Selasa, 30 Desember 2014

SWITZERLAND: Wilderswil dan Perjalanan ke Jungfraujogh (Top of Europe)

Depan stasiun Wilderswil
Don't use mobile phones when having dinner, better silent it in the dinner room. For emergency purpose, you have to get out of the room for calling, kata tour leader saat kami akan tiba di Hotel Schonbuhl di Jalan Oberdorfstrasse 18, 3812 Wilderswil, Swiss. Please pay attention to the bath curtain, please don't wet the floor, demikian arahan bertubi-tubi dari sejumlah arahan lainnya yang berisi aturan-aturan menginap di penginapan tersebut. Gelo, banyak banget aturannya, kata saya dalam hati.

Sekitar jam 4 sore, saya bersama rombongan tiba di desa ini dari Paris, Perancis. Waktu tempuh dari Paris hingga tiba di desa ini sekitar  9 jam perjalanan darat dengan selingan 3 kali istirahat masing-masing 15 menit untuk 2 kali ke toilet dan 30 menit istirahat makan siang dalam perjalanan. Sebelum tiba di Wilderswil, bis meliuk menanjak dan menurun menyusuri jalan berliku naik turun gunung dan lembah. Sekitar 30 menit sebelum Wilderswil, tour leader mulai berdiri dan mengumumkan aturan-aturan main yang harus dipatuhi. Bis terus melaju menyusuri salah satu pinggiran danau Interlaken di sebelah kiri saya dan jejeran bukit di sebelah kanan lalu memasuki kawasan pedesaan Swiss yang hijau dan berbukit. Gerimis sedang memayungi Wilderswil saat kami tiba dan parkir di halaman hotel yang terletak di ketinggian bukit di Wilderswil. Kami harus berebut masuk ke lobby agar tidak basah sambil membawa koper masing-masing yang telah dikeluarkan Carl (tentang Carl, baca catatan perjalanan London - Paris).
Di balkon lantai 4 hotel Schonbuhl di Wilderswil 
Switzerland atau dikenal sebagai Swiss saja di Indonesia merupakan suatu negara konfederasi. Penduduknya menggunakan 4 bahasa nasional, yakni Jerman, Perancis, Italia dan Romansh. Saat akan memasuki wilayah Swiss, tour leader telah menginformasikan sejumlah hal terkait sejarah, penduduk, bahasa dan keunikan-keunikan negara ini, terutama jam tangan dan coklatnya yang terkenal di seluruh dunia, termasuk kedisipilinan tinggi yang digunakan penduduknya untuk segala aspek kehidupan mereka. Konon penduduk negara ini berasal dari berbagai bangsa sekitar yang leluhurnya tidak ingin berperang pada era peperangan silih berganti merambah Eropa. Menginap di Wilderswil hanyalah sebagai tempat transit saya berkunjung ke Jungfrau atau dikenal juga sebagai top of Europe
View dari balkon lantai 4 hotel Shnonbuhl Wilderswil
atau puncak tertinggi gunung Alpen yang selalu bersalju. Saya memutuskan menjelajah ke Jungfrau untuk merasakan seperti apa salju yang tidak pernah saya temui di Indonesia. Keinginan yang harus dibayar mahal karena negara ini merupakan salah satu negara termahal di dunia.

View dari balkon lantai 4 hotel Shnonbuhl di Wilderswil

Setelah berdesak-desakan dengan anggota rombongan lainnya dalam lift, akhirnya saya tiba di kamar nomor 18 di lantai 4. Kamarnya sederhana namun bersih. Interior kamarnya bergaya country didominasi warna krem kayu seperti warna dan motif kayu peti kemas. Kamar dilengkapi 2 dipan kayu berukuran lebar 90cm, 1 meja kecil (nakas) diantara dipan serta 1 lemari. Semuanya berwarna sama  sama dengan dinding. Dipan dilengkapi 1 bantal dan sprei berwarna putih serta bed cover warna senada bermotif abu-abu. Kamar mandi dilengkapi wastafel kecil, closet duduk dan shower yang dibatasi dengan area kering lain dalam kamar mandi menggunakan tirai pemisah dari plastik yang dapat digeser buka-tutup. Sebagaimana arahan tour leader, tirai tersebut harus berada di bagian dalam pembatas lantai area mandi untuk mencegah air mandi menetes dan membasahi lantai kamar mandi di luar area mandi berukuran 1x1 meter. Sabun cair, handuk putih bersih dan tisu toilet juga tersedia.

Udara terasa sangat dingin, gerimis telah berubah menjadi hujan. Setelah beristrahat beberapa menit, saya memutuskan untuk mandi menggunakan air hangat yang disediakan. Setelah itu saya menggunakan sweater yang memiliki krah tebal dan tinggi melingkari leher sehingga tubuh menjadi hangat. Saya melongok ke luar jendela menikmati dinginnya udara basah di sore itu serta pemandangan yang didominasi bukit,
Suasana desa Wilderswil 
gunung dan pepohonan hijau. Nampak kabut tipis memayungi beberapa tempat. Setelah hujan reda, saya beranjak ke balkon luar yang letaknya di ujung bangunan berdekatan dengan kamar yang saya tempati. Di balkon ini saya  menikmati pemandangan lembah, kota serta salah satu danau Interlaken yang telah dilewati bis sore tadi. Luas, tenang, hijau rerumputan dan biru air danau berpadu warna coklat gelap atau merah maroon atap rumah yang menyembul di sana-sini. Saat wajah saya palingkan ke sebelah kanan, terlihat rumah-rumah dan menara gereja desa diantara pepohonan dan kabut tipis serta puncak-puncak gunung berselimut salju seperti dalam negeri dongeng. Puas menikmati udara sore dan pemandangan spetakuler tersebut, saya memutuskan turun dan jalan-jalan di sekitar desa tersebut walau masih sedang gerimis.
Rumah-rumah di Wilderswil
Makan malam masih 2,5 jam lagi, yakni pada jam 7.30 malam semua akan berkumpul di ruang makan untuk makan malam yang disediakan pengelola tour dan hotel tentunya. Dengan menggunakan sandal, celana pendek, sweater dan jaket dilengkapi payung, saya mulai turun menyusuri jalanan depan hotel yang meliuk diantara rumah-rumah penduduk. Saya mencari ATM yang dengan mudah ditemui setelah bertanya pada seorang penduduk saat berpapasan di jalan. Setelah melewati 2 persimpangan, akhirnya saya tiba di ATM suatu bank setempat yang bersebelahan dengan bangunan kantor pos.

