Rabu, 13 Mei 2009

KOMUNITAS MANTIGOLA : Bara Perlawanan Dalam Sekam Penindasan

Esai ini ditulis dan dipublikasikan di salah satu milis lingkungan Indonesia
pada tanggal 1 Agustus 2005
====================================

Plakkkk plakkkk plakkk.. tiga tamparan petugas Jagawana Taman Nasional Laut (TNL) Wakatobi mendarat tepat di pipi perempuan tua yang sedang berjualan di pasar. Linangan air mata mengalir membasahi pipi tua tersebut tanpa suara dan kata. Diam seribu bahasa tanpa daya perlawanan… demikian cerita sang suami saat kami ngobrol di bawah pohon Ketapang di Dusun Mantigola pada tanggal 26 Juni 2005 menjelang magrib.. “kenapa?” kejar saya, “katanya melanggar undang-undang konservasi, yakni menjual kimah yang dilarang oleh undang-undang tersebut”. “ohhhhhhhhhh, lalu mengapa pemukulan tersebut tidak dilaporkan ke polisi” saran ku dalam bentuk pertanyaan. Pak tua penutur cerita tersebut diam seribu bahasa tidak lagi menanggapi saran berbentuk pertanyaan ku tersebut. Saya pun mengalihkan pembicaraan ke sejarah keberadaan mereka sambil diam-diam memikirkan kasus penempelengan perempuan tua di pasar Kaledupa tersebut.
Tiada terasa, malam pun memeluk bumi menyelimuti rumah-rumah penduduk komunitas Mantigola. Kami lalu beranjak ke rumah panggung pemilik pohon Ketapang untuk melanjutkan obrolan di bawah sinar lampu listrik dari generator. Walau tubuh lelah karena belum sempat beristirahat sejak perjalanan Kendari – Baubau – Wanci – Tomia – Mantigola, namun saya dan teman-teman se-team tetap bersemangat meneruskan obrolan tentang aktivitas pengelolaan ikan hias ramah lingkungan di komunitas tersebut yang difasilitasi oleh YASCITA ditemani bercangkir-cangkir kopi yang disediakan sang bunda pemilik rumah.

Malam terus merayap menghantarkan satu per satu warga komunitas mendatangi rumah tempat saya, teman-teman dan beberapa warga lain yang telah mengobrol terlebih dahulu. Di sela-sela obrolan tentang dinamika pengelolaan ikan hias yang didukung KEMALA, muncul pula cerita-cerita tentang sejarah keberadaan komunitas dengan pemukimannya yang “unik” serta berbagai keresahan dan juga berbagai taktik warga nelayan Mantigola mengakali para petugas Jagawana dan Balai TNL yang terjadi sejak keberadaan TNL Wakatobi. Selain tamparan yang diterima si perempuan tua di pasar, warga yang lain juga menceritakan tentang trauma mereka terhadap perahu ataupun speed boat asing yang tidak dikenal oleh mereka saat mereka sedang mencari dan menangkap sumberdaya laut di kawasan-kawasan penangkapan tradisional mereka. Ketika saya menelisik lebih jauh tentang trauma tersebut, maka muncul satu informasi bahwa beberapa diantara mereka pernah ditangkap dan dipukuli lalu hasil tangkapannya dibuang ke laut. Karena itu, mereka tidak ingin ada yang ditangkap dan dianiya aparat lagi disebabkan tertangkap tangan mengambil hasil pesisir dan laut yang dilarang Undang-undang (UU). Untuk itu, jika pada saat melakukan pencarian dan penangkapan hasil laut lalu ada kapal asing yang lewat dan tidak mereka kenal, maka semua hasil tangkapan mereka langsung dibuang ke laut lagi. Jika kapal asing tersebut telah berlalu barulah para nelayan tersebut menyelam untuk mengambil kembali hasil laut yang dibuang tersebut. Kadang usaha pengambilan kembali tersebut berhasil, namun kadang gagal karena berbagai sebab. Misalnya setelah membuang hasil tangkapan, mereka harus berpindah tempat atau karena lamanya waktu pemeriksaan, maka hasil tangkapan yang dibuang tersebut telah terbawa arus air laut. Taktik lain adalah mereka membiasakan diri mereka mengenali jadwal patroli Balai TNL. Pada hari-hari patroli dilakukan, para nelayan Mantigola tidak akan melaut untuk melakukan penangkapan hasil laut. Atau mereka menangkap di lokasi lain yang tidak akan dilewati patroli pada hari tersebut. Akibatnya, titik tangkap makin banyak yang juga karena ketakutan tertangkap patroli, maka mereka menggunakan cara-cara pengambilan secara cepat yang justru destruktif terhadap alam dan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Kondisi mana telah teridentifikasi dari hasil survey yang dilakukan Yasinta dan team bahwa sebelum penetapan kawasan TNL Wakatobi, hanya terdapat beberapa titik kerusakan. Saat ini, titik kerusakan tersebut makin banyak dan makin meluas.

