Rabu, 22 April 2009

SMS-AN SETAN MUKA PUCAT DAN UDIK CANTIAK tentang Manajemen Kolaborasi Taman Nasional

Saya menulis esai ini dan dipublikasikan di salah satu milis lingkungan di Indonesia pada tanggal 2 September 2005
==========================================

Dua minggu silam, setan Muka Pucat senewen dan uring-uringan karena tidak menemukan manusia-manusia yang telah berada dalam pengawasannya selama hampir 2 minggu masa tugasnya. Padahal setan ini telah berencana menggunakan manusia-manusia tersebut sebagai alat-alat adu domba selama masa tugasnya di bumi guna memperluas kekacauan demi medali penghargaan dan kenaikan jabatan di kerajaan para setan. Setelah mencari kesana kemari selama sekitar 1 minggu, Muka Pucat tetap saja masih belum bisa menemukan manusia-manusia tersebut, akhirnya Muka Pucat meminta bantuan pencarian ke setan Buruk Pake di Pusat Informasi Kerajaan Setan. Buruk Pake lalu menyebarkan informasi pencarian ke jaringan kerja kerajaan setan di dunia antah beranta.

“Who let the dogs out” demikian pekikan suara penyanyi yang keluar dari hp Sony Ericsson K 700i milik Muka Pucat 2 hari silam tanda ada sms masuk. Muka pucat yang sedang terkantuk-kantuk membaca suatu artikel tentang Taman Nasional mengangkat tangan kanannya dengan malas meraih hp yang terletak di atas meja kecil di samping sofa bednya. Hmmmmmmmmmmmmmmm, tumben amat si Udik Cantiak kirim sms ke gue… demikian gumanan Muka Pucat sambil dahinya berkerut-kerut diiringi mulut yang menguap lebar karena kantuk... sambil terus mengamati sms Udik Cantiak yang adalah Kepala Biro Jaringan Kerajaan Setan di Sulawesi. Sebagai Kepala Biro, Udik Cantiak bertanggung-jawab mengkoordinir para setan kecil dan juga manusia-manusia yang telah menjadi pengikut kerajaan setan guna membuat kekacauan-kekacuan secara intens dan meluas serta merekrut sebanyak mungkin manusia dari wilayah tersebut menjadi pengikut-pengikut setia kerajaan setan.

“apa khabar? Sedang apa? Bagaimana situasi Jakarta”, demikian tulisan yang terbaca di sms Udik Cantiak.
Dengan bermalas-malasan jari-jari Muka Pucat mengetuk-ngetuk tombol-tombol hp menulis sms balasan “baik, baca, panas dan polusi tinggi seperti biasa”.
“who let the dogs out” pekikan suara penyanyi muncul lagi dari hp Muka Pucat tanda ada sms masuk lagi, “baca apa” sms balasan Udik Cantiak….”
Hmmmmmmmmmmmm si Udik ini mau apa sebenarnya, koq bertele-tele aja smsnya.. ganggu keasyikan gue nih…” ngedumel Muka Pucat, mukanya makin pucat dan bersemu merah karena kesal terhadap sms Udik Cantiak yang ga jelas juntrungannya…
“beberapa artikel tentang Taman Nasional” balas Muka Pucat pendek… sambil jarinya mengaktifkan tombol silent dan getar di hp agar tidak dikagetkan oleh suara penyanyi yang keluar dengan nyaring dari hp saat ada sms masuk…

“wow pas dong he he he he” demikian tulisan yang tertera di sms balasan yang diterima Muka Pucat…yang membuat Muka Pucat makin kesal terhadap Udik Cantiak…“Udik, kamu sebenarnya mo ngobrol, mo gangguin gue atau apa?” balas Muka Pucat ketus karena kemarahannya mulai muncul….“saya punya informasi tentang manusia-manusia yang kamu cari… yang kebetulan sedang meeting tentang Taman Nasional bertempat di wilayah tugas saya, makanya saya katakan pas dong J” balas Udik Cantiak panjang-panjang guna menurunkan tensi emosi Muka Pucat, tapi masih menggunakan nada canda dalam smsnya yang disisipi tanda seyuman J sebagaimana kebiasaannya yang ceria, periang dan penuh canda. Walau Udik Cantiak mengetahui adanya sinyal dari Muka Pucat yang sedang tidak mood diajak bergurau dari tulisan sms balasan Muka Pucat. “Mungkin saja Muka Pucat masih sedang kesal karena tidak menemukan calon-calon mangsanya”, duga Udik Cantiak sehingga ia cepat-cepat masuk ke pokok informasi yang ingin disampaikannya ke Muka Pucat.
“o yaaaaaaaaaah… gimana cerita lengkapnya” balas Muka Pucat dengan cepat dan penuh semangat. Muka Pucat langsung duduk tegak dan meletakan artikel yang sedang dipegangnya ke atas meja kecil tersebut. Kantuknya langsung hilang diterpa angin dari kipas yang sedang on pada posisi 3... karena rumah kontrakan yang ditempatinya untuk menjalankan tugasnya di bumi selama 1 bulan ini sangat panas dan pengap... dia ingin mengontrak rumah yang lebih baik, tapi dana sewa rumah yang disediakan bendahara kerajaan setan hanya cukup untuk sewa rumah sebagaimana yang ditempatinya saat ini… dia tidak bisa menilep uang kerajaan karena bendahara kerajaan dan stafnya sangat lihai memeriksa berbagai supporting documents pelaporan keuangan para setan yang melakukan tugas di bumi. Bendahara dan para stafnya akan secara teliti dan penuh curiga memeriksa berbagai dokumen seperti kuitansi belanja, tiket, boarding pas dan dokumen pendukung lainnya guna menemukan kalau-kalau setan-setan yang bertugas melakukan pemalsuan tanda-tangan, mark up harga, memalsu dokumen pendukung melalui teknologi scanning dan lain-lainnya untuk memperkaya diri menggunakan uang kerajaan yang diberikan sebagai advance pada mereka saat melakukan tugas di bumi,,, “ga apa-apa, toh hanya beberapa hari lagi masa tugas ku di bumi, setelah itu saya akan kembali ke rumah yang nyaman di kerajaan antah beranta, komentar Muka Pucat dalam hati, sambil menunggu sms balasan dari Udik Cantiak.

“he he he, mereka sedang meeting di LETEK POI NA di kawasan pegunungan To Kalekaju” balas Udik Cantiak dengan riang gembira karena infonya telah mencairkan kekesalan Muka Pucat.
“pegunungan To Kalekaju? dimana tuh” balas Muka Pucat tak sabar dan penuh tanya.
“To Kalekaju merupakan suatu kawasan pegunungan yang mencakup kawasan administratif 4 provinsi di Pulau Sulawesi”, yakni Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara”, “kawasan pegunungan tersebut sangat kaya dengan keaneka-ragaman hayati flora dan fauna serta beragam suku, adat dan juga budaya”, “beberapa bagian dari kawasan pegunungan tersebut telah dijadikan Kawasan Taman Nasional. Misalnya yang dikenal sebagai Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah merupakan bagian dari To Kalekaju. Ada pula kawasan Karts yang membentang di kabupaten Maros, Pangkep dan Sidrap di Provinsi Sulawesi Selatan, juga merupakan bagian dari kawasan pegunungan To Kalekaju, dimana menurut gosip terbaru para manusia, kawasan Karts tersebut akan dijadikan kawasan Taman Nasional karena keanekaragaman hayatinya yang kaya, diantaranya adalah kupu-kupu”. Kawasan pegunungan To Kalekaju juga kaya akan bahan tambang yang telah dieksploitasi maupun yang direncanakan untuk dieksploitasi, seperti di Soroako dan Rampi di wilayah Luwu, Sasak di Kabupaten Toraja, Kalumpang di Kabupaten Mamuju dan juga beberapa kawasan di Kapupaten Mamasa dan Polewali yang telah diekploitasi oleh Inco maupun yang baru mulai dilirik oleh Newmont, Antam dan juga Rio Tinto sebagaimana gosip yang beredar… demikian beberapa sms Udik Cantiak berturut-turut diterima hp Muka Pucat…
“hmmmmm, lalu mengapa mereka lakukan pertemuan di kawasan pegunungan itu”, mengapa mereka tidak melakukan pertemuan di hotel-hotel mewah sebagaimana yang sering mereka lakukan” sms balasan Muka Pucat ke Udik Cantiak… tidak ingin meneruskan diskusi via sms tentang nilai kawasan To Kalekaju bagi manusia…
“heeeeeee.. lu pikir Letek Poi Na di To Kalekaju tidak mewah?, Letek Poi Na merupakan suatu kawasan peristirahatan yang dipenuhi oleh resorts mewah dilengkapi kolam-kolam air panas belerang, danau-danau alam, lapangan golf, gymnasium, whirlpool, fasilitas teknologi canggih dan juga lusinan heli untuk transportasi dari Letek Poi Na ke bandar udara Hasanuddin Makassar, pemandangannya sangat indah dan mempesona… fasilitas yang tersedia mungkin mengalahkan fasilitas-fasilitas hotel bintang 5 di Jakarta” balas Udik Cantiak….“wah wah wah.. luar biasa juga kawasan yang menjadi tempat tugas mu itu JJJ, kelakuan manusia-manusia itu ga berubah-berubah juga yach he he he” komentar Muka Pucat melalui sms sambil senyum-senyum dan tertawa kecil… Muka Pucat kembali membayangkan medali yang bakal diterimanya dari BOS para setan… “semakin mereka terbiasa sampai akhirnya mencintai gaya hidup hedonis, maka akan semakin mudah bagi saya untuk mempengaruhi mereka melakukan kejahatan, termasuk memanipulasi laporan-laporan keuangan ke para donor mereka….. he he he… kata Muka Pucat dalam hati. Gaya hidup terhedonisasi seperti penulis cerita ini, lanjut pikiran Muka Pucat. Hedonisasi hidupnya telah membuat dia sangat konsumtif dan metropolis abis deh…. Hari-harinya hanya diisi dengan belanja, meeting dan pindah dari hotel ke hotel, konsumsi narkoba, perokok berat, pengagum sex bebas, mabuk-mabukan di bar-bar hotel, pub, karaoke serta keluar masuk berbagai diskotik… dia akan jadi seorang pengikut ku yang sangat setia.. saya akan menjadikan dia seorang provokator ulung di berbagai events sehingga dia akan dibenci, dimusuhi dan dicaci…. Makin besar tekanan yang dihadapi akan makin mengakrabkan hubungan dia dengan kerajaan setan melalui saya….saya akan menggunakan berbagai cara untuk itu paralel dengan berbagai teknik dan ketrampilan serta sejumlah fasilitas duniawi yang akan saya sediakan baginya guna mematri kesetiaannya kepada kerajaan setan” demikian pikiran Muka Pucat terus mengembara mengomentari si penulis cerita…

