Sabtu, 17 Januari 2015

BARCELONA: Kota Asal Para Pesohor Dunia

Placa de Catalunya
Tepat jam 9.05 pagi waktu Barcelona, pesawat Vuelingair yang saya tumpangi dari Amsterdam, Belanda tiba di Terminal 1 (T1) Barcelona El Prat Airport. Terminalnya merupakan bangunan modern, tinggi, megah dan dipenuhi cahaya matahari dari jendela-jendela kaca yang juga menjadi dinding bangunannya.  Hampir sama dengan terminal airport Hasanuddin, Makasar dan terminal Ngurah Rai, Bali. Keluar dari garbarata penghubung pesawat dan bangunan terminal, saya dan para penumpang berjalan melewati lorong penghubung garbarata dengan ruang-ruang utama dalam terminal. Setelah lorong penghubung tersebut, kaki saya melangkah memasuki semacam aula atau ruang terbuka yang harus dilewati para penumpang menuju tempat pengambilan bagasi. Saya berjalan perlahan sambil mata saya menjelajahi semua bagian bangunan tersebut dari lantai hingga langit-langit. Aula ini cukup lenggang karena penumpang yang lalu lalang tidak cukup banyak di sekitar saya. Saya terus berjalan hingga ke bagian yang berisi jejeran kios dan toko yang menjual berbagai barang. Karena saya baru tiba, maka saya tidak berniat membeli apapun di kios dan toko-toko tersebut karena itu saya hanya berlalu mengikuti bentuk lonjong desain bangunan menuju tempat bagasi. Untuk itu saya berputar ke arah kanan mengikuti tanda panah dan tulisan bagage claim yang tergantung di langit-langit hingga saya tiba di tempat pengambilan bagasi. Setelah koper saya berada dalam genggaman, saya berjalan mengikuti tanda-tanda yang ada menuju pintu keluar. Semua tanda diberi keterangan dalam 3 bahasa, yakni bahasa lokal setempat yang disebut bahasa Catalan lalu bahasa Spanyol dan bahasa Inggris.

Salah satu bagian Park Guell hasil karya Gaudi
Barcelona merupakan ibukota daerah otonomi Catalan. Karena itu, selain bahasa Spanyol, bahasa Catalan merupakan bahasa resmi di wilayah otonom ini. Metropolis Barcelona merupakan berada di urutan 6 kota-kota metropolis Eropa, yakni Paris, London, Rurh, Madrid dan Milan. Barcelona memiliki sejarah panjang sejak zaman Romawi yang dikenal sebagai salah satu kota Romawi, selain Roma dan kota-kota lainnya. Walau kemudian bergabung dengan kerajaan Aragon pada abad pertengahan, Barcelona tidak kehilangan perannya sebagai kota penting dalam wilayah kerajaan tersebut. Barcelona memiliki 2 legenda tentang asal-usulnya. Legenda pertama tentang pendirian kota ini terkait pada legenda Hercules. Legenda kedua menceritakan pendirian Barcelona oleh Carthaginian Hamilcar Barca, ayah Hannibal yang memberi nama kota tersebut sebagai Barcino pada abad ketiga sebelum Masehi. Sejarah Barcelona juga mencatat kelahiran banyak pesohor dunia dari kota ini antara lain Colombus si penemu benua Amerika, Salvator Dali si pematung dan pelukis surealis serta Gaudi seorang seniman serba bisa yang meninggalkan berbagai karya monumental di seluruh Barcelona antara lain Park Guel dan Sagrada Familia, yakni Katedral yang pembangunannya telah memakan waktu sekitar 280 tahun sampai dengan saat ini.

Salah satu bagian Park Guell
Tiba di luar bangunan airport, saya disambut udara hangat kota. Dua bis airport yang disebut Aerobus - semacam Damri di Jakarta telah berjejer dalam jarak sekitar 30an meter dari pintu keluar. Para calon penumpang terlihat sedang antri menaiki bis depan. Saya mengarahkan kaki saya ke mesin penjualan tiket yang terletak sekitar 5 meter dari bis yang sedang parkir. Di lokasi ini terdapat beberapa mesin penjualan tiket guna memudahkan pembeli tiket. Cara menggunakan mesin ini sama dengan mesin kartu Oyster di London. Calon penumpang bis memasukan uang Euro dalam bentuk coin atau kertas ke lubang yang tersedia atau dapat juga menggunakan kartu kredit / debit lalu menekan beberapa tombol terkait di mesin - seperti menggunakan mesin penjualan minuman di halte-halte Transjakarta (Busway) lalu tekan tombol buy, maka tiket yang dibeli keluar dari lubang lain.
Ruang publik di dekat Placa de Catalunya
Selisih antara uang yang dimasukin dengan harga tiket dikembalikan sesuai jumlahnya. Setelah mendapatkan tiket sekali jalan seharga 5,90 Euro, tersedia juga tiket PP seharga 10,20 Euro yang berlaku selama 15 hari. Saya masuk ke antrian menuju aerobus yang muncul setiap 5-7 menit sehingga antrian tidak mengular dan bertumpuk seperti di halte-halte busway Jakarta :). Semua penumpang masuk dari pintu depan sebelah sopir. Ternyata tiket bisa dibeli pada sopir di atas bis. Karena saya telah membeli tiket dari mesin, saya menyerahkan tiket tersebut ke sopir lalu berjalan ke dalam dan menduduki satu kursi yang masih kosong. Saat semua kursi telah penuh, bis mulai berjalan perlahan meninggalkan airport menuju pusat kota Barcelona. Karena sebelumnya saya telah mempelajari rute dan tempat turun di pusat kota, maka saya bisa menikmati kota dalam perjalanan airport - pusat kota. Sebagaimana informasi online di internet bahwa bis hanya berhenti di 2 halte, yakni Placa Espanya dan Placa de Catalunya. Saya memilih turun di Place de Catalunya yang menurut berbagai informasi online merupakan suatu ruang publik di pusat kota yang menjadi penghubung ke berbagai tempat wisata di kota Barcelona.

Belakang monumen Colombus
Karena masih pagi, maka suasana kota sepanjang perjalanan airport ke Placa de Catalunya cukup lenggang. Sekitar 30 menit menempuh perjalanan airport - Catalunya dengan terlebih dahulu berhenti di halte Placa Espanya, bis yang saya tumpangi tiba di Placa de Catalunya. Ruang publik ini berbentuk 4 persegi berukuran setengah lapangan sepak bola yang dikeliling jalan-jalan kota selebar 10an meter di keempat sisinya. Salah satu sisi terhubung dengan jalan La Ramblas yang sangat terkenal di dunia. Jalan La Ramblas menghubungkan Placa de Catalunya dengan monumen Colombus (penemu benua Amerika) di tepi pantai Barcelona yang cantik. Setelah turun bis, saya menyeberang ke kiri menyusuri jalan Av. Portal de l'Angel karena melihat tanda panan bertuliskan "locker". Sekitar 10 meter menyusuri jalan ini, saya menyeberang jalan Carrer de Fontanella, belok kiri dan menyusuri trotoar jalan tersebut sejauh 30an meter hingga tiba di pertigaan Carrer de Fontanella dan Carrer Estruc. Saya belok kanan menyusuri Carrer Estruc. Dari pertigaan saya telah melihat 2 bangunan semacam ruko yang dijadikan tempat penitipan barang. Tempat pertama disediakan bagi barang-barang berukuran besar, seperti peralatan musik, sepeda dan peralatan surfing sehingga saya berjalan melewati bangunan pertama menuju bangunan kedua yang menyediakan locker bagi koper. Meja staf
Jalan bagi para perjalan kaki yang terhubung ke Placa de Catalunya
penjaga terletak di sebelah kanan pintu masuk, sekitar 5 meter dari meja tersebut di sebelah kiri dan kanan pintu berjejer loker berbagai ukuran dalam warna biru cerah. Hi, sapa saya sambil tersenyum ke salah satu staf perempuan yang mengenakan celana panjang dan baju polo t-sirt. Hi, balas perempuan tersebut sambil tersenyum ramah dan menunjuk ke jejeren locker. Saya berjalan ke jejeran locker, membuka salah satu locker berukuran "large" yang ternyata cukup untuk koper saya yang berukuran besar. Koper saya masukin ke dalam locker tersebut lalu saya masukin pin kemudian menekan tombol lock / kunci. Setelah itu, saya berjalan menghampiri meja staf dan menyerahkan kartu kredit saya untuk didebit sebesar 5.50 Euro yang adalah biaya sewa bagi locker berukuran besar. Tempat penitipan ini menyediakan 4 ukuran locker dengan biaya sewa berbeda, yakni small sebesar 3,50 euro, medium seharga 4 euro, large seharga 5,50 euro dan extra large seharga 9,50 euro.
Pedestarian La Ramblas 
Setelah urusan administrasi pembayaran locker selesai, saya keluar dari tempat penitipan tersebut dan berjalan kembali menyusuri jalanan yang telah saya lalui ke tempat penyimpanan barang kembali ke area Placa de Catalunya. Tiba di pertemuan jalan La Ramblas dengan Placa de Catalunya, saya berhenti menikmati suasana sekitar sambil berdiri menghadap Placa de Catalunya dan membelakangi jalan La Ramblas. Banyak orang mulai lalu lalang di seluruh kawasan tersebut. Selain berjalan-jalan, di area Placa de Catalunya banyak juga pengunjung yang berdiri atau duduk-duduk berjemur dalam kelompok atau berdua atau hanya sendiri-sendiri. Setelah puas melihat-lihat saya berjalan terus berlawanan arah dengan jalanan tempat saya lalui untuk menyimpan koper. Hampir tiba di perempatan di ujung Placa de Catalunya sejajar jalan La Ramblas, saya menyeberang dan masuk ke area Placa de Catalunya. Tujuan saya adalah satu patung di sudut Placa yang bertuliskan Catalunya. Saya memotret diri di tempat ini untuk kenang-kenangan kemudian mengamat-amati lagi sekitar saya. Di pinggir jalan sebelah kanan saya (saya berdiri menghadap jalan La Ramblas dan membelakangi Patung Catalunya), orang mulai mengantri untuk naik bus Barcelona Tour. Setelah puas mengamat-amati kawasan sekitar, saya memutuskan ikut antrian naik bus Barcelona tour guna mengelilingi Barcelona terutama menuju tempat-tempat wisata dalam daftar tempat yang akan saya kunjungi di kota ini.