Walau telah menggunakan berbagai cara dan taktik, ternyata beberapa orang akhirnya tertangkap juga oleh petugas patroli sebagaimana cerita yang saya dapatkan kemudian dari berapa sumber berbeda setelah saya balik ke Jakarta. 3 orang diantaranya saat ini masih mendekam di tahanan menunggu nasib dengan sangkaan melanggar UU no 5/1990 tentang konservasi dan keanekaragaman hayati. Saat mengobrol di malam tanggal 26 Juni 2005 tersebut, beberapa laki-laki mengungkapkan uneg-unegnya, antara lain : “mengapa UU tersebut diberlakukan juga terhadap kami, padahal beberapa hasil laut yang dilarang dalam UU tersebut sangat berlimpah ruah di kawasan tangkapan kami?”. Saya dengan sangat hati-hati mencoba menjelaskan bahwa walaupun di kawasan setempat yang adalah kawasan tangkap mereka, hasil lautnya masih sangat melimpah, namun di tempat-tempat lain, jenis-jenis yang dilarang UU tersebut telah tinggal sedikit atau bahkan telah hilang tak berbekas. Karena itu, yang masih tersisa berusaha dilindungi oleh Negara melalui UU konservasi dan keanekaragaman hayati tersebut. Mendengar penjelasan saya tersebut, seorang bapak nyeletuk “mengapa tidak melarang saja di tempat-tempat yang jenisnya tinggal sedikit tersebut”. Lalu seorang yang lain nyambung “kalau semua di sini dilarang, bagaimana dengan kebutuhan keluarga kami?, apa yang akan dimakan, apa yang akan digunakan untuk membiayai sekolah anak-anak kami?”. Seorang laki-laki lain ikut nyeletuk “mengapa yang dilarang adalah kawasan penangkapan kami setiap hari?” harusnya petugas tahu bahwa kawasan penangkapan tersebut merupakan sumber hidup dan kehidupan kami. Mengapa kawasan yang di larang bukan kawasan-kawasan penangkapan setiap hari kami”. Kami dituduh melakukan perusakan, padahal yang paling banyak melakukan perusakan adalah nelayan-nelayan luar (bukan dari kawasan Wakatobi). Seorang laki-laki lain dengan penuh semangat menambahkan “jika kami tidak mencari dan menangkap hasil laut, maka bagaimana kami bisa hidup?, kami tidak punya ladang dan kebun di daratan pulau. Hidup kami sepenuhnya bergantung pada laut dan hasilnya. Walau demikian, saya bersedia pindah ke daratan sekitar sini, jika pemerintah bisa menyediakan lahan untuk kebun dan ladang”.

Obrolan tersebut mengisahkan kembali berbagai serpihan perlawanan diam yang dilakukan oleh warga komunitas itu dan juga komunitas nelayan lainnya di kawasan Wakatobi dalam menghadapi penindasan negara melalui Taman Nasional Laut Wakatobi. Perciban-percikan perlawanan tersebut lambat laun akan terajut menjadi bara perlawanan yang akan berkobar jika tidak ditangani secara arif dan bijak oleh pemerintah negara ini. Konflik struktural antara komunitas melawan negara maupun konflik horizontal antara komunitas hanya merupakan bom waktu. Berbagai bentuk penidasan yang dilakukan oleh aparat telah mendapatkan perlawanan diam-diam dari komunitas-komunitas setempat, termasuk Mantigola yang hidup dan kehidupannya sangat bergantung pada laut dan sumberdayanya. Penegakan hukum yang mengabaikan kebutuhan dasar komunitas justru memicu benih-benih perlawanan yang telah berimplikasi negatif terhadap upaya pelestarian alam dan keanekaragaman hayati setempat yang ingin dilindungi oleh UU Konservasi dan Keanekaragaman Hayati itu sendiri sebagaimana temuan Yasinta tentang makin banyaknya titik kerusakan serta makin meluasnya kawasan yang rusak. Percikan-percikan perlawanan itu telah sedang bersemi di Mantigola.