Salah satu rumah penduduk Wilderswil
Selesai mengambil uang di ATM, saya berjalan menyusuri jalanan desa yang sangat lenggang dan sepi. Mungkin karena hujan, maka penduduk desa memutuskan berdiam diri dalam rumah saja. Rata-rata rumah berlantai 2 dan 3 di desa tersebut didominasi kayu sebagai bahan dinding dan tiang-tiangnya. Beragam bunga sedang mekar menghiasi pekarangan maupun teras. Berapa rumah menghiasi balkon lantai 2 dan 3 dengan pot-pot berisi bunga yang sedang mekar. Halaman yang tertata rapi juga dipenuhi tamanan hijau, pepohonan serta bunga aneka warna. Suasana desa sangat tenang, adem, bersih dan indah. Seperti suasana pedesaaan dalam buku-buku cerita maupun film-film Eropa. Saya tiba di jalan utama yang dilalui 1 atau 2 mobil dalam periode waktu 5 - 10 menit. Puluhan meter dari jalan utama di sebelah kanan saya terletak rel kereta dan stasiun yang juga sepi. Saya terus berjalan menurun hingga tiba di suatu pertigaan dimana saya melihat satu toko serba ada yang masih sedang buka. Saya masuk ke toko yang tidak terlalu besar itu - seperti ukuran Indomaret di Jakarta - untuk melakukan observasi jikalau saya butuh sesuatu yang tersedia di toko ini, maka saya tahu kemana membelinya. Berbagai barang kebutuhan sehari-hari dijual di toko ini, termasuk buah segar, sandwich dan wine dalam berbagai harga. Wine merupakan salah satu kebutuhan orang Eropa sehingga dijual di berbagai tempat. Saya bahkan menemukan wine di salah satu toko di Roma, Italia yang harganya lebih murah dari harga sebotol air mineral (baca catatan perjalanan di Roma). Karena saya akan mendapatkan makan malam, maka saya hanya membeli sebotol wine seharga 7 franc (sekitar 100 ribu rupiah). Harga yang lumayan murah, dibanding harga wine yang sering saya beli di Jakarta yang rata-rata berharga 350ribu rupiah. Setelah membayar di kasir
Suasana desa Wildeswil
yang dijaga seorang perempuan paruh baya mengenakan seragam biru muda, saya keluar dan berjalan balik ke penginapan. Karena desa ini tidak terlalu luas, maka jalan kembali ke hotel pun tidak terlalu sulit, walau saya menelusuri jalan berbeda dari jalan yang saya lewati saat ke ATM. Sepi banget desa ini, pikir saya. Hanya 2 rumah yang terlihat beraktifitas saat saya melewati jalan di depan rumah-rumah tersebut.

Waktu makan malam masih 30 menit lagi. Karena itu setelah mengganti celana pendek dan sweater dengan pakaian kering lainnya, saya turun ke lobby. Saya harus membeli segelas minuman keras atau sekaleng minuman dingin untuk mendapatkan pasword wifi. Saya ingin mencoba minuman kerasnya, namun karena saya tidak pernah ke bar di Jakarta, maka saya tidak tahu jenis minuman apa yang bisa saya pesan. Karena itu, saya meminta segelas minum keras khas setempat yang oleh pemilik hotel sekaligus penjaga bar hotel dibuatin dengan mencampur 3 jenis minuman dari botol berbeda dalam 1 gelas kecil seharga 3 franc. Rasanya hangat dan agak sepat pedes saat tegukan pertama yang saya cecap  melewati tenggorokan. Saya mengambil tempat duduk
Salah satu sudut luar rumah di Wilderswil
di sekitar lobby dan tenggelam dalam keasyikan berselancar di dunia maya, termasuk update status hingga waktu makan malam tiba.

Guys, please come in to the dinner room, kata tour leader dari pintu ruang makan yang berhadapan dengan lobby. Saya meninggalkan keasyikan berselancar di dunia maya, berjalan ke pintu dan bergabung dengan anggota rombongan lainnya ke ruang makan itu. Tentunya sesuai arahan sore tadi, maka HP telah saya atur pada posisi  silent supaya tidak malu karena ditegur saat makan lalu ada notification yang berbunyi di HP. Masing-masing orang mengambil tempat di kursi-kursi yang menghadap meja-meja panjang dalam posisi berhadap- hadapan. Piring, sendok, garpu dan serbet makan berwarna putih telah disiapkan di atas  meja-meja
Salah satu sudut Wilderswil
tersebut. Tak lama kemudian, makanan pembuka diedarkan. Masing-masing orang mengambil secukupnya dan mulai mengunyah sambil bercakap-cakap satu sama lain. Semua orang bersuka ria. Makanan pembuka disusul makanan utama berupa potongan-potongan roti yang ditaruh dalam wadah berbentuk kayu. Setelah roti diedarkan dan diambil, muncul edaran berikut berupa daging sapi yang dimasak dalam kaldu kental berwarna kecoklatan. Daging dipotong-potong sebesar 2x2cm saja, rasanya gurih dan enak. Semua seperti berlomba menghabiskan jatah masing-masing. Sangat terasa jika makan dalam kondisi lapar dan banyak orang, maka semuanya menjadi nikmat. Astaga naga, rotinya sangat empuk dan enak. Roti terenak yang pernah saya makan seumur hidup saya, kata saya
Salah satu sudut luar rumah di Wilderswil
dalam hati. Saya meminta tambahan roti dari teman yang duduk depan wadah roti yang diletakan di tengah-tengah meja kami. Sampai akhir acara makan, saya menghabiskan 4 potong roti yang masing-masing selebar 2 telapak tangan saya. Minuman yang disediakan adalah minuman rasa buah dalam kaleng dingin dan cocacola. Masing-masing orang memilih minuman kesukaannya sendiri, saya memilih cocacola.

Salah satu sudut Wilderswil
Selesai makan, berapa orang termasuk saya kembali ke lobby, duduk ngobrol atau asyik berselancar. Pada saat itu, saya bertemu orang Indonesia. 2 pemuda kakak beradik berusia 20an duduk dekat saya berbicara bahasa Indonesia. Saya tersenyum dan menyapa mereka yang berasal dari Jakarta. Mereka satu keluarga bersama ayah, ibu dan seorang adik perempuan. Ternyata kami punya tujuan yang sama esok hari, yakni ke puncak salju di Jungfrau. Tak lama berselang, kedua orang tua mereka menghampiri anak-anak tersebut. Kami berkenalan dan berbasa-basi sebentar lalu mereka beranjak ke kamar masing-masing. Saya masih menghabiskan waktu di lobby bersama anggota rombongan lainnya sampai sekitar jam 11 malam. Saat saya beranjak ke kamar, teman-teman perjalanan dari Australia masih asyik dengan gelas-gelas bir masing-masing. Esok hari saya baru mengtahui kalau mereka tidak ke Jungfrau. Mereka menghabiskan waktu menelusuri desa Wilderswil dan Kota Interlaken yang terletak sekitar 30 menit menggunakan bis gratis dari Wilderswil.

