Minggu, 10 April 2016

JELAJAH DUNIA. JEPANG - KYOTO: Hutan Bambu Arashiyama, Kuil Kiyomizudera.

Hutan bambu Arashiyama di pagi hari
Kyoto masih sedang terlelap saat saya melangkah keluar ryokan Nishikiro menuju stasiun Kyoto. Perjalanan di subuh hari ini adalah menuju hutan bambu Arashiyama yang tidak dapat saya nikmati kemarin siang sampai sore karena ribuan orang berjejal di kawasan tersebut (baca catatan sebelumnya tentang Hiroshima, Stasiun Kyoto dan Hutan Bambu Arashiyama). Dinginnya udara pagi tidak menyurutkan niat dan semangat saya berangkat subuh hari. Sebelum meninggalkan ryokan, saya sempatkan minum teh yang saya buat menggunakan air panas dalam termos serta teh celup dan sepotong biskuit yang disediakan pemilik ryokan di dalam kamar saya. Keluar ryokan, saya ambil arah kiri lalu belok kanan di ujung gang menyusuri gang tersebut menuju jalan utama. Saya mampir di toko kecil - seperti seven eleven atau indomart di Jakarta - yang berada di gang yang sedang saya susuri. Saya membeli air mineral dan biskuit serta coklat batangan sebagai bekal perjalanan hari ini karena saya tidak akan kembali ke ryokan sebelum malam tiba.

Stasiun JR Arashiyama di pagi hari
Selesai belanja bekal, saya kembali menyusuri gang menuju jalan utama yang hanya berjarak dua-puluan meter dari toko. Saya belok kiri menyusuri pedestarian jalan utama sekitar lima puluhan meter hingga tiba di perempatan yang masih sepi. Saya antri menunggu lampu hijau menyala bagi para penyeberang di perempatan tersebut. Saat lampu menyala hijau, saya cepat-cepat menyeberang walau tidak terlihat kendaraan di sekitar situ. Saya menyeberang ke kompleks stasiun Kyoto yang bersisian dengan perempatan tersebut. Saya masuk ke dalam stasiun dan berjalan ke peron kereta JR ke stasiun Arashiyama. Sebagaimana biasa, saya melewati petugas loket JR yang hanya mengangguk saat saya menunjukan JR Pass. Rangkaian gerbong kereta ke stasiun Arashiyama juga masih sepi. Seorang perempuan muda berbalut jaket tebal bertopi bulu terkantuk-kantuk di depan saya saat saya duduk di salah satu bangku dalam gerbong kereta. Hanya beberapa gelintir penumpang yang mengisi gerbong itu saat kereta bergerak meninggalkan stasiun Kyoto menuju Arashiyama.

Hutan bambu Arashiyama di pagi hari
Sekali lagi saya melewati petugas loket JR di stasiun Arashiyama yang hanya mengangguk melihat ke JR Pass yang saya tunjukin. Seorang lelaki berjaket tebal mengenakan jeans dan kupluk penutup kepala terlihat berjalan ke arah stasiun JR Arashiyama saat saya keluar stasiun menuju jalan raya depan stasiun yang telah saya lalui kemarin siang. Dingin udara segar memacu semangat saya kembali menyusuri trotoar jalan yang sangat sepi menuju hutan bambu Arashiyama. Beberapa orang tua berjalan pagi dan sesekali satu atau dua sepeda melintas di jalanan yang sedang saya susuri - jalan ini menghubungkan jalan depan stasiun kereta JR Arashiyama dengan jalan raya depan Kuil Tenryuji menuju jalan kecil ke hutan bambu Arashiyama. "ah, sepi dan segarnya pagi hari ini", pikir saya sambil terus berjalan. Sesekali saya berhenti guna memotret lingkungan sekitar yang sangat berbeda dengan siang hari kemarin - hingga saya tiba di jalan kecil menuju hutan bambu Arashiyama.


Sunrise di hutan bambu Arashiyama
Matahari baru mulai menyembul saat saya menyusuri jalanan kecil yang membelah hutan bambu menjadi dua bagian. Melalui celah-celah pagar, saya mencoba mengabadikan moment sunrise di kawasan tersebut. Saya bertemu beberapa fotografer lain yang sepertinya telah lebih dahulu tiba di situ. Beberapa pejalan kaki - mayoritas berusia tua - berjalan perlahan melintasi jalan yang sama dengan saya, menikmati kesunyian dan kesegaran udara hutan bambu Arashiyama. Saat tiba di pertigaan lokasi kuil yang tidak saya singahi kemarin, saya berjalan lurus lalu masuk ke halaman kuil Nonomi di sebelah kiri jalan.