Mantigola merupakan nama suatu dusun di Desa Horuo, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi. Dusun tersebut terletak diantara laut luas dan pesisir pantai Desa Horuo tersebut. Rumah-rumah di dusun tersebut tersusun diatas bebatuan yang menjadi dasar pemisah antara rumah dan air laut dengan tinggi sekitar 3 meter saat surut. Mayoritas warga komunitas orang Mantigola adalah orang-orang Bajo / Bajau. Majalah Tempo 2 tahun silam dalam salah satu edisinya pernah menulis tentang orang-orang ini. Orang-orang Bajo, orang-orang yang hidup diatas perahu di laut sehingga mereka disebut juga oleh Tempo sebagai Orang-orang Suku Laut. Berbagai aktifitas mereka dari lahir, bereproduksi hingga mati terpusat di laut dan pesisir. Di Matinggola, saya menemukan adanya perubahan. Komunitas Bajo Mantigola tidak lagi hidup diatas perahu semata. Pemukiman mereka telah dibangun seperti pemukiman orang-orang daratan. Walua demikian tetap saja berbeda dengan orang-orang daratan. Satu diantaranya adalah orang-orang Bajo Mantigola membangun pemukimanannya diatas batu-batu karang yang disusun diatas air laut. Yah batu karang yang tentu saja merupakan bagian dari terumbu karang yang menjadi rumah dan tempat berkembang biaknya berbagai jenis makluk laut. Secara hati-hati dalam obrolan tersebut saya titipkan pula informasi tentang fungsi terumbu karang bagi kehidupan laut dan keberlanjutan hidup mereka sebagaimana yang saya ketahui dari berbagai bacaan. Tentu saja saya usahakan informasi yang saya sampaikan tersebut tidak menimbulkan kesan menggurui apalagi melarang. Karena saya belum tahu tentang sejarah pemukiman tersebut dan juga asal-muasal penggunaan karang sebagai landasan padat bagi pemukiman mereka.

Pepohonan di dusun tersebut dapat dihitung dengan jari. Satu diantaranya adalah pohon Ketapang tempat saya mengobrol dengan lelaki tua yang istrinya ditempeleng di pasar oleh petugas Jagawana. Jarak pemukiman tersebut dengan tepi pantai pulau Kaledupa adalah sekitar 3 km yang dapat dicapai menggunakan sampan kala air laut sedang pasang. Kala air laut sedang surut, maka sekitar 1 km dapat ditempuh dengan berjalan kaki melewati padang lamun yang ketinggian air lautnya sekitar betis lelaki dan perempuan dewasa, lalu harus menyambung perjalanan dengan sampan sekitar 500 meter barulah tiba dijalan selebar sekitar 1 meter sepanjang 1,5 km yang dibangun dengan dana PPK untuk menghubungkan daratan dengan dusun tersebut. Dusun ini dihuni sekitar 250 KK dengan 1 mesjid dan 1 SD Sanawiah. Pemukiman tersebut terdiri dari kumpulan rumah-rumah yang satu sama lain dihubungkan oleh titian atau jembatan kecil selebar 0,5 meter dengan panjang antara 1 – 10 meter.

