Kamis, 30 April 2015

JELAJAH EROPA BARAT - SWISS KE ITALIA: Menara Pisa dan Kota Florence

Pagi masih berkabut dan dingin di Wilderswil, Swiss (lihat catatan perjalanan di Swiss) saat saya dan rombongan teman seperjalan beramai-ramai sarapan mempersiapkan diri melanjutkan perjalanan ke Italia. Sebelum sarapan, semua anggota rombongan telah berkemas dan membawa koper masing-masing ke bis yang selanjutnya akan ditempatkan Carl ke bagasi bis. Koper berbagai ukuran dan warna berjejer di samping bis yang kami gunakan. Sementara Carl sibuk mengurus koper-koper tersebut, kami berpindah ke ruang makan menyerbu menu English breakfast - terdiri dari roti, ham, keju, susu, kopi, the dan buah - yang disiapkan pemilik sekaligus pengelola penginapan yang telah kami tempati selama 2 malam. Sekitar 30an menit kami berada di ruang makan mengenyangkan perut masing-masing mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang selama 7 jam dari Wilderswil ke Pisa sebelum masuk ke Florence.

Bus menuruni perbukitan tempat penginapan menuju jalan raya Wilderswil lalu menyusuri jalanan
tersebut menuju kota Interlaken di tepi danau. Setelah melewati salah satu danau yang mengapit kota Interlaken, bis memulai perjalanan mendaki menyusuri dinding pegunungan Alpen. Rumah-rumah pedesaan Swiss terlihat menyebar di perbukitan hijau dengan jalanan desa yang rapi dan sepi. Di beberapa tempat terlihat beberapa ekor sapi sedang merumput di rerumputan hijau yang menyebar menutupi punggung-punggung bukit bagaikan hamparan permadani hijau. Bis terus melaju mendaki menuju puncak yang disebut Susten Pass di ketinggian 2000an meter dari permukaan laut. Puncak-puncak gunung terlihat berselimutkan salju sementara lembah dihiasi
hamparan rumput hijau yang kadang diselingi jalan kecil atau sungai berair jernih. Melewati dinding perbukitan Alpen serasa berada di negeri cerita dongeng karya Christian Hans Aderson yang merupakan salah satu bacaan favorit masa kecil saya.

Bis akhirnya tiba dipuncak bernama Susten Pass. Carl menghentikan bis di tepi jalan, memberi kesempatan pada seluruh anggota rombongan, termasuk Carl dan Lenka berfoto bersama di tepi jalan Susten Pass berlatarbelakang lelehan salju. Selesai berfoto, beberapa anggota rombongan pergi ke toilet di area tersebut dilanjutkan dengan foto-foto diri baik sendiri-sendiri ataupun berdua atau dalam kelompok-kelompok kecil. Saya menggunakan kesempatan tersebut turut juga
mendokumentasikan diri di ketinggian pegunungan Alpen. Udara terasa dingin walau mentari sedang bersinar penuh di pagi hari sekitar jam 10. Tour Leader harus beberapa kali mengingatkan anggota rombongan yang asyik foto bersama di tepi jalan tersebut, karena jalan tersebut merupakan jalan utama yang menghubungkan Swiss dan Italia sehingga banyak kendaraan, terutama truk dan bis-bis besar melintasi jalan tersebut. Hanya sekitar 15 menit kami berhenti di Susten Pass untuk berfoto semata. Setelah itu, kami kembali ke bis melanjutkan perjalanan menuju Italia.

Kami tiba di perbatasan kedua negara sekitar jam 11 siang. Carl menghentikan mobil di perbatasan
memberikan waktu 15 menit bagi semuanya ke toilet di satu toko yang menjual berbagai kebutuhan, terutama makanan dan minuman seperti wine, coklat, roti dll. Beberapa anggota rombongan terlihat berbelanja setelah selesai dari toilet. Saya dan beberapa anggota rombongan lainnya sempat foto-foto bersama lalu kembali ke bis. Carl melanjutkan perjalanan hingga kami tiba di suatu perhentian Autogril sekitar jam 12 siang untuk makan siang. Kami menghabiskan waktu 30 menit di lokasi ini untuk makan siang, ke toilet dan juga istrahat. Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke Menara Pisa.