Kuil Nonomi di dalam kawasan hutan bambu Arashiyama
Dari gerbang dan warna bangunan kuil sangat jelas bahwa kuil Nonomi yang saya kunjungi dalam kompleks hutan bambu Arashiyama merupakan kuil Shinto. Kuil ini terlihat sederhana dibandingkan kuil-kuil lain yang telah saya jelajahi. Walau sederhana, namun keelokannya terlihat mempesona.  Bagian depan, samping dan belakang kuil dipenuhi rimbunan tanaman dan pepohonan berdaun kuning dan hijau. Halaman depan dan jalan kecil di samping sebagai penghubung bagian depan dan belakang dihampari kerikil sehingga debu tidak beterbangan saat umat dan para pengunjung sedang memenuhi kuil tersebut, terutama di siang dan sore hari seperti hari kemarin. Setelah puas melihat-lihat dan mengambil beberapa foto, termasuk foto diri, saya berjalanan meninggalkan kuil. Saya kembali ke pertigaan samping kanan depan kuil guna melanjutkan jelajah saya ke dalam kawasan hutan bambu Arashiyama.

Pre wedding di hutan bambu Arashiyama
Para fotografer dan orang-orang tua yang jalan pagi di hutan bambu itu semakin bertambah. Saya bertemu 2 pasangan berpakaian pengantin yang sedang foto pre-wedding di jalan yang sedang saya lalui. Saya tidak melewatkan kesempatan emas memotret salah satu calon pengantin yang asyik berfoto diatur pengarah gaya dan fotografernya. Saya terus berjalan dan berhenti di beberapa tempat menikmati keindahan dan pesona hutan bambu Arashiyama yang tidak dapat saya nikmati kemarin karena berjibunnya pengunjung. Desau daun-daun bambu tertiup angin pagi bersama pancaran sinar matahari pagi yang mengintip dari sela-sela daun dan pohon menciptakan keindahan lukisan yang mungkin tidak terjadi dua kali bagi masing-masing pengunjung. Kamera saya tidak pernah berhenti memotret sampai saya tiba di ujung seberang hutan bambu yang berbatasan dengan jalan lain sebagai batas akhir kawasan hutan bambu. Saya berdiri menikmati suasana pagi yang sejuk dan indah selama beberapa menit lalu berjalan sangat perlahan kembali ke jalan raya tempat saya masuk ke kawasan hutan bambu Arashiyama.

Jalan dalam kompleks pemukiman
Saya kembali ke stasiun Arashiyama melalui jalan dalam kompleks pemukiman yang membentang dari depan jalan raya di depan jalan kecil ke hutan bambu - sampai depan jalan raya di depan stasiun Arashiyama. Jalan ini berbeda dengan jalan yang biasa dilalui pengunjung yang menuju kuil Tenryuji ataupun hutan bambu Arashiyama. Di siang hari, jalan ini tidak terlihat karena terhalang ratusan orang yang hilir mudik di jalan utama. Karena saya menyusuri jalan dalam pemukiman, maka waktu tempuh menjadi lebih lama karena jalannya berkelok-kelok mengikuti pola pemukiman dalam kompleks yang berbeda dengan jalan bagi pengunjung dan turis yang lurus dari jalan depan stasiun hingga jalan utama depan kompleks Kuil Tenryuji (baca catatan sebelumnya tentang Kuil Tenryuji dan Kuil Kinkakuji). Melalui jalan dalam pemukiman tersebut, saya bisa menikmati berbagai bentuk dan ukuran rumah serta arsitektur minimalis rumah-rumah Jepang. Beberapa rumah memiliki kuil pribadi berukuran kecil di halaman depan. Saya tidak melihat dan menemukan secuil sampah ataupun tempat sampah sepanjang jalan dalam kompleks yang sedang saya lewati. Setelah berbelok beberapa kali - dimana saya tersesat satu kali ke kompleks gudang kereta yang dijaga seorang petugas kereta api - akhirnya saya tiba di jalan raya yang melewati depan stasiun JR Arashiyama. Dari stasiun ini saya menumpang kereta ke stasiun Kyoto karena saya akan menggunakan bis di terminal samping stasiun Kyoto menuju Kuil Ginkakuji yang gagal saya kunjungi kemarin sore.