Tiada terasa waktu terus bergulir. Sekitar pukul 12 malam, kami mengakhiri obrolan dan melanjutkan perjalanan ke Pulau Kaledupa. Diiringi sinar rembulan dan kawalan beberapa warga Mantigola, saya dan teman-teman meniti titian dan jembatan dari bilah-bilah papan dan/atau batang-batang kayu dari rumah ke rumah menuju jalan kampung yang terbuat dari bilah-bilah kayu. Lalu kami turun ke laut untuk mengarungi padang lamun sekitar 1 km dengan air setinggi betis orang dewasa. Alas kaki harus dilepas agar tidak terjebak ke dalam pasir ataupun lumpur di jalan yang kami lalui. Perjalanan lalu dilanjutkan menggunakan sampan yang hanya boleh memuat maksimal 3 orang yang duduk bersusun ke belakang. Dengan menabahkan hati di tengah remang-remang malam, saya dan Koordinator Perkumpulan Kemala Sulawesi (PKS) duduk dalam sampan yang didayung seorang pengantar. Ia meminta kami tidak bergerak agar sampan yang tepinya hanya berjarak sejengkal dari air laut tidak tenggelam karena goyangan badan 2 orang penumpangnya yang nervous J karena tidak pernah naik sampan di tengah malam yang hanya diterangi senyuman rembulan. Tak lama mengarungi air laut, kami tiba di tempat yang dangkal lalu turun dan meneruskan perjalanan sambil berjalan kaki menempuh sekitar 1,5 km. Berjalan dalam keremangan malam menjelang subuh yang hanya diterangi rembulan serasa menempuh padang belantara tak bertepi. Subuh hari, kami tiba tepi daratan pulau Kaledupa lalu mampir membersihkan kaki di sungai kecil yang mengalir di belakang suatu Mushola. Setelah itu, saya dan teman-teman mampir ke rumah Kepala Desa yang terletak di samping Mushola. Kami ngobrol dengan Kepala Desa sambil menunggu teman lain yang masih dalam perjalanan menyusul karena harus diangkut per 2 orang oleh satu-satunya sampan yang kami gunakan untuk menyebrang dari Mantigola ke tepi pantai Pulau Kaledupa. Setelah semuanya berkumpul kami lalu menggunakan 3 sepeda motor mengarungi jalan sekitar 5 km menuju ibukota kecamatan Kaledupa guna mendapatkan kapal kayu ataupun speed boat yang akan mengantar saya dan teman-teman ke Wanci. Sekitar pukul 3 subuh, kami tiba di rumah salah seorang pengurus FORKANI. Dalam kelelahan yang sangat, tubuh ku masuk ke dalam sleeping bag yang setia menyertai perjalanan ku ke Wakatobi. Pukul 5 subuh, kami dibangunkan untuk sarapan pisang goreng panas ditemani kopi dan teh lalu meneruskan perjalanan ke pelabuhan Kaledupa untuk menumpang kapal ke Pulau Wanci diantar beberapa teman baru yang saya kenal dari FORKANI.

Selamat tinggal Mantigola dan Kaledupa. Terima kasih atas segala keramahan dan pelayanan mu. Mungkin saja suatu saat nanti percik-percik perlawanan kalian berubah menjadi bara yang terajut sebagai nyala api perlawanan terhadap berbagai penindasan yang dilakukan negara melalui alat-alatnya. Jika itu terjadi, saya hanya bisa berharap kalian akan tetap hidup damai dan harmonis dengan alam dan sumberdayanya. Saya hanya bisa berharap bahwa nyala api perlawanan tersebut tidak membakar dan merusak alam kalian nan indah tak terperih dan juga eksotis. Alam nan kaya yang telah membuat kalian hidup saling bergantung sejak leluhur kalian tiba dan membuat rumah di Mantigola pada tahun 1901. Kekayaan alam yang saat ini serasa menjadi bencana bagi kalian karena karena salah urus yang dilakukan Negara melalui aparatnya. Mungkin pula percikan tersebut mati muda.. tidak sempat terajut menjadi bara apalagi nyala api karena kuatnya penindasan Negara. Mungkin kalian akan menyerah dan berpindah ke tempat lain sebagaimana berbagai cerita dongeng dan mitos kalian sebagai orang-orang Suku Laut yang hidup dan matinya selalu bersama laut tak bertepi???. Mungkin kalian harus rela meninggalkan kawasan tersebut agar Negara dapat leluasa menjadikannya sebagai kawasan konservasi sekaligus turisme alam seperti Komodo yang dikelola oleh para pebisnis pariwisata demi mendapatkan income bagi pembayaran utang-utang negara yang uangnya digunakan untuk kepentingan pribadi melalui sejumlah korupsi dan kolusi… Oh putra-putri Mantigola dan Kaledupa, masa depan mu dalam pelukan remang-remang malam berselimutkan rinai-rinai gerimis.

PEREMPUAN-PEREMPUAN TOMIA : lanjutan tulisan tanggal 1 Juli 2005

Esai ini ditulis pada tanggal 17 Juli 2005 sebagai lanjutan dari tulisan berjudul sama yang ditulis pada tanggal 1 Juli 2007
===================================