“eh apa yang mereka diskusikan sampai harus jauh-jauh ke Letek Poi Na di kawasan pegunungan To Kalekaju?”, tanya muka Pucat lebih lanjut melalui sms, sadar dari pikirannya yang sedang mengembara.
“Manajemen Kolaborasi Taman Nasional” balas Udik Cantiak. “lah, manajemen kolaborasi itu khan merupakan konsep yang telah dibicarakan puluhan tahun silam, saya bahkan pernah ikuti salah satu pertemuan yang mendiskusikan hal tersebut 4 atau 3 tahun silam di satu hotel berbintang 4 di jakarta, yakni Hotel Santika”, beberapa lsm juga telah menguji coba manajemen kolaborasi itu di beberapa kawasan taman nasional melalui kerja sama dengan pemerintah, lsm lokal, komunitas-komunitas masyarakat yang dimobilisir dan juga pengusaha-pengusaha pariwisata”. “Intinya, manajemen kolaborasi dijadikan semacam PANASEA untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul di wilayah-wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional, terutama masalah konflik klaim antara komunitas-komunitas masyarakat yang berdiam di dalam dan sekitar Taman Nasional berhadapan dengan klaim negara yang dilakukan secara sepihak berdasarkan rekomendasi-rekomendasi penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian ataupun para peneliti individual”. “Manusia-manusia itu menggunakan ilmu tipu menipu yang kita ajarkan kepada mereka he he he he”, supaya orang-orang kampung tidak berteriak dan marah-marah terus tentang hak-hak mereka di wilayah yang dijadikan kawasan Taman Nasional, maka mereka diajak kerjasama melalui manajemen kolaborasi. Padahal faktanya mereka hanya dimanipulisasi saja saja untuk kepentingan pihak lain. Warga kampung yang terlibat sih senang-senang saja karena saat menghadiri berbagai pertemuan ataupun menjadi bagian dari kepengurusan manajemen itu, mereka mendapat sejumlah uang duduk dan uang cape dari para pengelola proyek yang selalu bikin laporan-laporan bagus ke donor agar uang proyek terus mengalir dengan lancar …he he he he he…. Pada saat mereka mendapatkan sejumlah uang dan juga fasilitas, orang-orang kampung itu diam-diam saja, tapi pada saat uang dan fasilitas berhenti, mereka mulai marah-marah lagi karena haknya diambil alih… kalo teriakan mereka tidak didengar, nah mereka mulai melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap alam sekitar dengan berbagai cara seperti kerja sama dengan para cukong kayu untuk lakukan penebangan masal dan komersialisasi kayu ataupun komersialisasi sejumlah flora dan fauna endemik dan eksotik di kawasan-kawasan tersebut. Oleh karena proyek-proyek bergelimang duit tersebut telah berhasil merubah cara pikir dan perilaku orang menjadi konsumtif dan prakmatis. Satu contoh nyata adalah di penulis cerita ini… he he he he. Ngapain susah-susah jadi petani, peternak ataupun nelayan, kalo kita dengan mudah mendapatkan uang dari berbagai proyek Taman Nasional, diudang ikut pertemuan, disediakan penginapan, transporatasi, konsumsi, uang duduk yang lumayan, demikian informasi yang sering diobrolin oleh warga-warga kampung yang sering diudang menghadiri berbagai pertemuan, he he he ….Orang kampung ditipu, mereka balas menipu, sehingga terjadilah tipu menipu diantara mereka, begitu loh Cantiak, he he he he…jelas Muka Pucat secara panjang lebar ke Udik Cantiak sambil tertawa-tawa sendiri di rumah kontrakannya.

“ahhhhhh saya tidak tertarik dengan rantai tipu menipu tersebut, kalo manusia-manusia itu terus tengelam dalam dunia tipu menipu seperti itu khan lebih berguna bagi kita para setan”, komentar pendek Udik Cantiak melalui sms-nya ke Muka Pucat. “apakah mereka mengadakan refleksi atau evaluasi terhadap konsep dan aplikasi yang dilakukan beberapa tahun silam “, tanya Muka Pucat ingin tahu lebih jauh sekaligus mengalihkan pokok pembicaraan setelah mengetahui Udik Cantiak tidak tertarik dan juga bosan dengan penjelasannya yang panjang lebar, “padahal itu hanyalah dugaan sementara yang belum aku analisis lebih jauh, saya ingin meminta Udik Cantiak bantu menyelidiki dan membuktikan hipótesis saya, tapi kelihatannya dia tak tertarik,,hmmmmmmmmmm” kata Muka Pucat dalam hati… “si Udik ini memang setan pemalas yang ga mau kerja keras.. pantas aja dia ga pernah dapat medali apalagi kenaikan jabatan di kerajaan setan he he he, bagus juga demikian sehingga lawan tanding ku memperebutkan medali dan perhatian BOS tidak bertambah” lanjut pikiran Muka Pucat sambil menunggu sms balasan Udik Cantiak….

“mana ku tau, saya khan hanya ingin memberi info tentang keberadaan manusia-manusia yang lu cari melalui sebaran informasi dari Buruk Pake” balas Udik Cantiak dengan acuh…“Cantiak yang baek, tolong bantuin saya dong” rayu Muka Pucat dengan lembut melalui smsnya…”ha ha ha kalo ada mau-nya lu mulai berlagak lembut dan baik hati de, boleh aja, tapi sangat tergantung pada seberapa besar imbalan jasa yang bisa kita sepakati” balas Udik Cantiak sambil pikiran serakahnya mulai memikirkan apa jenis bantuan yang diminta Muka Pucat serta imbalan apa yang akan dia minta yang akan dinegosiasikan diantara mereka berdua. “tolong cari informasi sebanyak-banyaknya tentang pertemuan tersebut, misalnya siapa saja yang hadir, apa materi-materi yang didiskusikan sampai dengan detail-detailnya, apa hasil-hasil yang disepakati, bagaimana rencana tindak lanjut mereka, dan lainnya yang bisa lu dapatkan, jika lu bisa dapatkan soft atau hard copy bahan-bahannya akan lebih baik lagi” cepat-cepat Muka Pucat mengirim sms balasan, sambi memikirkan menutup semua peluang informasi yang akan diperoleh Arang Item saat bertugas menggantikan Muka pucat di bulan September. “hmmmmm, saya bersedia… tapi imbalannya apa dong” balas Udik Cantiak sambil terus memikirkan imbalan apa yang akan dinegosiasikan ke Muka Pucat… “he he he dasar setannnnn lu, udah kaya masih aja serakah… dan ingin morotin teman sendiri” sms balasan Muka Pucat….”ha ha ha ha.. lah dari dulu kita khan sama-sama setan, saya setan, kamu pun setan ha ha ha ha, tugas kita adalah memperbanyak setan seperti kita melalui penularan semua sifat kita yang buruk ke manusia sehingga kerajaan setan mendapatkan banyak pengikut yang setia dan akan menjadi budak-budak kita saat jiwa dan roh mereka lepas dari raganya” balas Udik Cantiak panjang lebar sambil jari-jarinya mengelus sebelah wajahnya yang halus mulus berdampingan dengan sebelah wajahnya yang cekot-cekot keriputan dan bersisik.. “ha ha ha ha ha ha” balas Muka Pucat…. “he he he he he” balas Udik Cantiak…… akhirnya sms antar kedua setan tersebut hanya berisi kata kata ha ha ha dan he he he….