Terminal bis Kyoto di samping stasiun Kyoto
Terminal bis berada di sisi lain bangunan stasiun sehingga setelah keluar dari kereta JR Arashiyama, saya memasuki bangunan stasiun mencari jalan ke sisi sebelah stasiun yang digunakan sebagai terminal bis. Di lokasi ini tidak terlihat tumpukan bis yang parkir seperti ti terminal-terminal bis di Jakarta. Terminal berbentuk huruf U yang lebar, luas, bersih dan modern tersebut dilengkapi petunjuk nomor bis (berupa huruf) dan nama-nama halte / tempat yang dilewati bis. Saya menuju papan bertuliskan huruf D untuk bis "raku", yakni bis wisata yang hanya melewati lokasi-lokasi wisata di Kyoto. Bis ini terlihat seperti bis reguler lainnya di Kyoto. Tidak seperti bis wisata di Jakarta yang bertingkat dan diberi tulisan "bis wisata". Antrian mulai memanjang saat saya ikut antri lalu memasuki bis yang berhenti di tempat tersebut. Bis penuh sesak dengan para penumpang yang terus berdesakan di dalam bis sampai  penumpang sulit bergerak - seperti naik bis PPD 213 jurusan Kampung Melayu - Grogol di Jakarta pada pagi atau sore hari. Tak berapa lama, bis berjalan keluar dari terminal menyusuri jalanan Kyoto. Sekitar 10an menit dari terminal, bis berhenti di halte terdekat ke kuil Kiyomizudera - yang diumumkan dalam 3 bahasa, sepertinya bahasa Jepang, Cina dan Inggris. Tentunya saya hanya paham pengumuman berbahasa Inggris yang selalu diucapkan paling akhir setelah 2 bahasa lainnya.

Pedestaarian mungil menuju Kiyomizudera
Walau tujuan awal saya adalah mengunjungi Kuil Perak atau Ginkakuji, namun Kuil Kiyomizudera juga berada dalam agenda sehingga saya memilih mengunjungi Kiyomizudera terlebih dahulu mengikuti rute bis. Dengan mengikuti rute bis akan memudahkan saya yang tidak perlu bolak-balik di rute yang sama. Mengikuti pengunjung lainnya, saya menyeberangi pertigaan depan halte lalu berjalan di sisi kanan jalan raya menuju Kuil Kiyomizudera. Bukan hanya kamar hotel yang mungil atau kecil di Jepang, pedestarian (jalan khusus bagi pejalan kaki) ini merupakan pedestarian paling mungil / kecil yang pernah saya temui dalam perjalanan jelajah selama ini. Saking kecilnya, pedestarian ini hanya bisa dilewati satu orang sehingga para pejalan kaki harus berjalan beriringan. Jika berpapasan, maka tubuh harus dimiringkan untuk bisa saling melewati satu sama lain. Beruntunglah sepanjang pedestarian yang sedang saya susuri tersebut saya tidak bertemu orang lain yang berjalan berlawanan arah. Pedestarian mungil tersebut membawa saya dan pengunjung lainnya tiba di suatu pertigaan yang terhubung dengan jalan utama yang barusan saya susuri pedestarian mungilnya. Kiri dan kanan jalan ini dipenuhi jejeran kios yang masih sedang tutup. Saya mengikuti saja orang depan yang belok kanan menyusuri jalan tersebut yang terus mendaki menuju Kuil Kiyomizudera - yang Pagodanya telah terlihat dari kejauhan.

Jejeran kios di jalan menuju Kiyomizudera
"Kiyomizudera secara harafiah artinya Kuil Air Sejati. Kuil ini merupakan salah satu kuil yang paling dihormati di Jepang. Kiyomizudera didirikan tahun 780 pada sisi tebing air terjun Otowa di bagian Timur Kyoto - darimana nama Kiyomizudera berasal, yakni air terjun sejati. Kuil ini diperuntukan bagi para penganut aliran Hosso yang awalnya adalah salah satu sekolah tertua dalam aliran Budha Jepang yang kemudian membentuk aliran tersendiri pada tahun 1965... Panggung kayu Kiyumizudera yang menjorok sejauh 13 meter di atas sisi tebing sangat terkenal. Dari panggung tersebut, para pengunjung mendapatkan pemandangan luar biasa ke rimbunan pohon cerri dan mapel di bawah tebing yang seperti memuculkan lautan warna di musim semi dan musim gugur serta kota Kyoto di kejauhan... "http://www.japan-guide.com/e/e3901.html.

Gerbang luar Kiyomizudera dari samping
Saya mendaki puluhan anak tangga dari gerbang menuju kompleks bagian luar Kuil Kiyomizudera. Saat saya tiba di halaman kompleks Kuil, saya melihat jalan penghubung lain di sebelah kiri yang terhubung langsung ke gerbang luar Kuil berwarna merah. Semua kuil besar di Jepang selalu memiliki 2 gerbang besar dan megah, yakni gerbang luar dan gerbang dalam. Gerbang luar ini langsung berhadapan
Gerbang luar Kiyomizudera dari depan
dengan jalan di bawahnya. Sama seperti jalan yang barusan saya lewati yang dipenuhi jejeran kios, jalanan di bawah gerbang juga dipenuhi jejeran kios yang baru mulai buka. Gerbang luar dan jejeran kios di kiri dan kanan jalan berjarak puluhan meter sehingga kompleks kuil bersih dari para pedagang. Saya berjalan ke sebelah kiri gerbang luar mencari jalan yang lebih sepi dari lalu lalang manusia. Jalan masuk utama yang bertangga-tangga dipenuhi para pengunjung yang semuanya bergerak ke atas menuju Kuil Kiyomizudera yang tersembunyi di balik Pagoda dan kuil-kuil lainnya dalam kompleks. 