Menuju stasiun dari penginapan di Wilderswil
Ritual pagi sebagaimana biasa dimulai keesokannya. Setelah siap, saya keluar kamar membawa ransel yang selalu saya bawa kemana pun. Selain kamera juga terdapat copy paspor dan baju ganti serta payung dalam ransel tersebut yang telah menjadi barang wajib. Saya menuju ruang makan dan ikut antri sarapan bersama teman lain yang telah terlebih dahulu tiba. Sarapan Eropa continental berupa roti, keju, butter, ham dan aneka jus buah dingin tersedia. Tentunya, roti kesukaan saya menjadi tujuan utama. Selesai sarapan, saya duduk menunggu di lobby. Sebagaimana biasa, tour leader mengecek daftar peserta yang akan ikut. Saat di bis kemarin, masing-masing orang yang akan ikut telah membayar biaya kunjungan ke Jungfrau seharga 147 franc (sekitar 2 juta rupiah), termasuk ongkos kereta PP dan tiket masuk ke tempat wisata di puncak Eropa tersebut. Desa masih sepi dan diselimuti kabut
Teman seperjalanan dari berbagai bangsa dan negara 
pada jam 7.30 pagi saat kami keluar dari hotel menyusuri jalan desa ke stasiun. Kami berjalan dalam kelompok-kelompok kecil 2-4 orang. Saya berjalan dengan suami istri dari Inggris (istrinya asal Philipina, suami asal Inggris). Semua anggota rombongan mampir di toko sudut jalan yang telah saya singgahi semalam. Saat di bis, tour leader telah mengingatkan kami semua bahwa makanan di Jungfrau sangat mahal. Harga sepiring spagetti adalah 30 franc (sekitar 400 ribu rupiah) - yang porsinya bisa dimakan 2 orang, kata tour leader. Karena itu, pilihannya adalah kami membeli dan membawa makanan serta minuman dari
Di atas kereta bersama seorang teman perjalan dari London
tempat yang sekarang atau share beli makanan di tempat wisata tersebut. Sepertinya semua anggota rombongan memutuskan membeli dan membawa bekalnya masing-masing, termasuk saya. Saya memilih sandwich seharga 5 franc (sekitar 60 ribu rupiah) dan air kemasan dalam botol sedang seharga 3 franc (sekitar 40ribu rupiah).

Selesai berbelanja bekal, kami terus berjalan ke stasiun yang tidak terlalu jauh dari toko tersebut. Kami sempatkan berfoto ria di sekitar stasiun sambil menunggu kereta yang akan berangkat jam 9.10 pagi. Karena masih ada waktu, maka kami mengisi waktu dengan berpose dan berfoto ria sampai bosan. Setelah petugas stasiun mempersilahkan kami naik, tour leader menunjuk 1 gerbong yang telah dipesan khusus untuk kami. Dengan santai kami masing-masing memasuki gerbong dan mencari kursi masing-masing sesuai kesukaan. Karena berombongan,
Depan stasiun Wilderswil
maka nomor kursi tidak dicantumkan di tiket. Saya mengambil tempat di samping jendela untuk memudahkan saya mengambil foto. Saya baru menyadari, mengapa Wilderswil menjadi tempat penginapan. Selain keindahan desanya, stasiun kereta di desa ini merupakan tempat pemberangkatan para pengunjung yang akan ke Jungfrau. Jam 9.10 pagi, kereta bergerak meninggalkan Wilderswil.  Tour leader menginformasikan bahwa rel kereta dibuat bergerigi sehingga mampu menahan kereta yang berjalan mendaki perbukitan dan pegunungan menuju Jungfrau. Kereta berjalan perlahan mendaki bukit dan gunung menyajikan pemandangan hijau dan kadang putih bersalju. Di beberapa tempat, puluhan sapi sedang berkelana di padang-padang rumput hijau. Saya hanya bisa terpana dan cepat-cepat mendokumentasikan momen-momen itu melalui kamera yang tidak pernah lepas dari tangan saya.
View dari atas kereta 
Rumah-rumah panggung dari kayu dengan warna-warna coklat tua, kadang kuning dan merah maroon muncul di berbagai tempat. Kadang seperti berdiri sendiri-sendiri, kadang berada dalam kumpulan puluhan atau ratusan rumah di lembah dan perbukitan yang dilalui kereta. Namun hanya 3 warna yang mendominasi pemandangan, yakni hijau rerumputan dan pepohonan, putih salju di bukit-bukit cadas atau puncak-puncak gunung serta biru langit yang berhias awan putih.

View dari atas kereta
Pemandangan luar kereta sangat spektakuler. Kereta berhenti 2 kali di 2 tempat berbeda guna memberi kesempatan kepada penumpang turun dan memotret gunung atau lembah bersalju di luar. Sayangnya sudut pengambil foto sangat sempit serta diberi bingkai kaca sehingga foto yang dihasilkan kurang bagus. Selain kesulitan mendapatkan posisi pemotretan yang bagus, kaca pemisah sebagai pembatas dan pengaman pengunjung dengan gunung dan jurang diluar juga telah bernoda bahkan ada yang berbaret sehingga terekam di foto yang dihasilkan. Kami berganti kereta di stasiun Luauterbrunnen. Tour leader terlihat beradu argumen dengan 2 bule lain dalam gerbong yang kami masuki karena mereka telah menduduki 2 kursi yang menjadi jatah rombongan kami. Bagus juga melihat tour leader berhasil mengeluarkan kedua bule itu, pikir saya sambil tertawa diam mengamati kedua bule yang berjalan  keluar gerbong sambil cemberut dan bersungut-sungut. Mereka akhirnya berdiri di lorong antar gerbong. 2 jam 12 menit sejak berangkat dari stasiun Wilderswil, kereta tiba di stasiun Jungfraujoch di puncak pegunungan Alpen di Eropa. Setelah turun, kami berkumpul sebentar di salah satu kios depan stasiun mendengarkan arahan tour leader. Tour leader meminta kami kembali
View dari atas kereta 
berkumpul di tempat yang sama pada jam 2 siang waktu setempat. Masing-masing orang diminta mencocokan jamnya agar tidak tertinggal karena masih asyik menjelajah kawasan sekitar padahal waktu pulang telah tiba.