Salah satu karya peninggalan Gaudi
Perlahan-lahan antrian para pembeli tiket semakin mendekati para penjual tiket yang terdiri dari seorang perempuan dan seorang laki-laki muda mengenakan seragam didominasi warna merah yang sama seperti warna bis untuk tour. Seorang perempuan staf bus tour tersebut menghampiri para pengantri untuk pembagi-bagikan peta dan hands free yang semuanya didominasi warna merah. Setelah tiba di depan para staf penjual tiket, saya menyerahkan 19 euro untuk mendapatkan tiket bus tour pada hari tersebut. Staf laki-laki memprint tiket dari mesin portabel yang dipegangnya. Tiket yang keluar dari mesin tersebut sama seperti struk belanja di supermarket atau malls di Jakarta. Sambil menyerahkan tiket, lelaki tersebut mengingatkan tiket tersebut harus disimpan dengan baik karena harus ditunjukan di setiap halte pada saat saya naik ke bis di halte-halte dimana saya turun dan naik kembali ke bus-bus Barcelona Citytour. Karena bus yang sedang menaikan penumpang telah penuh, maka staf yang berjaga di depan antrian dan meminta antrian saya menunggu bus berikut yang juga sedang antri menunggu bus di depannya berjalan meninggalkan tempat tersebut.
Interior Katedral Barcelona
Saya ikut naik bersama para pengantri lain saat bus kosong parkir di tempat tersebut. Semuanya masuk ke dalam bus sesuai urutan antrian. Dalam bus, seorang staf tour telah siap memeriksa tiket masing-masing penumpang. Setelah tiket saya selesai diperiksa, saya masuk ke dalam bus dan mencari tempat duduk di sisi jendela di bagian tengah bus. Di masing-masing kursi tersedia lubang koneksi bagi handsfree - seperti di kursi-kursi pesawat Garuda di Indonesia :). Handsfree saya colokin ke lubang yang tersedia, lalu memilih tombol bahasa Inggris dan mulai terdengar suara seorang laki-laki menyapa dan menjelaskan tentang Placa de Catalunya dimana bus sedang parkir menaikan penumpang. Sepanjang perjalanan mengeliling Barcelona menggunakan bus, handsfree tersebut sangat berguna karena saya mendapatkan informasi tentang tempat-tempat wisata yang akan dilewati bis sehingga saya dan penumpang lain bisa memutuskan apakah turun dan menjelajahi tempat wisata yang akan dilalui bus atau terus berada di bis sampai halte tempat wisata lain yang ingin dijelajahi.

Bersambung..

Rabu, 07 Januari 2015

AMAZING INDONESIA - WONDERFUL LOMBOK: Banyumulak, Sukarara, Sade, Kuta dan Batu Layar

Pantai Kuta Lombok
Lombok adalah bahasa Sasak untuk kata "Lurus" dalam bahasa Indonesia, kata Rakha, guide sekaligus sopir mobil yang mengantar saya ke hotel dari bandara internasional Selaparang, Lombok, NTB. Mengapa, tanya saya. Menurut cerita, leluhur orang Sasak berasal dari pulau Jawa yang tiba di pulau ini tanpa mampir ke pulau-pulau lain di sepanjang pelayaran mereka mencari tanah baru. Karena itulah, pulau ini diberi nama Lombok saat ditemukan dan didiami oleh para leluhur. Rakha melanjutkan bahwa Lombok memiliki banyak tempat wisata yang jaraknya cukup berjauhan satu sama lain. Tempat-tempat wisata itu terbagi-bagi menjadi  wisata daerah pegunungan, yakni air terjun dan gunung Rinjani, wisata pantai, termasuk pantai Pink dan pulau antara lain Gili Trawangan yang telah terkenal di kalangan turis domestik dan manca negara serta wisata budaya dan kuliner. Karena itu, jika ingin mengunjungi semua tempat wisata tersebut, saya harus mengalokasikan beberapa hari tinggal di Lombok. Saya mendiskusikan pilihan-pilihan yang paling mungkin untuk one day trip saya di  Lombok. Kami berdua sepakat menggabungkan wisata budaya, kuliner dan pantai di sekitar kota - yang mudah dijangkau alias tidak membutuhkan waktu tempuh cukup lama di jalan.

Pembuat gerabah
Sekitar jam 8 pagi, Rakha telah menjemput saya di hotel. Tempat pertama yang akan kami jelajah hari ini adalah tempat pembuatan gerabah di Desa Banyumulak (dibaca Banyumulek). Sekitar 15 menit perjalanan di pagi hari yang masih sepi, Rakha membelokan mobil ke kanan di satu pertigaan, keluar dari jalan utama yang kami tempuh dari hotel. Mobil menyusuri jalan lebih kecil melewati satu masjid di pertigaan tersebut. Sekitar 1 km dari pertigaan, saya melihat gapura desa berwarna hijau berdiri mengangkangi jalan dengan ucapan selamat datang. Gerbang
tersebut didampingi gerabah ukuran tinggi sekitar 2 meter yang berdiri kokoh menyambut para tamu.
Para pembuat gerabah
Tidak jauh dari gerbang desa, Rakha membelokan mobil ke suatu kompleks produksi dan penjualan gerabah yang cukup luas. Selain halaman yang luas, kompleks ini memiliki 3 bangunan dengan fungsi berbeda. Sepertinya saya merupakan pengunjung pertama di kompleks ini karena tidak terlihat adanya pengunjung lain dan juga aktivitas di kompleks tersebut baru dimulai. Saya dan Rakha keluar mobil lalu Rakha mempersilahkan saya menjelajah bangunan sebelah kiri terlebih dahulu. Saya berjalan ke bangunan berukuran sekitar 5x15 meter dengan dinding tembok belakang utuh dari lantai sampai atap, sedangkan bagian depannya hanya diberi dinding setinggi lutut yang menjadi tempat sandar beberapa perkerja yang terlihat mulai aktif di bangunan tersebut. Bangunan ini dilengkapi 2 pintu guna memudahkan pengunjung dan pekerja masuk dan keluar.

