Sabtu, 20 Februari 2016

JELAJAH JEPANG: HIROSHIMA - Peace Memorial Building, Hiroshima Peace Memorial Park dan Cenotaph for A-Bomb Victims

Dalam gerbong Shinkansen ke Hiroshima
Perjalanan kereta Shinkansen dari stasiun Shin Osaka ke Hiroshima ditempuh dalam waktu sekitar 2jam 30 menit dengan mampir di beberapa stasiun kota-kota lain sebelum tiba di Hiroshima. Karena saya mulai terbiasa dengan sistem kereta api di Jepang, maka saya sudah tidak disorientasi dan bingung saat turun di stasiun Hiroshima. Stasiun Hiroshima berada dalam suatu bangunan modern 2 lantai. Selain peron kereta dalam dan luar kota, stasiun juga diisi mall, supermatket, restoran dan berbagai toko. Stasiun ini memiliki 2 pintu keluar, yakni Utara dan Selatan.  Karena belum mengetahui letak hotel yang telah saya pesan di sekitar stasiun, maka saya berjalan menuju pintu selatan. Sebagaimana biasa, saya harus menunjukan JR Pass saya ke petugas di loket samping pintu keluar masuk. Saat saya menunjukan JR Pass sekalian saya menanyakan letak hotel Grandvia Hiroshima. "North Gate", kata petugas menunjuk ke dalam bangunan stasiun. "Arigato", balas saya sambil tersenyum. Saya berjalan kembali ke dalam bangunan stasiun lalu belok kanan mengikuti arah informasi digital di langit-langit stasiun yang menunjukan arah ke Pintu Utara. Sebelum tiba di Pintu Utara, saya harus sekali lagi melewati pintu masuk keluar di dalam bangunan stasiun yang juga bergandengan dengan loket petugas stasiun. Karena bagian menuju Pintu Utara tersebut merupakan stasiun Shinkansen. Setelah menunjukan JR Pass, saya melewati pintu tak berpalang di samping loket terus menuju Utara.

Sepotong Hiroshima dari kamar hotel Grandvia
Di ujung bangunan menuju Pintu Utara, saya diberi pilihan turun menggunakan eskalator atau tangga ke lantai dasar karena ternyata tempat saya dan para penumpang lain hilir mudik saat ini berada di lantai 1. Karena saya membawa koper, maka saya memilih menggunakan eskalator. Tiba di lantai dasar, saya belok kiri mengikuti tanda panah dan informasi tertulis dalam bahasa Inggris. Puluhan meter dari eskalator dan tangga di lantai dasar, saya menemukan pintu keluar ke halaman stasiun. Saat saya keluar pintu, saya melihat bangunan hotel Grandvia Hiroshima berada di sebelah kiri saya berjarak sekitar 100 meter dari Pintu Utara. Ternyata hotel ini berada tepat di samping stasiun Hiroshima. Halaman depan Pintu Utara sekaligus merupakan tempat parkir kendaraan pribadi dan bis dimana halte bis tepat di samping pintu masuk keluar hotel Grandvia berjarak sekitar 30an meter.

Loby hotel Grandvia Hiroshima
Kehangatan udara Hiroshima menjelang siang berganti kesejukan AC saat saya memasuki hotel. Tidak ada petugas yang berjaga di depan pintu seperti di hotel-hotel berbintang di Indonesia yang biasanya dijaga sekuriti pemeriksa bom dan petugas buka dan tutup pintu. Dari pintu masuk dan keluar saya belok kanan ke meja resepsionis. Setelah berada di dalam hotel barulah saya tahu bahwa hotel dan stasiun memiliki jalan penghubung di lantai 1 alias saya dan para tamu hotel yang akan menggunakan kereta bisa langsung menuju stasiun Shinkansen melalui jalan penghubung tersebut yang hanya dibatasi satu pintu otomatis terbuka saat ada orang yang akan lewat.  Saya menyerahkan paspor dan bukti tertulis pemesanan kamar. Sambil check in, saya menanyakan ketersediaan bus gratis bagi tamu hotel ke tempat-tempat wisata di Hiroshima - informasi ini telah saya peroleh di internet saat membaca review para tamu yang pernah menginap di hotel Grandvia Hiroshima. Resepsionis perempuan yang melayani saya mengambil brosur informasi berwarna merah yang didalamnya telah tersedia rute dan halte-halte ke tempat-tempat yang akan dikunjungi dari hotel dan kembali lagi ke hotel. Saya hanya perlu menunjukan brosur tersebut bersama JR Pass saya ke sopir bis kata resepsionis. Setelah saya menerima tanda bukti titip koper dan bukti bayar kamar
Suasana kota Hiroshima
selama 1 malam seharga 10.400 yen atau sekitar 1,3juta rupiah tanpa makan pagi, saya bergegas keluar ke halaman hotel depan Pintu Utara stasiun Hiroshima. Banyak orang sedang antri di lokasi tersebut dalam beberapa baris menunggu bis tujuan berbeda. Hanya sedikit yang antri di halte bis wisata Hirsohima. Saya cepat-cepat ikut antrian karena bis yang didominasi warna merah seperti warna brosur yang saya pegang terlihat menuju halte tempat para calon penumpang sedang antri.

Bis wisata ini merupakan jenis bis sedang seperti bis-bis kopaja dan metromini di
Suasana kota Hiroshima
Jakarta, namun kondisinya berbeda sangat jauh bagaikan bumi dan langit dengan kopaja atau metromini di Jakarta. Saya menunjukan brosur wisata Hiroshima bersama kartu JR Pass saya ke sopir. Sopir memotret JR Pass saya menggunakan kamera saku lalu mengangguk. Saya masuk dan memilih kursi sebelah kanan di belakang sopir dengan pertimbangan memudahkan saya keluar karena  bisnya hanya memiliki satu pintu masuk keluar di depan samping sopir. Dari halte depan hotel, bis menuju gerbang lalu belok kiri menyusuri jalanan Hiroshima menjelang siang hari. Saat bis menyusuri jalan-jalan Hiroshima serta menurunkan dan menaikan penumpang di halte-halte, saya melihat suatu kota yang sangat modern dan tertata rapi. Jalan-jalannya lurus bersama bangunan-bangunan modern vertikal. Tak terlihat sedikitpun ketradisionalan Jepang di Hiroshima.