Bis memasuki tempat parkir yang berjarak 1km dari Menara pada jam 3 sore. Dari tempat parkir bis, saya dan rombongan berjalan menyusuri pedestarian diantara rumah-rumah penduduk. Di satu tempat, para PKL dari Afrika sedang membuka lapak penjualan tas dan jam tangan. Lenka (tour leader) telah mengingatkan kami agar tidak belanja apapun di para PKL tersebut karena dilarang pemerintah kota di negara-negara Eropa. Karena jual beli barang melalui para PKL tak berizin tersebut termasuk kegiatan ilegal atau pelanggaran hukum. Setelah melewati para PKL, kami belok kanan menyusuri pedestarian lagi sekitar 300an meter kemudian belok kiri menyeberangi rel kereta di satu pertigaan. Di tempat ini, kami berpapasan dengan berkelompok-kelompok turis yang berjalan balik
ke tempat parkir ataupun berjalan dari jalan lain yang lalu bersama-sama menuju Menara. Setelah melewati puluhan rumah, kami tiba di lokasi terluar kompleks menara yang dipagari pagar besi. Kiri dan kanan jalan dijejeri para penjual souvenir sepanjang puluhan meter. Kami terus berjalan hingga tiba di gerbang yang menjadi pembatas dengan kompleks Menara. Kompleks Menara merupakan suatu kawasan seluas satu lapangan bola kaki. Dalam kompleks tersebut berdiri Menara miring Pisa, Katedral dan Baptistry (Gedung Pembaptisan).


Halaman kompleks ditumbuhi rerumputan hijau yang tumbuh dari tepi pagar kompleks sampai
dengan tetirisan bangunan. Kompleks Menara dipagari pagar setinggi pinggang. Beberapa pengunjung terlihat berdiri di tiang-tuang beton pagar guna mengambil posisi foto dalam berbagai gaya. Saya ikut mencari posisi dan meminta teman perjalanan memotret gaya saya sedang memegang Menara. Di kawasan tersebut juga terdapat jalanan selebar 3 meteran yang dilalui para pengunjung sekaligus menjadi pembatas antara pagar kompleks Menara dengan jejeran kios souvenir. Selesai berkeliling dan berfoto, saya mampir ke salah satu kios membeli oleh-oleh berupa snow ball, magnet kulkas dan gantungan kunci. Setelah itu saya berjalan keluar gerbang untuk menunggu anggota rombongan lainnya. Karena belum ada yang tiba, saya sempatkan berjalan-jalan di jejeran kios souvenir luar gerbang. Seorang pedagang Asia Selatan menghampiri saya menawarkan snowball dan gantungan kulkas - yang harganya ternyata lebih murah dari harga di dalam kawasan gerbang yang dijual oleh orang Italia. Harga souvenir di dalam kawasan gerbang tidak dapat ditawar, berbeda dengan di luar gerbang yang bisa dilakukan tawar menawar.

Setelah semua berkumpul depan gerbang, kami kembali menyusuri pedestarian ke tempat parkir bus guna melanjutkan perjalanan ke penginapan di kota Florence / Firenze. Bis tiba di Florence sekitar jam 5 sore. Penginapan tujuan kami berada dalam satu kompleks dengan jejeran apartemen hunian penduduk. Gerbang samping dibuka sehingga bisa memasuki kompleks penginapan guna menurunkan semua penumpangnya. Sebagaimana kota-kota lain di Eropa Barat, bis tidak diizinkan berhenti dan parkir di jalan depan hotel. Saya turun bersama teman-teman lain lalu masing-masing mengambil kopernya yang telah dikeluarkan Carl dari bagasi bis. Masing-masing memasuki penginapan dari pintu samping lalu berkumpul di lobby. Lenka sedang mengurus dan mengambil semua kunci kamar. Saya mendapat kamar di lantai 4. Sebagaimana biasa di hotel-hotel lainnya, kami mengatur agar setiap anggota yang mendapatkan kamar di lantai yang sama menggunakan lift pada saat bersamaan guna memudahkan dan mempercepat masing-masing orang memasuki kamarnya.