OBROLAN DUA SETAN tentang Dampak Petisi Penolakan Taman Nasional di Sulawesi

Esai ini saya tulis pada tanggal 16 Agustus 2005 yang dipublikasikan pada salah satu milis lingkungan di Indonesia.
**************************************

Alkisah, di dunia antah beranta hiduplah para setan dengan berbagai aktivitas masing-masing. Mereka diperintah oleh seorang pemimpin besar yang biasanya dipanggil BOS. Diantara setan-setan tersebut terdapat 2 setan yang ditugasi mempengaruhi berbagai aktivitas manusia yang bekerja di LSM atau sering disebut sebagai Ornop. Kedua setan tersebut masing-masing bernama MUKA PUCAT dan ARANG ITEM. Muka Pucat dan Arang Item selalu bersaing satu sama lain dalam menjalankan fungsi, peran, tugas dan tanggung-jawab masing-masing. Persaingan tersebut bertujuan mendapatkan penghargaan dari bos mereka, yakni medali dari berbagai batu permata yang relevan dengan keberhasilan capaian masing-masing setan. Jumlah medali yang berhasil dikumpulkan dari prestasi kerja masing-masing akan menentukan kenaikan jabatan di kepengurusan organisasi para setan. Karena itu, setiap setan terutama Muka Pucat dan Arang Item selalu berusaha bekerja dengan sangat baik untuk mendapatkan penghargaan sebanyak-banyaknya.

Dalam melakukan pekerjaannya, Muka Pucat dan Arang Item selalu bertugas begiliran dalam periode tugas bulanan. Pada bulan Juli silam, si Arang Item yang bertugas. Singkat cerita, masa tugas Arang Item berakhir di bumi dan kembali lah dia ke dunia antah beranta untuk melaporkan hasil kerjanya. Saat Arang Item kembali bertemu Muka Pucat, Arang Item memamerkan 1 medali berlian pemberian bos para setan sebagai penghargaan terhadap prestasi kerjanya pada bulan Juli tersebut. Salah satu prestasinya yang menyebabkan Arang Item mendapatkan medali berlian tersebut adalah keberhasilannya memprovokasi beberapa aktivis LSM untuk membuat PETISI PENOLAKAN TERHADAP TAMAN NASIONAL DI SULAWESI.

Medali yang diperoleh Arang Item telah memotivasi Muka Pucat untuk bekerja lebih giat guna mendapatkan medali yang sama dengan Arang Item. Karena itu, sebelum melakukan tugasnya menggantikan Arang Item pada bulan Agustus, Muka Pucat telah membuat konsep kerja yang merujuk ke keberhasilan Arang Item. Idenya adalah melakukan upaya adu domba di masing-masing lembaga penanda-tanganan petisi penolakan Taman Nasional di Sulawesi. Ide yang telah dijadikan konsep kerja tersebut lalu diaplikasikan pada masa tugasnya dimulai. Ternyata, sebelum berakhirnya masa tugas Muka Pucat, keberhasilan penerapan konsep tersebut mulai nampak. Catatannya per tanggal 15 Agustus menunjukan bahwa telah terjadi pemecatan terhadap 5 penandatanganan petisi, 3 diperingatkan dengan keras, 2 dalam proses pengunduran diri dari lembaga masing-masing karena tidak kuat menghadapi tekanan kelembagaan yang dilakukan dengan berbagai cara.

Saat Muka Pucat bertemu Arang Item di malam minggu tanggal 13 Agustus sambil kongkow di salah satu café di PS, mereka mengobrolin beberapa hal, satu diantaranya adalah capain hasil kerja yang telah diperoleh Muka Pucat menjelang pertengahan bulan. Mendengar informasi Muka Pucat tentang hasil kerjanya, Aram Item jadi penasaran dan bertanya bagaimana caranya sehingga Muka Pucat memperoleh hasil sebegitu cemerlang. Ringkasan obrolan kedua setan tersebut saya catatkan di bawah ini :
Arang Item berkata kepada Muka Pucat, “wow hebat, bagaimana caranya”
Muka Pucat membalas “terus terang saja sebenarnya saya iri terhadap keberhasilan kamu bulan kemarin. Dari situ muncul ide menumpangi saja keberhasilan kamu untuk membuat kekacauan lebih besar dan luas”.
Arang Item : “oh yachhhh.. gimana dong”. Sambil senyum-senyum Muka Pucat berkata, “saya pelajari petisi tersebut, lalu saya dapatkan satu peluang untuk memulai perluasan provokasi guna menimbulkan kekacauan lebih lanjut dan makin meluas”.
Sambil menyeruput cappuccino hangatnya, Aram Item mengangguk-anggukan kepalanya menyemangati Muka Pucat untuk meneruskan ceritanya. Muka Pucat melanjutkan, “pertama-tama saya lakukan survey di beberapa lembaga, terutama mencari tahu hubungan pertemanan diantara lembaga-lembaga tersebut”, dari survey tersebut saya mendapatkan informasi dan data bahwa beberapa lembaga yang menanda-tangani petisi memiliki hubungan pertemanan yang cukup dekat dengan lembaga-lembaga lain yang tidak mempermasalahkan keberadaan taman nasional, bahkan beberapa dari lembaga tersebut terlibat bekerja mendukung penetapan suatu wilayah sebagai kawasan taman nasional. Setelah itu saya membisiki salah satu staf di lembaga tersebut yang saya ketahui memiliki hubungan pertemanan dengan lembaga yang menanda-tangani petisi. Kepada staf-staf itu, saya bisikan informasi tentang keberadaan petisi tersebut. Setelah itu saya dorong dia untuk membaca petisi tersebut dan saya bisikan hasutan-hasutan agar lakukan perlawanan, hasutan saya diterima sehingga orang-orang yang berhasil saya hasut lalu menelpon beberapa orang di beberapa lembaga yang menandatangani petisi penolakan tersebut” demikian nyerocos Muka Pucat ke Arang Item yang mendengarkan sambil mengangguk-anggukan kepalanya menyemangati Muka Pucat agar memaparkan cara kerjanya.
“Bagaimana bisa semudah itu”, tanya Arang Item penasaran.
“Mudah dong”, timpa Muka Pucat sambil cengar cengir. “karena ikatan sebagai teman lebih kuat daripada ikatan sebagai sesame rekan kerja di suatu lembaga” jelaskan Muka Pucat panjang lebar. Ikatan itulah yang saya gunakan sebagai peluang untuk membuat hasutan saya bekerja efektif” tandas Muka Pucat.
“Tapi itu khan kolusi namanya”, bantah Arang Item.
“Tidak seperti itu cara melihat hubungan pertemanan”, balas Muka Pucat. “Apalagi untuk kalangan kita para setan malah lebih baik”, lanjut Muka Pucat. “Mau temanan keq mau kolusi keq, kita ga perlu peduli hal-hal seperti itu, yang penting adalah tujuan kita berhasil memperluas dan menambah kekacauan he he he”, bantah muka pucat sambil ketawa ketiwi.
“Benar juga si Muka Pucat”, kata Arang Item dalam hati.
“Ok ok”, kata Arang Item.. lalu cerita selanjutnya gimana? tanya Arang Item untuk memenuhi rasa penasarannya mengetahui lebih jauh cerita Muka Pucat.
“Setelah orang-orang yang saya hasut tersebut menelpon beberapa lembaga, di lembaga-lembaga tersebut lalu mulai muncul berbagai reaksi dari tindakan pemecatan, peringatan hingga munculnya permusuhan diantara sesama staf”ha ha ha, kata Muka Pucat sambil mentertawakan keberhasilan hasutannya.
“Wah jitu juga nih cara si Muka Pucat”, gerutu Arang Item dalam hati… tapi di bibirnya Arang Item berucap “wah hebat banget cara menghasut mu itu yach” Arang Item sengaja memuji sohib sekaligus saingannya itu.
Dipuji demikian, Muka Pucat makin berseri-seri jadinya. Saking gembiranya, Muka Pucat berkata pada Arang Item, “nih aku punya rekaman pembicaraan telpon dan juga catatan email-email mereka”, sambil meletakan audio player mini dan beberapa kaset rekaman serta beberapa lembar kertas print out komputer diatas meja café.
“Wow sampai sedetail itu?” tanya Arang Item makin penasaran. “iya dong, aku harus mempersiapkan bukti-bukti bagi bos” kata Muka Pucat, sambil tangannya menekan tombol player yang memperdengarkan perdebatan di suatu lembaga yang para stafnya telah berhasil dihasut…… tangan yang satu lagi mengangsurkan kertas-kertas diatas meja tersebut ke Arang Item. Sambil membaca dan mendengarkan rekaman kaset, Arang Item terus menikmati cappucinonya....
Sekitar 10 menit berlalu, saat Muka Pucat kembali bersuara, „bagaimana?“, tanya Muka Pucat.
„Email dan rekaman kaset tersebut tidak mempersoalkan substansi petisi“, komentar Arang Item. „Mereka pada dasarnya sepakat tentang substansi petisi tersebut. Masalah yang mengemuka justru ke aspek2 prosedural seperti siapa yang memberi kewenangan terhadap staf lembaga untuk tanda-tangan petisi atas nama lembaga, dan juga tentang mengapa tanda-tangan tidak pake izin direktur“, lanjut Arang Item. “mengapa masalahnya beralih dari substansi ke prosedural yach?“ komentar Arang Item dalam bentuk pertanyaan?....
“He he he he...” timpal Muka Pucat sambil tertawa ceria?.. nih baca lagi satu catatan email yang ku simpan.. kata Muka Pucat sambil menarik keluar sehelai kertas terlipat rapi dari kantong bajunya…
Setelah lewat beberapa saat, Arang Item nyeletuk…”ohhhhh, aku tahu sekarang masalahnya, mengapa mereka tidak meperdebatkan substansi petisi, tapi malah mengalihkan masalah substansi ke prosedur kelembagaan.. he he he he he” Arang Item terbahak-bahak sambil mengelus-elus perut gendutnya…. Ha ha ha ha ha