Saya tiba di suatu pelataran terbuka yang dipenuhi jejeran pohon mapel berdaun merah karena musim gugur. Di pelataran ini tersedia satu bangku kayu sepanjang 2 meteran. Saya duduk mengasoh di bangku ini sambil menyiapkan kamera. Seorang perempuan muda berwajah kontinental (mungkin Jepang atau Cina atau Korea) terlihat asyik dengan kameranya di tempat tersebut. Praktis hanya ada kami berdua di lokasi tersebut. Sesekali beberapa pengunjung melintas di situ. Saya mulai memotret berbagai obyek, termasuk meminta perempuan tersebut memotret diri saya. Saat saya tawarin sebaliknya, perempuan itu menolak dan asyik sendiri dengan kameranya melakukan selfie. 

Pagoda Kuil Kiyumizudera
Selesai dari pelataran samping kiri kompleks kuil, saya berjalan kembali ke gerbang luar mendaki anak-anak tangga menuju Pagoda berwarna oranye sejauh ratusan meter dari gerbang luar. Di sebelah Pagoda agak ke belakang berjarak 7 meter terdapat satu bangunan kuil didominasi warna putih dengan aksen hitam pupus / coklat tua - seperti Kuil Tenryuji di Arashiyama. Kuil ini berhadapan langsung dengan gerbang jalan bertangga dan gerbang luar hingga jalan yang dijejeri puluhan kios yang menghubungkan kompleks kuil dengan jalan utama berjarak ratusan meter di bawah bukit. Di samping kiri depan Kuil terdapat Pagoda 3 tingkat berwarna oranye. Pagoda dibangun di pelataran yang ditinggikan sekitar 75cm lebih tinggi dari pelataran Kuil. Sebelah kanan Pagoda dan Kuil terhampar kebun yang dipenuhi pepohonan berdaun merah, hijau dan kuning. Di depan Kuil disediakan tempat bagi para pengunjung menaruh harapan dan doa. Perempuan yang saya lihat dan minta tolong memotret saya di pelataran depan juga telah tiba di tempat tersebut. Saya melihat perempuan itu sedang menggantung satu lempengan bertulisan kanji di tempat menggantung harapan dan doa tersebut. 

Keindahan daun musim gugur di kompleks kuil Kiyomizudera
Dari pelataran Pagoda, para pengunjung dan umat bisa melihat ke bawah - ke gerbang luar, jalan di dua sisi yang dijejeri kios souvenir dan makanan. Puas mengamati dan memotret di sekitar Pagoda, saya berjalan ke belakang Pagoda menyusuri halaman luas di belakang. Saya menuju sisi kiri kompleks di atas bukit untuk memotret warna-warni daun rimbunan pepohonan di bawah bukit. Pinggiran bukit diberi pagar besi sebagai pembatas sekaligus mencegah pengunjung jatuh. Sepasang lelaki dan perempuan asyik mengamati dan tersenyum saat saya melakukan selfie menggunakan kamera Canon yang bisa memotret otomatis sebanyak 10x. Ternyata mereka berdua menunggu untuk meminta bantuan saya minta tolong saya memotret mereka di lokasi yang telah saya gunakan. Dengan senang hati saya memenuhi permintaan mereka.

Pagoda kuil Kiyumizudera
Saya terus berjalan menuju tempat penjualan karcis yang dijaga perempuan dan laki-laki berkimono warna hitam pupus dengan
ikat kepala bertulisan kanji. Dua laki-laki dengan pakaian yang sama berjaga di halaman depan loket mengarahkan para pengunjung ke loket penjualan karcis tersebut. Karena daftar kunjungan saya masih banyak, saya memutuskan hanya mendokumentasikan kompleks luar Kuil Kiyomizudera. Saya kuatir tidak punya cukup waktu ke Kuil Ginkakuji yang menjadi tujuan utama jelajah saya hari ini. Walau tidak membeli karcis masuk, saya masih bisa mengelilingi kompleks sampai ke depan gerbang dalam yang dijaga para petugas pemeriksa karcis. Karena itu, dari depan loket penjualan karcis saya berjalan ke kiri mengikuti para pengunjung yang telah membeli karcis hingga tiba di gerbang dalam. Karena saya tidak memiliki karcis, maka saya tidak bisa masuk ke bagian dalam. Saya berjalan-jalan di sekitar gerbang mendokumentasikan berbagai obyek di sekitar situ, termasuk sisi luar kuil Kiyomizudera yang terlihat sangat tua dimakan usia.



