Senin, 29 September 2014

MYANMAR: ONCE UPON A TIME. Bagian III : Pagoda Sule dan Pagoda Botahtaung.

Menara Sule Pagoda dari Jl. Anawratta
 Where are we going now? tanya saya ke sopir taksi yang saya gunakan. "Sule Pagoda is not so far from here, so we are heading to the pagoda now, balas sopir sambil menjalankan mobil. Alright, balas saya. Sekitar 5 menit dari restoran, saya telah melihat puncak pagoda berwarna kuning emas tersebut. Terlihat megah dan terletak tepat di suatu perempatan. Sebelah kiri dan kanan jalan yang kami lalui dipenuhi bangunan-bangunan tua yang sepertinya difungsikan seperti ruko-ruko di Indonesia. Dari perempatan, taksi berbelok ke kanan menyusuri sisi kiri pagoda lalu berbelok lagi ke kiri hingga tiba di bagian depan kiri dekat pintu gerbang pagoda. Bagian luar pagoda dikeliling oleh jejeran kios yang sedang tutup sehingga saya tidak bisa mengintip apa yang dijual di kios-kios tersebut. Terdapat juga beberapa tempat penukaran uang terlihat dari papan nama yang tertempel di bagian atas luar beberapa kios yang tertutup. Taksi diparkir pada tempat parkir yang dipenuhi mobil berbagai tipe dan merek. Antara tempat parkir dan pagoda dipisah oleh suatu pertigaan yang sangat ramai. Di tempat tersebut terlihat banyak orang menunggu bis maupun yang menyeberang ke berbagai arah, termasuk ke Pagoda Sule. Berhadapan dengan tempat parkir yang dipisah jalan, terlihat satu bangunan megah berwarna putih yang sepertinya berfungsi sebagai kantor. Sepertinya bangunan tersebut peninggalan Inggris dilihat dari gaya arsitekturnya. Berhadapan dengan Pagoda Sule dalam jarak sekitar 300 meter yang dipisah oleh jalan raya terdapat suatu bangunan gereja berwarna putih

Saya menyeberang mengikuti para penyeberang lainnya saat terlihat jalan agak sepi. Sama seperti menyeberang di Jakarta, para penyeberang yang harus ektra hati-hati karena kendaraan yang lalu lalang tidak mengurangi kecepatannya sama sekali. Beruntunglah jalan di depan pagoda sedang macet sehingga saya bisa menyeberang dengan lebih nyaman walau harus selap-selip diantara mobil-mobil yang tertahan kemacetan. Di depan gerbang masuk pagoda, saya disambut beberapa perempuan penjual bunga yang mengenakan longyi dan wajahnya berhias bedak tanaka :). "Flower for Budha?, sapa seorang perempuan saat saya menapak memasuki gerbang. Saya menggeleng sambil tersenyum. Saya lalu membungkuk melepaskan sandal, seorang perempuan yang duduk di depan suatu tempat penyimpanan sandal dan sepatu meminta saya menaruh sandal di tempat tersebut. Setelah itu, perempuan tersebut mengarahkan saya ke loket tiket
Gereja yang berhadapan dengan Sule Pagoda
yang terletak di sisi kanan saya. Saya berjalan ke loket dan membeli tiket masuk seharga 3 dollar atau 3000 kyat. Setelah itu, saya lalu menaiki tangga-tangga dari gerbang masuk ke Pagoda Sule yang terletak di ketinggian.

Wikipedia menulis bahwa Sule Pagoda terletak di tengah-tengah kota Yangon. Pagoda ini memiliki peran penting dalam ideologi, ekonomi, geografi dan sejarah politik kontemporer Burma, termasuk menjadi tempat berkumpul para demonstran tahun 1988 dan 2007 yang dimotori para bhiksu. Sule Pagoda dibangun sebelum Shwedagon Pagoda. Menurut legenda setempat, Pagoda ini dibangun pada masa Budha sehingga telah berusia 2500 tahun. Menurut legenda orang Burma, tempat dimana Sule Pagoda dibangun adalah rumah dari roh suci berkuasa penuh bernama Sularata (Sule Nat). Raja para roh suci yang bernama Sakka ingin membantu raja legendaris Okkalab membangun suatu tempat suci bagi peninggalan rambut suci
Salah satu kuil yang dibangun mengelilingi Sule Pagoda
Budha pada tempat yang sama dimana tiga peninggalan Budha telah dikuburkan. Sayangnya, Sakka tidak tahu secara pasti dimana peninggalan-peninggalan tersebut telah dikuburkan di masa lalu. Namun, Sule Nat yang telah sangat tua telah menyaksikan kejadian besar tersebut. Karena itu, para dewa, roh-roh suci, dan manusia berkumpul di sekitar raksasa Sule dan menanyakan lokasi yang akhirnya diingat olehnya.

Pagoda Sule dijadikan pusat kota Yangon oleh Letnan Alexander Fraser dari para insinyur Bengal yang membangun jalan yang terletak di Yangon segera setelah pendudukan Inggris pada pertengahan abad 19. Jalan tersebut pada awalnya dinamai Jalan Fraser, namun sekarang telah berganti nama menjadi Jalan Anawratta dan masih tetap menjadi salah satu jalan utama di Yangon. Pagoda Sule adalah satu pagoda bergaya Mon berbentuk segi delapan dengan panjang 7,315 meter, setinggi 43,891 meter. Ukuran tersebut diperluas oleh Ratu Shin Sawbu pada tahun 1453-1472. Disekitar Pagoda terdapat 10 lonceng perunggu dalam berbagai ukuran serta berisi catatan nama para penyumbang dan tanggal sumbangan tersebut diberikan.  Legenda lain menceritakan nama Sule berasal dari kata Su dan Le yang artinya semak berduri liar. Legenda lain menghubungkan nama tersebut ke kata Cula dalam bahasa Pali yang artinya kecil / ceti atau pagoda kecil. Setelah saya mengunjungi beberapa pagoda lainnya, maka kata Cula tersebut sepertinya memiliki kebenaran karena ukuran Pagoda Sule lebih kecil dari pagoda-pagoda lainnya, terutama Shwdagon tentunya.