“Eh kenapa kamu tertawa-tawa seperti itu..“ tanya Muka Pucat penasaran.....“Ha ha ha ha ha…“ tawa Arang Item makin terbahak-bahak… setelah tawanya mereda, Arang Item berkata sambil senyum-senyum... “hmmmmm pada dasarnya manusia-manusia itu memang bego karena mau saja dihasut oleh kita para setan.... he he he.. sekarang mereka saling telingsut dan juga gontok-gontokan satu sama lain hanya karena membela teman masing-masing…,… ha ha ha ha, dasar manusi-manusia lemah yang selalu penuh kemunafikan, bermuka dua, menerapkan standar ganda..he he he hehe, pantas saja kita selalu berhasil.. kita selalu berhasil menghasut dan mengadu domba mereka satu sama lain, karena kemunafikan-kemunafikan mereka itu.. ha ha ha ha ha… kalo keluar mereka teriak korupsi.. tapi didalam lembaga lakukan korupsi.. kalo ke dalam menyepakati tolak taman nasional, tapi kalo ke luar jangan dibicarakan terbuka… ha ha ha ha harus tenggang rasa.. harus tepo seliro terhadap teman ha ha ha ha” Kata Arang Item tertawa-tawa sambil matanya tidak lepas dari kertas yang masih sedang dipegangnya…. “Wah aku yakin nih, kamu bisa dapat 2 medali pada akhir bulan masa tugas mu, kata Arang Item sambil menatap penuh kekaguman terhadap Muka Pucat… dalam hatinya Arang Item berkata, aku harus cari cara yang lebih baik lagi untuk bisa mengalahkan Muka Pucat bersaing mendapatkan medali dan penghargaan dari BOS… kepada Muka Pucat, Arang Item berujar “baru di pertengahan bulan saja, hasutan mu telah berdampak luas… kalau sampai akhir bulan pasti akan lebih besar lagi dampaknya…” sambil jarinya mengetuk-ngetuk meja café…..”lihat saja si penulis cerita ini”, lanjut Arang Item…. Apa? tanya Muka Pucat… “tuh liat saja tulisan di awal email ini yang menyatakan : CERITA INI TIDAK MEWAKILI PANDANGAN LEMBAGA TENTANG TAMAN NASIONAL”… wah kalo dia juga takut menyuarakan pendapatnya, sampai harus kasih pengumuman berwarna merah seperti itu, kenapa dia masih kerja di lembaga tersebut yach??? tanya Muka Pucat…“Ha ha ha ha ha”, Arang Item hanya membalas dengan terbahak-bahak sambil diam-diam memikirkan cara untuk makin memperluas kekacauan di bumi pada bulan masa tugasnya di bulan September yang akan datang.

PERLAWANAN KONTU : Perlawanan Perempuan Perempuan Tak Bernama

Saya menulis esai ini pada 12 September 2005 yang dipublikasikan salah satu milis lingkungan Indonesia. Tulisan ini saya temukan kembali melalui GOOGLE - yang lalu saya publikasikan kembali di blog ini.
****************************************

Kontu artinya BATU dalam bahasa Indonesia (Swami, 2004). Kata Kontu mulai familiar dengan saya sekitar 3 tahun silam saat saya bertemu La Ode Ota (Eksekutif Daerah Walhi Sultra) yang sedang melanglang buana di rimba beton Jakarta guna menggalang dukungan dari sejumlah kalangan bagi perjuangan orang-orang Watuputih. Dengan tutur katanya yang lembut dan wajah tenang sambil terus mengendalikan rasa haru, marah, kesal dan tekad perlawanannya, La Ode Ota menuturkan tragedi Kontu secara detail. Tragedi yang melengkapi rangkaian cerita tragis berbagai komunitas di Sulawesi Tenggara saat mereka harus berusaha mempertahankan dan/atau mereklaim hak-hak tenurial mereka yang telah dan/atau akan diambil sepihak oleh negara untuk kepentingan yang disebut pembangunan. Upaya mereka harus selalu berhadapan dengan aparat negara yang tak segan menggunakan cara-cara kekerasan untuk menegakkan otoritas negara di teritorial komunitas, seperti yang terjadi di Kontu, Ladongi, Hukaea Laea, Tomia, Mantigola dan lainnya. Kontu mulai mengisi hari-hari kerja saya seiring intensitas komunikasi antara saya – Ota dan Khadafi yang adalah salah satu staf Yayasan SWAMI yang berkedudukan di Raha ibukota Kabupaten Muna

Kontu telah menjadi simbol perlawanan 4 komunitas masyarakat adat di kecamatan Watuputih, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Ke-empat komunitas itu adalah Patu-patu, Lasukara, Kontu dan Wawesa yang secara administratif terbagi menjadi 3 wilayah administrasi pemerintahan, yakni Kelurahan Wali, Desa Labaha dan Desa Bangkali di Kecamatan Watuputih. Kehidupan tenteram empat komunitas itu mulai terusik pada tanggal 6 Januari 2003, saat Pemda Kabupaten Muna mengerahkan aparatnya melakukan pergusuran selama 3 hari, yakni dari tanggal 6 sampai dengan tanggal 8 Januari, 2003 (Swami, 2004) berturut-turut terhadap warga empat komunitas yang telah turun temurun menguasai, memiliki dan mengelola wilayah itu sejak ratusan tahun silam, yakni sejak sebelum Belanda memasuki Pulau Muna.

Peristiwa tanggal 6 Januari 2003 telah mencabik-cabik ketenteraman dan kedamaian hidup empat komunitas tersebut diatas. Warga yang berani lalu mengorganisir diri yang didukung sepenuhnya oleh Yayasan Swami dan Walhi Sultra – yang mengakibatkan para aktivis kedua lembaga tersebut ikut terseret ke dalam pusaran konflik tak berkesudahan. Akibatnya, tidak hanya warga yang melakukan perlawanan yang mendapatkan kezaliman dan kesewenangan alat-alat negara, para aktivis kedua lembaga tersebut juga disewenangi dan dizalimi dengan berbagai cara. Warga yang tidak berani lalu mengambil langkah mengungsi dan/atau ngumpet di rumah-rumah keluarga maupun di hutan-hutan sekitar wilayah konflik. Pergusuran pada tanggal 6 – 8 Januari 2003 telah mencetuskan perlawanan terbuka warga 4 komunitas terhadap aparat pemerintah yang mewakili otoritas negara. Otoritas yang saya temukan pada diri kakek terkasih sebagai pemegang kuasa mutlak yang tak boleh dilawan kehendaknya. Otoritas Golda Meir dan Margaret Thatcher yang saya kagumi sekaligus selalu ingin saya lawan. Otoritas negara, otoritas yang tanpa batas, otoritas yang menjadi kesewenangan tak terperi saat digunakan untuk kepentingan-kepentingan sepihak negara sebagai penguasa. Otoritas yang telah menerobos dan memporak-porandakan kehidupan damai warga Papu-patu, Lasukara, Kontu dan Wawesa di Kabupaten Muna melalui alat-alatnya yang bagaikan robot-robot logam yang telah diprogram mengangguk-angguk menaati perintah negara walau harus memberangus saudara saudari sendiri.