Bersambung ke Jungfraujoch dan Interlaken

Minggu, 28 Desember 2014

JELAJAH MYANMAR. MANDALAY: Royal Palace, Biara Shwenandaw dan Atumasi, Pagoda Kuthodaw dan Sanda Muni

Dalam kompleks Mandalay Royal Palace
Sir, your taxi is ready down stairs, kata seorang staf hotel melalui telpon ke kamar. Thanks, I am going down, balas saya sambil mengembalikan gagang telpon ke tempatnya lalu bergegas mengambil ransel kamera yang telah saya siapkan kemudian ke luar kamar dan menuju lift. The price is twenty five thousands kyat, kata manajer hotel saat saya tiba di lobby depan resepsionis. You will pay directly to the driver, tambah si manajer sambil menunjuk seorang lelaki parubaya yang memakai hem lengan pendek warna abu-abu dan longyi. He knows all of the places for tourist at Mandalay hill, even though he can't speak English, lanjut si manager. Okay, balas saya sambil melangkah keluar pintu menghampiri taxi berwarna putih yang parkir di pinggir jalan depan hotel. Lelaki yang akan mengantar saya berkeliling hanya tersenyum sambil membuka pintu mobil mempersilahkan saya masuk. Setelah saya duduk, pintu ditutup kembali, lelaki tersebut mengambil tempatnya dibelakang kemudi, menghidupkan mobil dan mulai berjalanan menyusuri jalan depan hotel.

Depan gerbang kompleks Mandalay Royal Palace
Sekitar 10 menit kemudian mobil di parkir di bawah pohon besar depan gerbang suatu benteng berwarna abu-abu yang dijaga oleh beberapa penjaga memegang senjata. Sopir menunjuk ke loket yang terletak berlawanan arah sekitar 10 meter dari pohon dan tempat parkir mobil. Loket tersebut dijaga 2 perempuan. Salah satu perempuan menyodorkan ke saya tiket masuk seukuran kartu nama dengan warna dominan krem atau kuning pucat seharga 10.000 kyat. Perempuan tersebut menginformasikan tiket tersebut berlaku bagi semua tempat kunjungan di Mandalay. Pola yang sama dengan di Bagan, kata saya dalam hati. Bedanya, harga tiket di Bagan lebih mahal 5000 kyat atau 5 dollar. Setelah mendapatkan tiket, saya berputar dan melihat ke sopir yang melambaikan tangannya meminta saya kembali ke mobil. Setelah saya masuk, mobil dijalankan memasuki gerbang benteng menyusuri jalan yang cukup lebar dan terawat baik. Kiri kanan jalan berjejer rumah-rumah berbentuk asrama, pepohonan serta lapangan berumput. Di lapangan tersebut puluhan aparat militer berseragam hijau loreng sedang melakukan berbagai aktifitas. Beberapa turis bule, terlihat berjalan kaki di sisi kiri dan kanan jalan. Tak jauh dari gerbang masuk, mobil berhenti di tempat parkir depan gerbang istana Mandalay / Mandalay Royal Palace. Saya mendaki beberapa anak tangga menuju halaman istana sebelum masuk ke istana.

Kompleks Mandalay Royal Palace dari Menara Pengintai
Kompleks istana diisi beberapa bangunan dalam kelompok-kelompok terpisah. Bangunan-bangunan tersebut tidak digunakan lagi. Hanya menjadi tempat kunjungan wisatawan lokal dan manca negara. Bangunan utama terletak di tengah-tengah menghadap gerbang masuk. Bangunan ini terdiri dari beberapa bagian dengan fungsi masing-masing. Bagian paling depan yang berbatasan dengan halaman dan gerbang masuk adalah pelataran / teras terbuka dengan puluhan tiang yang 2/3 bagiannya berwarna kuning emas, sedangkan 1.3 sisanya di bagian bawah berwarna hitam. Tiang-tiang ini menopang atap berukir di ketinggian sekitar 2,5 meter. Bagian kedua yang terhubung dengan teras adalah aula atau balairung. Di ruangan ini terpasang patung lilin raja dan ratu yang sedang duduk di singgasana mereka. Lantai dan dinding bangunan terbuat dari kayu berwarna merah maroon. Atap bangunan dibuat bertingkat-tingkat dan ditutupi penutup berwarna merah maroon juga. Pinggiran dari masing-masing tingkat atap dicat warna kuning emas. Bentuk atap dan warnanya dibuat seragam untuk kelompok-kelompok bangunan lain dalam kompleks tersebut yang dibangun di sebelah kiri dan belakang istana. Bangunan utama memiliki atap bertingkat lima dengan pinggiran berwarna kuning emas, sedangkan bagunan lainnya dalam kompleks tersebut hanya memiliki atap bertingkat 2 atau 3, tanpa cat warna kuning keemasan.

Menara Pengintai
Saya melangkah masuk dan berkeliling mengamat-amati dan mengambil beberapa foto. Dari balairung, saya terus masuk ke bagian dalam yang adalah ruang tidur raja. Rung ini dilengkapi tempat tidur kecil berukuran lebar sekitar 1 meter. Pinggiran tempat tidur dari kaki hingga kepala dipenuhi ukiran berwarna silver dan kuning emas. Tiang-tiang juga diukir dalam pola dan warna yang sama. Saya mengambil beberapa foto kemudian berjalan terus ke belakang. Setelah tiba di ujung belakang bangunan utama, saya belok kiri ke halaman berumput hijau. Di bagian ini terdapat beberapa bangunan lain dalam arsitektur Eropa berwarna putih. Dinding kedua bangunan tersebut terbuat dari batako dan semen yang berbeda dengan bangunan utama istana serta beberapa bangunan lain di sisi kanan istana yang semuanya terbuat dari kayu berwarna merah maroon. Selain kedua bangunan tersebut, di sudut kanan depan kanan istana dekat pagar pembatasnya terdapat 1 menara pengintai berbentuk silinder (bulat lonjong) berwarna merah maroon. Saya berjalanan ke menara tersebut dan mendaki tangga berputar dari bilah-bilah papan menuju puncak menara. Puncak menara ditutupi atap berukir dan berwarna kuning emas. Pemandangan dari atas menara sangat indah. Saya bisa menikmati kota Mandalay di kejauhan maupun bangunan lainnya dalam  kompleks istana tersebut. Saya mengambil beberapa foto di sini dan juga ke beberapa bagian istana dan juga lingkungan sekitar. Saya kemudian turun setelah berada di puncak menara sekitar 15 menit menikmati pemandangan dan sepoi angin. Sambil turun, saya menghitung 150 anak tangga dari puncak sampai dasar menara dimana kaki saya kembali menapak ke rerumputan hijau.

Bangunan putih berarsitektur Eropa
Saya berjalan kembali ke gerbang menyusuri pelataran samping istana melewati salah satu bangunan putih bergaya Eropa. Sepertinya bangunan tersebut dihuni penjaga istana yang nampak dari sejumlah alat pertanian di teras samping dan juga pintu belakang yang terbuka memperlihatkan adanya denyut kehidupan dalam bangunan tersebut. Wikipedia menulis Royal Palace merupakan istana terakhir para raja Burma. Istana ini dibangun pada tahun 1857 - 1859 oleh Raja Mindon dan menjadi tempat tinggalnya serta tempat tinggal Raja Thibaw. Mereka berdua adalah ayah dan anak yang merupakan 2 raja terakhir kerajaan Burma. Istana dan benteng yang mengelilinginya diambil alih para tentara saat perang tahun 1885. Keluarga kerajaan ditangkap oleh para tentara tersebut. Bangunan aslinya hancur pada perang dunia II. Renovasi dan pembangunan kembali istana - yang saat ini saya nikmati - dilakukan pada tahun 1990an dengan beberapa bahan moderen.