Prasasti dan reruntuhan bangunan bom atom
Bis berhenti di beberapa halte menurunkan sekaligus menaikan penumpang sebelum tiba di halte reruntuhan bangunan yang menjadi peringatan bom atom Hiroshima. Tujuan utama saya mengunjungi Hiroshima adalah mengunjungi tugu peringatan bersejarah tersebut. Sebelum tiba di setiap halte, pengumuman dalam bahasa Jepang dan Inggris selalu disampaikan melalui rekaman suara yang telah disiapkan. Di kiri atas kepala sopir juga tersedia informasi digital  tentang halte tujuan sehingga memudahkan penumpang bis mencocokan dengan brosur yang dipegangnya. Saya turun di halte Hiroshima Peace Memorial atau the Atomic Bomb Dome dalam bahasa Inggris atau Genbaku Domu dalam bahasa Jepang atau Kubah Perdamaian Mengenang Hiroshima dalam bahasa Indonesia. Bangunan Hiroshima Peace Memorial tidak jauh dari halte tersebut. Bangunan ini didesain oleh seorang arsitek Chenya bernama Jan Letzel pada tahun 1915. Saya melangkah memasuki kompleks terbuka bangunan peringatan bom atom Hiroshima tersebut. Reruntuhan bangunan dipagari
Satu-satunya yang tertinggal dari bom atom Hiroshima
pagar besi dan dikeliling taman yang dipenuhi pepohonan rindang serta air mancur kecil di samping belakang. Dua prasasti dalam bahasa Jepang dan Inggris dibangun di halaman depan berisi informasi latar belakang bom atom Hiroshima.  Samping kanan kompleks monumen tersebut dibatasi pedestarian yang bersisian dengan sungai Aioi. Konon sungai tersebut dipenuhi mayat dari 70.000 korban mati saat bom atom terjadi pada tahun 1945. Saat saya berada di tempat tersebut, sungai terlihat sangat bersih dan rapi. Saya berkeliling lokasi sekitar bersama pengunjung lain yang juga asyik memotret dan melihat-lihat. Di sudut kanan depan berbatasan dengan sungai dibangun patung perempuan, laki-laki dan anak-anak
Sudut kanan kawasan reruntuhan bangunan bom atom
mengeliling satu prasasti batu setinggi 2 meter. Saya duduk di salah satu batu sambil merenung dan mengamati reruntuhan bangunan yang kerangkanya masih terlihat kokoh. Sesekali terlihat para turis sedang melayari sungai berair jernih yang memisahkan lokasi reruntuhan bangunan Hiroshima Peace Memorial dengan Hiroshima Memorial Park. Tak sedikitpun saya membaui sengatan sengitnya bau busuk sungai-sungai di Jakarta di tempat tersebut. Sepoi angin siang dan kerindangan dedaunan pohon halaman depan Hiroshima Peace Memorial terasa menenangkan. Sepanjang pedestarian dari depan jalan hingga jembatan
Sungai Hiroshima yang dulu penuh mayat korban bom atom
Aioi yang melintasi sungai ke taman terlihat keindahaan perubahan warna-warni daun pohon di musim gugur. Keindahan dan keelokan yang menjadi alasan saya mengunjungi dan menjelajah Jepang hingga tiba dan menjelajah Hiroshima di siang hari ini.

Setelah puas menikmati kawasan sekitar, saya mulai menyusuri pedestarian di samping sungai sambil sesekali memotret. Reruntuhan bangunan Hiroshima Peace Memorial merupakan obyek utama seluruh pengunjung di siang hari itu. Seorang lelaki paruh baya - sepertinya orang Asia Selatan - meminta saya memotret dirinya dengan latar reruntuhan bangunan
Pedestarian penghubung lokasi reruntuhan dengan taman
peninggalan bom atom Hiroshima.  Selesai memotret lelaki tersebut saya melanjutkan perjalanan ke halaman belakang. Di sudut halaman belakang berbatasan dengan pedestarian disediakan papan informasi berisi foto dan tulisan yang menceritakan sejarah gedung dan bom atom. Saya antri di belakang pengunjung lain menunggu giliran bisa membaca sekaligus memotret informasi yang tersedia. Dari tempat tersebut saya belok kiri menuju air mancur kecil yang terletak sekitar 15an meter. Sekitar air mancur terdapat beberapa pedagang buku-buku sejarah Hiroshima dan bom atom dalam bahasa Jepang. Saya melihat-lihat sesaat kemudian mengucapkan terima kasih dan berjalan kembali
Air mancur dalam lokasi reruntuhan bangunan bom atom
ke pedestarian meneruskan jelajah saya.

Saya tiba di pertigaan dekat jembatan yang melintas di atas sungai Hiroshima. Di sebelah kiri saya terdapat 3 resto yang dipenuhi pengunjung. Kemungkinan sebagian besar adalah turis dan penjelajah seperti saya yang sedang berada di kawasan sekitar situ. Saya menyeberang jalan menuju salah satu restoran. Tujuan saya adalah restoran Jepang yang terletak persis di depan jalan yang sedang saya seberangi. Namun karena penuh, saya berjalan terus ke samping restoran Jepang tersebut lalu masuk ke satu restoran lain yang menyediakan menu makan Italia yang didominasi spageti. Pelayan mempersilahkan saya masuk dan mengantar saya ke satu meja kosong. Saya memilih menu makan siang terdiri dari makanan pembuka, makanan utama berupa spageti tiram dan makanan penutup ditambah bonus 1 es krim. Saya membayar 1250yen atau sekitar 140ribu rupiah untuk 1 set makan siang yang saya habiskan.

Hiroshima Memorial Park
Saya mampir di stan eskrim di sebelah kanan depan restoran untuk mengambil jatah eskrim saya. Pelayan mengatakan es krim favorit di tempat tersebut adalah es krim macha atau es krim teh hijau yang tentunya saya ingin coba. Setelah menerima es krim, saya berjalan membelakangi restoran menuju jembatan guna menyeberang ke Hiroshima Memorial Park atau Taman Kenangan Hiroshima. Puluhan pengunjung perempuan dan laki-laki dewasa, tua hingga anak-anak hilir mudik di kawasan tersebut. Beberapa bahkan berdiri menopangkan tangan ke palang-palang jembatan menikmati aliran air sungai di bawah
Hiroshima Memorial Park
atau sekedar memandang diam kawasan sekitar. Tiba di ujung jembatan, saya belok kiri menyusuri jalan setapak di pinggir sungai menuju bagian dalam taman. Saya tiba di kompleks museum peringatan bom atom Hiroshima yang terletak di bawah tanah. Karena saya tidak punya banyak waktu, saya terus berjalan menyusuri jalanan dalam taman yang sepi. Saya menikmati reruntuhan dedaunan musim gugur yang seperti sengaja dibiarkan bertebaran di atas tanah dalam taman tersebut. Sedangkan diatasnya pohon-pohon berhiaskan warna-warni daun kuning, merah dan hijau.

Cenotaph for A-Bomb Victims
Ujung jalan dalam taman yang saya susuri membawa saya ke suatu pelataran terbuka seluas ratusan meter persegi yang masih berada dalam taman. Puluhan meter dari ujung jalan yang saya susuri terlihat tugu peringatan para korban bom atom yang disebut Cenopath for A Bom Victims. Tugu berbentuk kanopi penutup kereta kuda di Eropa abad pertengahan terlihat direnungi beberapa pengunjung. Saya memotret dan berjalan ke tugu peringatan tersebut. Di depan tugu berjarak sekitar 2 meter ada pengunjung yang meletakan karangan bunga lalu menundukan kepala seperti berdoa. Saya hanya berdiri bisu memperhatikan aktivitas para pengunjung yang khusuk berdoa sambil mencoba memotret tanpa mengganggu mereka.
Susana kota Hiroshima
Saat saya perhatikan dengan teliti, saya dapat melihat reruntuhan bangunan bom atom dari ruang terbuka kanopi tugu peringatan para korban bom atom. Dengan kata lain, tugu peringatan ini berada dalam satu garis lurus dengan satu-satunya reruntuhan bangunan bom atom. Saya heran karena secara fisik dan kasat mata seharusnya reruntuhan bangunan tersebut berada di sebelah kanan taman saat saya berdiri menghadap tugu Cenotaph for A-Bomb Victims. Kawasan sekitar terasa sangat lenggang karena luasnya taman dibanding sedikit pengunjung. Hal yang bagus bagi saya karena dengan demikian saya dapat memotret dengan leluasa tanpa terhalang hilir mudik manusia di kawasan tersebut.