Pada tanggal 25 Mei 2005, saya bersama teman-teman Yascita, Yasinta dan Perkumpulan Kemala Sulawesi (PKS) berangkat ke kampung Wa Abe (salah seorang perempuan Tomia yang saya temui di Palu pada acara Temu Rakyat se-Sulawesi). Perjalanan Kendari – kampung Patipelong di Tomia ditempuh dalam waktu sekitar 30 jam serta harus berganti alat transportasi sebanyak 5 kali, yakni mobil dari penginapan di Kendari ke pelabuhan, speed boat dari Kendari ke Baubau (ibukota Kabupaten Buton), kapal dari Baubau ke Wanci (ibukota Kabupaten Wakatobi), speed boat dari Wanci ke Tomia dan ojek dari pelabuhan Tomia ke kampung Patipelong. Dalam perjalanan Kendari – Baubau saya dapat informasi dari tetangga tempat duduk bahwa boat yang kami tumpangi adalah milik Tommi Winata. Rute perjalanan Baubau – Wanci – Tomia adalah yang terberat karena beresiko tenggelam di laut Flores yang ganas. Perjalanan Baubau – Wanci harus menggunakan kapal kayu regular yang bertolak dari Baubau sekitar jam 9 atau 9.30 pm dan tiba di Wanci sekitar jam 5 atau 5.30am. Di atas kapal yang kami tumpangi, saya tak dapat memejamkan mata karena goyangan kapal yang sangat kuat diterpa ganasnya gelombang laut Flores. Terpaan gelombang silih berganti diiringi bunyi tubuh kapal yang berderak-derak seperti akan terlepas menjadi sepihan-serpihan kayu. Penumpang yang tidur di dek harus pasrah menerima kucuran air gelombang yang tampias ke kapal saat gelombang menghantam dan mengombang-ambingkan kapal tanpa henti yang membuat degupan jantung ku makin cepat diiringi rasa was-was akan tenggelamnya kapal yang kami tumpangi. Syukurlah, akhirnya kami tiba juga di pelabuhan Wanci saat subuh menjelang. Saat kaki menjejak tanah pelabuhan, nafas ku tarik dalam terus menerus untuk mengurangi mabuk perjalanan sekaligus meresapi kesegaran udara pagi serta keharuman laut dan lingkungan sekitar. Dari pelabuhan tersebut kami berjalan melintasi “kota” Wanci menuju pelabuhan kapal yang akan kami tumpangi ke Tomia diiringi rinai gerimis. Di pelabuhan tersebut, boat regular ke Tomia masih “ngetem” menunggu penumpang yang akan diangkut ke Tomia. Menurut nakhodanya, boat akan berangkat ke Tomia sekitar jam 10am dengan membawa minimal belasan penumpang, jika tidak, maka boat akan batal berangkat karena pengeluaran akan tidak sebanding dengan pemasukan. Karena situasi tersebut, akhirnya semua anggota team berunding lalu memutuskan menyewa saja boat tersebut untuk mengakut kami ke Tomia yang lalu dilanjutkan negosiasi harga dengan nakhoda. Setelah kesepakatan diperoleh, boat tersebut lalu mengangkut kami menempuh perjalanan 2 – 2,5 jam melewati laut yang mulai bergelora dengan gelombang setinggi 50cm – 1 meter. Menurut nakhoda, tinggi gelombang akan makin meningkat seiring makin teriknya sang surya.

Sesampai di Patipelong, kami mampir beberapa jam ke rumah keluarga salah satu aktivis Yasinta untuk istirahat dan membersihkan tubuh dari debu dan bau kapal J. Lalu menggunakan ojek, kami bertolak ke tempat pertemuan di rumah Wa Abe. Saat ojek berhenti, Wa Abe telah menunggu di teras rumah. Saat aku menghampirinya untuk berjabat tangan, dengan senyum lebar Wa Abe menyapa, „heiiiiiiiiiii sampai juga di sini“. Sapaan Wa Abe yang seperti pekikan tersebut telah menyebabkan munculnya wajah-wajah perempuan lain dan laki-laki di sekitar rumah tersebut. Tak lama kemudian satu demi satu warga sekitar mendatangi rumah Wa Abe. Kami dipersilahkan masuk dan duduk bersila di ruang tamu. Warga pun turut masuk dan duduk berkelompok dalam 2 kelompok, yakni kelompok laki-laki yang bersila di bagian depan ruang tamu dan kaum perempuan berkelompok bersama Wa Abe duduk di bagian belakang ruang tamu. Para perempuan dan laki-laki yang datang kemudian duduk berkelompok di teras rumah mendengarkan diskusi yang sedang terjadi di ruang tamu. Total warga yang hadir adalah sekitar 50 orang dimana 20-30 orang adalah para perempuan.