Seorang perempuan muda berjilbab sedang duduk mengolah dan membentuk tanah di suatu mesin
Pembuat gerabah
pemutar. Perempuan ini duduk menghadap pintu masuk dan membelakangi dinding bangunan di belakangnya. Tangan terlatihnya terlihat cekatan mencolek, mengelus dan mencomot bagian-bagian tertentu yang dalam waktu 5 menit kemudian telah menghasilkan bentuk pot langsing berukuran sekitar 40cm. Tak jauh dari perempuan muda tersebut dalam posisi berlawanan duduk berjejer 3 perempuan dan seorang laki-laki yang mengerjakan bagian lain dari proses pembuatan gerabah, yakni memberi motif dan warna pada berbagai bentuk gerabah yang telah kering. Saya meminta izin mengambil beberapa foto serta melihat-lihat gerabah berbagai bentuk dan ukuran yang diletakan di lantai maupun meja-meja setinggi pinggang orang dewasa di ruang itu. Setelah puas mengamati dan memotret, saya berjalan keluar melewati
Pembuat gerabah
pintu belakang yang terletak di samping jejeran para pekerja pembuat motif dan pemberi warna. Saya menuju bangunan lainnya yang terletak bersebelahan dengan bangunan pertama yang telah saya kunjungi. Seorang ibu sedang sibuk mencuci berbagai peralatan di teras bangunan ini. Sekitar 5 meter dari ibu itu, 5 laki-laki sedang sibuk  mengerjakan gerabah berbentuk pot tanaman dengan diameter berukuran sekitar 50cm. Saya mengajak para pekerja ini bercakap-cakap yang dilayani dengan ramah. Seorang lelaki yang sedang sibuk menggosok pot  menjelaskan bahwa motif-motif pada pot-pot tersebut terbuat dari kulit telur. Wow, koq bisa ga hancur pak?, tanya saya penasaran sambil tangan saya mengelus kulit telur berwarna coklat pada salah satu pot yang sedang dikerjakan lelaki tersebut. Pertama-tama yang
Pembuat gerabah
dibentuk adalah potnya, kata lelaki itu meneruskan obrolan kami. Satu demi satu kulit telur dilekatkan ke pot saat pot masih dalam kondisi basah. Setelah kulit telur terpasang, pot-pot tersebut dijemur beberapa hari sampai kering kemudian digosok dan diplitur sehingga terlihat kilauannya. Saya menganguk-angguk sambil terus ngobrol beberapa menit. Setelah itu, saya mengucapkan terima kasih lalu beranjak meninggalkan lokasi tersebut menuju bangunan ketiga di sebelah kanan gerbang yang berjarak puluhan meter dari kedua bangunan yang telah saya kunjungi. Bangunan ketiga yang saya kunjungi dipenuhi gerabah berbagai model, bentuk, motif, warna dan ukuran untuk dijual. Saya menyusuri semua lorong dalam bangunan tersebut untuk melihat-lihat dan memotret. Di akhir kunjungan, saya membeli beberapa gerabah, diantaranya adalah kendhil maling, yakni kendi khas desa Banyumulak atau Lombok yang pengisian airnya dilakukan dari suatu lubang di dasar kendi. Saat saya sedang asyik memotret di luar, terlihat 1 mobil memasuki pekarangan kompleks. 2 bule laki-laki dan perempuan ditemani sopir mobil yang juga bertindak sebagai guide keluar mobil dan berjalanan ke bangunan pembuatan gerabah yang telah saya jelajah.

Para penenun di Sukarare
Dari Banyumulak, Rakha membawa saya ke salah satu sentra tenun Sasak, yakni di desa Sukarara (diucap Sukarare). Kompleks sentra tenunan ini jauh lebih kecil dari sentra gerabah yang saya kunjungi di Banyumulak. Kompleks tertata berbentuk huruf U. Saat saya keluar  mobil, seorang perempuan muda berkain songket berbaju biru muda mengenakan jilbab menyambut saya dan mengucapkan selamat datang. Saya mengucapkan terima kasih dan berjalan bersama perempuan tersebut yang bertindak sebagai guide. Saya diajak ke depan bangunan utama dimana 4 perempuan yang mengenakan baju hitam dan songket sedang tekun menenun. 2 perempuan duduk menenun di sisi kiri pintu masuk dan 2 lagi di sisi kanan. Perempuan guide tersebut menjelaskan bahan-bahan yang digunakan, proses dan motif yang
Pakaian adat Sasak ke acara kawinan
memiliki arti sendiri-sendiri dalam budaya Sasak. Di sisi kanan bangunan juga terdapat 1 bale-bale yang posisinya lebih rendah dari bale-bale depan bangunan. Di bale-bale ini terlihat 3 perempuan lebih muda sedang menenun. Saya dan guide duduk ngobrol di bale-bale ini sambil memperhatikan para perempuan yang terus menenun tanpa terganggu kehadiran kami. Setelah itu, saya dan guide beranjak masuk ke bangunan utama yang adalah toko / tempat penjualan hasil tenunan. Ribuan tenunan songket dalam berbagai kualitas dijual disini. Kain songket, baju perempuan dan laki-laki, ikat kepala, selendang, taplak meja, tas berbagai ukuran dan masih banyak lagi. Guide menawari saya beberapa songket harga ratusan ribu, namun saya tidak tertarik karena memang tidak membutuhkannya. Akhirnya guide menawarkan pada saya mengenakan pakaian tradisional Sasak guna berfoto. Saya setuju sehingga guide memakaikan saya sarung, selendang, ikat kepala dan juga diberi keris. Guide
Lumbung pangan Suku Sasak
menjelaskan bahwa pakaian yang saya kenakan adalah pakaian untuk menghadiri upacara perkawinan Sasak. Saya diajak keluar toko dan berpose di rumah adat Sasak berbentuk panggung di bagian depan sebelah kanan toko. Selesai berfoto, kami kembali ke dalam toko melepaskan pakaian tersebut. Saya kembali melihat-lihat lalu membeli 1 kain songket seharga 200ribu - yang mungin dapat saya gunakan sebagai hadiah atau kado suatu hari nanti, pikir saya. Sebagai ungkapan terima kasih ke guide, saya memberikan tip 50 ribu. Guide mengantar saya kembali ke mobil, mengucapkan terima kasih sambil tersenyum ramah dan mengundang saya berkunjung lagi jika sedang berada di Lombok.

Dari Sukarara, Rakha membawa saya ke desa tradisional Sade. Desa ini terletak di Kabupaten Lombok Selatan. Jalan menuju desa ini masih satu jalur dengan jalan ke airport Selaparang, Lombok. Kabupaten Lombok Selatan lebih
Kendhil / kendi maling khas Banyumulak
kering daripada Kabupaten Lombok Barat maupun Kota Mataram. Lahan kebun dan sawah terlihat kering dan tanahnya pecah-pecah atau berdebu warna abu-abu. Hanya pepohonan tahan panas yang terlihat tumbuh tegak dan berwarna hijau memberi kesegaran kawasan sekitar yang kami lalui. Berbeda dengan landscape Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram yang hijau dengan berbagai pohon dan tanaman, termasuk padi di sawah yang membentang luas sepanjang jalan yang dilalui mobil. Rakha menunjukan rumah dan sekolah dasar serta SMP tempat dia bersekolah dulu - saat kami melintas di depan rumah dan sekolah-sekolah tersebut. Mobil terus melaju ke desa Sade. Jalanannya sepi, lebar, bersih dan mulus. Tak banyak kendaraan berlalu lalang. Bangunan msjid berbagai bentuk dengan kubah berbagai warna menyembul di berbagai tempat yang kami lalu. Pemandangan berganti-ganti antara hijau segar dan kering berdebu. Kadang kami berpapasan dengan cidomo (pedati / dokar khas Lombok) di jalanan yang kami lewati. Sekitar 30 menit beranjak dari Sukarara, kami pun tiba di desa Sade yang terletak di tepi jalan raya Lombok Selatan.

Dalam kampung Sade
Kampung Sade merupakan suatu kampung tradisional Sasak yang masih mempertahankan kekhasan bentuknya, terutama keaslian bentuk dan bahan rumah. Mobil berhenti di parkiran yang cukup luas berhadapan dengan kompleks rumah-rumah di kampung tersebut. Sebelah kanan tempat parkir terdapat papan nama warna putih tulisan hitam tentang Desa Sade. Sebelah kiri terdapat suatu bale-bale dimana para guide yang adalah pemuda-pemuda kampung Sade duduk santai menunggu tamu. Saat saya keluar mobil, seorang pemuda mengenakan kain songket, baju hem putih lengan pendek dan ikat kepala menyambut saya dan memperkenalkan dirinya bernama Mahmud yang akan mendampingi saya berkeliling di kampung Sade. Rakha meninggalkan saya bersama pemuda tersebut yang mengajak saya berjalan menyeberangi jalan memasuki gerbang kampung. Saya diarahkan mengisi buku tamu yang dijaga seorang pemuda lain di bawah pohon jambu yang cukup besar dan rindang. Buku tamu diletakan di atas meja berdampingan dengan kotak donasi. Para tamu yang telah mengisi buku tamu tersebut dipersilahkan memberikan uang donasi dengan cara memasukannya ke kotak donasi tersebut. Saya mengisi 50ribu ke  kotak tersebut kemudian mulai berjalan perlahan didampingi Mahmud.