Sungai Aioi yang memisahkan lokasi reruntuhan dan taman
Dari lokasi Cenotaph for A-Bomb Victims, saya berjalan arah jalan raya melewati taman yang cukup luas. Sesekali saya berhenti dan duduk di bangku-bangku kayu bersandaran dalam taman tersebut menikmati sepi dan tenangnya Hiroshima Memorial Park tersebut. Setelah puas berkeliling dan memotret, saya berjalan ke jalan raya dan menyeberangi jembatan di sisi lain menuju halte tempat saya turun sekitar 1 jam silam. Saat saya masih berada dalam jarak seratus meter, bis wisata warna merah terlihat mendekati halte tersebut. Saya berlari kencang menuju halte guna tidak ketinggalan bis karena pasti saya harus menunggu sekitar 30an menit lagi jika saya terlambat. Dengan nafas tersengal-sengal saya tiba di
Jembatan sekaligus pedestarian di atas sungai Hiroshima
halte dan langsung melompat ke dalam bis. Brosur dan JR Pass saya tunjukin ke sopir lalu masuk ke dalam bis menempati salah satu kursi kosong. Ternyata bis melaju memutari taman hingga tiba di bagian seberang lalu belok kiri di lampu merah mengarah kembali ke stasiun Hiroshima dan hotel Grandvia. Setelah menempuh perjalanan sekitar 15 menit dari halte depan reruntuhan bangunan Hiroshima Peace Memorial, bis tiba di halte Pintu Utara stasiun Hiroshima. Saya bergegas turun dan berlari ke dalam stasiun mengejar waktu sekaligus kereta ke Itsukushima guna mengunjungi Kuil Miyajima di Pulau tersebut.


Sudut lain kota Hiroshima




Bersambung


JELAJAH INDONESIA. JAWA TENGAH: Perjalanan Semarang ke Candi-Candi Gedong Songo.

Depan Warung Soto Ibu Mirah
Pesawat Garuda yang saya tumpangi mendarat mulus di Airport Achmad Yani di Semarang pada jam 7 pagi. Saya harus menunggu sekitar 30an menit karena mobil yang akan saya gunakan mengunjungi beberapa tempat di hari pertama Jelajah Jawa Tengah belum tiba. Udin meminta maaf berkali-kali atas keterlambatannya. "Tidak apa-apa", kata saya menenangkannya sambil tersenyum. "Kita mampir ke tempat sarapan yang ada di sekitar jalan yang kita lalui", kata saya ke Udin. "Mo sarapan apa, tanya Udin. "makanan khas Semarang saja", balas saya. sekitar 15an menit kemudian, Udin menghentikan mobil di jejeran ruko 2 lantai di salah satu tempat tak jauh dari jalan raya yang kami lalui.

Warung Soto Ibu Mirah ini berada di ujung jejeran bangunan ruko. Saya harus menunggu beberapa saat karena semua bangku dan meja dipenuhi para pengunjung yang asyik menikmati sarapan masing-masing. Meja dan bangku kayu diatur berjejer rapi dalam bangunan ruko tersebut. Di ujung belakang sebelah kanan terdapat meja dengan bahan2 soto yang diracik seorang ibu paruh baya yang juga bertindak sebagai kasir. Sambil menunggu, saya memesan seporsi soto dan segelas teh manis panas sehingga saat saya mendapatkan tempat duduk, makanan dan minuman yang saya pesan segera terhidang. Di atas meja juga tersedia sate ayam, sate sapi dan sate telur puyuh yang semuanya telah direbus matang yang ditaruh dalam 1 baskom sedang ditutupi plastik transparan. Di meja
Meracik soto sekaligus kasir
tersebut juga tersedia beberapa jenis kerupuk dan potongan-potongan tempe goreng. Hidangan ini mengingatkan saya pada hidangan sejenis di restoran soto gading kesukaan saya di samping stasiun Duren Kalibata, Jakarta yang telah digusur dan entah pindah kemana. Dengan lahap saya menghabiskan sarapan tersebut bersama 3 tusuk sate. Udin yang menemani saya sarapan telah selesai dan sedang menikmati rokoknya di halaman. Selesai sarapan, saya menuju ibu paru baya yang menjadi kasir di ujung belakang warung tersebut.  "Berapa bu", tanya saya kepada si ibu yang terlihat sibuk mengatur para pelayan sekaligus  mengurus pembayaran para pengunjung. "lima enam, kata si ibu sambil mulutnya komat-kamit menghitung tambahan sate dan tempe yang saya dan Udin habiskan. "murah amat, batin saya sambil memberikan 60 ribu rupiah. Saya keluar menuju mobil setelah menerima uang kembalian. Saat di halaman, saya melihat toko Indomaret di ujung lain jejeran ruko tersebut. Saya memutuskan mampir ke Indomaret membeli biskuit, air mineral dan juga rokok untuk Udin.

Salah satu keindahan Indonesia
Sekitar 30an menit menyusuri jalanan dari warung tersebut menuju kompleks candi Gedong Songo, mobil tiba di hamparan sawah berundak yang sedang menghijau. Saya meminta Udin menghentikan mobil di pinggir jalan. Saya turun  memotret gratis salah satu keindahan Indonesia di tepi jalan tersebut. Tak puas memotret dari pinggir jalan, saya turun ke pematang sawah yang terletak lebih rendah sekitar 1 meter dari pinggir jalan. Dari pematang, saya memotret lebih dekat para ibu yang sedang menanam padi. Saya bercakap-cakap beberapa saat dengan seorang ibu sambil minta izin memotret. "mo taroh di TV mana?, saya malu karena basah dan kotor", kata si ibu sambil senyum malu. "Buat saya saja bu" balas saya, sambil memotret ibu yang mulai tertawa. Saya terus berjalan menyusuri pematang mencari
Kesibukan ibu-ibu petani di pagi hari
sudut lain memotret sawah dan aktifitas para ibu sekaligus mencari jalan kembali ke jalan raya. Udin sedang asyik merokok di pinggir jalan dekat mobil saat saya tiba. Saya dan Udin melanjutkan perjalanan melewati gunung, lembah, desa dan kota wilayah Jawa Tengah menuju Gedong Songo. Berbagai pemandangan ganti berganti memanjakan mata sepanjang perjalanan Semarang - Gedong Songo. Hembusan udara segar terus membelai wajah dan hidung saya dari jendela mobil yang sengaja saya biarakan terbuka 1/4 bagian demi menikmati perjalanan jelajah saya di Jawa Tengah.

Denah dan keterangan kompleks candi Gedong Songo
Kami tiba sekitar jam 10.00 pagi di pertigaan menuju kompleks Candi Gedong Songo. Jalan menuju kompleks candi sedang dalam perbaikan, namun karena masih pagi, maka belum terlalu banyak kendaraan berseliweran yang dapat mengakibatkan kemacetan. Jalanan terus mendaki dan meliuk ke kiri dan ke kanan saat mobil menelusuri jalanan ke kompleks candi. Sepanjang perjalanan saya melihat restoran, homestay dan hotel menyembul di antara pemukiman. Udara semakin terasa sejuk bersama mentari pagi yang sepertinya mengintip malu di antara barisan awan kelabu dan putih bagaikan kapas. Parkiran mobil masih lapang saat kami tiba sehingga Udin dengan mudah memarkir mobil. Udin memilih menunggu di sekitar tempat parkir sedangkan saya keluar dari mobil dan berjalan menuju loket tiket masuk yang terletak di ketinggian 1 meter berjarak sekitar 5 meter dari parkiran mobil. Setelah mengantongi tiket masuk seharga 7.500 rupiah, saya berjalan menuju gerbang yang dijaga 2 petugas laki-laki. Saya menyerahkan tiket lalu berjalan masuk. Saya memilih jalur kiri menuju denah kompleks candi. Di area tersebut juga hadir beberapa tukang kuda yang menawarkan jasa penyewaan kuda seharga 80.000 rupiah sekali pakai mengelilingi kompleks candi yang cukup luas dan berbukit-bukit tersebut.