Saya terkejut melihat para perempuan yang begitu banyak duduk berkelompok memenuhi ruang tamu hingga ke belakang. Dalam berbagai perjalanan dan diskusi saya di berbagai komunitas selalu didominasi para lelaki. Hal yang berbeda saya temui di kampung Wa Abe. Kejutan kedua adalah melihat keaktifan mereka berkontribusi dalam diskusi menggunakan bahasa Indonesia campuran bahasa setempat. Beberapa diantara mereka bahkan berbicara dalam bahasa setempat yang lalu diterjemahkan ke bahasa Indonesia sehingga saya dapat memahami informasi dan data yang disampaikan. Dari diskusi tersebut mengalirlah sejumlah cerita tentang perbuatan-perbuatan PT. Wakatobi Dive Resort (WDR) yang berkolaborasi dengan Pemda Kabupaten waktu itu dalam proses pengambilalihan lahan bagi kepentingan landasan pesawat untuk para turis manca negara yang melancong ke Wakatobi melalui sejumlah fasilitas yang disediakan oleh WDR. Salah satu topik diskusi hangat adalah tentang ganti rugi yang diberikan oleh WDR. Menurut para perempuan yang hadir (kadang diselingi oleh informasi tambahan dari para lelaki), mereka telah menerima ganti rugi terhadap sejumlah tanaman yang lahannya diambil-alih oleh WDR. Ganti rugi tersebut didapatkan setelah melalui suatu proses panjang perjuangan para perempuan di Patipelong dan juga beberapa komunitas lain di pulau Tomia dan sekitarnya. Ketika saya menanyakan peran para lelaki, dengan lantang Wa Abe dan 3 orang temannya menyatakan bahwa para lelaki sibuk dengan urusan sebagai nelayan sehingga mayoritas yang berperan menyuarakan tuntutan dan melakukan negosiasi adalah para perempuan. Pernyataan yang diamini oleh para lelaki yang hadir.

Sayangnya mayoritas para perempuan tersebut tidak bisa baca tulis. Beberapa yang bisa baca tulis seadanya tidak memahami makna kalimat yang tertera di kuitansi pembayaran. Kondisi yang memperlemah tuntutan mereka sekaligus sebagai peluang bagi WDR untuk dimanfaatkan. Saya lalu meminta contoh kuitansi pembayaran ganti rugi. Seorang perempuan lalu pergi ke rumahnya yang bersebelahan dengan rumah Wa Abe. Perempuan tersebut kembali dengan 2 kuitansi yang telah mulai kumal. Saya lalu menerima dan memeriksa kuitansi tersebut, setelah saya periksa ternyata di kuitansi tersebut tertera tulisan ganti rugi untuk tanaman dan tanah. Ketika data tersebut saya konfrontir, mereka menyatakan bahwa mereka menerima ganti rugi tersebut berdasarkan asumsi ganti rugi untuk tanaman yang mana pertemuannya dihadiri oleh wakil-wakil Pemda kabupaten. Mereka tidak pernah menyangka bahwa ganti rugi dimaksud adalah untuk tanaman dan tanah. Dan juga waktu itu tidak ada pilihan lain, karena mereka diintimidasi dengan pernyataan orang-orang tertentu bahwa jika ganti rugi tersebut tidak diterima, maka mereka tidak akan mendapatkan apapun dari WDR karena WDR telah berusaha memenuhi kewajibannya. Karena itu, setelah balik ke rumah dan melakukan diskusi lagi mereka berkesimpulan bahwa tuntutan mereka telah dimanipulasi. Mereka menyatakan bahwa : 1) ganti rugi tersebut tidak sebanding dengan hilangnya tanah untuk ladang dan kebun mereka; 2) mereka tidak akan menjual tanah yang diambil-alih WDR dengan pertimbangan tanah tersebut merupakan lahan dan kebun yang selalu menyediakan pangan bagi mereka setiap tahun. Jika hak atas tanah itu putus, maka mereka kehilangan sumber pangan tetap untuk hidup dan kehidupan mereka. Untuk itu, mereka menyatakan akan meminta WDR membuat kontrak sewa atas lahan yang dikuasai WDR tersebut.