Pengunjung berombongan di samping gerbang luar 
Selesai memotret berbagai obyek menarik di sekitar kuil utama, saya berjalan balik ke Pagoda dan meneruskan langkah ke gerbang luar. Sekelompok pelajar berseragam biru dongker ditemani para guru dan pemandu wisata sedang mengatur diri di atas tangga sisi kiri gerbang untuk berfoto dalam group yang lumayan besar karena mereka berjumlah puluhan orang. Saya menikmati keriuhan suasana tersebut sejenak lalu ikut mengambil foto saat mereka selesai mengatur kelompoknya. Setelah itu saya balik arah melanjutkan perjalanan menuruni tangga depan gerbang luar lalu berbaur dengan pengunjung
lain yang juga sedang berjalan ke jalan utama. Kami berpapasan dengan ratusan orang yang berjalan
Tempat doa dan harapan umat
sendiri atau berdua atau berkelompok mendaki ke kuil Kiyomizudera. Saya mampir ke berapa kios souvenirs melihat-lihat dan membeli barang yang cocok. Selain souvenir berbentuk samurai mini, saya juga membeli beberapa magnet kulkas sebagai oleh-oleh. Saya mampir juga ke kios penjual bakpau yang sedang mengukus bakpau di depan kios di pinggir jalan tersebut. Asap putih mengepul diiringi keharuman bakpau menarik saya mampir ke kios tersebut. Saya duduk di bangku panjang sepanjang dinding dalam kios yang diberi bantal-bantal empuk. Saya memesan satu bakpau yang disuguhkan dalam kantong kertas oleh penjualnya. Saya menikmati bakpau tersebut sambil bercakap-cakap dengan perempuan yang lebih muda. Sedangkan perempuan yang lebih tua terlihat seperti ibu perempuan muda tersebut tetap asyik dengan panci kukusan dan melayani para pembeli yang antri di pinggir jalan tersebut.

Bakpau yang saya beli di salah satu kios
Jalan yang dijejeri puluhan kios tersebut semakin sesak dengan manusia yang pulang atau sebaliknya yang baru tiba. Saya terus berjalan hingga tiba di pertigaan yang mempertemukan jalan ke Kuil dengan jalan utama. Saya belok kiri menyusuri pedestarian mini menuju pertigaan utama lalu menyeberang dan menunggu bis "raku" di halte tempat saya turun 3 jam lalu. Bis yang saya tunggu tiba dan menurunkan penumpang yang akan ke Kuil Kiyomizudera. Saya dan beberapa penumpang lain naik lalu bis melanjutkan perjalanan ke Kuil Ginkakuji. Dalam perjalanannya, bis berhenti di beberapa halte yang dekat dengan tempat-tempat wisata lain di Kyoto. Saya terus berada dalam bis karena tujuan utama hari ini adalah Kuil Ginkakuji. Sekitar 30an menit, bis menurunkan saya di halte terdekat ke Kuil Ginkakuji. Tidak ada petunjuk di halte tempat saya turun. Karena itu, saya berdiri di halte mengamat-amati sekeliling saya, terutama orang-orang yang lalu lalang di sekitar lokasi tersebut sambil membuka peta offline mencoba menemukan arah Kuil Ginkakuji.

Pedestarian ke kuil Ginkakuji
Setelah memperkirakan letak Kuil, saya menyeberangi jalan menuju pedestarian selebar 2 meter dalam naungan jejeran pohon sakura yang telah berguguran daunnya sehingga hanya terlihat batang dan ranting. Saya berjalan menyusuri pedestarian tersebut sampai tiba di satu pertigaan dimana saya melihat 3 pengemudi rickshaw sedang berdiri menunggu penumpang. Saya menyeberang lalu menghampiri salah satu dari mereka menanyakan harga. Dengan bahasa Inggris yang terbatas, pengemudi tersebut menunjukan rute jalan yang dilalui dengan masing-masing harga yang terdiri dari 4000, 6000 dan 7000yen. Karena saya hanya ingin merasakan sensasi naik rickshaw, maka saya memilih harga termurah, yakni 4000 yen atau sekitar 500ribu rupiah. Setelah berfoto dengan pengemudi, saya dipersilahkan naik dan duduk di bangku berlapis beludru merah. Di bawah bangku diberi pemanas, karena bangku yang saya duduki terasa hangat. Setelah saya duduk, pengemudi menutup bagian bawah tubuh saya dengan selimut tebal berwarna merah.

Bersama Taichi
Semua rickshaw dilengkapi kanopi yang dapat dibuka tutup untuk melindungi penumpang dari terik matahari atau hujan. Karena hari tidak hujan dan tidak terik, saya meminta kanopi tetap dibuka guna memudahkan saya menikmati landscape perjalanan sekaligus memotret. Saat saya telah duduk nyaman, pengemudi mengangkat 2 kayu penarik rickshaw di kiri dan kanan yang terhubung ke badan rickshaw yang sedang saya duduki. Kedua kayu penarik tersebut dipasang setinggi pinggang dan pengemudi mulai berjalan menarik rickshaw. Di bagian jalan yang mendaki, pengemudi berjalan membelakangi jalan atau menghadap saya sambil sesekali menjawab pertanyaan saya. Saya mencoba ngobrol, namun dengan keterbatasan bahasa Inggris pengemudi, saya akhirnya berhenti dan hanya menanyakan hal-hal singkat. Namanya Taichi, berusia 26 tahun. Menjadi pengemudi rickshaw telah dilakoni selama 4 tahun, demikian sepotong cerita yang saya peroleh sambil berjalan.