Menikmati keindahan dan keelokan Gedong Songo
Gedong artinya rumah sedangkan Songo artinya sembilan dalam bahasa Jawa. Jadi Gedong Songo
artinya Sembilan Rumah yang adalah penamaan bagi 9 candi di kompleks Gedong Songo yang berada di lereng Gunung Unggaran. Walau disebut Gedong Songo atau sembilan candi, namun candi-candi Gedong Songo hanya ada dalam 5 kelompok yang disebut Gedong I, II, III, IV dan V. Kompleks candi dikeliling hutan pinus lebat yang terlihat sangat hijau saat saya berkeliling di lokasi tersebut. Candi-candi tersebut dibangun dalam kelompok terpisah-pisah yang jarak satu dengan lainnya cukup jauh sehingga memerlukan waktu sekitar 2 - 3 jam bagi pengunjung yang ingin melihat semua candi tersebut dengan kondisi jalan mendaki dan menurun
dalam kondisi sangat bagus. Saya memutuskan menggunakan kuda mengelilingi kompleks percandian tersebut. Tukang kuda menuntun kuda saya sekitar 5 menit lalu menyerahkan kendali kuda ke saya. Karena saya memiliki pengalaman naik kuda masa kecil di desa, maka saya mudah menyesuaikan diri dengan kuda yang sedang saya naiki dan kendalikan. "Jika jalan menurun, badan dimiringkan ke belakang, jika mendaki, badan dimiringkan ke depan, sedangkan saat datar, badan tegak lurus", kata tukang kuda sambil mengiringi saya. "siap bang", balas saya sambil mengendalikan kuda berjalan perlahan agar tukang kuda tidak tertinggal.

Candi Gedong I
Kuda saya jalankan perlahan menikmati kesegaran dan kesejukan udara pegunungan yang bersih serta kehangatan sinar mentari pagi. Jalan berbatu terus mendaki melewati hutan-hutan kecil yang seperti memagari candi-candi di lokasi-lokasi terpisah. Perhentian pertama berjarak sekitar 1km dari tempat saya menaiki kuda. Di lokasi berbentuk pelataran terbuka tersebut tersedia tempat duduk yang digunakan para penunggung kuda amatir seperti saya sebagai alas kaki naik dan turun dari kuda. Berapa pendopo dengan para pedagang kaki lima mengisi pelataran tersebut - menyediakan tempat istrahat bagi para pengunjung. Setelah turun dari kuda, saya berjalan ke kanan lalu mendaki tangga-tangga batu menuju kompleks candi di atas bukit. Kompleks yang saya kunjungi tersebut disebut Gedong I yang terdiri dari 1 candi utuh dan 2 reruntuhan yang belum selesai ditata kembali menjadi bangunan candi. Candi-candi Gedong Songo  merupakan candi Hindu seperti candi Prambanan di Yogyakarta. Ciri khas candi Hindu adalah pada bentuk bangunan yang ramping atau langsing. Saya masuk ke satu-satunya candi utuh di kompleks tersebut guna melongok bagian dalam candi. Ruang dalam terlihat lembab serta adanya bekas-bekas pembakaran dupa dan sisa-sisa sesembahan. Selain saya, candi Gedong I juga sedang
Candi Gedong I
dikunjungi rombongan anak-anak SD berseragam pramuka dipimpin seorang guru. Lagu-lagu perjuangan yang dikumandangkan anak-anak itu membuat bulu kuduk merinding. Saya melihat-lihat dan mengambil beberapa foto bangunan candi dan kawasan sekitar, termasuk beberapa anak yang saya minta foto bersama. Dengan senang hati beberapa anak bergabung foto bersama - keramahan khas Indonesia pikir saya saat asyik berpose bersama generasi masa depan bangsa ini.

Naik dan turun kuda ke lokasi candi Gedong I
Saya kembali ke tukang kuda yang sedang menunggu dengan setia di pelataran berjarak 100an meter dari lokasi candi Gedong I. Kami melanjutkan perjalanan ke lokasi Gedong II sampai dengan V. Ratusan orang terlihat hilir mudik, terutama kelompok-kelompok anak sekolah dasar. Jalanan mendaki, menurun dan berkelok-kelok. Lereng Gunung Unggaran dipenuhi pepohonan rimbun seperti pagar yang memagari kompleks Gedong Songo. Sebelum mencapai lokasi candi Gedong II, saya melewati sumber air panas yang mengepulkan asap keputihan bersama bau belerang yang cukup kuat. Saya hanya sempat berfoto di
lokasi tersebut lalu melanjutkan perjalanan ke Gedong II. Lokasi Gedong II yang berbentuk persegi empat tersebut terletak di bawah jalan dengan beda ketinggian sekitar 2 meter.  Dengan hati-hati saya menapak turun dari sisi kanan halaman Gedong II.  Dalam pelataran persegi empat tersebut terdapat
Siap menuju candi Gedong II
sepasang candi berbentuk sama. Namun saat saya mendekat untuk mengamati arsitekturnya, kedua candi tersebut memiliki perbedaan detail ukiran dewa-dewi di dinding-dinding luarnya. Dari percandian Gedong II, saya dan tukang kuda meneruskan perjalanan ke Gedong III sampai dengan V. Setelah itu kami meniti jalan pulang ke gerbang naik-turun kuda. Hari semakin siang, pengunjung semakin ramai di kawasan sekitar. Karena kompleks Gedong Songo sangat luas, maka para pengunjung tidak menumpuk dan bergerombol di lokasi tertentu saja. Para pengunjung baik individu, berpasangan ataupun berkelompok 3-6 orang tersebar di hampir seluruh area yang tidak dilarang aksesnya oleh pengelola.

Candi Gedong II
Turun dari kuda, saya menyerahkan 100 ribu rupiah ke tukang kuda sebagai pembayaran atas jasanya. Tarif PP dari gerbang kedatangan dan keberangkatan menggunakan kuda adalah 80ribu rupiah dengan waktu tempuh sekitar 2 jam. Setelah menyerahkan kembali tali kekang kuda dan mengucapkan terima kasih, saya berjalan ke toilet yang terletak di samping kanan lokasi naik-turun kuda. Selesai dari toilet, saya menyusuri jalanan menurun melewati para pedangang souvenirs, makanan dan minuman menuju tempat parkir. Udin sedang asyik merokok dan minum kopi bersama 3 lelaki lain di pendopo sebelah tempat parkir. Mungkin sesama sopir, pikir saya. Saat melihat saya menghampiri mobil, Udin pamit
Jalan setapak dalam kompleks Gedong Songo
dari teman-temannya dan berjalan ke mobil.

Rencananya selesai dari Gedong Songo, kami akan mengunjungi Pagoda Budhagaya Watugong di Unggaran. Namun dalam obrolan di mobil, Udin mengusulkan mampir di Taman Gua Maria Kereb Ambarawa sebelum ke Pagoda. Tentu saja saya tidak menolak usulan tersebut, karena Udin lebih tahu tempat-tempat menarik yang dapat saya kunjungi dan jelajahi, namun tidak saya peroleh infornya di internet. Karena saya menyetujui usulannya, Udin mengarahkan mobil ke lokasi Taman Gua Maria Kereb Ambarawa yang berjarak sekitar 45 menit perjalanan mobil dari kawasan percandian Gedong Songo.

Menuju Taman Gua Maria Kereb Ambarawa





Bersambung...




