Jumat, 17 Oktober 2008

MENETAK RIMBA EBONI, MENATIH SINTUWU MAROSO

Catatan Perjalalan Di Sulawesi Tengah
Bagian I : MENETAK RIMBA EBONI, MENATIH SINTUWU MAROSO

12 Agustus 2008
Pagi masih tertidur pulas saat kendaraan umum langganan ku telah menjemput di rumah lalu meliuk diantara belantara jalanan Jakarta mengantar tubuh ku ke Bandara Soekarno Hatta untuk bertolak ke kota Palu melalui Makassar sebagai kota transit. Dalam dekapan kantuk dan kesejukan subuh hari, saya tiba juga di Bandara yang mulai berbuncah kesibukan. Porter berjejer menawarkan jasa angkut, mobil pribadi nan mewah maupun biasa hingga kendaraan umum berupa taxi dan bus juga silih berganti berhenti menurunkan para penumpangnya di penghujung malam, termasuk diri ku yang harus pergi ke negeri sang Kayu Hitam untuk urusan pekerjaan. Setelah melewati para petugas pemeriksa hingga check in, saya pun memperoleh seat di pesawat yang akan menerbangkan ku dan seorang teman kantor ke Makassar lalu berganti pesawat di negeri Sultan Hasanuddin tersebut. Harusnya keberangkatan pesawat terjadi pada jam 6 pagi, namum sebagaimana lazimnya jam karet di negeri gemah ripah loh jinawi ini, pesawat baru diberangkatkan setelah mengalami kemunduran sekitar 30 menit. Kondisi yang selalu terulang di semua maskapai penerbangan domestic, tak pandang maskapai bonafit ataupun yang ecek ecek dimana skrup komponen yang hilang diganti menggunakan tali rafia semata….

Setelah memempuh perjalanan udara 2 jam lebih, akhirnya sang burung besi mendaratkan sayapnya di Negeri keseblasan Ayam Jago itu. Ternyata pesawat menuju parkiran Bandar udara baru yang lebih luas dan modern daripada yang lama. Saat kaki menjejak terminal, bau cat dan kesibukan para pekerja masih sedang bertingkah diantara hilir mudik ribuan orang penumpang dan juga burung-burung besi yang datang dan pergi silih berganti. Luas, modern dan juga futuristik, demikian komentar ku melihat bentuk bangunan terminal baru itu. Atapnya disanggah ribuan batangan besi yang bersiliweran tak teratur dalam pandangan ku sebagai orang awam, sebagaimana kesan yang timbul saat melihat lukisan-lukisan abstrak yang tidak ku mengerti sama sekali karena hanya berisi garis garis tidak beraturan. Gimana nuansanya jika malam hari?, tanya ku kepada teman seperjalanan ku?, wah pasti kelihatan lebih megah, sahutnya… hanya beberapa toko yang telah terlihat berjualan, namun kebanyakan masih kosong atau masih sedang melakukan penataan. Karena waktu tunggu berganti pesawat dari Makassar ke Palu cukup lama, saya dan teman seperjalnanan akhirnya berjalan hilir mudik di bandara baru tersebut untuk melihat-lihat sekaligus mengecek letak ATM, tempat makan dan juga hal hal lain yang mungkin dibutuhkan saat ini ataupun di waktu waktu yang akan datang. Semoga saja kemegahan ini tidak ternoda gigitan tikus korupsi yang dapat mengurangi kualitas bangunan, komentar ku dalam hati menyimak centang perenang besi-besi konstruksi atap yang pasti dirancang dengan sangat brilian oleh seorang arsitek handal – entah anak Negeri atau bukan…

Ternyata pesawat yang akan kami tumpangi ke Palu juga tidak tepat waktu. Customer Service Bandara beberapa kali mengumumkan penundaan tersebut. Awalnya penundaan terjadi sekitar 45 menit. Melewati waktu tersebut muncul pengumuman baru penundaan bertambah 1 jam lalu muncul lagi pengumuman baru setelah waktu tersebut lewat. Seharusnya waktu take off dari Bandara Hasanuddin Makassar terjadi pada jam 3 sore, namun karena penundaan yang terus menerus, perjalanan baru dapat kami lanjutkan pada pukul 6.10 malam. Sangat menyebalkan dan melelahkan, namun para penumpang tidak punya pilihan. Tidak ada pula yang melalukan protes selain diri ku dan teman sekantor… tentu saja dianggap aneh dan tidak sabar… apalagi karena penundaan itu disebabkan masalah operasional, demikian jawaban yang kami peroleh dari petugas maskapai di Bandara…. Sangat menyebalkan karena selain tidak bisa langsung meminta ganti pesawat ke maskapai lain yang juga tidak memiliki jalur dan jam penerbangan sore hari ke kota tujuan, peraturan yang melindungi hak-hak penumpang yang ditelantarkan berjam jam di bandara juga belum tersedia sehingga para menajemen maskapai seenaknya menunda penerbangan dengan mengajukan alasan masalah operasional. Demikian selalu informasi yang saya peroleh setiap kali suatu penerbangan ditunda berjam-jam.