Sule Pagoda yang diapit oleh kuil-kuil sekelilingnya 
Pada saat saya berkunjung, beberapa kuil yang mengeliling Pagoda sedang direnovasi. Walau demikian, umat Budha terus masuk dan keluar mendaraskan doa masing-masing di kuil-kuil yang belum atau telah selesai direnovasi. Dari pintu masuk, saya belok kiri menyusuri jalan kecil dari keramik yang memisahkan kuil-kuil dan bangunan berbentuk memanjang seperti asrama dengan Pagoda yang terletak di tengah. Saya terus berjalan memutari pagoda melihat-lihat, mengambil foto-foto sampai saya tiba kembali di pintu masuk. Saya lalu menuruni tangga menuju gerbang di bawah dekat jalan yang telah saya ceritakan di atas. Perempuan yang berjaga di tempat sepatu dan sandal saat saya masuk ternyata tidak berada ditempatnya. Saya lalu mengambil sandal saya, memasukan 1000 kyat ke kotak donasi yang tersedia lalu berjalan keluar kembali ke tempat parkir dimana taxi sedang menunggu.

Bagunan di sebelah depan kiri Sule Pagoda
Taksi keluar ke arah kanan dari tempat parkir yang berlawanan dengan arah kedatangan. Sesampainya diperempatan belakang Pagoda Sule, taksi belok kiri melewati berbagai bagunan tua bergaya Eropa yang sepertinya bangunan-bangunan peninggalan Inggris. Setelah itu, taksi belok kiri lagi menyusuri jalan raya yang memisahkan sungai Yangon di sebelah kanan dengan bangunan-bagunan tua didominasi warna merah bata di sebelah kiri. Menurut cerita sopir, bangunan-bangunan tersebut peninggalan Inggris yang dahulunya digunakan sebagai perkantoran karena kawasan yang kami lewati merupakan kawasan pelabuhan dagang pada zaman kolonial Inggris. Setelah melewati satu perempatan lagi, kami lewat di

Salah satu bangunan peninggalan Inggris
depan bangunan Pasar Bogyoke Aung San yang terkenal di kalangan para pelancong dan merupakan salah satu tempat yang direkomendasikan untuk dikunjungi saat melancong ke Yangon. Sayangnya, pasar tersebut tutup pada hari Senin, yakni hari dimana saya sedang mengelilingi kota Yangon saat itu. Karena itu saya tidak dapat mampir melihat-lihat kesibukan pasar sekaligus mencari longyi. Saat saya katakan ke sopir bahwa saya ingin mencari longyi, sopir mengatakan sebaiknya saya mencari dan membeli di Mandalay saja yang lebih murah (sopir tahu bahwa saya akan berkunjung ke Mandalay setelah Yangon dan Bagan). Why, tanya saya. It is cheaper because the longyi is produced in Mandalay, balas sopir.

Kami tiba di satu perempatan lain tak jauh dari Pasar Bogyoke Aung San. Taksi lalu berbelok ke
Pagoda Botahtaung
kanan menuju Pagoda Botahtaung yang telah terlihat dari perempatan. Cuaca saat itu tidak terlalu bersahabat karena sedang gerimis. Sampai di gerbang samping, taksi berhenti menurunkan saya. Saat akan keluar dari taksi, sopir menyodorkan payung. Saya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum dan menerima payung tersebut.  Sopir mengatakan mobil akan diparkir di sebelah jalan sambil menunjuk ke tempat lain berjarak sekitar 10 meter dari tempat saya turun. Saya mengiyakan lalu berjalan ke arah pintu masuk pagoda. Saat saya akan melepaskan sandal, seorang petugas meminta saya  menemui petugas lain yang berjaga di semacam pos yang terletak di sebelah kanan gerbang samping. Saya menuju pos tersebut, masuk dan berbicara sesaat dengan seorang petugas perempuan yang menanyakan asal saya. Kemudian, petugas menyodorkan tiket masuk seharga 3000 kyat. Saya membayar tiket tersebut lalu berjalan keluar pos mengarah ke pintu masuk pagoda. Sandal saya lepas di pintu masuk yang saya letakan berjejer dengan sandal-sandal lain yang telah berada di tempat tersebut. Sekali lagi saya menyusuri lorong yang tidak terlalu panjang kemudian menaiki beberapa anak tangga menuju bangunan utama.

Bagian dalam Pagoda Botahtaung
Wikipedia menulis bahwa Botahtaung artinya 1000 pejabat militer (1000 military officers). Menurut legenda setempat, Pagoda ini dibangun oleh suku Mon yang adalah salah satu suku Austronesia yang menyebarkan Agama Budha di Asia, termasuk Thailand dan Burma / Myanmar. Pagoda ini dibangun dalam waktu yang sama dengan Pagoda Shwedagon. Bangunan aslinya hancur total pada masa Perang Dunia II. Karena itu, pagoda yang sedang saya kunjungi saat ini merupakan pengganti bangunan aslinya. Sepertinya kompleks dan bangunan pagoda ini seukuran dengan Sule Pagoda, namun dinding-dindingnya seperti dilapisi lembaran emas dari bawah hingga langit-langit - yang diberi pengaman. Menurut legenda setempat, di Pagoda ini juga tersimpan rambut suci Budha. Ruangan-ruangan di bagian dalam berbentuk segitiga dimana di ujung segitiga beberapa ruangan terlihat 1 atau 2 umat sedang duduk bersila mendaraskan doa. Pada sisi lain di ujung ruangan yang diberi pembatas kawat tebal sebagai pengaman berjejer berbagai aset pagoda tersebut yang sepertinya terbuat dari batu jade, perunggu, perak dan emas. Sepertinya semua barang sangat berharga sehingga disimpan dalam lemari pengaman bisa dilihat namun tidak bisa dijamah oleh pengunjung. Satu demi satu ruangan berdiding emas berukir berbagai
Salah satu relief dinding Pagoda Botahtaung
motif tersebut saya telusuri mengagumi keindahan Pagoda tersebut. Sekitar 45 menit kemudian, saya telah tiba di pintu masuk berpapasan dengan pengunjung lain yang baru tiba dan sedang berjalan masuk. Saya keluar ke pelataran di bawah tangga mengambil beberapa foto lalu berjalan keluar ke arah kanan untuk melihat Pagoda tersebut dari sisi luarnya. Gerimis yang masih berlangsung tidak menghalangi saya mengitari Pagoda tersebut. Sisi luar kiri Pagoda diapit oleh semacam sekolahan yang bersebelahan dengan satu kuil.