Depan Biara Shwenandaw
Saat saya telah kembali masuk mobil, sopir menjalankan mobil tanpa bersuara. Kami  berpindah ke tempat wisata lain. Mobil keluar melalui jalan dan gerbang masuk menuju jalan utama, melewati jembatan yang melintas di atas kanal. Kompleks istana dikeliling kanal di keempat sisinya yang berfungsi sebagai pelindung serangan musuh. Saat bertemu jalan utama, mobil belok kiri mengarah ke perbukitan nun jauh di ufuk yang dikenal sebagai Mandalay hill. Sekitar 10 menit kemudian mobil belok kiri dan parkir di pinggir jalan satu bangunan tua berwarna coklat kehitaman. Sopir menunjuk dan mengangguk ke arah bangunan tersebut. Saya turun dan berjalan memasuki gerbang menuju loket yang dijaga 2 perempuan. Saya menunjukan tiket yang telah saya peroleh di gerbang masuk Royal Palace. Where do you come from, tanya perempuan itu. Indonesia, jawab saya singkat. Perempuan tersebut menuliskan informasi tersebut pada buku tamu yang dipegangnya. Mengisi tanggal pada tiket lalu mengembalikannya ke saya. Thanks, kata saya sambil beranjak menuju bangunan tua yang adalah biara Shwenandaw.

Dinding luar Biara Shwenandaw
Biara Shwenandaw merupakan bangunan berbentuk rumah panggung yang semuanya terbuat dari kayu jati berwarna coklat kehitaman. Bangunan ini memiliki 2 tangga di masing-masing sisi. Atap bangunan bersusun lima berwarna coklat kehitaman juga. Saya bertemu pasangan suami istri bule yang bersama-sama dalam bis dari Bagan. Selain itu ada 2 kelompok turis lain terdiri dari para kakek dan nenek yang berdiri mengagumi bangunan tersebut. Saya menaiki tangga dan melangkah melewati pintu terbuka ke dalam bangunan. Seluruh bangunan berukir ajaran Budha, termasuk pintu-pintu, langit-langit dan atapnya. Cahaya dalam ruangan mengandalkan sinar matahari yang masuk dari 4 pintu di sisi depan
Bagian dalam biara Shwenandaw
dan belakang serta dari jendela-jendela. Bagian dalam bangunan, termasuk tiang dan langit-langitnya semua diukir indah. Warna tiang-tiang bagian dalam sama dengan warna tiang-tiang di Mandalay Royal Palace. Konon, biara ini merupakan bagian dari Royal Palace yang baru saja saya kunjungi. Pada masanya, bangunan ini difungsikan sebagai tempat istrahat keluarga raja. Bagunan aslinya berasal dari bagian istana di Amarapura - sebelum istana dipindahkan ke Mandalay oleh raja Mindon.  Biara dibangun pada tahun 1880 oleh raja Thibaw yang adalah anak raja Mindon. Ketika raja Mindon  wafat, fungsi bangunan diubah sebagai biara dan didekasikan bagi arwah raja Mindon.

Saya berjalan-jalan menikmati keindahan interior dalam yang sangat kental dengan ajaran Budha.
Lorong luar bagian belakang biara Shwenandaw
Setelah puas berkeliling di dalam, saya berjalan ke belakang dan melewati pintu terbuka yang membawa saya ke teras samping dengan lebar sekitar setengah meter. Bagian belakang bangunan masih memiliki halaman yang dipagari tinggi sebagai pembatas dengan rumah-rumah penduduk. Saya menyusuri teras samping ke belakang lalu masuk ke satu ruang lain yang sepertinya merupakan dapur biara pada saat biara tersebut masih berfungsi. Saya melangkah masuk berkeliling dan mengambil beberapa foto kemudian keluar dari pintu berlawanan lalu menyusuri lorong depan menikmati berbagai ukiran di dinding-dinding biara. Setelah itu, saya menuruni tangga ke halaman depan. Saya duduk selonjor dekat pagar sekitar 5 menit mengamat-amati dan mengagumi banguan tersebut sebelum beranjak kembali ke mobil yang menunggu di luar pagar tepi jalan depan biara.

Biara Atumasi
Saat saya kembali ke mobil, sopir menunjuk dan mengangguk ke satu bangunan lain berwarna putih bersepuh kuning emas yang terletak sekitar 30an meter dari biara. Saya memahami bahasa tubuh tersebut sebagai arahan agar saya mengunjungi bangunan tersebut. Karena itu, saya berjalan ke arah bangunan itu. Sambil berjalan saya memperhatikan para pedagang souvenir di kios-kios yang berjejer rapi di sisi kanan jalan depan biara. Terlihat beberapa bhiksu dan calon bhiksu juga lalu lalang di jalan yang saya lalui sehingga saya sempatkan mengambil beberapa foto mereka. Kompleks biara yang saya tuju dipagari pagar besi setinggi 1 meter. Biara dibangun di atas semacam panggung yang dari jauh terlihat seperti tembok berwarna putih. Pada bagian kanan sekitar 5 meter dari pintu gerbang
Gerbang masuk biara Atumasi
terdapat papan nama kuil, yakni Maha Atulawaiyan (Atumasi) Kyaungdawgyi atau dikenal sebagai BiaraAtumasi saja. Bagian luar sebelum gerbang terdapat semacam baskom besar mengingatkan saya pada bunga teratai.  Saya mampir di pos jaga yang terletak di sebelah kiri gerbang. Pos tersebut dijaga seorang perempuan. Saya menyerahkan tiket ke perempuan tersebut yang lalu mencatatkan nomor tiket ke buku log yang dipegangnya. Sambil tersenyum perempuan tersebut mengembalikan tiket yang saya ambil dan simpan kembali ke dalam dompet. Setelah itu, saya berjalan menapak puluhan anak tangga dari gerbang masuk menuju pintu biara. Biara dikelilingi pelataran terbuka yang telah disemen.

Biara ini dibangun raja Mindon pada tahun 1857. Bagunan aslinya terbuat dari kayu jati dengan 1 patung Budha setinggi 9 meter. Biara terbakar pada tahun 1890 yang menghancurkan seluruh bangunan dan juga patung Budha tersebut, termasuk intan seberat 19,2 karat yang dipersembahkan pada Budha ikut hilang. Pemerintah Myanmar membangun kembali biara tersebut pada tahun 1996.