Setelah menempuh hampir 1 jam penerbangan, pesawat yang ku tumpangi akhirnya tiba di atas udara Palu, kota yang dikenal sebagai penghasil bawang goreng dan Eboni berkualitas. Namun, sang burung besi tidak bisa menapakkan kakinya ke daratan, karena listrik di bandara Mutiara Palu sedang padam. Masalah yang membuat beberapa kelompok masyarakat di kota tersebut melakukan demo terus menerus dan melempari kantor PLN setempat sebagaimana lansiran beberapa berita lokal maupun nasional. Setelah berputar-putar sekitar 5 menit, akhirnya sang nakoda memutuskan terbang kembali ke Makassar. Gado gado kekesalan, kesebalan, sukacita dan juga kelehanan berbinar ria menghadapi kondisi tersebut. Saya pun mengumpat gembira karena keteledoran manajemen maskapai yang tidak memenfaatkan teknologi cangih yang tersedia untuk mengkonfirmasi terlebih dahalu kondisi bandara kedatangan sebelum keberangkan. Apa sulitnya mengangkant telpon dan berkoordinasi diantara petugas di Palu dengan yang di Makassar, umpat ku ke teman seperjalanan. Umpatan gembira tersebut juga mensyukuri kerugian yang pasti dialami maskapain karena harus bolak balik Makassar – Palu, “biar kapok supaya lain kali lebih tepat waktu kalo tidak mau rugi”, kata ku ke teman seperjalanan di samping ku. Setiba kembali di terminal Hasanuddin, yang pertama kami cari adalah makanan… karena malam telah jauh merengkuh mayapada, maka ketersediaan makanan jadi di beberapa warung yang buka di terminal tersebut pun makin menipis saja. Akhirnya saya menemukan soto ayam di suatu sudut terminal… hmmmm alangkah nikmatnya menikmati semangkok soto hangat bersama segelas teh manis…. Hilang sudah kekesalan dan kesebalan itu… selesai menyantap soto itu, mata ku pun berkeliling menikmati kawasan luar bandara yang diselimuti dewi kegelapan diselingin pernak pernik kerlipan lampu mobil, motor dan juga rumah-rumah penduduk nun jauh di horizon…. Serasa ratusan kunang-kunang sedang bersenda di tepian sawah dan hutan-hutan sabana. Sementara itu, siraman cahaya lampu menyoroti berbagai bagian terminal megah itu…. Namun disisi lain muncul pula pertanyaan “berapa banyak penduduk yang digusur demi kepentingan ini”, tanyaku dalam hati sambil menghibur diri sendiri “semoga mereka mendapatkan penggantian yang cukup layak guna melanjutkan hidup mereka”, walau saya tahu pasti bahwa mayoritas pembangunan di negeri ini lebih suka mengorbankan rakyatnya daripada mensejahterahkan dengan pemberian pengganti yang membuat penerimanya bisa berwirausaha………Akhirnya saya bisa juga menikmati malam di terminal baru Hasanuddin Makassar sebagai dampak positif dari kecerobohan manajemen maskapai yang pesawatnya ku tumpangi dari Makassar ke Palu.

Malam hampir tertidur, saat pesawat diumumkan berangkat ke Palu. Serasa menyusuri Tol Jakarta – Cikampek di subuh hari, sang burung besi akhirnya menjejak bandara Mutiara Palu. Kota telah berkemas menuju peraduan saat mobil yang ku tumpangi membelah jalanan mengantar ku ke hotel… Kota telah pulas saat tubuh ku memasuki kamar hotel, namun saya memutuskan unuk bercengkrama dengan air kamar mandi sebelum memuluk peraduan yang telah menggoda.