Di belakang Pagoda terletak satu bangunan memanjang semacam bangsal atau tempat pertemuan. Beberapa orang terlihat sedang tiduran ataupun duduk-duduk lesehan dalam bangsal tersebut. Di luarnya disediakan 2 gentong air minum beserta beberapa mug. Karena masih gerimis, saya memutuskan duduk di teras luar bangsal dekat ke gentong air sambil mengamat-amati pagoda dan lingkungan sekelilingnya. Saya dihampiri seorang lelaki Burma mengenakan baju lengan pendek kotak-kotak putih dan ber-longyi. Saya diajak ngobrol berbahasa Inggris tentunya. Lelaki tersebut memperkenalkan asalnya dari
Salah satu relief dinding Pagoda Botahtaung
Mandalay. Saat saya bertanya bagaimana dia / menggunakan alat transportasi apa dari Mandalay ke Yangon, dengan tersenyum si lelaki menjawab hanya perlu semedi. Saya membalas senyumnya dan mengangguk-anggukan kepala, namun tidak percaya sama sekali akan jawabannya yang menurut saya tidak masuk akal. Dugaan saya ternyata benar, karena setelah ngobrol ngorol ngidul sekitar 5 menit, lelaki tersebut menawari saya untuk berkeliling Pagoda bersamanya - tentunya dengan imbalan pada akhirnya. Membaca indikasi tersebut - yang telah saya ketahui dari informasi-informasi online yang saya pelajari, maka dengan halus tawaran tersebut saya tolak, "thanks but i have already visited all of the rooms inside the Pagoda as well as its surroundings, I am ready to move to other pagoda, timpal saya. Mendengar jawaban saya, keramahannya langsung sirna dan dia pun ngeloyor pergi begitu saja.

Bangunan yang mengeliling Pagoda Botahtaung
Setelah gerimis agak reda, saya bangun dan berjalan ke arah sebelah kiri saya atau kanan Pagoda yang belum saya hampiri. Pada bagian ini hanya ada pagar berjarakan sekitar 20 meter dari bangunan Pagoda yang membatasi Pagoda dengan lingkungan sekitarnya. Pada bagian ujung depan pelataran digantung satu lonceng berukuran sedang. Saya mampir beberapa menit mengamat-amati lonceng tersebut sambil mengambil beberapa foto. Selesai dari situ, saya masuk kembali ke bangunan Pagoda melalui pintu kiri, berlawanan dengan pintu yang saya gunakan saat keluar ke sebelah kanan Pagoda. Saya terus berjalan ke gerbang luar lalu memakai kembali sandal yang saya tinggalkan saat akan masuk ke bangunan Pagoda sebelumnya. Dugaan saya, Pagoda ini hanya dikunjungi oleh turis lokal atau umat atau oleh turis Asia karena saya tidak melihat seorang pun turis bule berkeliaran di lingkungan tersebut. Atau mungkin karena lagi gerimis sehingga para turis pada malas berjalan-jalan. Pada saat saya mengitari bagian
Lonceng yang terletak di kanan depan Pagoda Botahtaung
luar Pagoda saya hanya melihat seorang pengunjung Asia yang juga melihat-lihat daerah sekitar karena dari gaya pakaian dan ransel serta payung yang dibawa terlihat bahwa orang tersebut bukan orang lokal.

Mata saya celingukan mencari taksi yang saya gunakan karena hampir semua mobil yang diparkir di tempat yang ditunjukin sopir sebelumnya berwarna putih. Mungkin melihat saya celingukan mencari mobil tersebut, sopir mobil berinisiatif mengendarai mobil ke arah saya. Saya lalu membuka pintu kiri dan masuk ke mobil tanpa menunggu sopir membukakan pintu sebagaimana yang telah dilakukannya di beberapa tempat terdahulu. "Where we going now", tanya saya setelah duduk santai di dalam mobil. We are heading to Ngar Htet Gyi Pagoda, balas sopir. OK, jawab saya.

Bersambung ke bagian IV:  Ngar Htet Gyi, Chauk Htet Gyi dan Shwedagon Pagoda

Bangunan bergaya Eropa peninggalan Inggris 

Bangunan bergaya Eropa peninggalan Inggris 

Sabtu, 20 September 2014

MYANMAR: ONCE UPON A TIME. Bagian II: Yangon

Para lelaki Myanmar mengenakan longyi (longji)
Good morning sir, sapa staf resepsionis saat saya menghampiri mejanya untuk mengkonfimasi mobil pesanan saya saat check in. Sambil tersenyum, saya balas mengucapkan "morning, how about the car for me today"?. It is ready, balas karyawan hotel. "you are lucky, we got a 1000 kyat (diucap chaat) discount for you, so you only pay 5000 kyat per hour", lanjut karyawan tersebut. Thanks you so much, balas saya sambil tersenyum lebar. "you are welcome sir, your car and driver are waiting for your journey. As your request, the driver can speak English, lanjut karyawan hotel tersebut. "that's great, balas saya sambil beranjak dari meja resepsionis. "enjoy your day, sir", demikian kata penutup karyawan hotel. "sure" balas saya mengakhir pembicaraan kami dan beranjak menuju pintu keluar lobby hotel.