Bersama Taichi
Singkat cerita, Taichi mengantar saya hingga tiba di jalan depan gerbang Kuil Ginkakuji. Saya turun lalu membayar ongkos yang telah disepakati. Sebelum berpisah, sekali lagi saya dan Taichi sempatkan memotret diri kami dengan meminta bantuan teman Taichi yang sedang berada di lokasi tersebut. Taichi memberikan saya satu kartu bertulisan aksara Jepang. "ini kartu diskon untuk pemakaian richshaw di tempat lain" kata Taichi dalam bahasa Inggris. "is it valid in Tokyo?, tanya saya. "yes, balas Taichi. saya menerima dan mengucapkan terima kasih lalu berjalan ke gerbang kuil Ginkakuji.

Bersambung...



Minggu, 03 April 2016

JELAJAH INDONESIA - JAWA TENGAH. SEMARANG: Lawang Sewu dan Kota Lama

Lawang Sewu di sore hari
Hari hampir senja saat saya tiba di Lawang Sewu yang terletak di depan Bundaran Tugu Pemuda / Muda. Sisi depan bangunan warisan Belanda ini menghadap jalan arteri yang cukup ramai. Sekeliling kompleks dipagari pagar besi berwarna hitam setinggi 3 meteran. Udin mencari tempat parkir di luar kompleks bagian samping yang dilintasi sungai. Saya keluar dari mobil dan berjalan ke gerbang yang cukup ramai oleh lalu lalang pengunjung yang masuk dan keluar. Loket karcis terletak di samping kiri gerbang dilihat dari jalan raya. Jika dilihat dari dalam kompleks, maka loket karcis terletak di sisi kanan. 2 petugas keamanan berjaga di depan gerbang. Mereka mengarahkan setiap pengunjung ke loket karcis, termasuk saya.
Lawang Sewu di malam hari
Setelah membeli karcis, saya melenggang masuk ke halaman. Di sebelah kanan saya terhampar halaman hijau yang cukup luas. Saya berjalan ke hamparan rerumputan secara hati-hati agar tidak menginjak rumput dan tanaman lainnya. Saya mencari posisi strategis pengambilan foto-foto Lawang Sewu dari sisi samping. Selesai sisi samping yang berhadapan dalam satu garis lurus ke bundaran dan tugu Pemuda di luar kompleks, saya berjalan ke belakang hingga tiba di pintu berpalang - seperti di stasiun kereta Jakarta - Bogor - yang dijaga seorang petugas keamanan berpakaian safari biru gelap. Saya menyerahkan karcis masuk yang telah saya beli di gerbang depan. Petugas merobek karcis sekaligus mempersilahkan saya melewati pintu berpalang. Saya berjalan lurus ke halaman belakang Lawang Sewu menuju satu pohon besar dan rindang yang mungkin usianya setua Lawang Sewi.

Halaman belakang Lawang Sewu
"Bangunan Lawang Sewu dibangun pada 27 Februari 1904 dengan nama lain Her hoodkantor van de Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (Kantor Pusat NIS). Awalnya kegiatan administrasi perkantoran dilakukan di Stasiun Semarang Gudang (Semarang NIS), namun dengan berkembangnya jalur jaringan kereta yang sangat pesat, mengakibatkan bertambahnya personil teknis dan tenaga administasi yang tidak sedikit seiring berkembangnya administrasi perkantoran. Akibatnya kantor NIS stasiun Semarang tidak lagi memadai... NIS mempercayakan rancangan kantor pusat NIS Semarang kepada Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Quendang, arsitek yang berdomisili di Amsterdam. Seluruh proses perancangan dilakukan di Belanda, baru kemudian gambar-gambar dibawa ke Kota Semarang. Melihat dari cetak biru Lawang Sewu tertulis bahwasite plan dan denah bangunan ini telah digambar di Amsterdam pada tahun 1903. Begitu pula kelengkapan kerjanya dibuat dan ditandatangani di Amsterdam tahun 1903", https://id.wikipedia.org/wiki/Lawang_Sewu.