Plus Florence Hostel, demikian nama penginapan tempat saya dan teman-teman menginap semalam
 di Florence sebelum melanjutkan perjalanan ke Roma. Penginapan ini sepertinya menjadi salah satu penginapan favorit turis yang terlihat dari wajah berbagai orang dari berbagai etnis dan bangsa sedang melakukan berbagai aktivitas di lobby hotel ataupun keluar masuk lift. Plus Florence Hostel berlokasi di Via Santa Caterina d'Alessandria, 15, 50129, Firenze, Italia. Kamar hostel ini cukup luas, rapi dan sangat bersih. Interiornya didisain minimalis, termasuk tempat tidur ukuran queen yang ditutupi sprei dan bed cover putih bersih. Kamar mandi sangat kecil namun apik dan bersih. Tempat shower ditutup pintu kaca sehingga air mandi tidak tampias ke area kering closet dan wastafel. Kamar saya memiliki balkon yang saya buka untuk menikmati langit kota Florence.

Selesai mandi dan ganti, saya bergegas turun ke restoran karena penginapan menyediakan welcome drink berupa red wine dan tapas (berbagai snacks, termasuk kue dan buah-buahan yang dipotong-potong kecil dan dihidangkan di piring-piring kecil. Tapas merupakan snacks khas negara-negara Eropa latin, karena kudapan ini saya
temukan juga di Spanyol, namun tidak saya temukan di Inggris, Belanda dan Jerman. Seorang staf hotel melayani kami di restoran terbuka di lantai 3 penginapan tersebut. Kami duduk berkelompok 3 - 5 orang menikmati tapas, red wine dan beraneka jus sambil ngobrol ngarol ngidul menunggu waktu memulai kunjungan ke berbagai obyek wisata di kota tua Florence.

Bersambung

Selasa, 14 April 2015

AMAZING INDONESIA. WONDERFUL FLORES: Kampung Wologai dan Pantai Nangapanda

Di salah satu pantai Nangapanda
Rumah-rumah asli dan pusaka adat telah terbakar habis pada tahun 2013 lalu. Hanya 1 tambur pusaka terbuat dari kulit manusia yang terselamatkan. Tambur tersebut pada zaman dulu digunakan untuk memanggil semua anggota suku berkumpul di Wologai guna melakukan upacara adat. Tambur hanya berbunyi saat ditabuh menggunakan helai rambut manusia yang mana bunyinya hanya dapat didengar oleh para kepala suku yang berasal dari Wologai. Semua yang ada sekarang merupakan rumah baru yang dibangun kembali menggunakan dana bantuan pemerintah, demikian kisah yang dituturkan Yohanes, sekretaris desa Wologai yang menemani saya dan Achmad berkunjung ke kampung adat Wologai.

Mobil yang disopiri Yudi berbelok ke kanan jalan setelah melaju sekitar 15 menit dari
Gerbang kampung adat Wologai 
kampung Moni di kaki gunung Kelimutu. Wologai terletak di ketinggian perbukitan Detusoko, namun tidak jauh dari jalan beraspal mulus sehingga memudahkan akses bagi pengunjung. Saat mobil memasuki kawasan perkampungan tersebut, saya memperhatikan adanya penataan dan pembenahan dari gerbang hinggi kampung adatnya. Papan bertuliskan selamat datang menggantung di gerbang kampung tersebut. Bagi pengunjung disediakan tempat parkir berjarak sekitar 10 meter dari gerbang. Setelah mobil diparkir, saya turun bersama Yudi dan Achmad yang berjalan mendampingi saya menuju kantor desa Wologai untuk melakukan registrasi dan memberikan donasi, tidak ada tiket masuk serta tidak ada pungutan wajib. Saya memasukan 50ribu rupiah ke kotak donasi dan mengisi buku tamu yang disediakan di kantor desa tersebut. Letak kantor desa lebih rendah sekitar 2 meter dari jalan kampung sehingga akses masuk dan keluar menggunakan tangga dari batu-batu padas yang telah disusun dan disemen.

