang saya jumpai selama saya berada di kampung adat Waerebo.

Pelangi di air terjun pada waktu yang tepat
Timo muncul saat saya sedang asyik bercakap-cakap dengan Bunga. "Pak, mo ke air terjun?, tanya Timo dalam nada mengajak. "Berapa jauh?, tanya saya. "Sekitar 4 kilometer, balas Timo". "Ayo, balas saya memenuhi ajakan Timo sekaligus meninggalkan Bunga yang terus menekuni pembukuan Yayasan. Saya dan Timo keluar dan berjalan beriringan melewati setapak diantara rumah adat Niang Gena Jekong dan Niang Gena Mandok yang berhadapan dengan Niang Gena Maro yang menjadi tempat menginap saya dan Timo atau rumah bagi para tamu. 

Timo di air terjun
Keluar dari kompleks rumah-rumah adatWaerebo, kami berdua berjalan melewati kebun-kebun kopi penduduk yang membuat saya mengetahui penghasilan utama penduduk Waerebo adalah kopi. Setapak yang kami tempuh lebih kecil dari setapak Denge - Waerebo atau sebaliknya (baca catatan sebelumnya tentang Waerebo: Negeri di Balik Langit). Setapak ini hanya selebar 30-40an cm yang merupakan jalan warga Waerebo ke kebun-kebun mereka di lembah maupun punggung-punggung bukit dan gunung sekitar kampung itu. Beruntung saya menggunakan sepatu gunung sehingga saya tidak kesulitan meniti dan menjejak setepak di punggung-punggung gunung yang sangat terjal di beberapa tempat. Kadang saya bahkan harus merangkak dan perpegangan pada akar-akar pohon rambat atau ranting dan batang pohon yang melintang di atas setapak yang sedang kami lalui. Sebelum tiba di air terjun, kami melewati satu sungai berair sangat jernih yang menarik saya ingin mandi di situ, namun Timo meminta saya meneruskan perjalanan kami ke air terjun yang hanya berjarak satu blok lagi di balik sungai itu.

Kolam pemandian dari batu di air terjun Pelangi
Tingginya sekitar 10 meter dengan valume air yang tidak terlalu besar karena sedang puncak musim kemarau yang berdampak pada ketersediaan debit air. Air terjun jatuh ke kolam bulat dari batu dengan garis tengah berukuran sekitar 3-4 meter. Airnya sangat dingin saat saya mencoba mencelupkan tangan ke dalam kolam. Namun, saya ingin menjajal dan menikmati kesegaran air terjun Waerebo di tengah hutan alam ini. Timo menawarkan dirinya mencoba terlebih dahulu. Namun karena kami tidak tahu kedalaman kolam, saya meminta Timo agar mandi langsung di air terjunnya saja. Dengan
Pelangi di air terjun 
hanya mengenakan celana dalam, Timo berjalan sangat hati-hati ke dinding tebing batu di belakang air terjun. Saat Timo sedang asyik mandi di bawah shower air terjun, sinar matahari jatuh tepat ke butir-butir air terjun yang lalu membentuk lingkaran pelangi di air terjun. "Timo, ada pelangi, kata saya menunjuk ke air terjun. Timo tidak bertahan lama di bawah siraman shower alam air terjun. Timo keluar dari siraman shower air terjun sesaat untuk melepaskan dingin air yang memeluk tubuhnya kemudian masuk lagi. Setelah mengulang beberapa kali, Timo akhirnya berhenti dan meninggalkan lokasi air terjun kembali ke tempat kering. Saya menggantikan Timo mencoba shower air terjun yang telah saya duga airnya sangat dingin.  Karena airnya sangat-sangat dingin, saya hanya bisa bertahan 3 kali masuk dan keluar siraman air terjun pelangi itu. Rasa dingin airnya bagaikan air yang baru dikeluarkan dari kulkas atau sedingin es yang membekukan.