Depan biara Atumasi
Saya menghabiskan beberapa menit di pelataran tersebut mengamat-amati arsitektur bangunan kemudian melangkah masuk ke dalam bangunan biara. Bagian dalam biara berbentuk seperti aula terbuka seluas puluhan meter persegi dengan dinding berwarna putih. Kesannya kosong dan sangat lapang karena biara hanya dihiasi 1 patung Budha yang diletakan di tengah-tengah seperti bersandar ke dinding belakang biara. Budha yang duduk di singgasana emas diapit 2 tiang berukir di bagian atasnya, serta cat berwarna kuning keemasan. Dinding bagian belakang ini dihiasi lukisan 2 teratai besar di masing-masing sisi. Langit-langit kuil terlihat tinggi dan dihiasi ukiran berwarna kuning emas, putih dan merah maroon. Terlihat 3 perempuan, 1 laki-laki dan seorang anak kecil sedang duduk berkelompok di sudut kanan depan. Saya mendekat ke Patung Budha, menangkup tangan ke depan dada, menunduk hormat lalu mengambil beberapa foto.
Depan papan nama Pagoda Kuthodaw
Setelah puas melihat-lihat, saya melangkah perlahan ke luar bangunan. Saya sempatkan mengambil beberapa foto lagi di pelataran luar lalu menuruni tangga dan melangkah meninggalkan kuil. Kembali ke mobil yang sedang menunggu di luar pagar Biara Shwenandaw.

Mobil melaju meninggalkan Biara Atumasi dan Biara Shwenandaw. Sekitar 5 menit kemudian kami tiba di Pagoda Maha Lokamarazein Kuthodaw atau dikenal dengan Pagoda Kuthodaw atau juga the largest book in the world. Seorang perempuan tua duduk di depan papan nama pagoda berbentuk lembaran buku berwarna putih bersepuh kuning emas di
pinggirannya. Kedua lembaran tersebut berisi tulisan berbahasa Inggris dan bahasa Burma.

Gerbang dan lorong penghubung halaman dan Pagoda
Perempuan tersebut meninggalkan tenpat duduknya dan mempersilahkan saya berfoto. Setelah selesai foto, perempuan tersebut mengajak saya bercakap-cakap, menggunakan bahasa Inggris tentunya. Setelah menanyakan asal saya, perempuan itu menanyakan apakah boleh mendapatkan mata uang negara Indonesia? sambil menunjukan beberapa lembaran uang asing yang dipegangnya. Saat saya menjawab tidak membawa mata uang Indonesia, dengan cemberut perempuan tersebut menanyakan mengapa dan seterusnya. Saya teringat informasi di internet tentang modus pengemis di Myanmar. Saya juga teringat kembali kasus anak kecil yang melakukan hal sama di salah satu kuil di Bagan. sorry.
Jejeran stupa
Karena itu, saya tidak bergeming memberikan duit ke perempuan itu. Saya beranjak pergi sambil mengucapkan kata

Pagoda dibangun raja Mindon pada tahun 1859. Dalam kompleks Pagoda ini terdapat ratusan stupa berwarna putih. Stupa-stupa tersebut berisi 729 lembaran pualam bertuliskan ajaran Budha dalam kitab Tripitaka. Halaman luar dan Pagoda dihubungkan lorong tanpa dinding beratap penutup warna hijau dan berukir seperti atap-atap biara, istana dan kuil yang saya lihat di Mandalay. Gerbang masuk depan lorong memiliki ketebalan sekitar 2 meter yang diukir serta dicat warna kuning emas, merah dan putih silver.
Depan Pagoda Kuthodaw
Lantainya terbuat dari keramik abu-abu. Saya berjalan perlahan menuju Pagoda yang terletak puluhan meter dari gerbang - melewati 3 tukang yang sibuk membenahi lantai. Samping kiri dan kanan lorong dipenuhi barisan stupa warna putih serta pepohonan yang daunnya sedang berguguran menghiasi tanah sekitarnya. Saya berjalan ke satu stupa lalu mengintip ke dalamnya. Hanya 1 lembaran pualam berwarna coklat setinggi 1 meter dengan tulisan aksara Burma berwarna lebih gelap dalam stupa tersebut - yang tentunya tidak saya pahami sama sekali. Sambil tersenyum kecut, saya meninggalkan stupa tersebut, mengambil jarak yang tepat untuk mulai mengamat-amati dan memotret saat mendapatkan sudut yang tepat.

Saya terus berjalan ke dalam menjumpai bangunan pagoda berwarna kuning emas yang berdiri kokoh menopang langit. Sebagaimana pagoda-pagoda lainnya yang telah saya kunjungi. Tidak ada pintu masuk ke dalam pagoda pagi pengunjung. Pagoda dipagari pagar besi berwarna putih yang ujungnya dicat kuning emas. Pengunjung hanya bisa melihat Pagoda dari depan. Saya berjalan ke sebelah kiri mengamat-amati dan memotret. Pada sisi saya berada, yakni di sudut kanan Pagoda dijaga seekor patung singa berwarna kuning emas dalam posisi duduk tegak.
Di bawah pohon Bodhi berusia 121 tahun 
Setelah mengambil beberapa foto, saya duduk beristrahat di bawah pohon Bodhi berusia 121 tahun. Beberapa menit kemudian saya melangkah meninggalkan pagoda. Saat saya tiba kembali di halaman luar, terlihat para pedagang bunga dikerumuni puluhan pengunjung yang baru tiba menggunakan bis. Sepertinya turis Jepang atau Korea atau Cina. Saya tak tahu pasti. Para turis ini membeli bunga yang akan digunakan mereka saat sembahyang ataupun menaikan puja dan puji di depan Budha. Saya sempatkan mengambil beberapa foto, lalu kembali ke mobil.