Seorang lelaki berusia sekitar 30 tahunan tersenyum dan menyapa "good morning sir" saat kaki saya melangkah keluar dari pintu lobby. Saya tersenyum sambil membalas ucapan selamat paginya. 2 staf hotel yang menjaga pintu luar memperkenalkan saya ke sopir taksi yang akan saya gunakan tersebut. Sopir yang barusan menyapa saya membuka pintu mobil dan mempersilahkan saya masuk. Sopir juga memasuki mobil dan duduk pada tempatnya di bagian depan kemudian menghidupkan mobil dan mulai menjalankannya. Where are we going first sir, tanya sopir. we go to a travel agent to buy an airfare ticket, balas saya. Alright, we go to the travel agent recommended by the hotel staffs, kata sopir. Okay, balas saya. Mobil menyusuri jalan-jalan kota Yangon. Sepanjang jalan saya terus bercakap-cakap dengan sang sopir untuk mendapatkan berbagai cerita tentang kota tersebut. Di beberapa tempat, perjalanan kami tersendat karena kemacetan di jalan yang sedang kami lalui. Taxi berjalan melewati gedung-gedung apartemen sangat tua yang berjejer sepanjang jalan. Kadang melewati jejeran ruko-ruko tua yang ditandai oleh warna kehitam-hitaman dan juga kelupas cat di sana-sini. Jalan-jalan yang kami lalui tidaklah selebar jalan Sudirman dan Thamrin. Jalan-jalan tersebut terlihat seperti jalan-jalan di beberapa propinsi di kawasan Indonesia Timur yang pernah saya kunjungi. Di beberapa sudut kota, terlihat pembangunan gedung-gedung baru sedang dilakukan. Jalan yang  kami lalui kebanyakan dipenuhi taksi yang semuanya berwarna putih, sama warnanya dengan taksi yang saya gunakan. Kota juga dipenuhi berbagai taman nan hijau dan asri. Taman-taman di kota terlihat dirawat dengan  sangat baik dibandingkan dengan jalan dan gedung-gedung tuanya.

Staf travel agent yang melayani saya
Sekitar 15 menit kemudian, kami tiba di tempat tujuan, yakni Seven Diamond Express Travel. co. ltd. Travel agent tersebut terletak di salah satu jejeran ruko di No 93, Thein Phyu Road. Botahtaung Township, Yangon. Sopir taksi memarkir mobil, membukakan pintu dan mempersilahkan saya masuk ke kantor travel agent tersebut. Saya disambut seorang lelaki tua berwajah Asia Timur mengenakan baju lengan pendek motif kotak-kotak berwarna biru lembut dipadu dengan longyi warna biru tua motif kota-kotak kecil. Lelaki tersebut sepertinya menyapa dan menanyakan maksud saya dalam bahasa setempat yang tidak saya pahami, sehingga saya hanya menanggapi dengan tersenyum dan mengangkat bahu. Melihat hal tersebut, seorang perempuan muda yang duduk dekat pintu masuk memempersilahkan saya masuk terus ke dalam dengan cara menunjuk ke lantai 2 kantor tersebut. Lelaki tua yang menyambut saya berjalan terlebih dahulu memandu saya ke dalam. Saya perhatikan ruang bawah kantor tersebut sepertinya berukuran 10 x 3 meter. Di sebelah kanan saya berjejer para staf travel agent yang sedang bekerja di komputer masing-masing. Sedangkan pada sisi kiri saya berjejer bangku panjang yang diperuntukkan bagi tamu yang menunggu giliran. Di depan masing-masing meja karyawan disediakan 1 kursi bagi tamu yang langsung berhadapan dengan karyawan yang melayani penjualan tiket. Pada ujung ruangan di sudut bagian dalam, duduk seorang lelaki yang juga berwajah Asia Timur berusia sekitar 35 tahun yang saya duga adalah manajer travel agent tersebut dari gaya pakaian serta meja yang dilengkapi kursi kantor yang terpisah dari staf lainnya. Lelaki tersebut duduk menghadap tangga ke lantai 2 yang akan saya lalui. Saat tiba di depan tangga ke lantai 2 yang terletak sekitar 1, 5 meter dari meja manajer tersebut, sang manajer  berbicara dengan lelaki tua yang mengantar saya. Setelah itu, lelaki tua tersebut dengan menggunakan bahasa isyarat meminta saya melepas dan meninggalkan sandal saya di bawah tangga. Saya perhatikan si lelaki tua juga tidak memakai alas kaki sama sekali. Saya teringat banyak sandal dan sepatu terletak di depan pintu masuk kantor tersebut yang saya duga adalah milik para karyawan dan tamu travel agent tersebut.

Tiket seharga 105 dollar US
Saya terus mengikuti lelaki tua tersebut menaiki tangga ke lantai 2 setelah melepaskan dan meninggalkan sandal. Saya langsung dibawa menuju seorang karyawan perempuan berwajah khas campuran bule dengan rambut pirang bergelombang. Memperhatikan warna rambutnya, saya berkesimpulan warna tersebut adalah warna buatan menggunakan zat pewarna sebagaimana yang juga dijual di Jakarta. Saya dipersilahkan duduk di depan karyawan tersebut yang fasih berbahasa Inggris. Saya mengutarakan kebutuhan mendapatkan tiket pesawat ke Bagan. Karyawan tersebut menginformasikan ke saya beberapa maskapai yang menjalani rute Yangon - Bagan PP. "I am looking the cheapest one for you" kata karyawan tersebut sambil tersenyum ramah. "that's great, thanks a lot, balas saya. Dia kemudian menelpon beberapa kali setelah itu kembali berbicara dengan saya. "the cheapest flight is Mandalay Airways. However, it won't operate tomorrow". Another flight is Bagan Air, but the price is higher". "I am okay with any flights and prices, balas saya. "okay sir, wait for a moment please, balasnya lalu  mulai menelpon lagi. Setelah telpon diletakan, dia menginformasikan harga yang harus saya bayar, yakni 105 dollar ditambah 1000 kyat untuk airport tax. Jika tidak punya kyat, maka airport tax bisa dibayar menggunakan dollar juga. "okay, you can proceed further", kata saya. Karyawan tersebut lalu memanggil seorang rekan kerjanya kemudian berbicara dalam bahasa Myanmar. Sambil menunggu, saya mengamat-amati kantor tersebut. Panjang dan lebarnya sama dengan ruangan bawah yang telah saya lewati sebelumnya.