Membantu orang tua membereskan jemuran kopi
Berbeda dengan saat saya dan Timo berjalan ke air terjun. Saat kami kembali dari air terjun ke kampung Waerebo, jalan terus menanjak dan mendaki karena lokasi air terjun berada di suatu lembah berjarak sekitar 1 jam perjalanan dari kampung Waerebo. Hari hampir sore saat saya dan Timo tiba kembali di rumah adat Niang Gena Maro. Gumpalan-gumpalan awan sedang berarak di langit biru. Sepertinya hari akan hujan, pikir saya. Beberapa anak perempuan dan laki-laki asyik bermain di halaman menemani para orang tua mereka yang mulai keluar dari 6 rumah adat untuk membereskan dan mengangkat jemuran kopi karena kuatir hujan akan turun. Halaman rumah-rumah adat tersebut terlihat sibuk oleh perempuan dan laki-laki bahkan beberapa anak ikut membantu para orang tua mereka mengumpulkan dan memasukan biji-biji kopi ke dalam karung. Biji-biji kopi yang telah masuk karung diangkut ke masing-masing rumah adat tempat tinggal masing-masing keluarga pemilik kopi yang menjemur kopi di atas terpal di halaman itu.

Pulang dari kebun
Beberapa perempuan dan laki-laki terlihat pulang dari kebun masing-masing sambil memikul kayu bakar ataupun hasil kebun berupa buah dan sayuran. Semuanya berseliweran di halaman bersama kesibukan mengangkat jemuran kopi. Halaman yang awalnya sangat sepi sejak saya dan Timo tiba sampai dengan kepergian kami ke air terjun Pelangi tiba-tiba berubah riuh oleh para penghuni rumah-rumah adat yang keluar ke halaman mengurus jemuran kopi masing-masing. Timo membantu seorang nenek tua yang sedang membereskan jemuran kopinya di salah satu terpal. Selesai membantu sang nenek, Timo bergabung ke pak Rafael yang sedang bercengkerama dengan cucu-cucunya di halaman salah satu rumah adat. Saya mengamati semua kesibukan tersebut sambil memotret. Kesibukan sore di halaman mengejutkan saya yang mengira sebagian besar penghuni sedang berada di kebun. Ternyata dugaan saya salah karena di siang hari sebagai besar penghuni berada dalam rumah adat masing-masing.

Membereskan jemuran kopi
Karena kampung adat Waerebo berada dalam lembah yang dipagari jejeran bukit dan gunung, maka kepergian surya di senja hari tidak terlihat. Senja dengan cepat hadir di Waerebo saat kesibukan membereskan jemuran kopi selesai bersamaan dengan datangnya gerimis yang hanya sesaat. Ketika langit kembali berwarna biru, saya dan Timo telah berganti celana panjang dengan sarung tenunan yang saya beli siang tadi dari para ibu di rumah adat Niang Gena Maro. Saya meminjamkan satu kain tenun itu ke Timo lalu kami berdua bergaya di halaman ketujuh rumah adat untuk foto-foto. Awalnya kami berdua selfie, namun
seorang ayah muda menggendong anak laki-laki menghampiri kami sehingga kami minta foto
bersama sekalian meminta ayah muda tersebut memotret saya dan Timo yang sedang bergaya memakai kain tenunan Manggarai. Saat kami sedang asyik foto, sepasang perempuan dan laki-laki  muda berjalanan memasuki halaman. "Selamat sore, sapa si perempuan muda sambil tersenyum dan mengangguk ramah. Lelaki pasangannya hanya tersenyum dan mengangguk. Kami balas mengucapkan selamat sore. Keduanya berjalan melewati kami menuju rumah induk (Niang Gendang). Sama seperti penyambutan saya secara adat pagi tadi, pak  Rafael telah menunggu di Niang Gendang untuk menyambut mereka secara adat.