Sabtu, 13 Februari 2016

JELAJAH JEPANG: OSAKA - Minoo Park

Minoo park di pagi hari
Keluar dari kereta di stasiun Umeda, saya harus berpindah  ke Hankyu Umeda Station di lantai dan sisi lain stasiun tersebut guna mendapatkan kereta Hankyu Takarazuka Line. Di peron 9 dan 10 telah tersedia rangkaian kereta warna merah maroon. Saya masuk ke kereta di peron 10 yang telah siap berangkat. Dari peta rute kereta yang saya peroleh di bagian informasi stasiun Umeda dan dari informasi online yang telah saya simpan di HP, saya akan turun dan berganti kereta di stasiun Ishibashi guna menuju stasiun Minoo. Waktu tempuh kereta dari stasiun Umeda ke Ishibashi sekitar 25 menit melewati beberapa stasiun lain.

Saya turun dan berganti kereta di stasiun Ishibashi, yakni berpindah ke kereta di jalur Hankyu Minoo
Minoo park di pagi hari
atau Hankyu Minoo Line. Stasiun Minoo hanya berjarak 1 stasiun dari Ishibashi (seperti dari stasiun Sudirman atau Cikini ke Manggarai di Jakarta). Total seluruh biaya yang dibutuhkan dari stasiun Umeda ke Minoo adalah 270 yen atau sekitar 31.000 rupiah sekali jalan. Karena saya menggunakan tiket terusan 1 hari seharga 1000 yen atau 120.000 rupiah yang berlaku di seluruh Osaka - yang telah saya beli siang hari saat akan ke Shitennoji, maka saya tidak perlu lagi membeli tiket di stasiun kedatangan dan keberangkatan (baca catatan perjalanan sebelumnya).

Saya turun di stasiun Ishibashi lalu berjalan mengikuti penumpang lainnya melewati lorong bawah tanah menuju peron sebelah. Di ujung lorong saya bertemu persimpangan yang memisahkan penumpang ke 2 jurusan berbeda. Saya mengambil jalur 2 di sebelah kanan mengikuti informasi tertulis di dinding lorong. Saya mendaki tangga menuju peron kereta di atas tanah. Saya muncul di sisi seberang stasiun Ishibashi yang berhadapan dengan peron tempat saya turun dari kereta yang telah membawa saya dari stasiun Umeda.

Minoo park di malam hari
Sekitar 5 menit menunggu di stasiun yang sepi dan sangat bersih tersebut, kereta berwarna maroon berhenti dan menurunkan semua penumpangnya alias kereta ini hanya melayani 1 stasiun yakni dari Minoo ke Ishibashi atau sebaliknya. Saya bersama para penumpang lain yang sedang menunggu di stasiun Ishibashi segera naik kereta tersebut yang tidak berapa lama telah berangkat ke stasiun Minoo. Dengan waktu tempuh sekitar 5 menit, kereta telah tiba di stasiun Minoo. Saya bersama penumpang lainnya turun dari kereta. Kami disambut udara dingin dan lampu-lampu tamaram stasiun dan sekitarnya. Hari telah malam di Minoo dan mungkin seluruh Jepang pada saat tersebut.

Depan stasiun Minoo di malam hari
Saya hanya perlu menempelkan tiket terusan di salah satu pintu berpalang di stasiun guna keluar dari stasiun menuju Minoo park. keluar dari stasiun saya melakukan orientasi lingkungan dengan berjalan-jalan di sekitar depan stasiun sambil memotret beberapa obyek menarik dalam pendaran cahaya lampu malam.

Jalan ke Minoo park di depan stasiun Minoo
Akses ke Minoo park tepat berada di depan stasiun Minoo. Keluar dari halaman stasiun yang terbuka - hanya dibatasi bangunan-bangunan lain yang berjejer di sepanjang jalan sekitar stasiun - pengunjung hanya perlu menyeberangi jalan raya depan stasiun lalu mulai menyusuri jalanan ke Minoo park. Jalanan Minoo park dijejeri kios-kios souvenir, snacks, hotel, restoran, pepohonan berbagai jenis dan kuil. Taman ini memanjang 3 km dari jalan depan stasiun hingga air terjun di perbukitan yang mengalir ke sungai Minoo di taman Minoo. Saat saya berjalan menyusuri jalan Minoo park di malam hari itu, saya bertemu ratusan orang yang berjalan berlawanan arah alias berjalan pulang menuju stasiun Minoo. Hanya beberapa orang yang terlihat berjalan searah saya di depan atau belakang menuju air terjun. Lampu jalan berwarna kekuningan menyala tamaram menerangi jalanan yang sedang saya susuri. Di lokasi tertentu, lampu-lampu tersebut sengaja dipasang menyoroti keindahan warna warni merah, kuning dan hijau dedaunan musim gugur. Kios-kios souvenir dan snacks terlihat mulai tutup. Saya mampir di salah satu kios yang masih buka dan menjual kue berbentuk daun maple. Penjualnya seorang lelaki paruh baya dan pemuda seperti ayah dan anak atau paman dan keponakan yang dengan ramah melayani para pembeli. Saya memilih sepotong kue panas berisi coklat sebesar telapak tangan. Saya meneruskan perjalanan menyusuri jalanan tamaram Minoo Park sambil menggigit dan mengucah pelan-pelan kue tersebut, merasakan kelembutan dan sensasi kenikmatannya.

Kios souvenir masih buka
Udara dingin sangat terasa, walau kerah jaket telah saya tinggikan guna menghangatkan tubuh. Semakin jauh dari stasiun Minoo, suasana taman semakin sepi. Hanya sesekali saya melihat beberapa orang di depan atau belakang yang sedang berjalan searah saya terus menuju air terjun di dinding perbukitan. Jarak antar bangunan juga semakin jarang dan jauh. Saya tiba di satu kompleks jejeran kios yang mulai tutup. Di kompleks ini tersedia toilet umum. Saya mampir menggunakan toilet yang masih buka tersebut. Selesai dari toilet, saya bertanya pada seorang ibu paruh baya yang sedang menutup lapaknya "apakah air terjun masih jauh", tanya saya menggunakan bahasa Inggris. "half way of your way from station" balas ibu tersebut. Saya bimbang apakah meneruskan perjalanan ke air terjun atau kembali ke hotel. Saya kuatir tidak mendapatkan kereta kembali ke hotel karena hari semakin malam. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya memutuskan memutar haluan berjalan balik ke stasiun Minoo.

Dalam perjalanan balik ke stasiun saya masih bertemu beberapa orang yang berjalan lawan arah menuju air terjun. Saya menjadi ragu-ragu apakah pulang ke hotel atau mengikuti orang-orang tersebut ke air terjun. Setelah berjalan bolak-balik dua kali di daerah tersebut, saya menguatkan tekad
Jalan dalam Minoo park yang sepi di malam hari
pulang ke hotel dan akan kembali ke Minoo park besok paginya. Stasiun sangat sepi saat saya tiba di peron menunggu kereta. Rasanya seperti jam 11 malam waktu Jakarta. Dari seorang petugas di stasiun tersebut, saya mendapatkan informasi jam layanan kereta Umeda - Minoo PP adalah sampai dengan jam 9 malam. Karena waktu menunjukan jam 8.20, maka saya tenang-tenang saja menunggu kereta di stasiun tersebut. Tak lama menunggu kereta tiba. Saya masuk ke kereta bersama beberapa orang lain. Kereta terasa kosong karena tidak membawa banyak penumpang.