Jendela dan pintu-pintu Lawang Sewu - lantai 2 
Lawang Sewu atau Seribu Pintu merupakan sebutan masyarakat setempat terhadap bangunan yang memiliki pintu dan jendela sangat banyak. Bangunan ini berlantai dua dan berbentuk U. Di bagian belakang huruf U tersebut terdapat bangunan lain yang berdiri sendiri dengan arsitektur yang sama, namun berbentuk bangunan rumah daripada bangunan kantor sebagaimana Lawang Sewu. Konon, rumah tersebut merupakan tempat tinggal kepala kantor NIS. Seluruh bangunan didominasi warna putih dengan aksen hitam pupus / coklat tua pada pintu, jendela dan balok-baloknya. Setelah memotret sisi dalam, termasuk rumah kepala stasiun, saya berjalan lurus memasuki salah satu sisi bangunan. Dari lantai dasar saya naik ke lantai 2 menikmati arsitektur dan suasana senja di luar yang makin sejuk dan tamaram. Semua ruangan di lantai 1 dan 2 dipisahkan satu lorong lurus dari depan hingga
Lawang Sewu 
belakang. Selain pintu-pintu yang menghadap lorong di dalam dan balkon di lantai 2, semua ruangan memiliki pintu penghubung satu sama lain dalam satu garis sehingga jika dilihat dari suatu bagian akan terlihat membentuk satu garis lurus yang semakin jauh semakin kecil. Jendela-jendela besar berwarna hitam seukuran pintu membuat semua ruangan bermandikan cahaya dan udara. Kamera saya tak berhenti mendokumentasikan keelokan Lawang Sewu seiring kekaguman saya terhadap warisan sejarah itu bersama tekad pemerintah daerah dan masyarakat melestarikannya. Tak terlihat secuil pun sampah di tempat-tempat yang telah saya telusuri.

Salah satu lorong Lawang Sewu


Saya berpindah dari samping belakang ke depan melewati sisi berlawanan dari sisi yang telah saya lalui sehingga saya bisa memutari dan melihat seluruh bangunan utama Lawang Sewu dari bagian luarnya. Di bagian depan sebelum pintu utama - yang ditutup bagi umum - terdapat satu kereta kuno yang dilestarikan. Mungkin untuk mengingatkan para pengunjung bahwa Lawang Sewu yang indah tersebut adalah kantor NIS pada masanya. Setelah puas memotret, saya berjalan menuju gerbang. Namun saya tidak langsung keluar gerbang, saya berdiri menikmati suasana sekitar di batas hamparan halaman berumput yang telah saya lewati saat memasuki kompleks tersebut. Malam mulai turun seiring kilauan lampu jalan, rumah penduduk dan juga bangunan-bangunan di kota Semarang.





Stasiun Tawang di malah hari
Saya meninggalkan Lawang Sewu menuju Kota Lama Semarang dengan tujuan pertama Stasiun Tawang. Stasiun ini juga merupakan bangunan warisan Belanda berarsitektur Eropa abad pertengahan. Mobil yang saya gunakan parkir di pinggir jalan luar kompleks stasiun. Saya keluar mobil dan berjalan ke gerbang kompleks yang telah saya lewati. Dari gerbang saya belok kanan menyusuri jalanan dalam kompleks yang dilalui para penumpang maupun kendaraan bermotor pengantar dan penjemput. Kekunoan bangunan stasiun yang dimahkotai cahaya lampu menampilkan pesona Eropa di tempat tersebut. Saya duduk menyelip diantara para calon penumpang, pengantar, penjemput dan para porter
Stasiun Tawang
yang sedang nongkrong sambil ngobrol atau merokok di tembok rendah pembatas tempat parkir dan bangunan stasiun - menikmati keindahan malam bangunan stasiun. Setelah puas menikmati pesona bangunan dalam diam, saya bangun dan berjalan menjelajah bangunan stasiun dari ujung ke ujung sekaligus medokumentasikan keindahannya.

Bangunan utama stasiun berwarna putih dengan model bangunan bertumpuk / bersusun 3 yang semakin kecil ke atas.  Pada puncak bangunan bertengger kubah persegi berwarna putih namun disinari cahaya hijau di malam hari. Arsitektur bangunan ini mirip dengan Lawang Sewu atau Museum Fatahilah di Jakarta. Bagian pertama / bawah dilengkapi selasar / teras terbuka dengan pintu masuk berbentuk kubah di masing-
Stasiun Tawang di malam hari
masing sisi dan 3 di bagian depannya. "Bangunan ini diresmikan tanggal 19 Juli 1868. Nama Tawang diambil dari kampung di dekat stasiun, yakni Tawangsari" https://id.wikipedia.org/wiki/Stasiun_ Semarang_Tawang.  Selesai menikmati dan mendokumentasikan stasiun Tawang Semarang, saya berjalan kembali ke gerbang lalu menyeberangi jalan raya menuju Podler (tempat penampungan air) yang semarak dalam germerlap cahaya lampu malam Kota Semarang. Puluhan orang sedang duduk santai menikmati malam di pinggiran Podler. Keempat sisi podler seluas lapangan sepak bola tersebut dikelilingi jalan bagi kendaraan dan manusia. Salah satu sisinya langsung berbatasan dengan jejeran bangunan tua Kota Lama Semarang. Saya sempatkan berjalan di 2 sisi menikmati aktivitas para pengunjung lain yang asyik dengan kesibukan masing-masing.