Membersihkan kopi
Pasangan laki-laki dan perempuan itu berasal dari tempat berbeda. Laki-laki bernama Agus berasal dari Jawa Tengah dan sedang bekerja di Kupang. Perempuan bernama Sarah berasal dari Manggarai. Agus baru pertama kali ke Waerebo, sedangkan Sarah adalah yang kedua sehingga Sarah yang bertindak sebagai guide bagi Agus, demikian cerita yang saya peroleh saat kami bersama-sama menunggu makan malam disiapkan bagi kami oleh para ibu di Niang Gena Maro. Sebelum makan malam disajikan, jumlah kami bertambah dengan kehadiran seorang bule laki-laki dan seorang perempuan bersama dua guide mereka. Salah satu guide merupakan guide kedua bule tersebut di Lombok karena mereka berkeliling Lombok terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke Waerebo. Di Denge, kedua bule bersama guide dari Lombok ditemani guide lokal sehingga mereka berempat tiba di Waerebo. Sampai pagi berikut, hanya kami berdelapan yang menjadi tamu yang menginap di rumah adat Niang Gena Maro di kampung adat Waerebo. 

Menjemur kopi
Kami berdelapan makan malam sambil ngobrol berbagai hal termasuk berbagi cerita pengalaman perjalanan masing-masing. Saya menceritakan pengalaman saya menjelajah Swiss, termasuk ke puncak bersalju gunung Alpen yang dikenal dengan nama Jungfraujoch. Pasangan bule itu merupakan suami istri bernama Auslug dan Emily yang berasal dari Swiss. "Walaupun saya orang Swiss, saya belum pernah ke Jungfraujoch", timpal Emily merespon cerita perjalanan saya di Swiss (baca catatan perjalanan di Wilderswil, Jungfraujoch dan Interlaken yang telah saya tulis dan publikasikan beberapa bulan silam). "oh ya?, kenapa?", balas saya penasaran. "Mungkin karena saya dan suami orang Swiss ya?, balas Emily sambil tersenyum. Percakapan kami terus mengalir dan berpindah-pindah topik. Suami Emily menceritakan betapa sulitnya dia saat mendaki ke puncak gunung Rinjani di Lombok. "Saya maju satu langkah, mundur 3 langkah", kata Auslug sambil geleng-geleng kepala.

Pulang dari kebun
Masing-masing kami kembali ke tempat duduk sekaligus tempat tidur masing-masing di rumah adat Niang Gena Maro. Saya, Timo bersama Agus dan Sarah menempati sayap kiri rumah adat Niang Gena Maro. Emily, Auslug dan kedua guide mereka menempati sayap kanan rumah adat tersebut. Kami meneruskan cerita sambung menyambung dari tempat istirahat masing-masing. Saat masih sedang bercerita diantara kami, Bagus muncul dari dapur lalu mengajak saya dan Timo berkunjung ke rumahnya yang letaknya bersebelahan dengan rumah adat Niang Gena Maro. Ajakan yang tentu saja disambut gembira oleh saya karena saya bisa melihat bagian dalam rumah adat  lain di lokasi tersebut. Sarah dan Agus ikut bergabung sehingga kami berlima keluar dari Niang Gena Maro dan menjadi tamu di rumah adat Niang Gena Jintam, yakni rumah adat yang menjadi tempat tinggal Bunga dan keluarga besarnya.