Mencermati masalahnya, saya menginformasikan kepada mereka bahwa tuntutan mereka tidak mudah dipenuhi karena cap jempol dan tandatangan sederhana yang tertera di kwitansi penerimaan merupakan bukti hukum yang mengikat kedua belah pihak. Kecuali mereka bisa membuktikan bahwa kwitansi tersebut ditanda-tangani dibawah ketidak-tahuan dan/atau merasa terintimidasi. Dengan lantang beberapa perempuan menyatakan akan terus memperjuangkan hak-hak mereka sekaligus membuktikan bahwa tuntutan mereka telah dimanipulasi dengan cara pembayaran ganti rugi terhadap tanah dan tanaman sekaligus. „kami siap memberikan kesaksian tentang proses penanda-tanganan kwitansi waktu itu“, kami akan terus berjuang meminta WDR membayar lahan kami dengan cara kontrak,karena kami tidak menjualnya“. Jika WDR tidak mau,maka kami akan memblokade lapangan tersebut“ demikian kata mereka“. Melihat tekad mereka, saya hanya bisa mengatakan bahwa pejuangan mereka belum tentu akan berhasil dan harus melalui suatu proses panjang. Bahkan mungkin perjuangan itu harus diwariskan ke cucu dan cicit mereka melihat kecenderungan kebijakan saat ini. Saya juga menginformasikan kepada mereka bahwa saat ini telah terbit Peraturan Presiden (Perpres) 32 tahun 2005 yang dapat saja digunakan oleh Pemda setempat sebagai alat memberangus tuntutan mereka. Menanggapi informasi saya, Wa Abe menyatakan dengan suara tegas dan mata berbinar penuh semangat bahwa dia dan teman-temannya akan terus berjuang tanpa lelah untuk hak-hak mereka.... selesai diskusi, kami di suguhi kelapa muda….Ohhhhhh perempuan-perempuan Tomia... saya tidak pernah menyangka akan bertemu seorang Wa Abe yang berbeda di Patipelong dengan yang saya temui di Palu 2 tahun silam. Perempuan pendiam di Palu itu ternyata salah seorang perempuan pejuang bertekat baja di kampungnya yang bisa berbicara secara lantang dan tegas saat saya di Patipelong.

Saya juga tidak pernah menyangka bahwa selain Wa Abe terdapat pula sejumlah perempuan yang selama bertahun-tahun telah memperjuangkan hak-hak mereka atas tanah yang dikuasai WDR. Perempuan-perempuan yang tidak pernah saya kenal dan jumpai sebelumnya. Perempuan-perempuan bertekad baja bersemangat membara. Perempuan-perempuan petani-nelayan nun jauh di suatu pulau kecil bernama Tomia yang akhir-akhir ini mulai menasional karena keberadaan Taman Nasional Wakatobi yang akan memperberat perjuangan mereka.

Perempuan-perempuan yang wajah dan namanya tidak pernah muncul ataupun di kenal dalam berbagai diskusi di berbagai tempat sampai salah satu dari mereka bernama Wa Abe muncul di Temu Rakyat se-Sulawesi di Palu 2 tahun silam. Selamat berjuang Wa Abe, selamat berjuang perempuan-perempuan Tomia. Teruslah berjuang sebagaimana tekad dan semangat membara kalian karena selain WDR, saat ini telah muncul pula TN Wakatobi dengan sejumlah kuasa dan aturannya yang akan membuat hidup kalian makin berat dan sulit... suatu saat nanti, suami-suami kalian akan terpaksa melabuhkan perahu-perahu kalian selamanya lalu beralih pekerjaan mungkin sebagai koeli karena keberadaan TN dan berbagai perusahaan pariwisata lainnya. Mungkin kalian harus membayar mahal untuk kekayaan dan keeksotikan alam kalian nan tak terperi... membayar melalui kehilangan hak kuasa dan kepemilikan atas tanah dan laut kalian yang kaya....

PEREMPUAN-PEREMPUAN TOMIA : Berjuang Tiada Lelah

Esai ini ditulis dan dipublikasikan pada salah satu milis lingkungan Indonesia
pada tanggal 1 Juli 2005

Tomia merupakan nama suatu pulau kecil yang terletak di arah Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Pulau tersebut hanyalah berbentuk setitik nokta di peta Negara Indonesia. Pertama kali saya mendengar sebutan Tomia saat bertemu dan berdiskusi dengan para aktivis Ornop Yasinta (Yayasan Bina Pontesi Wanita) yang bersekretariat di Kendari, ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara. Saat itu sekitar pertengahan tahun 2001, Darma (Direktur Yasinta) menemui saya dan mendiskusikan upaya perlawanan yang sedang dilakukan oleh beberapa komunitas di Tomia terhadap pengambil-alihan sepihak lahan kebun mereka oleh PT. Wakatobi Dive Resort yang dialih-fungsikan sebagai lapangan terbang perusahaan untuk kepentingan para turis yang jalan-jalan ke kawasan Wakatobi. Sejak perkenalan pertama dengan Darma, saya akhirnya mulai mengenal teman-teman lain di Yasinta, 3 diantaranya adalah Irham, Saleh dan Ali.