Hampir semua karyawan di ruangan tersebut, keduanya perempuan dan laki-laki mengenakan longyi. Beberapa dari mereka juga memakai bedak dingin khas Myanmar yang kemudian saya ketahui namanya adalah tanaka. Seorang karyawan lelaki yang duduk dekat dengan rekan perempuannya yang sedang mengurus tiket saya, terlihat duduk melipat kakinya ke atas kursi yang sedang diduduki sambil sesekali melirik saya, mungkin berpikir tentang asal usul saya yang berwajah sama dengan dia, namun hanya bisa berbicara bahasa Inggris :). Singkat cerita, saya mendapatkan tiket yand saya butuhkan, sambil tersenyum lebar, saya mengucapkan terima kasih lalu bangun dari tempat duduk saya menuju ke lantai bawah terus ke luar menuju taksi. Lelaki tua tersebut terus menemani saya sampai di taksi. Pada saat saya akan memasuki taksi, dengan bahasa isyarat lelaki tua tersebut meminta duit. Saya agak kaget, namun dengan ramah saya mengambil 500 kyat lalu menyerahkan pada lelaki tua tersebut. Dia menerimanya sambil tersenyum. Tangannya bergerak menutup pintu taksi kemudian beranjak pergi. Saya mengatakan kepada sopir taksi agar kami mencari makan siang di restoran yang menjual makanan khas Myanmar.

Makanan khas Myanmar
Sepertinya taksi mengarah ke pinggiran kota, karena makin sedikit bangunan bertingkat serta makin  banyak pepohonan di jalan-jalan yang kami lalui. Taksi juga bergerak mendaki ke arah perbukitan. Saya tidak menanyakan nama tempat tujuan, karena saya yakin tidak akan mengingat nama tersebut serta menuliskannya, karena ucapan dan tulisan kadang berbeda jauh. Sekitar 10 menit sejak berangkat dari kantor travel agent, kami tiba di suatu tempat yang sangat ramai di jam makan siang tersebut. Taksi di parkir di sebelah jalan berjejer dengan taksi dan  mobil lain yang telah parkir terlebih dahulu. Seorang tukang parkir mengatur mobil-mobil yang berjejeran di tempat tersebut, termasuk taksi yang saya gunakan. Sopir taksi mempersilahkan saya menuju restoran tersebut.  Dari luar terlihat restoran tersebut penuh, ramai dan sibuk. Saya terus berjalan ke dalam restoran mencari meja kosong. Seorang pelayan restoran menghampiri saya dan mengarahkan saya ke satu meja kosong yang sedang dibersihkan rekannya. Pada saat saya duduk, seorang pelayan restoran membawakan menu dan sepiring  besar berbagai jenis sayuran yang disusun melingkar dalam piring tersebut mengikuti bentuk bulat piringnya. Kumpulan sayuran tersebut terlihat seperti sayur pecel dalam kuliner Jawa. Di tengah-tengah piring sayuran diletakan 1 mangkuk bulat berisi sejenis kari yang dugaan saya dimakan dengan sayuran tersebut. Selain itu, saya juga diberi  1 mangkuk kecil kuah yang diberi gingseng dan kacang yang rasanya agak asam seperti sayur asam. Untuk lauk pauk, pengunjung dipersilahkan memilih sendiri beragam daging dan ikan yang telah tersedia dalam berbagai mangkuk kecil di bagian tengah antara dapur dan ruang makan. Saya beranjak ke jejeran mangkuk yang dijaga oleh puluhan perempuan dan laki-laki  muda yang semuanya mengenakan longyi warna hijau muda motif kotak-kotak serta baju lengan pendek berwarna putih. Saya memilih kari ayam, sayur bayam dan ikan kecil-kecil yang digoreng garing - seperti ikan dari danau Maninjau di restoran padang, namun ukurannya lebih besar. Saat saya makan, rasanya gurih. Lauk pilihan saya tersebut dipanasin terlebih dahulu sebelum diantar ke meja saya. Selesai memilih saya kembali ke meja saya dimana seorang pelayan mengantar nasi dalam tempat nasi bulat berbahan stainless - yang disusul dengan lauk pesanan saya. Sekitar 45 menit saya habiskan di restoran tersebut menikmati makanan khas Myanmar - yang mana bumbunya tidak terlalu terasa seperti makanan Indonesia atau Thailand. Selesai makan, saya beranjak ke kasir membayar makanan dan minuman yang telah saya habiskan. Total yang saya bayar adalah 8000 kyat atau sekitar 96.000 rupiah.

Bersambung ke Bagian III : Pagoda Sule, Botahtaung, Ngar Htet Gyi, Chauk Htet Gyi dan Shwedagon Pagoda

Rabu, 03 September 2014

MYANMAR: Once Upon A Time. Bagian I - Perjalanan Jakarta - Bangkok - Yangon / Rangon

Pagoda Shwedagon dari Jendela Hotel Clover di malam hari
Saya punya 2 impian saat kelas 6 SD setelah mengikuti pelajaran sejarah dunia - yakni jalan-jalan ke London untuk melihat Big Ben dan GMT serta ke Myanmar, negeri ribuan pagoda dan bhiksu. Kedua impian masa kecil tersebut akhirnya terpenuhi. Perjalanan ke London telah saya lakukan pada tanggal 22 - 24 Agustus 2013 (lihat catatan perjalanan sebelumnya tentang London). Sedangkan perjalanan ke Myanmar baru terlaksana pada tanggal 25 - 30 Agustus 2014. Karena itu, perjalanan ke Myanmar adalah suatu siarah batiniah suatu impian yang sangat saya nikmati dan jiwai. Terasa seperti air yang melepaskan dahaga bertahun-tahun menyimpan impian tersebut sejak berumur 11 tahun.

Sebagaimana semua perjalanan saya ke berbagai pelosok tempat di Indonesia maupun dunia, rencana perjalanan ke tempat-tempat kunjungan tersebut saya siapkan dengan matang minimal 6 bulan sebelum perjalanan dilakukan. Dalam periode persiapan, saya mengecek semua informasi yang saat ini telah tersedia di internet dan dapat diakses secara bebas setiap waktu. Informasi pertama yang saya cari dan pelajari adalah tempat-tempat wisata di kota / negara yang akan saya kunjungi. Setelah itu daftar tempat kunjungan saya siapkan disusul pencarian hotel yang dekat dengan salah satu tempat kunjungan utama atau yang mudah diakses menggunakan sarana transportasi publik seperti kereta atau bis.