Saya, Yohanes dan Achmad berjalan sambil bercakap-cakap menuju kompleks kampung adat yang
Bersama Yohanes, Sekretaris Desa Wologai
terletak sekitar 50an meter dari  kantor desa. Satu pohon beringin besar dan rimbun berdiri kokoh di luar gerbang kampung. Menurut Yohanes, beringin tersebut telah berumur ratusan tahun sepertinya berusia sama dengan kampung adat Wologai. Di depan gerbang kampung adat ada tulisan dilarang merokok. Yohanes menuturkan larangan merokok tersebut diberlakukan secara adat - pelanggar akan dikenakan sanksi adat - guna mencegah terulangnya kebakaran yang memusnahkan seluruh rumah dan benda pusaka di kampung tersebut. Dari gerbang masuk, kami belok kiri dan berjalan memutar secara perlahan. Rumah-rumah panggung dari kayu di kampung tersebut terlihat masih baru. Atapnya terbuat dari alang-alang.
Rumah-rumah di kampung Wologai
Hanya ada sekitar 10 rumah dari sisi kiri sampai kanan dalam area berbentuk lingkaran. Rumah kepala suku terletak di sisi kanan dan lebih besar dari rumah lainnya. Rumah kepala suku terbagi ke dalam 2 bagian, yakni bagian depan yang semi terbuka sebagai tempat menerima tamu serta bagian dalam bagi pemilik rumah dan keluarganya. Antara bagian depan dalam dibatasi pintu berdaun 2 berhiaskan ukiran payudara perempuan sebagai lambang kesuburan bagi masyarakat adat Wologai. Kampung tersebut terletak di area yang lebih tinggi dari kawasan sekitarnya. Menurut Yohanes, pahlawan Ende bernama Marilonga berasal dari kampung tersebut yang menjadi kampung induk bagi beberapa suku yang wajib menghadiri upacara-upacara adat pada waktunya.

Menhir di tempat upacara adat kampung Wologai
Tempat upacara yang juga berbentuk lingkaran terletak di tengah-tengah kampung berjarak sekitar 10 meter dari gerbang. Di tengah tempat upacara berdiri kokoh 2 baru menhir berwarna abu-abu gelap dalam ukuran berbeda sebagai pusat upacara dan penyerahan kurban. Sekitar 5 meter dari batu menhir terletak satu bale-bale dan pondok yang menjadi tempat duduk para kepala suku / musolaki memimpin upacara adat saat upacara sedang berlangsung. Pengunjung dilarang memasuki tempat upacara tersebut. Pada sisi kiri dan kanan terdapat jalan masuk ke tempat upacara berupa tangga dari batu-batu padas berbagai ukuran dan bentuk. Saya diizinkan berdiri di tangga bagian kanan guna memotret tempat upacara, termasuk batu menhir tersebut. Sambil terus ngobrol, kami berjalan kembali ke arah gerbang. Beberapa tukang sedang sibuk membangun satu rumah adat lagi di sebelah kanan gerbang. Dari susunan rumah yang dibangun dan pembangunan yang masih sedang berjalan, saya berkesimpulan pembangunan rumah-rumah adat tersebut dimulai dari sisi kiri gerbang terus ke belakang lalu melingkar ke kanan.

Tempat para kepala suku berkumpul saat upacara adat
Saya diperkenalkan ke seorang tua adat yang sedang berdiri mengawasi pembangunan rumah tersebut. Setelah berjabatan tangan dan bercakap cakap, saya pamit guna meneruskan perjalanan. Yohanes mengantar saya dan Achmad kembali ke mobil yang sedang menunggu di tempat parkir. Yudi sedang tertidur nyenyak di kursi sopir saat kami tiba. Dengkurnya terdengar sampai ke luar mobil. Saya mengetuk-ngetuk pintu mobil membangunkan Yudi yang terbangun sambil gelagapan. Saya tertawa-tawa sementara Yohanes dan Achmad hanya tersenyum. Saya menjabat tangan Yohanes, mengucapkan terima kasih lalu memasuki mobil yang telah dihidupkan Yudi dan siap kembali ke Ende. Yohanes tetap berdiri di tempat parkir melihat dan melambaikan tangannya ke mobil kami yang mulai melaju meninggalkan kampung Wologai.