Dari tempat parkir, mobil menuju jalan depan Pagoda lalu belok kanan menyusuri jalanan sepi dan
Samping kiri Pagoda Sanda Muni
lenggang yang diapit puluhan pohon pinus. Kami menuju Pagoda Sanda Muni yang bersebelahan letaknya dengan Pagoda Kuthodaw. Sanda Muni Pagoda terlihat lebih sepi. Hanya saya dan sepasang bule usia tua yang terlihat sibuk memotret barisan stupa  di kompleks pagoda ini. Sama seperti Pagoda Kuthodaw, halaman Pagoda Sanda Muni dipenuhi ratusan stupa berwarna putih dengan ujung menara berwarna keemasan berjumlah 758 stupa melindungi 1774 lembar pualam bertuliskan ajaran Budha. Pagoda ini dibangun raja Bodawpaya sebelum Mandalay dijadikan ibukota Kerajaan Burma pada tahun 1800 oleh raja Midon. Berbeda dengan Pagoda Kuthodaw yang hanya bisa dilihat dari sisi depannya. Pagoda Sanda Muni bisa dikelilingi menapaki pelatarannya. Karena itu, dari halaman yang dipenuhi stupa saya belok kiri menyusuri lorong beratap menuju belakang. Di belakang saya masuk ke satu kuil berwarna hijau keperakan yang menaungi dan
Jejeran stupa di Pagoda Sanda Muni
melindungi satu-satunya Budha berwarna keemasan dalam kuil tersebut. Beberapa bhiksu terlihat sedang duduk semedi di beberapa sudut. Setelah mengambil beberapa foto, saya melangkah keluar kuil terus ke arah kiri hingga saya tiba kembali ke gerbang masuk-keluar. Pasangan bule yang saya jumpai saat masuk tidak terlihat lagi. Saya terus berjalan ke gerbang luar menuju mobil yang sedang menunggu. Sopir sedang berdiri di luar mobil dan asyik mengunya sirih saat saya tiba. Saya masuk mobil dan memperhatikan sopir yang membung ludah sirihnya lalu bergegas masuk mobil dan menghidupkan mesin. Mobil berjalan kembali ke arah Pagoda Kuthodaw. Kami melewati depan Pagoda menuju jalan raya lalu belok kiri menuju Mandalay Hill saat mobil tiba di jalan utama. Hari menjelang sore, langit dihiasi awan tipis. Semoga
Salah satu lembaran pualam dalam stupa
saya bisa menikmati sunset di atas bukit, kata saya dalam hati melihat cuaca yang sepertinya cerah berawan saja saat ini.

Bersambung.

Kamis, 18 Desember 2014

MYANMAR : ONCE UPON A TIME. Bagian X : Perjalanan Bagan - Mandalay

Zfreeti Hotel tempat saya nginap selama di Bagan
Sir, that is your bus to Mandalay sambil menunjuk ke jalan depan hotel, seorang staf hotel menyapa saya yang duduk di lobby menunggu jemputan. Thanks, balas saya sambil berdiri menggapai dan menarik koper. Staf hotel dengan sigap mengambil alih koper dan berjalan terlebih dahulu ke bis. Saya membiarkan saja, walau sebenarnya saya bisa mengurus koper itu sendiri. Koper diambil alih kondektur bis yang mengenakan hem putih lengan pendek dan longyi (sama seperti sarung di Indonesia) warna biru dongker kotak-kotak kecil putih (tentang longyi, lihat catatan I).  Setelah itu, kondektur mempersilahkan saya memasuki bis itu.  Minibus ini memiliki 3 kursi per baris. 2 kursi bersisian, lorong kemudian 1 kursi lain yang terpisah setelah lorong. Jika dibandingkan dengan minibus yang yang saya gunakan dalam perjalanan Labuan Bajo - Ruteng, kelihatannya minibus Labuan Bajo - Ruteng lebih luas dan lega karena hanya 1 kursi di masing-masing sisi sehingga terkesan eksklusif juga.
Di kolam renang Zfreeti Hotel pada hari terakhir di Bagan
Hampir semua kursi telah penuh. Hanya tersisa 3 deretan depan di belakang sopir dan kursi saya yang masih kosong. Kondektur memeriksa tiket saya dan mempersilahkan saya duduk di kursi nomor 5 di gang baris kedua dari deretan kursi belakang sopir. Selain penduduk lokal yang terlihat dari longyi yang dikenakan, ada juga 2 bule sepertinya suami istri yang duduk di baris ke empat.

Bus meninggalkan hotel. Sekitar 15 menit kemudian bis berhenti dan menaikan 3 penumpang terakhir yang duduk pada deretan kursi depan di belakang sopir. Sepertinya mereka 1 keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak perempuan yang telah cukup dewasa. Pakaian yang dikenakan keluarga ini menunjukan mereka berasal dari kelas menengah atas sepertinya. Sang ibu dan anak perempuannya mengenakan longyi keemasan bermotif indah serta
Penyewaan sepeda elektrik depan Zfreeti Hotel - Bagan
gelang-gelang emas dan cincin. Karena semua penumpang telah naik terlihat dari penuhnya semua kursi, bus mulai melaju menyusuri jalanan pagi hari yang masih sepi. Saya terus menerus menikmati landscape di luar bis. Candi, pagoda dan stupa didominasi warna bata karena terbuat dari bata menyembul disana-sini. Menara-menara pagoda dan kuil berwarna kuning emas ikut menyemarakan pemandangan sepanjang jalan. Tidak terlihat adanya gunung, semuanya terlihat datar dan hijau. Lahan-lahan kosong didominasi pohon lontar kecil dan besar yang tumbuh bergerombol dalam sebaran yang sangat luas sejauh mata memandang. Aliran sungai Irawadi terlihat jauh di horison, namun kadang-kadang berjarak sangat dekat dengan jalan sehingga kilaun airnya terlihat mata telanjang saya. Atap rumah-rumah penduduk sepanjang jalan didominasi daun lontar kering berwarna kecoklatan. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu atau pelepah lontar. Hanya sedikit yang terlihat telah menggunakan semen. Kebun-kebun terlihat dipagari menggunakan pelepah lontar atau bilah-bilah bambu.

Landscape di sepanjang jalan 
Sekitar 1 jam perjalanan, seorang perempuan yang duduk di kursi belakang berbicara dalam bahasa Burma ke sopir. Bis pun berjalan perlahan lalu menepi dan berhenti. Perempuan tersebut berjalan melewati lorong dan turun lalu menghilang di kerimbunan pepohonan pinggir jalan. Beberapa penumpang, termasuk saya ikut turun mencari tempat masing-masing untuk mengosongkan kantong kemih. Setelah itu saya cepat-cepat kembali ke bis, namun si perempuan yang minta bis berhenti belum kembali. Akhirnya seorang perempuan lain yang mungkin adalah anggota keluarga atau teman seperjalanan perempuan itu turun dan menyusul. Sopir dan kondektur tidak terlihat bersungut-sungut ataupun terburu-buru. Keduanya terlihat santai mengunyah sirih (nyirih) dan meludah ke luar bis sambil ngobrol dalam bahasa mereka. Sopir juga mengenakan hem lengan pendek warna putih dan longyi warna hijau. Mungkin itu pakaian seragam mereka, duga saya. Keduanya sopir dan kondektur terlihat menyisipkan handphone mereka di pinggang. Bagaimana jika jatuh ya, pikir saya. Namun hingga saya turun di Mandalay, tidak terlihat adanya masalah menaruh handphone dengan cara hanya disisipkan pada lilitan longyi di pinggang. Cara mengikat longyi juga terlihat berbeda dengan cara orang Indonesia mengenakan sarung, terlihat dari adanya semacam kantong kecil di depan. Mungkin itu bagian ikatannya untuk memperkuat atau tidak mudah longgar.
Landscape sepanjang jalan 


Kelancaran perjalanan Bagan - Mandalay terhalang oleh kempesnya salah satu ban bis. Untuk itu, bis harus berhenti cukup lama di salah satu poolnya yang terletak di pinggir jalan yang dilalui. Semua penumpang turun merenggangkan tubuh dan mengusir kebosanan. Saya dan beberapa penumpang laki-laki lainnya mencari tempat untuk mengosongkan kantong kemih. Setelah melongok kiri dan kanan, namun tidak menemukan toilet, saya lalu mengikuti 2 penumpang laki-laki berjalan ke luar gerbang pool. Kedua laki-laki yang mengenakan longyi  duduk jongkok di luar gerbang dan kencing seperti para perempuan kencing di kampung-kampun. Selesai kencing mereka bangun dan berjalan pergi begitu saja sehingga saya menjadi tahu bahwa di balik longyi mereka pasti tidak mengenakan celana dalam :). Saya kemudian mengambil posisi menghadap tembok pagar,  membelakangi jalan lalu mengosongkan kantong kemih. Selesai itu, saya kembali ke bis, namun penggantian ban belum selesai.