Konflik terbuka antara warga empat komunitas dengan Pemda Kabupaten Muna tak terelakan dan terus berlanjut hingga tahun bersua tahun karena pada satu sisi warga berusaha mempertahankan teritori mereka yang menjadi identitas jatidiri mereka berhadapan dengan alat-alat negara melalui Pemerintah setempat yang memaksakan kehendak negara untuk menguasai sekitar 415 hektar lahan yang telah dialih-fungsikan secara sepihak oleh negara menjadi bagian dari kawasan hutan lindung melalui Kepmenhut No. 454 Tahun 1999 (Swami, 2004). Padahal, kawasan itu telah diwarisi warga empat komunitas tersebut turun temurun selama ratusan tahun sebagaimana sejarah yang dituturkan diberbagai dokumen dan pertemuan. Perlawanan warga tak berdaya terhadap kezaliman negara yang penuh kuasa berakibat pada penangkapan dan penjeblosan 4 warga ke tahanan oleh Polres Muna pada tanggal 27 Januari 2003 dengan tuduhan : MENDUDUKI TANAH NEGARA TANPA IZIN (Swami, 2004). Alasan yang sangat mengada-ada namun efektif menggusur warga 4 komunitas dari wilayah warisan leluhur. Setelah melewati masa krisis pertama bulan Januari 2003, warga terus memperkuat diri melalui Organisasi Rakyat Kontu yang mendapatkan dukungan berbagai Ornop setempat, regional dan nasional. Pergusuran warga disertai tindak kekerasan aparat terus bergulir hingga mengetuk pintu-pintu KOMNAS HAM memasuki ruang-ruang pertemuan di Jl. Latuharhari Jakarta. Komnas HAM akhirnya mengirim seorang wakil mereka untuk melakukan investigasi yang berujung pada rekomendasi penyelesaian konflik. Namun, walau tahun telah berganti hingga 2005, konflik di Kontu tidak pernah diurus apalagi diselesaikan tuntas. Rekomendasi penyelesaian konflik dari Komnas HAM dan juga desakan dari berbagai Ornop dan jaringannya yang mendukung upaya pertahanan diri 4 komunitas itu, hanyalah menjadi nyanyian sunyi pengantar tidur bagi aparat setempat. Berbagai desakan dan rekomendasi itu hanyalah tepukan satu tangan yang tak berpengaruh.

Warga empat komunitas itu tidak tinggal diam menghadapi situasi tersebut. Mereka terus giat melakukan lobby, negosiasi dan juga kampanye penggalangan dukungan berbagai pihak terhadap upaya mereka mempertahankan wilayah dan jatidirinya. Warga mengirim wakil-wakil mereka menghadiri berbagai pertemuan jaringan level regional hingga nasional, termasuk diantaranya berbagai pertemuan yang diadakan oleh mitra-mitra KEMALA di regio Sulawesi, seperti Temu Rakyat Sulawesi, pertemuan Pembentukan Institusi Pembelaan Rakyat (IPR) Sultra, Forum Forum Regio dan lainnya. Akhirnya, Organisasi Rakyat Kontu ditetapkan oleh Forum Regio III di Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara, sebagai salah satu Mitra KEMALA. Kehadiran wakil-wakil Kontu di berbagai pertemuan yang juga saya ikuti telah makin mendekatkan saya dengan Kontu. Walau demikian, saya tak pernah tahu apalagi menyadari bahwa perlawanan Kontu sebagian besar dilakukan oleh para perempuan.

Pada tanggal 28 Mei 2005, saya, Daniel Parande (Koordinator Perkumpulan Kemala Sulawesi / PKS) dan Edo Rahman (Yascita) menjejakan kaki kami di kota Raha, ibukota Kabupaten Muna. Saat itu saya “mampir” sejenak dalam perjalanan balik ke Kendari dari Baubau ibukota Kabupaten Buton. Kala kaki menjejak dermaga Kota Raha, sengatan surya pagi bersama hembusan bayu kering langsung menyapa kulit tubuh kami. Walau demikian, kami memilih menapak perlahan menuju jalan raya berjarak sekitar 100 meter dari pelabuhan daripada menggunakan jasa ojek yang langsung menghampiri kami untuk menawarkan jasa angkutan. Rasa lapar mulai berdendang di kedalaman perut yang mendorong mata kami celingukan mencari-cari warung makan di tepi jalan yang kami lalui. Akhirnya kami menemukan satu warung kecil di tepi jalan raya kota Raha. Setelah membuat perut tidak lagi bersyair, kami mulai mencari kantor Yayasan Swami melalui alamat yang dipegang Dani dan Edo. Untuk itu, jasa ojek yang berlimpah di kota tersebut lah yang kami gunakan dengan biaya seribu rupiah per orang, kami diantar ke tempat tujuan. Sekitar 10 menit kemudian, kami tiba di satu rumah kontrakan yang telah difungsikan sebagai kantor oleh Yayasan Swami. Setelah ngobrol ngarol ngidul dan diskusi sana-sini, kami akhirnya berangkat ke Balai Pertemuan Organisasi Rakyat Kontu yang berjarak sekitar 3 km dari kantor Swami ditemani Khadafi, Saiful dan Rasak dari Yayasan Swami untuk dipertemukan dengan warga Kontu di “rumah bersama” mereka. Ojek yang saya tumpangi meliuk-liuk dengan lincah menyusuri jalan setapak berkelok-kelok sambil menghindari bongkahan-bongkahan jati dan rerumputan liar yang menghiasi tepi-tepi jalan. Kiri dan Kanan setapak dipenuhi kebun-kebun berpagar milik warga yang sedang hijau oleh berbagai jenis tanaman, terutama singkong, pisang dan kacang-kacangan. Di selang seling tetamanan tersebut, tersembul dan tersebar pula ratusan hingga ribuan bongkahan jati. Melihat bongkahan-bongkahan jati yang tersebar itu, pikiran ku langsung mengembara memikirkan peluang kerja dan pendapatan yang akan diperoleh warga empat komunitas itu jika mereka punya ketrampilan dan keahlian mengubah bongkahan-bongkahan jati itu menjadi barang-barang fungsional maupun benda-benda seni sebagaimana yang sesekali saya lihat di rumah-rumah orang kaya kota dan juga di mal-mal yang bertebaran di berbagai kota besar Indonesia.

Kembara pikiran ku terputus tak lama berselang saat ojek yang saya tumpangi berhenti di halaman satu rumah panjang yang dikelilingi kebun-kebun warga serta serakan bongkahan jati. Rumah itu merupakan Balai Pertemuan Organisasi Rakyat Kontu. Rumah itu telah dipenuhi ratusan orang perempuan dan laki-laki tua, muda hingga anak-anak. Saat kaki ku menjejak tanah, berbagai tangan langsung terulur mengajak berjabat tangan. Satu demi satu saya salami sambil berjalan memasuki balai pertemuan beratap rumbia berlantai tanah itu. Tak henti salam selamat datang dan kata apa khabar berujar dari mulut-mulut perempuan dan laki-laki yang bersalaman dengan ku disertai senyuman ramah penuh ketulusan. “Kontu menanti damai”demikian kalimat yang tertangkap mata saya saat memandangi potongan-potongan kertas manila yang menempel di satu lembaran kertas plano yang menggantung di dinding balai pertemuan Organisasi Rakyat Kontu. Setelah acara seromial sambutan-sambutan yang dimoderatori oleh Abdul Haris, Ketua Organisasi Rakyat Kontu yang telah saya kenal diberbagai pertemuan, akhirnya kami sampai pada diskusi interaktif antar semua yang hadir. Saat diskusi berlangsung, diam-diam saya mengamati satu demi satu wajah-wajah begitu banyak perempuan yang berada dalam ruang pertemuan hingga yang berdiri di tetirisan balai pertemuan itu. Hati ku terus bertanya mengiringi pikiran yang berputar mencari jawaban atas kehadiran perempuan-perempuan itu. Puluhan diantaranya duduk berhadap-hadapan dengan saya dan rombongan. Suatu kondisi yang sangat kontras dengan pertemuan di komunitas-komunitas lain yang pernah saya hadiri. Perempuan-perempuan hanya mengurus konsumsi atau nguping diskusi dari balik-balik dinding atau dari belakang-belakang ruang pertemuan. Kondisi yang sangat berbeda dengan yang saya alami di balai pertemuan Organisasi Rakyat Kontu dan juga di rumah Wa Abe di Tomia.