Pulau Tomia secara adat terbagi ke dalam 3 wilayah adat yang disebut KAWATI, yakni Kawati Timu di bagian Timur, Kawati Tongano di bagian tengah dan Kawati Waha dibagian Barat. Secara administratif, pulau tersebut menjadi wilayah kecamatan Tomia yang wilayahnya terbagi-bagi lagi ke beberapa wilayah administasi kelurahan dan desa yang pada tahun 2001 masih termasuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Buton. Saat ini, Tomia telah menjadi bagian dari Kabupaten Wakatobi yang wilayah administratifnya meliputi 4 pulau “besar” di wilayah tersebut, yakni WAnci, KAledupa, TOmia dan BInongko. Selain dikenal sebagai WAKATOBI, kawasan tersebut juga dikenal sebagai Kepulauan Tukang Besi. Kawasan tersebut sangat kaya akan keanekaragaman hayati dan bentangan alam nan permai, terumbu karang warna-warni, air laut bersih kebiruan, pasir putih sejauh mata memandang serta penduduk yang ramah. Kekayaan itu telah mengakibatkan ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan Taman Nasional seluas 1.390.000 ha berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 393/Kpts-VI/1996, (laporan Yasinta, 2001).

Selain Taman Nasional, kawasan yang SEKSI ini telah pula menarik minat sejumlah pihak untuk mengembangkan sejumlah penelitian ilmiah sampai dengan menjualnya sebagai obyek wisata nan mempesona dan “eksotik”. Dua diantaranya adalah Operation Wallacea dan PT. Wakatobi Dive Resort. Informasi dari Roy Pangalila di milis WGCop menyatakan Operation Wallacea “punya Pusat Penelitian dan Pelatihan Kelautan di pulau Hoga dengan peraturan keamanan yang mengacu ke standart keamanan internasional. Di dalamnya sudah ada Klinik 24 jam dengan fasilitas standart international, Ruang Belajar dengan kapasitas 60 orang lengkap dengan audio-visual, restoran dan fasilitas penginapan dengan daya tampung sampai sekitar 200 orang, Fasilitas Perpustakaan, Dive Centre dengan kapasitas 200 penyelaman per hari” (2005).
Sementara itu, Wakatobi Dive Resort /WDR (penduduk setempat mengidentifikasinya sebagai LORENS yang adalah nama pendiri dan president WDR) membangun sejumlah resorts untuk para turis di kawasan laut dangkal yang diapit oleh 2 pulau kecil bernama Sawa atau Togo Woou dan Pulau Lenteea. Di tepian pantai Onemo Baa, Desa Lamanggau yang terletak di suatu pulau kecil bernama Tolandono yang berjarak sekitar 500 meter dari pulau Tomia dijadikan basis yang dilengkapi hotel, cottage, resto dan pusat penyewaan peralatan selam (sms Ali, 2005). Untuk memperlancar mobilitas para turis, maka pihak WDR juga menyediakan pesawat berkapasitas belasan orang yang landasan terbangnya terletak di Pulau Tomia. Pembangunan resorts, hotel, cottage, resto, tempat penyewaan alat penyelaman dan juga lapangan terbang itu lalu memicu konflik dengan sekitar 140an KK yang berasal dari Kelurahan Bahari, Kelurahan Tongano Timur, Desa Waitii Timur dan Desa Lamanggau oleh karena lahan yang diambil untuk pembangunan tersebut merupakan lahan kebun dan ladang warga setempat (Laporan Yasinta 2003) dan juga mulai tertutupnya akses mereka terhadap sumberdaya pesisir dan laut di kawasan pulau-pulau yang telah dikuasai WDR. Padahal sumberdaya pesisir dan laut itu telah menjadi sumber hidup dan kehidupan komunitas-komunitas setempat selama bertahun-tahun sebelum diambil alih dan dikuasai WDR.

Perlawanan itu dimotori oleh para perempuan, 7 diantaranya bahkan pernah harus menginap dan terobang-ambing di Baubau, Ibukota Kabupaten Buton untuk memperjuangkan hak-hak mereka atas lahan yang diambil-alih WDR atas restu Pemda Kabupaten Buton waktu itu (diskusi di Patipelong, 2005). Satu diantara perempuan-perempuan itu adalah Wa Abe dari Patipelong di Tomia. Saya bertemu Wa Abe pertama kali pada tahun 2003 silam di Palu pada acara Temu Rakyat Sulawesi yang diadakan oleh para Mitra KEMALA Regio Sulawesi. Pada waktu itu tidak banyak cerita yang dia ceritakan. Hanya 1 kalimatnya berupa undangan yang selalu saya ingat saat perkenalan kami, yakni “datanglah ke kampung saya”.

BERSAMBUNG

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...