Memjemur kopi
Beberapa perempuan dan laki-laki sedang duduk di sekitar perapian yang terletak di tengah-tengah rumah adat Niang Gena Jintam. Anak-anak telah tidur beralaskan tikar di kedua sisi rumah adat itu. Empat laki-laki dewasa sedang duduk merokok sambil ngobrol di salah satu sisi. Bunga membawa kami bergabung ke lokasi para lelaki yang menggeser duduknya untuk memberi tempat bagi kami berlima. Kami berjabatan tangan dan bertukar sapa lalu ikut duduk bergabung ke kelompok para lelaki yang sedang asyik bercakap-cakap. "Nah bagini bagus, jangan hanya tinggal di dalam rumah tamu", kata seorang lelaki diiringi tawa hampir semua penghuni yang masih terjaga di dalam ruang duduk yang berfungsi juga sebagai ruang tidur di rumah adat itu. "Iya, maaf saya tidak tahu bahwa tamu boleh berkunjung ke rumah-rumah adat lainnya", balas saya. "Oh boleh sekali", balas salah satu di antara kelompok kedua yang duduk di tengah dekat perapian. Percakapan antar kami para tamu dengan para tuan dan nyonya rumah berlangsung seru diiringi tawa berderai-derai. Ternyata para penghuni rumah adat yang menerima 
Mengangkat jemuran kopi
tamu adalah orang-orang ramah dan terbuka. "Semua yang tinggal di sini satu keluarga", tanya saya ingin tahu. "Tidak, kami dari keluarga berbeda-beda", balas laki-laki tua yang duduk di samping saya. "Kami dipilih dan disepakati secara adat", lanjut lelaki tua itu meneruskan informasinya. Obrolan kami terus mengalir sambung menyambung satu sama lain. Saya mendapatkan banyak cerita tentang adat budaya hingga tanggal acara tahun baru secara adat oleh penduduk Waerebo yang jatuh pada bulan November. Saya bersama Agus dan Sarah diundang datang kembali di bulan November untuk mengikuti acara tahun baru Waerebo. Saya hanya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum mengingat butuh modal, waktu dan juga tenaga untuk tiba di Waerebo dari Jakarta. Semua lelaki
Bermain di halaman rumah adat
yang menemani kami ngobrol adalah perokok aktif. Asap rokok terus menerus mengepul di antara percakapan kami tentang berbagai hal. Sekitar 30an menit bercakap-cakap, saya mulai batuk-batuk karena tidak tahan menghirup asap rokok para bapak yang dengan gembira ria ngobrol dan menceritakan keseharian, kondisi sosial dan asal usul kampung Waerebo. Karena tidak tahan menghirup asap rokok ditambah asap dari perapian di tengah-tengah rumah adat, saya pamit karena batuk semakin menjadi-jadi dan tubuh juga telah lelah bersama malam yang semakin larut. Saya, Timo, Sarah dan Agus meninggalkan para pemilik kampung adat Waerebo yang dengan ramah telah menerima kami di rumah mereka.

Membantu orang tua
Udara dingin menyergap saya saat kaki saya menuruni tangga rumah. Suasana hangat dan penuh tawa di dalam rumah adat sangat kontras dengan suasana di luar yang dingin dan sunyi. Bahkan suara burung dan serangga malam pun tidak terdengar. Barisan rumah adat dan lingkungan sekitarnya yang dipagari bukit dan gunung bemandikan tamaram cahaya jutaan bintang. Saya terhenyak menikmati pesona malam Waerebo. Saya berdiri sejenak di halaman menikmati suasana tamaram, sepi dan sunyi itu. Saya memandangi pagar alam berwarna kehitaman di kejauhan lalu mendongak memandangi jutaan kerlap kerlip bintang di langit Waerebo. Saat saya masuk kembali ke Niang Gena Maro, semua penghuninya telah tidur. Timo telah membungkus tubuhnya dengan jaket tebal dan bergelung dalam sarung. Saya ambil 
Membersihkan kopi
tempat di sebelah Timo dekat pintu masuk di sisi kiri rumah adat. Saatnya beristirahat memulihkan tenaga guna kembali ke Denge esok hari. Saya sempat terbangun sekali di subuh hari untuk ke toilet. Saat saya keluar ke halaman, suasana sunyi semalam masih menggantung bersama kabut tipis dan hembusan lembut angin dingin membungkus lingkungan sekitar yang menghadirkan romantisme mistis. Saya belok kanan menuju toilet di belakang rumah adat Niang Gena Maro. Selesai urusan toilet, saya cepat-cepat kembali ke dalam rumah dan bergelung lagi dengan selimut untuk menghangatkan tubuh memanen kembali mimpi yang terputus.

Rumah-rumah adat Waerebo



Bersambung...

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...