Mahmud menginformasikan ke saya bangunan terbuka yang ada dibelakang meja buku tamu dan
Depan Baruga Sekenam 
pohon jambu tersebut. Bangunan itu disebut Baruga Sekenam yang merupakan balai pertemuan warga yang hanya digunakan pada waktu tertentu sesuai kebutuhan. Berhadapan dengan Baruga Sekenam itu adalah rumah kepala kampung. Setelah itu, saya dibawa menyusuri gang-gang di kampung itu. Semua rumah terbuat dari kayu untuk tiang-tiangnya, anyaman bambu untuk dinding dan alang-alang untuk atapnya. Setelah 2 gang, Mahmud mengajak saya memasuki 1 rumah yang nampaknya kosong. Mahmud menginformasikan ke saya bahwa para penghuni rumah sedang beraktifitas di luar rumah serta telah ada izin bagi para pengunjung untuk mengunjungi rumah tersebut. Ruangan rumah yang kami masuki terbagi 2 dengan ketinggian berbeda. Ruangan pertama berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus ruangan bagi para orang tua suami dan istri. Ruangan kedua yang lebih tinggi diperuntukan bagi para gadis atau ibu yang baru melahirkan. Akses ke ruang kedua yang lebih tinggi menggunakan tangga tanah berundak tiga - yang  menurut Mahmud melambangkan Islam Watu Telu yang dianut penduduk kampung Sade. Undak tiga di tangga tersebut juga melambangkan transformasi keyakinan penduduk sejak para leluhur mereka yang telah mengalami 3 kali transformasi keyakinan, yakni dari agama asli ke Hindu kemudian dari Hindu ke Islam. Tangga dan lantai terbuat dari campuran kotoran kerbau dan sekam padi.

Bale tani kampung Sade
Menurut Mahmud, kampung Sade memiliki 150 rumah yang didiami 700 orang perempuan dan laki-laki. Selain rumah-rumah penduduk, kampung juga dilengkapi lumbung pangan yang disebut Bale Tani. Bentuk Bale Tani  berbeda dengan rumah tinggal. Selain berukuran lebih kecil, bangunannya berbentuk langsing dan tinggi dibagi ke 2 bagian, yakni atas yang tertutup sebagai tempat penyimpanan hasil panen dan bagian bawah yang terbuka sebagai tempat aktivitas lainnya. Menurut adat Sade, lumbung hanya boleh dimasuki kaum perempuan. Bangunan lain dalam kompleks itu adalah bangunan kecil berukuran sekitar 2x3meter bernama Bale Kodong. Bangunan ini hanya digunakan oleh para pengantin baru sejak malam pertama mereka menikah sampai dengan 7 hari kemudian. Semua perempuan di kampung tersebut harus bisa menenun sebagai syarat menikah. Pernikahan dilakukan dengan cara laki-laki menculik dan melarikan perempuan yang akan dijadikan istri. Bale Kodong juga digunakan sebagai tempat tinggal para lansia.

Seorang nenek di Bale Kodong
Kami terus berjalan menyusuri berbagai lorong di kampung tersebut. Kadang naik, kadang turun tergantung kontur tanahnya. Banyak teritis rumah telah difungsikan sebagai tempat penjualan souvenir dan juga tenunan. Di beberapa tempat, terlihat para perempuan sedang menenun dikeliling oleh songket hasil tenunan berbagai warna dan produk yang digantung pada dinding-dinding rumah. Pada salah satu sudut, saya melihat alat tradisional penenunan kapas yang mejadi bahan utama kain songket. Saya membeli beberapa souvenir berbentuk gelang dan gantungan kunci serta 1 selandang songket sebagai oleh-oleh dari kampung Sade. Matahari mulai bersinar terik saat saya kembali menyeberangi jalan depan kampung Sade menuju tempat parkir. Saya dan Rakha meninggalkan Sade menuju pantai Kuta (dibaca Kute) yang berjarak 30 menit perjalanan dari Kampung Sade.

Sisi kanan pantai Kuta
Matahari sedang bersinar terik saat kami tiba di pantai Kuta. Saya membayar karcis masuk sebesar 5.000 rupiah melalui Rakha ke petugas yang berjaga di area terbuka sekitar pantai. Mobil berhenti dekat sejenis pohon pandan raksasa di tepi pantai yang digunakan sebagai lokasi jualan oleh seorang penjual minuman dan makanan kecil, termasuk mie instan dan kelapa  muda. Saya keluar mobil dan menghampiri ibu penjual, minta disediakan air kelapa muda. Saya dan Rakha duduk beristrahat di bawah pohon yang telah diberi papan sebagai bangku atau bale-bale sederhana. Kami minum sambil ngobrol dan menikmati pantai berair biru jernih yang terhampar sejauh mata memandang. Pantai ini berada di teluk yang diapit oleh
Sisi kiri pantai Kuta
barisan perbukitan tandus berwarna coklat sepanjang sisi kanan pantai. Sebelah kirinya terdapat gugusan karang berbagai bentuk dan ukuran - yang mungkin masih merupakan bagian dari daratan utama pulau Lombok atau terpisah - namun karena cukup jauh letaknya sehingga saya tidak bisa memastikan keterkaitan daratan utama pulau dan gugusan karang-karang beraneka bentuk tersebut.

Setelah air kelapa tandas, saya dan Rakha berjalan perlahan ke arah kanan menyusuri pasir pantai berwarna krem. Hanya beberapa puluh orang terlihat berendam di pantai ini. Bule-bule perempuan dan laki-laki berbikini terlihat sedang berjemur dengan alas handuk di pasir yang akan saya dan Rakha lewati. Kami terus berjalan ke arah kumpulan karang untuk memotret
Para pedagang di pantai Kuta
pemandangan di sekitar situ. Puluhan perahu nelayan sedang parkir di sepanjang pantai berjarak puluhan meter dari tempat para turis sedang menikmati air laut dan matahari. Seorang perempuan penjual tenunan berjalan mengikuti saya menawarkan dagangannya. Saya menggeleng sambil tersenyum, namun perempuan tersebut tetap gigih mengikuti dan menawarkan tenunan yang bertumpuk di atas kepalanya. Beberapa temannya yang semuanya perempuan ikut menyusul dan beramai-ramai menawarkan dagangan mereka. Saya mengalihkan perhatian mereka dengan mengajak ngobrol tentang keseharian mereka dan juga memotret mereka. Setelah selesai potret diri dan pemandangan sekitar, saya dan Rakha
Salah satu bagian pantai Kuta
berjalan kembali ke pohon pandan. Para pedagang itu beramai-ramai mengikuti kami. Kami semua duduk di bale-bale di bawah pohon pandan dan ngobrol ngarol-ngidul. Di seberang jalan depan pantai terlihat jejeran penginapan dan juga rumah-rumah penduduk. Suatu hari, pantai dan kampung-kampung sekitarnya mungkin akan berubah menjadi seperti pantai Kuta di Bali. Turis domestik dan manca negara akan memenuhi tempat ini dengan beragam gaya. Ketenangan airnya yang biru di lokasi semi tertutup dalam teluk itu sepertinya menjadi lokasi menarik buat para turis yang hanya ingin mandi, berendam dan berjemur. Berbeda dengan kondisi pantai Kuta Bali yang terbuka ke laut lepas. Sengatan terik mataharinya akan menjadi favorit turis bule, pikir saya.