Perempuan-perempuan ini sangat aktif bercerita, bertanya, menyimak dan mengajukan berbagai inputs tentang banyak hal. Akhirnya dengan rasa penasaran nan membuncah, saya menanyakan bagaimana sampai demikian banyak perempuan bisa mengikuti pertemuan hari ini. Dengan senyum simpul 4 orang perempuan dari puluhan perempuan yang duduk berjejer di depan saya bersama pak Abdul Haris silih berganti memulai cerita mereka tentang keterlibatan perempuan-perempuan Kontu dalam perlawanan Kontu yang tak berkesudahan. Berawal dari pengalaman traumatis yang dihadapi para lelaki Kontu saat berhadapan dengan aparat negara yang selalu menggunakan kekerasan. Melihat perlawanan suami-suami, saudara-saudara dan anak-anak lelaki mereka dihadapi dengan kekerasan dan aniaya, para istri, saudari dan ibu-ibu itu memutuskan mengambil alih sekaligus menjadi garda depan perlawanan Kontu. Saat aparat menghadang, perempuan-perempuan Kontu yang telah bersatu tekad itu maju tanpa takut menghadapi kezaliman, kesewenangan dan penindasan aparat negara. Saat aparat negara berlalu, para perempuan itu kembali ke keseharian mereka sebagai istri, perempuan muda, remaja putri dan juga ibu. Mereka kembali ke rutinitas mereka sebagai petani, pedagang dan juga petugas kesehatan. Saat menghadapi aparat, mereka melebur semua personalitas mereka menjadi satu kumpulan perempuan bertekad baja, bersemangat membara melakukan perlawanan demi mempertahankan lahan hidup dan kehidupan mereka yang telah diwarisi turun temurun. Saat aparat pergi, mereka kembali menjadi perempuan-perempuan “biasa” yang kembali tenggelam dalam gelutan pencarian nafkah dan mengurus rumah tangga bersama suami, ayah dan saudara-saudara mereka. Itulah yang membuat saya tidak pernah bertemu seorang pun dari mereka di berbagai pertemuan yang dihadiri wakil-wakil dari kawasan Kontu. Arena-arena damai di pertemuan-pertemuan jaringan diserahkan ke para lelaki Kontu. Fora-fora peperangan di kawasan Kontu adalah lahan keseharian mereka yang dipertahankan sedapat mungkin, bila perlu berkalang tanah bersimbah darah. Itulah yang membuat mereka tetap menjadi “Perempuan Perempuan Tak Bernama”.

Perempuan Perempuan Tak Bernama. Sampai pertemuan berakhir dan kami pulang bersama ke tempat masing-masing sambil berjalan bersisian menyusuri setapak yang melewati kebun-kebun mereka disertai obrolan dan canda satu sama lain, saya tak ingat satu pun nama mereka saking banyaknya jumlah mereka. Mereka begitu berbeda. Hanya wajah-wajah sederhana bersemangat membara yang akan terus saya kenal dan ingat. Pada wajah dan semangat perempuan-perempuan Kontu itu, saya menemukan kembali wajah dan semangat Aung San Suu Kyi yang saya kagumi, wajah dan semangat perlawanan diri saya terhadap otoritas kakek. Perempuan-perempuan Kontu merupakan suatu totalitas perlawanan dalam perbedaan perbedaan identitas bernama. Totalitas perlawanan yang identik dengan perlawanan Kontu. Mengenal dan mendukung perlawanan Kontu adalah mengenal dan mendukung perlawanan perempuan-perempuan itu. Perlawanan yang muncul dari penindasan tak bertepi. Penindasan yang telah menyatukan mereka dalam suatu totalitas bersama Kontu. Nama-nama mereka dilebur dalam satu identitas bernama perlawanan Kontu. Mereka tak peduli, orang luar tak mengenal mereka. Cukup bagi mereka jika perlawanan Kontu dikenal dan didukung menuju penyelesaian yang memihak dan mengakui jatidiri mereka di wilayah warisan itu. Dukungan menuju penyelesaian masalah Kontu akan menjadi obat mujarab terhadap penderitaan mereka sekaligus mengakhir hari-hari kelam mereka dalam perjuangan tak berujung selama tahun menyapa tahun dalam ketidak-pastian tak berakhir. Hari-hari panjang nan kelam yang harus juga terus dilalui Suu Kyi.

Perlawanan Kontu, Perlawanan Perempuan Perempuan Tak Bernama. Saat rengsekan aparat sedang menyepi untuk memulihkan diri dan mengkonsolidasi kekuatan penyerangan kembali, perempuan-perempuan tak bernama itu juga sedang mengkonsolidasikan diri dengan cara berbeda. Bersama para suami, saudara dan anak-anak, mereka memetakan teritori warisan leluhur dan membuat rencana pembangunan kawasan Kontu secara mandiri. Muncul-lah sejumlah rencana kegiatan, diantaranya pendirian mesjid, sekolah, pasar dan juga pemukiman yang dikoordinir oleh organisasi mereka, yakni Organisasi Rakyat Kontu, tentu saja dengan dukungan dan pendampingan tak henti dari Yayasan Swami yang telah bersama mereka mengarungi sejumlah gelombang pergolakan di kawasan panas itu. Saat saya dan teman-teman tiba di balai pertemuan itu, mereka baru menyelesaikan rencana tersebut satu hari lalu, karena itu mata ku masih bisa melihat lembaran-lembaran kertas beraneka warna bertuliskan berbagai rencana yang lahir dari beragam tangan, diantaranya dari tangan-tangan Perempuan Perempuan Tak Bernama itu. Satu diantaranya adalah “Kontu Menanti Damai”. Semoga!!!

KONTU BERKUBANG DARAH : DIMANAKAH SOLIDARITAS ITU

Esai ini saya tulis dan publikasikan melalui salah satu milis lingkungan pada tanggal 6 Desember 2005 saat saya masih bekerja sebagai Program Officer di Yayasan KEMALA. Tulisan ini saya temukan kembali melaui GOOGLE - yang lalu saya tampilkan kembali di sini.

-------------------------------------------------------------------------

SOLIDARITAS BAGI PARA SAHABAT : SURAT UNTUK PEREMPUAN BERKAOS BIRU.

Tanggal 2 Desember Hari Jumat menjelang malam. Dengan mulut ternganga dan mata nanar, ku tatap lekat berita Metro TV yang menyajikan tindakan brutal aparat Pemkab Muna melakukan pergusuran terhadap warga Kontu. Pada tayangan berita Metro TV terlihat aparat berseragam menggenggam berbagai peralatan,termasuk pentungan serta mengenakan pakaian lengkap,termasuk topi khusus yang menutupi kepala sebagaimana sering dipakai polisi anti teror. Aparat berdiri sambil mendorong dengan tangan dan alat yang dipegang. Mereka membelakangi layar televisi berhadap-hadapan dengan warga perempuan dan laki-laki Kontu yang berusaha mempertahankan diri.

Gerakan dorong mendorong tersebut tiba-tiba berubah brutal saat aparat mulai mengayunkan peralatan dalam genggaman mereka. Mata ku tak berkedip menatap seorang perempuan muda berbaju kaus biru yang menutup kepalanya dengan sehelai kain pendek semacam serbet. Dengan gigih perempuan itu berusaha bertahan bersama beberapa teman perempuan maupun laki-laki yang dikelilingi oleh aparat bersenjata dan berseragam. Tak lama berselang, teman-teman perempuan berkaos biru itu mulai tercerai berai dipukuli dan didorong aparat. Walau demikian, perempuan berkaos biru itu terus bertahan. Mungkin karena geram dengan kekukuhan sang perempuan berkaos biru mempertahankan dirinya, perempuan itu lalu dikerubungi sekitar 3 sampai 4 orang laki-laki yang secara agresif menyerang perempuan itu. Satu diantaranya mengayunkan tangannya ke tubuh perempuan itu. Tangan kanan sang penyerang perempuan itu dengan tepat mendarat di dada sang perempuan, sementara tangan kirinya membuat gerakan mengayun alat semacam pentungan ke arah perempuan. Saat ku perhatikan dengan seksama, tangan kanan penyerang itu tidak hanya membuat gerakan mendorong dada perempuan yang diserangnya, tapi juga melakukan gerakan meremas buah dada perempuan itu. Hanya sepersekian detik memang, namun gerakan meremas buah dada perempuan itu sangat jelas dilakukan.