Lingkungan sekitar hotel Rama Mandalay 
Beberapa penumpang kelihatan bercakap-cakap satu sama lain. Saya lalu berkenalan dengan 2 pemuda asal Malaysia. Mereka juga dalam perjalanan wisata ke Mandalay. Kami bertukar cerita tentang tempat-tempat wisata yang telah dikunjungi. Mereka memulai dari Yangon lalu ke Bagan kemudian ke Mandalay dan akan kembali ke Yangon lagi untuk pulang ke Malaysia. Penggantian ban memakan waktu 1 jam lebih barulah bis siap kembali  menyusuri jalanan menuju Mandalay. Akhirnya bis tiba di kota Mandalay setelah menghabiskan waktu 4 jam. Dugaan saya jika tidak ada masalah dengan ban, maka waktu tempuh akan lebih cepat, yakni sekitar 3  jam saja. Berbeda dengan informasi waktu tempuh di internet yang 6 jam. Mungkin jalanan yang dilalui penulisnya saat itu belum semulus saat saya
Jalan utama kota Mandalay
melewati jalan tersebut yang berdampak pada adanya perbedaan waktu cukup jauh, yakni 3 jam. Setelah satu demi satu warga lokal diturunkan di tempat masing-masing, hanya para turis yang tertinggal di bis, yakni saya, 2 pemuda Malaysia dan sepasang bule. Sopir menanyakan alamat tujuan masing-masing di hotel yang berbeda-beda. Pusat kota sangat ramai oleh ruko-ruko bertingkat 3 dan 4. Terdapat juga 1 mall besar yang terlihat ramai. Jalanan utama di pusat kota cukup lebar dan dibagi menjadi 2 jalur (seperti Sudirman - Thamrin di Jakarta, namun tidak selebar Sudirman ataupun Thamrin tentunya) menggunakan pembatas di tengah. Kedua sisi jalan dipenuhi jejeran ruko yang juga difungsikan sebagai bank, toko, restoran, bakery, hotel dll.  Sepasang bule tersebut diturunkan di salah satu hotel yang terletak di jalan utama itu. Setelah itu, bis memasuki jalan kecil mencari-cari hotel Rama
Pagi hari di jalan depan hotel Rama Mandalay 
Mandalay yang telah saya booking online melalui www.booking.com sebagai tempat saya menginap 3 hari di kota tersebut. Akhirnya saya tiba di hotel kecil di jalan 28th street, sekitar 3 blok dari jalan utama yang telah dilewati.

Welcome to Rama Mandalay sir, sapa seorang lelaki berwajah Asia Timur (seperti orang India) yang sepertinya merupakan manager hotel. Thanks, I would like to check in, balas saya sambil menunjukan bukti bookingan yang saya simpan di HP.  May I pay it using credit card or it has to be cash only, tanya saya. We can either accept card or cash, kata lelaki tersebut. Karena mempertimbangkan keterbatasan uang tunai yang saya pegang, saya memutuskan membayar menggunakan kartu kredit. Namun, koneksi bermasalah sehingga setelah tidak berhasil mencoba beberapa kali akhirnya saya putuskan membayar
Pagi hari di jalan depan hotel Rama Mandalay 
tunai. Toh saya masih punya waktu untuk ambil tunai lagi di ATM. Selesai urusan administrasi, saya menanyakan bagaimana caranya mendapatkan mobil untuk berkeliling ke tempat-tempat wisata, termasuk ke Mandalay Hill. Lelaki tersebut mengatakan mereka bisa menyediakan.  25.000 kyat atau 25 dollar selama setengah hari. Saya setuju saja karena tidak punya pilihan dan juga tidak perlu membuang waktu. Saya minta disediakan sopir yang bisa berbahasa Inggris. Namun kenyataannya permintaan saya tidak dipenuhi sehingga sepanjang kunjungan ke tempat-tempat wisata sampai dengan malam hari, saya dan sopir hanya berbicara menggunakan bahasa tubuh. Setelah menerima kunci, saya lalu beranjak ke lift di depan resepsionis guna menuju lantai 3 tempat kamar saya. Kamar deluxe seharga 50 dollar per malam yang saya pesan ternyata sangat luas dilengkapi tempat tidur ukuran 160x2 meter dengan 2 bantal dan 2 guling. Kamar juga dilengkapi meja rias, tv layar datar dan 1 set sofa, termasuk mejanya.

Pagi hari di jalan depan hotel Rama Mandalay 
Setelah ngadem dalam kamar ber-AC sekitar 30 menit, saya lalu mandi, ganti dan keluar hotel untuk makan siang. Manajer menginformasikan beberapa pilihan tempat makan yang berjejer di jalan tempat hotel tersebut. Saya memutuskan mencoba resto terdekat di samping hotel bermana beer star. Semua pengunjung restoran ini adalah laki-laki. Mereka duduk berkelompok, bercakap-cakap dan menikmati bir di gelas-gelas besar. Tissu bertebaran di lantai, walau restoran menyediakan tempat sampah di lantai setiap meja - terlihat agak jorok. Apalagi beberapa dari pengunjung yang sedang nyirih meludah berulang-ulang ke tempat sampah. Saya mengambil tempat duduk agak jauh dari kelompok-kelompok tersebut. Seorang pelayan perempuan menghampiri saya, namun saat saya memulai
Cocacola dingin di resto Beer Star
percakapan dalam bahasa Inggris, pelayan tersebut menggeleng sambil tersenyum kemudian pergi memanggil temannya. Seorang pemuda memakai hem putih lengan pendek dan longyi hijau tua menghampiri saya. Saya lalu memesan makan siang dengan lauk ikan dan coca cola. Saya menghabiskan sekitar 30 menit makan siang sambil mengamati tingkah-pola pengunjung lainnya. Akhirnya saya kembali ke hotel menunggu mobil jemputan untuk memulai eksplorasi saya di Mandalay.

Bersambung. 

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...