Rakha - sopir, guide dan teman di Lombok
Setelah cukup beristirahat, saya berjalan beberapa puluh meter ke arah kiri menyusuri pasir pantai sambil terus memotret. Sepasang bule berpakaian minim sedang berjemur di atas pasir bagian ini. Sedangkan 5 orang lainnya sedang berjalan perlahan ke dalam air biru yang tenang di bawah sinar matahari yang menyengat. Saya terus berjalan melewati pasangan bule itu, melangkah ke hamparan batu-batu karang yang menjorok ke air laut untuk mengambil beberapa foto. Kulit saya terasa perih disengat matahari siang yang sangat terik. Saya cepat-cepat kembali ke pohon pandan untuk berteduh sedangkan para bule masih asyik berjemur dan berendam. Sekelompok pengunjung lokal terdiri dari para lelaki
Bersama para pedagang souvenir
dan perempuan muda sedang asyik berfoto ria di pantai berjarak puluhan meter dari pohon pandan tempat  saya, Rakha dan para perempuan pedagang sedang berteduh. Karena tidak berhasil membujuk saya membeli dagangan, perempuan-perempuan pedagang itu akhirnya hanya senyum-senyum getir saat saya ajak foto bareng. Beberapa malu-malu mengatakan bahwa mereka tidak cantik karena hitam dan bekerja setiap hari di bawah terik matahari. Saat saya mengatakan mereka cantik-cantik dan menunjukan foto-foto digital di kamera saya, mereka senyum- senyum dan tertawa-tawa. Seorang perempuan mengisahkan legenda putri nyale di pantai tersebut. Konon, pada musimnya penduduk setempat akan ramai-ramai turun ke pantai Kuta memanen cacing laut yang dikenal dengan nama nyale. Nyale diyakini sebagai perwujudan dari tubuh putri Mandalika asal Johor. Putri Mandalika memutuskan bunuh diri dengan cara terjun ke laut sebagai upayanya mencegah pertarungan dan peperangan antara para pangeran yang berebut ingin memperistri sang putri. Tubuh sang putri diyakini berubah menjadi gugusan batu yang bertebaran di pantai tersebut serta juga berubah menjadi nyale pada musim tertentu guna dipanen dan dikonsumsi penduduk sekitar sebagai tanda kecintaan sang putri terhadap penduduk Lombok.

Jalan ke airport, kampung Sade dan pantai Kuta
Perut saya mulai terasa lapar.  Karena itu, saya mengakhiri obrolan dengan para pedagang dan mengajak Rakha beranjak pergi mencari tempat makan. Rakha menanyakan apakah saya ingin mencoba makanan khas setempat. Tentu saja, jawab saya dengan gembira. Kami kembali ke mobil yang dijalankan Rakha melewati jalanan yang telah kami lalui sebelumnya ke pantai Kuta. Sekitar 20 menit kemudian, mobil berhenti dan parkir di depan suatu restoran yang tempat parkirnya di penuhi mobil dan motor mengindikasikan restoran ini ramai dikunjungi saat makan siang dan  mungkin juga malam. Saya dan Rakha mengambil tempat di salah satu meja kosong lalu memesan nasi balap puyung dan masing-masing segelas es jeruk. Kami makan sambil ngobrol berbagai hal, termasuk keseharian dan keluarga Rakha yang telah memiliki isri
Landmark Kab. Lombok Barat
dan seorang bayi. Keluarga kecil ini tinggal di rumah warisan orang tua Rakha di Kabupaten Lombok Selatan yang telah kami lewati PP saat mobil melaju ke kampung Sade dan Pantai Kuta. Selesai makan, saya meminta Rakha mengantar balik saya ke hotel Mataram tempat saya menginap di Lombok. Saya ingin beristirahat menunggu sore hari agar lebih adem. Toh saya hanya memiliki satu agenda lagi hari ini yakni menikmati sunset di sekitar pantai Senggigi.

Pada waktu yang telah disepakati saat saya keluar kamar hotel, Rakha telah menunggu di lobby hotel. Kami berjalan bersama ke mobil yang lalu dihidupkan dan mulai berjalan keluar parkiran hotel.
Gerbang kompleks makam Batu Layar
Dari perempatan depan hotel, mobil belok kanan menyusuri jalanan kota Mataram di sore hari yang mulai sejuk. Saat mobil memasuki jalanan kawasan Senggigi, suasana kota wisata terlihat sangat kental seperti kota-kota wisata di Bali dan Thailand. Warung, resto, money changer, hotel, motel, guess house, pub, karaoke dan lain-lain sejenisnya berjejer sepanjang jalan yang sangat bersih, lebar dan mulus. Mobil terus melaju meninggalkan pantai Senggigi di belakang jalan yang telah kami lalui. Mobil berhenti dan parkir di kawasan perbukitan tepi pantai bernama Makam Batu Layar yang berjarak sekitar 2 atau 3 km dari Pantai Senggigi. Lokasi ini merupakan lokasi para turis domestik dan penduduk lokal
menikmati sunset yang terletak di belokan jalan utama Senggigi di atas bukit Batu Layar. Sebelah
Sunset di pantai Makam Batu Layar
kanan terlihat gerbang makam Batu Layar yang konon merupakan makam seorang kyai terkenal dan dihormati di Lombok. Sebelah kiri jalan yang menjadi lokasi parkir sekaligus nongkrong menikmati sunset telah dibangun dan ditata. Suatu pendopo beratap dengan dinding papan setinggi pinggang orang dewasa, berlantai keramik menjadi tempat nongkrong pengunjung menunggu sunset. Pendopo semi terbuka ini dilengkapi kursi, bangku-bangku bambu dan meja-meja yang sore ini digunakan puluhan pengunjung menikmati jagung bakar dan kopi sasetan sambil menunggu sunset tiba. Saya dan Rakha
Sunset di Makam Batu Layar
mengambil tempat di salah satu bangku. Saya meminta Rakha memesan jagung bakar dan kopi sasetan bagi kami berdua. Sambil menunggu jagung dan kopi serta juga sunset sekitar 1 jam lagi, saya berkeliling dan memotret di daerah sekitar, termasuk mencoba memotret pantai Senggigi nun jauh di bawah. Angin di daerah ini cukup kuat, sehingga saya harus sangat ekstra hati-hati. Semakin mendekati sunset, lokasi tersebut semakin ramai dan penuh. Masing-masing orang mengambil posisi strategis guna menikmati sunset.

Nasi balap puyung
Saat sunset berlalu bersamaan dengan datangnya kegelapan, saya dan Rakha pun beranjak meninggalkan tempat tersebut. Rakha mengajak saya mampir makan malam di restoran ayam taliwang yang cukup terkenal di daerah situ. Sekitar 20 menit perjalanan mobil dari Makam Batu Layar, kami parkir di depan restoran yang masih sepi. 2 penjaja cincin dan batu cincin aneka warna dan bentuk terlihat sedang berdagang di depan pintu restoran yang terletak di samping kiri gerbang, alias pintu restoran tidak langsung menghadap ke gerbang depan jalan utama. Setelah masuk ke restoran yang besar dan semi terbuka - hanya sisi kanan yang berdinding sedangkan sisi kiri terbuka menghadap ke sejumlah pondok makan lesehan. Saya dan Rakha memilih salah satu pondok lalu memesan makanan dengan menu utama ayam Taliwang tentunya. Karena perut saya sensitif terhadap cabe, maka saya memesan ayam Taliwang madu sebagai pilihan alternatif dari rasa original yang bercabe dan terkenal pedas. Sambil menunggu, Rakha menceritakan asal usul ayam Taliwang dari Pulau Sumbawa. Restoran tempat kami makan malam
Paket nasi ayam taliwang
saat ini merupakan salah satu dari puluhan tempat makan ayam Taliwang di daerah tersebut - yang semua pemiliknya berasal dari pulau Sumbawa, kata Rakha. Malam semakin gelap ketika kami mengakhiri makan malam dan mobil melaju membelah jalanan kawasan Senggigi mengantar saya kembali ke hotel mengakhiri perjalanan saya di Pulau Lombok hari ini.


Bersambung.


Kamis, 01 Januari 2015

SWITZERLAND: Jungfraujoch dan Interlaken

Di area Plateau snow
Jungfraujoch atau dikenal juga sebagai top of Europe merupakan suatu tempat wisata di puncak gunung Alpen yang juga memiliki stasiun riset ilmiah bagi kepentingan ilmu pengetahuan. Tempat ini terletak di  ketinggian 3.454 meter dari permukaan laut, beberapa lokasi bahkan lebih tinggi 10an meter dari tinggi titik resmi yang dicantumkan dalam peta maupun buku wisata. Tempat ini dibangun dalam beberapa tahap dimulai dengan pembangunan jalan kereta api sebagai akses ke puncak Jungfrau. Pembangunan jalur kereta dilakukan secara bertahap yang mengbungkan satu stasiun ke stasiun lainnya. Konstruksi pertama dimulai
Stasiun Jungfraujoch
pada 27 Juli 1896 yang mempekerjakan sekitar 100 pekerja dari Italia. Pembangunan stasiun akhir di puncak gunung yang dikenal sebagai Jungfraujoch dilakukan pada 21 Februari 1912. Jalur dan stasiun di puncak gunung Alpen ini mulai digunakan pada 1 Agustus 1912. Kompleks stasiun puncak dibagi ke dalam 10 bagian yang memiliki fungsi masing-masing, yakni 1) stasiun itu, tempat naik turun penumpang; 2) loker penyimpanan barang; 3) Jungfrau panorama yang merupakan bioskop yang menyajikan film sejarah Jungfrau bagi para pengunjung; 4) Sphinx atau Vantage Terrace; 5) Aletsch Glacier atau snow fun; 6) Monchsjoch Hut; 7) Alpine sensation; 8) Ice Palace; 9) Plateau snow; dan 10) Barghaus (kompleks utama) yang berisi berbagai restoran dan toko.