Tentu saja, saya berkepentingan memperhatikan dengan seksama serbuan aparat yang melakukan penyerangan dengan warga yang bertahan. Kepentingan tersebut didasari suatu hubungan pertemanan dan persahabatan yang telah terjalin diantara saya dengan warga Kontu (baca Catatan Perjalanan saya berjudul Perlawanan Kontu : Perlawanan Perempuan-Perempuan Tak Bernama). Walau secara fisik saya baru bertemu mereka 1 kali di balai pertemuan mereka di tengah-tengah kebun dan ladang mereka, namun secara psikolgis saya dan mereka terikat dalam suatu persahabatan dan pertemanan sebagai sesama yang anti penindasan, anti kekerasan dan menolak setiap kekerasan yang dilakukan negara terhadap warganya sendiri. Warga Kontu adalah penduduk desa yang mencoba bertahan secara damai di tanah dan sumberdaya alam warisan leluhur. Bertahun sudah keberadaan mereka tidak dikehendaki oleh negara melalui Pemkab Muna. Berkali-kali sudah mereka diusir dengan cara-cara kekerasan yang selalu mereka usahakan hadapi dengan damai. Saat jeda yang cukup lama sekitar 1 tahun, komunitas Kontu lalu mulai membuat rencana bersama untuk menata kembali hidup dan kehidupan mereka yang porak poranda diterjang aparat dengan brutal. Sekitar 6 bulan silam, saat aku datang ke sana, kertas warna warni bertuliskan rencana-rencana itu masih bergantungan di dinding-dinding balai pertemuan mereka yang sederhana. Entah kemana perginya rencana-rencana itu saat kebun mereka digerayangi, saat rumah dan lading mereka digergaji, saat perempuan dan laki-laki, tua dan muda, anak-anak hingga kakek dan nenek dikasari dengan cara didorong, dipukuli dan ditendangi hingga sekitar 20 perempuan dan laki-laki mengalami berbagai luka fisik hingga teror phisikis???
Tayangan Metro TV itu membuat ku terguncang, sedih dan juga sangat marah terhadap perlakukan aparat negara yang melakukan tindakan kekerasan dan juga pelecehan seksual melalui gerakan mendorong dan meremas buah dada perempuan di depannya. Perempuan itu tidaklah saya kenal secara personal. Mungkin saja dia adalah satu diatara perempuan-perempuan Kontu yang terus berjuang dan bertahan di bumi leluhur namun tidak pernah dikenal di berbagai fora.

Walau kami tidak saling mengenal secara personal, namun menurut saya perbuatan aparat itu sangat tidak dapat diterima karena telah melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan yang sifatnya universal, yang tak dibatasi oleh batas-batas geografis, ras, etnis, sex dan lainnya. Tindakan aparat terhadap perempuan itu dan teman-temannya tidak hanya suatu arogransi semata. Tindakan tersebut merupakan suatu kekerasan terencana yang harus diprotes dan diadili oleh nilai dan prinsip-prinsip keadilan bagi sesama. Kekerasan itu sekaligus merepresentasikan cara pikir dan cara pandang patriarki yang mensubordinasikan perempuan sebagai makluk yang dapat dikerasi dan dikorbankan setiap saat dimana saja.
Sambil berusaha melepaskan dirinya dari jamahan tangan aparat, mata perempuan itu seperti berteriak meminta bantuan siapa pun yang melihatnya. Namun, aku hanya bisa menatap nanar layar televisi yang menayangkan pelecehan dan kekerasan itu. Saya dan perempuan itu terpisah ribuan kilometer antara Kontu di Sulawesi Tenggara dengan keberadaan saya di Jogja untuk suatu acara. Saat itu aku hanya bisa berharap ada diantara teman perempuan itu yang cepat membantu, namun harapan itu hanyalah kesia-siaan belaka. Karena teman-temannya yang lain juga sedang sibuk menghadapi pukulan, tendangan dan dorongan aparat. Hanya tetesan air mata ku yang mengalir satu demi satu tanpa bisa berbuat sesuatu untuk perempuan berkaos biru itu. Aku tak bisa tidur nyenyak selama berhari-hari karena memikirkan horor yang dilakukan aparat terhadap warga Kontu, terutama terhadap perempuan berkaos biru itu. Horor itu terus memburu ku bersama berbagai sms yang masuk ke hp ku dari berbagai teman yang ku kenal maupun belum aku kenal sehingga nomornya belum terekam di memori telpon ku. Horor itu terus memburu ku saat email ku buka hari ini dimana beberapa diantaranya berisi seruan solidaritas, kronoligis hingga siaran pers dari Swami yang dengan detail menggambarkan serbuan aparat ke komunitas warga Kontu. Saat membaca semua sms dan email itu, pikiran ku terus membayang wajah perempuan berkaos biru itu. Jiwa ku merintihkan tangisan sunyi terhadap perempuan itu dan teman-temannya. Aku hanya bisa melantunkan permintaan maaf ke langit-langit kamar karena tak dapat membantu perempuan itu menghadapi rengsekan aparat. Kembara pikiran ku terus menerus teringat tatapan perempuan itu, sepertinya dia menggugat ku "kemana kamu saat aku dizalimi secara brutal???, dimana bantuan dan solidaritas mu saat aku dilecehkan???, kemana kau dan teman-teman mu yang selalu berbusa berbicara hingga berpidato tentang solidaritas dan dukungan terhadap mereka yang tertindas, dizalimi dan dilecehkan yang biasa kalian obralkan di berbagai diskusi, meeting, seminar, workshop hingga berbagai milis???... kemana kalian saat aku dan teman-teman di Kontu membutuhkan dukungan kalian, walau itu hanya sehelai surat solidaritas???... walau kalian tidak berada disamping kami, helaian solidaritas kalian akan sangat membantu kami bertahan dalam penderitaan dan penindasan negara yang entah kapan akan berujung. Aku dan teman-teman di Kontu tidak meminta banyak dari kalian para teman, sahabat, sanak dan juga taulan. sebait puisi saja akan menjadi pengobat kenyerian kami. Sebaris lirik lagu saja telah cukup meneguhkan semangat kami untuk bertahan. Selarik surat dari mu dan teman-teman telah dapat menjadi alat perlawanan kami.Kemana hati nurani aparat yang lakukan kekerasan itu??? Kemana solidaritas teman, sahabat, saudara jauh serta para handai taulan di Sultra, Sulawasi, Jakarta, pelosok-pelosok negeri ini hingga kutub utara??? Kemana dan dimana kalian semuannya.. Warga Kontu sedang menanti bait puisi, lirikan lagu hingga carikan surat mu sebagai solidaritas antar teman dan sahabat.


Untuk mu perempuan berkaos biru serta suami dan anak-anak, saudara dan saudari, ayah dan ibu, kakek dan nenek maupun para cucu mu.. ku persembahkan tulisan ini. aku selalu bersama kalian walau keberadaan ku nun jauh di mata.. Hati ku selalu bersama kalian dalam penderitaan ini. Semoga kita bersama tetap kukuh menghadapi kekerasan negara ini. semoga kita akan tetap kuat dan selalu bersama menghadapinya dengan cara-cara damai. cara-cara tanpa kekerasan yang dituliskan berbagai kitab suci tentang kedamaian hidup tanpa kekerasan. seperti yang juga disimponykan berbagai kidung, melintasibatas-batas perbedaan seks, marga, klan, suku,etnis, bangsa, negara, agama dan ras..

Untuk mu perempuan berkaos biru

Untuk mu perempuan-perempuan Kontu

Untuk mu komunitas Kontu Bottom of Form

Minggu, 19 April 2009

PERJALANAN PANJANG SUATU TANGGUNG JAWAB

Bagian II

Tepat pada waktunya Pesawat Sriwijaya Air yang ku tumpangi dari Bandara Sepinggan Balikpapan terbang ke Bandara Mutiara Palu. Panas terik siang hari sekitar pukul 1.30, pesawat tiba di Palu. Saya lalu mengambil taxi menuju hotel Rama yang telah saya booking kamarnya beberapa hari silam. Berbeda dengan biasanya, penumpang yang akan mengambil taxi mengikuti antrian nomor, sehingga taxi langganan ku saat ke Palu tidak dapat saya gunakan karena berada pada nomor antrian berikutnya. Saya hanya tersenyum dan menjabat tangan sopir taxi langganan ku itu, lalu berlalu mengikuti sopir taxi yang akan mengantar ku ke hotel.

Tidak lama berselang, aku pun tiba di hotel. Setelah menyelesaikan urusan administrasi, termasuk menanda-tangani pernyataan bersedia didenda sebesar 500 ribu rupiah bila merokok di kamar, saya pun mendapatkan kamar 317. Saya mencoba bernegosiasi dengan petugas tuk mendapatkan kamar yang biasanya saya gunakan yakni 340, namun kamar tersebut masih terisi. akhirnya dengan berat hati, saya harus menerima kamar 317 yang ternyata seperti dugaan ku bahwa interior disainnya pasti berbeda dengan kamar 430 yang selalu ku gunakan saat nginap di hotel Rama.

Setelah check ini, saya pun mengguyur tubuh menghilangkan kepenatan perjalanan serta menyegarkan kulit yang tersengat sinar matahari siang kota Palu yang cukup menyengat. Setelah bersalin pakaian bersih, saya lalu memesan taxi minta diantar ke kantor Proyek di Palu. Sebelum masuk ke kantor, saya harus melewati prosedur standar keamanan kantor yang diterapkan sama di semua tempat, yakni melalui meja satpam untuk mengisi buku tamu kemudian satpam mengantar ku memasuki kantor tersebut. Kadang aku geli mengikuti seremonial keamanan seperti itu, namun apa mau dikata, mereka juga hanya melaksanakan tugasnya.