Salah satu pantai Kota Ende 
Dalam perjalanan kembali ke Ende, kami sempatkan mampir di salah satu kios di kota kecamatan Detusoko guna membeli minuman dingin melepaskan dahaga. Setelah itu mobil kembali melaju membelah jalanan trans Flores yang menghubungkan Ende dan Ruteng. Sekali lagi kami melewati pasar tradisional di pinggiran kota Ende. Yudi mengajak saya ke suatu tempat di kawasan perbukitan di atas kota Ende guna menunjukan ke saya kota Ende dari ketinggian. Setelah melewati pasar, mobil belok kiri menyusuri jalanan datar yang mana sisi kiri dan kanannya berhiaskan rumah-rumah penduduk, kebun dan terkadang pantai-pantai indah. Sekitar 10 menit setelah melewati pemukinan penduduk dan pantai-pantai indah Kota Ende, mobil belok kiri lagi dan mulai mendaki. Jalanan yang kami lalui dalam kondisi berlubang-lubang dan sempit yang hanya dapat dilalui 1 mobil, sehingga mobil berjalan perlahan dan hati-hati. Kami melewati pemukiman dan pepohonan rimbun di kebun-kebun penduduk dan kadang jurang di kiri atau kanan. Akhirnya kami tiba di tempat tujuan di perbukitan atas kota Ende. Mobil diparkir di tepi jalan. Yudi tersenyum ceria menunjuk ke bawah memperlihatkan hamparan kota Ende di tepi teluk. Warna biru air laut perpadu buih-buih putih lidah gelombang di tepi pantai terlihat jelas dari tempat
Teluk dan kota Ende dari perbukitan
saya berdiri. Hamparan pemukiman padat terlihat menyebar dari tepi pantai hingga ketinggian perbukitan. Saya mencoba mencari posisi ideal untuk memotret landscape di bawah sana. Yudi menunjuk atap satu bangunan di tengah kebun sebagai tempat memotret yang ideal. Saya dan Achmad lalu berjalan menuruni bukit melalui setapak yang mengarah ke kebun tersebut. Kami masuk ke dalam kebun melalui lubang di pagar yang menghadap ke jalan. Sepertinya lubang tersebut sengaja dibuat para pengunjung yang secara ilegal masuk ke kebun tersebut guna mengakses atap gedung yang digunakan sebagai lokasi memotret teluk dan kota Ende di bawah perbukitan. Saya menduga Yudi sering membawa pengunjung ke lokasi tersebut. Karena setapak yang saya lalui kelihatan sering digunakan.

Teluk dan kota Ende dari perbukitan
Atap bangunan tersebut seperti muncul dari dalam tanah dengan tinggi sekitar 75cm (tinggi meja kerja) dari tanah kebun tempat saya berdiri. Atap berbentuk hamparan datar dari semen dan beton tersebut ternyata merupakan atap bangunan PDAM yang mensupply air ke kota Ende. Saya meletakan kedua tangan di tepi atap sebagai tumpuan mengangkat tubuh saya ke atas. Gaya yang diikuti Achmad sehingga kami berdua berada di atas atap. Saya mengambil beberapa foto ke teluk dan kota Ende, kemudian meminta Achmad memotret diri saya dengan latar belakang yang sama. Yudi berteriak menyuruh
Teluk dan kota Ende dari perbukitan
kami cepat-cepat  menyelesaikan aktifitas memotret melalui atap tersebut, karena kuatir diketahui security. Saya dan Achmad segera menyelesaikan pemotretan dan bergegas kembali ke mobil dan Yudi yang sedang menunggu di tepi jalan. Setelah kami kembali ke dalam mobil, Yudi menghidupkan dan menjalankan mobil kembali menyusuri jalanan yang kami lalui sebelumnya. Kami kembali ke kota Ende menuruni perbukitan, melewati pemukiman dan tepian-tepian pantai indah saat tiba di dataran kaki perbukitan. Saya meminta Yudi membawa kami ke warung makanan tradisional di samping gerbang bandara kota Ende.

Salah satu pantai Kota Ende
Kami menghabiskan sekitar 1 jam di warung tersebut untuk makan siang dan ngobrol berbagai hal. Setelah itu saya meminta Yudi mengantar saya kembali ke hotel guna beristrahat karena siang hari sangat terik dan tempat wisata yang akan kami kunjungi tersisa satu saja, yakni pantai-pantai indah di Nangapanda sekalian menikmati sunset hari terakhir di Ende karena esok hari saya akan kembali ke Jakarta. Kamar hotel yang berAC sangat menyejukan dan adem melepaskan diri dari panas teriknya matahari di bumi Flores dan kepenatan perjalan sejak subuh hari tadi. Saya berleha-leha beberapa saat kemudian beranjak ke kamar mandi membersihkan diri dilanjutkan dengan beristrahat.