Saya memisahkan diri dan menjelajah sendiri menggunakan peta dan buku petunjuk yang telah dibagi-bagikan tour leader hari kemarin. Ekplorasi juga dipermudah dengan petunjuk-petunjuk yang disediakan pengelola, yakni tulisan TOUR dan tanda panah dalam warna putih pada dasar biru laut. Dari stasiun, lokasi pertama
Area Sphinx atau Vantage terrace
yang ditemui pengunjung adalah Barghaus, yakni kompleks utama yang berisi jejeran kios/toko dan restoran serta semacam aula dengan meja-meja bar yang melekat ke dinding ruangan. Dari kompleks utama ini, saya mengikuti tulisan TOUR dan tanda panah ke Jungfrau panorama yang menyajikan film pendek sejarah Jungfraujoch selama 4 menit. Ruangnya berbentuk seperti  bulan sabit dengan lebar sekitar 5-7 meter. Pengunjung menikmati film pendek tersebut sambil berdiri. Dari Jungfrau panorama, saya beranjak menyusuri lorong yang ada, kadang harus naik atau turun tangga. Di suatu bagian, saya mengikuti pengunjung lainnya masuk ke lift yang tersedia. Lift tersebut membawa saya ke lokasi Sphinx atau Vantage Terrace di luar gedung sehingga saya bisa merasakan dinginnya udara walau matahari bersinar terik. Sekeliling lokasi dipagari bilah-bilah baja selebar 5 - 10cm dan juga tali-tali baja seukuran jempol orang dewasa untuk mengamankan pengunjung dari jurang sekitarnya. Luas area ini sekitar 10 meter lebar dan 20 meter panjang. Pada jarak sekitar 15 meter dari pintu keluar masuk terpasang 1 tiang bendera utama dan 1 lagi tiang bendera lebih kecil berjarak sekitar 5 meter dari tiang utama> pada puncak kedua tiang tersebut terpasang bendera Swiss berwarna merah dengan tanda plus (+) putih di tengahnya. Warna bendera dan tanda +nya merupakan kebalikan dari warna palang merah.
Di area Sphinx
Kedua bendera tersebut sedang berkibar-kibar ditiup angin. Saya dan para pengunjung lain mengambil posisi dan foto-foto di tempat tersebut. Selesai foto diri di tiang bendera itu, saya berpindah ke sisi-sisi pagar untuk melihat-lihat lebih dekat sekaligus mengambil foto-foto pemandangan yang dipenuhi salju. Sinar matahari siang yang menyinari salju putih sangat menyilaukan saat dilihat.

Dalam Ice Palace
Pada sisi bangunan sebelah kiri juga ada semacam teras samping selebar 1 meter yang juga dipagari bilah-bilah baja. Saya berjalan ke teras tersebut untuk mengambil beberapa foto,
kemudian saya berjalan kembali ke dalam bangunan. Saya kembali menggunakan lift ke tempat sebelumnya. Keluar dari lift saya berjalan berkeliling lalu masuk ke lorong yang di depannya tertulis petunjuk Ice Palace. Saya melangkah masuk ke lorong depan saya yang semuanya terbuat dari es. Semua benda berupa patung dan karya seni lainnya juga terbuat dari es, termasuk ruang-ruang yang digunakan memamerkan benda-benda tersebut. Antara ruang dengan lorong diberi pagar pembatas setinggi dada saya guna mencegah pengunjung masuk ke ruang-ruang tersebut yang akan berdampak buruk ke benda-benda yang dipamerkan. Menyusuri Ice Palace ini seperti berjalan dalam gua-gua Jepang yang dibangun pada masa perang dunia II oleh bala tentara Jepang sebagai perlindungan dalam perang dengan pasukan Sekutu seperti dalam film letters from Iwa JimaDi salah satu lorong, saya berpapasan dengan 2 pemuda dari Jakarta yang semalam saya kenal dan ngajak ngobrol di hotel. Saya minta tolong salah satu memotret saya. Setelah mengucapkan terima kasih, kami berpisah mencari jalan sendiri-sendiri dan tidak bertemu lagi sampai dengan hari ini.

Dalam Ice Place
Plateau snow 
Keluar dari Ice Palace, saya menyusuri lorong lain yang membawa saya ke Plateau snow, dataran luar ruang yang dipenuhi salju.


Area terbuka ini dibatasi dinding gunung bersalju di sebelah kanan dan jurang bersalju di sebelah kiri. Sekeliling area dipagari tali-tali baja setinggi pinggang. Semua di dataran tersebut berwarna putih menyilaukan karena pantulan sinar matahari, kecuali pagar pembatas, tiang bendera dan benderanya yang berwarna lain serta warna-warni pakian para pengunjung. Dataran ini lebih panjang dan lebih lebar dari ruang terbuka Vantage Terrace atau Sphinx yang telah saya kunjungi sebelumnya. Di ujung dataran berjarak sekitar 40an meter dari pintu keluar masuk terpancang tiang
Bermain salju di area Plateau snow
bendera dengan bendera Swiss yang berkibar-kibar karena tiupan angin. Area tiang bendera dan sekitarnya salah satu spot favorit pengunjung berfoto ria. Saya juga tidak ingin ketinggalan momen tersebut sehingga saya ikut berdiri mengantri dengan pengunjung lainnya dekat tiang tersebut lalu saling bergantian mengabadikan diri di tempat tersebut. Saya melihat puluhan mengunjung
Menanjat dinding gunung salju
menyeberangi batas pengaman sebelah kanan yang berbatasan dengan dinding gunung karena masih ada dataran cukup luas antara dinding gunung dengan pagar pembatas yang seharusnya tidak boleh dilewati pengunjung. Namun beberapa pengunjung terlihat menyeberangi pagar pembatas dan bermain salju di area tersebut. Selain bermain salju, beberapa mencoba mendaki dinding gunung bersalju. Setelah mengamati mereka yang ternyata aman-aman saja serta tidak ada teguran dari pengelola karena tidak ada petugas yang mengawasi, maka saya ikut menyeberangi pagar pembatas bersama pengunjung lain yang juga ingin bermain salju di area tersebut. Saya bertemu 2 perempuan teman seperjalanan asal Amerika Serikat sehingga kami bermain lempar-lemparan salju dan juga mencoba memanjat dinding gunung salju di depan kami hanya untuk difoto tentunya. Memegang salju rasanya seperti memegang tepung maizena. Licin dan mudah lepas serta berasa dingin.

Salah satu lorong dalam bangunan Jungfraujoch
Jarum jam yang melingkar di tangan saya menunjukan masih 45  menit lagi jam 2 siang sebagai waktu rombongan harus bertemu kembali di salah satu kios dekat pintu keluar masuk stasiun. Saya meninggalkan Plateau snow dan kembali ke dalam bangunan. Saya berjalan perlahan menyusuri lorong-lorong yang ada mengikuti tanda-tanda yang disediakan pengelola sampai saya tiba kembali di kompleks utama berisi jejeran kios dan restoran. Restoran dipenuhi pengunjung yang didominasi orang-orang Timur Tengah, terlihat dari pakaian khas yang dikenakan. Saya masuk ke beberapa kios melihat-lihat barang dan harganya. Memang benar informasi yang diberikan tour leader bahwa semua barang
Area luar Jungfraujoch
disini harganya berkali-kali lipat mahal dibanding harga di kota atau desa Wilderswil. Karena kuatir tidak bisa mendapatkan souvenir snow ball sebagai kenangan telah berkunjung ke Jungfrau (saya punya kebiasaan membeli snow ball ukuran kecil atau sedang dari berbagai negara sebagai benda kenangan, selain tempelan kulkas sebagai salah satu barang wajib), saya memutuskan membeli 1 snow ball sedang seharga 24 franc. Harga yang kemudian ternyata sangat mahal karena saat saya berkunjung ke salah satu toko souvenir di kota di Interlaken, barang yang sama hanya berharga 6 franc. Karena waktu pertemuan masih sekitar 15 menit lagi, saya mencari salah satu sudut kosong di meja-meja yang berjejer di aula yang dikeliling kios dan toko tersebut. Beberapa pengunjung terlihat duduk dan makan di tempat tersebut. Saya duduk dan mengeluarkan bekal saya dari ransel kemudian mulai mengunyah sambil menunggu waktunya berkumpul kembali dengan anggota rombongan lain di
Salah satu sudut Ice Palace
tempat yang telah ditentukan saat  kami tiba dan menyebar ke lokasi sekitar.