Pagi telah merekah ceria saat tubuh ku menjenguk keluar kamar. Dengungan mesin kendaraan kota menghampiri bersama kesibukan warga Eboni menyambut hari. Setelah menyelesaikan semua rutinitas manusiawi, saya pun menyibak kamar ke area publik di tempat penerimaan tamu. Tegur sapa an basa basi ketimuran pun berkumandang sebagai jamuan selamat datang yang tak sempat terucap saat check in di pulasan malam. Tanya sana tanya sini, akhirnya petugas hotel memutuskan mencarikan mobil carteran bagi saya menuju Negeri Sintuwu Maraso. Pihak hotel mempertemukan saya dengan sopir mobil yang terlihat cukup ramah sehingga tanpa negosiasi alot, kami mencapai kesepakatan sebagai teman seperjalanan ke Bumi Sintuwu Maroso.

13 Agustus 2008
Sang Surya sedang menapak ke puncak singgasana saat mobil carteran ku membelah kesibukan kota menuju rimba Eboni di Tanah Sintuwu Maroso. Perlahan, kesibukan kota mulai ditinggal saat kami memasuki kawasan yang dikelilingi hutan dan mulai mendaki perbukitan rimbun. Tak lama berselang, sinyal HP pun menghilang saat gunung gemunung berselimut jutaan pepohonan dan tanaman membungkusi jalanan yang kami lalu. Sesekali, saya dan sopir sebagai satu-satunya teman perjalanan bercakap cakap tentang berbagai hal sebagai pengisi waktu sekaligus mulai membangun tali silahturahmi. Namun, saya tidak ingin mengganggu konsentrasinya mengendalikan si kuda besi yang kami tumpangi. Sehingga lebih banyak perjalanan diisi dengan dialog diam dengan diri sendiri sambil menikmati hamparan alam dan kesegaran udara sebagai suatu kemewahan yang tidak mungkin terbeli di belantara beton kota metropolis yang mencatat ku sebagai salah satu warganya.

Sekitar 2 jam perjalanan meliuki gunung gemunung, kami harus berhenti di suatu tempat di tengah rimba karena jalan yang akan kami lalui sedang diperbaiki. Antrian mobil dan motor telah mulai mengular karena petugas menggunakan sistem buka tutup dengan jarak waktu 30 sampai dengan 60 menit. Saya mengalihkan rasa tidak sabar yang muncul dengan menikmati hamparan rimba dan konser suara alam yang menghadirkan harmoni suara hewan dan serangga bersama pepohonan, tanaman dan juga tiupan angin. Menikmati konser gratis yang tak mungkin saya peroleh di kota, walau itu di Palu sekalipun, apalagi Jakarta yang hiruk pikuk. Saya menikmati pula lalu lalangnya berbagai pedagang, terutama berjualan makanan tradisional penduduk yang berdiam di sekitar kawasan tersebut. Saya akhirnya membeli sekantong jagung pulut rebus (demikian, sopir menginformasikan jenis jagung yang dijual), sementara sang sopir lebih menyukai segepok kacang rebus, sekantong kue dan sejenis minuman setempat yang berfungsi menghangatkan tubuh.

Sang rinai pun mulai menyapa sehingga praktis, saya dan sopir berkurung dalam mobi lyang kami tumpangi. Karena tidak sedang berkonsentrasi menghadapi jalalan, sopir mulai mengisahkan berbagai cerita bunuh diri ataupun pembunuhan yang terjadi di beberapa tempat di kawasan hutan yang kami lalui dan akan lalui itu. Kisah itu pun terus bersambung ke ranah sosio magis suku-suku pemilik adat wilayah itu. Alkisah di tempat-tempat tragis itu, dulu merupakan tempat-tempat tinggal para leluhur suku yang telah kembali ke alamnya. Sebelum manusia beralih ke agama-agama Samawi, tempat-tempat tragis manusia zaman ini adalah tempat ritual persembahan dan penghubung bagi mereka yang masih hidup dengan mereka yang telah kembali ke pangkuan sang Khalik. Berbagai cerita terus mengalir mengisi waktu tunggu yang terus merangkak dari menit ke jam hingga tiba waktunya petugas mengizinkan antrian kami untuk melewati jalur jalan yang sedang diperbaiki. Dengungan mesin kendaraan berbagai jenis dan tipe pun membelah langit seperti suara jutaan lebah yang mengungsi karena habitnya diusik mesin-mesin para pembalak hutan.