Salah satu pantai di Nangapanda
Jam 3.20  sore saat Yudi mengetuk pintu kamar. Saya bangun membuka pintu dan mempersilahkan Yudi masuk dan duduk di kursi yang tersedia di depan bufet hias sambil menunggu saya membasuh muka menyegarkan kembali wajah saya yang baru bangun tidur. Selesai bersih-bersih dan ganti baju, kami beriringan keluar kamar hotel menuju mobil yang telah menunggu di depan hotel. Saya meninggalkan kunci kamar di resepsionis lalu beranjak keluar menuju mobil yang telah dinyalakan mesinnya oleh Yudi. Perjalanan saya ke pantai-pantai di Nagapanda hanya ditemani Yudi. Achmad tidak lagi menyertai perjalanan kami sore hari ini. Karena itu saya harus mengajarkan
Salah satu pantai di Nangapanda
teknik fotografi dasar ke Yudi agar dia bisa memotret berbagai momen kunjungan saya ke Nangapanda. Keluar dari pekarangan hotel, mobil mengambil jalan ke kanan menuruni jalan Pahlawan depan hotel menuju pantai Ende. Tiba di pertigaan jalan depan pantai, mobil belok kanan lalu  menyusuri jalan mulus di tepi pantai mengarah ke luar kota menelusuri kembali jalan yang saya lalui 2 hari silam saat datang dari Ruteng (Manggarai) - Ngada - Nagakeo - Ende.

Sekitar 1km dari mesjid megah di pinggir jalan yang kami lalui, Yudi menghentikan mobil guna memberi saya kesempatan memotret ombak yang bergulung dan terhempas ke pantai berlatar belakang mesjid. Setelah itu, kami kembali ke mobil yang melaju ke luar kota Ende. Kontur geografis dataran mulai berganti perbukitan. Kiri dan kanan jalan dipenuhi kebun-kebun dan rumah-rumah
Salah satu pantai kota Ende dan menara mesjid di latar belakang
penduduk. Jalan yang kami tempuh seperti terukir di punggung-punggung bukit dengan hamparan pantai dan laut di sebelah kiri dan dinding-dinding bukit di sebelah kanan. Sekitar 15 menit perjalanan dari kota Ende, Yudi menghentikan mobil di tepi jalan di ketinggian suatu bukit yang menyajikan lautan luas dan pulau Ende di horison serta hamparan pasir bersama buih-buih ombak nun jauh di bawah. Puluhan perahu nelayan sedang berlabuh di pantai tersebut menyebar dari tepi pantai hingga laut lepas. Tempat tersebut sepertinya merupakan salah satu tempat para pengunjung menikmati lukisan alam sang Pencipta. Warna biru lautan berpadu dengan warna putih buih-buih ombak yang menghempas ke pasir pantai berwarna coklat berhiaskan warna-warni perahu yang terayun-ayun dalam buaian ombak menciptakan imaginasi tak bertepi. Setelah menikmati alam sekitar selama berberapa menit, Yudi mengajak saya melanjutkan perjalanan.

Salah satu mobil penumpang di pulau Flores
Kadang mobil kami bersua truk-truk yang telah diubah menjadi mobil angkutan jarak jauh dengan memberikan bangku-bangku yang berjejer dari depan ke belakang serta diberi atap kayu. Beberapa kali kami berjumpa dengan truk yang penuh muatan sehingga beberapa penumpang  memilih duduk di atas atap truk - seperti era kereta ekonomi Jakarta-Bogor beberapa tahun silam. Mobil kami terus melaju hingga tiba di suatu dataran yang tepi pantainya telah diubah menjadi pelabuhan ferry. Yudi membelokan mobil ke jalan menuju pelabuhan tersebut. Namun kami tidak memasuki gerbang pelabuhan.