Tepat jam 2 siang, para anggota rombongan kembali berkumpul di tempat sebelumnya. Setelah dihitung, ternyata masih kurang 1 anggota rombongan, yakni pemuda asal Philipina yang bekerja dan tinggal di Dubai. Teman seperjalanannya menginformasikan bahwa pemuda tersebut mengunjungi fasilitas Snow fun. Tour leader menanyakan apakah kami masing-masing telah mendapatkan cap kunjungan di buku Jungfrau passport yang dibagikannya di atas kereta. Saya baru ingat kalo saya belum mendapatkan cap tersebut sebagai kenang-kenangan pada buku berwarna merah maroon yang berisi berbagai informasi tentang Jungfrau. Karena itu, saya berjalan ke konter yang terletak sekitar 5 meter dari pintu masuk-keluar stasiun. Saya mengajukan buku tersebut ke salah satu dari 2 perempuan yang berjaga di konter tersebut yang membuka halaman paling akhir dan memberikan cap di halaman tersebut lalu mengembalikan buku tersebut ke saya.  Beruntunglah sebelum kereta tiba, pemuda yang dicari kelihatan wajahnya sambil cengar-cengir dan langsung diomelin tour leader. Kami yang lain hanya tersenyum kecut sambil antri menunggu kereta yang tidak lama kemudian telah memasuki stasiun, menurunkan pengunjung baru serta menaikan pengunjung yang akan kembali. Sekali lagi kami memenuhi 1 gerbong khusus
Stasiun transit saat kembali ke Wilderswil
yang telah dibooking oleh tour leader. Saat kereta mulai meninggalkan stasiun Jungfrau, tour leader menginformasikan bahwa kami akan menempuh rute berbeda kembali ke Wilderswil dari rute keberangkatan pagi tadi. Tujuannya agar kami mendapatkan pemandangan yang berbeda. Saya hanya mengangguk-angguk dan meneruskan obrolan seru saya dengan pasangan suami istri asal Inggris dan Philipina yang duduk berhadap-hadapan dengan saya. Sekali lagi kami berganti kereta di stasiun Grinderwal sebagai stasiun transit kembali ke Wilderswil. Di stasiun ini lagi-lagi salah satu anggota rombongan hampir tertinggal karena sedang ke toilet, padahal kereta harus segera berangkat. Tour leader harus meminta maaf berulang kali ke petugas perempuan yang berdiri di tepi rel siap memberi sinyal keberangkatan. 2 menit kemudian, anggota rombongan yang kami tunggu tiba dan kereta pun berangkat menuruni bukit dan gunung, menyusuri lembah dan jurang-jurang. Jam 4.15 sore, kami tiba kembali di stasiun Wilderswil.


Menunggu bis di salah satu halte Wilderswil
Karena hari masih siang di Eropa walau telah lewat jam 4 sore, saya memutuskan berkunjung ke kota Interlaken yang hanya dilewati bis saat melintas ke Wilderswil 2 hari sebelumnya saat tiba di kawasan dataran tinggi pedesaan Swiss tersebut. Saya menggunakan tiket bus gratis yang telah disediakan pemilik penginapan. Semua anggota rombongan mendapatkan tiket gratis tersebut. Tiket tersebut berukuran kartu nama berwarna biru gelap berstrip putih di tengahnya. Informasi yang tertulis pada tiket adalah sebagai visitor's card berisi nama saya, nomor kamar, tanggal dan jam berlaku, yakni tanggal 25 Agustus sampai jam 8.15 malam. Alias setelah jam 8.15 tiket tersebut tidak berlaku lagi karena tidak ada lagi bis yang PP Interlaken - Wilderswil atau sebaliknya. Karena itu, saya harus kembali ke desa ini sebelum jam 8.15 malam, pikir saya.

Saya berjalan ke halte bis yang tidak terlalu jauh dari stasiun. Sekitar 15 menit menunggu, bis
Pingir jalan kota Interlaken
berhenti dan membuka pintunya. Belajar dari pengalaman menggunakan bis di London (baca catatan perjalanan di London), maka saya naik dari pintu depan. Kartu yang diberikan pihak hotel saya tunjukan ke sopir yang mengangguk sambil tersenyum. Saya melangkah ke dalam dan duduk pada salah satu kursi di samping jendela guna memudahkan saya memotret pemandangan di sekitar jalan yang dilewati bis. Bis berhenti di semua halte yang dilewati sepanjang jalan. Lebih banyak penumpang baru yang naik daripada turun sehingga semua kursi terisi. Terlihat juga beberapa turis Timur Tengah dan Asia Timur dari wajah dan gaya pakaian yang dikenakan. Bis terus meliuk menuruni kawasan pedesaan Swiss menuju kota kecil Interlaken yang diapit 2 danau di dataran yang diapit bukit dan gunung sekelilingnya.

Pinggir jalan kota Interlaken
Sekitar 30 menit kemudian, bis memasuki terminal kota Interlaken. Terminal terletak di suatu pertigaan di tengah kota. Depan dan samping kanan terminal dibatasi jalanan kota, sedangkan bagian belakang dibatasi pagar pembatas dengan bangunan lain di sekitarnya. Sebelah kiri di bangun deretan kios yang dibangun memanjang berbentuk huruf I. Jejeran kios tersebut sebagai pembatas dengan rel kereta di sebelah kiri terminal. Karena itu, terminal tersebut sekaligus berfungsi sebagai stasiun kereta. Pola yang sama dengan stasiun dan terminal di kota-kota lain yang saya temui selama berkunjung di Eropa Barat. Stasiun kereta dan terminal bis berada dalam 1 kompleks sehingga memudahkan penumpang yang ingin berganti moda transportasi.  Walau berfungsi sebagai terminal, namun tidak terlihat tumpukan kendaraan seperti terminal-terminal di Jakarta ataupun kota-kota lain di Indonesia. Hanya 1 atau 2 bis yang berhenti menurunkan dan menaikan penumpang yang telah menunggu.

Saya turun dari bis dan berjalan keluar area terminal lalu mulai menyusuri jalanan kota yang dipenuhi jejeran bangunan kantor, rumah, hotel, motel, toko dan kios yang menjual berbagai produk, termasuk souvenir. Kesan kumuh tidak terlihat sama sekali, semuanya rapi, teratur dan bersih. Udara sore terasa sejuk dan berasa agak dingin sebenarnya, seperti udara sore hari di Toraja, Sulawesi Selatan. Saya masuk ke salah satu toko souvernir melihat-lihat serta membandingkan harga snow ball dalam ukuran dan bentuk yang sama dengan yang telah saya beli di Jungfrau. Tentu saja harga-harga barang dan juga makanan disini jauh lebih murah. Puas melihat-lihat saya berjalan keluar dan menyusuri jalanan di sore hari yang
Pinggir jalan kota Intelaken
tidak terlalu ramai. Jalannya cukup lebar dan bersih. Kendaraan bermotor berlalu lalang, namun tidak seramai dan sesibuk jalan-jalan Jakarta di sore hari. Lebih baik saya keliling kota menggunakan bis kota, pikir saya sehingga saya berjalan kembali ke terminal.