Menu makan malam di stasiun Shin Osaka
Rute perjalanan balik sama dengan rute perjalanan saya dari Umeda ke Ishibashi lalu berganti kereta dan melanjutkan ke stasiun Minoo. Saat tiba di stasiun Umeda sekitar jam 9 malam, stasiun tersebut masih lumayan ramai oleh lalu lalang para penumpang kereta dari berbagai tempat. Mengikuti petunjuk yang terpampang jelas di dalam stasiun, saya dengan mudah menemukan peron kereta yang akan menuju stasiun Shin Osaka.

Saya sempatkan makan malam di salah satu resto di stasiun Shin Osaka. Karena restoran sangat ramai, maka saya harus menunggu beberapa menit untuk mendapatkan tempat. Setelah mendapat tempat, saya meminta menu yang ternyata ditulis dalam huruf Jepang. Karena itu, saya menunjuk salah satu contoh jenis makanan yang berada di lemari displai depan resto sebagai makanan yang saya pesan bersama secangkir teh panas. Kemungkinan hanya saya lah orang asing di restoran tersebut karena dari amatan saya semua pengunjung yang sedang asyik makan dan minum bercakap-cakap dalam bahasa Jepang. Kebanyakan pengunjung menikmati makan malam ditemani gelas-gelas besar bir. Orang Jepang ternyata peminum
Makan malam di stasiun Shin Osaka - ada nasi di bawah lauk
bir, batin saya. Saya menikmati makan malam berupa nasi dan potongan-potongan ikan mentah bersama sayuran yang dibumbui bumbu khas Jepang. Bumbunya terasa khas dan enak. Saya menikmati makanan tersebut hingga tak bersisa. Sekitar 30an menit saya habiskan di restoran tersebut. Setelah menyelesaikan pembayaran sekitar 100ribu rupiah, saya keluar dari restoran mengambil arah kanan menuju pintu Timur stasiun. Di ujung jalan dalam bangunan stasiun tersedia pilihan keluar dari stasiun menggunakan tangga atau lift. Saya memilih menggunakan lift karena kaki saya telah cukup pegal seharian berjalan ke berbagai tempat berbeda di  Osaka. Tiba di lantai dasar, saya keluar dari lift berjalan beberapa meter menuju jalan raya depan stasiun. Saya ikut antri di belakang 4 orang yang sedang antri di lampu merah guna menyeberang jalan. Setelah tiba di seberang, saya belok kanan menyusuri pedestarian yang telah sangat sepi menuju hotel Station Shin Osaka tempat saya menghabiskan malam ini di Osaka.

Kamar tidur di Hotel Station Shin Osaka
Saya bangun jam 5 subuh guna kembali ke Taman Minoo. Taman ini sangat terkenal diantara para turis dan penjelajah yang berkunjung ke Osaka. Saya kembali menyusuri rute perjalanan yang telah saya lakukan semalam hingga saya tiba di Minoo park pagi itu. Singkat kata, saya tiba di Taman Minoo saat hari masih sangat pagi sekitar jam 6. Udara dingin segar sangat terasa di taman yang tidak lagi sepi karena banyak pelari pagi atau pesepeda sedang menyusuri jalanan taman yang merentang sepanjang 3 km tersebut. Sesekali saya berhenti melakukan pemotretan. Saat hari semakin terang, keindahan dan keelokan warna warni dedaunan musim gugur terlihat nyata. Kebanyakan orang yang sedang berjalan, berlari ataupun bersepeda adalah laki-laki dan perempuan paruh baya atau orang-orang tua warga Jepang. Saya terus berjalan hingga tiba di jembatan berwarna merah yang menghubungkan satu kuil di ketinggian sisi jalan sebelah kiri saya dengan sisi kanan jalan. Saya menghabiskan waktu
Stasiun Shin Osaka di subuh hari
beberapa menit di tempat ini memotret beberapa obyek sebagai dokumentasi kunjungan saya di taman tersebut di pagi ini. Setelah itu saya memutuskan pulang ke hotel karena saya akan ke Hiroshima sebagaima talah saya jadwalkan sejak di Jakarta. Saat saya berjalan kembali ke stasiun, jam tangan saya menunjukan jam 7.50 pagi waktu Jepang. Saya tidak bisa melanjutkan perjalanan saya ke air terjun, karena keterbatasan waktu.  Suatu hari nanti saya akan kembali ke Osaka dan kembali menikmati keindahan Minoo Park dengan waktu yang cukup sehingga saya bisa tiba di air terjun.

Tiba di hotel, saya mandi dan ganti pakaian. Pakain kotor saya masukin ke kantong plastik lalu simpan ke koper bersama peralatan mandi. Barang-barang lain yang saya bawa telah saya bereskan semalam sehingga saya tidak menghabiskan waktu di pagi hari membereskan barang-barang bawaan. Tiba di lantai dasar, saya menuju resepsionis melapor check out. Sambil tersenyum ramah, resepsionis menerima kembali kunci kamar dan mengucapkan terim kasih dalam bahasa
Kereta di stasiun Minoo
Inggris sambil membungkuk kecil. "you are welcome", balas saya lalu berbalik dan berjalan ke ruang makan yang berhadapan dengan ruang resepsionis. Karena saya telah memesan jenis makan pagi saya kemarin (hotel menyediakan 2 pilihan sarapan, yakni sarapan khas Jepang atau khas Eropa. Saya  memilih sarapan khas Jepang), maka saya hanya menyerahkan kupon berbahasa Jepang ke pelayan melalui loket di dapur. Sambil  menunggu pelayan menyiapkan makanan utama, pelayan yang menerima kupon menggunakan bahasa Jepang dan  bahasa tubuh menunjuk ke 2 meja  dalam ruang makan tersebut. Kedua meja tersebut berisi perlengkapan makan pagi, roti, sup miso (sup khas Jepang) dan berbagai jenis sayuran bersama mayones untuk salad sebagai makanan pembuka.

Minoo park di pagi hari
Selesai sarapan, saya mengangkat peralatan makan yang saya gunakan dan menaruhnya di tempat yang telah disediakan. Saya tersenyum dan mengucapkan "arigato" kepada salah satu pelayan sambil sedikit membungkuk. Setelah itu, saya mengambil koper dan keluar hotel dari pintu depan menyusuri jalanan sepi depan hotel menuju stasiun. Tiba di stasiun, saya terus berjalan melewati gerbang ke peron-peron kereta dalam kota. Peron kereta Shinkansen terletak di sisi Barat yang telah saya lihat pada waktu kedatangan hari sebelumnya. Di ujung Barat bangunan stasiun saya belok kanan. Saya berjalan ke gerbang masuk peron Shinkansen yang dijaga 2 petugas  berseragam biru dongker. Saya  menunjukan JR Pass saya sambil menanyakan peron Shinkansen ke Hiroshima. Peron 22 kata salah seorang petugas sambil menunjuk eskalator berjarak sekitar 10 meter di depan kami.

Depan Shinkansen ke Hiroshima
Saya berjalan ke eskalator yang membawa saya ke peron di atas tanah. Informasi kedatangan dan keberangkatan kereta tersedia dalam 3 bahasa, termasuk bahasa Inggris. Kereta yang akan saya gunakan masih sekitar 20 menit lagi, namun karena saya akan menggunakan gerbong non reservasi, maka saya memilih berdiri di tempat antrian - yang kosong - bagi penumpang yang tidak reservasi kursi. Belajar dari pengalaman di stasiun Kansai (baca catatan perjalanan sebelumnya tentang Kansai - Stasiun Shin Osaka), saya hanya memperhatikan papan informasi digital yang menyajikan tulisan berwarna merah guna mengetahui jenis kereta, nomor, waktu tiba dan keberangkatan serta nomor gerbong reservasi dan non reservasi. Melihat saya berdiri di tempat antrian, para calon penumpang lain pun mulai mengantri di belakang saya dan juga tempat antrian lainnya. Saya telah siap menuju Hirsohima.