Yudi di salah satu pantai di Nangapanda
Mobil dihentikan sekitar 10 meter dari gerbang lalu saya dan Yudi turun dan berjalan kaki telanjang ke tepi pantai yang tidak jauh dari pelabuhan ferry tersebut. Kami melewati 2 tukang yang sedang sibuk menyelesaikan satu perahu. Seorang anak laki-laki terlihat menemani kedua lelaki dewasa tersebut. Saya tersenyum sambil mengucapkan permisi. Mereka membalas tersenyum sambil mengangguk. Kulit telapak kaki saya menyentuh pasir pantai yang masih basah saat kami tiba di tepi pantai. Di depan saya terhampar lautan luas. Di sisi kiri saya terletak pelabuhan ferry yang berjarak seratusan meter sedangkan di kanan saya terhampar dinding bukit yang menjadi pembatas dengan pantai.
Salah satu pantai di Nangapanda
Saya berjalan mendekati air dan membiarkan kaki-kaki saya dibelai lidah-lidah ombak.  Saya terus berjalan ke arah kanan menuju hamparan batu-batu  karang yang sambung menyambung dengan dinding bukit. Kulit-kulit telapak kaki saya menyentuh hamparan karan, menghadirkan rasa kasar dan sedikit sensasi sakit karena karang yang agak tajam bagi telapak yang terbiasa memakai sepatu dan sandal. Saya terus berjalan berlahan dan hati-hati menuju dinding bukit terdekat mencari tempat ideal untuk memotret. Setelah memotret beberapa obyek, saya menyerahkan kamera ke Yudi dan memberikan petunjuk pengunaannya lalu meminta Yudi memotret diri saya di lokasi tersebut. Kami menghabiskan sekitar 1 jam di lokasi ini lalu kembali ke mobil untuk pindah ke pantai lainnya di jalur tersebut.

Salah satu pantai di Nangapanda
Jarak 10 menit perjalanan mobil dari pantai pelabuhan ferry, Yudi menghentikan mobil di tepi jalan di bawah satu pohon besar. Yudi mengajak saya menuruni bukit ke pantai di bawah. Kami secara perlahan dan hati-hati meniti anak-anak tangga yang terbentuk dari akar-akar pohon di tepi jalan itu hingga tiba di pantai. Sekali lagi pantai sangat indah terhampar di depan saya. Punggung bukit berwarna krem membentuk dinding berbagai motif karena telah mengalami interaksi ratusan atau mungkin jutaan tahun dengan air laut. Karena saat kunjungan tersebut air sedang surut, maka dinding bukit terlihat indah dengan lekukan-lekukakn tertentu berjarak sekitar 10 meter dari lidah gelombang laut.
Salah satu pantai di Nangapanda
Dinding-dinding alam tersebut menjadi lokasi foto yang menarik. Saya dan Yudi bermain-main di pantai ini menunggu sunset menjelang. Sekitar 1 jam berlalu saat Yudi mengajak saya kembali ke mobil. Kami beriringan kemabli mendaki tangga alam hingga tiba di mobil dengan nafas ngos-ngosan, terutama Yudi yang kelebihan berat tubuh. Kami mengaso di depan mobil sambil ngobrol dan foto-foto. Setelah nafas kembali normal dan keringat pun hilang, kami berdua memasuki mobil dan melanjutkan perjalanan menuju pantai lain guna menunggu dan menikmati sunset.

Sunset di salah satu pantai di Nangapanda
Jam 5 lewat saat kami tiba di tempat tujuan akhir. Pantainya terletak di belakang pemukiman. Yudi memarkir mobil di halaman salah satu rumah lalu kami keluar dan berjalan ke pantai di belakang rumah tersebut. Antara pantai dan pemukiman telah diberi pembatas tembok setinggi 75an cm. Sekelompok anak laki-laki sedang bermain sepak bola di tepi pantai sebelah kanan saya. Posisi matahari masih sedang bergeser perlahan ke arah Barat menuju posisi ideal sunset. Saya dan Yudi duduk nongkrong sambil ngobrol di tembok pembatas pantai dan pemukiman. Sesekali kami memotret momen-momen tertentu hinga sunset tiba. Saya dan Yudi bergerak mencari posisi dan mulai mengabadikan perjalanan matahari
Memotret anak-anak yang sedang bermain di pantai Nangapanda
menuju sunset, saat sunset dan saat matahari telah benar-benar menghilang di ufuk Barat meninggalkan semburat jingga kekuningan menuju kegelapan malam. Sesekali terlihat sekelompok burung melintas langit. Suara ceria anak anak masih terdengar. Mereka masih sedang bermain, berlari dan berkejaran walau matahari telah menghilang. Saya mengajak Yudi kembali ke mobil untuk pulang ke hotel di kota Ende.

Bersambung...
Sunset di salah satu pantai di Nangapanda


       

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...