Keluar dari dekapan rimba dan gunung gemunung, mobil mulai menapaki hamparan dataran yang mayoritas telah dikelola sebagai kawasan persawahan. Petak petak sawah tersebar dimana-mana. Berbagai spanduk, umbul-umbul dan bendera warna warni, hingga foto diri para calon bupati dan wakil bupati, lambang dan logo berbagai partai politik menyemarakan tepian jalan dan pekarangan rumah penduduk yang kami lalui. Kabupaten Parigi Mutong, demikian informasi sang sopir. Ada juga suasana sangat Bali di jalananan yang kami lalui karena bertebarannya berbagai pure kelurga dan juga penjor-penjor khas pulau Dewata. Mereka adalah transmigran asal Bali, demikian informasi tambahan yang ku peroleh dari Sang sopir. Mereka telah berbilang tahun hidup di sini, bahkan generasi kedua dan ketiganya lebih menguasai bahasa setempat daripada bahasa para leluhur mereka di negeri seberang, tambahnya… jejeran rumah penduduk diselingi Mesjid, Mushola, Kapel, Gereja, Pura, kios, toko, warung terus kami lewati silih berganti. Di suatu tempat, sopir mengistirahatkan si kuda besi lalu mengajak ku makan siang. Di tempat tersebut beberapa mobil telah terparkir pula. Kami melangkah memasuki ruang tamu suatu rumah penduduk terus menyusur ke dapur bertemu serombongan tamu yang sedang memilih ikan untuk dipanggang. Setelah tiba giliran, kami lalu memilih jenis ikan dan sayuran untuk makan siang. Setelah itu kami menyusuri suatu jempbatan panjang dari rumah induk di tepi jalan ke bangunan semi terbuka di atas air laut yang berfungsi sebagai tempat makan. Melihat kesederhanaan bangunan, dapat dikatakan sebagai suatu warung, namun melihat luas dan besarnya daya tampung yang disediakan, harus diakui sebagai suatu restoran. Jejeran meja panjang bertaplak kain berbunga-bunga dialasi plastik memenuhi ruangan seperti aula yang diapit mushola di satu sisi, sementara di sisi lain terdapat toilet kecil dan dapur. Depan dinding pembatas dapur dan ruang makan tersedia seperangkat alat karaoke yang sedang menayangkan lagu-lagu tempoe doeloe. Di setiap meja telah tersedia piring kaca yang diletakan terbalik bersama gelas kaca dan 1 cerek air alumnium, tersedia pula seperangkat sendok dan garpu stainless dalam wadah plastik berwarna pink. Beberapa tamu telah sedang menikmati hidangannya, sementara rombongan lain sama seperti saya masih sedang menuggu pesanan. Sambil menunggu saya menikmati saja hembusan sepoin angin laut bersama riakan gelombang yang dapat dinikmati secara dekat. Penasaran, saya lalu melangkah ke tepi dinding melongok ke birunya air yang mengelilingi tempat makan tersebut. Banyak ikan kecil dan besar sedang bercengkrama di bawah sana di antara cela cela berbagai tanaman, terutama berjenis rerumputan. Sementara sopir menggunakan waktu tunggu tersebut untuk sholat.

Hidangan yang kami pesan pun datang, ikan panggang yang telah disirami cabe bersama jeruk nipis mengepulkan asap dan aroma pembangkis selera bersama semangkuk kuah asam, lalapan dan nasi panas serta seperangkat sambal 3 jenis… keringat mengalir tak henti bersama tak hentinya lidah mencecap kenikmatan santap siang itu. Pedasnya cabe khas Sulawesi terasa memicu ujung-ujung syaraf dan kelenjar keringat memproduksi rasa pedas dan keringat yang mengalir tiada henti…. Wouhhhhhhhhhhhhhhhh luar biasa makan siang tersebut, nikmat walau bermandi keringat dan kepedasan tiada tara…. Sang sopir sering mengantar tamunya dari berbagai kota dan negeri ke tempat ini, demikian informasi yang saya peroleh saat kami makan sambil ngobrol…… setelah selesai, kami pun melanjutkan perjalanan bersama iringan rinai yang terus menderas silih berganti sang surya yang merekah ceria mengiringi berbagai mobil tim kampanye para kandidat bupati kabupaten Parigi Mutong. Jejeran mobil dan sepeda motor warna warni terus menghilir dan menghulu jalan yang kami lalui bersama ratusan pendukung yang mengenakan atribut warna warni, terutama kaus-kaus berhias calon bapati dan wakil bupati yang didukung mereka bersama bendera-bendera partai pengusung para calon… teriakan suka cita bersama iringan music berdentam dari pengeras suara mengharubirukan langit kabupaten penghasil padi tersebut. Di beberapa simpang jalan, mobil kami harus mencari jalan alternative karna jalan-jalan utama dipenuhi romobongan mobil dan motor para peserta kampanye.. sampai kami melewati suatu jalan dekat pasar di kota Parigi Mutong, sang sopir menunjuk suatu rumah tua yang cukup terawatt lalu berkomentar, itu rumah pak Ciputra….hahhhh timpal ku…. Dia orang sini, tanya ku tak percaya….iya, balas sang sopir… lalu mengalirlah berbagai iformasi tambahan tentang beberapa orang terkenal di ibukota yang berasal dari kabupaten lumbung padi tersebut….