Bersambung...

Rabu, 03 Februari 2016

JELAJAH JEPANG: OSAKA - Tennoji, Kuil Shitenno dan Taman Morinomiya

Depan hotel Station Shin Osaka
Udara dingin di luar berganti suhu hangat saat saya memasuki ruang respesionis hotel Station Shin Osaka. Sepertinya hotel ini sekelas hotel Ibis budget di Jakarta dengan harga yang lumayan mahal karena saya harus membayar 1,3juta rupiah per malam. Hotel ini berjarak sekitar 200an meter dari stasiun Shin Osaka melalui Pintu Timur. Seorang lelaki dan perempuan muda di meja resepsionis tersenyum ramah menyambut saat saya menghampiri mereka dan menunjukan bukti bookingan saya bersama paspor. Selesai urusan administrasi check in dan pembayaran penggunaan kamar, saya menerima kunci kamar, namum belum bisa masuk karena kamar baru akan siap jam 2 siang. Hotel menyediakan ruang penitipan barang yang dapat saya gunakan. Saya mengambil peralatan mandi dari koper saya untuk membersihkan diri di toilet yang berada di sebelah ruang respsionis. Selesai membasuh muka, menyikat gigi dan ganti baju, saya menyerahkan koper kecil saya ke resepsionis yang mengambil alih dan menyimpan koper tersebut ke ruang penyimpanan di sebelah pintu masuk ke ruang makan pagi. Sekelompok turis dengan koper dan tas duduk menunggu giliran sepertinya akan check out.

Stasiun Osaka 
Saya keluar melalui pintu depan menuju jalan di depan hotel. Setelah mengambil beberapa foto di depan hotel, saya melangkah menuju stasiun Shin Osaka guna memulai jelajah saya di Osaka hari ini. Tempat tujuan pertama adalah Kuil Shitenno atau Shitennoji. Dari hotel, saya berjalan lurus mengikuti pedestarian yang bersih di samping jalan raya yang juga sepi. Setelah melewati lampu merah, saya menyeberang ke bangunan stasiun dan masuk dari Pintu Timur / East Gate yang lebih dekat jaraknya dengan hotel. Pintu ini berlawanan arah dengan Pintu Barat yang saya gunakan saat keluar stasiun menuju hotel (baca catatan sebelumnya). Dari peta yang diberikan hotel,  saya akan turun di stasiun Tennoji lalu berjalan kaki ke kuil Shitenno. Akses ke stasiun Tennoji menggunakan kereta non JR sehingga saya memutuskan membeli tiket harian yang saya gunakan di kereta non JR dan subway selama berada di Osaka. Setelah melewati palang pintu masuk, saya belok kanan mengikuti penunjuk arah papan digital di stasiun Shin Osaka. Menggunakan eskalator, saya turun satu lantai dan masuk ke dalam antrian menunggu kereta ke stasiun Osaka yang hanya berjarak 1 stasiun dari Shin
Antri menunggu kereta di stasiun Osaka
Osaka - seperti dari Manggarai ke Sudirman di Jakarta. Ratusan orang sedang berada dalam antrian dalam beberapa baris. Saya ikut masuk ke salah satu antrian menunggu kereta yang akan menuju stasiun Osaka. Saat tiba di stasiun Osaka, sekali lagi terlihat antrian manusia berjejer ke belakang menunggu kereta. Saya bertanya pada seorang petugas yang menjaga dan menggunakan speaker memberikan pengumuman dalam Bahasa Jepang. Dengan tersenyum ramah, petugas tersebut menunjuk jalur kereta tujuan saya. "Arigato" kata saya mengucapkan terima kasih dalam bahasa Jepang sambil sedikit membungkuk mengikuti gaya orang-orang Jepang. Saya masuk ke antrian lalu ikut masuk ke kereta saat kereta berhenti menurunkan penumpang yang turun di stasiun tersebut.

Gerbang Tennoji Park dan Resto tempat saya makan siang
Sekitar 10 menit dari stasiun Osaka, kereta yang saya tumpangi berhenti di stasiun Tennoji. Saya turun lalu bertanya pada seorang petugas dimana pintu keluar menuju kuil Shitenno. Petugas menunjuk ke atas sehingga sekali lagi saya menggunakan escalator naik satu lantai lalu belok kanan mengikuti penunjuk arah yang disediakan di lokasi tersebut yang membawa saya tiba di ujung lorong dengan tangga menuju lantai atas. Saya mendaki tangga tersebut yang membawa saya tiba di suatu ruangan terbuka dalam stasiun. Orang-orang terlihat keluar masuk dari 2 pintu ke ruangan tersebut. Sambil
Suasana depan Tennoji Park 
menunjuk tempat yang saya tuju di peta, saya bertanya pada seorang petugas kebersihan yang sedang bersih-bersih disitu. Petugas tersebut menunjuk pintu sebelah kanan. Setelah mengucapkan terima kasih, saya berjalan keluar dari pintu tersebut, setelah melewati beberapa anak tangga, saya tiba di jembatan penyeberangan orang (JPO) yang menghubungkan stasiun Tennoji dengan pedestarian seberang jalan dan beberapa bangunan di seberang stasiun. Tiba di pertigaan ujung JPO, saya ambil arah kanan lalu turun melalui tangga menuju pedestarian di jalan raya yang melewati dan memisahkan stasiun Tennoji dengan kawasan di sebelah jalan.

Suasana gerbang Tennoji Park 
Sekitar 100 meter dari JPO, saya tiba suatu kawasan terbuka di sebelah kiri saya yang sangat ramai. Banyak orang lalu lalang atau berdiri dalam kelompok-kelompok kecil di depan beberapa restoran yang berada di kawasan tersebut. Saya melihat papan informasi dan denah kawasan itu yang menyatakan kawasan tersebut merupakan gerbang Taman Tennoji - yang merupakan salah satu tempat wisata di Osaka. Karena
Makan siang di Resto Robert depan gerbang Tennoji Park
saya juga sedang lapar, saya memutuskan beristirahat di tempat tersebut sambil mencari makan siang. Saya ikut dalam antrian di salah satu restoran yang menyajikan menu makanan Jepang. Cukup lama saya harus menunggu giliran karena ramainya pengunjung di restoran tersebut. Saya menggunakan waktu tunggu dengan melihat-lihat dan memotret kawasan sekitar yang semakin ramai. Setelah mendapatkan tempat di restoran tersebut, saya memesan paket makan siang seharga 150an ribu rupiah, sudah termasuk minuman berupa teh berbagai pilihan aroma (panas atau dingin) yang bisa refill. "Enak banget makan makanan Jepang di Jepang, batin saya sambil makan. Bumbunya lebih terasa di lidah dibanding makanan Jepang di Jakarta yang menjadi salah satu makanan favorit saya.