Interlaken merupakan kota kecil di dataran tinggi Bernese. Kota ini diapit 2 danau, yakni Brienzersee di Timur (Ost) dan Thunersee di Barat (West). Saya bertanya ke salah satu sopir bis - yang bis-nya sedang berhenti menunggu waktu keberangkatan - tentang bis apa yang bisa saya gunakan jika saya ingin mengunjungi salah satu danau. Sopir malah bertanya balik danau mana yang ingin saya kunjungi. Saat saya menjawab danau yang paling dekat jaraknya dengan terminal, sopir tersebut menyarankan saya mengunjungi danau Brienzersee di bagian Timur kota Interlaken. Sopir juga menginformasikan nomor bis dan waktu kedatangannya sehingga saya diminta menunggu saja
Tepi danau Brienzersee
di terminal tersebut. Saya mengucapkan terima kasih dan berjalan ke deretan kios di tengah terminal. Setelah melihat-lihat, saya memutuskan membeli es krim dan duduk di kursi yang disediakan di kios itu sambil makan es krim dan menunggu bis. Waktu menunggu tidak terlalu lama, bis dengan nomor yang saya tunggu terlihat memasuki terminal. Nomor dan rute bis terpasang dalam bentuk cahaya lampu LED berwarna merah di bagian atas depan bis (seperti yang digunakan bis-bis Transjakarta rute Blok M - Kota). Beberapa penumpang terlihat keluar dan turun dari bis. Setelah saya melihat semua penumpang keluar, saya memasuki bis dari pintu depan dan menanyakan harga tiket jika saya turun di tepi danau Brienzersee sambil menunjuk danau tersebut dalam peta yang saya pegang. Sopir bis memberikan saya tiket seharga 1 franc. Saya memberikan duit dan menerima tiket lalu masuk dan duduk di salah satu kursi. Bis hanya diisi saya dan 10 orang lainnya saat keluar dari terminal. Ukuran bis sama dengan bis yang saya tumpangi dari Wilderswil ke Interlaken. Bis sangat bersih dan lapang. Bis berjalan perlahan melewati jalanan yang sangat bersih dan tidak terlalu ramai. Bis berhenti di 5 halte yang dilalui sebelum berhenti di halte terakhir di tepi danau yang saya tuju.

Sebelum turun saya sempatkan ngobrol sebentar dengan sopir menanyakan bis yang akan kembali ke
Tepi danau Brienzersee
terminal. Sopir mengatakan ke saya bahwa bis yang saya tumpangi akan berhenti selama 30 menit di halte tepi danau sekalian akan ganti sopir. Bis ini juga merupakan bis terakhir pada rute tersebut hari itu. Karena itu saya bisa menggunakan bis yang sama kembali ke terminal. Saya mengucapkan terima kasih lalu melompat keluar bis disambut kesegaran udara sore kota kecil tepi danau. Suasana sangat indah dan terasa romantis. Di tepi danau disediakan bangku-bangku kayu bagi pengunjung untuk sekedar duduk-duduk menikmati birunya air danau yang beriak-riak tertiup angin sore. Sekelompok bebek sedang hilir mudik bermain di air danau itu. Saya berjalan perlahan menyusuri pinggiran danau menikmati suasana sekitar kemudian duduk pada salah satu bangku yang tersedia. Mata memandang jauh ke depan ke riak-riak air danau yang bergerak tiada henti sambil menikmati sepoi-sepoi angin. Hanya beberapa orang yang duduk-duduk atau jalan santai di pinggiran danau tersebut. Selain bangku, pinggiran danau juga dikelilingi pedestraian dari keramik kasar berwarna abu-abu tua. Sebelah kiri saya sekitar 40an meter terlihat suatu taman hijau yang dijejeri pepohonan sepertinya ditanam dalam baris-baris tertentu dilengkapi bangku-bangku taman. Kesibukan kota di sekitar terminal tidak terasa di sekitar sini. Suasananya lebih terasa seperti suasana pedesaan Wilderswil.

Pedestarian kota Interlaken
30an menit menikmati suasana adem di sekitar danau terasa menyegarkan. Saat bis mulai dihidupkan oleh sopir baru, saya bergegas kembali ke bis untuk kembali ke kota. Bis kembali menyusuri jalan-jalan sepi melalui rute berbeda dari rute kedatangan. Saya turun di salah satu halte  saat melihat jejeran kios dan toko di sebelah kanan jalan dan lapangan bola di sebelah kiri. Saya menyeberang ke pedestarian yang dijejeri kios dan toko aneka warna dan bentuk. Pedestraian kota sangat luas, rapi, bersih dan adem. Pedestarian atau trotoar Jakarta kalah sangat jauh dari kota ini, kata saya dalam hati. Kondisi pedestariannya yang sangat pro pejalan kaki membuat saya betah berjalan menyusuri jalanan kota dan sesekali masuk ke kios atau toko mengintip barang jualan mereka. Kebanyakan toko dan kios menjual coklat dan wine sehingga saya memutuskan membeli oleh-oleh coklat di salah satu toko kecil yang memasang promo hand made coklat sekaligus diskon pada produk coklat tertentu. Jejeran coklat berbagai bentuk, bahkan ada yang berbentuk boneka dijual di toko ini. Saya memilih beberapa bungkus coklat yang kemudian saya bayar dan bawa kembali ke Indonesia sebagai oleh-oleh.

Keluar dari toko coklat, saya terus berjalan menyusuri jalanan kota. Tiba di satu pertigaan saya belok kanan menyusuri jalan yang pinggirannya masih dijejeri toko-toko kecil yang kemudian berganti rimbunan bunga aneka warna dan bentuk. Saya tiba di suatu boulevard kecil yang menjadi pembatas kesibukan toko dan kios yang barusan saya lewati dengan bangunan
Taman di halaman Kasino  kota Interlaken
kasino berbentuk bangunan Eropa abad pertengahan. Bangunan kasino ini terletak puluhan meter di dalam. Kawasan sekitar boulevard ditata indah dengan berbagai tanaman hias dan juga bunga yang sedang mekar. Beberapa pengunjung terlihat berjalan-jalan dan juga memotret di lokasi ini. Hal yang sama saya lakukan juga karena yakin tempat tersebut merupakan tempat publik yang bisa dipotret. Saya duduk-duduk beberapa menit menikmati suansana dan udara di kawasan ini kemudian kembali menyusuri jalan balik ke jejeran kios dan toko. Tiba di jalan utama, saya belok kanan dan menyusuri jalanan kota yang agak ramai dengan penduduk dan turis yang hilir mudik di trotoar. Saya berhenti di beberapa tempat mendokumentasikan suasana dan momen-momen yang ada ke dalam foto. Lampu-lampu kota mulai menyala saat saya hampir tiba di terminal. Saat tiba di terminal, saya bertemu suami istri teman seperjalanan asal Sri Lanka. Mereka sedang menunggu bis juga untuk kembali ke Wilderswil.
Depan Kasino kota Interlaken
Sekitar 10 menit kemudian bis yang kami tunggu tiba. Tiket yang saya dapatkan dari hotel masih berlaku untuk kembali ke Wilderswil. Tiba waktunya, bis berjalan keluar dari terminal menyeberangi jalan depan terminal, menyusuri puluhan meter jalanan kota kemudian belok kanan melewati jejeran bangunan di pinggir jalan. Saat bis berhenti di halte pertama menaikan penumpang, saya melihat sepasang teman perjalanan asal Australia memasuki bis tersebut. Saya melambai ke mereka dan menunjuk kursi-kursi sebelah saya yang masih kosong. Kami lalu bertukar cerita sepanjang jalan tentang pengalaman hari ini.

Salah satu sudut Ice Palace di Jungfraujoch
Rombongan kecil kami turun di halte terdekat ke hotel. Karena bersama teman-teman lain, maka saya santai-santai saja, tidak kuatir akan salah turun di halte yang masih jauh dari hotel. Kami meneruskan obrolan sambil berjalan kembali ke hotel. Namun sebelum tiba di hotel saya memutuskan mampir di salah satu restoran terlihat masih buka. Saya ingin makan malam makanan khas Swiss bernama cheese fondue, yakni keju cair panas yang dimakan dengan potongan-potongan roti. Makan cheese fondue  dilakukan dengan cara mencelupkan potongan-potongan roti di garpu ke keju cair panas tersebut. Di dalam restoran, saya diterima seorang perempuan muda memakai pakaian tradisional Swiss berupa rok panjang kipas warna dasar gelap motif bunga-bunga ditutupi celemek putih, blus lengan panjang serta topi berbentuk kipas persis seperti gaya busana pedesaan Eropa abad pertengahan yang saya lihat di film-film. I am sorry, cheese fondue only available 2 times a week on Thusday and Thursday, kata perempuan muda tersebut sambil tersenyum ramah. Saya mengucapkan terima kasih dan berlalu mencari restoran lain yang mungkin menyediakan makanan tersebut. Sayangnya saya harus kecewa karena 3 restoran yang saya masuki tidak menyediakan cheese fondue sehingga saya memutuskan kembali saja ke hotel karena udara semakin dingin dan juga malam semakin larut.


Bersambung ke Italy : Pisa dan Florence











JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...