Pemandangan daratan Myanmar
Untuk kunjungan ke Myamar, saya membaca semua informasi online yang tersedia, terutama yang tertulis di www.wikitravel.com dan www.tripadvisor.com. Beberapa blog yang mengulas tentang Myanmar juga saya kunjungi dilanjutkan dengan melakukan komunikasi email ke penulis blog. Hal tersebut saya lakukan karena mempertimbangkan Myanmar sebagai salah satu negara yang baru terbuka untuk turis sehingga tidak banyak informasi yang tersedia. Dari berbagai informasi yang saya peroleh, saya memutuskan berkunjung ke 3 tempat di Myanmar, yakni Yangoon, Bagan dan Mandalay. Setelah itu, saya mulai mencari informasi tentang pengurusan visa, melakukan booking hotel dan mencari tiket pesawat dari Jakarta ke Myanmar secara langsung ataupun dari Jakarta via kota/negara lain seperti melalui Kuala Lumpur atau Singapore atau Thailand.

Pada saat pencarian informasi tentang pengurusan visa secara online, saya menemukan situs www.visamyanmar.com yang menyediakan jasa pengurusan visa untuk mendapatkan visa on arrival di salah satu airport, yakni Yangoon atau Mandalay yang merupakan airport penerbangan internasional masuk dan keluar Myanmar. Sebelumnya saya telah mendengar dari media massa Indonesia bahwa akan ada perjanjian bebas visa antara Myanmar dan Indonesia. Saya mencoba menelpon ke kedutaan Myanmar untuk mendapatkan kepastian informasinya. Sayangnya telepon saya selama beberapa kali tidak mendapatkan respons alias tidak ada yang mengangkat. Akhirnya saya memutusakan untuk menggunakan jasa pelayanan visa online berbayar sebesar 95 $Singapura ditambah pajak menjadi 101$ Sing. Keputusan yang salah karena 1 minggu setelah melakukan pembayaran menggunakan jasa pembayaran paypal, saya bisa menghubungi kedutaan Myanmar di Jakarta yang memberikan informasi bahwa perjanjian bebas visa untuk kunjungan 14 hari antara Indonesia dan Myanmar  mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2014. Saat saya menghubungi penyedia jasa online dan menginformasikan tentang hal tersebut, penyedia jasa yang bermarkas di Yangoon hanya bersedia mengembalikan 30$Sing dengan berbagai alasan. Saya hanya pasrah karena nasi telah menjadi bubur. Keinginan menggebu-gebu mengunjungi Myanmar menyebabkan saya terburu-buru mengurus visa yang sebenarnya tidak perlu lagi karena sebagai bagian dari negara-ASEAN, Myanmar telah memberlakukan bebas visa bagi warga Negara Indonesia yang berkunjung dalam periode 14 hari. Demikian juga sebaliknya. 

Booking hotel di 3 kota di Myanmar tidak sulit, karena kunjungan saya di bulan Agustus bukanlah musim liburan sehingga banyak hotel yang tidak fully booked menurunkan harga kamarnya. Harga normal hotel bintang 3 di musim liburan di Myanmar rata-rata seharga hotel bintang 5 di Jakarta. Melalui www.booking.com, tripadvisor.com dan agoda.com, saya membandingkan jenis kamar dan harganya dari berbagai hotel di 3 kota yang akan saya kunjungi, termasuk membaca review para tamu sebelumnya yang dipublikasikan oleh web-web tersebut. Akhirnya, saya membooking hotel Clover di Yangoon, hotel Zfretti di Bagan dan hotel Rama Mandalay di Mandalay. Di Yangoon, saya mengambil kamar hotel deluxe. Untuk kamar deluxe dengan view pagoda Shwedagon yang terkenal itu, saya harus menambah 10$US sehingga total harga kamar per malam adalah 95$US setara 9.500 Kyat (mata uang Myanmar - diucap Chaat) atau setara 1.140.000 rupiah dengan kurs 12.000 rupiah per 1 $US. Saya hanya mengambil 1 malam dengan pertimbangan saya akan berangkat ke Bagan menggunakan bis malam pada tanggal 26 malam yang akan tiba di Bagan pada tanggal 27 pagi. Keputusan yang kemudian berubah setelah tiba di Yangoon, yakni berangkat ke Bagan pada tanggal 26 pagi menggunakan pesawat Bagan Air. Harga kamar hotel Zfreeti di Bagan adalah 50 $US per malam. Melalui www.booking.com, saya membooking 1 malam saja, namun ternyata saya kemudian memutuskan menghabiskan 2 malam di Bagan. Untuk itu saya harus menambah 5 $US untuk 1 malam. Harga yang sama saya dapatkan pada kamar di hotel Rama Mandalay yakni 50 $US per  malam. Total keseluruhan biaya hotel di Myanmar adalah 95 $US (1 malam) di Yanggon + 105 $US di Bagan (2 malam) + 100 $US di Mandalay = 300 $US setara 3.600.000 rupiah untuk 5 malam 6 hari di Myamar. 

Saya memutuskan masuk ke Myamar melalui Bangkok, karena itu saya lalu mencari penerbangan murah Bangkok - Yangon pada tanggal 25 Agustus 2014. Penerbangan paling murah yang tersedia adalah Air Asia seharga 65 $US. Sedangkan pulangnya saya memutuskan keluar melalui Mandalay ke Bangkok dengan harga tiket 79 $US. Sebenarnya tiket Air Asia lebih murah jika dibeli 2 atau 3 bulan di muka, yakni tiket promo Mandalay - Bangkok seharga 50 $US. Dari Yangon malah lebih murah yakni seharga 30 dollar. Namun untuk itu, saya harus kembali dari Mandalay ke Yangon menggunakan bis seharga 18 dollar atau menggunakan pesawat seharga 95 dollar. Jatuhnya akan lebih mahal, karena walau dari kalkulasi biaya menggunakan bis kembali ke Yangon dari Mandalay bersama tiket pesawat akan lebih murah, namun saya kehilangan waktu dan juga pasti kelelahan menempuh perjalanan darat Mandalay-Yangon sekitar 10 jam. Oleh karena keputusan pembelian tiket Mandalay - Bangkok saya lakukan 2 minggu sebelum keberangkatan dari Jakarta ke Bangkok, maka harga tiket yang saya peroleh adalah 79 $US tersebut alias lebih mahal 29 $US dari harga promo 3 bulan sebelumnya saat saya mengintip-intip penjualan tiket online Airasia di bulan Mei 2014. 