Setiba di kantor tersebut, saya bertemu dengan Burhanuddin Buna yang adalah PO Proyek untuk Sulawesi Tengah, Lidya Manganti yang adalah Grant Associate Proyek, serta beberapa orang keuangan mitra proyek yang sedang berada di kantor tersebut untuk tentunya menyeleaikan beberapa urusan keuangan proyek dalam kerjasama dengan lembaga mereka masing-masing. Selain itu, 2 petinggi Jatam Sulawesi Tengah bersama 2 orang laki-laki dari desa dampiangan Jatam sedang berada di kantor tersebut untuk mempersiapkan bahan presentasi bagi wakil-wakil SIDA yang berkunjung pada tanggal 1 -2 April 09, sebagaimana kehadiran ku saat ini di Kota tersebut untuk mempersiapkan kunjungan tersebut.

Saya lalu segera menggelar diskusi dengan PO, Jatam dan 2 orang wakil dari desa dampingan Jatam, yakni Nurdin dan Arphan. Setelah meminta mereka menggambarkan persiapan-persiapan yang telah dilakukan, saya lalu memberikan beberapa input untuk menyempurnakan persiapan tersebut. sementara bersama PO, saya membahas berbagai hal teknis terkait terkait penginapan, pihak yang akan ditemui, kendaraan, keamanan dan hal terkait lainnya. Masih banyak hal yang belum diselesaikan yang harus saya tangani sehingga saya dan PO lalu mengatur berbagai rencana, termasuk gladi di kantor PBHR dalam rangka kunjungan tersebut. Saya juga mencari tahu persiapan Pemda Provinsi, dalam hal ini BAPPEDA Provinsi sebagai counterpart proyek dalam rangka kunjungan tersebut sekaligus meminta konfirmasi rencana kunjungan kehormatan tim ke Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara. Sayangnya, pada saat kunjungan, Gubernur sedang sibuk melakukan kunjungan kerja ke daerah sehingga tidak bisa menerima kedatangan tim, namun rencananya BAPPEDA akan menyelenggarakan suatu pertemuan pengganti dengan mengundang beberapa pihak terkait di Provinsi tersebut, seperti Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan, Kepala Biro Hukum, serta pihak SEKDA untuk membuka pertemuan tersebut.

Singkat cerita, saya berada di kota tersebut selama 2 hari untuk persiapan teknis kunjungan tim SIDA. Pada tanggal 30 - 31 Maret 2009, saya harus memastikan bahwa semua hal yang direncakan terkait kunjungan tersebut akan berjalan, termasuk seremoni penerimaan - yang sebenarnya tidak terlalu saya sukai, karena saya adalah orang yang tidak suka pada seremoni-seremoni yang menurut saya hanyalah basa basi dan menghabiskan waktu. Namun, tentunya urusan ini adalah urusan kantor yang harus saya jalankan dalam kerangka tanggung-jawab ku sebagai focal point untuk daerah tersebut. Persiapan kunjungan tersebut, termasuk saya harus bertemu dengan focal point proyek di Kantor BAPPEDA Provinsi guna memastikan persiapan pertemuan antara Pemda dengan wakil SIDA dan juga BAPPENAS yang menyertai kunjungan tersebut. Saya juga mengunjungi Rumah Aman KPPA untuk mengetahui lokasi sekaligus mendiskusikan persiapan KPPA dan beberapa korban dalam rangka pertemuan dengan wakil-wakil SIDA.

Harus diakui bahwa masing-masing pihak terkait mempersiapkan diri dengan baik, sehingga kunjungan SIDA ke Palu pada tanggal 1 - 2 April 2009 tersebut, berlangsung dengan baik. 2 wakil masyarakat yang didampingi JATAM menyiapkan testamennya dengan singkat, padat namun informatif. saya puas dengan semua persiapan tersebut termasuk kerjasama semua pihak yang dengan sukarela dan senang hati berkomunikasi dan koordinasi intens guna keberhasilan kunjungan tersebut. Hanya ada sedikit kendala saat pertemuan di Kantor BAPPEDA Provinsi, yakni molornya waktu pertemuan dari jam 9.15 pagi yang direncakan menjadi 10.30 karena miskomunikasi di kantor Gubernur dan Sekda yang sedianya akan membuka pertemuan tersebut. Namun, walau terlambat, akhirnya Asisten II Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah hadir membuka pertemuan tersebut, sementara itu Pak Kepala BAPPEDA bertindak sebagai moderator.

Hari pertama kunjungan tanggal 1 April 2009 adalah kunjungan dan diskusi di kantor Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat (PBHR) Sulteng. Kunjungan dan pertemuan berlangsung sukses, dilanjutkan dengan makan malam yang dihadiri oleh Wakil Walikota Palu, Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Tengah serta beberapa staff. Acara makan malam berlangsung meriah dan penuh keramahtamahan. Karena tim SIDA tidak satupun yang bisa berbicara bahasa Indonesia, maka staff proyek berbagi diri mendampingi masing masing anggota rombongan SIDA untuk membantu menjembatani percakapan informal di pertemuan tersebut. Pak Wakil Walikota memberikan sambutan - yang lalu dibalas oleh Ms. Annelis - yang merupakan Country Representative SIDA berkantor di Swedia. Dia disertai 3 orang staf, yakni masing-masing Annike, Ann dan Eva. Pada kesempatan tersebut, saya mengambil tempat duduk disamping Pak Kepala BAPPEDA untuk berbincang informal tentang berbagai hal, ternyata orangnya enak diajak bercakap-cakap.

Esok hari tanggal 2 April 09, kunjungan dan pertemuan pertama adalah dengan para pejabat Pemda Provinsi yang diundang oleh BAPPEDA Provinsi. Pertemuan dilakukan di ruang pertemuan kantor BAPPEDA. Sebelum rombongan berangkat, saya dan PO telah terlebih dahulu berangkat ke tempat pertemuan untuk memastikan segala sesuatunya telah disiapkan. BAPPDA ternyata telah menyiapkan semuanya, MC, snacks dll guna pertemuan tersebut, sehingga saya hanya perlu berkoordinasi dengan MC tentang acara dan protokoler sebagaimana acara acara pemeritah yang memiliki protokoler sendiri, termasuk orang orang yang akan duduk di meja depan untuk mendampingi Kepala BAPPEDA dan wakil dari Kantor Gubernur Untuk membuka acara tersebut. Akhirnya disepakati, para pendamping masing-masing adalah Manajer Proyek (Thomas Crick), Country Representative SIDA (Ms. Annelis), Wakil BAPPENAS (Ario Bimo) serta Wakil UNDP (Alisson Moore) sementara anggota rombongan lainnya berbaur dengan undangan lainnya di ruang pertemuan tersebut.

Sebelum pertemuan di kantor BAPPEDA selesai, saya telah bergerak berpindah tempat ke rumah aman KPPA untuk memastikan kesiapan pertemuan di tempat tersebut. Ternyata semuanya telah siap untuk pertemuan itu. Walau demikian, saya dan Direktur KPPA melakukan koordinasi singkat untuk mempersiapkan makan siang di tempat tersebut karena rencana makan siang rombongan di salah satu restoran di kota Palu terpaksa diubah sebagai akibat molornya waktu pertemuan di Kantor BAPPEDA. Makan siang lalu didatangkan dalam box dari restoran dan kemudian disiapkan di rumah aman KPPA. Saat rombongan tiba, saya dan PO mengumpulan semua tiket dan identitas (paspor dan KTP) lalu bersama GA berangkat ke airport mutiara untuk check in terhadap semua anggota rombongan yang akan kembali ke Jakarta melalui Makassar menggunakan pesawat Lion Air. Sementara itu, PO tetap tinggal di Rumah Aman guna mengantisipasi kebutuhan tidak terduga. Namun ternyata semuanya berjalan lancar. Urusan check in di Bandara pun selesai. Hanya 1 anggota rombongan, yakni Anne yang sedang sakit perut sehingga tetap tinggal di hotel yang belum kami check-in-kan karena tiket dan identitasnya belum kami peroleh, sehingga saya dan GA lalu menjemputnya di hotel lalu bersama ke airport untuk check in sekaligus menuggu anggota rombongan lainnya selesai dari RUmah Aman KPPA.

Tepat pada waktunya, semua anggota rombongan tiba dan berkumpul di airport Mutiara Palu. Boarding Pas, tiket dan identitas masing-masing dikembalikan sambil berjabatan tangan mengucapkan salam perpisahan. Saya masih melewatkan 1 malam di kota Palu untuk membereskan berbagai urusan administrasi dan keuangan. Esok hari, tanggal 3 April 2009 saat kota masih terlelap sekitar pukul 6 pagi, saya telah check out dan bertolak ke Airport Mutiara Palu guna menumpang pesawat Lion yang akan memberangkatkan ku ke Makassar sebagai kota transit menuju Kendari.

Melelahkan, namun puas dengan hasil yang dicapai melalui dukungan dan kerjasama berbagai pihak, terutama Pak Bunna, Mbak Lidya, Sahrul, Neneng, Undeng, Pak Ramlan, Ibu Sandra. Terima Kasih

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...