Semilir terus membelai bersama iringan lagu-lagu khas Sulawesi Tengah dari player mobil… kiri kanan jalan sedang berdandan dan bersolek menor… tanpa terasa perjalanan kami mulai memasuki Bumi Sintuwu Maroso…. Negeri ini sedang berbenah dari konflik berdarah beberapa tahun silam…. Di beberapa tempat, reruntuhan bangunan lama masih bersanding dengan bangunan baru…. Selain umbul-umbul dan spanduk warna warni, pagar-pagar pekarangan juga dipercantik dan dimoleki…. Warna putih dominan diselingi merah dan biru…. Setiap pekarangan dihiasi gerbang beratap susun 2 yang terbut dari daun kelapa… Semuanya sedang bersiap menyambut mempelai kemerdekaan yang akan tiba beberapa hari lagi…. Jalan rusak yang kami sepanjang jalan di batas kabupaten hingga kota Poso lalui tidak menghalangi niat ku menikmati panorama pegunungan yang mulai terasa…pohon kelapa dan coklat mendominasi seluruh landscape yang kami lalui…. Pekarangan penduduk, kebun dan ladang seperti tak lengkap tanpa kehadiran 2 jenis tanaman itu…. Keriaan sedang menyebar merata di seantero pusat rimba Eboni Sulawesi Tengah itu…. Banyak banguna baru bermunculan di sana dan di sini… kadang di tanah kosong, kadang di samping bangunan lama yang rusak…yang paling kasat mata dan menyolok adalah adanya Pos-pos Polisi berwarna khas kuning gading dan coklat dengan lambang kepolisian di depan pintu masuk sedang tegak di setiap desa Tanah Sintuwu Maroso… bumi musyawarah mufakat… demikian informasi yang saya peroleh kemudian tentang makna 2 kata tersebut. Senja sedang tertatih saat tubuh ku melewati gerbang selamat datang di Kota Poso…. Reruntuhan dan centang perenang kondisi kota dan jalanan yang saya lalui 4 tahun silam saat berkunjung ke Kota Ampana melewati kota ini tak lagi berbekas… berbagai pos pemeriksaan sepanjang jalan di perbatasan Parigi Mutong hingga kota Poso telah hilang tertelan bumi yang mulai menyemi damai di penghujung asa… merenda harapan dan cita-cita bersama membangun kembali tanah warisan leluhur…

Magrib telah menghampiri saat saya selesai bertemu teman-teman di kota Poso lalu beranjak ke penginapan yang telah dipesan oleh mereka. Kepenatan tubuh akibat perjalanan sekitar 6 jam melewati jalan berliku dan meliuk serta rusak di sana dan disini menyebabkan tubuh ku tak bisa menolak godaan peraduan bersih yang tersedia dalam kamar penginapan… hanya sepatu yang sempat ku lepas sebelum tubuh ku terlena dan terlelap dalam pelukan hangat sang pemilik malam….

BERSAMBUNG ke Catatan Perjalanan 2 : MENJEJAK MANSONI TONI

JELAJAH INDONESIA. Pulau Rote & Ndana: Menjejaki Negeri Para Leluhur

1 perahu dari Pelabuhan Oeseli, Pulau Rote  Akhirnya, perahu nelayan milik Pak Ardin membawa kami mendekati tepi pantai Pulau Ndana. Tep...