Gerbang depan kuil Shitenno
Selesai makan siang, saya meneruskan perjalan ke kuil Shitenno - yang ternyata berjarak sekitar 1km dari stasiun. menggunakan GPS dan peta digital di handphone, saya berjalan lurus dari jalan depan pintu masuk Taman Tennoji hingga tiba di suatu perempatan besar. Dari perempatan tersebut saya menyeberang ke kanan lalu menyusuri jalan tersebut beberapa puluh meter hingga tiba di suatu pertigaan. Di pertigaan tersebut telah ada tanda panah dan nama kuil sehingga saya sekali lagi menyeberang lalu menyusuri jalan menuju gerbang kuil beberapa puluh meter dari pertigaan. Saya bertemu 2 perempuan pengunjung yang sedang foto-foto sekitar 10an meter di depan gerbang kuil. Saya minta
Gerbang depan kuil Shitenno
tolong salah satu memotret saya kemudian saya balas memotret mereka. Sebelum memasuki gerbang, saya mampir di tempat pembersihan diri yang terletak sekitar 10 meter sebelah kiri gerbang atau sebelah kanan saya. Mengikuti umat yang membasuh diri di tempat tersebut, saya menyendok air bersih yang tersedia menggunakan centong kayu yang juga telah disediakan. Saya kumur-kumur, membasuh muka dan kedua tangan saya. Setelah itu saya berjalan memasuki kawasan kuil melewati gerbang besar berwarna merah. Bangunan kuil juga berwarna merah sedangkan pagar pembatas dihiasi warna merah, putih dan hijau. Dalam kompleks kuil terdapat bangunan kuil dan
Tempat basuh wajah dan tangan depan gerbang kuil Shitenno
Pagoda yang dipisahkan jalan di antara kedua bangunan tersebut. Jalan tersebut menghubungkan gerbang depan dengan gerbang belakang sekaligus menjadi penghubung ke kuil, pagoda dan halaman. Bangunan kuil terletak di sebelah kiri saya / sebelah kanan gerbang masuk sedangkan Pagoda berada pada posisi sebaliknya. Karena Pagoda sedang direnovasi, maka saya tidak bisa memotret karena seluruh bangunan Padoga ditutupi selubung.

Saya melewati beberapa tangga kayu berwarna gelap menuju pintu bangunan kuil.  Saya berdiri sejenak di tangga bagian dalam guna menyesuaikan diri dengan  cahaya tamaran dalam kuil. Saat tiba di dalam, saya membaca tanda larangan memotret. Saya berjalan perlahan mengitari bagian dalam kuil melalui lorong yang memisahkan dinding kuil dengan tempat sembahyang di tengah kuil. Berapa umat terlihat sedang berdoa dipimpin seorang pendeta. Asap dan keharuman dupa menyebar di dalam kuil diiringi dentang lonceng yang ditabuh sang pendeta mengiringi doa-doa yang sedang dilantunkan. Saya terus berjalan perlahan sambil memperhatikan berbagai ornamen keagamaan berupa lukisan dan patung-patung. Saya tiba di pintu keluar yang bersebelahan dengan pintu masuk. Saya membungkuk hormat ke arah tempat sembahyang lalu berjalan ke luar.

Kuil Shitenno
Tiba di luar, saya belok kiri mengikuti jalan depan kuil menuju gerbang belakang melewati hamparan halaman berpasir dan kerikil halus seluas puluhan meter bersegi di samping belakang bangunan kuil dan pagoda. Kompleks kuil dengan pelataran terbuka belakang kuil  dipisah pagar. Hamparan di luar gerbang sebelah kiri dipenuhi jejeran para pedagang di sebelah kiri gerbang yang menjual berbagai jenis barang, termasuk jas, jaket dan keramik porselin berbagai jenis dan bentuk. Saya sempatkan memotret beberapa kali di pelataran tersebut lalu kembali mendaki tangga menuju gerbang belakang memasuki kawasan kuil menuju gerbang depan. Saya sempat berkeliling beberapa menit melihat-lihat dan memotret daerah sekitar gerbang depan. Setelah mengambil beberapa foto di gerbang luar kuil, saya terus menuju pertigaan dan menyeberang ke jalan yang telah saya lewati
Halaman belakang kuil Shitenno
sebelumnya. Saya menanyakan lokasi stasiun terdekat ke seorang pedagang buku yang menggelar dagangannya di pelataran salah satu bangunan di samping pertigaan tersebut. Pedagang tersebut menunjuk ke jalan seberang yang bersisian dengan jalan menuju kuil. Setelah mengucapkan terima kasih, saya kembali menyeberangi pertigaan tersebut menelusuri jalan raya yang ditunjuk pedagang itu. Stasiun bawah tanah yang saya datangi adalah stasiun Ebisucho yang berjarak sekitar 200an meter dari pertigaan alias lebih dekat dibandingkan jarak kuil ke stasiun Tennoji yang berjarak sekitar 1km. Di stasiun Ebisucho, saya mencari kereta ke stasiun terdekat ke Taman Istana Osaka yang berada dalam daftar
Jalan sepi ke stasiun Ebishucho dari kuil Shitenno
jelajah saya. Setelah mempelajari rute kereta pada peta yang saya bawa dari hotel, saya memutuskan naik kereta ke stasiun Sakaisuji Hommachi lalu berganti ke jalur Chuo line menuju stasiun Morinomiya yang berdekatan dengan Taman Istana Osaka sebagaimana terlihat di peta.  Karena saya memiliki tiket terusan selama 1 hari, maka gonta-ganti kereta menjadi mudah dan tidak menghabiskan waktu.

Waktu telah melewati jam 3 sore saat saya tiba di pintu keluar stasiun Morinomiya - yang terletak di atas tanah. Udara dingin segar menerpa kulit ku. Jalanan sangat sepi, namun di sebelah kiri saya dari pintu keluar terhampar suatu taman luas yang terlihat ramai dengan berbagai aktivitas pengunjung. Pohon-pohon dengan daun
Morinomiya Park 
warna-warni musim gugur, didominasi warna kuning kehijauan seperti berbaris rapi di taman tersebut. Guguran dedaunan dibiarkan apa adanya menguatkan kesan musim gugur saat itu. Orang-orang berbagai usia nampak lalu lalang di jalan-jalan taman tersebut. Ada yang sekedar berjalan-jalan menikmati suasana sore, ada yang lari dan ada yang bersepeda. Beberapa kelompok terlihat menyebar di sekitar air mancur taman yang terletak sekitar 50an meter dari tempat saya berdiri di dalam taman. Saya berkeliling sejenak mengambil beberapa foto serta memotret diri sendiri. Ternyata saya belum tiba di Taman Istana Osaka, karena taman tempat saya berada saat ini adalah Taman Morinomiya di pintu keluar stasiun Morinomiya. Karena hari telah sore, saya memutuskan tidak melanjutkan ke Taman Istana Osaka, karena saya ingin mengunjungi Taman Minoo atau Minoo Park yang berada di luar kota Osaka yang tentunya membutuhkan waktu yang lebih lama.

Morinomiya Park
Dari stasiun Morinomiya, saya menggunakan kereta rute berlawanan dengan kedatangan saya ke Taman Morinomiya. Saya turun di stasiun Homachi lalu berganti kereta ke stasiun Umeda. Umeda merupakan salah satu stasiun utama di Osaka yang menjadi stasiun transit bagi kereta-kereta dalam kota dan luar kota yang dikelola oleh beberapa perusahaan kereta berbeda. Stasiun ini dilengkapi mall 4 lantai dan juga supermarket - yang menyediakan berbagai kebutuhan, termasuk barang-barang international brands. Saya tidak ingin menghabiskan waktu di stasiun megah tersebut. Karena itu, saya mencari petunjuk arah ke peron stasiun kereta menuju Minoo Park. Setelah 2 kali kebingungan dan bertanya sekali ke kantor informasi di dalam stasiun, akhirnya saya berhasil menemukan rute jalan menuju peron kereta ke Minoo. Hari semakin sore, dimana gelap mulai menutupi Osaka dan seluruh Jepang pada sekitar jam 5.30 sore sehingga saat saya tiba di stasiun Minoo, hari telah malam.

Bersambung...



JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...