Restoran depan Gereja Blenduk
Sekitar 30an menit menikmati suasana malam di Podler dan sekitarnya, saya dan Udin meninggalkan lokasi tersebut menuju Gereja Blenduk - yang adalah salah satu ikon Kota Lama Semarang. Mobil diparkir di depan salah satu bangunan tua tak berpenghuni yang gelap gulita. Hanya lampu jalan yang sedikit menerangi sekitarnya. Jalan depan Gereja Blenduk sangat ramai oleh lalu lalang kendaraan di kedua sisinya. Di halaman gedung sebelah kiri terlihat puluhan motor parkir di halaman gereja. Sekitar 20an meter di sisi kiri berdiri jejeran warung makanan yang sangat ramai. Di seberang jalan depan gereja berjejer bangunan-bangunan tua yang ruang bawahnya difungsikan sebagai restoran, warung dan lainnya. Selesai memotret keindahan gereja Blenduk di malam hari, saya mengajak Udin mampir makan malam di restoran 29 di depan gereja Blenduk. Lokasi gereja dan sekitarnya merupakan akhir perjalanan saya malam ini. Selesai makan malam, Udin mengantar saya ke hotel Horison untuk melabuhkan tubuh menanti pagi guna berpindah ke kawasan Dieng di Kabupaten Wonosobo.

Gereja Blenduk di malam hari
Subuh hari, saya telah meninggalkan kamar hotel menuju kawasan Kota Lama. Saya ingin menjelajah dan mendokumentasikan kawasan tersebut di pagi hari. Saya meminta sopir taksi menurunkan saya di depan Gereja Blenduk. Selesai mendokumentasikan bagian depan gereja, saya menyeberang dan berjalan ke bagian belakang gereja melalui jalan kecil di samping gereja. Jalanan ini seperti melingkari kompleks gereja sehingga saya tiba di sisi sebelah gereja yang semalam digunakan sebagai tempat parkir puluhan sepeda motor. Di sisi ini terdapat satu taman asri yang cukup terawat.
Gereja Blenduk di pagi hari
Beberapa warga terlihat sedang duduk-duduk di taman. Sedangkan di samping dan di dalam gereja terlihat aktivitas umat yang akan beribadah minggu. Setelah memotret semua sisi gereja, saya berjalan keluar melalui taman menyusuri gang yang berada di samping taman mengarah ke Podler dan stasiun Tawang yang berada di arah sebelah kiri saya dari taman itu. Saat menghentikan satu becak yang kebetulan lewat. Saya meminta bapak tua pengemudi becak mengantar saya ke Podler dan stasiun Tawang. Di beberapa tempat yang kami lewati, saya meminta bapak pengemudi becak berhenti beberapa menit guna memberikan waktu pada saya memotret berbagai monumen warisan masa lalu.

Stasiun Tawang di pagi hari
Di salah satu sudut Podler yang berbatasan dengan jejeran bangunan tua, saya turun dan membayar becak yang saya tumpangi. Di sudut ini terlihat satu bangunan tua berwarna merah cerah yang terlihat sangat terawat - yang adalah pabrik rokok. Dari perempatan jalan pemukiman tersebut saya berjalan ke arah stasiun Tawang yang berada puluhan meter di seberang jalan raya. Secara kebetulan saya melihat sunrise di Podler yang semalam telah saya kunjungi. Saya tak menyia-nyiakan momen sunrise yang tidak saya ketahui sebelumnya. Beberapa orang terlihat jalan dan lari pagi mengitari Podler. Beberapa lain hanya duduk-duduk menikmati pagi hari yang sangat tenang. Hanya suara kendaraan di jalan yang menderu
Sunrise di Podler 
saat melewati jalan raya yang memisahkan kompleks stasiun Tawang dan Podler.

Selesai menjelajah dan memotret stasiun Tawang di pagi itu, saya kembali menyebarangi jalan menuju Podler menyusuri jalanan yang telah saya lalui sebelumnya. Di perempatan depan pabrik rokok berwarna merah itu, saya belok kanan menelusuri sisi seberang jalanan depan pabrik rokok. Saya masuk keluar berbagai gang di Kota Lama mendokumentasikan berbagai bangunan tua yang sebagian besar tidak berpenghuni.
Salah satu bangunan tua di Kota Lama Semarang
Saya terus berjalan hingga tiba di jalan raya depan kantor Pos yang juga merupakan salah satu bangunan tua warisan sejarah. Selesai memotret Kantor Pos dan sekitarnya, saya meminta seorang tukang ojek mengantar saya kembali ke hotel, karena saya tidak mendapatkan taksi di pinggir jalan depan Kantor Pos.

Bersambung...

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...