Salah satu bagian Yangon 
Setelah semua persiapan selesai, saya lalu berangkat pada tanggal 23 Agustus 2014 menggunakan pesawat Garuda penerbangan Jakarta - Bangkok. Saya menghabiskan 2 malam di hotel Ibis Sathorn Bangkok yang saya gunakan mengungjuni beberapa tempat di Bangkok, termasuk ke tempat shopping terkenal, yakni Platinum dan Chatuchak, kemudian terbang ke Myanmar pada tanggal 25 Agustus pagi. Penerbangan Air Asia ke Yangon dilakukan dari Airport Don Muang di Bangkok pada jam 7 pagi. Saya memutuskan menginap di Hotel Ibis Sathorn karena mendapatkan harga promo kamar per malam 350.000 rupiah (tanpa sarapan) dan juga karena akses transportasi ke stasiun MRT Lumpini sangat dekat (hanya butuh jalan kaki sekitar 7 menit). Oleh karena penerbangan Air Asia dari Bangkok ke Yangon dilakukan pada jam 7 pagi, maka saya menggunakan taxi dari hotel ke airport pada jam 5 subuh. Pada malam sebelumnya saya telah melakukan online check in sehingga memudahkan saya saat tiba di bandara Don Muang. Taxi meter dari Hotel Ibis Sathorn ke Don Muang di subuh hari hanya 200 bath atau sekitar 80ribu rupiah. Di siang hari bersama biaya toll dan surcharge, biaya taxi sekitar 300 bath atau sekitar 120 ribu rupiah dari airport Don Muang ke Lumphini atau sebaliknya. Lama penerbangan Bangkok - Yangon adalah 1jam 30 menit. Namun karena waktu di Myanmar lebih lambat 30 menit dari waktu di Bangkok dan Jakarta, maka pesawat mendarat di Bandara Internasional Yangon pada jam 8 pagi alias waktu tempuh Bangkok - Yangon adalah 1 jam.

Bandara Internasional Yangon telah sedikit modern. Ruang kedatangan terletak di lantai 1 sehingga para penumpang menggunakan eskalator ke ruang pemeriksaan passport maupun konter visa on arrival di lantai dasar. Pada saat saya akan menjejakan kaki ke eskalator, listrik padam sehingga para penumpang yang akan ke lantai dasar ataupun yang telah berada di eskalator melanjutkan dengan turun secara manual alias berjalan kaki. Saya hanya tersenyum dan berucap dalam hati "welcome to Yangoon". Tiba di lantai dasar, saya masuk ke salah satu antrian yang telah ada ke konter pemeriksaan passport yang dikelompokan menjadi 3, yakni pemeriksaan passport warga negara Myanmar, warga asing dan pemeriksaan passport kalangan diplomatik. Antriannya tidak terlalu panjang, namun gerak maju antrian sangat lambat. Telah lebih dari 30 menit di antrian yang saya ikuti, namun terasa macet dan tidak pernah bergerak maju. Penasaran dengan situasi tersebut, saya lalu mengintip konter guna mengetahui penyebab kelambatan tersebut. Ternyata oh ternyata 2 petugas perempuan yang bekerja di konter yang akan saya lewati sedang bekerja sambil ngobrol dan ketawa-ketiwi. Karena itu, pemeriksanaan 1 passport membutuhkan waktu sekitar 5 7 menit. Sementara di antrian lain, gerak maju antrian lebih cepat. Sekali lagi saya tersenyum dan berkata dalam hati "welcome to Myanmar". Yah sejak berencana mengunjungi Myanmar, saya telah menyiapkan mental untuk menghadapi situasi-situasi tidak terduga, karena memaklumi kondisi negara yang sangat tertutup berpuluh tahun lamanya. Beruntunglah ada seorang petugas berseragam putih (celana dan baju putih) - petugas konter berseragam coklat kehitaman - mencoba mempercepat antrian saya dengan memindahkan beberapa pengantri ke konter-konter bagi warga Myanmar yang kosong karena tidak banyak warga Myanmar yang kembali ke negaranya menggunakan pesawat yang sama dengan saya. Selesai memeriksa dan mencap passpor saya, petugas menyerahkan kembali sambil tersenyum ramah. Saya membalas tersenyum dan mengangguk sambil mengambil passport lalu mengucapkan terima kasih dan berjalan ke luar.

Para perempuan mengenakan longyi (longji)

Setelah melewati konter pemeriksaan passport, saya berjalan ke luar area tersebut namun masih dalam gedung terminal kedatangan. Saya berjalan ke pintu keluar yang berada di sebelah kanan saya. Sebelum tiba di pintu keluar, saya harus melalui konter penjualan tiket taxi dan juga penukaran uang. Saya berhenti sejenak di konter penjualan tiket taxi yang dijaga dua perempuan muda mengenakan kain tradisional Myanmar yang disebut "longyi" (diucap longji). Satu diantara kedua perempuan tersebut menggunakan bedak dingin yang disebut "tanaka" berwarna kekuningan - di kampung saya, bedak sejenis sering digunakan para perempuan saat ke sawah di musim tanam maupun menuai. Namun di Myanmar, bedak tersebut digunakan secara umum oleh para perempuan dan laki-laki, terutama laki-laki muda - yang menggunakannya di rumah ataupun tempat kerja merupakan bagian dari tradisi dan budaya Myanmar. Longyi juga masih digunakan mayoritas penduduk Myanmar di rumah maupun tempat kerja - saya melihat tersebut di airport, jalan, restoran, hotel (terutama di Bagan dan Mandalay) serta juga di kantor agen penjualan tiket. Longyi perempuan lebih kaya motif dan warna dibanding longyi laki-laki yang bermotif / corak kotak-kotak semata. Harga longyi laki-laki berkisar antara 4 - 8 dollar per potong atau 4000 - 8000 kyat. Saat saya membeli beberapa potong di Bagan sebagai oleh-oleh balik ke Jakarta, saya mendapatkan harga 5000 kyat setelah tawar menawar dengan ibu-ibu yang menjual longyi tersebut. 

Shwedagon Pagoda di siang hari
Dari konter penukaran duit, saya lalu kembali ke konter taksi yang berjarak sekitar 5 meter. Saya menyerahkan 8.000 kyat lalu menerima tiket taxi. Lelaki penghubung yang telah berbicara dengan saya sebelumnya mengambil alih koper saya, berjalan keluar area kedatangan lalu menyerahkan koper tersebut ke sopir taxi yang menunggu di luar pintu airport. Lelaki penghubung berbicara dalam bahasa mereka - mungkin mengatakan hotel tujuan, lalu saya dipersilahkan masuk taksi dan taxi pun berjalan keluar lingkungan airport. Jalan dari airport ke hotel di tengah kota Yangon ternyata mengalami kemacatan di beberapa tempat. Membunuh waktu di tengah kemacetan kota Yangon, saya mengamat-amati situasi sekeliling jalan yang dilalui taksi yang saya gunakan. Sepertinya jumlah taksi lebih banyak daripada jumlah bis ataupun mobil pickup yang telah diberi tempat duduk dan dijadikan mobil angkutan umum (sama seperti di Kupang pada kunjungan terbaru saya ke kota kelahiran). Bedanya, pickup yang digunakan di Yangon terlihat telah dimakan usia alias telah tua dan bulukan. Sama seperti kondisi segelintir bis yang lalu lalang di jalanan yang dilalui taxi saya. Jika di Indonesia, kendaraan berjalan di sebelah kiri jalan, maka di Myanmar, kendaraan berjalan di sebelah kanan. Ada mobil yang setirnya terletak di kiri, namun ada juga yang ada di bagian kanan. Para penumpang (perempuan dan laki-laki) yang menumpang pick up maupun orang-orang yang berlalu lalang di jalananan semuanya menggunakan longyi. Sebagian besar juga masih nyirih :), terlihat dari gerakan mulut, warna bibir dan meludah di jalanan. Kondisi yang hampir sama dengan di NTT, terutama pulau Timor pada tahun 90an.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup mengesankan tersebut, saya akhirnya tiba di hotel. Sambil tersenyum, seorang petugas hotel membuka pintu taxi dan menyapa saya menggunakan 2 bahasa, yakni Myanmar dan Inggris. Mingalaba (Myanmar) dan welcome (Inggris), demikian ucapnya tersenyum ramah. Saya membalas tersenyum dan mengucapkan terima kasih dalam bahasa Inggris. Saya diarahkan ke meja resepsionis yang dijaga 2 perempuan dan 1 laki-laki muda. Seorang staf perempuan meminta passport saya lalu mengecek copy dokumen yang tersedia di laci meja resepsionis, mencocokan identitas di passport saya dengan print out bookingan yang dipegangnya. Karena teringat informasi online tentang kamar dengan jendela view pagoda, maka saya menanyakan apakah saya bisa mendapatkan kamar dengan view pagoda. Petugas penerima menjawab bahwa saya bisa mendapatkan kamar tersebut dengan tambahan biaya 10 $US. Saya mengiyakan lalu membayar biaya tambahan tersebut. Sementara urusan administrasi penginapan diselesaikan, seorang staf lain membawakan jus jeruk dingin dan sapu tangan handuk untuk membasuh muka dan tangan. Setelah proses administrasi selesai, saya lalu menanyakan apakah saya bisa mendapatkan mobil rental dan berapa harganya untuk berkeliling Yangon hingga malam, termasuk mampir ke tempat makan siang. Staf yang mengurus administrasi saya mengatakan mereka bisa menghubungi taksi dengan tarif 6000 kyat / 6 dollar per jam. Staf hotel lalu mengeluarkan peta kota Yangoon dan menanyakan tempat-tempat mana yang akan saya kunjungi. Saya lalu memberi nomor pada tempat-tempat di peta yang akan saya kunjungi, yakni 7 tempat - yang akan ditutup dengan kunjungan ke Pagoda terbesar dan terkenal di Yangon, yakni Shwedagon yang terletak dekat hotel. Sambil memperlihatkan tempat-tempat yang telah saya tandai tersebut, saya meminta staf hotel menegosiasikan penurunan harga sewa per jam karena saya akan menggunakan mobil tersebut sampai dengan malam hari. Saya juga meminta sopir yang bisa berbahasa Inggris serta makan siang di restoran yang menyediakan makanan khas Myanmar. Setelah semuanya selesai, saya lalu beranjak ke kamar di lantai 6 diantar seorang staf hotel.

Shwedagon Pagoda dari jendela kamar hotel Clover di Yangon
Kamar yang saya tempati ternyata cukup luas. Selain tempat tidur ukuran king size, kamar juga dilengkapi seperangkat sofa dan meja. Fasilitas lainnya adalah fasilitas standar hotel berbintang seperti TV layar datar, pemasak air, kulkas dll. Sandal mandi juga tersedia. Penasaran dengan view pagoda melalui jendela kamar, saya lalu beranjak membuka tirai jendela dan mendapatkan kenyataan bahwa pagoda nun jauh di cakrawala. sekitar 2 atau 3 kilometer jauhnya dari hotel. Pandangan ke pagoda agak terhalang oleh bangunan lain berjarak sekitar 100 meter dari jendela tempat saya berdiri. Walau demikian, saya masih bisa memandang dan mengagumi pagoda berwarna keemasan di kejauhan. Saya mengambil kamera dan mengabadikan hal tersebut. Saya tidak perlu menyesali 10 dollar tambahan yang telah saya bayarkan untuk mendapatkan kamar ini. Buat apa disesali, tidak ada gunanya kata para tetua. Pelajarannya adalah jangan terlalu percaya pada promosi online dalam bentuk gambar karena gambar online dan kenyataan bisa berbeda. Walau view pagoda diperoleh, namun view tersebut tidak sama dengan imaginasi saat melihat gambar online. Keteledoran saya yang lain adalah tidak memeriksa kamar saya terlebih dahulu untuk memastikan saya mendapatkan view yang setimpal dengan duit yang saya bayarkan.

Bersambung kebagian II: Yangon 


JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...